Post on 22-Jan-2018
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan dalam konteks upaya merekonstruksi suatu peradaban merupakan salah satu
kebutuhan asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban
oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan
kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta
mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari masa ke masa.
Para founding fathers sadar sepenuhnya bahwa untuk membebaskan bangsa Indonesia
dari kungkungan kebodohan dan kemiskinan, jalan satu-satunya adalah dengan
pendidikan. Kesadaran tersebut dituangkan dalam rumusan Pembukaan UUD 1945 yang
menegaskan bahwa salah satu tujuan pembangunan nasional adalah “mencerdaskan
kehidupan bangsa”. Selanjutnya, pada batang tubuh, pasal 31 UUD 1945 lebih tegas lagi
menyatakan”(1) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan ” (2) setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Pada masa reformasi, dengan memperhatikan kondisi global, percepatan akselerasi
pembangunan pendidikan menjadi prioritas utama pembangunan.
Suatu pendidikan dipandang bermutu-diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan
kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional adalah pendidikan yang berhasil
membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian. Untuk
itu perlu dirancang suatu sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses
pembelajaran yang menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk
mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik berkembang secara optimal sesuai
dengan bakat dan kemampuannya adalah salah satu prinsip pendidikan demokratis.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara
lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia
(Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan,
kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan
manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati
urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di
Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di
bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000),
Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57
negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama
ii
Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53
negara di dunia
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut
bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak
disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia.
Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar. Salah satunya adalah
memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajuan
teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak
lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka
sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.Yang kita rasakan
sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal
maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara
lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya
manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat
meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber
daya manusia di negara-negara lain. Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah
yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu
pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal.
Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat
penyediaan sumber daya manusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk
memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang. Mengenai masalah pendidikan,
pemerintah sebenarnya sudah sangat memberikan perhatian dalam rangka peningkatan
kualitas pendidikan, hal ini terlihat dari anggaran pendidikan yang dialokasikan 20% dari
anggaran pendapatan dan belanja negara setiap tahunnya (dalam UU RI No. 20 Tahun
2003 Tentang SISDIKNAS). Dengan anggaran 20% tersebut, setidaknya permasalahan-
permasalahan seperti mahalnya biaya pendidikan, banyak siswa yang putus sekolah, dan
otonomi pendidikan dapat diminimalisir, namun ternyata yang menjadi pusat
permasalahan sekarang adalah 20% dari anggaran pendidikan tersebut belum dapat
terserap secara keseluruhan.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apa saja dampak yang ditimbulkan dari kurangnya daya serap anggaran
pendidikan di Indonesia?
2. Bagaimana keadaan dunia pendidikan Indonesia dimasa yang akan datang, jika
kurangnya daya serap anggaran pendidikan ini belum dapat diselesaikan?
3. Bagaimana solusi untuk mengatasi kurangnya daya serap anggaran pendidikan di
Indonesia?
ii
C. Tujuan
1. untuk Mengatahui Besarnya Anggaran Pendidikan yang Dialokasikan pada
APBN
2. untuk mengetahui bagaimana keadaan pendidikan indonesia di masa yang akan
datang
3. memberikan solusi untuk mengatasi kurangnya daya serap anggaran pendidikan
di indonesia.
ii
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anggaran Pendidikan
Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas
dalam pasal 49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan bahwa
Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor
pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
(dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS Pasal 49 Ayat 1).
Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat
sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih
mengalokasikan dana pendidikan dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu
Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 adalah sebesar Rp 427,6 triliun.
Dari jumlah tersebut, jumlah yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar
Rp36,7 triliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah 20%
dari Rp. 427,6 triliun atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka masih terdapat defisit atau
kekurangan kebutuhan dana pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun. Skenario progresif
pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah
pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen
per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01
% (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan
anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 %
pada tahun 2006 Untuk tahun 2007 saja alokasi APBN untuk anggaran sektor
pendidikan hanya mencapai 11,8 persen. Nilai ini setara dengan Rp 90,10 triliun dari
total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. Permasalahan lainnya yang timbul, bukan karena
pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan sejumlah dana yang
telah dianggarkan. Namun, lebih dikarenakan anggaran pendidikan belum terserap
secara keseluruhan. Hal ini disebabkan waktu pemakaian yang terbatas, dan karena
program dinas pendidikan provinsi tidak jelas, serta kurangnya efektivitas birokrasi
B. Daya Serap Anggaran Pendidikan
Kompleksitas persoalan pendidikan secara nyata tidaklah selesai dengan penambahan
jumlah anggaran. Faktanya, efektivitas mesin birokrasi bidang pendidikan juga amat
menentukan capaian keberhasilan penyediaan akses pendidikan publik. Di tengah
menganggurnya sejumlah anggaran (yang belum diserap) Kementerian Pendidikan
Nasional, dan mencuatnya fakta keterbatasan infrastruktur pendidikan, menyebabkan
ribuan hinggan jutaan anak didik tak bisa menikmati pendidikan adalah hal yang patut
kita sesali. Semestinya anggaran pendidikan harus bisa digunakan secara efisien dan
ii
efektif. Penggunaan anggaran disebut efektif jika anggaran yang digunakan sesuai
atau lebih kecil daripada yang telah direncanakan dan menghasilkan layanan serta
produksi pendidikan yang sama atau melebihirencana semula, sedangkan penggunaan
anggaran disebut efektif bila dengan anggaran tersebut tujuan pendidikan yang telah
direncanakan semula bisa dicapai dengan kuantitas dan kualitas yang sama atau
melebihi dari yang direncanakan (dalam Pidarta, 2007:272)
Andai 81.1 persen sisa anggaran pendidikan (dari Rp 55,6 triliun) bisa digunakan
secara efektif dan efisien, maka persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat selama
ini bisa diminimalisir, bahkan mungkin tidak akan terjadi
C. Efektivitas Kerja Birokrasi Pendidikan
Tidak dipungkiri, bahwa karena kurang cerdasnya manajemen anggaran pendidikan,
jutaan anak bangsa hari ini harus terbengkalai hak akses pendidikannya. Fakta
kecilnya daya serap anggaran pendidikan Kementerian Pendidikan Nasional, juga
membuktikan bahwa persoalan keterbatasan penyediaan akses pendidikan, utamanya
bukan pada soal minimnya anggaran, tetapi lebih pada daya serap, serta efektivitas
kinerja birokrasi dalam mengelola anggaran pembiayaan pendidikan kita.
D. Dampak Kurangnya Daya Serap Anggaran Pendidikan
Kurangnya daya serap anggaran pendidikan di Indonesia ini menimbulkan dampak
yang sangat terasa bagi dunia pendidikan sendiri ditinjau dari landasan ekonomi.
Berikut paparan mengenai dampak kurangnya daya serap anggaran pendidikan
ditinjau dari landasan ekonomi :
1. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku
pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari taman kanak-kanak (TK) hingga
perguruan tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali
tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SD saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000 sampai Rp
1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SMP/SMU bisa
mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Ada beberapa daerah di Indonesia yang sudah
menerapkan sekolah gratis bagi sekolah negeri, namun pada kenyataannya banyak
pungutan liar di sekolah dengan alasan dan dalih uang komite sekolah, dsb. Di sisi
lain sekolah gratis juga membawa dampak yang kurang baik bagi kualitas siswa,
dengan istilah gratis bagi sekolah negeri kualitas pendidikan terasa kurang seimbang
dengan sekolah swasta bermutu yang biaya pendidikannya lebih besar namun kualitas
pendidikannya lebih diutamakan.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini juga tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang menerapkan MBS (manajemen berbasis sekolah). MBS di indonesia
ii
pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana.
Karena itu, komite sekolah/dewan pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah
komite sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan
komite sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena
yang dipilih menjadi pengurus dan anggota komite sekolah adalah orang-orang dekat
dengan kepala sekolah. Akibatnya, komite sekolah hanya menjadi legitimator
kebijakan kepala sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan
tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
2. Banyaknya Siswa yang Putus Sekolah
Kenyataan keterbatasan akses pendidikan publik bukanlah hal baru di negeri ini.
Keterbatasan infrastruktur menyebabkan pendidikan (sekolah) menjadi barang
mahal. Keterbatasan itu kian mencolok di tengah minat masyarakat untuk
mengenyam pendidikan semakin meningkat. Sayangnya, alasan keterbatasan
anggaran, alasan klasik, membuat negara tidak segera menyediakan akses
pendidikan publik berkualitas secara merata. Jutaan anak didik harus rela
membuang mimpi mengenyam pendidikan bermutu.
Tahun ini (2011) 1,1 juta lulusan SMP (Sekolah Menengah Pertama) sederajat
tidak tertampung di jenjang pendidikan SMA (Sekolah Menengah
Atas/SMK/MA). Data Kementerian Pendidikan Nasional menunjukan, jumlah
lulusan SMP sederajat tahun 2011 sebanyak 4,2 juta siswa. Padahal, daya
tampung SMA/SMK/MA hanya sekitar 3,1 juta, jadi ada 1,1 juta siswa yang tidak
mendapat kursi. Agar semua siswa lulusan SMP tertampung di SMA/SMK
sederajat, menurut Mustaghfirin Amin, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan
Menengah, Kementerian Pendidikan Nasional, membutuhkan dana sekitar Rp 4
triliun Demikian juga dengan Pendidikan Tinggi (PT). Dari total 540.953 peserta
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2011,
sebanyak 118.233 dinyatakan lolos ujian. Adapun sisanya, yakni 422.720 siswa
harus menempuh studi di PT Swasta, dengan konsekuensi pembiayaan yang tentu
tidaklah sedikit Bagi yang tidak berduit, terpaksa melupakan mimpi untuk studi.
Jumlah Siswa SMA yang lulus tahun 2011 mencapai 1.450.498. Itu artinya, ada
ratusan ribu siswa (rakyat) yang tidak dapat mengenyam Pendidikan Tinggi.
Setiap tahun ada 51,7 persen lulusan SMA yang tidak melanjutkan studi. Ada
yang jadi penganggur ada ada pula yang memutuskan cari kerja. Tahun 2010,
Kementerian Pendidikan Nasional mendata, penduduk Indonesia yang berusia
kuliah (19-23 tahun) yang terdaftar di perguruan tinggi ada sekitar 5,2 juta orang.
Jumlah itu baru 24,67 persen dari total 21,18 juta pemuda yang mesti kuliah. Lalu
ii
ke mana mereka-mereka ini? Padahal, pendidikan adalah eskalator perubahan
sosial.
3. Penyelenggaraan Otonomi Pendidikan
Pemerintah telah menetapkan kebijakan otonomi pendidikan, sebagaimana
mengacu pada UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 53 tentang Badan
Hukum Pendidikan yang menyebutkan: (1) Penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip
nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan
pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan
Undang-undang tersendiri.
Berdasarkan pasal di atas maka penyelenggaraan pendidikan tidak lagi menjadi
tanggung jawab negara melainkan diserahkan kepada lembaga pendidikan itu
sendiri. Dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 RUU Badan Hukum Pendidikan
disebutkan bahwa Kemandirian dalam penyelengaraan pendidikan merupakan
kondisi yang ingin dicapai melalui pendirian BHP, dengan menerapkan
manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah,
serta otonomi pada pendidikan tinggi. Hanya dengan kemandirian, pendidikan
dapat menumbuhkembangkan kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas, dan
mobilitasnya.
Artinya pemerintah menilai bahwa selama ini terhambatnya kemajuan pendidikan
indonesia diantaranya karena pengelolaan pendidikan yang sentralistis, sehingga
perlunya kebijakan desentralisasi kewenangan (MBS dan otonomi pendidikan)
untuk memajukan pendidikan indonesia. Kenyataannya, kebijakan tersebut
menuai berbagai sikap kontra dari masyarakat karena dinilai sarat dengan tekanan
pihak asing (negara donor) yang menghendaki privatisasi lembaga –lembaga yang
dikelola negara termasuk lembaga pendidikan, sehingga negara pun akan lepas
tangan dari tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan secara penuh.
Sebagaimana diungkapkan oleh komisi hukum nasional (KHN) bahwa dalam
RUU BHP versi yang baru, semua bentuk pendidikan baik yang diselenggarakan
oleh masyarakat, pemerintah daerah atau pemerintah harus berbentuk badan
hukum yang sama yaitu badan hukum pendidikan. Oleh karenanya, jika RUU
BHP disahkan – maka peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
peraturan pemerintah tentang BHMN tidak akan berlaku lagi. Perubahan yang
terjadi antara konsep RUU lama dan yang baru, dapat diamati dari bunyi pasal 1
ayat 7 (versi lama), yang mengatur bahwa ”Penyelenggara adalah satuan
ii
pendidikan berstatus Badan Hukum Pendidikan (BHP)” dan “Semua satuan
pendidikan tinggi harus berstatus Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT)
(Pasal 2 ayat (1)”. Selain itu, disebutkan juga bahwa “Satuan pendidikan dasar dan
menengah dapat berstatus Badan Hukum Pendidikan Dasar Menengah
(BHPDM)”.
Yang menjadi persoalan, apakah RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP)
merupakan jawaban yang tepat bagi pengembangan pendidikan tinggi kedepan?
Bagaimana RUU ini meletakkan peran pemerintah dan masyarakat dalam
menyelenggarakan pendidikan tinggi serta bagaimana mengkonstruksi hubungan
antara penyelenggara pendidikan (yayasan, perkumpulan, badan wakaf,
pemerintah, dll) dengan satuan pendidikan? Apakah RUU BHP memberikan
jaminan bagi terwujudnya pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu
serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan dalam rangka menghadapi
tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global ? Selain itu kebijakan
otonomi pendidikan sendiri merupakan hal belum tentu dapat meningkatkan
kualitas pendidikan, terutama bila makna otonomi itu sendiri ternyata bentuk lepas
tangan pemerintah dengan menyerahkan penyelenggaraan pendidikan secara lebih
besar porsinya kepada masyarakat. Padahal hakikatnya penyelenggaraan
pendidikan merupakan tanggung jawab negara/ pemerintah sebagai pihak yang
diamanahi rakyat untuk mengatur urusan mereka dengan sebaik mungkin.
Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk badan hukum jelas
memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status
itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas
pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas.
Perguruan tinggi negeri pun berubah menjadi badan hukum milik negara
(BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan
pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya
biaya pendidikan di beberapa perguruan tinggi favorit.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi
badan hukum milik negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa
pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di
indonesia. Di jerman, prancis, belanda, dan di beberapa negara berkembang
lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya
rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus
murah atau gratis. Tetapi persoalannya dengan anggaran 20% yang dianggarkan
oleh pemerintah daya serap nya masih kurang. Di tengah persoalan
ketidakmampuan menyerap anggaran ini, tahun 2012 Kementerian pimpinan Moh.
ii
Nuh malah akan mendapat tambahan anggaran. Jika dana anggaran pendidikan
tahun 2011 Rp 248,98 triliun, maka tahun 2012 akan naik menjadi Rp 265, 56
triliun. Kementerian Pendidikan akan ketambahan anggaran sebesar Rp 16.6
triliun.
Jumlah ini sebenarnya lebih dari cukup untuk menutup kebutuhan penyedian
infrastruktur pendidikan bagi 1.1 juta siswa yang tidak tertampung hari ini,
maupun sejumlah siswa lulusan 2012 yang bisa diperkirakan tak lebih sama.
Namun, apakah penambahan anggaran ini kelak akan menjadi solusi bagi
persoalan keterbatasan akses pendidikan kita seperti hari ini? Juga tidaklah tentu.
Jika keadaan kurangnya daya serap anggaran pendidikan di Indonesia ini tidak
benar-benar diperhatikan oleh pemerintah, wakil rakyat dan segenap birokrasi
pendidikan, akan dipastikan bahwa keadaan dunia pendidikan Indonesia akan
semakin terpuruk dan tertinggal dengan negara lain.
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biaya Pendidikan
Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya dan pembiayaan pendidikan sekolah hal ini
dipengaruhi oleh:
1. Kenaikan harga (rising prices)
2. Perubahan relatif dalam gaji guru (teacher’s sallaries)
3. Perubahann dalam populasi dan kenaikannya prosentasi anak disekolah negeri
4. Meningkatnya standard pendidikan (educational standards)
5. Meningkatnya usia anak yang meninggalkan sekolah
6. Meningkatnya tuntutan terhadap pendidikan lebih tinggi (higher education)
F. Solusi Masalah
Untuk mengatasi kurangnya daya serap anggaran pendidikan Indonesia agar
problematika pendidikan di Indonesia dapat diselesaikan satu per satu, solusinya
yaitu: Secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan
dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai, sembari pemerintah
membenahi sejumlah birokrasi pendidikan dalam upaya mengefektifkan kinerja
birokrasi pendidikan.
ii
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan ke sistem
pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang.
Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan
dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih
dahulu.
Pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini, sebenarnya sudah
ikut memikirkan dan memberikan solusi dari setiap problematika pendidikan, hal ini terlihat
dari anggaran pendidikan dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara sudah terjadi
kenaikan anggaran dari tahun ke tahun, namun diharapkan pemerintah dan birokrasi
pendidikan benar-benar optimal dalam menyalurkan dana yang sudah dianggarkan dan dana
yang sudah diberikan pemerintah bisa benar-benar sampai pada masyarakat yang
membutuhkan secara sepenuhnya. sembari kita tentu berharap 20 persen anggaran pendidikan
terus mengalami kenaikan, masyarakat juga menanti agar birokrasi pendidikan segera
membenahi diri. Kementerian Pendidikan Nasional harus secepatnya mengevaluasi kinerja
dan manajemen anggarannya.
Hal ini kita butuhkan segera demi peningkatkan efektivitas kinerja birokrasi pendidikan
untuk menyerap anggaran, demi tersedianya akses pendidikan publik yang merata dan
bermutu. Cukuplah kelalaian pengelolaan seperti ini, sebab sudah terlalu lama hak
masyarakat atas pendidikan itu dikorbankan. Dengan meningkatnya kualitas pendidikan
berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu
membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.
B. SARAN
Makalah ini masih memiliki berbagai jenis kekurangan olehnya itu saran yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan.
ii
DAFTAR PUSTAKA
1. Dedi Supriadi.2004. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
2. Tim Pengelola BOS. 2009. Buku Panduan Bantuan Operasional Sekolah. Depdiknas:
Dirjen Dikdasmen.
3. Anwar, M.I. 1991. Biaya Pendidikan dan Metode Penetapan Biaya Pendidikan.
Mimbar Pendidikan, No.1 Tahun x, 1991: 28-33.
4. Fattah, N. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Remaja Rosdakarya:
Bandung.
5. Horngren, P. 1993. Pengantar Akutansi Manajemen Edisi 6. Jakarta: Erlangga.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil ‘Alamin segala Puji dan Syukur Penulis Panjatkan kepada Allah SWT
yang telah memberikan taufik dan hidayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini, Namun penulis menyadari makalah ini belum dapat dikatakan
sempurna karena mungkin masih banyak kesalahan-kesalahan. Shalawat serta salam semoga
selalu dilimpahkan kepada junjunan kita semua habibana wanabiana Muhammad SAW,
kepada keluarganya, kepada para sahabatnya, dan mudah-mudahan sampai kepada kita selaku
umatnya.
Makalah ini penulis membahas mengenai “DANA PENDIDIKAN DIALOKASIKAN
SEBESAR 20 % DARI ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA NEGARA”, dengan
makalah ini penulis mengharapkan agar dapat membantu sistem pembelajaran. Penulis
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata penulis ucapkan terimakasih atas segala perhatiannya.
Raha, Agustus 2013
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
A. Latar Belakang.............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 3
C. Tujuan............................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN.... ................................................................................... 1
A. Anggaran Pendidikan............................................................................. 4
B. Daya Serap Anggaran Pendidikan .............................................................. 5
C. Efektifitas Kerja Birokrasi Pendidikan......................................................... 5
D. dampak kurang serapnya anggaran pendidikan .................................. 5
E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Biaya Pendidikan...................... 10
F. Solusi Masala........................................................................................ 10
BAB II PENUTUP................................................................................................... 11
A. Kesimpulan.................................................................................................. 11
B. Saran............................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 12
ii
MAKALAH
DANA PENDIDIKAN DIALOKASIKAN
SEBESAR 20 % DARI ANGGARAN
PENDAPATAN BELANJA NEGARA
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK I
1. JAIS
2. LISDAR
3. ASTATI
4. VERIDAYANTI
5. LM. THEO WANDI
SMA NEGERI 1 RAHA
2013