Post on 18-Feb-2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan hidayah-
Nya, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah “ Etika Di Indonesia dan ajaran Islam ”
sebagai tugas penyajian makalah untuk mata kuliah Etika Profesi.
Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Ilmi A. Stialani, S.Psi selaku dosen Etika
Profesi, yang telah banyak memberikan bimbingan kepada kami dalam penyusunan makalah
ini. Tidak lupa terima kasih juga kami ucapkan kepada semua pihak yang telah ikut
berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini.
Sebagai penulis kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu, kami mengharapkan saran dan kritik dari pembimbing dan
pembaca yang sifatnya membangun. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kami
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Mataram, 01 April 2013
Penulis
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................................................1
Daftar Isi...................................................................................................................................2
Bab I. Pendahuluan...................................................................................................................3
A. Latar Belakang...............................................................................................................3
B. Tujuan............................................................................................................................3
C. Rumusan Masalah..........................................................................................................3
Bab II. Pembahasan...................................................................................................................4
A. Pengertian Etika Dan Etika Islam..................................................................................4
B. Konsep Etika Menurut Para Filosof Muslim.................................................................6
C. Analisis Tentang Konsep Etika Para Filosof Muslim..................................................15
D. Komparasi , Moral Dan Akhlak...................................................................................16
Bab III. Penutup......................................................................................................................18
A. Kesimpulan..................................................................................................................18
B. Saran.............................................................................................................................18
Daftar Pustaka.........................................................................................................................19
2
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
kata-kata seperti “etika”, “etis”,dan “moral” tidak terdengar dalam ruang kuliah saja
dan tidak menjadi monopoli kaum cendekiawan. Diluar kalangan intelektual pun sering
disinggung hal-hal seperti itu. Memang benar, dalam obrolan dipasar atau ditengah
penumpang-penumpang opelet kata-kata itu jarang sekali muncul. Tapi jika membuka
surat kabar atau majalah, hampir setiap hari kita menemui kata-kata tersebut. Apalagi
bila dikaitkan dengan penegasan Rasulullah SAW; bahwa kehadirannya dimuka bumi ini
missi utamanya adalah menyempurnakan akhlak yang mulia.
Perkembangan pemikiran manusia selalu menarik untuk dikaji. Manusia yang
berfikir adalah manusia yang dinamis. Karena determinasi naturalistic yang membawa
manusia kepada puncak posisi sebagai makhluk Tuhan adalah kemampuannya untuk
berfikir itu.
Berfikir adalah sebuah aktivitas awal yang menggerakkan seluruh aktivitas
kemanusiaan. Para filosof adalah manusia-manusia pilihan yang mengabdikan dirinya
pada pergulatan keilmuan dan pemikiran yang tiada henti. Walaupun pandangan sinis
sering diarahkan kepada kaum filosof sebagai kelompok yang hanya duduk dikursi dan
menteorikan dunia khayalan, tetapi kehadiran para filosof telah memberikan warna
tersendiri bagi kehidupan didunia ini. Setidaknya mereka mampu mengabstraksikan
realitas yang dia lihat utamanya dalam konsep-konsepnya tentang etika.
B. Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari penyusunan Makalah ini ialah sebagai berikut :
1. Memahami arti dari etika dan etika Islami.
2. Mengetahui berbagai konsep-konsep etika menurut para filosof muslim.
3. Memahami komparasi dari etika, moral dan akhlak
4. Menarik Kesimpulan dari berbagai konsep yang disajikan
C. Rumusan Masalah
1. Apa itu Etika dan Etika Islam?
2. Bagaimana Konsep Etika menurut para filosof muslim?
3. Apa komparasi antara etika, moral dan akhlak?
3
BAB IIPEMBAHASAN
A. Pengertian Etika Dan Etika Islam
Etika adalah suatu cabang filsafat yang membicarakan tentang perilaku manusia.
Atau dengan kata lain, cabang filsafat yang mempelajari tentang baik dan buruk.
Untuk menyebut etika, biasanya ditemukan banyak istilah identik : moral, norma
dan etiket. Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah
“etika” pun bersal dari Yunani kuno. Kata Yunani ethos merupakan bentuk tunggal yang
bisa memiliki banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang;
kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap dan cara berpikir. Bentuk jamaknya
adalah ta etha yang berarti: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar
belakang bagi terbentuknya istilah “etika” dalam filsafat. Dalam sejarahnya, Aristoteles
(384-322 SM) sudah menggunakan istilah ini yang dirujuk kepada filsafat moral.
Istilah lainya yang memiliki konotasi makna dengan etika adalah moral. Kata
moral dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Latin mores yang berarti adat
kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim; mos, moris, manner mores, atau
manners, morals. Kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna
tata tertib batin atau tata tertib hatinurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin
dalam hidup. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi
etika.
Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima umum
tentang sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk
pada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh suatu komunitas, sementara etika umumnya
lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di pelbagai wacana etika.
Akhir-akhir ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat moral
sebab dalam banyak hal, filsafat moral juga mengkaji secara cermat prinsip-prinsip etika.
Ketika dihubungkan dengan Islam, selalu muncul pertanyaan mendasar, adakah
sesungguhnya yang disebut sebagai etika Islam itu?. Menurut abdul Haq Anshari dalam
Islamic Ethics: Concepts and Prospects meyakini bahwa sesungguhnya Etika Islam
sebagai sebuah disiplin ilmu atau subyek keilmuan yang mandiri tidak pernah ada pada
hari ini. Menurutnya kita tidak pernah menjumpai karya-karya yang mendefinisikan
konsepnya, menggambarkan isu-isunya dan mendiskusikan pemasalahannya. Apa yang
kita temukan justru diskusi yang dilakukan oleh berbagai kalangan penulis, dari
4
kelompok filosof, teolog, ahli hukum Islam, sufi dan teoretis ekonomi dan politik
dibidang mereka masing-masing tentang berbagai isu, baik yang merupakan bagian dari
keilmuan mereka atau relevan dengan etika Islam.
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Aliran Obyektivisme
Berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif,
terletak pada subtansi tindakan itu sendiri. Paham ini melahirkan apa yang
disebut paham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, menurut
paham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan
kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang
mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah
Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam –pada batas tertentu- ialah aliran
Mu’tazilah.
2. Aliran subyektivisme
Berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan
dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bias saja
berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bias saja subyek Tuhan.
Paham subyektifisme etika ini terbagi kedalam beberapa aliran sejak dari etika
hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke paham tradisionalismenya Asy’ariyah.
Menurut paham Asy’ariyah, nilai kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada
obyektifitas nilainya, melainkan pada keta’atannya pada kehendak Tuhan.
As’ariyah berpandangan bahwa manusia itu bagai ‘anak kecil’ yang harus
senantiasa dibimbing oleh wahyu karena tanpa wahyu manusia tidak mampu
memahami mana yang baik dan mana yang buruk.
Kalau kita sepakati bahwa etika adalah suatu kajian kritis rasional mengenai
yang baik dan yang buruk, bagaimana halnya dengan teori etika dalam Islam.
Sedangkan telah disebutkan dimuka, bahwa terdapat dua paham, yaitu paham
rasionalisme yang diwakili Mu’tazilah dan paham tradisionalisme yang diwakili oleh
Asy’ariyah. Munculnya perbedaan itu memang sulit diingkari baik karena
pengaruh Filsafat Yunani ke dalam dunia Islam maupun karena narasi ayat-ayat al-
Qur’an sendiri yang mendorong lahirnya perbedaan penafsiran. Di dalam Al-Qur’an
5
pesan etis biasanya diselubungi oleh isyarat-isyarat yang menuntut penafsiran dan
perenungan oleh manusia.
Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua cirri utama.
Pertama, etika Islam tidak menentang fithrah manusia. Kedua, etika Islam amat
rasionalistik. Dalam diskusi tentang hubungan antara etika dan moral, problem yang
seringkali muncul ialah bagaimana melihat peristiwa moral yang bersifat partikular dan
individual dalam perspektif teori etika yang bersifat rasional dan universal. Islam
yang mempunyai klaim universal ketika dihayati dan direalisasikan cenderung
menjadi peristiwa partikular dan individual. Pendeknya, tindakan moral adalah
tindakan konkrit yang bersifat pribadi dan subyektif. Tindakan moral ini akan menjadi
pelik ketika dalam waktu dan subyek yang sama terjadi konflik nilai. Misalnya saja,
nilai solidaritas kadangkala berbenturan dengan nilai keadilan dan kejujuran. Di
sinilah letaknya kebebasan, kesadaran moral serta rasionalitas menjadi amat penting.
Yakni bagaimana mempertanggungjawabkan suatu tindakan subyektif dalam kerangka
nilai-nilai etika obyektif, tindakan mikro dalam kerangka etika makro, tindakan
lahiriah dalam acuan sikap batin.
Dalam perspektif Psikologi, manusia terdiri dari tiga unsur penting yaitu, Id,
Ego, dan SuperEgo, sedangkan dalam pandangan Islam ketiganya sering dipadankan
dengan nafsu amarah, nafsu lawwamah, dan nafsu mutmaninah. Ketiganya merupakan
unsur hidup yang ada dalam manusia yang akan tumbuh berkembang seiring perjalanan
dan pengalaman hidup manusia.
B. Konsep Etika Menurut Para Filosof Muslim1. Al-Kindi
Dalam hal ini etika Al-Kindi berhubungan erat dengan definisi mengenai
filsafat atau cita filsafat. Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan
Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia. Yang dimaksud dengan
definisi ini ialah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna, juga diberi
definisi yaitu sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah mematikan hawa
nafsu, dengan jalan mematikan hawa nafsu itu untuk memperoleh keutamaan.
Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh
kenikmatan lahiriah berarti meningggalkan penggunaan akal.
Pertanyaan yang dapat diajukan ialah bagaimana cara untuk menjadi manusia
yang memiliki keutamaan yang sempurna itu. Bagaimana cara untuk mematikan
6
hawa nafsu agar dapat mencapai keutamaan itu. Jawaban pertanyaan ini ialah :
keahuilah keutamaan itu dan bertingkah lakulah sesuai tuntutan keutamaan itu.
Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia tidak lain adalah budi
pekerti manusiawi yang terpuji. Keutamaan ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian.
Pertama merupakan asas dalam jiwa, tetapai bukan asas yang negatif, yaitu
pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal). Hal ini dibagi lagi menjadi tiga :
a. Kebijaksanaan (hikmah) yaitu keutamaan daya fikir; bersifat teoritik yaitu
mengetahu segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki; bersifat praktis
yaitu menggunakan kenyataan yang wajib dipergunakan.
b. Keberanian (nadjah) ialah keutamaan daya gairah (ghadabiyah; passiote), yang
merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada
kematian untuk mencapai sesuatu yang harus dicapai dan menolak yang harus
ditolak.
c. Kesucian (iffah) adalah memperoleh sesuatu yang memang harus diperoleh guna
mendidik dan memelihara badan serta menahan diri yang tidak diperlukan untuk
itu.
Kedua keutamaan-keutamaan manusia tidak terdapat dalam jiwa, tetapai
merupakan hasil dan buah dari tiga macam keutamaan tersebut. Dan ketiga hasil
keadaan lurus tiga macam keutamaan itu tercermin dalam keadilan. Penistaan yang
merupakan padanannya adalah penganiayaan.
2. Al-Farabi
Konsep etika yang ditawarkan Al-Farabi dan menjadi salah satu hal penting
dalam karya-karyanya, berkaitan erat dengan pembicaraan tentang jiwa dan politik.
Begitu juga erat kaitanya dengan persoalan etika ini adalah persoalan kebahagiaan.
Didalam kitab At-tanbih fi sabili al-Sa’adah dan Tanshil al-Sa’adah, Al-Farabi
menyebutkan bahwa kebahagiaan adalah pencapaian kesempurnaan akhir bagi
manusia, al-Farabi juga menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi
perhatian untuk mencapai kebahagiaan didunia dan diahirat bagi bangsa-bangsa dan
setiap warga negara, yakni :
a. Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak awal
tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperleh dengan kontemplasi,
penelitian dan melalui belajar.
7
b. Keutamaan pemikiran, adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal
yang bermanfaat dalam tujuan. Termasuk dalm hal ini, kemampuan membuat
aturan-aturan, karena itu disebut keutamaan pemikiran budaya (fadhail fikriyah
madaniyyah).
c. Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini berada
dibawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran, kedua jenis keutamaan
tersebut, terjadi dengan tabiatnya dan bisa juga terjadi dengan kehendak sebagai
penyemprna tabiat atau watak manusia.
d. Keutamaan amalia, diperoleh dengan dua cara yaitu pernyataan-pernyataan yang
memuaskan dan merangsang.
3. Ikhwan al-Safa`
Adapun tentang moral etika, ikhwan al-Safa’ bersifat rasionalistis. Untuk itu
suatu tindakan harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral
dimaksud, seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada materi.
Harus memupuk rasa cinta untuk bisa sampai pada eksatase. Percaya tanpa usaha,
mengetahui tanpa berbuat adalah sia-sia. Kesabaran dan ketabahan, kelembutan,
kasih saying dan keadilan. Rasa syukur, mengutamakan kebajikan, gemar berkorban
untuk orang lain kesemuanya harus menjadi karakteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa
kasar, kemunafikan, penipuan, kezaliman dan kepalsuan harus dikikis habis sehingga
timbul kesucian perasaan, kecintaan yangmembara sesama manusia, dan keramahan
terhadap alam dan binatang liar sekalipun.
Jiwa yang telah dibersihkan akan mampu menerima bentuk-bentuk cahaya
spiritual dan entitas-entitas yang bercahaya. Semakin suci jiwa dan tidak terbelenggu
oleh ikatan jasmani, semakin dapat memahami makna dasar yang tersembunyi dalam
kitab suci dan kessuainya dengan data pengetahuan rasional dalm filsafat.
Sebaliknya, selama jiwa terperosok dalam daya pikat tubuh dan oleh keinginan-
keinginan dan kesenangan-kesenanganya, ia tidak dapt mengetahui makna kitab suci
dan ia tidak akan dapat beranjak kepad bola-bola langit dan secara langsung
merenungkan apa yang ada disana.
4. Ibnu Maskawaih
Ibnu maskawai adalah seorang moralis yang terkenal. Sehingga dia mendapat
julukan sebagai bapak etika Islam, Maskawaih dikenakl juga sebagai guru ketiga (Al-
8
Mutaalim al-Tsalis), setelah al-Farabi yang digelari guru kedua. Sedangkan yang
dipandang sebagai guru pertama adalah aristoteles.
Teorinya tentang etika secara rinci ditulis dalam kitab Tahdzb al-Akhlaq wa
al-‘Araq (pendidikan budi dan pembersihan watak). Maskawaih membagi kitabnya
itu menjadi tujuh bagian. Bagian pertama membicaraka perihal jiwa yang merupakan
dasar pembahasan akhlaq. Bagian kedua membicarakan manusia dalam hubunganya
dengan akhlak. Bagian ketiga membicarakan perihal kebajikan dan kebahagiaan yang
merupakan inti pembahasan tentang akhlak. Bagian keempat membicarakan perihal
keadilan. Bagian kelima membicarakan perihal cinta dan persahabatan. Bagian
keenam dan ketujuh membicarakan perihal pengobatan penyakit-penyakit jiwa.
Teori etika Maskawaih bersumber pada filsafat Yunani, peradaban Persia,
ajaran syari’at Islam, dan pengalaman pribadi. Filsafat etika Maskawaih ini selalu
mendapat perhatian utama. Keistimewaan yang menarik dalam tulisanya ialah
pembahasan yang didasarkan pada ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadits) dan
dikombinasikan dengan pemikiran yang lain sebagai pelengkap, seperti filsafat
Yunani Kuno dan pemikiran Persia. Dimaksud dengan pelengkap ialah sumber lain
baru diambilnya apabila sejalan dengan ajaran Islam dan sebaliknya ia tolak, jika
tidak demikian.
Akhlak, menurut Maskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan jiwa
yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah
laku manusia terbagi menjadi dua unsur, yakni unsur watak naluriah dan unsur lewat
kebiasaan dan latihan.
Berdasarkan ide diatas, secara tidak langsung Ibnu Maskawaih menolak
pandangan orang-orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat
berubah. Bagi Ibnu Maskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak
yang terpuji dengan jalan pendidikan (Tarbiyah al-Akhlak) dan latihan-latihan.
Pemikiran seperti ini jelas sejalan dengan ajaran Islam karena kandungan ajaran
Islam secara eksplisit telah mengisyaratkan kearah ini dan pada hakikatnya syariat
agama bertujuan untuk mengokohkan dan memperbaiki akhlak manusia. Kebenaran
ini jelas tidak dapat dibantah, sedangkan akhlak atau sifat binatang saja bisa berubah
dari liar menjadi jinak, apalagi akhlak manusia.
Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian tentang akhlak adalah
kebaikan (al-khair), kebahagiaan (al-sa’adah) dan keutamaan (al-fadhilah). Menurut
Ibnu Maskawaih, kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas
9
akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan adakalanya umum dan adakalanya khusus.
Diatas semua kebaikan itu terdapat kebaikan mutlak yang identik dengan wujud
tertinggi.
Mengenai pengertian kebahagiaan telah dibicarakan oleh pemikir-pemikir
Yunani yang pokoknya terdapat dua versi, pandangan pertama dari Plato dan yang
kedua oleh Aristoteles. Ibnu Maskawaih tampil diantaara dua pendapat tersebut.
Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka
kebahagiaan itu meliputi keduanya. Kebahagiaan itu ada dua tingkat. Pertama ada
manusia yang terikat dengan hal-hal yang bersifat benda dan mendapat kebahagiaan
dengannya, namun ia tetap rindu akan kebahagiaan jiwa, lalu berusaha
memperolehnya. Kedua, manusia yang melepaskan diri dari keterikatanya kepada
benda dan memperoleh kebahagiaannya lewat jiwa.
Tentang keutamaan, Ibnu Maskawaih berpendapat bahwa asas semua
keutamaan adalah cinta kepada semua manusia. Tanpa cinta yang demikian, suatu
masyarakat tidak mungkin ditegakkan.
5. Al-Ghozali
Filsafat etika al-Ghozali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori
tasawufnya dalam bukunya Ihya’ Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika al-
Ghazali adalah teori tasawufnya. Mengenai tujuan pokok dari etika al-Ghazali kita
temukan pada semboyan tasawuf yang terkenal : al-Takhalluq bi-Akhlaqillah ‘ala
taqothil Basyathiyyah, atau pada semboyannya yang lain, al-Shifatir-Rahman ‘ala
Taqhathil Basyathiyah.
Maksud semboyan itu adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru-
niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun dan
sifat-sifat yang disukai Tuhan,sabar jujur, takwa, zuhud, ihlas beragama dan
sebagainya.
Dalam Ihya’ Ulmuddin itu, al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadat dari
tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnyadalam mengupas soal at-thaharah ia tidak
hanya mengupas soal kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani.
Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan
rohaninya dan rasa akrabnya terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, al-
Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat
memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Al-ghazali juga
10
mengakui bahwa kebaikan tersebur dimana-mana, juga dalam materi. Hanya
pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagaimana cara bertaqarrub kepada Allh itu, al-Ghazali memberikan
beberapa cara latihan yang langsung mempengaruhi rohani. Diantaranya yang
terpenting ialah muraqabah, yakni merasa diawasi terus oleh Tuhan, dan al-
mahasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri.
Menurut al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan, yaitu kepuasan dan
kebahagiaan. Kepuasan adalah apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu.
Bertambah banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang merasakan
kebahagiaan.
Akhirnya, kebahagiaan yang tertinggi itu ialah bila mengetahui
kebenaran dari sumber segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakan
ma’rifatullah, yaitu mengenal adanya Allah tanpa syak sedikit juga dan dengan
penyaksian hati yang sangat yakin.
6. Ibnu Bajjah
Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan
manusiawi. perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dan keinginan hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan
manusiawi adalah perbuatan yang didasrkan atas petimbangan rasio dan kemauan
yang bersih lagi luhur.
Sebagi contoh, perbuatan makan bisa dikategorikan perbuatan hewani dan
bisa pula menjadi perbuatan manusiawi. Apabila perbuatan makan tersebut dilakukan
untuk memenuhhi keinginan hawa nafsu, perbuatan ini jatuh pada perbuatan hewani.
Namun, apabila perbuatan makan dilakukan bertujuan untuk memelihara kehidupan
dalam dalam mencapai keutamaan hidup, perbuatan tersebut jatuh pada perbuatan
manusiawi.
Perbedaan antara kedua perbuatan ini tergantung pada motivasi pelakunya,
bukan pada perbuatannya. Perbuatan yang bermotifkan hawa nafsu tergolong pada
jenis perbuatan hewani dan perbuatan bermotifkan rasio maka dinamakan perbuatan
manusiawi.
Pandangan Ibnu Bajjah diatas sejalan dengan ajaran Islam. Lebih lanjut ia
menjelaskan bahwa manusia yang mendasarkan perbuatanya atas iradah yang
merdeka dan akal budi akan dapat mencapai kebahagiaan. Menurut Ibnu Bajjah,
11
apabila perbuatan dilakukan demi memuaskan akal semata, perbuatan ini mirip
dengan perbuatan ilahy dari pada perbuatan manusiawi.
Secara ringkas Ibbnu Bajjah membagi tujuan perbuatan manusia menjadi tiga
tingkat sebagai berikut :
a. Tujuan jasmaniah, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Pada tujuan ini
manusia sama derajatnya dengan hewan.
b. Tujuanrohaniah husus, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Tujuan ini akan
melahirkan keutamaan akhlaqiyyah dan aqliyyah.
c. Tujuan rohaniah umum (rasio), dilakukan atas dasar kepuasan pemikiran untuk
dapat berhubungan dengan Allah. Inilah tingkat manusia yang sempurnadan taraf
inilah yang ingin dicapai manusia penyendiri Ibnu Bajjah.
7. Ibnu Thufail
Menurutnya, manusia merupkan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan
esesnsi non-bendawi, dan dengan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa
dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek
sifatnya, dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan
Tuhan. Mengenai peniruanya, pertamaterikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya
akan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca burukdan binatang
buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua
menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek
hidup dan tak hidup, pereungan atas esensi Tuhan dan perputaran atas esesnsi Tuhan
dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Thufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa
hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan.
Terahir dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan, yaitu pengetahuan,
kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan jasmaniah dan sebagainya.
Melaksanakan kewajiban demi diri sendiri, demi yang lain-lain dan demi Tuhan,
secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang
terahir adalah suatu ahir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada
perwujudanya dalam visi akan rahmat Tuhan. Dan visi sekaligus menjadi identik
dengan esensi Tuhan.
12
8. Nashiruddin At-Thusi
Nasir al-Din Abd al-Rahman, gubernur Ismailiyah dan Quhistan,
memerintahkan al-Thusi menerjemahkan kitab al-Thaharah (Tahdzib al-Ahlaq) dari
bahasa Arab kedalam bahasa Persia. Namun al-Thusi melihat karya Maskawaih
tersebut terbatas pada penggambaran disiplin moral, hal yang berhubungan dengan
rumah tangga dan politik tidak disinggung dalam buku tersebut. Padahal, keduanya
merupakan aspek yang sangat penting dari “Filsafat Praktis”, dan karena itu tidak
boleh diabaikan. Atas dasar itulah al-Thusi memasukkan persoalan rumah tangga dan
politik dalam karyanya, Akhlaq-I Nasiri, dengan menyetir pemikiran al-Farabi dan
Ibnu Sina. Jadi karya tersebut tidak semata-mata terjemahan dari Tahdzib al-Ahlaq
sebagaimana diutarakan dalam encyclopedia of Islam, tetapi lebih bersifat ringkasan
dari buku Tahdzib al-Akkhlaq dengan format dan klasifikasi masalah sepenuhnya
merupakan karya al-Thusi.
Bukunya Akhlaq-I Nashiri mengklasifikasikan pengetahuan kedalam
spekulasi dan praktek. Pengetahuan speklatif dibaginya dalam (a) metafisika dan
theology, (b) matematika, (c) ilmu-lmu alam, termasuk elemen, ilmu-ilmu
transportasi, meteorology, minerologi, botani, zoology, psikogi, pengobatan,
astrologi dan agrikultur. Pengetahuan praktis termasuk (a) etika, (b) ekonomi
domestik dan (c) politik. Baik dan buruk tidak luput dari perhatian Thusi. Kebaikan
datang dari Tuhan, sedangkan yang buruk lahir secara kebetulan dalam perjalanan
yang baik.
Menurut al-Thusi bahwa kebahagiaan utama adalah tujuan moral utama, yang
ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia didalam evolusi kosmik dan
diwuudkan lewat kesediannya untuk berdisiplin dan patuh. Al-Thusi juga
menempatkan kebajikan (tafadhol) diatas keadilan dan cinta (mahabbah) sebagai
sumber alami kesatuan, diatas kebajikan.
Bagi al-Thusi, penyakit moral bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab,
yaitu (1) keberlebihan, (2) keberkurangan dan (3) ketakwajaran akal, kemarahan atau
hasrat. Bagi al-Thusi masyarakat berperan. Bagi al-Thusi, masyarakat juga berperan
menentukan kehidupan moral, sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk social,
bahkan kesmpurnaannya terletak pada tindakannya yang bersifat social kepad
sesamanya. Dengan kata lain, ia mendukung konsep cinta dan persahabatan.
Lebih luas permasalahan moral, Thusi memasukkan urusan rumah tangga
kedalamnya. Thusi mendefinisikan rumah (manzil) sebagai hubungan istimewa
13
antara suami dan istri, orang tua dan anak, tuan dan hamba serta kekayaan dan
pemiliknya. Tujuan ilmu rumah tangga adalah mengembangkan system disiplin yang
mendorong terciptanya kesejahteraan fisik,social dan mental kelompok. Mengenai
disiplin anak-anak, Thusi mengikuti pendapat Maskawaih memulai dengan
penanaman moral yang baik lewat pujian, hadiah dan celaan yang halus.
9. Mulla Shadra
Agama Islam diturunkan oleh Allah kepada manusia dengan tujuan untuk
membimbing mereka memperoleh kebahagiaan tertinggi dengan jalan menciptakan
keseimbangan, baik pada tingkat individu maupun social. Hal ini mengandung arti
bahwa substansi manusia yan diciptakan oleh dzat Yang Maha Sempurna, harus
mengetahuui cara mengaktualisasikan seluruh kemampuannya.
Berkaitan dengan kebahagiaan ini, Mulla Shadra menyatakan sangat
bergantung kepada kesempurnaan jiwa dalam proses inteleksi (taaqqul). Lebih lanjut
Shadra mengatakan bahwa pengetahuan dapat mengalih bentuk orang yang tahu
dalam proses trans-subtansi (harka jauhariya)nya menuju kesempurnaan.
Menurut prinsip harka jauhariya, substansi wujud didunia ini mengalami
transformasi terus menerus dengan menempatkan manusia sebagai pusat domain
dunia yang menghubungkan seluruh skala wujud. Berkaitan dengan keadilan
(‘adalah), tidak dapat dipisahkan dengan konsep keseimbangan (I’tidal) yang
memiliki akar kata yang sama. Bagi Mulla Shadra, kedua konsep itu dikaitkan
dengan pucuk kesempurnaan jiwa manusia dan persoalan-persoalan etika didalam
filsafat, tasawuf dan syariah.
14
C. Analisis Tentang Konsep Etika Para Filosof Muslim
Dari sini kami dapat menganalisis bahwa, beberapa konsep-konsep etika filosofis
muslim mencerminkan pengaruh aliran-aliran filsafat Yunani. Karya-karya tentang
moral yang mula-mula ditulis oleh al-Kindi sebagai filosof Muslim pertama, juga
dipengaruhi oleh Socrates.
Pengaruh klasik lainnya bisa juga dilihat dalam karya-karya filosof beraliran
Platonis seperti Abu Bakar al-Razi, yang mengikuti pembagian Plato tentang pembagian-
pembagian jiwa, dan kalangan Neoplatonis seperti al-Farabi. Sementara pengaruh
Aristotelian bisa juga dilihat dari al-Farabi, yang mendiskusikan tentang kejahatan.
Didalam karya etika Maskawaih pengaruh Platonis menerima konfirmasi dan
dimensi politiknya lebih jauh dimana sebelumnya tak ada, maka pada saat ini mulai
tampak. Didalam karya etika Maskawaih, ia mencabangkan tiga bagian kebajikan
menjadi kebijaksanaan keberanian, keberanian dan kesederhanaan.
Dimensi politik muncul secara penuh dalam tulisan-tulisan Nasir al-Din al-Tusi
yang menggambarkan jauh lebih baik mengenai kesatuan organis antara politik dan etila
dari pada pendahulunya.
Al-ghazali, yang sistem etikanya mencangkup moralitas filosofis, teologis dan
sufi, adalah contoh yang paling representatif dari tipe etika religius. Terahir Mulla
Shadra, yang pemikirannya dipenuhi oleh elemen-elemen Ibnu Sina dan al-Ghazali,dapat
dianggap sebagai wakil penting pada periode klasik dalam tulisan tentang etika, filsafat
dan teologi.
Dalam beberapa konsep etika ini banyak para filosof yang menghubungkan etika
ini dengan tujuan pencapaian kebahagiaan manusia didunia dan diakhirat diantaranya
adalah, ada juga yang menghubungkan etika dengan jiwa, baik itu merupakan jiwa
hewani, esensi non-bendawi, diantaranya maupun manusiawi. Selain itu masih ada juga
yang menghubungkan moral atau etika dengan politik, rumah tangga dan
menghubungkannya dengan keutamaan-keutamaan dengan mengerjakan perbuatan yang
baik dan terpuji.
15
D. Komparasi Etika, Moral dan Akhlak
Etika merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti: adat
istiadat. Sebagai cabang dari filsafat, maka etika berangkat dari kesimpulan logis dan
rasio guna untuk menetapkan ukuran yang sama dan disepakati mengenai sesuatu
perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah dan pantas atau tidak
pantas untuk dikerjakan.
Di dalam New Masters Pictorial encyclopaedia dikatakan: ethichs is science of moral
philosophy concerned not with fact, but with values; not with caracter of, but the ideal
of human conduct.[6] (Etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta,
tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya).
Sebagian orang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu
memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia.
Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh
manusia di setiap waktu dan tempat dengan ukuran tingkah laku yang baik dan buruk
sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan
itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini
tentang baik dan buruk mempunyai ukuran atau kriteria yang berlainan. Setiap golongan
mempunyai konsepsi sendiri-sendiri.
Adapun perkataan akhlak, berasal dari bahasa Arab jama’ dari khuluqun yang
menurut lughat diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Kata tersebut
mengandung segi-segi keterkaitan dengan perkataan khalqun yang berarti kejadian, serta
erat hubungannya dengan khaliq yang berarti pencipta, dan makhluq yang berarti
diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan
adanya hubungan baik antara khalik dengan makhluk dan makhluk dengan makhluk.
Sementara perkataan moral berasal dari bahasa Latin mores kata jamak dari mos
yang berarti adat istiadat. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan arti
susila. Yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide umum yang diterima
tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Jadi sesuai dengan ukuran-ukuran
tindakan yang oleh umum diterima dalam lingkungan tertentu dan sudah terlembagakan
dalam suatu masyarakat.
Ketiga istilah di atas merupakan istilah-istilah yang banyak dipakai untuk
mengungkapkan makna yang serupa atau hampir sama. Para peneliti etika secara sadar
banyak menyebutkan etika sebagai moral atau juga akhlak. Filsafat moral disebut juga
filsafat akhlak dan sebagainya. Istilah-istilah di atas yang maknanya disamaratakan pada
16
dasarnya tetap memiliki perbedaan, karena dalam segi semantik dapat diketahui bahwa
setiap kata pada dasarnya memiliki karakteristik arti atau makna tersendiri yang
membedakannya dengan kata lainnya. Karena apabila ada dua kata atau lebih, memiliki
makna sama maka akan ada pemubaziran dalam berbahasa.
Untuk dapat membedakannya maka dapat diketahui bahwa etika menetapkan
ukuran sesuatu bertitik tolak dari akal fikiran, tidak dari agama. Di sini letak
perbedaannya dengan akhlak dalam pandangan Islam. Dalam pandangan Islam, ilmu
akhlak adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana
yang buruk berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ajaran etika Islam sesuai dengan
fitrah akal dan fikiran yang lurus. Sementara perbedaannya antara moral dan etika, yakni
etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis.
Jika kita boleh menarik garis batas antara moral dan etika, maka moral adalah
aturan-aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang
dan waktu. Penerapan tata moral dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat tertentu
menjadi bidang kajian antropologi, sedang etika adalah bidang kajian filsafat. Realitas
moral dalam kehidupan masyarakat yang terjernihkan lewat studi kritis (critical studies)
adalah wilayah yang dibidangi oleh etika. Jadi studi kritis terhadap moralitas menjadi
wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah objek material daripada etika.
Berbeda dari etika (filsafat moral), maka akhlak lebih dimaksudkan sebagai suatu
‘paket’ atau ‘produk jadi’ yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dan
direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, tanpa perlu
mempertanyakan dan menyelidiki secara kritis terlebih dahulu.
Akhlak adalah merupakan seperangkat tata nilai yang ‘sudah jadi’ dan ‘siap
pakai’ tanpa dibarengi studi kritis. Sedangkan etika justru sebaliknya, bertugas untuk
mempertanyakan secara kritis rumusan-rumusan masa lalu yang sudah menggumpal dan
mengkristal dalam lapisan masyarakat. Dalam bahasa Indonesia, selain menyerap istilah
etika, moral dan akhlak, juga digunakan beberapa perkataan yang makna dan tujuannya
sama atau hampir sama, yaitu tata susila, kesusilaan, budi pekerti, sopan santun, adab,
perangai dan tingkah laku atau kelakuan.
17
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan :
1. Etika juga adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan
keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan
dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.
2. Beberapa konsep-konsep etika filosofis muslim mencerminkan pengaruh aliran-
aliran filsafat Yunani, juga mempunyai perbedaan dalam menjelaskan konsep-konsep
etika.
3. Etika Islam merupakan pembahasan yang dikembangkan sebagai perpaduan antara
pengaruh filsafat Yunani dan etika yang ada dalam Islam yang berasal dari teks-teks
suci. Perpaduan tersebut telah melahirkan sebuah bentuk baru dalam disiplin
keilmuan yang disebut filsafat akhlak, di mana akhlak sebagai konsep-konsep praktis
menjadi lebih tercerahkan dengan adanya kajian etika.
4. Para filosof muslim, hampir semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika,
modal dasar yang harus diketahui terlebih dahulu adalah pengetahuan tentang jiwa.
5. Akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang
dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan
tingkah laku manusia.
B. Saran
Sebagai seorang muslim yang taat terhadap ajaran Islam, yang sumber
ajarannya berlandaskan pada Kitab Suci yang diturunkan oleh Allah SWT, maka
hendaknyalah kita mengaplikasikan sifat Akhlakul Karimah dalam setiap aktifitas
kehidupan kita. Hal tersebut sebagai cerminan bahwa Islam adalah agama yang
Rahmatan lil ‘alamin ( Rahmat bagi seluruh alam ).
18
DAFTAR PUSTAKA
Bartens, K. Etika, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001
Boy ZTF, Pradana. Filsafat Islam : Sejarah Aliran dan Tokoh, Malang : UMM Press, 2003 Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1986
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis, Bandung : Mizan, 2001
Mustofa, H.A. Filsafat Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1997
Nasution, hasyimsyah. Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1997
Syarif, M.M. Para Filosof Muslim, Jakarta : Mizan, 1993
Zar,Sirajudin.Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya,Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004
19