Post on 27-Oct-2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sel-sel otak dikelilingi oleh membrane yang dalam keadaan normal
membrane sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K + dengan konsentrasi
di dalam sel neuron lebih tinggi dan sangat sulit dilalui oleh ion Na+ dengan
konsetrasi di luar sel neuron lebih tinggi . Untuk menjaga keseimbangan potensial
membrane sel diperlukan energy dan enzim Na-K-ATP ase yang terdapat pada
permukaan sel. Keseimbangan potensial membran sel dipengaruhi oleh perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, perubahan patofisioloogi dari membran,
serta rangsangan mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya. Jika keseimbangan potensial membran terganggu karena beberapa
hal tersebut mengakibatkan kejang.
Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak.
Kejang dapat disebabkan oleh banyak factor, seperti penyakit, demam,
rangsangan elektroshock atau pengaruh bahan kimia. Konvulsi adalah gerak otot
klonik atau tonik yang involuntary manifestasi dari kejang. Sebagai seorang
dokter kadang-kadang kita harus dapat memberikan pengobatan awal untuk
menghentikan kejang yang terjadi. Phenobarbital dan diazepam merupakan
golongan antikonvulsan yang menghambat penjalaran neurotransmitter kejang
Phenobarbital diketahui memiliki efek antikonvulsi dengan membatasi
penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang proses
peghambatan dan mengurangi transmisi eksitasi. Sedangkan diazepam terutama
digunakan untuk terapi konvulsi rekuren,
Striknin dan metrazol dapat menyebab kejang. Striknin menyebabkan
perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini merupakan obat konvulsan kuat
dengan sifat kejang yang khas. Pada tikus striknin menyebabkan kejang tonik dari
badan dan semua anggota gerak. Striknin ternyata juga merangsang medula
spinalis secara langsung
1.2. Tujuan
1.2.1. Mahasiswa dapat mengamati perubahan perilaku tikus akibat obat
konvulsan striknin dan metrazol dengan menghitung onset of action
setelah penyuntikan
1.2.2. Mahasiswa dapat membandingkan efek mekanisme kerja dari obat
konvulsan srtiknin dan metrazol
1.2.3. Mahasiswa dapat mengamati efek antikonvulsan penobarbital dan
diazepam.
1.2.4. Mahasiswa dapat membandingkan efek antikonvulsan Phenobarbital dan
diazepam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kejang
2.1.1. Definisi
Kejang adalah masalah neurologik yg relatif sering dijumpai.
Diperkirakan bahwa 1 dari 10 orang akan mengalami kejang suatu saat selama
hidup mereka. dua puncak usia untuk insidensi kejang adalah dekade pertama
kehidupan dan setelah usia 60 tahun. Kejang terjadi akibat lepas muatan
paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah
terpicu (fokus kejang) sehingga mengganggu fungsi normal otak. Namun
kejang juga terjadi dari jaringan otak normal dibawah kondisi patologik
tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam basa atau elektrolit. Kejang
itu sendiri, apabila berlangsung singkat, jarang menimbulkan kerusakan, tetapi
kejang dapat merupakan manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang
membahayakan, misalnya gangguan metabolisme, infeksi intrakranium, gejala
putus obat, intoksikasi obat, atau enselofati obat, atau enselofati hepertrnsi.
Bergantung pada lokasi neuron-neuron fokus kejang ini, kejang dapat
bermanifestasi sebagai kombinasi perubahan tingkat kesadaran dan gangguan
dalam fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Istilah 'kejang' bersifat generik,
dan dapat digunakan penjelasan lain yang spesifik sesuai karakteristik yang
diamati. Kejang dapat terjadi hanya sekali atau berulang. Kejang rekuran,
spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi
bertahun-tahun disebut epilepsi. Bangkitan motorik generalisata yang
menyebabkan hilangnya kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik
sering disebut kejang. Kejang konvulsi biasanya menimbulkan kontraksi otot
rangka yang hebat dan involunter yang mungkin meluas dari satu bagian tubuh
keselruh tubuh atau mungkin terjadi secara mendadak disertai keterlibatan
seluruh tubuh.
2.1.2. Patofisologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebih dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas
muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, thalamus, dan korteks
serebrum kemunginan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebrum
dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Ditingkat membrane sel, fokus keang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut:
Instabilitas membrane sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan
Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara
berlebihan
Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau defisiensi GABA
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan kesimbangan ini
menyebakan peningkatan berlebihan neurotransmitter inhibitor.
Perubahan-perubahan metabolic yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi
akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara
drastic meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat
menjadi 1000/detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinal (CSS) selama dan
setelah kejang. Asam glutamate mungkin mengalami depresi selama aktivitas
kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada
otopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi bersifat
neurokimiawi bukan structural. Belum ada faktor patologik yang
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya
sangat peka terhadap asetilkolin, suatu neurotransmitter
fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat meningkat atau
manyingkirkan asetilkolin.
2.1.3. Jenis Kejang
Kejang diklasifikasikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan
apakah kesadaran utuh atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut
sebagai kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi parsial sederhana
(kesadaran utuh) dan parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang).
Kejang parsial dimulai disuatu daerah diotak, biasanya korteks
serebrum. Gejala kejang ini bergantung pada lokasi fokus di otak. Sebagai
contoh, apabila fokus terletak di korteks motorik, maka gejala utama mungkin
adalah kedutan otot sementara apabila fokus terletak di fokus sensorik maka
pasien mengalami gejala-gejala sensorik termasuk baal sensasi seperti ada yang
merayap atau seperti tertusuk-tusuk. Kejang sensorik biasanya disertai
beberapa gerakan klonik, karena di korteks sensorik terdapat beberapa
representasi motorik. Gejala autonom adalah kepucatan, kemerahan,
berkeringat dan muntah. Gangguan daya ingat, disfagia dan dejavu adalah
contoh gejala psikis pada kejang parsial. Kita harus mengamati dengan cermat
dimana kejang di mulai, karena hal ini dapat memberi petunjuk tentang lokasi
lesi. Sebagian pasien mungkin mengalami perluasan ke hemisfer kontralateral
disertai hilangnya kesadaran.
Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks (dahuli dikenal
sebagai kejang psikomotorik atau lobus temporalis) sering berasal dari lobus
temporalis medial atau frontalis inferior dan melibatkan gangguan pada fungsi
serebrum yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta perilaku motorik
yang kompleks. Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip atau
rangsangan lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunta
yang terkoordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatis (automatic behavior).
Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju, meraba-raba benda,
bertepuk tangan, mengecap-ngecap bibir atau mengunyah berulang-ulang.
Pasien mungkin mengalami perasaan khayali berkabut seperti mimpi. Pasien
tetap sadar selama serangan tetapi umumnya tidak dapat mengingat apa yang
terjadi. Kejang parsial kompleks dapat meluas dan menjadi kejang generalisata.
Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan
diensefalon serta ditandai dengan awitan aktifitas kejang yang bilateral dan
simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang
berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan
sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini biasanya muncul tanpa aura atau
peringatan terlebih dahulu. Terdapat beberapa kejang generalisata.
Kejang absence (dahulu disebut petit mal) ditandai dengan hilangnya
kesadaran secara singkat, jarang berlangsung lebih dari beberapa detik. Sebagai
contoh, mungkin pasien tiba-tiba menghentikan pembicaraan, menatap kosong
atau berkedip-kedip dengan cepat. Pasien mungkin mengalami satu atau dua
kali kejang sebulan atau beberapa kali sehari. Kejang absence hampir selalu
terjadi pada anak, awitan jarang di jumpai setelah usia 20 tahun. Serangan-
serangan ini mungkin menghilang stelah pubertas atau di ganti oleh kejang tipe
lain terutama kejang tonik-klonik. Kejang tonik-klonik (dahulu disebut grand
mal) adalah kejang epilepsi klasik. Kejang tonik-klonik diawali oleh hilangnya
kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara menangis, akibat ekspirasi
paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan
posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik kemudian klonik, dan inkontinensia
urin atau alvi (atau keduanya), disertai disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-
otot berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung
beberapa detik. Fase klonik memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang
berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-
gerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi
kekuatannya tidak berubah. Lidah mungkin tergigit, hal ini terjadi pada sekitar
separuh pasien (spasme rahang dan lidah). Keseluruhan kejang berlangsung 3
sampai 5 menit dan diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin berlangsung
beberapa menit sampai selama 30 menit. Setelah sadar pasien mungkin tampak
kebingungan, agak stupor atau bengong. Tahap ini disebut sebagai periode
pascaiktus. Umumnya pasien tidak dapat mengingat kejadian kejangnya.
Efek fisiologik kejang tonik-klonik bergantung pada lama kejang
berlangsung. Kejang tonik-klonik yang berkepanjangan menyebabkan efek
neurologik dan kardiorespirasi yang berat. Efek dini disebebkan oleh
meningkatnya ketokolamin dalam sirkulasi. Apabila kejang berlanjut lebih dari
15 menit, maka terjadi epilepsi ketokolamin yang menyebabkan timbulnya efek
sekunder atau lambat. Kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat
menyebabkan henti jantung dan nafas.
Kejang tonik-klonik demam, yang sering disebut sebagai kejang demam,
paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Teori menyarankan
bahwa kejang ini disebabkan oleh hipertermia yang muncul secara cepat yang
berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri . Kejang ini umumnya berlangsung
singkat, dan mungkin terdapat predisposisi familial. Pada beberapa kasus,
kejang dapat berlanjut melewati masa anak dan mungkin mengalami kejang
nondemam pada kehidupan selanjutnya.
2.2. Striknin dan Metrazol
Striknin sebenarnya tidak bermanfaat untuk terai, tetapi untuk
menjelaskan fisiologi dan farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat
utama di antara obat yang bekerja secara sentral.
Striknin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica, tanaman yang
banyak tumbuh di India. Striknin merupakan penyebab keracunan tidak sengaja
(accidential poisoning) pada anak. Dalam nux vomica juga terdapat alkaloid
brusin yang mirip striknin baik kimia maupun farmakologinya. Brusin lebih
lemah dibandingkan striknin, sehingga efek ekstra nux vomica boleh dianggap
hanya disebabkan oleh striknin.
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif
terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan
pascasinaps, dimana glisin juga bertindak sebagai transmiter penghambat
pascasinaps yang terletak pada pusat yanng lebih tinggi di SSP. (Louisa dan
Dewoto, 2007)
Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini
merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba
konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak.
Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang
merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah
kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu
pendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada
hewan yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga
merangsang medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek striknin
dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut
konvulsi spinal. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Medula oblongota hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang
menimbulkan hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin tidak langsung
mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi
perubahan tekanan darah berdasarkan efek sentral striknin pada pusat vasomotor.
Bertambahnya tonus otot rangka juga berdasarkan efek sentral striknin.pada
hewan coba dan manusia tidak terbukti adanya stimulasi saluran cerna. Striknin
digunakan sebagai perangsanmg nafsu makan secara irasional berdasarkan
rasanya yang pahit. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segera
meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP tidak lebih
daripada di jaringan lain. Stirknin segera di metabolisme oleh enzim mikrosom
sel hati dan diekskresi melalui urin. Ekskresi lengkap dalam waktu 10 jam,
sebagian dalam bentuk asal. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka
dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat.
Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya
terjadi konvulsi tetanik. Pada stadium ini badan berada dalam sikap hiperekstensi
(opistotonus), sehingga hanya occiput dan tumit saja yang menyentuh alas tidur.
Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi penuh. Napas terhenti karena kontraksi
otot diafragma, dada dan perut. Episode kejang ini terjadi berulang; frekuensi dan
hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot
ini menimbulkan nyeri hebat, dan pesien takut mati dalam serangan berikutnya.
Kematian biasanya disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat
gangguan napas. Kombinasi dari adanya gangguan napas dan kontraksi otot yang
hebat dapat menimbulkan asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat;
yang terakhir ini mungkin akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma.
(Louisa dan Dewoto, 2007)
Obat yang penting untuk mengatasi hal ini ialah diazepam 10 mg IV,
sebab diazepam dapat melawan kejang tanpa menimbulkan potensial terhadap
depresi post ictal, seperti yang umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau
obat penekan ssp non-selektif lain. Kadang-kadang diperlukan tindakan anastesia
atau pemberian obat penghambat neuromuskular pada keracunan yang hebat.
(Louisa dan Dewoto, 2007)
Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang dan
membantu pernapasan. Intubasi pernapasan endotrakeal berguna untuk
memperbaiki pernapasan. Dapat pula diberikan obat golongan kurariform untuk
mengurangi derajat kontraksi otot. Bilas lambung dikerjakan bila diduga masih
ada striknin dalam lambung yang belum diserap. Untuk bilas lambung digunakan
larutan KMnO4 0,5 ‰ atau campuran yodium tingtur dan air (1:250) atau larutan
asam tanat. Pada perawatan ini harus dihindarkan adanya rangsangan sensorik.
(Louisa dan Dewoto, 2007)
Selain striknin, obat lain yang memiliki kemampuan eksitasi kuat pada
SSP adalah pentilentetrazol. Pentilentetrazol (pentametilentetrazol) yang di
Amerika Serikat dikenal dengan nama dagang Metrazol dan di Eropa Krdiazol
merupakan senyawa sintetik. Kejang oleh pentilentetrazol mirip hasil
perngsangan listrik pada otak dengan intensitas sebesar ambang rangsang, juga
mirip sekali dengan serangan klinik epilepsy petit mal pada manusia. Dengan
dosis yang lebih tinggi umumnya akan terjadi kejang klonik yang asinkron.
Mekanisme kerja utama pentilentetrazol ialah penghambatan system GABA-
nergik, dengan demikian akan meningkatkan eksitabilitas SSP.
2.3. Dilantin dan Luminal
2.3.1. Mekanisme kerja dilantin (fenitoin) dalam menghambat kejang akibat
strycnin dan metrazol
Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi,
kecuali bangkitan lena. Adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada
ato, C5 penting untuk efek pengendalian bangkitan tonik-klonik,
sedangkan gugus alkil bertalian dengan efek sedasi, sifat yang terdapat
pada mefenitoin dan barbiturat, tetapi tidak pada fenitoin. Fenitoin
mempunyai efek utama pada beberapa sistem fisiologis. Senyawa ini
mengubah konduktans natrium, kalium dan kalsium, potensial membran,
dan konsentrasi asam amino dan neurotransmiter norepinephrine,
acetylcholine, dan GABA. Fenitoin menyekat potensiasi pascatetanik
dalam preparat korda spinalis, tetapi peranan dari efek ini dalam
menekan perkembangan penyebaran seizure masih belum dapat
dijelaskan.
Pada konsentrasi tinggi, fenitoin juga menghambat pelepasan
serotonin dan norepineprin, meningkatkan ambilan dopamin, dan
menghambat aktivitas monoamine oxidase (MAO). Disamping itu,
secara berlawanan, fenitoin menyebabkan eksitasi pada beberapa neuron
serebral. Pengurangan permeabilitas kalsium, dengan hambatan influks
kalsium melintasi membran sel, mungkin dapat menjelaskan
kemampuan fenitoin untuk menghambat berbagai macam proses
sekretatorik yang dikendalikan oleh kalsium, termasuk rilis hormon dan
neurotransmiter.
Mekanisme kerja fenitoin kemungkinan besar melibatkan
kombinasi kerja pada beberapa tingkata. Pada kondisi terapeutik, kerja
utama dari fenitoin adalah menghambat kanal natrium dan menghambat
terjadinya potensial aksi yang berulang.
Diazepam merupakan golongan Benzodiazepam , yang terutanma
digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status epileptikus. Obat ini
juga bermamfaat untuk terapi bangkitan kejang epilepsy parsial sederhana
misalnya bangkitan kronik fokal dan hipsaritmia yang refrakter terhadap
terapi lazim. Diazepam dapat efektif pada bangkitan lena karena menekan 3
gelombang paku dan ombak dalam satu detik.
Untuk mengatasi bangkitan ehjang status epileptikus , disuntikan 5
– 20 mg diazepam IV secara lamba . Dosis ini dapat diulang 5 – 20 menit
sampai berapa jam. Diazepam dapat menghasilkan atau mengendalikan 80 –
90 % pasien bangkitan rekuren. Pemberian per rectal dengan dosis 0,5 mg
atau 1 mg/ kg BB diazepam utuk bayi dan anak dibawah 11 tahun dapat
menghasilkan kadar 500ml dalam waktu 2 – 6 menit. Bagi anak yang lebih
besar dan orang dewasa pemberian per rectal tidak bermamfaat untuk
mengatasi kejang akut, karena kadar puncak lambat tercapai dan kadar
plasmanya rendah. Walaupun diazepam telah sering digunakan unuk
mengatasi konvulsi rekuren, belum dapat dibandingkan mamfaatnya setelah
digunakan obat lain, seperti barbiturate atau anastesi umum , untuk ini masih
diperlukan uji terkendali perbandingan efektifitas.
Efek samping berat dan berbahaya yang menyertai penggunaan
diazepam iv ialah obstruksi saluran nafas oleh lidah, akibat relaksasi otot.
Disamping ini dapat terjadi depresi nafas sampai henti nafass, hipotensi,
henti jantung dan kantuk.
2.3.2. Mekanisme kerja luminal (Phenobarbital) dalam menghambat kejang
akibat striknin dan metrazol
Sebagai antiepilepsi, fenobarbital menekan letupan di fokus
epilepsi. Barbiturat menghambat tahap akhir oksidasi mitokondria,
sehingga mengurangi pembentukan fosfat berenergi tinggi. Senyawa
fosfat ini perlu untuk mensintesis neurotransmiter misalnya Ach, dan
untuk repolarisasi membran sel neuron setelah depolarisasi. Data terbaru
menunjukkan bahwa phenobarbital secara selektif menekan neuron
abnormal, menghambat penyebaran, dan menekan firing (rangsangan
depolarisasi) dari neuron fokus. Seperti fenitoin, phenobarbital menekan
high frequency-repetitive firing pada neuron yang dikultur, melalui
kerjanya pada konduktans natrium, tetapi hanya pada konsentrasi tinggi.
Juga pada konsentrasi tinggi, barbiturat menyakat beberapa arus Ca 2+ .
phenobarbhital terikat pada suatu situs pengatur alosentrik pada reseptor
GABA-benzodiazepin , dan memperkuat arus masuk yang diprakarsai
oleh reseptor GABA dengan memperlama pembukaan kanal ion Cl-.
Phenobarbhital juga menyekat respons eksitatorik yang diinduksi oleh
glutamate, terutama yang diprakarsai oleh aktivitas reseptor AMPA.
Baik penguatan inhibisi yang diprakarsai oleh GABA maupun
pengurangan eksitasi yang diprakarsai oleh glutamate dilihat pada
konsentrasi phenobarbhital yang mempunyai relevansi terapeutik.
2.4. Mekanisme Kerja Toksin dalam Menimbulkan Kejang
Tetanus dimulai ketika spora dari Clostridium tetani memasuki jaringan
rusak. Spora mengubah menjadi bakteri berbentuk batang dan menghasilkan
racun saraf tetanospasmin (juga dikenal sebagai toksin tetanus).
Tetanospamin adalah toksin yang menyebabkan spasme bekerja pada
beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
a. Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Karakteristik dari tetanus (seperti strikmin) terjadi karena toksin
mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh
cerebral ganglioside.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan di Autonomik Nervous System
(ANS) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti
takikardi, aritmia jantung, peninggian katekolamine dalam urine.
Kerja dari tetanospamin adalah analog dari strikmine, dimana ia
mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuro spinal
dan menginhibisi terhadap batang otak.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang
menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensyarafi otot masester
sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masester adalah otot yang paling
sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap aferen tidak hanya
menimbulkjan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis
dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas.
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu :
a. Toksi diabsorbsi melalui ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik
dibawa ke kornu anterior susunan syaraf pusat.
b. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam aliran darah arteri
kemudian masuk ke dalam susunan syaraf pusat.
Toksin menyebar dari saraf perifer secara ascending bermigrasi secara
sentripetal atau secara retrograd mencapai CNS. Penjalaran terjadi di dalam axis
silinder dari sarung perineural. Teori baru mengatakan toksin menyebar melalui
aliran darah (hematogen) dan jaringan sistem limpatik.
Masa inkubasi 5-14 hari tetapi bisa lebih pendek (1 hati atau lebih lama
atau beberapa minggu).
2.5. Mekanisme Kerja Antikonvulsan dalam mengatasi kejang
Pada prinsipnya, obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses
inisiasi dan penyebaran kejang. Namun, umumnya obat antiepilepsi lebih
cenderung bersifat membatasi proses penyebaran daripada mencegah proses
insiasi. Dengan demikian ada dua mekanisme kerja, yaitu : peningkatan inhibisi
(GABA-ergik) dan penurunan eksitasi yang kemudian memodifikasi konduksi
ion : Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmitor, meliputi :
1. Inhibisi kanal Na+ pada membran sel akson, contoh: fenitoin dan
karbamazepin (pada dosis terapi), fenobarbital dan asam valproat (dosis
tinggi), lamotrigin, topiramat, zonisamid.
2. Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron talamus (yang berperan sebagai pace-
maker untuk membangkitakan cetusan listrik umum di korteks). Contoh :
etosuksimid, asam valproat, dan clonazepam.
3. Peningkatan inhibisi GABA
a. Langsung pada kompleks GABA dan kompleks Cl-. Contoh :
benzodiazepin, barbiturat
b. Menghambat degredasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi re-uptake
dan metabolisme GABA. Contoh : taigabin, vigrabatrin, asam valproat,
gabapentin
4. Penurunan eksitasi glutamat, yakni melalui :
a. Blok reseptor NMDA, misalnya lamotrigin
b. Blok reseptor AMPA, misalnya fenobarbital, topiramat
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1. Metode Kerja
3.1.1. Alat
spuit 1 cc dan 3 cc
timbangan digital
stopwatch
3.1.2. Bahan
spuit 1 cc dan 3 cc
timbangan digital
stopwatch
tikus 4 ekor setiap kelompok
obat konvulsan :
i. injeksi striknin 10cc/kgBB i.p
ii. injeksi metrazol dosis 10cc/kgBB i.p
obat antikonvulsan :
i. injeksi fenobarbital 10cc/kgBB i.p
ii. injeksi diazepam dosis 10cc/kgBB i.p
3.1.3. Langkah Kerja
1. Masing-masing tikus ditimbang dengan menggunakan timbangan digital
2. Tikus I diberikan striknin secara i.p dosis 10 cc/kgBB, tepat pada saat
penyuntikan stopwatch dinyalakan, catat pada menit keberapa tikus
tersebut kejang dan catat jumlah kejang dalam waktu 10 menit,
stopwatch harus dijalankan dan catat pada menit keberapa tikus
tersebut mati.
3. Tikus II diberikan metrazol secara i.p dosis 10 cc/kgBB, tepat pada
saat penyuntikan stopwatch dinyalakan, catat pada menit keberapa
tikus tersebut kejang dan catat jumlah kejang dalam waktu 10 menit,
stopwatch harus dijalankan dan catat pada menit keberapa tikus
tersebut mati.
4. Tikus III diberikan injkesi Phenobarbital secara ip dosis 10 cc/kgBB,
setelah 20 menit kemudian suntikan ip striknin dosis 10 cc/kgBB,
tepat pada saat penyuntikan striknin stopwatch dinyalakan, catat
pada menit keberapa tikus tersebut kejang dan catat jumlah kejang
dalam waktu 10 menit, stopwatch harus dijalankan dan catat pada
menit keberapa tikus tersebut mati.
5. Tikus IV diberikan injkesi Phenobarbital secara ip dosis 10 cc/kgBB,
setelah 20 menit kemudian suntikan ip metrazol dosis 10 cc
mg/kgBB, tepat pada saat penyuntikan metrazol stopwatch
dinyalakan, catat pada menit keberapa tikus tersebut kejang dan
catat jumlah kejang dalam waktu 10 menit, stopwatch harus
dijalankan dan catat pada menit keberapa tikus tersebut mati.
OBAT
Gejala sebelum konvulsi(menggaruk- garuk)
Waktu timbul konvulsi(menit)
Tipe konvulsi Waktu kematian(menit)
I II III IV V VI I II III IV V VI I II III IV V VI I II III IV V VI
Striknin 2,00
2,55
4,00
2,51
3,48
3,26
KS
UC
TS
UC
TS
UC
KSC
TKSC
TKSC
5,003,58
5,00
3,05
4,17
3,52
Metrazole 0,07
1,13
2,00
2,00
2,01
4,00
TKS
UC
TS
UC
TKS
UC
TKASUC
TS
UC
TKS
UC1,56
6,06
4,00
7,53
5,00
Phenobarbital + Striknin
5,00
3,01
5,00
KS
UC
TS
UC
TKS
UC
18,37
7,00
Phenobarbital + Metrazole
Diazepam + Striknin
4,31
4,00
TSC
KSC
Diazepam + Metrazole
HASIL PENGAMATAN :
Ket.
K : KlonikT : TonikS : Simetris
AS : AsimetrisC : CoordinatedUC : Uncoordinate
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari hasil praktikum yang dilakukan diperoleh data-data dari enam kelompok
yang melaksanakan praktikum. Pada perhitungan waktu mati tikus yang diberikan
dengan striknin saja mengalami kematian cepat karena tidak ada anticonvulsi yang
diberikan untuk melawan efek striknin, sedangkan pada tikus yang diberi
Phenobarbital dan diazepam waktu kematian lebih lama tikus III dan tikus IV yang
belum mati sampai menit ke 15 diinjeksi striknin kembali.
Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini
merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba
konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambaran
konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang
langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi
ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu
pendengaran, penglihatan dan perabaan, efek selanjutnya adalah kematian pada
tikus yang disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan
pernapasan. Striknin ternyata juga merangsang medulla spinalis secara langsung
sehingga konvulsinya disebut juga konvulsi spinal. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Pada tikus yang diberikan metrazol mula kejang cepat, Kejang oleh metrazol
mirip hasil perangsangan listrik pada otak dengan intensitas sebesar ambang
rangsang, juga mirip sekali dengan serangan klinik epilepsy petit mal pada manusia.
Dengan dosis yang lebih tinggi umumnya akan terjadi klonik yang asiknron.
Mekanisme kerja utama metrazol ialah penghambatan system GABA-ergik, dengan
demikian akan meningkatkan eksitabilitas SSP; adanya efek perangsangan secara
langsung masih belum dapat disingkirkan.
Pada tikus yang diberikan Phenobarbital+striknin mula kejang cukup lama,
hal ini terjadi karena efek Phenobarbital yang membatasi penjalaran aktivitas dan
bangkitan dan menaikkan ambang rangsang sehingga striknin tidak memberikan
pengaruh besar pada tikus. Kematian pada tikus ini oleh karena pemberian striknin
dengan kadar yang berlebihan sehingga kerja striknin dapat melampaui kerja
Phenobarbital dan terjadi keracunan striknin.
Pemberian phenobarbital+metrazol pada tikus tidak memberikan efek, hal ini
disebakan oleh karena efek Phenobarbital yang membatasi penjalaran aktivitas dan
bangkitan dan menaikkan ambang rangsang sehingga metrazol tidak memberikan
pengaruh pada tikus.
Pada tikus yang diberikan diazepam+striknin, Seperti halnya Phenobarbital
diazepam juga merupakan golongan antikonvulsan yang menghambat penjalaran
neurotransmitter kejang ke otak, hal ini juga menyebabkan pemberian striknin tidak
memberikan efek kejang yang berarti. Pemberian striknin dengan dosis yang
berlebihan menyebabkan terjadinya keracunan striknin sehingga menyebabkan
kematian pada tikus.
Pemberian diazepam+metrazol pada tikus tidak memberikan efek apa-apa
karena diazepam mampu menghambat penjalaran neurotransmitter kejang ke otak,
hal ini juga menyebabkan pemberian metrazol tidak memberikan efek kejang.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dari praktikum dapat disumpulkan:
1. pemberian striknin pada hewan coba memberikan gejala awal berupa garuk-
garu hewan coba dan efek kejang tonik-klonik yang simetris terkoordinasi dengan
onset yang lebih lama dibandingkan metrazol namun lebih cepat dibandingkan
fenobarbital+striknin dan diazepam+metrazol. Pada hewan coba dengan
pemberian striknin mati dengan waktu tercepat.
2. pemberian metrazol pada sebagian besar hewan coba tidak memberikan gejala
garuk-garuk, tetapi memberikan efek kejang klonik yang simetris tidak
terkoordinasi pada hewan coba, dengan onset yang paling cepat dibandingkan
striknin, fenobarbital+striknin, dan diazepam+metrazol. Pada hewan coba denan
pemberian metrazol dengan waktu kematian lebih lama dari striknin.
3. pemberian fenobarbital+striknin pada sebagian besar hewan coba memberikan
gejala garuk-garuk dan efek kejang tonik klonik simetris tidak terkoordinasi
dengan onset dan waktu kematian terlama.
4. pemberian fenobarbital+metrazol tidak memberikan gejala awal dan efek
kejang.
5. pemberian diazepam+striknin pada sebagian besar hewan coba tidak
memberikan gejala awal, tetapi memberikan efek kejang klonik simetris
terkoordinasi terus menerus, dengan onset lebih cepat dari fenobarbital+stiknin,
tetapi lebih lambat dibandingkan yang lain.
6. pemberian diazepam+metrazol pada sebagian besar tidak memberikan gejala
awal, efek kejang dan mati
5.2. Saran
alat dan obat sebaiknya disediakan untuk masing-masing kelompok
materi praktikum sebaiknya diberikan sebelum praktikum sehingga
bisa dipersiapkan
Perlu diajarkan cara menyuntik obat yang tepat ke hewan coba agar
hasil percobaan sesuai dengan teori yang ada.
Peserta praktikum perlu menjaga suasana ruangan praktikum dari
keributan agar tdak mempengaruhi hasil dari percobaan.
DAFTAR PUSTAKA
Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6. EGC : Jakarta, hal. 354-
356
Louisa M & Dewoto HR . 2007. Perangsangan Susunan Saraf Pusat . Dalam :
Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta, hal. 247-248
Marjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. 11th ed Jakarta: Penerbit Dian Rakyat; 2006.
Medicastore. 2008. Kejang. Apotek Online dan Media Informasi Obat Penyakit.
(online), (http://www.medicastore.com, diakses 4 Mei 2008)
Mycek, MJ dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika : Jakarta,
hal. 90; 149
Utama H. & Gan. V . 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi . Dalam : Farmakologi dan
Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia : Jakarta, hal. 179-181; 186; 188