Post on 08-Oct-2019
LAPORAN STUDI EKSKURSI
KEANEKARAGAMAN LAMUN
DI PANTAI PANCORAN BELAKANG KARIMUNJAWA
Disusun Oleh:
BIOLOGI E 2015
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dari pada daratan, oleh
karena itu Indonesia di kenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya
akan berbagai biota laut baik flora maupun fauna. Demikian luas serta keragaman
jasad– jasad hidup di dalam yang kesemuanya membentuk dinamika kehidupan di laut
yang saling berkesinambungan (Bengen, 2001).
Perhatian terhadap biota laut semakin meningkat dengan munculnya kesadaran
dan minat setiap lapisan masyarakat akan pentingnya lautan. Laut sebagai penyedia
sumber daya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral, dan
energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Karena itu
wilayah pesisir dan lautan merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan
kebutuhan di masa datang.
Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial untuk dapat dimanfaatkan
adalah lamun, dimana secara ekologis lamun mempunyai beberapa fungsi penting di
daerah pesisir. Lamun merupakan produktifitas primer di perairan dangkal di seluruh
dunia dan merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme. Biomassa
padang lamun secara kasar berjumlah 700 gram bahan kering/m2, sedangkan
produktifitasnya adalah 700 gram karbon/m2/hari. Oleh sebab itu padang lamun
merupakan lingkungan laut dengan produktifitas tinggi (Fahruddin, 2002).
Di Indonesia ditemukan jumlah jenis lamun yang relatif lebih rendah
dibandingkan negara lain, salah satunya Filipina, yaitu sebanyak 12 jenis dari 7
marga. Namun demikian terdapat dua jenis lamun yang diduga ada di Indonesia
namun belum dilaporkan yaitu Halophila beccarii dan Ruppia maritime (Kiswara
1997).
Tidak seluruh wilayah pesisir dapat ditumbuhi oleh padang lamun. Pulau
Karimunjawa merupakan salah satu pulau besar yang terletak pada koordinat 5050’08”
- 5053’ 25 LS dan 110026’15” - 110026’55” BT dengan luas daratan 4302,5 Ha. Pulau
ini beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin laut yang bertiup sepanjang hari
dengan suhu rata-rata 26 – 300C. Pantai Pancoran Belakang adalah salah satu pantai di
Pulau Karimunjawa yang merupakan habitat lamun.
Seiring dengan berkembangnya pariwisata dan bertambahnya jumlah penduduk
di Karimunjawa juga mempengaruhi ekosistem lamun. Dikarenakan mata
pencaharian masyarakat sebagai nelayan yang mengharuskan penggunaan perahu,
cukup mengancam keberlangsungan hidup padang lamun di sepanjang pantai. Perahu
yang sering berlalu lalang menyebabkan kekeruhan dan banyak membawa substrat
pasir sehingga menempel pada dedaunan lamun dan menghambat proses fotosintesis.
Limbah masyarakat juga mengganggu keberadaan padang lamun karena
mengakibatkan peningkatan sedimentasi. Hal inilah yang melatar belakangi
penelitian ini, kurangnya data terbaru jumlah jenis lamun di indonesia khususnya di
kepulauan karimun jawa mendorong kami untuk melakukan pendataan lamun di
pantai pancoran karimun jawa. Diharapkan penelitian menambah data atau
pengetahuan tentang jenis lamun yang dapat juga meningjatkan informasi kepada
masyarakat dan dinas terkait untuk melestarikan dan melindungi lamun.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keanekaragan lamun di Pantai Pancoran Belakang Karimun Jawa?
2. Bagaimana faktor abiotik di padang lamun Pantai Pancoran Belakang Karimun
Jawa?
C. Tujuan
1. Mengetahui keanekaragan lamun di Pantai Pancoran Belakang Karimun Jawa
2. Mengukur factor abiotik di padang lamun Pantai Pancoran Belakang Karimun
Jawa.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:
1. Bagi Peneliti
Menambah wawasan mengenai cara identifikasi sederhana keanekaragaman lamun.
Selain itu penelitian ini juga merupakan kegiatan pengaplikasian ilmu yang telah
dipelajari pada jenjang kuliah.
2. Bagi Masyarakat Umum
Setelah mengetahui keanekaragaman lamun dan faktor-faktor yang mempengaruhi
kehidupan lamun masyarakat diharapkan turut serta membantu menjaga kelestarian
ekosistem lamun yang berada di kawasan Pantai Pancoran Karimunjawa.
3. Bagi Pemerintah
Berdasarkan dari data keanekaragaman lamun dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kehidupan lamun dapat diambil beberapa kebijakan seperti
konservasi lingkungan terkait ekosistem lamun khususnya yang terdapat di
kawasan Pantai Pancoran Karimunjawa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Lamun
Lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi (Angiospermae) yang telah beradaptasi
untuk dapat hidup terbenam di air laut, seluruh proses kehidupan berlangsung di
lingkungan perairan laut dangkal. Dalam bahasa Inggris lamun disebut seagrass.
Lamun merupakan satu satunya tumbuhan angiospermae atau tumbuhan berbunga
yang memiliki daun, batang, dan akar sejati yang telah beradaptasi untuk hidup
sepenuhnya di dalam air laut. Lamun merupakan tumbuhan berpembuluh, berdaun,
berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas (Friedhelm, 2012).
Pola hidup lamun sering berupa hamparan, maka dikenal juga istilah padang
lamun (Seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area
pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau
jarang. Sedangkan sistem (organisasi) ekologi padang lamun (Seagrass ecosystem).
Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering juga
dijumpai diterumbu karang (Azkab, M.H, 1999).
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan yang produktif dan
penting, hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai stabilitas dan penahan sedimen,
mengembangkan sedimentasi, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang,
sebagai daerah feeding, nursery, dan spawning ground, sebagai tempat
berlangsungnya siklus nutrient (Philips dan Menez, 2008), dan fungsi lain dari padang
lamun yang tidak kalah penting dan banyak diteliti saat ini adalah perspektifnya dalam
menyerap CO2 (carbon sink) (Kawaroe, 2009 dalam Sakaruddin 2011).
1. Karakteristik Lamun
Lamun merupakan tumbuhan yang mempunyai pembuluh secara struktur
dan fungsinya memiliki kesamaan dengan tumbuhan yang hidup di daratan. Seperti
halnya tumbuhan rumput daratan, lamun secara morfologi tampak adanya daun,
batang, akar, bunga dan buah, hanya saja karena lamun hidup di bawah permukaan
air, maka sebagian besar lamun melakukan penyerbukan di dalam air. Lamun
sebagai tumbuhan berbunga sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam
dalam laut (Azkab, 2006).
Lamun sebagian besar berumah dua yang artinya dalam satu tumbuhan
hanya ada bunga jantan saja atau bunga betina saja. Sistem pembiakan generatifnya
cukup khas karena mampu melakukan penyerbukan di dalam air dan buahnya
terendam di dalam air (Phillips & Menes, 1988 dalam Azkab, 2006).
Menurut Den Hartog (1967) dalam Azkab (2006) karakteristik
pertumbuhan lamun dapat dibagi enam kategori yaitu :
a. Parvozosterids, yaitu pertumbuhan dengan daun memanjang dan sempit.
b. Magnozosterids, yaitu pertumbuhan dengan daun memanjang dan agak lebar.
c. Syringodiids, yaitu pertumbuhan dengan daun bulat seperti lidi dengan ujung
runcing.
d. Enhalids, yaitu pertumbuhan dengan daun panjang dan kaku seperti kulit atau
berbentuk ikat pinggang yang kasar.
e. Halophilids, yaitu pertumbuhan dengan daun bulat telur, dips, berbentuk
tombak atau panjang, rapuh dan tanpa saluran udara.
f. Amphibolids, yaitu pertumbuhan dengan daun tumbuh teratur pada kiri kanan.
2. Sifat Lamun Hidup Di Laut
Lamun adalah tumbuhan air yang memiliki sifat-sifat berikut:
a. Mampu hidup di media air asin
b. Mampu berfungsi normal dalam kondisi terbenam
c. Mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang baik
d. Mampu melakukan penyerbukan dan daun generafit dalam keadaan terbenam
3. Ciri Khusus dari Ekosistem Lamun
Ekosistem lamun memiliki kondisi ekologis yang berbeda dengan
ekosistem mangrove dan terumbu karang, ciri-ciri ekosistem ini yaitu:
a. Terdapat di daerah perairan pantai yang landai, terutama di dataran
berpasir/berlumpur;
b. Dapat tumbuh dengan baik hingga batas terendah dari daerah pasang surut
yang berada dekat hutan bakau atau di daerah rataan terumbu karang;
c. Dapat bertahan hidup hingga kedalaman 30 meter di daerah perairan yang
tenang dan terlindung;
d. Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan;
e. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan
tubuhnya terbenam ke dalam air (termasuk daur generatif);
f. Dapat hidup di dalam media air bersalinitas tinggi;
g. Memiliki sistem perakaran yang berkembang baik.
h. Lamun biasanya tumbuh pada substrat pasir, pasir lumpuran, lumpur pasiran,
lumpur lunak, dan karang.
i. Lamun dapat kita temukan tumbuh mulai dari daerah pasang surut terendah
sampai pada subtidal dengan kedalaman hingga 40 m bahkan hingga 90 m
selama masih ada sinar matahari.
B. Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Lamun
1. Pasang surut, karena berhubungan dengan larutnya nutrien dalam air yang
bermanfaat bagi pertumbuhan lamun.
2. Kedalaman air, mempengaruhi tingkat kecerahan yang akan berdampak pada
fotosintesis lamun. Penyebaran lamun berbeda untuk setiap spesies sesuai dengan
kedalaman air. Batas kedalaman sebagian besar spesiesnya adalah 10-12 m, tetapi
pada perairan yang sangat jernih dapat dijumpai pada tempat yang lebih dalam
(Hutomo,1987). Kiswara (1994) menyatakan untuk spesies lamun yang bersifat
pioneer (seperti Cymodoceae spp., Halodule spp., Syringodium spp.) cenderung
tumbuh di bagian perairan dangkal, sebaliknya spesies yang bersifat klimaks
(seperti Pasidonia spp.), cenderung tumbuh pada perairan dalam karena hal ini
berkaitan dengan rhizoma dan kebutuhan respirasi.
C. Faktor yang Mempengaruhi Sebaran dan Pertumbuhan Lamun
Terdapat beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan dan
distribusi ekosistem lamun, yaitu:
1. Kekeruhan
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51
Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut, nilai kekeruhan yang diperbolehkan
untuk wisata dan biota laut adalah <5 NTU.
Kekeruhan dapat mengurangi cahaya yang diterima lamun sehingga
mengganggu aktivitas fotosintesis serta mengakibatkan stres pada lamun sehingga
dapat membatasi pertumbuhan lamun (Waycott et al. 2004). Sebaliknya, vegetasi
lamun dapat meningkatkan laju sedimentasi dan mengurangi laju perombakan
sehingga dapat mengurangi kekeruhan, oleh karena itu dapat memicu pertumbuhan
lamun (De Boer 2007; Hendriks et al.2009).
Pada perairan pantai yang keruh, maka cahaya merupakan faktor pembatas
pertumbuhan dan produksi lamun (Hutomo 1997). Hamid (1996) melaporkan
adanya pengaruh nyata kekeruhan terhadap pertumbuhan panjang dan bobot E.
acoroides.
Penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan sangat mempengaruhi
proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan lamun. Intensitas cahaya yang
tinggi sangat dibutuhkan lamun untuk proses fotosintesis. Jika suatu perairan
terdapat aktivitas pembangunan, sedimen pada badan air akan meningkat dan
mempengaruhi turbiditas air dan berdampak pada fotosintesis. Kondisi ini dapat
mengganggu produktivitas primer ekosistem laut.
2. Temperatur
Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme di perairan
khususnya lautan, karena pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme ataupun
perkembangbiakan dari organisme tersebut. Suhu mempengaruhi proses fisiologi
yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan pertumbuhan. Lamun dapat tumbuh pada
kisaran 5 – 35 ⁰C, dan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25 – 30 ⁰C (Marsh et
al, 1986) sedangkan pada suhu di atas 45 ⁰C lamun akan mengalami stres dan dapat
mengalami kematian (McKenzie, 2008).
3. Salinitas
Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur, lamun
akan mengalami kerusakan fungsional jaringan sehingga mengalami kematian
apabila berada di luar batas toleransinya. Beberapa lamun dapat hidup pada kisaran
salinitas 10 – 45 ‰ (Hemminga dan Duarte, 2000). Thalassia hemprichii dapat
tumbuh optimum pada kisaran salinitas 24-35 ‰, namun dapat juga ditemukan
hidup pada salinitas 3.5 – 60 ‰ dengan waktu toleransi yang singkat (Zieman,
1986 dalam Hemminga dan Duarte, 2000).
Hutomo (1999) menjelaskan bahwa lamun memiliki kemampuan toleransi
yang berbeda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar
yaitu 10-40%. Nilai salinitas yang optimum untuk lamun adalah 35%. Walaupun
spesies lamun memiliki toleransi terhadap salinitas yang berbeda-beda, namun
sebagian besar memiliki kisaran yang besar terhadap salinitas yaitu antara 10-30
‰. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis. Lamun
memiliki kisaran toleransi yang cukup besar terhadap salinitas (Hemminga &
Duarte 2000; Waycott et al. 2004). Namun, salinitas yang rendah atau tinggi secara
negatif mempengaruhi kinerja fotosintesis lamun fase dewasa (Kahn & Durako
2006).
Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur. Lamun
yang tua dapat menoleransi fluktuasi salinitas yang besar (Zieman, 1986).
Ditambahkan bahwa Thalassia ditemukan hidup dari salinitas 3,5-60 °°/o, namun
dengan waktu toleransi yang singkat. Kisaran optimum untuk pertumbuhan
Thalassia dilaporkan berkisar antara salinitas 24-35 °°/0.
Spesies lamun tropis dapat mentolerir salinitas tinggi. Namun, salinitas
yang sangat tinggi dapat memodifikasi keseimbangan karbon dan O2 pada lamun,
yang potensial mempengaruhi kesehatan komunitas lamun dalam jangka panjang
(Koch et al. 2007).
Pada salinitas 40 – 45 o/oo, lamun tropis akan mengalami gangguan
mekanisme fotosintesis (Campbell et al. 2006), bahkan pada kondisi hiposalin (<10
o/oo) atau hipersalin (>45 o/oo) mereka terserang stres yang pada akhirnya
menyebabkan nekrotik dan mati (Hemminga & Duarte 2000; Hogarth, 2007).
Salinitas juga dapat berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas,
kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih lamun. Pada jenis Amphibolis antartica
biomassa, produktivitas dan kecepatan pulih tertinggi ditemukan pada salinitas 42,5
°°/o. Sedangkan kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas,
namun jumlah cabang dan lebar daun semakin menurun (Walker, 1985).
Berbeda dengan hasil penelitian tersebut di atas, Mellors et al. (1993) dan
Sudara (1992) yang melakukan penelitian di Thailand tidak menemukan adanya
pengaruh salinitas yang berarti terhadap faktor-faktor biotik lamun
4. Substrat
Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakter substrat (substrat lumpur,
lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang dan batu karang). Kebutuhan
substrat yang utama bagi pengembangan padang lamun adalah kedalaman sedimen
yang cukup. Semakin tipis substrat (sedimen) perairan akan menyebabkan
kehidupan lamun tidak stabil, sebaliknya semakin tebal substrat perairan lamun
akan tumbuh subur, yaitu berdaun panjang dan rimbun (padat), serta pengikatan
dan penangkapan sedimen semakin tinggi (Zieman, 1975). Kedalaman substrat
dalam stabilitas sedimen berperan untuk : 1). Pelindung lamun dari arus laut, 2).
Tempat pengolahan dan pemasok nutrien.
5. Kecepatan Arus
Arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan
oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh
gerakan periodik jangka panjang. Arus yang disebabkan oleh gerakan periodik
jangka panjang ini antara lain arus yang disebabkan oleh pasang surut (pasut). Arus
yang disebabkan oleh pasang surut biasanya banyak diamati diperairan teluk dan
pantai (Nontji,1993).
Terdapat kecenderungan bahwa arus semakin kuat dengan semakin
jauhnya posisi stasiun dari garis pantai. Arus yang datang dari arah luar pulau akan
tertahan oleh lembaran daun lamun sehingga kecepatannya semakin berkurang di
bagian dalam. Hal ini memperkuat peranan padang lamun sebagai peredam faktor
hidrodinamika (Hemminga & Duarte 2000; Verduin & Backhaus 2000; Schanz &
Asmus 2003; Hendriks et al. 2009).
Arus membuat kolom air tercampur dengan baik, mempengaruhi sebaran
suhu dan salinitas, membawa nutrien ke permukaan yang berguna untuk
pertumbuhan tanaman air dan membawa pasokan oksigen ke perairan yang lebih
dalam (Tait & Dipper, 1998). Namun sebaliknya, arus yang berkurang
kecepatannya dapat meningkatkan konsentrasi fitotoksin dalam sedimen dan
peningkatan ketebalan lapisan batas difusi yang dapat membatasi fotosintesis
(Koch, 2001; Brown, 2009).
Kecepatan arus perairan berpengaruh pada produktivitas padang lamun.
Rumput penyu dapat menghasilkan hasil tetap maksimal pada kecepatan arus
0.5m/det (Dahri et al., 1996). Arus tidak mempengaruhi penetrasi cahaya, kacuali
jika ia mengangkat sedimen sehingga mengurangi penetrasi cahaya.
Aksi menguntungkan dari arus terhadap organisme terletak pada transport
bahan makanan tambahna bagi organisme dan dalam hal pengangkutan buangan
(Moore, 1958). Pada daerah yang arusnya cepat, sedimen pada padang lamun
terdiri dari lumpur halus dan detritus. Hal ini mennunjukkan kemampuan tumbuhan
lamun untuk mengurangi pengaruh arus sehingga mengurangi transport sedimen
(Berwick, 1983 dalam Mintane,1998).
Hidrodinamika perairan tidak saja merupakan faktor yang secara langsung
mempengaruhi lamun dan makroalgae, tapi juga mempengaruhi faktor pembatas
lain seperti ketersediaan nutrien, penetrasi cahaya (kekeruhan) dan stratifikasi suhu
dan salinitas (Lobban & Harrison, 1997).
6. pH
Tumbuhan lamun toleran pada kisaran nilai pH antara 7‒8,5. Kondisi
perairan yang terlalu asam maupun terlalu basa akan menyebabkan terjadinya
gangguan metabolisme.
7. Nutrient
Ketersediaan nutrien menjadi fektor pembatas pertumbuhan, kelimpahan
dan morfologi lamun pada perairan yang jernih (Hutomo, 1997). Unsur N dan P
sedimen berada dalam bentuk terlarut di air antara, terjerap/dapat dipertukarkan dan
terikat. Hanya bentuk terlarut dan dapat dipertukarkan yang dapat dimanfeatkan
oleh lamun (Udy dan Dennison, 1996). Dhambahkan bahwa kapasitas sedimen
kalsium karbonat dalam menyerap fosfat sangat dipengaruhi oleh ukuran sedimen,
dimana sedimen hahis mempunyai kapasitas penyerapan yang paling tinggi.
D. Klasifikasi dan Persebaran Lamun
1. Klasifikasi Lamun
Pengklasifikasian lamun adalah berdasarkan karakter tumbuh-tumbuhan.
Selain itu, genus di daerah tropis memiliki morfologi yang berbeda sehingga
pembedaan spesies dapat dilakukan dengan dasar gambaran morfologi dan
anatomi. Lamun merupakan tumbuhan laut monokotil yang secara utuh memiliki
perkembangan sistem perakaran dan rhizoma yang baik.
Menurut Phillips dan Menez (1988), klasifikasi jenis lamun yang ada di
Indonesia adalah sebagai berikut :
Divisi : Anthophyta
Kelas : Monocotyledonae
Suku : Potamogetonaceae
Marga : Cymodoceae, Halodule, Syringodium, Thalassodendron
Suku : Hydrocharitaceae
Marga : Enhalus, Halophila, Thalassia
2. Persebaran Lamun
Tumbuhan lamun merupakan tumbuhan laut yang mempunyai sebaran cukup
luas mulai dari benua Artik sampai ke benua Afrika dan Selandia Baru. Jumlah jenis
tumbuhan ini mencapai 58 jenis di seluruh dunia (Kuo dan Me. Comb, 1989) dengan
konsentrasi utama didapatkan di wilayah Indo-Pasifik. Dari jumlah tersebut 16 jenis
dari 7 marga diantaranya ditemukan di perairan Asia Tenggara, dimana jumlah jenis
terbesar ditemukan di perairan Filipina (16 jenis) atau semua jenis yang ada di
perairan Asia Tenggara ditemukan juga di Filipina.
Gambar 1. Persebaran Lamun di Dunia
Di Indonesia ditemukan jumlah jenis lamun yang relatif lebih rendah
dibandingkan Filipina, yaitu sebanyak 12 jenis dari 7 marga. (Kiswara, 1994). Dari
beberapa jenis yang ada di Indonesia, terdapat jenis lamun kayu (Thalassodendron
ciliatum) yang penyebarannya sangat terbatas dan terutama di wilayah timur perairan
Indonesia, kecuali juga ditemukan di daerah terumbu tepi di kepulauan Riau
(Tomascik et al, 1997). Jenis-jenis lamun tersebut membentuk padang lamun baik
yang bersifat padang lamun monospesifik maupun padang lamun campuran yang
luasnya diperkirakan mencapai 30.000 km2 (Nienhuis, 1993).
Gambar 2. Persebaran Lamun di Indonesia
Berdasarkan genangan air dan kedalam, sebaran lamun secara vertikal dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu (Kiswara, 1994) :
1. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan selalu terbuka saat air surut yang
mencapai kedalaman kurang dari 1 meter saat surut terendah. Contoh: Halodule
pinifola, Halodule uninervis, Halophila minor/ovata, Halophila ovalis, Thalassia
hemprichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata, Syringodinium
isotifolium dan Enhalus acaroides.
2. Jenis lamun yang tumbuh di daerah kedalaman sedang atau daerah pasang surut
dengan kedalaman perairan berkisar antara 1-5 meter. Contoh: Halodule uninervis,
Halophila ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae
serrulata, Syringodinium isotifolium, Enhalus acaroides dan Thalassodendron
ciliatum.
3. Jenis lamun yang tumbuh pada perairan dalam dengan kedalaman mulai 5-35
meter. Contoh: Halophila ovalis, Halophila decipiens, Halophila spinulosa,
Thalassia hemprichii, Syringodinium isotifolium dan Thalassodendron ciliatum.
BAB III
METODE
A. Waktu dan Tempat
1. Waktu : Senin, 8 April 2018
2. Tempat : Di Pantai Pancoran Belakang, Karimun Jawa
B. Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong ke dalam penelitian observasi
C. Alat dan Bahan
1. Thermometer
2. Higrometer
3. Anemometer
4. Lux meter
5. Refraktrometer
6. DO meter
7. pH stick
8. Buku identifikasi lamun
9. Kamera
10. Alat tulis
D. Cara Kerja
1. Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan data lamun disiapkan
2. Untuk pengambilan data lamun, digunakan line transek
3. Lamun yang ada di transek diamati
4. Jenis lamun diidentifikasi melalui morfologinya, untuk memudahkan identifikasi
seluruh bagian lamun didokumentasikan secara utuh dan detail bagian-bagian
lamun (akar, rimpang, daun)
5. Faktor abitotik di Pantai Pancoran Belakang Karimunjawa diukur.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 1. Data Abiotik di Pantai Pancoran Belakang Karimun Jawa
No Faktor Abiotik Hasil Pengukuran
1 Suhu air 29 °C
2 Kelembaban udara 41
3 Intensitas cahaya 743 Lux
4 Kecepatan Angin 1,5 m/s
5 Salinitas 20
6 DO -
7 pH 6
8 Kekeruhan 5
Tabel 2. Keanekaragaman Lamun di Pantai Pancoran Belakang Karimun Jawa
No. Jenis Lamun Gambar
1. Cymodocea serrulata
2. Enhalus acoroides
3. Halophila ovalis
4. Thalassoa hemprichii
5. Thalassodendron ciliatum
B. Pembahasan
Pulau Karimunjawa merupakan salah satu pulau besar yang terletak pada
koordinat 5050’08” - 5053’ 25 LS dan 110026’15” - 110026’55” BT dengan luas
daratan 4302,5 Ha. Pulau ini beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin laut yang
bertiup sepanjang hari dengan suhu rata-rata 26 – 300C. Pantai Pancoran Belakang
adalah salah satu pantai di Pulau Karimunjawa yang merupakan habitat lamun. Lamun
(seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang termasuk tumbuhan
berbiji satu (Monocotyledonae) yang mempunyai akar, rimpang (rhizome), daun,
bunga dan buah. Lamun dapat dijumpai tumbuh dan berkembang baik di lingkungan
perairan laut dangkal perairan tropis. Lamun juga dapat membentuk kelompok
kelompok kecil dari beberapa meter persegi sampai berupa padang yang sangat luas
yang mencapai ratusan hektar sehingga disebut padang lamun. Padang lamun dapat
berbentuk vegetasi tunggal yang disusun oleh satu jenis lamun atau vegetasi campuran
yang disusun mulai dari 2-12 jenis lamun yang tumbuh (Kiswara, 2000).
Keanekaragaman Lamun di Pantai Pancoran Belakang Karimunjawa
Di Indonesia terdapat 12 species lamun dari 58 species di dunia. Berdasarkan
hasil observasi yang dilakukan pada hari Senin, 8 April 2018 di Pantai Pancoran
Belakang Karimunjawa, dapat diketahui bahwa terdapat 5 species lamun yang
ditemukan. Artinya 41,67% dari seluruh species lamun di Indonesia dapat ditemukan
di Pantai Pancoran Belakang Karimunjawa. 5 species tersebut yaitu Cymodocea
serrulata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Thalassoa hemprichii, dan
Thalassodendron ciliatum.
1. Cymodocea serrulata
Lamun jenis ini tumbuh hanya di substrat pasir, kadang pecahan karang
dan sedikit berlumpur. Hidup pada arus yang tenang. Memiliki rimpang bercabang.
Setiap ujung cabang rimpang terdapat satu tegakan. Memiliki rizhoma yang halus
dan berbentuk serabut, dengan panjang rata-rata akar 10 cm, tiap-tiap tunas terdiri
dari dua sampai lima helaian daun. Daunnya membentuk segitiga yang lebar, dan
menyempit pada bagian pangkalnya, tepi daun bulat bergerigi. Daun memiiki garis
melintang berwarna coklat dari pangkal hingga ujung daun. Panjang rata-rata
helaian daun 8,5 cm dan lebar helaian daun 7-10 cm. Seludang daun berbentuk
segitiga.
2. Thalassodendron ciliatum
nnnnnnnn
nnnn Lamun jenis ini dijumpai pada dasar perairan yang cekung dan berdekatan
dengan daerah tubir terumbu karang. Namun, pada observasi ini ditemukan pada
substrat berpasir. Rimpang mempunyai ruas-ruas dan bercabang. Akar dan rimpang
sangat keras dan berkayu sehingga sangat cocok untuk hidup pada berbagai tipe
sedimen termasuk di sekitar bongkahan batuan karang. Setiap nodus memliki 1
akar tunggang dengan dikelilingi akar serabut. Tegakan batang mencapai 10 sampai
65 cm. Daun-daunnya berbentuk sabit dimana agak menyempit pada bagian
pangkalnya, sehingga mirip seperti pita, ujung daun membulat seperti gigi, tulang
daun lebih dari tiga. Panjang rata-rata helaian daun 14 cm dan lebar helaian daun
0,9-1 cm. Daun memiliki garis melintang berwarna coklat dari pangkal hingga
tengah daun. Daun-daun seperti pita tadi terkumpul membentuk cluster, dimana
satu cluster terbentuk dari tangkai daun yang panjang dari rhizome. Satu tangkai
terdapat 3-4 helai daun. Upih daun bening atau kecoklatan.
3. Enhalus acoroides
Lamun jenis ini tumbuh diperairan dangkal dengan substrat berpasir dan
berlumpur atau kadang-kadang di terumbu karang. Lamun ini tumbuh subur di
daerah yang terlindung di pinggir bawah mintakat pasang surut dan di batas atas
mintakat bawah litoral. Lamun ini hidup di perairan yang tenang. Rimpang tebal
dan berkayu dengan diameter rimpang rata-rata 1 cm. Rimpang memiliki rambut
bisus hitam panjang yang kaku, akar kuat seperti tali. Panjang akar rata-rata 10 cm
dengan jumlah 18-20. Rhizomanya tertanam di dalam substrat. Daun-daunnya
sebanyak 2-4 helai dan berukuran sangat panjang, bentuk mirip pita, ujung daun
membulat kadang-kadang terdapat serat-serat kecil yang menonjol pada waktu
muda, tepi daun seluruhnya jelas, bentuk garis tepinya seperti melilit. Panjang
helaian daun rata-rata 45 cm, sedangkan lebar helaian daun rata-rata 1 cm. Buah
berbentuk bulat telur berukuran 4-7 cm.
4. Thalassia hemprichii
Lamun jenis ini tumbuh di substrat pasir-lumpuran sampai pecahan
karang dari daerah atas pasang tinggi sampai ke surut rendah, kadang-kadang
muncul di atas permukaan air selama surut, dapat tumbuh hingga kedalaman 25
meter. Hidup pada arus yang tenang. Akar tidak tertutupi dengan jaringan hitam,
dengan serat – serat kasar. Panjang akar 10 cm dengan jumlah 1-3 per nodus.
Rimpangnya menjalar dan berbuku – buku. Daun bercabang dua (distichous),
tidak terpisah. Daun lurus hingga sedikit melengkung. Helaian daun berbentuk
pita, terdapat 10-17 tulang-tulang daun yang membujur, pada helaian daun
terdapat garis/bercak hitam coklat, ujung daunya membulat/membukit dan kasar.
Pada daun dilapisi upih yang berwarna putih kecoklatan. Panjang rata-rata helaian
daun 15 cm dan lebar helaian daun 0,9-1 cm.
5. Halophila ovalis
Lamun jenis ini tumbuh di substrat lumpur, pasir-lumpuran, sampai
pecahan karang mulai dari atas pasang tinggi sampai di bawah surut rendah,
merupakan jenis yang dominan di daerah intertidal dan mampu tumbuh sampai
kedalaman 25 meter, kadang-kadang tumbuh bercampur dengan lamun lain.
Namun pada observasi ini, ditemukan pada substrat berpasir. Seperti tanaman
semanggi, daunnya berbentuk bulat telur dan bergaris, memiliki sepasang tangkai,
mempunyai 10-25 pasang tulang daun yang menyilang, bagian tepi daun halus.
Panjang rata-rata helaian daun 2 cm dan lebar 1 cm. Panjang tangkai daun 3,5 cm.
Tiap nodus terdiri dari 1 tanaman dengan 2 daun .dan akar tunggang. Rhizomanya
tipis dan halus, permulaan akarnya berkembang baik di pangkal pada setiap tunas.
Panjang akar rata-rata 1,5 cm dengan jumlah 1-2 per individu. Rimpang menjalar
dan bulat.
Faktor Abiotik di Pantai Pancoran Belakang Karimunjawa
Keberlangsungan hidup lamun sangat dipengaruhi oleh factor-faktor
abiotic dimana lamun tersebut tumbuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan lamun yaitu kedalaman, suhu air, salinitas,
substrat, kekeruhan, intensitas cahaya, kelembaban udara, kecepatan angin.
1. Kedalaman
Pengamatan lamun di Pantai Pancoran Belakang ini dilakukan pada
kedalaman 30 cm hingga kedalaman 200 cm. Sehingga cahaya masih dapat
menembus perairan. Dimana cahaya ini sangat dibutuhkan oleh lamun untuk
fotosintesisnya. Lamun yang ditemukan pada kedalaman tersebut ada 5 jenis
yaitu Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Thalassoa
hemprichii, dan Thalassodendron ciliatum. Menurut Hutomo (1987), batas
kedalaman sebagian besar species lamun adalah 10-12 m.
2. Suhu air
Data yang diperoleh dari hasil pengukuran suhu adalah 290C. Suhu
mempengaruhi proses fisiologi yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan
pertumbuhan. Lamun dapat tumbuh pada kisaran 5 – 35 ⁰C, dan tumbuh
dengan baik pada kisaran suhu 25 – 30 ⁰C (Marsh et al, 1986) sedangkan
pada suhu di atas 45 ⁰C lamun akan mengalami stres dan dapat mengalami
kematian (McKenzie, 2008). Suhu di Pantai Pancoran Belakang merupakan
suhu yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan lamun. Pada suhu
tersebut lamun dapat melakukan respirasi dan fotosintesis secara maksimal.
3. Salinitas
Data hasil pengukuran salinitas di Pantai Pancoran Belakang
sebesar 20%. Salinitas ini sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan
lamun di Pantai Pancoran Belakang. Hutomo (1999) menjelaskan bahwa
lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbeda terhadap salinitas,
namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar yaitu 10-40%. Nilai
salinitas yang optimum untuk lamun adalah 35%. Walaupun spesies lamun
memiliki toleransi terhadap salinitas yang berbeda-beda, namun sebagian
besar memiliki kisaran yang besar terhadap salinitas yaitu antara 10-30 ‰.
Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis. Lamun
memiliki kisaran toleransi yang cukup besar terhadap salinitas (Hemminga &
Duarte 2000; Waycott et al. 2004). Namun, salinitas yang rendah atau tinggi
secara negatif mempengaruhi kinerja fotosintesis lamun fase dewasa (Kahn &
Durako 2006).
4. Substrat
Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakter substrat (substrat
lumpur, lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang dan batu
karang). Substrat di Pantai Pancoran Belakang adalah substrat berpasir.
Berdasarkan dari berbagai referensi, hampir semua species yang ditemukan
memang cocok untuk hidup pada substrat berpasir. Menurut Wood (1987)
dalam Abdunnur (2002), jenis sedimen berkaitan erat dengan kandungan
oksigen dan ketersediaan nutrient dalam sedimen. Pada sedimen berpasir
tidak banyak terdapat nutrient, sedangkan pada substrat yang halus cukup
tersedia nutrient dalam jumlah yang lebih besar.
5. Kekeruhan
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut, nilai kekeruhan yang
diperbolehkan untuk wisata dan biota laut adalah <5 NTU. Hasil pengukuran
kekeruhan di Pantai Pancoran Belakang Karimun Jawa sebesar 5 NTU, yang
menunjukkan bahwa kekeruhan di Pantai Pancoran Belakang masih
memenuhi Baku Mutu Air Laut. Sehingga penetrasi cahaya yang masuk ke
dalam perairan masih dapat maksimal.
Kekeruhan dapat mengurangi cahaya yang diterima lamun sehingga
mengganggu aktivitas fotosintesis serta mengakibatkan stres pada lamun
sehingga dapat membatasi pertumbuhan lamun (Waycott et al. 2004).
Sebaliknya, vegetasi lamun dapat meningkatkan laju sedimentasi dan
mengurangi laju perombakan sehingga dapat mengurangi kekeruhan, oleh
karena itu dapat memicu pertumbuhan lamun (De Boer 2007; Hendriks et
al.2009).
6. Kecepatan angin
Berdasarkan hasil pengukuran, dapat diketahui bahwa kecepatan
angin di Pantai Pancoran Belakang sebesar 1,5 m/s. Kategori kecepatan angin
dibagi menjadi empat kelompok, yaitu (1) Tenang (0-<3,6 m/s); (2) Lambat
(3,6-<5,7 m/s); (3) Cepat (5,7-<11,1 m/s) dan (4) Sangat Cepat (≥ 11,1 m/s).
Jadi, dapat dikatakan bahwa kecepatan angin di Pantai Pancoran Belakang
tergolong tenang. Jika kecepatan angin rendah (tenang), maka kecepatan arus
juga tidak terlalu besar. Kecepatan arus yang tidak terlalu besar akan
berpengaruh terhadap kelarutan nutrient yang dibutuhkan oleh lamun.
Kecepatan angin yang rendah mengakibatkan nutrient yang dibutuhkan
lamun juga rendah. Menurut Koch (2001) dan Brown (2009), arus yang
berkurang kecepatannya dapat meningkatkan konsentrasi fitotoksin dalam
sedimen dan peningkatan ketebalan lapisan batas difusi yang dapat
membatasi fotosintesis.
Namun menurut Nontji (1993), arus tidak hanya dipengaruhi oleh
tiupan angin. Tetapi, dapat pula dipengaruhi oleh gerakan periodik jangka
panjang. Arus yang disebabkan oleh gerakan periodik jangka panjang ini
antara lain arus yang disebabkan oleh pasang surut (pasut). Arus yang
disebabkan oleh pasang surut biasanya banyak diamati diperairan teluk dan
pantai.
7. pH
Berdasarkan hasil pengukuran pH, dapat diketahui bahwa pH di
Pantai Pancoran Belakang sebesar 6. pH ini kurang sesuai dengan kebutuhan
lamun, tumbuhan lamun toleran pada kisaran nilai pH antara 7‒8,5. Kondisi
perairan yang terlalu asam maupun terlalu basa akan menyebabkan terjadinya
gangguan metabolism.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi ekskursi yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Di Indonesia terdapat 12 species lamun. Lamun yang ditemukan di Pantai Pancoran
Belakang Karimunjawa sebanyak 5 species, yaitu Cymodocea serrulata, Enhalus
acoroides, Halophila ovalis, Thalassoa hemprichii, dan Thalassodendron ciliatum.
2. Berdasarkan hasil faktor abiotik yang diperoleh, Pantai Pancoran Belakang
Karimun Jawa merupakan habitat yang cocok untuk keberlangsungan hidup lamun.
DAFTAR PUSTAKA
Azkab, M. H. (2006). Ada Apa Dengan Lamun. Jakarta; Bidang Sumberdaya Laut, Pusat
Penelitian Oseanografi-LIPI. Volume XXXI, Nomor 3, Halaman 45 – 55.
Azkab, M.H. 1999. Kecepatan Tumbuh dan Produksi Lamun dari Teluk Kuta, Lombok.
Dalam:P3O-LIPI, Dinamika komunitas biologis pada ekosistem lamun di pulau
Lombok, Balitbang Biologi Laut, Pulitbang Biologi Laut-LIPI, Jakarta.
Bengen D. G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Berwick, N.L. 1983. Guidelines for Analysis of Biophysical Impact to Tropical Coastal
Marine Resources. The bombay natural history society centenary seminar
conservation in developing countries-problems and prospects, Bombay: 6-10
December 1983.
Campbell SJ, McKenzie LJ, Kerville SP. 2006. Photosynthetic Responses of Seven
Tropical Seagrasses to Elevated Seawater Temperature. Journal of Experimental
Marine Biology and Ecology. vol 330: 455-468.
Dahuri R, R. Kaswadji, F. Yulianda, Y. Wahyudin. 1996. Perumusan Kebijaksanaan
Pengelolaan Lingkungan Kawasan Padang Lamun. (Seagrass Bed). BAPPEDAL
dan PKSPL-IPB.
De Boer, W.F. 2007. Seagrass sediment interactions, positive feedbacks and critical
treshold for occurrence: a review. Hydrobiolia. 5-24pp.
den Hartog C. 1970. The Seagrass of The World. Amsterdam: North Holland.
Friedhelm. 2012. Ecology of Insular Southeast Asia. Jakarta: Salemba Teknika.
Hamid, A. 1996. Peranan Faktor Lingkungan Perairan Terhadap Pertumbuhan Enhalus
acoroides (L.f) Royle di Teluk Grenyang-Bojongara Kabupaten Serang, Jawa
Barat. Thesis. FPIK. IPB. Bogor.
Hemminga, M. A. dan C. M. Duarte. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge University
Press. Cambridge.
Hendrick, I.E., T.J. Bouma, E.P. Morris, and C.M. Duarte. 2009. Effects of seagrasses and
agae of the Coulerpa family on Hydrodynamic and Particle Trapping Rates.
Marine Biology, 473- 481pp
Hogarth, P. 2007. The Biology of Mangroves and Seagrasses, 2nd Mardesyawati, A. dan
E. Setyawan. 2011. Penutupan dan Kerapatan Lamun di Taman Nasional
Kepulauan Seribu Tahun 2009. in E. Setyawan, S. Yusri, dan S. Timotius (editor).
Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka edition. Oxford University Press.
New York.
Hutomo, M. 1997. Padang Lamun Indonesia: Salah Satu Ekosistem Laut Dangkal yang
Belum Banyak Dikenal. Pidato Ilmiah Pengukuhan Peneliti Utama. LIPI. Jakarta.
Kahn, A. E., and M. J. Durako. 2006. Thalassia testudinum seedling responses to changes
in salinity and nitrogen levels. Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology 335: 1-12
Kiswara, W. 1994. Dampak Perluasan Kawasan Industri Terhadap Luas Penutupan
Padang Lamun di Teluk Banten, Jawa Barat. Seminar Nasional Dampak
Pembangunan Terhadap Wilayah Pesisir.2-3 Februari 1994. Jakarta, Indonesia.
Koch EW, Sanford LP, Chen SN, Shafer DJ, Smith JM. 2006. Waves in Seagrass Systems:
Review and Technical Recommendations. Washington DC: System-Wide Water
Resources Program Submerged Aquatic Vegetation Restoration Research Prog
Kuo, J. dan C. den Hartog. 2006. Taxonomy and Biogeography of Seagrasses. in A.W.D.
Larkum, R.J. Orth dan C.M. Duarte (ed). Seagrasses : Biology, Ecology and
Conservation. Springer. Dordrecht. Netherlands
McKenzie LJ, Finkbeiner MA, Kirkman H. 2008. Methods for mapping seagrass
distribution. Di dalam: Short FT, Coles RG, editor. Global Seagrass Research
Methods. Amsterdam: Elsevier Science B.V. hlm 101-121.
Nontji. A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Philips RC, Milchakova NA. 2003. Seagrass ecosystems. Biology and Ecology. 350: 3 20.
Sakaruddin, M, I. 2011. Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas
Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 –
2010. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Tait RV, Dipper EA. 1998. Elements of Marine Ecology. 4th Edition. Oxford :
Butterworth-Heinemann.
Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas.
Part II. (Chapter 18: Seagrass). Dalhousie University. hlm 829-906.
Udy JW, WC Dennison. 1996. Estimating Nutrient Availability in Seagrass Sediments. Di
Dalam : Kuo J, RC Phillips, DI Walker, H Kirkman, editors. Seagrass Biology :
Proceedings of an International Workshop, Rottnest Island, western Australia : 25-
29 January 1996. hal. 163-172.
Walker DI. 1985. Correlations Between Salinity and Growth of The Seagrass Amphibolis
antartica (Labill.) Sonders & Aschers. In Shark Bay, Western Australia, Using A
New Method for Measuring Production Rate. Aquat. Bot. 23 : 13-26.
Waycott M, McMahon K, Mellors J, Calladine A, Kleine D. 2004. A Guide to Tropical
Seagrasses of The Indo-West Pacific. Townsville: James Cook University.
Zieman, J.C. (1975). “Tropical seagrass ecosystem and pollution” In Tropical Marine
pollution. E.J. Ferguson wood & R.E. Johannes (ed.). Elsevier Sci. Publish.
Co. Amsterdam pp. 63-73.
LAMPIRAN
Pengukuran Intensitas Cahaya Pengukuran Kecepatan Angin
Pengukuran Suhu Pengukuran pH
Pengukuran Kekeruhan Air