Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

32
Laporan Praktikum Farmakologi dan Toksikologi AKTIVITAS OBAT ATAU SEDIAAN UJI TERHADAP SISTEM IMUN Nama NIM Elliyusnora Harahap 141524041 Desi Anggiat Butar Butar 141524048 Aidiya Tri Yolanda 141524055 Winda Aldriani Lubis 141524063 Rizky Pratama 141524064 Desi Monalisa Purba 141524066 Program : S1 Ekstensi Farmasi Kelompok/Hari : I (satu)/ Kamis Asisten : Muhammad Yunus Tanggal Percobaan : 09 April 2015

description

laporan praktikum

Transcript of Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

Laporan Praktikum Farmakologi dan Toksikologi

AKTIVITAS OBAT ATAU SEDIAAN UJI TERHADAP SISTEM IMUN

Nama NIMElliyusnora Harahap 141524041Desi Anggiat Butar Butar 141524048Aidiya Tri Yolanda 141524055Winda Aldriani Lubis 141524063Rizky Pratama 141524064Desi Monalisa Purba 141524066

Program : S1 Ekstensi FarmasiKelompok/Hari : I (satu)/ KamisAsisten : Muhammad YunusTanggal Percobaan : 09 April 2015

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARAMEDAN

2015

Lembar Pengesahan

Laporan Praktikum Farmakologi dan Toksikologi

Aktivitas Obat Atau Sediaan Uji Terhadap Sistem Imun

Medan, 09 April 2015

Asisten Praktikan

( Muhammad Yunus) (Desi Anggiat Butar-Butar)

Perbaikan :

Koreksi I

Tanggal :

Koreksi II

Tanggal :

Koreksi III

Tanggal :

Acc

Tanggal :

Nilai

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agen infeksi maupun non-infeksi banyak terdapat di lingkungan sekitar kita,

yang setiap saat dapat menyerang jaringan inang. Agen infeksi tersebut dapat

berupa bakteri patogen intraseluler, dalam jumlah tertentu dapat menginfeksi dan

bermultiplikasi di dalam tubuh yang akan menyebabkan penyakit serius pada

hewan maupun manusia dalam keadaan immunodeficiency (Hefni, 2013).

hipersensitivitas ini meliputi sejumlah peristiwa auto-imun dan alergi serta

merupakan kepekaan berbeda terhadap suatu antigen eksogen atas dasar proses

imunologi. Pada hakekatnya reaksi imun tersebut, walaupun bersifat “merusak”,

berfungsi melindungi organisme terhadap zat-zat asing yang menyerang tubuh.

Gejala reaksi alergi tergantung pada lokasi di mana reaksi alergen-antibodi

berlangsung, misalnya dihidung (rhinitis allergia), di kulit (eksim, urticaria =

biduran, kaligata), mukosa mata (conjunctivitis) atau di bronchi (serangan asma).

Gejala tersebut juga dapat timbul bersamaan waktu di berbagai tempat, misalnya

pada asma, demam merang’ (hay fever, pollinosis) dan eksim (Tan, 2013).

Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek

histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor-histamin (penghambat

saingan) (Tan, 2013).

Sekarang lebih dari satu abad sejak penemuan histamin, lebih dari 70 tahun

sejak studi awal dari Anne Marie Staub dan Daniel Bovet yang mendapatkan

penemuan antihistamine pertama dan lebih dari 60 tahun sejak pengantar ke klinik

dari antergan di 1942, 3 diikuti oleh diphenhydramine di 19.454 dan

klorfeniramin, brompheniramine, dan promethazine dalam dekade yang sama.

Cara biasa dalam pengujian baru untuk senyawa adalah untuk mengukur kontraksi

histamin-induced potongan otot dari hewan percobaan, biasanya usus hamster,

ditangguhkan dalam organ bath. Senyawa antihistamin yang terutama modifikasi

dari mereka disintesis sebagai antagonis kolinergik dan dari entitas beragam

kimia, ethanolamines, etilena diamina, alkilamina, Piperazine, piperidin, dan

fenotiazin. karena itu, tidak mengherankan bahwa antihistamin generasi pertama

memiliki selektivitas reseptor lemah dan signifikan serta efek samping yang tidak

diinginkan (Church, 2011).

1.2 Tujuan Percobaan

- Untuk melihat pengaruh pemberian CTM terhadap efek yang ditimbulkan

- Untuk melihat pengaruh pemberian ekstrak daun Kelor terhadap efek yang

ditimbulkan

- Untuk membandingkan efek pemberian antara CTM dan ekstrak daun Kelor

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Histamin

Histamin (suatu autocoid atau hormon lokal) adalah suatu amin nabati

(bioamin) yang ditemukan oleh dr. Paul Ehrlich (1978) dan merupakan produk

normal dari pertukaran zat histidin melalui dekarboksilasienzimatis. Asam amino

ini masuk ke dalam tubuh terutama dalam daging (protein) yang kemudian di

jaringan (juga di usus halus) diubah secara enzimatis menjadi histamin

(dekarboksilasi) (Tan, 2013).

Histamin merupakan 2-(4-imidazol) etilamin, didapatkan pada tanaman

maupun jaringan hewan serta merupakan komponen dari beberapa racun dan

sekret sengatan binatang. Histamin dibentuk dari asam amino L-histidin dengan

cara dekarboksilasi oleh enzim histidin dekarboksilase dan memerlukan piridoksal

fosfat sebagai kofaktor (Dewoto, 2009).

Hampir semua organ dan jaringan memiliki histamin dalam keadaan

terikat dan inaktif, yang terutama terdapat dalam sel-sel tertentu. ‘Mast cells’ ini

(Ing. mast = menimbun) menyerupai bola-bola kecil berisi gelembung yang penuh

dengan histamin dan zat-zat mediator lain. Sel-sel ini banyak ditemukan di bagian

tubuh yang bersentuhan dengan dunia luar, yakni di kulit, mukosa dari mata,

hidung, saluran napas (bronchia, paru-paru) dan usus, juga dalam lekosit basofil

darah (Tan, 2013).

Histamin memegang peran utama pada proses peradangan dan pada

sistem daya-tangkis. Kerjanya berlangsung melalui tiga jenis reseptor, yakni

reseptor-H1, -H2 dan -H3. Reseptor-H1 secara selektif diblok oleh antihistaminika

(H1-blockers), reseptor-H2 oleh penghambat asam lambung (H2-blockers).

Reseptor-H2 memegang peranan pada regulasi tonus saraf simpatikus (Tan, 2013).

Aktivasi reseptor H1, yang terdapat pada endotel dan sel otot polos,

menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah

dan sekresi mukus. Sebagian dari efek tersebut mungkin diperantarai oleh

peningkatan cyclic guanosine monophosphate (cGMP) di dalam sel. Histamin

juga berperan sebagai neurotransmitter dalam susunan saraf pusat (Dewoto,

2009).

Reseptor H2 didapatkan pada mukosa lambung, sel otot jantung, dan

beberapa sel imun. Aktivasi reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam

lambung. Selain itu juga berperan dalam menyebabkan vasodilatasi dan flushing.

Histamin menstimulasi sekresi asam lambung, meningkatkan kadar cAMP dan

menurunkan kadar cGMP, sedangkan antihistamin H2 menghambat efek tersebut.

Pada otot polos bronkus aktivasi reseptor H2 oleh agonis reseptor H2 akan

menyebabkan relaksasi (Dewoto, 2009).

Reseptor H3 berfungsi sebagai penghambat umpan balik pada berbagai

sistem organ. Aktivasi reseptor H3 yang didapatkan di beberapa daerah di otak

mengurangi pelepasan transmitter baik histamin maupun norepinefrin, serotonin,

dan asetilkolin. Meskipun agonis reseptor H3 berpotensi untuk digunakan antara

lain sebagai gastroprotektif dan antagonis reseptor H3 antara antara lain berpotensi

untuk digunakan sebagai antiobesitas, sampai saat ini belum ada agonis maupun

antagonis reseptor H3 yang diizinkan untuk digunakan di klinik (Dewoto, 2009).

Aktivitas terpenting histamin adalah:

- Kontraksi otot polos bronchi, usus, dan rahim

- Vasodilatasi semua pembuluh dengan penurunan tekanan darah

- Memperbesar permeabilitas kapiler untuk cairan dan protein, dengan

akibat udema dan pengembangan mukosa

- Hipersekresi ingus dan air mata, ludah, dahak dan asam lambung

- Stimulasi ujung saraf dengan eritema dan gatal-gatal (Tan, 2013).

2.2 Reaksi Alergi

Alergi (Lat. = berlaku berlainan). Istilah ini, yang juga disebut

hipersensitivitas, pertama kali (1960) dicetuskan oleh Von Pirquent yang

menggambarkan reaktivitas khusus dari tuan rumah (host) terhadap suatu unsur

eksogen, yang timbul pada kontak kedua kali atau berikutnya. Reaksi

hipersensitivitas ini meliputi sejumlah peristiwa auto-imun dan alergi serta

merupakan kepekaan berbeda terhadap suatu antigen eksogen atas dasar proses

imunologi. Pada hakekatnya reaksi imun tersebut, walaupun bersifat “merusak”,

berfungsi melindungi organisme terhadap zat-zat asing yang menyerang tubuh

(Tan, 2013).

Yang dimaksud dengan istilah ‘alergi’ ialah keadaan reaksi organisme

yang berubah terhadap senyawa tertentu (alergen), yaitu organisme bereaksi lain

terhadap bahan ini dibandingkan sebelumnya. Pada prinsipnya ini dapat berupa

suatu kereaktifan yang diperkuat (hiperergi), diperlemah (hipoergi) atau tak ada

(anergi). Walaupun demikian dalam pemakaian bahasa sehari-hari sekarang alergi

hanya digunakan dalam arti hiperergi (Mutschler, 2010).

Gejala reaksi alergi tergantung pada lokasi di mana reaksi alergen-antibodi

berlangsung, misalnya dihidung (rhinitis allergia), di kulit (eksim, urticaria =

biduran, kaligata), mukosa mata (conjunctivitis) atau di bronchi (serangan asma).

Gejala tersebut juga dapat timbul bersamaan waktu di berbagai tempat, misalnya

pada asma, demam merang’ (hay fever, pollinosis) dan eksim (Tan, 2013).

Anafilaksis dalam keadaan gawat dapat timbul suatu reaksi anafilaksis

(Yun. ana = tanpa, phylaxis = perlindungan). Pada shock anafilaksis, masuknya

antigen pertama membuat tubuh tanpa perlindungan terhadap pemasukan antigen

berikutnya. Kadar histamin dapat meningkat dengan drastis, seperti pada peristiwa

kecelakaan dengan banyak kehilangan darah atau cedera bakar hebat (Tan, 2013)

Pada kelompok orang tertentu yang telah disensibilatasi terhadap satu atau

beberapa jenis alergen dapat timbul suatu reaksi anafilaksis hebat. Misalnya,

alergen dalam makanan (kacang-kacangan, buah kiwi, arbai, dll) atau obat-obat

seperti golongan penisilin (Tan, 2013).

Reaksi alergi sebagai efek samping obat berbeda dengan efek samping

toksik, kebanyakan tidak bergantung kepada dosis dan tidak khas untuk bahan

obat yang bersangkutan. Ini disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi yang tak

bergantung pada struktur alergen, selalu menimbulkan rangkaian reaksi yang

sama. Persyaratan untuk terjadinya reaksi hipersensitivitas demikian adalah

kontak pertama yang terjadi sebelumnya dengan antigen yang sama, yang disebut

sensibilisasi (Mutschler, 2010).

Berdasarkan banyak penemuan hasil eksperimen maka berlaku mekanisme

berikut: bahan obat salah satu dari metabolitnya sebagai praantigen (semiantigen,

hapten) berikatan secara kovalen dengan suatu makromolekul tubuh sendiri,

umumnya suatu protein, membentuk antigen kompleks (antigen penuh). Terhadap

antigen penuh ini dibentuk antibodi. Di sini spesifitas antibodi disiapkan untuk

melawan bahan obat dan tidak melawan makromolekul, ini berarti bahan obat atau

suatu bagian dari bahan obat merupakan gugus penentu (= kelompok yang

merumuskan antibodi) (Mutschler, 2010).

Reaksi antibodi dengan gugus penentu bahan obat adalah penyebab

antigenitas gugus. Di sini diartikan bahwa obat-obat yang secara kimia dan

farmakologi berbeda dapat menimbulkan reaksi alergi yang sama, sejauh mereka

memiliki determinan (penentu) yang sama. Karena itu suatu alergi dapat berupa

melawan suatu senyawa tertentu juga karena suatu reaksi alergi terhadap suatu

bahan lain yang dekat hubungannya dengan senyawa asal, tanpa sebelumnya

diberikan kontak dengan bahan tersebut. Ini disebut alergi silang.

Reaksi hipersensitivitas dibedakan atas:

• Jenis segera (reaksi segera)

• Jenis lambat (reaksi lambat)

• Bentuk-bentuk khusus (Mutschler, 2010).

a. Reaksi Hipersensitivitas Jenis Segera

Reaksi antigen-antibodi umumnya berlangsung dengan tenang, artinya

tanpa tanda-tanda luar yang dapat dikenal. Walaupun demikian, dalam kasus-

kasus tertentu pada kontak dengan antigen berulang-ulang dapat terjadi reaksi

berlebihan, yang merusak bagi organisme. Sejauh hal itu terjadi dalam waktu

beberapa detik atau menit setelah terdedah alergen, maka disebut hipersensitivitas

jenis segera dan menurut reaksi dibedakan atas:

• Reaksi anafilaktik

• Reaksi sitotoksik

• Reaksi yang terjadi akibat kompleks imun (Mutschler, 2010).

b. Reaksi Hipersensitivitas Jenis Lambat

Reaksi alergi jenis lambat ditimbulkan oleh limfosit yang diubah

(disensibilisasi) secara spesifik. Di sini sesil yaitu antibodi yang terdapat pada

permukaan sel bereaksi dengan antigen yang sesuai. Akibatnya adalah infiltrasi

sel, yang dimulai dengan pengumpulan limfosit dan monosit, perivaskular pada

tempat yang berantigen. Hanya sedikit dari sel-sel yang menginfiltrasi

disensibilisasi secara spesifik, sebagai tambahannya banyak sel yang tidak

disensibilisasi menembus daerah ini. Karena itu sebutan reaksi hipersensitivitas

jenis lambat dipakai, karena berbeda dengan reaksi jenis segera, titik puncaknya

baru tercapai setelah beberapa hari atau bahkan setelah beberapa minggu.

Yang termasuk dalam reaksi alergi ini adalah:

• Reaksi kulit, yang khusus dikenal dari reaksi ini adalah reaksi

tuberkulin setelah penyuntikan antigen protein kuman TBC

• Alergi kontak kulit yang terutama dapat terjadi setelah kontak berulang

dengan kromat, garam nikel atau zat warna tertentu, serta

• Reaksi penolakan terhadap transplantasi (Mutschler, 2010).

c. Bentuk Khusus

Selain bentuk alergi yang disebutkan di atas, setelah pemberian obat

kadang-kadang terlihat gejala yang sangat mungkin akibat peristiwa alergi akan

tetapi belum dijelaskan dengan pasti faktor-faktor imunologi yang terlibat.

Mereka terutama dapat dimasukkan sebagai reaksi jenis III. Di sini termasuk :

• Eksantema akibat obat-obat tertentu yang ditimbulkan oleh misalnya

fenolftalein, barbiturat atau sulfonamida

• Sindrom Lyeil yang ditimbulkan, misalnya oleh fenilbutazon dan

barbiturat

• Sindrom Steven-Johnson yang terjadi antara lain setelah pemberian

sulfonamida

• Limfadenopati setelah pemberian feniton

• Sindrom Lupus-eritemalodes setelah pemakaian hidralazin, hidantoin,

prokainamida atau isoniazida (Mutschler, 2010).

Di samping reaksi alergi sesungguhnya, dikenal juga reaksi pseudoalergi,

yang tidak disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi, tetapi di sini reaksi-reaksi

yang menyangkut misalnya pembebasan mediator, pengaktifan komplemen atau

pengaruh rangkaian asam arakidonat ditimbulkan langsung oleh obat. Di sini

termasuk, misalnya reaksi anafilaktoid setelah pemberian zat kontras rontgen,

penurunan tekanan darah akibat pembebasan histamin dan bronkhospasmus

setelah penyuntikan tubokurarin atau yang disebut asma analgetika setelah

pemakaian analgetika yang menghambat sintesis prostaglandin (Mutschler, 2010).

Reaksi alergi dapat digolongkan berdasarkan prinsip kerjanya menurut

Gell & Coombs (1968) dalam 4 tipe hipersensitivitas, yakni I-IV

a. Tipe I

Gangguan-gangguan alergi (reaksi segera, “immidiate”) berdasarkan reaksi

antara alergen-antibodi (IgE) dengan degranulasi mast-cells dan khusus

terjadipada orang yang berbakat genetis (keturunan). Tipe-I juga dinamakan

alergi tropis atau alergi anafilaksis dan terutama berlangsung di saluran napas

(serangan pollinosis, rhinitis, asma) dan di kulit (eksim resam = dermatitis

atopis), jarang di saluran cerna (alergi makanan) dan dipemnuluh (shock

anafilaksis). Muali reaksinya cepat, dalam waktu 5 sampai 20 menit setelah

terkena alergen, maka sering kali disebut reaksi segera. Ejalanya bertahan lebih

kurang 1 jam.

b. Tipe II, autoimunitas (reaksi sitolitis)

Antigen yang terikat pada membran sel bereaksi dengan IgG atau IgM dalam

darah dan menyebabkan sel musnah (cytos = sel, lysis = melarut). Reaksi ini

terutama berlangsung di sirkulasi darah. Contohnya adalah gangguan auto-

imun akibat obat, seperti anemia hemolisis, (akibat penisilin), agranulositosis

(akibat sulfonamida), arthritis rheumatica, SLE (systemic lupus erythematodes)

akibat hidralazin atau proainamida. Reaksi autoimun jenis ini umumnya

sembuh dalam waktu beberapa bulansetelah penggunaan obat dihentikan.

c. Tipe III, gangguan imun-kompleks (reaksi Arthus)

Pada peristiwa ini, antigen dalam sirkulasi bergabung dengan terutama IgG

menjadi suatu imun-kompleks, yang diendapkan pada endotel pembuluh. Di

tempat itu sebagairespon terjadi peradangan, yang disebut penyakit serum yang

bercirikan urticaria, demam dan nyeri otot serta sendi. Reaksinya dimulai 4-6

jam setelah “terkena” (exposure) dan lamanya 6-12 hari.

d. Tipe IV (reaksi lambat, ‘delayed’)

Antigen terdiri dari satu kompleks hapten + protein, yang bereaksi dengan T-

limfosit yang sudah disensitasi. Limfokin tertentu (=sitokinin dari limfosit)

dibebaskan, yang menarik makrofag dan neutrofil, sehingga terjadi reaksi

peradangan. Proses penarikan itu disebut chemotaxis. Mulai reaksinya sesudah

24-28 jam dan bertahan beberapa hari. Contohnya adalah reaksi tuberkulin dan

dermatitis kontak (Tan, 2013).

2.3 Antihistaminika

Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi

efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor-histamin

(penghambat saingan) (Tan, 2013).

Sewaktu diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses

fisiologik dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek

histamin. Epinefrin merupakan antagonis fisiologik pertama yang digunakan.

Antara tahun 1937-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian

digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak tidak banyak berbeda. Antihistamin

misalnya antergan, neoantergan, difenhidramin dan tripelenamin dalam dosis

terapi efektif untuk mengobati edema, eritem dan pruritus tetapi tidak dapat

melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut

digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1) (Dewoto, 2009).

Sesudah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru, yaitu

burimamid, metiamid dan simetidin yang dapat menghambat sekresi asam

lambung akibat histamin. Kedua jenis antihistamin ini bekerja secara kompetitif,

yaitu dengan menghambat antihistamin dan reseptor histamin H1 atau H2 (Dewoto,

2009).

Antihistaminika juga dapat dibagi dalam 2 kelompok, yakni antagonis H1-

blocker atau antihistaminika) dan antagonis reseptor-H2 (H2-blockers atau zat

penghambat-asam).

a. H1-blockers (antihistaminika klasik)

Mengantantagonir histamin dengan jalan memblok reseptor-H1 di otot licin

dari dinding pembuluh, bronchi dan saluran cerna, kandung kemih dan rahim.

Begitu pula melawan efek histamin di kapiler dan ujung saraf (gatal, flare

reaction). Efeknya adalah simtomatis, antihistaminika tidak dapat menghindarkan

timbulnya reaksi alergi (Tan, 2013).

AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan

bermacam-macam otot polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi

hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen

berlebihan (Dewoto, 2009).

AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan

mencegah atau mengobati mabuk perjalanan. AH1 berguna untuk mengobati alergi

tipe eksudatif akut misalnya pada polinosis dan urtikaria. Efeknya bersifat paliatif,

mermbatasi dan menghambat efek histamin yang dilepaskan sewaktu reaksi

antigen-antibodi terjadi. AH1 tidak berpengaruh terhadap intensitas reaksi antigen-

antibodi yang merupakan penyebab berbagai gangguan alergik. Keadaan ini dapat

diatasi hanya dengan menghindari alergen, desensitisasi atau menekan reaksi

tersebut dengan kortikosteroid. AH1 tidak dapat melawan reaksi alergi akibat

peranan autakoid lain (Dewoto, 2009).

AH1 dapat menghilangkan bersin, rinore dan gatal pada mata, hidung dan

tenggorokan pada pasien seasonal hay fever. AH1 efektif terhadap alergi yang

disebabkan debu, tetapi kurang efektif bila jumlah debu banyak dan kontaknya

lama. Kongesti hidung kronik lebih refrakter terhadap AH1. AH1 tidak efektif pada

rinitis vasomotor. Manfaat AH1 untuk mengobati batuk pada anak dengan asma

diragukan, karena AH1 mengentalkan sekresi bronkus sehingga dapat menyulitkan

ekspektorasi. AH1 efektif umtuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan pada

urtikaria kronik hasilnya kurang baik. Kadang-kadang AH1 dapat mengatasi

dermatitis atopik, dermatitis kontak dan gigitan serangga (Dewoto, 2009).

Efek samping hipnosis terutama oleh AH1 golongan etanolamin digunakan

untuk hipnotik. Efek ini jelas pada pasien yang sensitif terhadap AH1. Sifat

anastetik lokal AH1 digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal. Tetapi harus

diingat bahwa pada penggunaan topikal, AH1 ini bisa menyebabkan sensitivitas

kulit (Dewoto, 2009).

Dahulu antihistaminika dibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelompok, tetapi

kini digunakan penggolongan dalam 2 kelompok atas dasar kerjanya terhadap

SSP, yakni zat-zat generasi ke-1 dan ke-2.

- Obat generasi ke-1: prometazin, oksometazin, tripelennamin, (klor)

feniramin, difenhidramin, klesmastin (Tavegil), siproheptadin (Periactin),

azelastin (Allergodil), sinarizin, meklozin, hidroksizin, ketotifen (Zaditen)

dan oksatomida (Tinset).

- Obat-obat golongan ini berkhasiat sedatif terhadap SSP dan kebanyakan

memiliki efek antikolinergis (Tan, 2013).

Penggunaan generasi pertama H1-antihistamin pada anak-anak baru-baru

ini dipertanyakan. Di Amerika Serikat, adanya laporan serius dan sering

mengancam jiwa untuk efek samping dari prometazin pada anak-anak

sehingga ditambahkan peringatan "kotak peringatan" pada tahun 2004

untuk pelabelan prometazin (Church, 2011).

- Obat generasi ke-2 : astemizol, terfenadin dan fexofenadin, akrivastin

(Semprex), setirizin, loratidin, levokabastin (Livocab) dan emedastin

(Emadin). Zat-zat ini bersifat hidrofil dan sukar mencapai CCS (cairan

cerebrospinal), maka pda saat dosis terapeutis tidak bekerja sedatif.

Keuntungan lainnya adalah plasma t1/2-nya lebih panjang, sehingga

dosisnya cukup dengan 1-2 kali sehari. Efek anti-alerginya selain

berdasarkan khasiat antihistamin, juga berkat dayanya menghambat

sintesis mediator-radang, seperti prostaglandin, leukotrien dan kinin (Tan,

2013).

b. H2-blockers (penghambat asam)

Obat-obat ini menghambat secara selektif sekresi asam-lambung yang

meningkat akibat histamin, dengan jalan persaingan terhadap reseptor-H2 di

lambung. Efeknya adalah berkurangnya hipersekrsi asam klorida, juga

mengurangi vasodilatasi dan tekanan darah turun.

Penghambat-asam yang dewasa ini banyak digunakan adalah simetidin,

ranitidin, famotidin, nizatidin dan roksatidin yang merupakan senyawa-

senyawa heterosiklis dari histamin (Tan, 2013).

2.4 Natrium Kromolin

Kromolin adalah obat yang dapat menghambat penglepasan histamin dari

sel mast paru-paru dan tempat-tempat tertentu, yang diinduksi oleh antigen.

Walaupun penggunaan kromolin terbatas, obat ini berharga untuk profilaksis asma

bronkial dan kasus atopik tertentu (Dewoto, 2009).

Kromolin tidak merelaksasi bronkus atau otot polos lain. Kromolin juga

tidak menghambat respon otot tersebut terhadap berbagai obat yang bersifat

spasmogenik. Tetapi kromolin menghambat penglepasan histamin dan autakoid

lain termasuk leukotrin dari paru-paru manusia pada proses alergi yang

diperantarai IgE (Dewoto, 2009).

Karena itu kromolin mengurangi bronkospasme. Hambatan penglepasan

leukotrin terutama penting pada pasien asma bronkial, karena leukotrin

merupakan penyebab utama bronkokonstriksi. Kromolin bekerja pada sel mast

paru-paru, yaitu sasaran primer dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Kromolin

tidak menghambat ikatan IgE dengan sel mast atau interaksi antara kompleks sel

IgE dengan antigen spesifik, tetapi menekan respon sekresi akibat reaksi tersebut

(Dewoto, 2009) (Dewoto, 2009).

2.5 Ekstrak Daun Kelor

Salah satu tanaman yang memiliki kandungan imunomodulator yaitu kelor

(Moringa oleifera Lam). Kelor termasuk dalam famili Moringaceae, banyak

tersebar di negara yang beriklim tropis dan sub-tropis termasuk di Indonesia.

Menurut Kasolo et al., (2010) kandungan fitokimia daun kelor yang diekstraksi

dengan air meliputi senyawa gallic tannin, steroids, titerpenoid, flavonoid,

saponin, antraquinones, catecol tannin, alkaloid dan reducing sugar. Kandungan

fitokimia kelor ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan titer antibodi (Sudha et

al., 2010), meningkatkan konsentrasi leukosit, eritrosit, kadae haemoglobin (Hb),

persentase neutrofil, bobot organ timus, dan limpa (Hefni, 2013).

BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1 Alat

- Timbangan hewan

- Spuit 1 ml, 3ml

- Oral sonde

- Stopwatch

- Alat cukur

- Vial

- Serbet

- Kalkulator

- Pensil Warna

- Koran

- Kandang hewan

3.2 Bahan

- Ovalbumin

- NaCl 0,9 %

- Metilen blue

- CMC Na 0,5%

- CTM 1 %

- Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera) 1 %

3.3 Hewan Percobaan

Hewan uji yang digunakan pada praktikum ini adalah tikus (Rattus

novergicus)

3.4 Prosedur Percobaan

- Tiga hari sebelum praktikum hewan ditimbang dan ditandai

- Hewan disensitisasi secara aktif dengan injeksi suspense ovalbumin dalam

NaCl 0,9% sebanyak 6 ml secara I.P

- Sehari sebelum praktikum hewan kembali di sensitisasi kembali dengan

ovalbumin dalam NaCl 0,9 % sebanyak 0,1 ml secara intra plantar

- Pada hari praktikum, hewan yang sudah disensitisasi dicukur bulu

punggungnya lalu di tritmen dengan CTM [1%] dengan dosis 6 mg/kgBB dan

larutan ekstrak daun kelor [1%] dosis 150 mg/kgBB dan control CMC Na [1%]

BB, diberikan secara oral

- Satu jam berikutnya, hewan disuntik dengan larutan metilen blue sebanyak 0,2

ml, secara intra vena melalui vena ekor

- Hewan disuntikkan lagi dengan ovalbumin sebanyak 0,3 ml pada daerah awal

sensitisasi awal secara subkutan

- Dilakukan pengamatan selama 60 menit dengan selang waktu 10 menit

- Anafilaksis kutan aktif ditandai dengan munculnya benjolan yang berwarna

biru pada area injeksi (punggung)

- Hasil pengamatan diberikan skor seperti yang terdapat pada table berikut.

Intensitas Warna pada Area Skor Iritasi

Tidak berwarna

Sedikit berwarna biru

Warna biru terang

Warna biru gelap

Bengkak dengan waran biru gelap

0

2

4

6

8

Tidak ada

Ringan

Ringan

Moderat (>4)

Berat

3.4 Perhitungan

Kontrol CMC Na [1%] = 1g/100 ml

= 1000 mg/ 100 ml

= 10 mg/ ml

Spuit skala 80

Berat tikus = 164,6 g

Volume CMC yang diberikan = 1% x berat badan

= 1% x 164,6 g = 1,646 ml

Uji ekstrak daun kelor [1%] dosis 150 mg/kg BB

Berat tikus I = 214,9 g

Obat yang diberikan = 214,9 g1000

x150 mgkgBB

x1 kg = 32,235 mg

Volume larutan yang diberikan = 32,235 mg10 mg /ml = 3,2235 ml

Berat tikus II = 145,9 g

Obat yang diberikan = 145,9 g1000

x150 mgkgBB

x1 kg = 21,885 mg

Volume larutan yang diberikan = 21,885 mg10 mg /ml = 2,1885 ml

Pembanding CTM [1%] dosis 6 mg/kg BB

Berat tikus I = 189,6 g

Obat yang diberikan = 189,6 g1000

x6 mgkgBB

x 1kg = 1,1376 mg

Volume larutan yang diberikan = 1,1376 mg10 mg /ml = 0,11376 ml

Skala yang disuntikkan = 0,11376 ml x 80 = 9,1 skala

Berat tikus II = 189,6 g

Obat yang diberikan = 135,5 g1000

x6 mgkgBB

x1 kg = 0,813 mg

Volume larutan yang diberikan = 0,813 mg10 mg /ml = 0,0813 ml

Skala yang disuntikkan = 0,0813 ml x 80 = 6,5 skala

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

No KelompokWaktu Pengamatan (menit)

10 20 30 40 50 60

1 CMC 0,5 % 0 2 2 4 4 6

2Ekstrak Daun Kelor [1%]

dosis 150 mg/kgBB

0 2 2 4 4 4

0 2 2 2 4 4

3CTM [1%] dosis 6

mg/kgBB

0 0 2 2 2 2

0 0 0 2 2 4

Grafik : terlampir

4.2 Pembahasan

Dari percobaan yang dilakukan di dapatkan pada tikus yang di tritmen

dengan pemberian CMC Na 1% BB diperoleh skor pada menit ke 60 yaitu 6, yang

berarti tikus ini mendapat iritasi yang dapat dikategorikan agak berat, kemudian

tikus yang diberikan ekstrak daun kelor mendapatkan skor 4, yang berarti tikus

tersebut mendapat iritasi yang ringan, lalu kemudian kelompok tikus terakhir

yaitu pemberian CTM 1 % diperoleh skor 2 yang berarti mendapatkan iritasi yang

lebih ringan dibandingkan dengan tikus dengan pemberian ektrak daun kelor.

Ekstrak daun kelor (Moringa oleifera Lam) memiliki aktivitas sebagai

imunomodulator, dengan mampu bertindak sebagai imunostimulator dan

imunosupresor terhadap sel limfosit B dan sel Th. Kelor termasuk dalam famili

Moringaceae, banyak tersebar di negara yang beriklim tropis dan sub-tropis

termasuk di Indonesia. Kandungan fitokimia daun kelor yang diekstraksi dengan

air meliputi senyawa gallic tannin, steroids, titerpenoid, flavonoid, saponin,

antraquinones, catecol tannin, alkaloid dan reducing sugar. Kandungan fitokimia

kelor ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan titer antibody, meningkatkan

konsentrasi leukosit, eritrosit, kadar haemoglobin (Hb), persentase neutrofil, bobot

organ timus, dan limpa (Hefni, 2013).

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

- Pengaruh pemberian CTM terhadap hewan percobaan memberikan iritasi yang

cukup ringan

- Pengaruh pemberian ekstrak daun Kelor terhadap hewan percobaan

memberikan iritasi yang agak berat

- Pemberian ekstrak daun kelor lebih menyebabkan iritasi yang berat

dibandingkan dengan hewan percobaan yang diberikan CTM

5.2 Saran

- Sebaiknya dalam percobaan juga dilakukan pemberian obat yang lain seperti

Prometazin atau Difenhidramin dan dapat dibandingkan hasilnya.

- Sebiknya dalam percobaan juga diujikan pada hewan yang lain, misalnya

mencit yang diberikan secara suntikan dapat dibandingkan hasilnya.

DAFTAR PUSTAKA

Church, D.S dan Martin K.C. (2011). Pharmacology of Antihistamines. Dalam WAO Jurnal. 4: 22-27.

Dewoto, Hedi R. (2009). Histamin dan Antialergi. Dalam Buku Farmakologi dan Terapi. Editor Sulistia Gan Gunawan. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal. 273-274, 277-278, 280, 285-286.

Hefni, M., dan Muhaimin, R., dan Widodo. (2013). Aktivitas Ekstrak Daun Kelor terhadap Respons Imun Humoral pada Mencit yang Diinfeksi Salmonella typhi. Dalam Jurnal Veteriner. 14 (4): 519-526.

Mutschler, Ernst. (2010). Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 78-81

Tan,Tjay Hoan dan Kirana Rahardja. (2013). Obat-Obat Penting Kasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta: Gramedia. Hal.812-815, 819.

LAMPIRAN

Gambar 1. Tikus setelah pemberian Gambar 2. Tikus setelah pemberian metilen blue ovalbumin kembali

Gambar 4. CTM, CMC Na, Ekstrak daun Kelor

Gambar 3. Spuit dan Oral Sonde