Master Laporan Imobilisasi Enzim

14
Laporan Praktikum Hari, tanggal: Kamis, 5 Maret 2015 Teknologi Bioindustri Golongan : P2 Dosen : Dr. Prayoga Suryadarma, STp, MT Asisten : 1. Imam Muharram Alitu (F34110062) 2. Ria Octavia (F34110090) IMOBILISASI ENZIM Oleh : Nabila An Nadjib (F34120069) Angga Panji Trisna (F341200) Isma Nurhikmah Apupianti (F34120071) DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

description

Oleh : Annalisa Prastika Febriani

Transcript of Master Laporan Imobilisasi Enzim

  • Laporan Praktikum Hari, tanggal: Kamis, 5 Maret 2015

    Teknologi Bioindustri Golongan : P2

    Dosen : Dr. Prayoga Suryadarma, STp, MT

    Asisten :

    1. Imam Muharram Alitu (F34110062)

    2. Ria Octavia (F34110090)

    IMOBILISASI ENZIM

    Oleh :

    Nabila An Nadjib (F34120069)

    Angga Panji Trisna (F341200)

    Isma Nurhikmah Apupianti (F34120071)

    DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2015

  • LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini, kami menyatakan bahwa laporan praktikum Teknologi Bioindustri

    ini telah dikerjakan secara berkelompok, dengan pembagian tugas sebagai berikut

    Nama Tugas Tanda Tangan

  • PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Imobilisasi enzim merupakan konsep yang cukup baru dan sangat menarik

    perhatian pada industri yang menggunakan enzim. Enzim terimobilisasi adalah

    suatu enzim yang dilekatkan pada suatu bahan yang inert dan tidak larut seperti sodium

    alginate. Dengan sistem ini, enzim dapat lebih tahan terhadap perubahan kondisi

    seperti pH atau temperatur. Sistem ini juga membantu enzim berada di tempat tertentu

    selama berlangsungnya reaksi sehingga memudahkan proses pemisahan dan

    memungkinkan untuk dipakai lagi di reaksi lain. Sistem ini memiliki keunggulan dalam

    hal efisiensi sehingga di industri banyak digunakan dalam reaksi yang dikatalisis oleh

    enzim. Immobilisasi enzim merupakan suatu metode pelumpuhan enzim, dimana enzim

    dipasangkan pada suatu bahan inert, materi tak larut seperti sodium alginate (Jhonson,

    1978).

    Enzim amobil adalah suatu enzim yang secara fisik maupun kimia tidak bebas

    bergerak sehingga dapat dikendalikan atau diatur kapan enzim harus kontak dengan

    substrat. Teknologi amobilisasi enzim saat ini sudah banyak dikembangkan oleh

    ilmuwan dan saat ini aplikasi terntangnya sangat luas di dunia industri. Teknologi

    amobilisasi enzim juga sangat baik digunakan dalam reaktor yang bersistem batch

    ataupun kontinu. Oleh karena itu, akan sangat bermanfaat jika mempelajari dan

    melakukan teknik amobilisasi enzim guna menyongsong kehidupan di era teknologi.

    Tujuan

    Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui teknik imobilisasi enzim dengan

    menggunakan natrium alginate beserta pengaruh-pengaruh teknik tersebut.

  • METODOLOGI

    Alat dan Bahan

    .

    Alat yang digunakan adalah gelas piala, gelas ukur, timbangan, pipet, dan

    suntikan (syringe). Bahan yang digunakan adalah asam alginat, garam sodium,

    CaCl2, dan amylase.

    Metode

    Mulai

    Natrium alginate, aquades, buffer

    fosfat, enzim amylase, CaCl2, DNS

    Natrium alginate sebanyak 4 gram dilarutkan dalam 20 ml air

    untuk mencapatkan larutan 20%

    Larutan enzim dengan buffer fosfat 1 ml enzim amylase

    dicampurkan dalam 10 ml larutan natrium alginat

    Konsentrasi natrium alginate diatur bervariasi antara 0-9%,

    tergantung kekerasan yang diinginkan

    Butiran dibentuk dengan cara meneteskan larutan polimer dari

    ketinggian 20 cm dengan suntikan ke dalam larutan 100 ml 0,2 M

    CaCl2 yang sudah teraduk pada suhu ruang

    Butiran tersebut didiamkan dalam larutan kalsium selama 1 (satu)

    jam

  • Sebanyak 10 ml substrat amilum dengan konsentrasi 0.5% dibuat

    dengan melarutkan amilum sesuai konsentrasi pada buffer

    Substrat tersebut diinkubasi pada suhu 65oC

    Pada masing-masing tabung substrat tersebut ditambahkan larutan

    enzim bebas ataupun terimobilisasi alginat

    Tabung tersebut dipanaskan pada suhu 65oC selama 5 menit

    Campuran enzim substrat diinkubasi kembali dan setiap 5 menit

    diambil sebanyak 1 ml selama hingga waktu 30 menit

    Cuplikan tersebut ditambahkan 3 ml DNS, dipanaskan dalam air

    mendidih selama 5 menit dan diukur kadar absorbansinya pada

    550nm

    Kadar glukosa yang dibentuk oleh hasil hidrolisis terhadap

    substrat amilum diukur dengan memplotkan nilai absorbansi pada

    kurva standar pengukuran glukosa pada percobaan sebelumnya

    Data absorbansi imobilisasi enzim

    Selesai

  • PEMBAHASAN

    Hasil

    (Terlampir)

    Pembahasan

    Penjelasan imobilisasi enzim

    Imobilisasi enzim merupakan konsep yang cukup baru dan sangat menarik

    perhatian pada industri yang menggunakan enzim. Enzim terimobilisasi adalah

    suatu enzim yang dilekatkan pada suatu bahan yang inert dan tidak larut seperti sodium

    alginate. Dengan sistem ini, enzim dapat lebih tahan terhadap perubahan kondisi

    seperti pH atau temperatur. Sistem ini juga membantu enzim berada di tempat tertentu

    selama berlangsungnya reaksi sehingga memudahkan proses pemisahan dan

    memungkinkan untuk dipakai lagi di reaksi lain. Sistem ini memiliki keunggulan dalam

    hal efisiensi sehingga di industri banyak digunakan dalam reaksi yang dikatalisis oleh

    enzim. Immobilisasi enzim merupakan suatu metode pelumpuhan enzim, dimana enzim

    dipasangkan pada suatu bahan inert, materi tak larut seperti sodium alginat. Hal ini dapat

    meningkatkan ketahanan enzim terhadap perubahan lingkungan seperti perubahan pH

    atau perubahan temperatur. Hal ini juga memperbolehkan enzim untuk diletakkan pada

    suatu tempat dengan reaksi, dimana nantinya enzim tersebut dapat dipisahkan dengan

    mudah dari produk dan dapat digunakan kembali. Penggunaan enzim sebagai industri

    biokatalis pada umumnya memerlukan immobilisasi untuk menyederhanakan kendali

    dari reaktor, untuk menghindari pencemaran produk, dan sebagian besar untuk

    memulihkan dan menggunakan kembali enzim dalam banyak reaksi.

    Misalnya, pada industri makanan, enzim dimasukkan bersama dengan substrat dan

    reaksi dibiarkan untuk berlangsung. Ketika perubahan yang diinginkan telah tercapai

    maka enzim dinonaktifkan dengan cara pemanasan atau merubah pH dalam sistem. Jadi

    penggunaan dari enzim adalah sekali pakai, sedangkan pemurnian enzim sangat mahal.

    Untuk mengatasi masalah ini maka enzim diikat pada senyawaan yang tidak larut yang

    disebut sebagai matrik sehingga enzim dapat mengikuti reaksi dan dapat diambil

    kembali setelah selesainya reaksi.Pengikatan enzim pada matriks yang tidak larut dalam

    air ini disebut sebagai imobilisasi (Jhonson, 1978).

    Suatu enzim yang teramobil adalah yang gerakannya dalam ruang dibatasi secara

    sempurna atau hanya dalam daerah yang sangat terbatas. Pada umumnya dalam keadaan

    demikian, enzim dibentuk menjadi tidak larut dalam air dengan beberapa tujuan.

    Pertama bentuk demikian akan memudahkan untuk memperoleh kembali enzim dari

    cairan media yang merupakan faktor penting dalam ekonomi reaktorenzim. Kedua, bagi

    seorang ahli kimia sangat berguna sebagai model sistem bagi enzim yang secara normal

    berhubungan dengan membrane sel hidup (Yudoamijoyo,1992). Walaupun syarat

    mutlak dalam pemilihan matriks untuk imobilisasi adalah ditentukan berdasarkan jenis

  • enzim dan aplikasi yang diinginkan, jelaslah bahwa material yang digunakan adalah

    kompatibel dengan enzim. Proses imobilisasi juga dalam keadaan kamar sehingga tidak

    dapat mendenaturasikan enzim selama penyiapan.

    Faktor yang mempengaruhi

    Banyak faktor yang mempengaruhi proses amobilisasi enzim, misalnya seperti

    jumlah enzim yang ditambahkan, waktu amobilisasi, pH, suhu, dan konsentrasi garam.

    Informasi mengenai jumlah garam yang ditambahkan sangat penting mengingat struktur

    3D enzim lipase dimana pada permukaan struktur terluar bersifat hidrofilik, sedangkan

    enzim tersebut akan diamobilkan pada permukaan hidrofobik dan hidrofilik-hidrofobik.

    Jumlah garam yang ditambahkan dapat berbeda untuk masing-masing jenis matriks

    modifikasi karena pada modifikasi permukaan hidrofilik-hidrofobik, enzim

    kemungkinan dapat teramobilkan juga pada permukaan hidrofilik melalui interaksi

    ionik. Oleh karena itu perlu dicari kondisi terbaik seberapa banyak garam yang perlu

    ditambahkan agar enzim dapat teramobilkan.

    Beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah sebagai berikut.

    Faktor pertama yaitu suhu. Enzim mempercepat terjadinya reaksi kimia pada suatu sel

    hidup. Dalam batas-batas suhu tertentu, kecepatan reaksi yang dikatalisis enzim akan

    naik bila suhunya naik. Reaksi yang paling cepat terjadi pada suhu optimum

    (Rodwell,1987). Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan enzim terdenaturasi

    (Poedjiadi, 1994). Pada suhu 0oC enzim tidak aktif (tidak rusak) dan dapat kembali aktif

    pada suhu normal (Lay, 1992). Hubungan antara aktivitas enzim dengan suhu

    ditunjukkan dalam Gambar 1.

    Gambar 1. Hubungan antara aktivitas enzim dengan suhu (Poedjiadi, 1994).

    Faktor yang kedua yaitu pH. Enzim pada umumnya bersifat amfolitik, yang berarti

    enzim mempunyai konstanta disosiasi pada gugus asam maupun gugus basanya,

    terutama pada gugus residu terminal karboksil dan gugus terminal aminonya,

    diperkirakan perubahan kereaktifan enzim akibat perubahan pH lingkungan (Winarno,

    1989). Hubungan kecepatan reaksi dengan pH ditunjukkan pada Gambar 2.

  • Gambar 2. Hubungan kecepatan reaksi dengan pH (Page, 1997).

    Faktor ketiga yaitu konsentrasi enzim yang teramobilisasi. Semakin tinggi

    konsentrasi enzim amobil maka kecepatan reaksi akan semakin meningkat hingga pada

    batas konsentrasi tertentu dimana hasil hidrolisis akan konstan dengan naiknya

    konsentrasi enzim yang disebabkan penambahan enzim sudah tidak efektif lagi (Reed,

    1975). Hubungan antara laju reaksi enzim dengan konsentrasi enzim ditunjukkan dalam

    Gambar 3.

    Gambar 3. Hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi enzim (Page, 1997).

    Faktor keempat yaitu konsentrasi substrat. Kecepatan reaksi enzimatis pada

    umumnya tergantung pada konsentrasi substrat. Kecepatan reaksi akan meningkat

    apabila konsentrasi substrat meningkat. Peningkatan kecepatan reaksi ini akan semakin

    kecil hingga tercapai suatu titik batas yang pada akhirnya penambahan konsentrasi

    subtrat hanya akan sedikit meningkatkan kecepatan reaksi (Lehninger, 1982). Faktor

    yang terakhir yaitu aktivator dan inhibitor Beberapa enzim memerlukan aktivator dalam

    reaksi katalisnya. Aktivator adalah senyawa atau ion yang dapat meningkatkan

    kecepatan reaksi enzimatis. Komponen kimia yang membentuk enzim disebut juga

    kofaktor. Kofaktor tersebut dapat berupa ion-ion anorganik seperti Zn, Fe, Ca, Mn, Cu

    dan Mg atau dapat pula sebagai molekul organik kompleks yang disebut koenzim

    (Martoharsono, 1984). Menurut Wirahadikusumah (1997) inhibitor merupakan suatu zat

    kimia tertentu yang dapat menghambat aktivitas enzim. Pada umumnya cara kerja

    inhibitor adalah dengan menyerang sisi aktif enzim sehingga enzim tidak dapat berikatan

    dengan substrat sehingga fungsi katalitiknya terganggu (Winarno, 1989).

  • Metode imobilisasi

    Metode untuk immobilisasi enzim dapat dibagi atas 3 kategori dasar, yaitu metode

    carrier-binding, metode ikat silang (cross-linking), metode penjebakan (entrapping),

    serta adsorpsi fisik ke dalam suatu pembawa inert. Metode carrier-binding ini dibagi

    menjadi tiga berdasarkan cara pengikatan enzimnya, yaitu adsorpsi fisika, pengikatan

    ionik dan pengikatan kovalen. Metode adsorpsi fisika berdasarkan pada adsorpsi fisika

    dari protein enzim pada permukaan pembawa yang tidak larut dalam air. Kelemahan dari

    metode ini dimana enzim yang diserap dapat bocor selama pemakaian karena gaya ikat

    antara protein enzim dan pembawa lemah atau kekuatan ikatannya lemah, sedangkan

    kelebihannya yaitu dalam kondisi lunak, aktivitas enzim tetap tinggi serta dapat

    diregenerasi. Contoh carrier untuk adsorbsi fisik yaiktu karbon aktif, hidroksil apatit, gelas porous, gel Ca-fosfat, tanah liat, dan pati.

    Adsorpsi fisik dari suatu enzim ke dalam suatu padatan merupakan teknik atau cara

    yang paling sederhana dalam preparasi immobilisasi enzim. Metode ini bekerja

    berdasarkan pada interaksi fisik nonspesifik antara enzim dengan permukaan dari

    matriks, yang dapat dilakukan dengan pencampuran suatu larutan enzim dengan

    konsentrasi tertentu dengan suatu padatan dengan daya penggerak adalah sifat

    hydrophobic dan jembatan garam. Keuntungan utama dari metode adsorpsi ini serupa

    dengan metode insolubilisasi enzim, dimana tidak ada reagen yang digunakan dan

    memiliki tahapan aktivasi yang sangat sederhana. Metode ini sangat baik digunakan

    karena tidak mempengaruhi aktivitas enzim. Adsorpsi dan desorpsi tergantung dari

    pertukaran ion (ion exchange). Untuk itu, diperlukan penggunaan pendukung yang

    dilapisi dengan polimer kationik sebagai alas dan mengoptimalkan kondisi-kondisi yang

    diperlukan untuk immobilisasi.

    Adsorpsi dilakukan pada kondisi-kondisi, yaitu : pH rendah dan kekuatan bersifat

    ion tinggi. Selain itu, metode ini memerlukan biaya yang murah, karena padatan

    penyerapnya tidak terlalu mahal, dan hasil dari metode ini sangat mudah untuk dibawa,

    dan enzim pun menjadi lebih terjaga karena tidak bersifat destruktif. Dalam metode ini

    juga hanya terjadi ikatan hidrogen, hubungan ikatan garam dan beberapa ikatan Van der

    Wall's. Metode ini juga memberikan hasil yang paling serupa dengan keadaan biologis

    yang sesungguhnya. Preparasi dalam metode adsorpsi untuk immobilisasi enzim lebih

    sederhana dibandingkan dengan metode lainnya dalam immobilisasi enzim. Kekuatan

    ikatan ikatan kimia yang terbentuk bervariasi ada yang lemah dan ada yang kuat sehingga mempermudahkan dalam preparasi metode ini.

    Secara umum, metoda ini menjadi yang paling lambat dari metode lainnya. Sebab

    adsorpsi bukanlah suatu reaksi kimia, lokasi aktif dari enzim dihentikan dengan

    dihalangi oleh matriks yang sangat mengurangi aktivitas dari enzim. Kerusakan pada

    enzim juga dapat terjadi karena adanya beberapa jenis ikatan lemah yang ada di dalam

    sistem ini. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu, perubahan pH,

    kekuatan ionik, ataupun karena adanya substrat. Hal ini dapat menyebabkan perubahan

    pada immobilisasi enzim tersebut, atau apabila substansi penyerap merupakan substrat

    bagi enzim, maka jangka waktu immobilisasi enzim ini akan menjadi menurun,

    bergantung pada mobilitas permukaan dari enzim dan substrat. Metode adsorpsi ini

    sangat diperlukan untuk memfasilitasi reaksi kovalen. Kestabilan enzim yang diadsorpsi

  • ke dalam suatu matriks diketahui terjadi karena adanya ikatan silang (cross-linking) dari

    protein yang mengikuti adsorpsi fisiknya.

    Metode kedua yaitu pengikatan ionik. Metode pengikatan ionik berdasarkan

    pengikatan ionik dari protein enzim pada pembawa yang tidak larut dalam air yang

    mengandung residu penukar ion. Kelemahan metode ini dimana kebocoran dapat terjadi

    dimana dalam larutan substrat dengan kekuatan ionik yang tinggi atau pada variasi pH.

    Terakhir yaitu metode pengikatan kovalen, pada metode ini terbentuk ikatan kovalen

    antara enzim dengan carrier yang tidak larut dalam air sehingga ikatannya kuat dan

    tidak mudah rusak. Diperlukan kondisi reaksi yang sulit dan biasanya dilakukan tidak

    dalam keadaan kamar. Gugus fungsional enzim yang berperan yaitu atau -amino, ,

    , atau -karboksil, sulfuhidril, hidroksil, imidazol, dan fenolik. Dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa ikatan kovalen mengubah bentuk konformasi dan pusat aktif enzim

    yang mengakibatkan kehilangan aktivitas atau perubahan spesifitas aktivitas.

    (a)

    (b)

    (c)

    Gambar 4. (a) Metode adsorbsi fisik (b) Metode ikatan ionik dan (c) Metode ikatan

    kovalen.

  • Metode kedua yaitu metode ikat silang (cross linking). Metode ini berdasarkan

    pembentukan ikatan kimia seperti dalam metode ikat kovalen, namun pembawa yang

    tidak larut dalam air tidak digunakan dalam metode ini. Imobilisasi enzim dilakukan

    dengan pembentukan ikat silang intermolekuler diantara molekul enzim dengan

    penambahan reagent bi- atau multifungsional. Pereaksi umumnya mempunyai 2 gugus

    fungsional identik yang bereaksi dengan residu asam amino. Metode ketiga yaitu metode

    penjebakan (entrapping). Metode penjebakan ini berdasarkan pengikatan enzim dalam

    kisi matriks polimer atau melingkupi enzim dalam membrane semipermeabel dan dibagi

    menjadi tipe kisi dan mikrokapsul.

    Tipe kisi (lattice type), metode penjebakan tipe kisi meliputi penjebakan enzim

    dalam bidang batas (interstitial space) dari suatu ikat silang polimer yang tidak larut dalam air misalnya gel matriks, sedangkan tipe mikrokapsul penjebakan dengan cara

    mikrokapsul melibatkan pelingkupan enzim dengan membran polimer semipermeable.

    Prosedur untuk mikroenkapsulasi enzim dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu

    polimerisasi interfasial, pengeringan cair (liquid drying), serta pemisahan fase (phase

    separation) (Chibata,1978). Metode penjebakan yang umum untuk mikroorganisme

    dalam butiran adalah ionotropic gelation dari makromolekul dengan kation

    multivalensi.Penjebakan dapat terjadi dengan mencampurkan mikroorganisme dengan

    polimer anionik dan kemudian diikat silang larutan tersebut dengan kation multivalensi sehingga membentuk struktur yang menjebak mikroorganisme tersebut.

    Stabilitas dari enzim ditentukan dengan lamanya pemakaian dimana enzim tersebut

    masih aktif dan dapat mengkatalisis.Stabilitas dari enzim berdasarkan teknik imobilisasi

    yang digunakan (Jhonson, 1978).

    (a)

    Gambar 5. (a) Metode cross-linking (b) Metode entrapment

  • Gambar 6. Perbedaan metode adsorpsi, ikatan kovalen, dan entrapment.

    Penerapan enzim imobil dalam industri

    Imobilisasi enzim sangat penting untuk penggunaan enzim kembali secara

    komersil dan memiliki banyak manfaat dari biaya dan proses dari reaksi yang meliputi

    dari segi kenyamanan, hemat, dan stabilitas. Kenyamanan karena sejumlah protein yang

    amat kecil dipecah di dalam reaksi, maka dapat bekerja lebih mudah. Sehingga ketika

    penyelesaian, campuran reaksi yang secara khas hanya berisi bahan pelarut dan reaksi

    produk. Hemat enzim yang dihentikan mudah dipindahkan dari reaksi yang membuatnya

    mudah untuk mendaur ulang biokatalis. Stabilitas menghentikan aktivitas enzim yang

    secara khas mempunyai stabilitas operasional dan yang berkenaan dengan panas lebih

    besar dibanding format dapat larut dari enzim.

    Contoh penerapan enzim imobil yaitu Pengembangan Teknik Imobilisasi Enzim Glucose Oxidase pada Membran Komposit Berbasis Kitosan dan Uji Aplikasinya untuk

    Pembuatan Biosensor Glukosa. Beberapa teknik immobilisasi untuk menjaga stabilitas enzim telah dikembangkan yang meliputi metode adsorpsi, penyekatan (encapsulation),

    penjebakan (entrapment) dan pengikatan secara kovalen (covalent bonding). Metode

    adsorpsi untuk immobilisasi enzim telah diaplikasikan untuk pembuatan biosensor

    (Korell et al. 1993 dan Campanella et al., 1995). Lebih lanjut, metode penjebakan dalam

    matrik konduktif juga telah diaplikasikan (Adeloju et al.,1994 dan Adeloju et al., 1996).

    Immobilisasi enzim GOx diawali dengan mengaktivasi membran kitosan dengan cara

    mengontakkan permukaan membran dalam larutan GD 1% (w/v) selama 1 jam. Setelah

    itu permukaan membran dikontakkan dengan larutan enzim GOx dengan konsentrasi

    tertentu dalam waktu 24 jam. Membran kitosan terbaik dibuat dengan kombinasi EIPS

    dan NIPS dimana pelarut yang digunakan adalah asam asetat 1% (v/v), konsentrasi

    kitosan 2 % (w/v) dan lama perendaman NaOH 2 hari. Enzim GOx yang diimmobilisasi

    pada membran teraktivasi memberikan konsentrasi enzim terikat lebih besar dan

    kestabilan yang lebih lama dibandingkan tanpa aktivasi. pH optimum untuk

    Immobilisasi GOx didapat pada pH 5. Konsentrasi larutan enzim berpengaruh terhadap

    konsentrasi enzim yang terikat. Didapat Km dan Vmaks masingmasing sebesar 0,36 mM

    dan 102 mM/menit.

  • Contoh penerapan selanjutnya yaitu Teknik Imobilisasi Enzim Secara Entrapment dalam Sintesis Metil Ester Berbahan Minyak Jelantah. Meningkatnya populasi manusia di dunia tentu akan berbanding lurus dengan peningkatan kebutuhan

    komsumsi energi sehingga saat ini terjadilah krisis yang menjadikan harga minyak dunia

    terus merangkak naik termasuk di Indonesia. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan

    melakukan kombinasi subtitusi reaktan dan teknik imobilisasi enzim. Methanol bisa

    digantikan dengan metil asetat sebagai penyuplai gugus alkil dimana juga mampu

    meningkatkan stabilitas enzim lipase selama proses secara signifikan dan produk

    samping berupa triasetilgliserol mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dibanding

    gliserol (Heri, dkk 2009) sedangkan Imobilisasi enzim disini maksudnya adalah

    menggabungkan suatu enzim dengan suatu matriks padat (support) sehingga dapat

    digunakan secara berulang kali secara kontinyu.

    Gambar 7. Tahap imobilisasi enzim di industri.

    Sintesis metil ester dapat dilakukan dengan mereaksikan minyak jelantah dan

    metil asetat dengan biokatalis terimobilisasi entrapment. Hasil analisa menunjukkan

    bahwa kondisi optimal sintesa adalah dengan perbandingan minyak jelantah : metil

    asetat sebesar 1:12 dengan komposisi enzim lipase 3 % yang dilakukan pada suhu 37 oC

    dengan putaran 150 rpm selama 50 jam yang menghasilkan biodiesel dengan konsentrasi

    4,35 mol/lt. peningkatan komposisi enzim diikuti pula oleh peningkatan konsentrasi dan

    terlihat bahwa perlakuan b3 yang berarti memakai perbandingan jelantah : metil asetat

    sebesar 1: 12 dengan komposisi 3 % enzim menghasilkan biodiesel dengan konsentrasi

    tertinggi sebesar 4,35 mol/lt. Hal ini menandakan bahwa enzim bekerja lebih efektif

    pada rasio 3 %, sedangkan peningkatan konsentrasi diatas 3 % justru terlihat menurun

    yang mengindikasikan bahwakeberadaan enzim lipase dalam pori-pori terlalu lemah dan

    mudah terlepas sehingga berkurang kereaktifannya.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Adeloju, S.B., Barisci, J.N., Wallace, G.G. (1996). Electroimmobilisation of sulphite

    oxidase into a polypyrrole film and its utilisation for flow amperometric

    detection of sulphite. Anal. Chim. Acta 332 (2): 145.

    Adeloju, S.B., Shaw, S.J., Wallace, G.G.. (1994). Polypyrrole-based amperometric flow

    injection biosensor for urea. Electroanalysis 6 (1) : 865.

    Chibata, I. 1978. Immobilisasi Enzymes. Kodansha, Tokyo. Page: 6.

    Heri, Hermansyah, Arbianti Rita, Marno Sheptian, Surya Utami Tania, Wijanarko

    Anondho ., (2009), Sintesis Biodiesel Rute Non-Alkohol Menggunakan Candida

    Rugosa Lipase Dalam Bentuk Tersuspensi. Jawa Barat : Universtitas Indonesia

    jurnal Teknik Kimia Indonesia Vol. 8 No. 2 Agustus 2009, 38-43.

    Johnson. 1978. Effect of Weaning and Slaugtering ages on Rabbit Meat Production. I.

    Body weight, feed efficiency and mortality . J.Anim Sci. 3 (46).

    Lay, Bibiana W. dan Hastowo, Sugyo. 1992. Mikrobiologi. Jakarta: Rajawali Press.

    Lehninger. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid 1. Jakarta : Erlangga.

    Martoharsono, S. dkk. 1984. Biokimia. UGM Press. Yogyakarta 91.

    Page, D. 1997. Prinsip-Prinsip Biokimia. Jakarta: Erlangga.

    Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia . Jakarta: UI Press.

    Reed, Gerald. 1975. Enzymes in Food Processing Second Edition. New York: Academic

    Press Inc.

    Rodwell, V.W. 1987. Harpers Review of Biochemistry. EGC Kedokteran: Jakarta. Winarno, F.G. 1989. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

    Wirahadikusumah , M. 1997. Biokimia: Protein, Enzim, dan Asam Nukleat. ITB Press.

    Bandung. 91 halaman.

    Yudoamijoyo, M., A. A. Darwis dan E. G. Said. 1992. Teknologi Fermentasi. Penerbit

    Rajawali Press dengan Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian

    Bogor: Jakarta.