Post on 07-Dec-2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah masalah kesehatan terbesar
karena merupakan penyebab utama kematian dengan jumlah mencapai 12,4%
dari total kematian di seluruh dunia (WHO, 2008). Di Amerika Serikat, PJK berada
di peringkat pertama kematian. Laporan Asosiasi Jantung Amerika Serikat di
Eropa menyatakan bahwa PJK tetap menjadi penyebab utama kematian pada
pria yang berusia 45 tahun ke atas dan pada wanita yang berusia di atas 55
tahun. Sekitar 425,425 kematian terjadi akibat PJK di Amerika Serikat pada tahun
2006 atau 1 dari enam kematian terjadi akibat PJK. (berdasarkan pada the
National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES, 2003–06), National
Center for Health Statistics dan NHLBI)
Selain itu, Asosiasi Jantung Amerika Serikat di Eropa (AHA) menyatakan
bahwa insidensi, morbiditas, dan mortalitas PJK dipengaruhi oleh berbaga faktor
resiko. Ada faktor resiko yang dapat diubah, dikontrol, dan diobati, tetapi ada
pula faktor resiko yang tidak dapat diubah. Semakin banyak faktor resiko yang
dipunyai seseorang, semakin besar pula orang tersebut berisiko menderita PJK.
Karena itulah, dengan mengurangi faktor resiko, diharapkan insidensi PJK dapat
berkurang.
Salah satu faktor resiko PJK yang dapat diubah dan dikontrol adalah
merokok. Perokok memiliki resiko 2-4 kali lebih besar dari yang bukan perokok
untuk menderita PJK. Selain itu, rokok juga memilik kandungan yang tidak hanya
menyebabkan gangguan kardiovaskular,tetapi juga bagi sistem-sistem vital tubuh
lainnya.
Dari data WHO tahun 2008, Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan
konsumsi rokok terbesar nomor 3 setelah China dan India dan di atas Rusia dan
1
Amerika Serikat. Indonesia memiliki 65 juta perokok atau sekitar 28 % per
penduduk (225 miliar batang per tahun). Dalam 9 tahun terakhir, jumlah
perokok di Indonesia terus bertambah. Pertumbuhan rokok Indonesia pada
periode 2000-2008 adalah 0.9 % per tahun.
Jika digabungkan antara perokok kalangan anak, remaja, dan dewasa,
maka jumlah perokok Indonesia sekitar 27.6%. Artinya, setiap 4 orang Indonesia,
terdapat seorang perokok. Angka persentase ini jauh lebih besar daripada
Amerika yakni hanya sekitar 19% atau hanya ada seorang perokok dari tiap 5
orang Amerika. Perlu diketahui bahwa pada tahun 1965, jumlah perokok
Amerika Serikat adalah 42% dari penduduknya. Melalui program edukasi dan
meningkatkan kesadaran untuk hidup sehat tanpa rokok ( ditambah pelarangan
iklan rokok di TV dan radio nasional), selama 40 tahun lebih Amerika berhasil
mengurangi jumlah perokok dari 42% hingga kurang dari 20% di tahun 2008.
Dari survai secara nasional juga ditemukan bahwa laki-laki remaja banyak
yang menjadi perokok dan hampir 2/3 dari kelompok umur produktif adalah
perokok. Pada pria prevalensi perokok tertinggi adalah umur 25-29 tahun. Hal ini
terjadi karena jumlah perokok pemula jauh lebih banyak dari perokok yang
berhasil berhenti merokok dalam satu rentan populasi penduduk. Sebagian
perokok mulai merokok pada umur < 20 tahun dan separuh dari laki-laki umur 40
tahun ke atas telah merokok tiga puluh tahun atau lebih, lebih dari perokok
menghisap minimal 10 batang perhari, hampir 70% perokok di Indonesia mulai
merokok sebelum mereka berusia 19 tahun (Pdpersi, 2003).
Peningkatan jumlah perokok di Indonesia menyebabkan bertambah
buruknya status kesehatan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, peningkatan
ini harus dicegah dan upaya perbaikan harus dilakukan. Untuk menurunkan
jumlah perokok, kita harus mengetahui penyebab mendasar yang
mengakibatkan seseorang merokok. Rata- rata merokok yang dilakukan oleh
kebanyakan laki-laki dipengaruhi oleh faktor psikologis meliputi rangsangan
sosial melalui mulut, ritual masyarakat, menunjukkan kejantanan, mengalihkan
2
diri dari kecemasan, kebanggaan diri. Selain faktor psikologis juga dipengaruhi
oleh faktor fisiologis yaitu adiksi tubuh terhadap bahan yang dikandung rokok
seperti nikotin atau juga disebut kecanduan terhadap nikotin (Mangku Sitepoe,
1997:13).
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana pengaruh rokok terhadap Penyakit Jantung Koroner?
2) Apa solusi yang dapat dilakukan untuk menekan jumlah perokok di
Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
1) Mengurangi jumlah perokok
2) Mengurangi insidensi PJK
1.4 Manfaat Penulisan
1) Mengetahui peran rokok dalam perkembangan PJK
2) Memberikan informasi tentang bahaya merokok
3) Memberikan solusi dalam menekan jumlah perokok di Indonesia
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Jantung Koroner
2.1.1 Definisi
Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah
penyakit jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteri koronaria.
(Siregar, Abdullah Afif., Lubis, Ellya Nova. 2000).
2.1.2 Etiologi
Adanya aterosklerosis koroner dimana terjadi kelainan pada intima
bermula berupa bercak fibrosa (fibrous plaque) dan selanjutnya terjadi
ulserasi, pendarahan, kalsifikasi dan trombosis. Perjalanan dalam kejadian
aterosklerosis tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal, akan tetapi
diberati juga banyak faktor lain seperti : hipertensi, kadar lipid, rokok, kadar
gula darah yang abnormal (Djohan T Bahri Anwar, 2004).
2.1.3 Faktor-faktor resiko PJK
Faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner dikenal sejak lama
berupa:
1) Hipertensi
2) Kolesterol darah
3 )Merokok
4) Diet
5) Usia
6) Jenis Kelamin
7) Kurang latihan.
4
2.1.4 Tanda dan Gejala
Gejala yang biasanya timbul adalah :
1) Rasa tertekan (seperti ditimpa beban, nyeri, terjepit, diperas,
terbakar) didada, dan dapat menjalar ke lengan kiri, leher, dan
punggung.
2) Tercekik atau sesak selama lebih dari 20 menit.
3) Keringat dingin, lemah, jantung berdebar, dan pingsan.
4) Semakin kurang istirahat, tetapi bertambah berat dengan
aktivitas.vSelain gejala nyeri dada, juga terdapat tanda-tanda
seperti jantung berdebar (denyut nadi cepat), keringat dingin,
sesak nafas, cemas dan gelisah.
Penyebab serangan jantung dan kematian mendadak berawal dari
kerusakan endotel yang faktor risiko utamanya adalah karena merokok,
penyakit kencing manis (diabetes melitus), tekanan darah tinggi,
kolesterol tinggi (dislipidemia), keturunan (Siregar, Abdullah Afif., Lubis,
Ellya Nova. 2000).
2.2 Merokok
Ogawa (2006), mendefinisikan kebiasaan merokok sebagai perilaku
penggunaan tembakau yang menetap, biasanya lebih dari setengah bungkus
rokok per hari, dengan tambahan adanya distres yang disebabkan oleh
kebutuhan akan tembakau secara berulang-ulang. Kebiasaan merokok
menganggu kesehatan, kenyataan ini tidak bisa kita pungkiri. Banyak penyakit
telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Kebiasaan merokok bukan saja merugikan bagi perokok sendiri
tapi juga bagi orang disekitarnya. Kebiasaan merokok yang melanda dunia telah
menimbulkan berbagai masalah kesehatan.
Merokok sebagai ketagihan merupakan fakta yang telah diterima. Dalam
periode beberapa tahun saja, dengan merokok setiap hari seseorang itu akan
5
bergantung (dependent) kepada rokok secara fisik ataupun mental. Menurut
Piccittio, (1998) terdapat reseptor nikotin di bagian hipokampus otak yang
terlibat dengan pembelajaran dan ingatan, juga di bagian otak yang berperan
dalam emosi.
2.3 Kategori Perokok
2.3.1 Berdasarkan Keaktifannya
a. Perokok Aktif
Perokok pasif dalah asap rokok yang di hirup oleh seseorang
yang tidak merokok (Pasive Smoker). Asap rokok merupakan
polutan bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. Asap rokok lebih
berbahaya terhadap perokok pasif daripada perokok aktif. Asap
rokok sigaret kemungkinan besar berbahaya terhadap mereka yang
bukan perokok, terutama di tempat tertutup. Asap rokok yang
dihembusan oleh perokok aktif dan terhirup oleh perokok pasif,
lima kali lebih banyak mengandung karbon monoksida, empat kali
lebih banyak mengandung tar dan nikotin (Wardoyo, 1996:43).
b. Perokok Pasif
Perokok aktif adalah orang yang merokok dan langsung
menghisap rokok serta bisa mengakibatkan bahaya bagi kesehatan
diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Seorang perokok aktif hanya
akan menghisap 1/3 bagian saja, yaitu arus yang tengah atau mid-
stream, sedangkan arus pinggir (side - stream) akan tetap berada
diluar. Sesudah itu ia tidak akan menelan semua asap tetapi
disemburkan lagi keluar (Kusmana, 2009).
6
2.3.2 Berdasarkan Jumlah Rokok yang Dihisap
a. Perokok Ringan
Disebut perokok ringan apabila merokok kurang dari 10 batang
per hari.
b. Perokok Sedang
Disebut perokok sedang jika menghisap 10 – 20 batang per
hari.
c. Perokok Berat
Disebut perokok berat jika menghisap lebih dari 20 batang.
2.4 Bahan – Bahan yang Terkandung dalam Rokok
Tabel Bahan-bahan yang terkandung dalam rokok
Komponen asap rokok yang dihisap oleh perokok terdiri dari bagian gas
(85%) dan bagian partikel. Asap rokok terdiri dari 4000 bahan kimia dan 200
diantaranya bersifat racun antara lain Karbon Monoksida (CO) dan Polycylic
Aromatic hydrocarbon yang mngandung zat – zat pemicu terjadinya kanker
7
(seperti tar, byntopyrenes, vinylchlorida dan nitrosonornicotine) (Pdpersi,
2003).
Partikel yang dibebaskan selama merokok sebanyak 5 x 109 pp.
Komponen gas terdiri dari karbon monoksida, karbon dioksida, hidrogen
sianida, amoniak, oksida dari nitrogen dan senyawa hidrokarbon. Adapun
komponen partikel terdiri dari tar, nikotin, benzopiren, fenol, dan kadmium
(Sirait, 2001).
2.4.1 Nikotin
Komponen ini paling banyak dijumpai di dalam rokok, nikotin
bersifat toksik terhadap saraf dengan stimulasi atau depresi. Nikotin
merupakan aikaloid yang bersifat stimulan dan pada dosis tinggi
beracun. Zat ini hanya ada dalam tembakau, sangat aktif dan
mempengaruhi otak/susunan saraf. Dalam jangka panjang, nikotin
akan menekan kemampuan otak untuk mengalami kenikmatan,
sehingga perokok akan selalu membutuhkan kadar nikotin yang
semakin tinggi untuk mencapai tingkat kepuasan dan ketagihannya.
Sifat nikotin yang adiktif ini dibuktikan dengan jarang adanya jumlah
perokok yang ingin berhenti merokok dan jumlah yang berhasil
berhenti (Pdpersi, 2003).
Nikotin yaitu zat atau bahan senyawa porillidin yang terdapat
dalam Nicotoana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya
yang sintesisnya bersifat adiktif yang dapat mengakibatkan
ketergantungan. Nikotin ini dapat meracuni syaraf tubuh,
meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh perifer dan
menyebabkan ketagihan serta ketergantungan pada pemakainya.
Jumlah nikotin yang dihisap dipengaruhi oleh berbagai faktor kualitas
rokok, jumlah tembakau setiap batang rokok, dalamnya isapan ,
lamanya isapan, dan menggunakan filter rokok atau tidak.
8
Nikotin yang terkandung di dalam asap rokok antara 0.5 - 3 ng,
dan semuanya diserap, sehingga di dalam cairan darah atau plasma
antara 40 - 50 ng/ml. Efek nikotin menyebabkan perangsangan
terhadap hormon kathekolamin (adrenalin) yang bersifat memacu
jantung dan tekanan darah. Jantung tidak diberikan kesempatan
istirahat dan tekanan darah akan semakin meninggi, berakibat
timbulnya hipertensi. Efek lain merangsang berkelompoknya
trombosit (sel pembekuan darah), trombosit akan menggumpal dan
akhirnya akan menyumbat pembuluh darah yang sudah sempit akibat
asap yang mengandung CO yang berasal dari rokok (Kusmana, Dede.,
2009).
2.4.2 Karbon Monoksida
Karbon monoksida yang dihisap oleh perokok tidak akan
menyebabkan keracunan CO, sebab pengaruh CO yang dihirup oleh
perokok dengan sedikit demi sedikit, dengan lamban namun pasti
akan berpengaruh negatif pada jalan nafas.
Gas karbon monoksida bersifat toksis yang bertentangan
dengan oksigen dalam transpor maupun penggunaannya. Dalam
rokok terdapat CO sejumlah 2%- 6% pada saat merokok, sedangkan
CO yang dihisap oleh perokok paling rendah sejumlah 400 ppm (parts
per million) sudah dapat meningkatkan kadar karboksi haemoglobin
dalam darah sejumlah 2-16% (Mangku Sitepoe, 1997:21).
Gas CO mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin (Hb)
yang terdapat dalam sel darah merah (eritrosit) lebih kuat dibanding
oksigen, sehingga setiap ada asap rokok disamping kadar oksigen
udara yang sudah berkurang, ditambah lagi sel darah merah akan
semakin kekurangan oksigen, oleh karena yang diangkut adalah CO
dan bukan O2 (oksigen). Sel tubuh yang menderita kekurangan
9
oksigen akan berusaha meningkatkan yaitu melalui kompensasi
pembuluh darah dengan jalan menciut atau spasme. Bila proses
spasme berlangsung lama dan terus menerus maka pembuluh darah
akan mudah rusak dengan terjadinya proses aterosklerosis
(penyempitan). Penyempitan pembuluh darah akan terjadi dimana-
mana. Di otak, di jantung, di paru, di ginjal, di kaki, di saluran
peranakan, di ari-ari pada wanita hamil.
2.4.3 Tar
Tar merupakan bagian partikel rokok sesudah kandungan
nikotin dan uap air diasingkan, beberapa komponen zat kimianya
karsinogenik (pembentukan kanker).
Tar adalah senyawa polinuklin hidrokarbon aromatika yang bersifat
karsinogenik. Dengan adanya kandungan bahan kimia yang beracun
sebagian dapat merusak sel paru dan menyebabkan berbagai macam
penyakit. Selain itu tar dapat menempel pada jalan nafas sehingga
dapat menyebabkan kanker.
Tar merupakan kumpulan dari beribu-ribu bahan kimia dalam
komponen padat asap rokok. Pada saat dihisap, tar masuk ke rongga
mulut sebagai uap padat asap rokok. Setelah dingin akan menjadi
padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada permukaan
gigi, saluran pernafasan dan paru-paru. Pengendapan ini bervariasi
antara 3-40 mg per batang rokok, sementara kadar dalam rokok
berkisar 24-45 mg. Sedangkan bagi rokok yang menggunakan filter
dapat mengalami penurunan 5-15 mg. Walaupun rokok diberi filter,
efek karsinogenik tetap bisa masuk dalam paru-paru, ketika pada saat
merokok hirupannya dalam-dalam, menghisap berkali-kali dan jumlah
rokok yang digunakan bertambah banyak (Mangku Sitepoe, 1997: 25).
10
2.4.4 Timah Hitam (Pb)
Timah Hitam (Pb) yang dihasilkan sebatang rokok sebanyak
0,5 mikrogram. Sebungkus rokok (isi 20 batang) yang habis dihisap
dalam satu hari menghasilkan 10 mikro gram. Sementara ambang
batas timah hitam yang masuk ke dalam tubuh antara 20 mikro gram
per hari. Bisa dibayangkan bila seorang perokok berat menghisap
rata-rata 2 bungkus rokok perhari, berapa banyak zat berbahaya ini
masuk ke dalam tubuh (Sitepoe, 1997).
11
BAB IIIMETODOLOGI PENULISAN
3.1 Prosedur Pengumpulan Sumber Pustaka
Penulisan ini bersifat deskriptif dan agar penulisan makalah ini lebih
akurat, maka penulis mencari sumber pustaka dari berbagai literatur yang
relevan dengan masalah yang dipilih untuk digunakan sebagai referensi.
Referensi yang digunakan terutama adalah jurnal ilmiah, makalah-makalah,
artikel-artikel yang dimuat di koran dan internet, serta buku-buku yang sesuai
dengan masalah penulisan.
3.2 Analisis Sumber Pustaka
Setelah mencari, mengkaji dan menelaah berbagai data, informasi dan
sumber pustaka yang ada, penulis melakukan analisa terhadap konsep dan hal-
hal yang terkait dengan perumusan masalah. Setelah melakukan analisa dan
sintesis terhadap fakta-fakta yang ada, maka penulis kemudian menarik simpulan
yang akan menjawab perumusan masalah tersebut.
12
BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS
Epidemiologi penyakit terus berubah tergantung pada ruang dan waktu.
Abad sebelum ditemukan antibiotik, penyakit yang sering menyebabkan
kematian adalah penyakit menular, tetapi waktu terus berjalan, gaya hidup
demikian juga berubah drastis sehingga memiliki pengaruh terhadap prevalensi
atau insiden terjadinya suatu penyakit tertentu. Penyakit jantung juga demikian
terus mengalami perubahan epidemiologi, Berbagai penyakit jantung yang dapat
kita temukan saat ini. Penyakit jantung koroner adalah salah satu penyakit
jantung yang paling ditakuti oleh setiap lapisan masyarakat di dunia saat ini. PJK
identik dengan penyakit orang tua karena yang sering menderita PJK adalah
orang berusia lanjut tetapi saat ini PJK sudah merambah dalam usia muda
sehingga seiring dengan perkembangan zaman, prevalensinya terus meningkat.
PJK sangat dipengaruhi berbagai faktor resiko walaupun faktor
penyebabnya hingga saat ini belum dapat teridentifikasi. Faktor resiko tersebut
yaitu, genetik, pola hidup, hipertensi, usia, jenis kelamin laki-laki, dan
sebagainya. Walaupun pola hidup faktor resiko yang dapat diubah, tetapi pola
hidup berpengaruh besar dalam perkembangan penyakit PJK. Salah satu pola
hidup tersebut ialah kebiasaan merokok. Produksi rokok semakin bertambah
setiap tahunnya. Hal ini disebabkan karena peningkatan jumlah konsumen rokok.
Di lingkungan sekitar yang tidak jauh misal di rumah, di jalan, di sekolah, atau
dimanapun tempat di belahan dunia dapat disaksikan orang yang sedang
merokok. Kenikmatan yang kita saksikan tampaknya tidak aka nada habisnya.
Padahal disetiap iklan rokok dapat telah dicantumkan bahwa rokok sangat
berbahaya bagi kesehatan. Konsumen rokok tidak hanya dikalangan dewasa
tetapi remaja juga termasuk, hingga saat ini kita lihat di televisi bahwa balitapun
sudah ada yang merokok. Tidak mengherankan bila PJK dan penyakit lain yang
13
memiliki faktor resiko jumlahnya semakin meningkat dan juga terjadi perubahan
dimensi usia penderita penyakit tersebut.
4.1 Pengaruh Merokok Terhadap Arterosklerosis dan Penyakit Jantung LainnyaKonsumsi rokok sangat meningkat terutama di negara-negara dengan
pendapatan rendah. Akibatnya beban penyakit dan kematian yang berhubungan
dengan kebiasaan merokok meningkat di negara berkembang, termasuk di
Indonesia. Penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan merokok antara lain
kanker, kardiovaskular, gangguan pernafasan, gangguan reproduksi dan
beberapa jenis penyakit lain.
Kebiasaan merokok menganggu kesehatan, kenyataan ini tidak bisa kita
pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Kebiasaan merokok bukan saja
merugikan bagi perokok sendiri tapi juga bagi orang disekitarnya. Kebiasaan
merokok yang melanda dunia telah menimbulkan berbagai masalah kesehatan.
Beberapa bahaya merokok bagi kesehatan manusia antara lain:
1) Penyakit Jantung
2) Kanker Paru-Paru
3) Lelah
4) Lumpuh/Angin
Ahmar
5) Berkurangnya
kecergasan dan
keceriaan
6) Kurang nafsu seks
7) Cepat nampak tua
8) Kulit muka
berkedut
9) Gigi berwarna
kuning dan
berkarat
10) Badan dan baju
berbau
14
Pengaruh merokok bagi perokok pasif:
Wanita:
Melahirkan bayi yang kurang berat badan dan tidak cukup
bulan
Putus haid awal
Lebih mudah terpajan kanker (kanker leher rahim)
Mengurangkan kesuburan
Anak-anak:
Lebih mudah mendapat lelah (Asma)
Mendapat jangkitan paru-paru
Anak-anak akan meniru dan menjadi perokok.
Kanker, penyakit kardiovaskuler, penyakit paru merupakan dampak
utama dari konsumsi rokok baik bagi si perokok dan perokok pasifnya. Hal
tersebut disebabkan adanya faktor resiko lain yang sangat mendukung
meningkat dan timbulnya penyakit-penyakit tersebut seperti diit tinggi kolesterol
dan kurangnya aktivitas terutama pada masyarakat yang tinggal diperkotaan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lingkungan asap rokok
adalah penyebab berbagai penyakit, dan juga dapat mengenai orang sehat yang
bukan perokok. Paparan asap rokok yang dialami terus-menerus pada orang
dewasa yang sehat dapat menambah resiko terkena penyakit paru-paru dan
penyakit jantung sebesar 20 - 30 persen. Aterosklerosis adalah suatu keadaan
dimana terdapat arteri besar dan kecil yang ditandai oleh endapan lemak,
trombosit, makrofag dan leukosit di seluruh lapisan tunika intima dan akhirnya
ke tunika media. Penumpukan plak-plak dalam dinding pembuluh darah koroner,
pada akhirnya akan mengakibatkan sumbatan aliran darah. Banyak hal yang
menyebabkan terjadinya arterosklerosis salah satunya adalah merokok (Susanna,
Hartono, Fauzan, 2003). Merokok merupakan faktor predisposisi bagi beberapa
individu dengan sindrom klinis aterosklerosis yang berbeda termasuk angina
stabil, sindrom akut koronari, kematian mendadak, dan stroke. Aterosklerosis
aorta dan peripheral juga meningkat, menyebabkan “intermittent claudication”
dan aneurisma aorta abdominal. (Ambrose, 2004)
Kadar nikotin yang diukur adalah kadar nikotin dalam asap arus utama
(asap yang dihisap langsung oleh perokok) dan asap rokok arus samping (asap
rokok yang dilepaskan ke lingkungan). Asap rokok arus samping mengandung
nikotin lebih banyak dari pada dalam arus utama. Dengan kata lain bahwa kadar
nikotin yang dilepaskan ke lingkungan lebih banyak dari pada nikotin yang
dihisap oleh perokok. Perbandingan jumlah nikotin dalam asap arus samping
lebih banyak 4 – 6 kali dari pada yang terdapat dalam asap arus utama.
Perbedaan ini selain dikarenakan perbedaan dalam pembentukannya, juga
disebabkan karena asap rokok arus samping terus menerus dihasilkan selama
rokok menyala walaupun tidak sedang dihisap. Dengan demikian merokok tidak
saja membahayakan bagi si perokok saja (perokok aktif), tetapi juga bagi orang di
sekitarnya (perokok pasif). Perbedaan nikotin dalam berbagai merk rokok
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis dan campuran tembakau yang
digunakan, jumlah tembakau dalam tiap batang rokok, senyawa tambahan yang
digunakan untuk meningkatkan aroma dan rasa, serta ada-tidaknya filter dalam
tiap batang rokok. Bila diasumsikan bahwa rata-rata orang merokok per hari 10
batang, dan diasumsikan semua nikotin yang terdapat dalam asap rokok terserap
seutuhnya ke dalam tubuh, maka jumlah nikotin yang masuk ke dalam tubuh per
hari dapat dihitung. Meskipun dosis yang dihisap per harinya masih di bawah
dosis toksik (0,5–1,0 mg/kg BB atau sekitar 30 –60 mg), bila ini berlangsung
dalam waktu yang lama maka akan dapat mengakibatkan gangguan kesehatan
(Susanna, Hartono, Fauzan, 2003).
Pada dasarnya toksisitas suatu zat ditentukan oleh besarnya paparan
(dosis), dan lamanya pemaparan. Gas CO dalam tubuh akan mempengaruhi
kadar oksigen dalam darah yang menyebabkan terjadinya penurunan dan
meningkatkan terjadinya iskemia Kebutuhan oksigen yang melebihi kapasitas
suplai oksigen oleh pembuluh darah yang mengalami gangguan menyebabkan
terjadinya iskemia miokardium lokal. Iskemi yang bersifat sementara akan
menyebabkan perubahan reversible pada tingkat sel dan jaringan, dan menekan
fungsi miokardium. Berkurangnya kadar oksigen mendorong miokardium untuk
mengubah metabolisme aerob menjadi metabolisme anaerob. Efeknya dapat
terjadi hipoksia dan asidosis yang cepat dan mengakibatnya berkurangnya
kontraksi, dan menyebabkan perubahan hemodinamika. Perubahan ini dapat
mneyebabkan berkurangnya curah jantung. Berkurangnya pengosongan
ventrikel akibat berkurangnya pasokan oksigen akan mengakibatkan besarnya
volume ventrikel kiri dan tekanan baji dalam kapiler paru2 akan meningkat. Hal
ini dapat menyebabkan terjadinya angina pektoralis. Dan efek yang lainnya dapat
berupa spasme kemudian peningkatan fibrinogen, agregasi platelet dan lipid.
Merokok juga ditemukan sebagai indikator bebas dari pembentukan lesi
koronaria baru dalam Canadian Coronary Atherosklerosis Intervention.
Disfungsi vasomotor, inflamasi, dan modifikasi lipid adalah kesatuan komponen
dari permulaan dan progresivitas aterosklerosis. Komponen-komponen ini
mendahului gambaran struktural dan manifestasi klinikopatologis dari
aterosklerosis. (Ambrose, 2004)
Disfungsi vasomotor
Kerusakan fungsi vasodilatorik adalah salah satu manifestasi terawal dari
perubahan aterosklerotik di pembuluh darah. Pada percobaan hewan dan
manusia, beberapa penelitian menunjukkan bahwa perokok aktif dan pasif
memperlihatkan penurunan fungsi vasodilatorik. Pada manusia, terjadi
kerusakan pada endothelium-dependent vasodilation (EDV) di bantalan
makrovaskuler seperti arteri koronaria dan arteri brakialis dan di bantalan
mikrovaskular pada perokok pasif. Nitrit oksida (NO), sebuah radikal bebas,
berperan utama dalam fungsi vasodilatorik endothelium. Menggunakan
ekstrak asap rokok (CSE) atau komponen yang diisolasi seperti nikotin,
penelitian in-vitro multipel menemukan bahwa paparan asap rokok
berhubungan dengan penurunan ketersediaan NO.
Karena terdapat berbagai macam komponen yang diketahui dan tidak
diketahui dari asap rokok yang mana nasib metabolisme tubuh manusia tidak
diketahui, sebuah model in vitro yang sesuai bagi orang yang terekspos rokok .
Menggunakan model in – vitro dari sisa paparan asap rokok, Barua et al.
mendemonstrasikan bahwa pajanan dari serum perokok menurunkan
ketersediaan NO dari sel-sel endothelial vena umbilicus manusia / human
umbilical vein endothelial cells (HUVECs) dan sel-sel endothelial arteri
koronaria manusia dengan mengubah ekspresi dan aktivitas dari enzim
endothelial NO synthase. Sebuah hubungan yang signifikan diantara EDV arteri
brakial termediasi lambat dan ketersediaan NO dari kultur HUVECs yang
terekspos serum dari individu yang sama. Dengan cara yang sama, penelitian
lain yang menggunakan sebuah infusi in vivo L-NMMA secara tidak langsung
mendemonstrasikan pengurangan EDV yang berhubungan dengan merokok
dapat disebabkan oleh ketersediaan NO. Tidak hanya NO sebagai molekul
vasoregulator, hal itu juga memicu regulasi inflamasi, adhesi leukosit, aktivasi
platelet, dan thrombosis. Oleh sebab itu, perubahan dalam biosintesis NO
mungkin mempunyai efek primer dan sekunder dalam inisiasi dan
progresivitas dari aterosklerosis dan thrombosis. (Ambrose, 2004)
Inflamasi
Respons inflamasi adalah komponen yang penting dalam permulaan dan
perkembangan dari aterosklerosis. Beberapa penelitian telah mengindikasikan
bahwa asap rokok menyebabkan kenaikan sekitar 20% -25% jumlah leukosit
perifer. Secara in vivo, asap rokok juga berhubungan dengan peningkatan
tingkat marker multipel inflamasi termasuk protein C-reaktif, interleukin -6,
dan tumor nekrosis faktor alpha pada kedua perokok pria dan wanita.
Rekruitmen lokal dari leukosit pada permukaan sel-sel endotel adalah kejadian
awal dari aterosklerosis. Elevasi dari sitokin proinflamasi yang berbagai macam
meningkatkan interaksi sel-sel leukositoendotelial menyebabkan rekruitmen
leukosit. Tentu saja, VCAM-1 larut, ICAM-1, tingkat E-selectin lebih tinggi pada
perokok. Merokok juga menyebabkan aktivasi dari molekul proaterogenik yang
menyebabkan perubahan dari interaksi sel-sel. Pejanan ekstrak rokok
berhubungan dengan peningkatan sebesar 70%-90% pelekatan diantara
monosit dan HUVECs yang dikulturkan dapat dianggap disebabkan oleh
peningkatan ekspresi dari molekul adhesi pada permukaan monosit dan
HUVECs itu sendiri. Pajanan terhadap ekstrak asap rokok (CSE) meningkatkan
migrasi transendotelial monocyte-like cells sekitar 200% melewati sebuah
lapisan HUVEC. Monosit yang diisolasi dari perokok menunjukkan peningkatan
dari integrin CD 11b/CD 18, yang memekatkan perlekatan dari monosit ke
HUVECs pada kultur. (Ambrose, 2004)
Modifikasi profil lipid
Merokok dapat menyebabkan aterosklerosis, dalam hal efeknya terhadap
profil lipid. Perokok memiliki serum kolesterol, trigliserida, dan level dari
lipoprotein densitas rendah (LDL) yang lebih tinggi secara signifikan tetapi
lipoprotein densitas tinggi (HDL) lebih rendah dari yang bukan perokok.
Mekanisme pastinya tidak begitu jelas digambarkan, dan hubungan antara
perbedaan konsuksi makanan pada perokok dan bukan perokok tidak
diketahui. Abnormalitas dari trigliserida / HDL baru-baru ini dianggap
berhubungan dengan resistensi insulin. Faktanya, resistensi insulin diusulkan
sebagai hubungan kunci antara asap rokok dan penyakit jantung.
Merokok juga meningkatkan modifikasi oksidatif LDL. Produk sirkulasi dari
lipid peroksidasi dan titer autoantibody menjadi LDL yang teroksidasi secara
signifikan meningkat pada perokok Pada tahun 1988, Yakode et al. melaporkan
bahwa pajanan CSE menyebabkan sebuah modifikasi LDL, yang secara aktif
diambil oleh makrofag untuk membentuk sel busa/ foam cells pada kultur. Frei
et al mengamati bahwa pajanan plasma manusia dengan fase gas dari asap
rokok menyebabkan modifikasi oksidatif dari plasma LDL. Lebih lanjut, isolasi
HUVECs dari perokok secara signifikan meningkatkan modifikasi oksidatif LDL
jika dibandingkan dengan isolasi HUVECs dari bukan perokok. Baru-baru ini,
dengan menggunakan sampel kelinci yang hiperlipidemia, penyuntikan dari
cigarette smoke extract (CSE) mempercepat aterosklerosis lewat modifikasi
oksidatif dari LDL. (Ambrose, 2004)
Genetik
Baru-baru ini, predisposisi genetik telah ditemukan mempengaruhi
perkembangan aterogenesis terhadap individu yang terpajan asap rokok.
Variabilitas antar subjek dalam proses aterosklerosis pada perokok mungkin
secara parsial dimediasi oleh varian genetik. Baik CYP1A1 MSP polimorfisme
atau polimorfisme endothelial NO syntase intron 4 tertentu meningkatkan
kepekaan pajanan asap rokok yang berhubungan dengan penyakit
aterosklerosis termasuk Coronary Artery disease (CAD) dan Myocardial
Infarction (MI).
Bagaimanapun juga, sekarang ini, kepentingan dari varian genetik ini tidak
diketahui, karena prevalensinya terhadap keseluruhan varian genetik dari
perokok tidak dapat ditentukan. (Ambrose, 2004)
Studi lain menunjukkan bahwa konsentrasi adiponectin pada plasma
dihubungkan dengan status merokok pasien dengan penyakit jantung koroner
tanpa melihat BMI dan HOMA-IR. Satu mekanisme yang memungkinkan pada
merokok dapat menyebabkan menurunnya konsentrasi sirkulasi adiponectin
adalah melalui meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatik secara sekunder
akibat efek dari nikotin yang mengaktivasi saraf simpatis post ganglion. Faktanya,
dilaporkan bahwa agonis adrenergic atau analog cyclic AMP menghambat gen
pengekspresi adiponectin. Mekanisme lain yang tidak langsung, kemungkinan
konsumsi adiponectin terikat pada beberapa molekul pada pembuluh darah yang
rusak karena merokok atau komponen pada rokok. Adiponectin telah dilaporkan
memiliki kemampuan terikat pada kolagen I, III dan V yang sangat banyak
terdapat pada tunika intima pembuluh darah. Selain itu, penurunan adiponectin
yang disebabkan oleh merokok memegang peranan penting pada patofisiologi
dari aterosklerosis pembuluh darah koroner (Miyazaki, 2003).
4.2 Pathogenesis Aterosklerosis dan Hipotesis Lemak
Aterosklerosis adalah suatu bentuk ateriosklerosis yang terutama
mengenai lapisan intima dan umumnya terjadi di arteri muskuler ukuran besar
dan sedang serta merupakan kelainan yang mendasari penyakit jantung iskemik.
Lesi aterosklerosis diklasifikaiskan alas 3 tahap secara morfologik: bercak
perlemakan, plak fibrosa, dan lesi terkomplikasi. Sebelum terjadinya bercak
perlemakan sudah ada gel-gel busa. Bercak perlemakan sudah bisa ditemukan
pada usia 10 tahun dan meningkat kekerapannya pada usia 30 tahun. Flak fibrosa
adalah bentuk lesi yang khas untuk aterosklerosis yang sudah berkembang. Lesi
terkomplikasi adalah plak fibrosa yang sudah mengalami perubahan oleh
peningkatan nekrosis sel, perdarahan, deposit kalsium atau diquamasi
permukaan endotel diatasnya dan pembentukan trombus. Lesi terkomplikasi
dapat mengakibatkan gangguan aliran di lumen pembuluh darah.
Faktor yang bertanggung jawab atas penumpukan lipid pada dinding
pembuluh darah dan beberapa tiorial :
1. Adanya defek pada fungsi reseptor LDL di membran gel
2. Gangguan transpor lipoprotein transeluler (endositotoktik)
3. Gangguan degrasi oleh lisosom lipoprotein
4. Perubahan permeabilitas endotel
Tahap awal yang penting pada aterogenesis adalah adanya partikel LDL
yang ada dalam sirkulasi terjebak di dalam intima. LDL ini mengalami oksidasi
atau perubahan lain dan kemudian dipindahkan oleh reseptor "Scavenger"
khusus pada makrofag dan gel -gel mural yang lain. Tidak ada pengendalian
umpan balik atas pembentukan reseptor-reseptor ini, dan ester-ester kolesterol
kemudian berakumulasi didalam gel sehingga membentuk gel busa. Set gel busa
membentuk bercak perlemakan yang bisa menyebabkan disrubsi pada
endotelium. Akhirnya faktor pertumbuhan mengakibatkan proliferasi gel dan
akhirnya lesi aterosklerosis yang lanjut. Hubungan antara Hipotesis infiltrasi lipid
dengan luka endotel pada perkembangan aterosklerosis ada pada diagram ini
(Anwar, 2004)
Aterosklerosis berat dan kronik yang menyebabkan penyempitan lumen satu
atau lebih arteri koronaria merupakan gangguan yang menyebabkan penyakit
jantung iskemia atau penyakit jantung koroner. Bila terjadi penyempitan
aterosklerosis sebesar 75% atau lebih pada satu lebih arteri koronaria besar,
setiap peningkatan aliran darah koroner besar, setiap peningkatan aliran darah
koroner yang mungkin terjadi akibat vasodilatasi koroner kompensatorik akan
kurang memadai untuk memenuhi peningkatan kebutuhan ( yang moderat
sekalipun) oksigen miokardium sehingga timbul angina pectoris klasik. Namun
omsen gejala dan prognosis penyakit jantung iskemia bergantung tidak saja pada
luas dan keparahan kelainan anatomik kronis tetap ini, tetapi juga pada
perubahan dinamik dalam morfologi plak koroner. Perubahan tersebut
mencakup:
a. Perubahan plak akut,
b. Trombosis arteri koronaria,
c. Vasospasme arteri koronaria (Kumar, Cotran & Robbins, 2007).
4.3 Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner
4.3.1 Terapi Farmakologi
a. Terapi Anti-Iskemik
Tujuan terapi adalah untuk mengurangi iskemia dan
mencegah terjadinya kemungkinan yang lebih buruk, seperti infark
miokard atau kematian. Pada keadaan ini, obat-obat anti iskemik
mulai diberikan bersamaan sambil merencanakan strategi
pengobatan difinitif (Direktorat Bina Farmasi dan Komunitas Klinik.
2006).
b. Nitrat
Nitrat mengurangi kebutuhan oksigen dan menigkatkan suplai
oksigen. Nitrat mempunyai efek anti-iskemik melalui berbagai
mekanisme :
1. Menurut kebutuhan oksigen miokard karena penurunan
preload dan afterload,
2. Efek vasodilatasi sedang,
3. Meningkatkan aliran darah kolateral,
4. Menurunkan kecendrungan vasospasme, serta
5. Potensial dapat menghambat agregasi trombosit.
c. Β-Blocker
Penyekat-β secara kompetitif menghambat efek katekolamin
pada reseptor beta. Penyekat beta mengurangi konsumsi oksigen
miokard melalui pengurangan kontraktilitas miokard, denyut
jantung (laju sinus), konduksi AV dan tekanan darah sistolik. Bila
tidak ada kontraindikasi, pemberian penyekat beta harus dimulai
segera. Penyekat beta tanpa aktivitas simpatomimetik lebih
disukai, seperti metoprolol, atenolol, esmolol atau bisoprolol.
Kontraindikasi penyekat beta adalah blok AV derajat 2 atau 3,
asma, gagal jantung yang dalam keadaan dekompensasi dan
penyakit arteri perifer yang berat.
d. Morfin
Morfin adalah analgetik dan anxiolitik poten yang mempunyai
efek hemodinamik. Diperlukan monitoring tekanan darah yang
seksama. Obat ini direkomendasikan pada pasien dengan keluhan
menetap atau berulang setelah pemberian terapi anti-iskemik.
4.3.2. Obat Antitrombotik Oral
Terapi antitrombotik merupakan terapi yang penting untuk
memodifikasi proses dan progresifitas dari penyakit. (Direktorat
Bina Farmasi dan Komunitas Klinik. 2006)
a. Obat Penghambat Siklo-Oksigenase (COX)
Aspirin/Asam Asetil Salisilat (ASA)
Aspirin bekerja dengan cara menekan pembentukan
tromboksan A2 dengan cara menghambat siklooksigenase di
dalam platelet (trombosit) melalui asetilasi yang ireversibel.
Kejadian ini menghambat agregasi trombosit melalui jalur
tersebut dan bukan yang lainnya. Sebagian dari keuntungan ASA
dapat terjadi karena kemampuan anti inflamasinya, yang dapat
mengurangi ruptur plak.
Antagonis Reseptor Adenosin Diphospat
Obat ini bekerja berbeda dari jalur ASA-tromboksan A2
dengan menghambat adenosin diphospat (ADP), menghasilkan
penghambatan agregasi trombosit. Ticlopidin dan Klopidogrel dua
obat dari jenis Thienopyridines telah diakui dan disetujui sebagai
antitrombotik oral.
4.3.3 Obat antitrombotik lainnya
Sulfinpyrazon, dipiridamol, prostacylin, analog prostacyclin dan
antagonis GP IIb/IIIa oral belum jelas keuntungannya pada APTS/NSTEMI,
karena itu tidak direkomendasikan.
a. Terapi Antikoagulan
Unftactionated Heparin
Unftactionated Heparin (selanjutnya disingkat sebagai
UFH) merupakan glikosaminoglikan yang terbentuk dari rantai
polisakarida dengan berat molekul antara 3000-30.000. rantai
polisakarida ini akan mengikat antitrombin III dan mempercepat
proses hambatan antitrombin II terhadap trombin dan faktor Xa.
UFH diberikan untuk mencapai nilai APTT 1.5 sampai 2.5 kali
kontrol. Walaupun UFH banyak dipakai untuk pengobatan SKA
terdapat variabilitas besar dalam efek terapeutiknya (dose-
response curve). Hal ini disebabkan karena UFH juga mengikat
protein plasma lain selain antitrombin. UFH tak berefek terhadap
trombin yang sudah terikat dengan bekuan darah dan UFH sensitif
terhadap faktor 4 trombosit (platelet faktor 4). Kesemuanya ini
menurunkan efek antibiotik UFH. Selain itu UFH dapat pula
menyebabkan indiosinkrasi dan trombositopenia (Direktorat Bina
Farmasi dan Komunitas Klinik. 2006).
b. Heparin dengan berat molekul rendah (LMWH)
Berbeda dengan UFH, LMWH mempunyai efek
farmakokinetik yang lebih dapat diramalkan, bioavaliabilitasnya
lebih baik, waktu paruhnya lebih lama, serta pemberian lebih
mudah.
c. Antitrombin Direk
Berbeda dengan obat antitrombin indirek (seperti UFH
atau LMWH) yang bekerja dengan cara menghambat faktor IIa dan
faktor Xa, antitrombin direk langsung menghambat pembentukan
trombin tanpa berpengaruh terhadap aktivitas antitrombin III dan
terutama menekan aktivitas trombin.Termasuk dalam golongan ini
misalnya hirudin, hirulog, argatroban, efegatran dan inogatran.
d. Antikoagulan Oral
Terapi antikoagulan oral monoterapi (misalnya warfarin)
pasca-infark jantung paling tidak sama efektifnya dengan aspirin
dalam mencegah serangan infark jantung berulang dan kematian.
Akan tetapi apakah kombinasi warfarin dan aspirin dapat
memperbaiki prognosis pada SKA masih belum jelas.
e. Terapi Inhibitor Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa
Reseptor glikoprotein (GP) IIb/IIIa adalah reseptor penting
pada proses akhir agregasi trombosit, yang akan berikatan dengan
fibrinogen plasma atau faktor Von Willebrand. Ikatan ini akan
menjadi “jembatan“ antar trombosit yang berdekatan untuk saling
berikatan, dan seterusnya berikatan satu sama lain sedemikian
rupa sehingga akhirnya terbentuk “sumbat“ hemostatik.
Trombosis dapat dihambat secara efektif dengan penghambatan
reseptor ini. Penghambatan “jalur akhir“ agregasi trombosit oleh
glikoprotein IIb/IIIa ini terbukti menurunkan morbiditas dan
mortalitas pasien dengan APTS/NSTEMI. Reseptor glikoprotein
IIb/IIIa yang diaktivasi akan berikatan dengan fibrinogen dan
membentuk rantai dengan trombosit yang diaktivitasi dan dengan
demikian terjadilah trombus. Jadi berbeda dengan obat anti-
trombosit lain yang hanya bekerja pada sebagian dari berbagai
tahapan terjadinya agregasi trombosit, inhibitor glikoprotein
IIb/IIIa bekerja pada tahapan akhir adhesi, aktivitas, dan agregasi
trombosit. Tiga kelompok terpenting obat golongan ini adalah
murinehuman chimeric antibiodies (misalnya abxicimab), peptida
sintetik (misalnya eptifibatide), dan nonpeptida sintetik (misalnya
trifiban dan lamifiban).
4.3.4 Terapi Jangka Panjang
a. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (ACE-I)
Angiotensin bekerja sebagai hormon sistemik, hormon
lokal jaringan, dan sebagai neurohormonal susunan saraf pusat.
Penghambat ACE (ACE-I) bekerja dengan cara menghambat enzym
ACE secara kompetitif melalui ikatan pada active catalytic enzym
tersebut, dengan demikian akan terjadi hambatan perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II. Hambatan tersebut selain
terjadi pada sirkulasi sistemik juga terjadi pada ACE jaringan yang
dihasilkan oleh selsel endotel jantung, ginjal, otak dan kelenjar
adrenal. Penghambat ACE juga berperan dalam menghambat
degradasi bradikinin, yang merupakan vasodilator. Secara garis
besar obat penghambat ACE mempunyai efek kardioprotektif dan
vaskuloprotektif terhadap Jantung dan Vaskular. Pada jantung
ACE-I efeknya dapat menurunkan afterload dan preload,
menurunkan massa ventrikel kiri, menurunkan stimulasi simpatis,
serta menyeimbangkan kebutuhan dan suplai oksigen. Pada
vaskular ACE-I dapat berefek antihipertensi, memperbaiki dan
kelenturan arterial, memperbaiki fungsi endotel, antitrombogenik
langsung, antimigrasi dan antiproliferatif terhadap sel otot polos,
neutrophil dan sel mononuclear, antitrombosit, dan meningkatkan
fibrinolisis endogen. (Direktorat Bina Farmasi dan Komunitas
Klinik. 2006)
b. Statin
Statin telah menujukkan efek yang menguntungkan pada
pasien-pasien dengan APTS/NSTEMI, terutama terhadap kadar
lipid serum. Sebaiknya statin diberikan segera setelah onset
APTS/NSTEMI. Saat ini obat golongan ini mengalami kemajuan
yang sangat menakjubkan dalam terapi hipolipidemia dalam
mengurangi kejadian kardiovaskular, karena relatif efektif dan
sedikit efek samping serta merupakan obat pilihan pertama.
4.3.5 Terapi Non-Farmakologi
a. Tindakan Revaskularisasi
Termasuk di sini yaitu operasi pintas koroner (coronary
artery bypass grafting, CABG) dan PCI (angioplasti koroner atau
percutaneous transluminal coronary angioplasty / PTCA) dan
tindakan terkait seperti misalnya pemasangan stent, aterektomi
rotablasi, dan aterektomi direksional) Pada era sebelum
diperkenalkan penggunaan stent dan antagonis glikoprotein
IIb/IIIa, CABG disarankan pada pasien dengan anatomi koroner
berisiko tinggi, seperti obstruksi ≥ 50% pembuluh kiri atau
penyakit 3-pembuluh (triple vessel disease) terutama bila fraksi
ejeksi rendah (< 50%) atau ditemui diabetes mellitus. Pada pasien
dengan penyakit 2-pembuluh (double vessel disease) atau penyakit
3- pembuluh di mana kelainannya masih baik untuk PCI maka
tindakan CABG atau PCI harus dipertimbangkan secara individual.
(Direktorat Bina Farmasi dan Komunitas Klinik. 2006)
4.3.6 Rehabilitasi medik
Bagi penderita yang sedang mengalami serangan jantung
tindakan yang dilakukan memang bersifat darurat dan dikerjakan
dengan cepat. Seperti melakukan rangsangan menggunakan listrik
bertegangan tinggi ketika jantung berhenti berdenyut. Pada
kondisi penanganan jantung seperti ini, tindakan yang cepat
merupakan prioritas utama. Pasien yang mengalami serangan
jantung dan pasca operasi pada umumnya mengalami gangguan
pada fungsi-fungsi organ tubuhnya. Karena itu untuk
meningkatkan kemampuan organ itu paling tidak mendekati
kondisi semula dilakukan rehabilitasi medik dengan maksud untuk
mengoptimalkan fisik, fisiologi dan sosial pada pasien-pasien yang
sebelumnya menderita kejadian kardiovaskular. (Direktorat Bina
Farmasi dan Komunitas Klinik. 2006)
Di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan
Kita dilaksanakan rehabilitasi medis dengan konsep terpadu. Jenis
pelayanan rehabilitasi mencakup:
1. Tes evaluasi, dengan treadmill atau Esrocycle test
2. Pelaksanaan fisioterapi
3. Pelaksanaan monitoring telemetri
4. Program Rehabilitasi Fase II dan III
5. Rehabilitasi Pasca MCI atau Pasca Operasi di ruang rawat
6. Treadmill analyser/Ergocycle analyzer
7. Holter
8. Lead Potensial
9. Vektor (Direktorat Bina Farmasi dan Komunitas Klinik. 2006)
4.3.7 Modifikasi faktor risiko
a. Berhenti merokok
Pasien yang berhenti merokok akan menurunkan angka kematian
dan infark dalam 1 tahun pertama.
• Berat badan
Untuk mencapai dan /atau mempertahankan berat badan
optimal.
• Latihan
melakukan aktivitas sedang selama 30-60 menit 3-4x/minggu
(jalan, bersepeda, berenang atau aktivitas aerobic yang sesuai)
• Diet mengkonsumsi makanan dengan kadar kolesterol rendah
atau lemak dengan saturasi rendah
• Kolesterol mengkonsumsi obat-obatan penurun kolesterol. Target
primer kolesterol LDL < 100mg/dl.
• Hipertensi target tekanan darah <130/80 mmHg.
• DM kontrol optimal hiperglikemia pada DM (Direktorat Bina
Farmasi dan Komunitas Klinik. 2006)
4.4 Komplikasi
Penyakit Jantung Koroner dapat menyebabkan terjadinya iskemi yang jika
dibiarkan akan berubah menjadi infark. Komplikasi iskemia dan infark antara
lain gagal jantung kongestif, syok kardiogenik, disfungsi otot papilaris defek
septum ventrikel, rupture jantung perdarahan masif di kantong (dinding
nekrotik yang tipis pecah tamponade jantung), aneurisme ventrikel,
tromboembolisme,pericardium perikarditis, Sindrom Dressler, dan aritmia.
(Sarumpaet, 2009)
4.5 Prognosis
Beberapa penyakit seperti Diabetes Melitus memperburuk prognosis
Penyakit Jantung Koroner. Angka kematian PJK akibatnya dapat meningkat
sampai 70%. (Sarumpaet, 2009)
Bahaya rokok sangat mencengkam jantung yang sehat maka perlu
dilakukan upaya promotif dalam pengkonsumsian merokok. Untuk melakukan
upaya tersebut senantiasa dibutuhkan media agar informasi-informasi kesehatan
mengenai bahaya merokok terhadap jantung khususnya dalam mencetuskan PJK.
Media yang mudah disebarluarkan yaitu berupa iklan dalam bentuk lembaran.
Lembaran tersebut dapat dijadikan poster yang dapat membangkitkan gairah
berhenti merokok. lembaran tersebut telah dilampirkan dalam makalah ini.
Adanya lembaran atau pamflet tersebut tujuan penulisan ini dapat tercapai.
BAB V
PENUTUP
4.1 Simpulan
Merokok merupakan kebiasaan yang berbahaya bagi kesehatan,
terutama organ vital seperti jantung. Perokok pasif memiliki resiko lebih besar
untuk mendapatkan dampak negative dari merokok dari pada perokok aktif.
4.2 Saran
Kebiasaan merokok harus dihentikan sejak dini, terutama di lingkup
keluarga. Diharapkan pemerintah lebih tegas dalam menangani produksi rokok
dalam negeri. Diperlukan juga edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya
merokok. Baik upaya preventif dan rehabilitatif diperlukan untuk menangani
para perokok yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Ambrose, A., dkk. 2004. The Pathophysiology of Cigarette smoking and Cardiovascular Disease: An Update. Journal of the American College of Cardiology vaol 43 No. 10.
Anonim. 2005. Modul Berhenti Merokok. Bagian Promosi Kesehatan Kementrian Kesehatan Malaysia.
Anonim. 2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Direktorat Bina Farmasi dan Komunitas Klinik
Anonim. 2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Direktorat Bina Farmasi dan Komunitas Klinik
Anwar, Djohan T Bahri. 2004. Penyakit Jantung Koroner Dan Hypertensi. Medan: FK USU.
Anwar, Djohan T Bahri. 2004. Penyakit Jantung Koroner Dan Hypertensi. Medan: FK USU.
Anwar, Djohan T. Bahri. 2004. Dislipidemia sebagai Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. Medan: FK USU.
Anwar, Djohan T. Bahri. 2004. Patofisiologi Dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner. Medan: FK USU.
Barnoya, J. & Glantz, S.A. 2005. Cardiovascular Effects of Secondhand Smoke: Nearly as Large as Smoking. Circulation 2005;111;2684-2698.
Ekawati. N, dkk. 2008. Peningkatan Pengetahuan , Sikap Dan Perilaku Terhadap Rokok Pada Siswa Smu Di Kelurahan Penatih. Bali: Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana.
Gustina, Tin. 2007. Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Fungsi Paru Penderita Tuberkulosis Paru Di Kabupaten Kulon Progo Dan Kota Yogyakarta. Yogyakarta
Idham, Idris. 2007. Diagnosis & Pengobatan Penyakit jantung Koroner (PJK). Jakarta: National Cardiovascular Center Harapan Kita
Kumar V, Cotran R S, Robbins S L. 2007. Buku Ajar Patologi edisi 7. Jakarta: EGC.
Kusmal, B. dkk. 2010. Berlin's medical students' smoking habits, knowledge about smoking and attitudes toward smoking cessation counseling. Journal of Occupational Medicine and Toxicology 2010, 5:9 diakses dari http://www.occup-med.com/content/5/1/9.
Mangku, Sitepoe. 1997. Usaha Mencegah Bahaya Merokok. Jakarta:Gramedia
Miyazaki, T., dkk. 2003. Adipocyte derived plasma protein, adiponectin, is associated with smoking status in patients with coronary artery disease. Heart 89:663-664.
Morrow D.A., Gers B.J, dan Braunwald E. 2005. Chronic Coronary Disease in Braunwal Heart disease a Text Book of Cardiovascular Disease: Elsevier.
Pdparsi. 2003. Ada Apa Dengan Rokok. http.// www.red-bondowoso.or.id
Sarumpaet, Nerrida S. 2009. Karakteristik Penderita Penyakit Jantung Koroner Rawat Inap di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2005-2007. Medan: FK USU
Sirait, A.M., dkk. 2001. Perilaku Merokok. Diakses dari: http.//www.kompas.co.id.
Siregar, Abdullah Afif., Lubis, Ellya Nova. 2000. Penyakit Jantung Koroner pada Anak dan Pencegahannya.
Susanna D, Hartono B, dan Fauzan H. 2003. Penentuan Kadar Nikotin dalam Asap Rokok. Depok: Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Vivi, Juanita S. 2004. Merokok? Kenapa Takut?. Diakses dari: http://www.sinarharapan.co.id/iptek/2004.
Wardoyo. 1996. Pencegahan Penyakit Jantung Koroner. Solo:Toko Buku Agency
World Health Organization (WHO). 2008. Global burden of coronary heart disease. diakses dari : http://www.who.int/cardiovascular_disease/en/cvd_atlas_13_coronaryhd.pdf.