Post on 29-Nov-2015
description
LAPORAN KASUS
“DEMAM BERDARAH DENGUE”
Disusun oleh :
Andi Fahripa Nur Rahma 2009 730 125
Pembimbing :
DR. dr. Effek Alamsyah,SpA MPH
STASE ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2013
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang berjudul
“Demam Berdarah Dengue“ yang merupakan salah satu penyakit tersering pada anak
dengan tepat pada waktunya.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada DR. dr. Effek Alamsyah,SpA
MPH, selaku pembimbing di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSIJ Cempaka Putih dan rekan
- rekan yang telah membantu penulis dalam pembuatan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih banyak terdapat
kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan
guna perbaikan dalam pembuatan laporan kasus selanjutnya.
Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi para
pembaca dan rekan-rekan sejawat.
Jakarta, Oktober 2013
Penulis
2
STATUS PASIEN
IDENTITAS/BIODATA
Nama : An. E
Tanggal Lahir : 27 Januari 2013
Usia : 5 tahun 8 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama Ayah : Tn. A
Nama Ibu : Ny. L
Agama : Islam
Alamat : Cempaka Putih Barat XIX no. 31
Tangal masuk RS : Masuk UGD : 10 Oktober 2013, Pukul 21.00 WIB
Masuk Bangsal : 10 Oktober 2013, Pukul 23.00 WIB
ANAMNESIS
Alloanamnesis
Keluhan Utama : Demam 3 hari sebelum masuk RS
Keluhan Tambahan : Pusing, nyeri di belakang mata, batuk berdahak, pilek, mual dan
muntah, nyeri perut
Riwayat Penyakit Sekarang :
3 hari sebelum masuk RS Pasien mengeluh demam sepanjang hari, demam
timbul mendadak, tidak menggigil, tidak kejang, pasien mengeluh sakit
kepala, tidak terdapat benjolan/pembesaran kelenjar (belakang telinga, bawah
dagu, leher, ketiak dan lipat paha) hidung mimisan, dan pilek, telinga tidak
3
mengeluarkan darah atau cairan, pendengaran tidak terganggu, batuk
berdahak berwarna putih sejak 3 hari sebelum masuk RS, tidak sesak, terasa
panas dibelakang mata, gusi tidak berdarah, bibir kering, tidak ada sariawan,
tidak ada nyeri telan, mulut tidak terasa pahit, pasien juga mengeluh perut
kembung, mual dan muntah > 3x/hari, tidak menyembur, muntah berisi
makanan, tidak ada darah dan lendir, terutama ketika batuk dan setelah makan,
pasien juga mengeluh nyeri perut, BAB lancar dan tidak ada keluhan (tidak
mencret, tidak ada darah ataupun lendir) BAK lancar dan tidak ada keluhan,
warna kuning jernih, tidak pekat, tidak ada darah, tidak sakit saat BAK, pasien
merasa lemas, nyeri tulang dan nyeri otot (pegal-pegal) di seluruh badan,
tidak ada pembengkakan sendi, tidak ada bintik-bintik merah di seluruh badan,
tidak menimbul, tidak gatal, ujung jari tangan dan kaki terasa dingin, tidak ada
kebiruan.
Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat sakit seperti ini di sangkal, belum pernah dirawat
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat yang sama
Riwayat Pengobatan : Sudah berobat ke dokter 1 kali selama sakit ini,
mendapat obat paracetamol dan panadol anak
Riwayat Alergi : Alergi obat dan makanan disangkal
Riwayat Psikososial : Pola makan teratur, pola minum banyak, di lingkungan
rumah dekat saluran air, ganti pakaian 2x sehari
RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN
Riwayat kehamilan : ANC di bidan 7 kali
Selama kehamilan : Riwayat minum jamu-jamuan, obat-obatan tidak pernah
Hamil : 38 minggu
Riwayat Persalinan : Lahir di Bidan, Normal
BBL : 3900 gram
PB : 50 cm
4
RIWAYAT MAKANAN
6 bulan = ASI diberikan selama
> 6 bulan - 2 tahun = ASI + MPASI
> 2 tahun = Sufor + Makanan Pokok.
Kesan : Pola makanan sesuai Usia
RIWAYAT PERKEMBANGAN
Motorik kasar : Melompat, Berjalan
Motorik halus : Menulis, Menggambar
Verbal : Bicara sudah berbentuk kalimat, bermakna, dan jelas
Sosial : Dapat bersosialisasi dengan orang lain
Kesan : Pertumbuhan anak sesuai umur
RIWAYAT IMUNISASI
Hep. B : 1 (baru lahir)
BCG : umur 1 bulan, dilengan kanan, skar ditemukan
DPT : 1 (umur 2 bulan ), 2 (umur 4 bulan), 3 (umur 6 bulan)
Polio : 1 (baru lahir), 2 (umur 1 bulan), 3 (umur 4 bulan),
4 (umur 6 bulan)
Campak : 9 bulan
Kesan : Imunisasi lengkap
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
5
Kesadaran : Composmentis
GCS : 15 (E4 V6 M5)
Tanda- tanda Vital :
- S : 37,1 °C
- N : 100x/menit, kuat angkat, reguler
- P : 22x/menit
- TD : -
Antropometri :
- BB : 24 kg
- TB : 125 cm
oBB/U : 24/22 x 100 % = 109 % → Gizi Baik
oTB/U : 85/72 x 100 % = 120 % → Baik
oBB/TB: 24/23 x 100 % = 104,3 % → Normal
Kesan : Gizi Baik
STATUS GENERALIS
1. Kepala :
Bentuk : normochepal, ubun-ubun sudah menutup
Rambut : hitam, distribusi rata, tidak mudah dicabut
Mata : visus normal, ptosis -/-, lagoftalmos -/-, hordeolum -/-, udem
palpebra -/-, kunjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, sekret -/-,
refelks cahaya +/+, mata cekung -/-, pupil isokor
Hidung : septum deviasi -, sekret -/-, darah/bekas perdarahan +/+,
pernapasan cuping hidung -/-, edema mukosa -/-, hiperemis mukosa
-/-
Mulut : bibir kering +, lidah kotor -, faring hiperemis -, pseudomembran,
tonsil T1/T1, stomatitis -, lidah tremor -, lidah kotor -, gusi
berdarah –
Telinga : normotia, serumen +/+, membrane tympani intak.
6
2. Leher : pembesaran KGB -, pembesaran kel tiroid –
3. Torax : Paru : I : simetris pada saat statis dan dinamis, retraksi iga -,
pernapasan abdominotorakal, laserasi-, penonjolan -,
pembengkakan -, bintik-bintik merah -
: P : nyeri tekan -, vocal premitus kanan kiri sama, krepitasi-
: P : sonor di kedua lapang paru
: A : vesikuler +/+, wheezing -, ronkhi -/-, BJ I dan II normal,
tidak ada bunyi tambahan
4. Abdomen : I : retraksi epigastrium -, cembung, simetris, spider nevi -,
bintik-bintik merah -, distensi -
: A : bising usus + melemah, metallic sound -, bruit -
: P : nyeri tekan epigastrium +, hepatomegali 1 jari
dibawah arcus costa, turgor kulit normal, splenomegali -,
ginjal tidak teraba dan tidak nyeri, pemeriksaan asites
(undulasi) -
: P : tympani pada 4 kuadran abdomen, pemeriksaan asites
(shifting dullness) -, pekak menunjukkan batas hepar 1 jari
dibawah arcus costa kanan.
5. Ekstremitas : atas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-, bintik-bintik
merah -/-
: bawah : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-, bintik-
bintik merah -/-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
7
Tanggal Hb Ht Trombo Leuko LED Ket
10/10/2013 11,0 34 199.000 4900 30 NS1 (+)
11/10/2013 - - - - -
12/10/2013 10,6 32 176.000 4190 -
13/10/2013 13,0 40 104.000 4700 -
14/310/2013 12,6 39 92.000 5390 -
RESUME
Pasien datang dengan febris mendadak, terus menerus selama 3 hari, nyeri retro orbita dan
tulang, nausea dan vomitus ±3 x/hari, batuk berdahak, nyeri perut, dan mialgia. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan epistaksis, bibir kering, gelisah, dan nyeri tekan epigastrium.
KU: Tampak sakit sedang, Kesadaran : Compos Mentis , GCS 15, Status Gizi : Gizi Baik,
Suhu : 37,1 ºc, Nadi : 100x/menit, kuat angkat, reguler, Pernapasan : 22x/menit
ASSESMENT
Dengue Haemorragic Fever
Gastritis Akut
RENCANA TERAPI
Infus Asering 16 tpm ( 24kg ) | 1000+(10x50)= 1500
Ondancentron 2x1 amp
Paracetamol 4x1/2 tab
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
11/10/2013
Demam hari ke-4, pegal di tangan dan kaki, mual (+), muntah (-), Pilek (+), batuk berdahak (+) dan sakit perut
(+), ptekie (-)
Nadi :84x/menit
Suhu :37, 1 0C
Pernapasan: 20x/mnt
- Demam Berdarah
Dengue hari ke-4
Gastritis Akut
- Infus Asering 16 tpm
- Paracetamol 4x1/2 tab
- Ondancetron 1 amp
- cek HHTL 24 jam kemudian
Demam hari ke-5, pegal di tangan dan kaki, mual (+),
muntah (-), Pilek (+) sedikit berkurang dan sakit perut (+),BAB sulit dan BAK
Nadi : 86x/menit
Suhu : 38,7 c
Demam Berdarah
Dengue Hari ke-5
- RL 1600 cc/24 cc2x (12,5)%
8
12/10/2013 baik Pernapasan : 26x/menit
Gastritis Akut +1600- PCT tab 4x1/2
tab- Starmuno 1x1 cth- Dexametasone
3x1- Cek HHTL 24
jam kemudian
13/3/2013
Demam hari ke-6, demam sudah mulai turun, pegal di
tangan dan kaki sudah mendingan, mual (+),
muntah (-), Pilek (+) dan sakit perut (+),BAB 1 kali
sehari dan BAK baik
Nadi : 84x/menit
Suhu : 35,1 c
Pernapasan : 24x/menit
Demam Berdarah
Dengue Hari ke-6
Gastritis Akut
Lanjutkan Terapi
Cek HHTL/24 jam
14/3/2013
Demam (+), mual (-) dan sakit perut (-), nafsu makan
BAB dan BAK baik
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,5 c
Pernapasan :
20x/menit
Demam Berdarah
Dengue Hari ke-6
Gastritis Akut
Lanjutkan terapi
Os Boleh Pulang
9
BAB I
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data
dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita
DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World
Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD
tertinggi di Asia Tenggara.1
Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili
Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui peran nyamuk Aedes yang terinfeksi
virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue
(DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam grup B Arthropod borne Virus
(Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Keempat jenis
seroptipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3
merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat.2
Tanda dan gejala infeksi dengue tidak khas, sehingga menyulitkan penegakan
diagnosis. Menurut pakar, “dengue is one disease entity with different clinical
presentations and often with unpredictable clinical evolution and outcome”. Untuk
membantu para klinisi, WHO pada tahun 1997 membuat panduan dalam buku berjudul
“Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control”. Panduan ini
merupakan panduan yang komprehensif yang sampai sekarang tetap digunakan di semua
negara endemis dengue, termasuk Indonesia. Menggunakan panduan WHO tersebut,
negara-negara di kawasan Asia Tenggara telah menurunkan angka kematian dari 1.18%
pada tahun 1985 menjadi 0.79% di tahun 2009. Namun karena dengue telah menyebar ke
berbagai negara, banyak pihak yang melaporkan sulitnya penggunaan klasifikasi WHO
1997. Beberapa hal yang dipermasalahkan adalah kesulitan memasukan klasifikasi dengue
berat kedalam spektrum klinis, kesulitan menentukan derajat penyakit karena tidak semua
kasus disertai perdarahan, dan keinginan untuk menyaring kasus dengue saat terjadi
kejadian luar biasa. Untuk itu WHO membuat klasifikasi dengue 2009, namun beberapa
10
negara di Asia Tenggara tidak menyetujui klasifikasi WHO 2009 dan membuat revisi
klasifikasi WHO 2011.3
BAB II
PEMBAHASAN
1. DEFINISI
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan
oleh virus Dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. DBD adalah salah satu
manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue. Manifestasi simptomatik infeksi virus
dengue adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Manifestasi klinis infeksi virus dengue menurut WHO 2011.4
1. Demam tidak terdiferensiasi. Adalah infeksi dengue primer (yaitu infeksi dengue
pertama kalinya), gejala yang timbul adalah demam sederhana yang tidak dapat
dibedakan dengan infeksi virus lainnya. Ruam makulopapular dapat menyertai demam
atau mungkin muncul selama penurunan suhu badan sampai normal. Umumnya disertai
gangguan pencernaan dan pernapasan bagian atas.
2. Demam dengue (DD) paling sering terjadi pada anak-anak, remaja dan orang dewasa.
Hal ini umumnya merupakan penyakit demam akut dan kadang-kadang demam biphasic
dengan sakit kepala parah, mialgia, arthralgia, ruam, leukopenia dan trombositopenia.
Pada DD bisa menjadi penyakit melumpuhkan dengan sakit kepala parah, nyeri otot,
11
sendi dan tulang, terutama pada orang dewasa. Kadang-kadang terjadi perdarahan yang
tidak biasa seperti pendarahan gastrointestinal, hypermenorrhea dan epistaksis masif.
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan). Demam berdarah dengue (DBD) lebih sering terjadi
pada anak kurang dari 15 tahun di daerah hiperendemik, berkaitan dengan infeksi
dengue berulang. DBD ditandai dengan onset akut dari demam tinggi dan berhubungan
dengan tanda-tanda dan gejala yang mirip dengan DD pada fase awal. Ada diatesis
hemoragik umum seperti uji tourniquet positif, petechiae, hematom dan perdarahan
gastrointestinal sering terjadi pada kasus berat. Pada akhir dari fase demam, ada
kecenderungan untuk berkembang menjadi syok hipovolemik (dengue shock syndrome)
akibat kebocoran plasma. Kehadiran tanda-tanda awal sebelumnya seperti muntah terus-
menerus, sakit perut, lesu atau gelisah, atau lekas marah dan oliguria gejala khas untuk
intervensi mencegah syok. Trombositopenia dan meningkatnya hematokrit /
hemokonsentrasi adalah gejala sebelum syok.
4. Expanded dengue syndrome. Manifestasi yang tidak lazim dengan keterlibatan organ
vital seperti hati, otak, ginjal dan atau jantung yang terkait dengan infeksi dengue yang
dapat pula terjadi dengan tidak adanya bukti kebocoran plasma. Kebanyakan pasien
DBD yang memiliki manifestasi tidak lazim adalah hasil dari komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan gagal organ atau pasien dengan penyakit penyerta (co-
infection).4
Para pakar mengemukakan beberapa alasan mengapa klasifikasi WHO 1997 harus
direvisi. Pertama, saat ini infeksi telah menyebar ke banyak negara. Kedua infeksi dengue
mempunyai spektrum manifestasi klinis yang luas, kadangkala sulit diramalkan baik secara
klinis maupun prognosisnya. Walaupun infeksi sembuh dengan sendirinya, adanya
perembesan plasma dan perdarahan dapat mengakibatkan akibat berat dan fatal. Para pakar
kesulitan untuk membedakan dengue ringan dan berat. Ketiga diperlukan triase klasifikasi
yang lebih luas dan longgar untuk penegakan diagnosis sedini mungkin dan tatalaksana
saat terjadi KLB. Keempat kesulitan untuk pengelompokan apabila ditemukan dengue
berat karena tidak terdapat dalam klasifikasi WHO 1997. Akhirnya terbentuklah klasifikasi
WHO 2009.
12
Namun pada klasifikasi spektrum klinis infeksi dengue tidak dibedakan antara kelompok
DBD/DSS dengan kelompok DD. Lalu klasifikasi ini terlalu luas sehingga menyebabkan
overdiagnose, namun diakui perlu dibuat spektrum klinis terpisah dari DBD, yaitu
expanded dengue syndrome yang terdiri dari isolated organopathy dan unusual
manifestations. Berdasarkan hal tersebut maka dibuat revisi dengan klasifikasi hampir
sama klasifikasi WHO1997, namun kelompok infeksi dengue simtomatik ditambah dengan
expanded syndrome dengue.
2. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun
terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan
kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) provinsi
dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai
tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus
DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009.
13
Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas
penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan
kepadatan dan distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.
Gambar 2. AI DBD per 100.000 Penduduk Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2009.
14
Gambar 3. Lima provinsi tertinggi Angka Kematian DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun
2009
Provinsi dengan angka kematian (AK) tertinggi pada umumnya berbeda dengan
provinsi dengan AI tertinggi (AI). Hal ini berarti provinsi dengan AI tinggi belum tentu
juga menjadi provinsi dengan AK tinggi. Pada Gambar di atas terlihat semua provinsi
dengan AK tertinggi adalah provinsi yang berada di luar pulau Jawa dan Bali sedangkan
provinsi dengan AI tertinggi umumnya dari Pulau Jawa dan Bali. AK rendah di pulau Jawa
dan Bali bila dibandingkan dengan di luar pulau Jawa ini kemungkinan karena pelayanan
medis dan akses ke pelayanan kesehatan lebih baik, serta tingkat pengetahuan masyarakat
tentang DBD di pulau Jawa dan Bali lebih tinggi. Oleh karena itu upaya promosi kesehatan
dan peningkatan akses dan pelayanan medis perlu difokuskan pada daerah di luar pulau
Jawa dan Bali.1
3. ETIOLOGI
Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga Flaviridae. Terdapat 4 serotipe
virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempatnya ditemukan di Indonesia
dengan DEN-3 serotipe terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi
terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe
lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai
terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat
terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat
ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang
dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe
ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang
dominan dan diasumsikan menunjukkan manifestasi klinik yang berat. Kerentanan manusia
tergantung pada sistem imun dan genetik predisposition.2
4. CARA PENULARAN
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue,
yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan
beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang
kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di
15
kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period)
sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus
dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission).
Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut
akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila
nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas
sampai 5 hari setelah demam timbul.2
5. PATOFISIOLOGI
5.1. Demam Dengue
Walaupun Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue ( DBD) disebabkan
oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan
perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah pada peristiwa renjatan yang khas pada
DBD. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang diduga karena proses
imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi.5
Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya
virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh
makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah
lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan
memrosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang
menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain
untuk memfagosit lebih banyak virus. T-Helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang
akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan
melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi,
antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.(5)
Proses di atas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya
gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi
16
manifetasi perdarahan karena terjadi aggregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia,
tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.
5.2. DBD
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti
atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer
hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari
berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai
peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh
sel monosit perifer. Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di
dalam sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya
masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk
komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural virus.
Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses
perkembanganbiakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel. Semua flavivirus memiliki
kelompok epitop pada selubung protein yang menimbulkan “cross reaction” atau reaksi
silang pada uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit
ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi diantara keempat serotipe virus DEN. Infeksi oleh
satu serotipe virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut,
tetapi tidak ada “cross protective” terhadap serotipe virus yang lain. Secara in vitro
antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi biologis: netralisasi virus; sitolisis
komplemen; Antibody Dependent Cell-mediated Cytotoxity (ADCC) dan Antibody
Dependent Enhancement.
Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri atas protein C (capsid), M (membran)
dan E (envelope), sedang virus intraseluler mempunyai protein pre-membran atau pre-M.
Glikoprotein E merupakan epitop penting karena : mampu membangkitkan antibodi
spesifik untuk proses netralisasi, mempunyai aktifitas hemaglutinin, berperan dalam
proses absorbsi pada permukaan sel, (binding receptor), mempunyai fungsi biologis antara
lain untuk fusi membran dan perakitan virion. Antibodi memiliki aktifitas netralisasi dan
mengenali protein E yang berperan sebagai epitop yang memiliki serotipe spesifik,
serotipe-cross reaktif atau flavivirus-cross reaktif. Antibodi netralisasi ini memberikan
proteksi terhadap infeksi virus DEN. Antibodi monoclonal terhadap NS1 dari komplemen
virus DEN dan antibodi poliklonal yang ditimbulkan dari imunisasi dengan NS1
17
mengakibatkan lisis sel yang terinfeksi virus DEN. Antibodi terhadap virus DEN secara
in vivo dapat berperan pada dua hal yang berbeda :
a. Antibodi netralisasi atau “neutralizing antibodies” memiliki serotipe spesifik yang dapat
mencegah infeksi virus.
b. Antibodi non netralising serotipe memiliki peran cross-reaktif dan dapat meningkatkan
infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS.
Imunopatogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial.
Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan SSD
yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection)
Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan
infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi
terhadap jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama. Pengertian ini akan lebih jelas
bila dikemukakan sebagai berikut: Seseorang yang pernah mendapat infeksi primer virus
dengue, akan mempunyai antibody yang dapat menetralisasi yang sama (homologous).
18
Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus
yang lain, maka terjadi infeksi yang berat. Hal ini dapat dijelaskan dengan urAIan
berikut: Pada infeksi selanjutnya, antibody heterologous yang telah terbentuk dari infeksi
primer akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue baru dari serotipe berbeda;
namun tidak dapat dinetralisasi virus baru bahkan membentuk kompleks yang infeksius.
19
Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan serotipe
lain atau virus lain) karena adanya non neutralising antibodi maka partikel virus DEN dan
molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan antara kompleks
tersebut dengan reseptor Fc gama pada sel melalui bagian Fc dari IgG menimbulkan
peningkatan (enhancement) infeksi virus DEN. Kompleks virus antibodi meliputi sel
makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi
sehingga makrofag mudah terinfeksi sehingga akan teraktivasi dan akan memproduksi
IL-1, IL-6 dan TNF alpha dan juga “Platelet Activating Faktor” (PAF). Karena antibodi
bersifat heterolog, maka virus tidak dapat di neutralisasi tetapi bebas bereplikasi di dalam
makrofag; informasi ini akan lebih jelas bila diurAIkan dalam betuk gambar berikut:
TNF alpha baik yang terangsang INF gama maupun dari makrofag teraktivasi
antigen antibody kompleks, dan selanjutnya akan menyebabkan kebocoran dinding
pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan
kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas,
dimana hal tersebut akan mengakibatkan syok. Virus-Ab kompleks (kompleks imun) yang
terbentuk akan merangsang komplemen, yang farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini
20
bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syok
hipovolemik) dan perdarahan.
Pada anak umur dibawah 2 tahun, yang lahir dari ibu dengan riwayat pernah
terinfeksi virus DEN, dimana terjadi infeksi virus dari ibu ke anak maka dalam tubuh anak
tersebut telah terjadi “Non Neutralizing Antibodies” akibat adanya infeksi yang persisten,
sehingga infeksi baru pertama kali sudah terjadi proses “Enhancing” yang akan memacu
makrofag sehingga mudah terinfeksi dan teraktivasi dan akan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan
TNF alpha juga PAF. Dimana bahan-bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel
endotel dinding pembuluh darah dan system hemostatik yang akan mengakibatkan
kebocoran plasma dan perdarahan.(6,7,8)
21
6. GEJALA KLINIS
6.1. Demam berdarah dengue
Setelah masa inkubasi rata-rata 4-6 hari (kisaran 3-14 hari), berbagai gejala non-
spesifik konstitusional dari sakit kepala, sakit punggung dan malAIse umum dapat
ditemukan. Biasanya, awal DD adalah kenaikan suhu tiba-tiba dan sering dikAItkan
dengan wajah memerah dan sakit kepala. Sesekali, menggigil menyertai kenaikan suhu
yang mendadak. selanjutnya, mungkin ada nyeri retro-orbital pada gerakan mata atau
tekanan mata, fotofobia, sakit punggung, dan nyeri pada otot dan sendi/tulang. Gejala
umum lainnya termasuk anoreksia dan perubahan sensasi rasa, sembelit, nyeri kolik dan
nyeri perut, nyeri di daerah inguinal, sakit tenggorokan. Gejala ini biasanya berlangsung
dari beberapa hari sampai beberapa minggu. Perlu dicatat bahwa gejala-gejala dan tanda-
tanda DD sangat bervariasi dalam frekuensi dan keparahan.4
Demam: Suhu tubuh biasanya antara 39 ° C dan 40 ° C, dan demam mungkin biphasic, 5-
7 hari.
22
Ruam: kemerahan difus atau erupsi sekilas dapat diamati pada wajah, leher dan dada
selama dua sampai tiga hari pertama, dan ruam mencolok yang mungkin makulopapular
atau rubelliform muncul pada sekitar hari ketiga atau keempat. Menjelang akhir masa
demam atau segera setelah penurunan suhu badan sampai yg normal, ruam umum
memudar dan kelompok lokal petechiae mungkin muncul pada dorsum kaki, di kaki, dan
di tangan dan lengan. petechiae konfluen ditandai dengan kulit terasa gatal.
Manifestasi perdarahan: perdarahan kulit dapat hadir dengan uji tourniquet positif dan /
atau petechiae. Pendarahan lain seperti epistaksis masif, hypermenorrhea, perdarahan
ginggiva dan perdarahan gastrointestinal jarang terjadi di DD, komplikasi dengan
trombositopenia.
Laboratorium : Di daerah endemik demam berdarah, tes turniket positif dan leukopenia
(WBC ≤ 5000 sel/mm3) membantu dalam membuat diagnosis awal infeksi dengue dengan
nilai prediksi positif 70% -80%. Temuan Laboratorium selama episode akut penyakit DD
adalah sebagai berikut:
• Jumlah WBC biasanya normal pada awal demam, kemudian berkembang menjadi
leukopenia dengan penurunan neutrofil dan berlangsung selama periode demam.
• Jumlah platelet biasanya normal, seperti juga komponen lain dari mekanisme
pembekuan darah. Trombositopenia ringan (100. 000-150. 000 sel/mm3) sering
ditemukan, dari rata-rata semua pasien DD memiliki jumlah trombosit di bawah 100.000
sel/mm3, tetapi trombositopenia berat (<50 000 sel/mm3) jarang terjadi.
• Hematokrit meningkat ringan (≈ 10%) dapat ditemukan sebagai konsekuensi dari
dehidrasi yang terkait dengan muntah, demam, anoreksia dan asupan oral yang buruk.
• Biokimia darah biasanya normal tapi enzim hati alanine aminotransferase (ALT) dan
aspartate amino transferase (AST) mungkin meningkat.
Diferensial diagnosis Demam dengue
Arboviruses: Chikungunya virus
Other viral diseases: Measles; rubella dan virus lainnya; Epstein-Barr Virus
(EBV); enteroviruses; influenza; hepatitis A
Bacterial diseases: leptospirosis, typhoid.
Parasitic diseases: Malaria.
23
6.2. Demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue.
Kasus DBD khas ditandai dengan demam tinggi, fenomena perdarahan,
hepatomegali, dan sering dengan gangguan peredaran darah dan syok. Trombositopenia
sedang yang ditandai bersamaan dengan hemokonsentrasi /peningkatan hematokrit adalah
temuan laboratorium yang khas terlihat. Perubahan patofisiologi utama yang menentukan
tingkat keparahan DBD dan membedakannya dari demam dengue adalah hemostasis
abnormal dan kebocoran plasma selektif dalam rongga pleura dan perut. Perjalanan klinis
DBD dimulai dengan kenaikan suhu yang mendadak disertai wajah kemerahan dan gejala
yang menyerupai demam berdarah, seperti anoreksia, muntah, sakit kepala dan nyeri otot
atau sendi.
Tes tourniquet positif (~ 10 titik / inci2), bisa diamati pada fase demam awal.
Petechiae halus tersebar pada ekstremitas, aksila, wajah dan langit-langit mulut dapat
dilihat selama fase demam awal. Ruam peteki konfluen dengan daerah seputaran kulit
normal terlihat dalam masa pemulihan, seperti pada demam berdarah. Epistaksis dan
perdarahan gusi kurang umum. Perdarahan gastrointestinal ringan kadang-kadang dapat
tampak, keadaan ini bisa menjadi lebih parah pada pasien yang sudah ada penyakit ulkus
peptikum sebelumnya. Hematuria jarang terjadi. Hepar biasanya teraba di awal fase
demam, hanya teraba 2-4 cm di bawah batas kosta kanan. Ukuran hepar tidak berkorelasi
dengan keparahan penyakit, tetapi hepatomegali lebih sering pada kasus syok.
Fase kritis DBD, yaitu periode kebocoran plasma, dimulai sekitar transisi dari
demam ke fase afebris. Bukti kebocoran plasma, efusi pleura dan ascites mungkin, Namun
tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik pada fase awal kebocoran plasma atau
kasus-kasus ringan DBD. Hematokrit meningkat, misalnya 10% sampai 15% di atas
normal, adalah bukti paling awal kebocoran plasma. Komplikasi yang signifikan dari
kebocoran plasma menyebabkan syok hipovolemik. Bahkan dalam kasus-kasus syok,
sebelum terapi cairan intravena, efusi pleura dan ascites mungkin tidak terdeteksi secara
klinis. USG atau foto thorax untuk membuktikan kebocoran plasma dapat mendahului
deteksi klinis. Rontgen dada kanan dekubitus lateral yang meningkatkan sensitivitas untuk
mendeteksi efusi pleura. Dinding kandung empedu edema dikAItkan dengan kebocoran
plasma dan mungkin mendahului deteksi klinis. Penurunan albumin serum secara
signifikan yaitu > 0,5 gram/dl dari awal adalah bukti tidak langsung plasma leakage.
Dalam kasus-kasus ringan DBD, semua tanda dan gejala mereda setelah demam reda.
Penurunan demam bisa disertai dengan keringat dan perubahan ringan pada denyut nadi
24
dan tekanan darah. Perubahan ini mencerminkan gangguan peredaran darah ringan dan
sementara sebagai akibat dari kebocoran plasma derajat ringan. Pasien biasanya pulih baik
secara spontan atau setelah terapi cairan dan elektrolit. Dalam kasus sedang sampai parah,
kondisi pasien memburuk beberapa hari setelah timbulnya demam. Ada warning sign
seperti muntah terus-menerus, sakit perut, penolakan asupan oral, lesu atau gelisah atau
lekas marah, oliguria. Mendekati akhir fase demam, pada saat atau segera setelah suhu
turun atau antara 3-7 hari setelah timbulnya demam, ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi:
kulit menjadi dingin, perioral sianosis sering diamati, dan denyut nadi menjadi lemah dan
cepat. Meskipun beberapa pasien mungkin tampak lesu, biasanya mereka menjadi gelisah
dan kemudian dengan cepat masuk ke tahap kritis dari syok. Sakit perut akut adalah
keluhan sering sebelum timbulnya syok. Shock ditandai dengan nadi cepat dan lemah
dengan penyempitan tekanan nadi < 20 mmHg dengan tekanan diastolik yang meningkat,
misalnya 100/90 mmHg, atau hipotensi. Tanda-tanda perfusi jaringan berkurang adalah:
waktu pengisian kapiler (> 3 detik), kulit teraba dingin dan gelisah. Pasien shock berada
dalam bahaya kematian jika tidak ada pengobatan yang cepat dan tepat diberikan. Pasien
mungkin masuk ke dalam tahap syok mendalam dengan tekanan darah dan / atau pulsasi
nadi menjadi tak teraba (DBD derajat 4). Perlu dicatat bahwa sebagian besar pasien tetap
sadar hampir ke tahap terminal.
Convalescence pada DBD
Diuresis dan kembalinya nafsu makan adalah tanda-tanda pemulihan dan indikasi
untuk menghentikan penggantian volume. Temuan umum dalam convalescence meliputi
sinus bradikardia atau aritmia dan petechial konfluen seperti yang dijelaskan pada demam
berdarah. Penyembuhan pada pasien dengan atau tanpa syok biasanya singkat dan lancar.
Bahkan dalam kasus dengan syok mendalam, setelah shock diatasi dengan perawatan yang
tepat pada pasien yang bertahan dapat sembuh dalam 2 - 3 hari. Namun, mereka yang
memiliki syok yang berkepanjangan dan kegagalan multiorgan akan memerlukan
pengobatan khusus dan mengalami pemulihan lebih lama. Perlu dicatat bahwa angka
kematian dalam kelompok ini akan tinggi bahkan dengan pengobatan khusus.
Laboratorium
1. Sel darah putih (WBC) count mungkin normal atau dengan neutrofil dominan pada
fase demam awal. Setelah itu, ada penurunan jumlah sel darah putih dan neutrofil,
mencapAI titik terendah pada akhir fase demam. Perubahan jumlah total sel putih
25
(≤ 5000 sel/mm3) dan rasio neutrofil ke limfosit (neutrofil <limfosit) berguna untuk
memprediksi masa kritis kebocoran plasma. Temuan ini mendahului
trombositopenia atau hematokrit meningkat. Sebuah limfositosis relatif dengan
limfosit atipikal yang meningkat umumnya diamati pada akhir fase demam dan ke
pemulihan. Perubahan ini juga terlihat pada DF.
2. jumlah trombosit normal selama fase awal demam. Penurunan ringan dapat diamati
setelahnya. Penurunan tiba-tiba jumlah trombosit di bawah 100.000 terjadi pada
akhir fase demam sebelum timbulnya shock atau penurunan demam. Tingkat
jumlah trombosit berkorelasi dengan keparahan DBD. Perubahan ini berlangsung
singkat dan kembali normal selama masa pemulihan. Hematokrit normal pada fase
awal demam. sedikit peningkatan mungkin karena demam tinggi, anoreksia dan
muntah. Kenaikan mendadak hematokrit diamati secara bersamaan atau segera
setelah penurunan jumlah trombosit. Haemoconcentration atau hematokrit
meningkat 20% dari awal, bukti obyektif dari kebocoran plasma. Perlu dicatat
bahwa tingkat hematokrit dapat dipengaruhi oleh penggantian volume awal dan
pendarahan.
3. Temuan umum lainnya adalah hypoproteinemia / albuminaemia (sebagai akibat dari
kebocoran plasma), hiponatremia, dan tingkat aspartat aminotransferase serum
sedikit meningkat (≤ 200 U / L) dengan rasio aspartate aminotransferase (AST):
alanine aminotransferase (ALT) > 2.
4. Albuminuria ringan bersifat sementara kadang-kadang dapat timbul.
5. Dalam kebanyakan kasus, tes koagulasi dan faktor fibrinolitik menunjukkan
penurunan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III.
Penurunan antiplasmin (plasmin inhibitor) ini ditemukan di beberapa kasus. Pada
kasus yang parah ditandai dengan disfungsi hati, faktor pengurangan V, VII, IX dan
X.
6. parsial tromboplastin time dan protrombin time lebih panjang sekitar setengah dan
sepertiga dari kasus DBD. Trombin time juga panjang pada kasus berat.
7. Hiponatremia sering diamati pada DBD dan shock berat.
8. Asidosis metabolik sering ditemukan pada kasus dengan syok berkepanjangan.
Nitrogen urea darah meningkat pada syok berkepanjangan.
26
Kriteria untuk diagnosis klinis DBD/DSS
1. manifestasi klinis
• Demam: onset akut, tinggi dan terus menerus, berlangsung dua sampai tujuh hari dalam
banyak kasus.
• Salah satu manifestasi perdarahan berikut termasuk tes tourniquet positif, petechiae,
purpura (pada situs venepuncture), epistaksis, perdarahan gusi, dan hematemesis dengan
atau tanpa melena.
• Pembesaran hati (hepatomegali) diamati pada beberapa tahapan penyakit pada 90% -98%
anak. Frekuensi bervariasi dengan waktu dan / atau pengamat.
• Syok, dimanifestasikan dengan takikardia, perfusi jaringan yang buruk dengan denyut
nadi lemah dan tekanan nadi menyempit (< 20 mmHg) atau hipotensi dengan akral dingin,
kulit lembab dan / atau gelisah.
2. Temuan laboratorium
• Trombositopenia (100.000 sel/mm3 atau kurang).
• Haemoconcentration; hematokrit meningkat ≥ 20% dari baseline pasien.
Dua kriteria klinis pertama, ditambah trombositopenia dan haemoconcentration atau
hematokrit meningkat, cukup untuk membuat diagnosis klinis DBD. Kehadiran
pembesaran hati sebagai tambahan dari dua kriteria klinis pertama dapat menandakan DBD
sebelum timbulnya kebocoran plasma.
Kehadiran efusi pleura (X-ray thorax atau USG) adalah bukti yang paling obyektif adanya
kebocoran plasma sementara hipoalbuminemia memberikan bukti pendukung. Hal ini
sangat berguna untuk diagnosis DBD pada pasien berikut:
• anemia.
• perdarahan parah.
• di mana tidak ada hematokrit awal.
• peningkatan hematokrit sampai <20% karena terapi intravena sebelumnya.
Dalam kasus dengan syok, hematokrit tinggi dan trombositopenia mendukung diagnosis
DSS. LED rendah (<10 mm / jam) selama syok membedakan DSS dari syok septik. LED
yang rendah terjadi karena rendahnya tingkat albumin dan fibrinogen.
Deferensial Diagnosis
27
Pada fase awal demam, deferensial diagnosis mencakup spektrum yang luas dari
infeksi virus, bakteri, dan protozoa yang mirip dengan demam dengue. Adanya
trombositopenia dan hemokonsentrasi secara bersamaan membedakan DBD/DSS dengan
penyakit lainnya.
Tabel 1. Tanda klinis
DD/DBD grade Tanda dan gejala Laboratorium
DD Demam dengan dua hal
berikut:
• Sakit kepala.
• Retro-orbital nyeri.
• mialgia.
• Arthtralgia / nyeri tulang.
• Ruam.
•Dengue manifestasi.
• Tidak ada bukti kebocoran
plasma.
• leukopenia (WBC ≤ 5000)
sel/mm3).
• Trombositopenia (jumlah
trombosit
<150 000 sel/mm3).
• Meningkatnya hematokrit
(5% - 10%).
• Tidak ada bukti kehilangan
plasma
DBD I Demam dan manifestasi
perdarahan (positif tourniquet
test) dan bukti kebocoran
plasma
Trombositopenia <100.000
sel/mm3
Hematokrit ≥20%.
DBD II Seperti di grade I di tambah
dengan perdarahan spontan
Trombositopenia <100.000
sel/mm3
Hematokrit ≥20%.
DBD III Seperti di grade I atau II
ditambah kegagalan sirkulasi
(nadi lemah, tekanan nadi ≤
20 mmHg, hipotensi,
gelisah).
Trombositopenia <100.000
sel/mm3
Hematokrit ≥20%.
DBD IV Seperti di grade III ditambah
syok dengan tekanan darah
yang tidak terditeksi dan nadi
Trombositopenia <100.000
sel/mm3
28
tidak teraba Hematokrit ≥20%.
Sumber:http://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/Denguepublication/en/
#: DBD III dan IV adalah DSS
Komplikasi
Demam dengue
DF dengan perdarahan dapat terjadi dalam hubungan dengan penyakit yang mendasari
seperti tukak lambung, trombositopenia berat dan trauma.
DHF bukan kesinambungan DF.
Demam berdarah dengue
Biasanya terjadi berhubungan dengan syok berat/berkepanjangan yang menyebabkan
asidosis metabolik dan perdarahan hebat dan kegagalan multiorgan seperti hati dan
disfungsi ginjal. Yang lebih penting, pengganti cairan yang berlebihan selama periode
kebocoran plasma yang menyebabkan efusi masif menyebabkan penekanan pernapasan,
kongesti paru akut dan/atau gagal jantung. Terapi cairan Lanjutan setelah periode
kebocoran plasma akan menyebabkan edema paru akut atau gagal jantung, terutama bila
ada reabsorpsi cairan extravasase. Selain itu, terapi cairan syok mendalam /
berkepanjangan dan tidak tepat dapat menyebabkan gangguan metabolisme / elektrolit.
Kelainan metabolik sering ditemukan sebagai hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia
dan kadang-kadang, hiperglikemia. Gangguan ini dapat menyebabkan manifestasi tidak
biasa misalnya ensefalopati.4
6.3. Expanded dengue syndrome (unusual or atypical manifestations)
Dalam beberapa tahun terakhir dengan penyebaran geografis penyakit demam
berdarah, ada laporan peningkatan DF dan DBD dengan manifestasi yang tidak biasa. Ini
termasuk: saraf, hati, ginjal dan keterlibatan organ lain. Ini dapat dijelaskan sebagai
komplikasi syok berkepanjangan atau berhubungan dengan kondisi host yang mendasari/
koinfeksi.
Manifestasi sistem saraf pusat (SSP) termasuk kejang, spastisitas, perubahan
kesadaran dan paresis transien telah diamati. Penyebab tergantung pada waktu manifestasi
sehubungan dengan kebocoran, viremia plasma atau pemulihan.
Ensefalopati dalam kasus fatal telah dilaporkan di Indonesia, Malaysia, Myanmar, India
29
dan Puerto Rico. Namun, dalam banyak kasus tidak ada otopsi untuk menyingkirkan
perdarahan atau oklusi dari pembuluh darah. Meskipun terbatas, ada beberapa bukti bahwa
pada kesempatan langka virus dengue dapat melewati sawar darah-otak dan menyebabkan
ensefalitis. Tabel 2 rincian manifestasi yang tidak biasa / atipikal demam berdarah.
Disebutkan di atas manifestasi yang tidak biasa mungkin tidak dilaporkan atau
belum diakui atau tidak berhubungan dengan demam berdarah. Namun, sangat penting
bahwa penilaian klinis yang tepat dilakukan untuk pengelolaan yang tepat, dan penelitian
kausal harus dilakukan.4
Faktor host yang berikut ini berkontribusi terhadap penyakit yang lebih berat dan
komplikasinya:
• Bayi dan orang tua,
• Obesitas,
• Wanita hamil,
• Penyakit ulkus peptikum,
• Wanita yang mengalami perdarahan vagina atau menstruasi tidak normal,
• Penyakit hemolitik seperti defisiensi glukosa-6-fosfatase dehidrogenase (G-6PD),
thalassemia dan haemoglobinopathies lain,
• Penyakit jantung bawaan,
• penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi, asma, penyakit jantung iskemik,
gagal ginjal kronis, sirosis hati,
• pasien pada pengobatan steroid atau NSAID, dan
• lain-lain.
Tabel 2. Expanded dengue syndrome
Sistem Organ Unusual atau atypical manifestation
Neurologi Kejang demam pada anak
Ensefalopati
Ensefalitis atau/meningitis aseptic
Perdarahan intracranial
Efusi subdural
30
Sindrom guilain Barre
Meilitis transversal
Gastrointestinal/hepatic Hepatitis
Pankreatitis akut
Hyperplasia plaque payeri
Parotitis akut
Ginjal Gagal ginjal akut
Hemolytic uremic syndrome
Jantung Miokarditis
Perikarditis
Respirasi Sindrom distress pernapasan akut
Perdarahan paru
Muskuloskeletal Rapdomiolisis
Limforetikuler ITP
Lymph node infaftion
Mata Macular haemorrhage
Gangguan visual acuity
Neuritis optikus
Lain-lain Depresi
Halusinasi
Psikosis
Alopesia
Sumber: Gulati S, Maheshwari A. Atypical manifestations of dengue. Trop Med Int Health. 2007 Sep.;
12(9):1087 – 95.4
7. Diagnosis Laboratorium
Pengujian laboratorium berikut ini tersedia untuk mendiagnosis demam berdarah dan
DBD:
• Virus isolasi
- Karakterisasi serotypic / genotipik
• Deteksi asam nukleat virus
• deteksi virus antigen
31
• tes respon imunologi
- IgM dan IgG antibodi tes
• Analisis untuk parameter hematologis
Diagnostik tes dan tahapan penyakit
Viremia Dengue pada pasien waktunya pendek, biasanya terjadi 2-3 hari sebelum
timbulnya demam dan berlangsung selama empat sampai tujuh hari penyakit. Selama
periode ini virus dengue, asam nukleat dan antigen virus yang beredar dapat dideteksi
(Gambar 6).
Respon antibodi terhadap infeksi mencakup munculnya berbagai jenis
imunoglobulin, IgM dan IgG memiliki nilai diagnostik dalam dengue. Antibodi IgM
terdeteksi dengan 3-5 hari setelah onset penyakit, cepat naik sekitar dua minggu dan
penurunan ke tingkat tidak terdeteksi setelah 2-3 bulan. IgG antibodi terdeteksi pada tingkat
rendah pada akhir minggu pertama, kemudian meningkat dan tetap untuk jangka waktu
lama (selama bertahun-tahun). Karena penampilan akhir antibodi IgM, yaitu setelah lima
hari sejak timbulnya demam, tes serologi berdasarkan antibodi ini yang dilakukan selama
lima hari pertama timbulnya sakit klinis biasanya negatif.
Selama infeksi dengue sekunder (ketika tuan rumah itu sebelumnya telah terinfeksi
oleh virus dengue), titer antibodi meningkat pesat. Antibodi IgG terdeteksi pada tingkat
tinggi, bahkan dalam tahap awal, dan bertahan dari beberapa bulan untuk jangka waktu
seumur hidup. Kadar antibodi IgM secara signifikan lebih rendah dalam kasus-kasus infeksi
sekunder. Oleh karena itu, rasio IgM / IgG umumnya digunakan untuk membedakan antara
infeksi dengue primer dan sekunder. Trombositopenia biasanya diamati antara hari ketiga
dan kedelapan penyakit diikuti dengan perubahan hematokrit.
Gambar 6: Perkiraan batas waktu infeksi dengue primer dan sekunder dan metode
diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi
32
Sumber: WHO. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control, New edition, 2009. WHO Geneva.
Terdapat lima tes serologi dasar yang digunakan untuk diagnosis infeksi dengue. Antara
lain: haemagglutination-inhibition (HI), complement fixation (CF), neutralization test
(NT), IgM capture enzyme-linked immunosorbent assay (MAC-ELISA), and indirect
IgG ELISA. Uji apa saja yang dipakai, yang penting pada dasarnya adalah ada kenaikan
titer antibody akut ke antibody konvalesen sebesar 4 kali lipat atau lebih.3
1. Uji HI
Uji ini untuk menetapkan titer antibodi anti-dengue yang dapat menghambat
kemampuan virus dengue mengaglutinasi sel darah merah angsa. Antibodi HI bertahan di
dalam tubuh sampai bertahun-tahun, sehingga uji ini baik untuk studi sero-epidemiologi.
Sayangnya uji ini membutuhkan sepasang sera dengan perbedaan waktu fase akut dan
konvalesen paling sedikit 7 hari, optimalnya 10 hari.Uji ini dapat digunakan untuk
membedakan infeksi primer dan sekunder berdasarkan titer antibodinya.
Kenaikan titer Interval Serum I-II Titer konvalesen Interpretasi
≥ 4kali ≥ 7 hari ≤ 1 : 1280 Infeksi flavivirus
akut, primer
≥ 4 kali Specimen apapun ≥ 1 : 2560 Infeksi flavivirus
akut, sekunder
≥ 4 kali < 7 hari ≤ 1 : 1280 Infeksi flavivirus
akut, primer atau
33
sekunder
Tidak ada kenaikan Specimen apapun ≥ 1 : 2560 Infeksi flavivirus
baru, Sekunder
Tidak ada kenaikan ≥ 7 hari ≤ 1 : 1280 Bukan dengue
Tidak ada kenaikan < 7 hari ≤ 1 : 1280 Tidak dapat
diinterpretasi
Tidak diketahui Specimen tunggal ≤ 1 : 1280 Tidak dapat
diinterpretasi
2. Uji CM
Uji ini tidak banyak dipakai untuk diagnosis serologi secara rutin. Selain rumit caranya
juga memerlukan keahlian tersendiri. Antibody CM biasanya timbul setelah antibody HI
timbul dan sifatnya lebih spesifik pada infeksi primer dan biasanya cepat menghilang dari
darah (2-3 tahun).
3. Uji neutralisasi (Neutralization test : NT test)
Merupakan uji serologis yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue. Biasanya
memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test (PRNT) yaitu
berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi nneutralisasi dapat
dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari
antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (4-8 tahun). Uji ini juga rumit dan
memerlukan waktu cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa (Mac. Elisa)
Pada tahun terakhir ini merupakan uji serologis yang banyak dipakai. Mac Elisa adalah
singkatan dari IgM captured Elisa, dimana akan mengetahui kandungan IgM dalam serum
pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian diikuti dengan
timbulnya IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, akan secara cepat dapat ditentukan
diagnosis yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal ini perlu diulang.
d. Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.
34
e. Perlu dijelaskan disini bahwa IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3 bulan
setelah adanya infeksi. Untuk memperjelaskan hasil uji IgM dapat pula dilakukan
uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas maka uji IgM tidak boleh
dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus.
f. Uji Mac Elisa mempunyai sensitivitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan uji
Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesivisitas yang sama
dengan uji HI.
5. IgG Elisa
Sebanding dengan uji HI, tapi lebih spesifik. Terdapat beberapa merek dagang untuk
uji infeksi dengue seperti IgM/IgG Dengue Blot, Dengue Rapid IgM/IgG, IgM Elisa,
IgG Elisa.[1]
PEMERIKSAAN ANTIGEN NS1 DENGUE
PENDAHULUAN
Demam dengue maupun penyakit lain akibat virus dengue merupakan penyakit
akibat arbovirus yang endemik terutama di daerah tropik dan subtropik lainnya. WHO
sendiri memperkirakan terdapat 50-100 juta kasus infeksi virus ini setiap tahun di seluruh
dunia dan menghasilkan 24.000 kematian setiap tahunnya.
Diagnosis penyakit ini adalah dari gejala klinis yang menunjukkan panas mendadak
tinggi disertai dengan gejala-gejala lain yang tidak khas kadang menyerupai gejala flu
biasa. Dari tanda klinis didapatkan nyeri mid epigastrik, hepatomegali dan mungkin
terdapat tanda-tanda perdarahan. Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk diagnosis
maupun evaluasi hasil pengobatan.
Saat ini terdapat beberapa teknik untuk mendeteksi infeksi virus dengue yaitu
kultur dan isolasi virus, RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction),
serologi(IgM dan IgG anti Dengue) dan pemeriksaan hematologi rutin. Isolasi virus atau
PCR masih merupakan standar emas untuk mendeteksi virus dengue ini, tetapi terdapat
keterbatasan untuk pemeriksaan ini terutama biaya, waktu dan teknik pengerjannya.
Pemeriksaan serologi IgM dan IgG antidengue yang secara rutin dan relatif mudah
35
dikerjakan masih mempunyai keterbatasan yaitu ketidakmampuannya mendeteksi proses
infeksi lebih awal.
Saat ini terdapat terobosan pemeriksaan baru terhadap antigen nonstruktural-1
dengue (NS1) yang dapat mendeteksi virus dengue lebih awal.
STRUKTUR GENOM DAN REPLIKASI VIRUS DENGUE
Virus dengue merupakan virus RNA rantai tunggal, terdapat empat serotipe yang
berbeda yaitu DEN1, DEN2, DEN3 dan DEN4 yang semuanya terdapat di Indonesia. Virus
dengue memiliki genom 11 kb yang mengkode 10 macam protein virus yaitu tiga protein
struktural (C/protein core, M/protein membrane, E/protein envelope)dan tujuh protein
nonstruktural (NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b, NS5).
Pada saat virus masuk ke sel melalui proses endositosis melalui reseptor, genom
virus yang terdiri dari RNA rantai tunggal akan dilepaskan ke alam sitoplasma dan
digunakan sebagai cetakan atau template untuk proses translasi menjadi prekursor protein
yang lebih besar. Pemotongan pada bagian terminal dari poliprotein ini oleh enzim-enzim
sel inang (signalase, furin) akan menghasilkan protein-protein struktural yang membentuk
partikel virus berselubung. Poliprotein yang tersisa dibutuhkan untuk menghasilkan lebih
banyak virus yang nantinya mengulang proses yang sama.
Protein-protein nonstruktural virus tersebut diduga bersama-sama dengan protein-
protein host yang belum diketahui, membentuk mesin replikasi didalam sitoplasma sel-sel
yang terinfeksi yang mengkatalisis peningkatan jumlah RNA. Sebagai contoh, NS3 dan
NS5 mempunyai aktivitas protease, helicase, polymerase yang sangat berperan dalam
proses replikasi. NS3 hanya akan aktif bila berikatan dengan NS2b yang mempunyai peran
pada protein folding.
36
RNA baru yang dihasilkan kemudian digunakan lagi untuk proses translasi dan
menghasilkan kembali protein-protein virus, untuk sintesis lebih banyak RNA virus atau
untuk ankapsidasi kedalam partikel virus. Pada akhirnya virion virion meninggalkan sel
melalui proses eksositosis.
PROTEIN NOSTRUKTURAL-1 DENGUE (NS1 DENGUE)
NS1 adalah glikoprotein nonstruktural dengan berat molekul 46-50 kD dan
merupakan glikoprotein yang sangat conserved. Pada awalnya NS1 digambarkan sebagai
antigen Soluble Complement Fixing (SCF) pada kultur sel yang terinfeksi. NS1 diperlukan
untuk kelangsungan hidup virus namun belum diketahui aktivitas biologisnya. Dari bukti
yang sudah ada menunjukkan bahwa NS1 terlibat dalam proses replikasi virus. NS1 sendiri
dihasilkan dalam 2 bentuk yaitu membran associated dan secreted form.
Selama infeksi sel, NS1 ditemukan berkaitan dengan organel-organel intrasel atau
ditransfer melalui jalur sekresi ke permukaan sel (membran sitoplasma).
Ns1 bukan bagian dari struktur virus tapi diekspresikan pada permukaan sel yang terinfeksi
dan memiliki determinan-determinan yang spesifik group dan tipenya.peran NS1 dalam
imunopatogenesis juga telah disampaikan berdasarkan temuan anti-SCF antibodies dalam
serum pasien-pasien dengan infeksi sekunder tapi tidak pada infeksi primer. NS1 dengue
disekresikan ke dalam system sirkulasi darah pada individu yang terjangkit virus dengue
dengan konsentrasi yang tinggi pada infeksi primer maupun sekunder selama fase klinik
sakit dan hari-hari pertama masa konvalesen (pemulihan).
HASIL PENELITIAN NS1 DENGUE
Dussart dkk melakukan penelitian terhadap 299 sampel serum dari pasien dengan
penyakit dengue yang terdiri dari 42 kasus DEN1. 43 kasus DEN2, 109 kasus DEN3, 49
kasus DEN4 dan56 tidak diketahui serotipenya. Lima sampel serum fase akut onset hari ke
3-4, 51 fase konvalesen onset hari ke 5-10. Dussatr juga menambahkan 50 sampel serum
fase akut (hari 1-4) pasien yang mengalami dengue like syndrome dan 20 sampel serum
yellow fever.
37
Sampel serum yang terinfeksi dengue dibagi dua yaitu serum fase akut (hari 0-4)
dan early convalescent (hari ke 5-10). Semua sampel kemudian diperiksa MAC ELISA
(IgM Antibody Captured ELISA) dan NS1 dengue.
Dari penelitian tersebut diperoleh hasil sensitivitas NS1 terhadap PCR sebesar 85%
dan terhadap kultur virus 94,1%, dengan sensitivitas total terhadap semua jenis serotipe
88,7%. Sensitivitas pemeriksaan NS1 optimal hari ke 0-4, sementara pemeriksaan serologi
dengan MAC ELISA sensitivitasnya hanya 8,6% pada waktu tersebut. Spesivitas NS1
dengue diperoleh sebesar 100%. Kombinasi pemeriksaan NS1 dengue pada fase akut dan
MAC ELISA pada fase konvalesen akan meningkatkan sensitivitas dari 88,7% menjadi
91,9%.
Penelitian lain dilakukan oleh Kumarasamy dkk yang menggunakan sampel pasien
yang sudah dikonfirmasi dengan RT-PCR dan atau isolasi virus. Dari penelitian tersebut
diperoleh hasil bahwa sensitivitas reagen komersial dengue NS1 antigen-capture ELISA
untuk infeksi virus dengue akut sebesar 93,4% dan spesivitasnya 100%. Sensitivitas untuk
dengue primer sebesarakut sebesar 97,3 % dan untuk dengue akut sekunder sebesar 70%.
Nilai ramal positif dan negatif masing-masing sebesar 100% dan 97,3%. Positive isolation
rate isolasi vrus secara keseluruhan adalah sebesar 68% (73,9% untuk dengue pimer akut
dan 31% untuk dengue sekunder akut) sedangkan positive detection rate RT-PCR secara
keseluruhan adalah 66,7% (65,2% untuk dengue primer akut dan 75,9% untuk dengue
sekunder akut). Dari hasil penelitian tersebut, Kumarasamy menyimpulkan bahwa reagen
komersial dengue NS1 antigen-capture ELISA dapat lebih superior dibandingkan isolasi
virus dan RT- PCR untuk diagnosis laboratorium infeksi dengue akut berdasarkan sampel
tunggal.
PENUTUP
Pemeriksaan dengue NS1 antigen dapat mendeteksi infeksi akut lebih awal
dibandingkan pemeriksaan antibodi dengue. Deteksi lebih awal adanya infeksi dengue ini
38
sangat penting karena kita dapata melakukan terapi suportif dan pemantauan pasien segera
dan dapat mengurangi risiko komplikasi maupun kematian.
Share this:
Pada tahun 2007, sekarang dan beberapa peneliti dari Universitas Malaya Kuala
Lumpur melakukan penelitian yang dimuat di Journal Infection in Developing Countries.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pemeriksaan NS1 Ag Dengue yang dimiliki
oleh suatu pabrik farmasi. NS1 Antigen Dengue sendiri merupakan pemeriksaan yang
terbaru, mudah dilakukan, relatif terjangkau dengan sensitivitas dan spesifisitas
menyerupai pemeriksaan dengue dengan PCR. Penelitian ini memakai serum pasien
demam berdarah dan membandingkannya dengan IgM dengue, PCR dengue. Disini juga
dibandingkan sensitivitas pemeriksaan pada infeksi primer dengue dan infeksi sekunder
dengue.
Infeksi virus dengue didaerah tropis menjadi masalah tersendiri, kasus kesakitan
dan kematiannya relatif susah untuk diturunkan, kasusnya pun selalu berulang setiap tahun.
Masalah yang muncul memang kompleks, soal kebersihan lingkungan, daya tahan tubuh
yang rendah, soal pembiayaan dan diagnosis yang seringkali telah terlambat. Pemeriksaan
laboratorium sebagai penunjang penegakan diagnosis infeksi oleh virus dengue ini telah
mengalami perkembangan sejak ditemukannya NS1 Ag dengue yang mampu 'menangkap'
antigen virus dengue yang merupakan bagian tubuh dari virus dengue sendiri. Karena
alasan tersebut pemeriksaan ini lebih cepat daripada IgM dengue mengingat IgM dengue
baru muncul setelah adanya respon imun terhadap virus dengue yang baru akan timbul saat
hari ke-3 lebih.
Penelitian ini membuktikan bahwa pemeriksaan NS1 Ag dengue mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Pemeriksaan ini mampu mendeteksi hingga hari
ke-10 infeksi. Tetap disarankan untuk menggunakan pemeriksaan IgM dengue bersama-
sama terutama pada daerah dengan kasus sekunder infeksi yang besar.
39
8. TRIAGE
Triase harus dilakukan oleh orang yang terlatih dan kompeten.
• Jika pasien tiba di rumah sakit dalam kondisi parah / kritis, kemudian kirim pasien ini
langsung ke perawat terlatih / asisten medis (lihat nomor 3 di bawah).
• Untuk pasien lain, lakukan sebagai berikut:
1. Riwayat durasi (jumlah hari) demam dan warning sign dari pasien berisiko tinggi
akan dinilai oleh perawat terlatih atau staf, belum tentu medis.
2. Uji Tourniquet yang akan dilakukan oleh petugas terlatih (jika tidak ada staf yang
cukup, tekanan dikembangkan sampai 80 mmHg untuk > 12 tahun dan 60 mmHg
untuk anak usia 5 sampai 12 tahun selama lima menit).
3. Tanda-tanda vital, termasuk suhu, tekanan darah, denyut nadi, frekuensi
pernapasan dan perfusi perifer, diperiksa oleh perawat terlatih atau asisten medis.
Perfusi perifer dinilai dengan palpasi nadi, volume dan warna ekstremitas, dan
waktu CRT. Perhatian khusus harus diberikan kepada pasien yang afebris dan
40
memiliki takikardia. Pasien-pasien dan mereka dengan perfusi perifer berkurang
harus dirujuk untuk segera periksa darah rutin, perhatikan tingkat tes gula darah di
sedini mungkin.
4. Rekomendasi darah rutin:
- Semua pasien demam pada kunjungan pertama untuk mendapatkan HCT,
WBC dan PLT awal.
- Semua pasien dengan warning sign.
- Semua pasien dengan demam> 3 hari.
- Semua pasien dengan gangguan sirkulasi / syok (pasien ini harus menjalani
pemeriksaan glukosa).
Hasil darah rutin: Jika leukopenia dan / atau trombositopenia hadir, mereka
dengan warning sign harus dikirim untuk konsultasi medis segera.
5. Konsultasi medis: konsultasi medis segera direkomendasikan sebagai berikut:
- Shock.
- Pasien dengan warning sign, terutama mereka yang sakit berlangsung selama
> 4 hari.
6. Keputusan untuk observasi dan pengobatan:
- Shock: Resusitasi.
- Pasien hipoglikemik tanpa leukopenia dan / atau trombositopenia harus
menerima infus intravena yang berisi cairan glukosa. Observasi laboratorium
harus dilakukan untuk menentukan penyebab kemungkinan penyakit. Pasien-
pasien ini harus diamati untuk jangka waktu 8-24 jam. Pastikan perbaikan klinis
sebelum mengirim mereka pulang, dan mereka harus dipantau setiap hari.
- Mereka dengan warning sign.
- High-risiko pasien dengan leukopenia dan trombositopenia.
7. Saran Pasien dan keluarga harus hati-hati disampaikan sebelum mengirim mereka
pulang. Hal ini dapat dilakukan orang terlatih mungkin bukan perawat / dokter.
Saran harus mencakup istirahat, asupan cairan oral atau diet lunak, dan
pengurangan demam dengan spon hangat selain parasetamol. Warning sign harus
ditekankan, dan harus dibuat jelas bahwa jika ini terjadi pasien harus mencari
perhatian medis segera.
8. Kunjungan Follow-up: Pasien harus menyadari bahwa periode kritis adalah
selama fase afebris dan tindak lanjut pemeriksaan darah rutin sangat penting
41
untuk mendeteksi tanda-tanda bahaya awal seperti leukopenia, trombositopenia,
dan / atau peningkatan hematokrit. Tindak lanjut harian direkomendasikan untuk
semua pasien, kecuali mereka yang telah kembali aktivitas normal atau saat suhu
berkurang.4
Warning sign :
• Tidak ada perbaikan klinis atau memburuknya situasi sebelum atau selama masa
transisi ke fase afebris atau sebagai kemajuan penyakit.
• Muntah persistent, tidak minum.
• Nyeri perut yang parah
• Letargi dan / atau gelisah, perubahan perilaku mendadak.
• Perdarahan: Epistaksis, hematemesis, perdarahan menstruasi yang berlebihan, urin
berwarna gelap (haemoglobinuria) atau hematuria.
• Pusing.
• Pucat, tangan dan kaki dingin dan basah.
• Kurang / tidak ada output urin selama 4-6 jam.
Handout untuk perawatan di rumah pasien dengue (informasi yang akan diberikan kepada
pasien dan / atau anggota keluarga mereka
A. Edukasi untuk pasien:
• Pasien perlu istirahat yang cukup.
• Asupan cairan memadai
• Jauhkan suhu tubuh di bawah 39 ° C. Jika suhu melampaui 39 ° C, berikan pasien
parasetamol. Parasetamol tersedia dalam 325 mg atau 500 mg dalam bentuk tablet atau
dalam konsentrasi 120 mg per 5 ml sirup. Dosis yang dianjurkan 10 mg / kg / dosis dan
harus diberikan dalam frekuensi tidak kurang dari enam jam. Dosis maksimum untuk
orang dewasa adalah 4 gram / hari. Hindari penggunaan parasetamol terlalu banyak, aspirin
atau OAINS tidak dianjurkan.
42
• Spon hangat dahi, ketiak dan ekstremitas. Mandi Air hangat dianjurkan untuk orang
dewasa.
• Perhatikan warning sign
Pemantauan Di Rumah Sakit
Parameter berikut harus dipantau:
• Kondisi Umum, nafsu makan, muntah, perdarahan dan tanda-tanda dan gejala.
• Tanda-tanda vital seperti suhu, denyut nadi, frekuensi pernapasan dan tekanan darah
harus diperiksa setidaknya setiap 2-4 jam untuk penderita non syok dan 1-2 jam pada
pasien syok.
• Serial hematokrit harus dilakukan minimal setiap empat sampai enam jam dalam kasus
yang stabil dan harus lebih sering pada pasien yang tidak stabil atau mereka yang dicurigai
dengan perdarahan. Perlu dicatat bahwa hematokrit harus dilakukan sebelum resusitasi
cairan. Jika hal ini tidak mungkin, maka harus dilakukan setelah bolus cairan tetapi tidak
selama infus bolus tersebut.
• Urine output (jumlah urin) harus dicatat setidaknya setiap 8 sampai 12 jam pada kasus
tanpa komplikasi dan pada setiap jam pada pasien dengan mendalam / berkepanjangan atau
mereka dengan overload cairan. Selama periode ini jumlah output urin harus sekitar 0,5
ml / kg / jam (ini harus didasarkan pada berat badan ideal).
Terapi intravena
Terapi cairan intravena pada DBD selama periode kritis
Indikasi untuk cairan IV:
• ketika pasien tidak dapat memiliki asupan cairan yang cukup oral yang atau muntah.
• ketika hematokrit terus meningkat 10% -20% meskipun rehidrasi oral.
• yang akan datang shock.
Prinsip-prinsip umum dari terapi cairan pada DBD antara lain:
43
• isotonik kristaloid solusi harus digunakan selama periode kritis kecuali bayi usia <6 bulan
natrium klorida 0,45% dapat digunakan.
• Hyper-onkotik koloid solusi (osmolaritas> 300 mOsm / l) seperti dekstran 40 dapat
digunakan pada pasien dengan kebocoran plasma besar, dan mereka tidak menanggapi
dengan volume kristaloid. Iso-onkotik koloid solusi seperti plasma dan hemaccel mungkin
tidak efektif.
• volume maintenance +5% harus diberikan untuk mempertahankan kecukupan volume
intravaskular dan sirkulasi.
• Lamanya terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24 hingga 48 jam bagi mereka
dengan shock. Namun, bagi pasien yang tidak memiliki shock, durasi terapi cairan
intravena mungkin harus lebih lama tetapi tidak lebih dari 60 sampai 72 jam. Hal ini
karena kelompok terakhir pasien baru saja memasuki periode kebocoran plasma sedangkan
pasien syok mengalami durasi yang lebih lama dari kebocoran plasma sebelum terapi
intravena dimulai.
• Pada pasien obesitas, berat badan ideal harus digunakan sebagai panduan untuk
menghitung volume cairan.
Tingkat cairan intravena harus disesuaikan dengan situasi klinis. Tingkat cairan IV berbeda
pada orang dewasa dan anak-anak. Tabel 3. menunjukkan tingkat infus IV pada anak-anak
dan orang dewasa yang berkaitan dengan maintenance.
Tabel 3.cairan intravena dewasa dan anak-anak
Note Childre rate (ml/kg/hour) Adult rate (ml/hour)
Half the maintenance M/2 1.5 40–50
Maintenance (M) 3 80–100
M + 5% deficit 5 100–120
M + 7% deficit 7 120–150
M + 10% deficit 10 300–500Transfusi trombosit tidak dianjurkan untuk trombositopenia (tidak ada transfusi
trombosit profilaksis). Ini dapat dipertimbangkan pada trombositopenia sangat parah
(kurang dari 10 000 sel/mm3).
44
Manajemen DBD derajat I dan II
Secara umum, tunjangan cairan (oral + IV) adalah maintenance (satu hari) + defisit 5%
(oral dan cairan IV bersama-sama), yang akan diberikan selama 48 jam. Tingkat
penggantian IV harus disesuaikan menurut laju kehilangan plasma, dipandu oleh kondisi
klinis, tanda-tanda vital, produksi urin dan kadar hematokrit.
Manajemen shock: DBD kelas 3
DSS adalah syok hipovolemik akibat kebocoran plasma dan ditandai oleh
peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik, yang diwujudkan oleh tekanan nadi
menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan tekanan diastolik yang meningkat,
misalnya 100/90 mmHg). Bila hipotensi hadir, kita harus menduga bahwa perdarahan
parah, dan perdarahan gastrointestinal sering tersembunyi, mungkin telah terjadi di
samping kebocoran plasma.
Perlu dicatat bahwa resusitasi cairan DSS berbeda dari jenis syok yang lain seperti
syok septik. Sebagian besar kasus DSS akan merespon 10 ml / kg pada anak-anak atau
300-500 ml pada orang dewasa lebih dari satu jam atau dengan bolus, jika perlu.
Selanjutnya, pemberian cairan harus mengikuti grafik seperti pada Gambar 7. Namun,
sebelum mengurangi tingkat penggantian IV, kondisi klinis, tanda-tanda vital, produksi
urin dan kadar hematokrit harus diperiksa untuk memastikan perbaikan klinis.
Gambar 7. Rate of infusion in DSS case
45
Pemeriksaan laboratorium (ABC) harus dilakukan baik kasus shock dan non-shock ketika tidak ada perbaikan meskipun penggantian volume yang memadai. Jika ada kelainan harus dikoreksi.
Singkatan Pemeriksaan KeteranganA—Acidosis Analisis gas darah Indikasi prolonged shock, keterlibatan
organ, fungsi ginjal dan hatiB—Bleeding Hematokrit Apabila menurun di bandingkan
sebelumnya, lakukan crossmatch untuk transfuse darah
C—Calcium Elektrolit, Ca++ Hipokalsemia dapat terjadi tanpa gejala, diberikan pada DBD berat. Dosis 1 mg/kgBB,encerkan 2x, iv perlahan, dapat di ulang tiap 6 jam, maksimal 10 cc ca glukonas
S—Blood sugar Gula darah Terjadi pada kasus yang disertai muntah dan intake inadekuate.
Tingkat cairan IV dikurangi karena perfusi perifer membaik, tetapi itu harus dilanjutkan untuk
jangka waktu minimal 24 jam dan dihentikan 36 sampai 48 jam. Cairan yang berlebihan akan
menyebabkan efusi besar karena permeabilitas kapiler meningkat. Penggantian volume aliran untuk
pasien dengan DSS digambarkan di bawah ini.
46
Pengelolaan perdarahan berat
• Jika sumber perdarahan diidentifikasi, upaya harus dilakukan untuk menghentikan
perdarahan jika memungkinkan. Epistaksis yang berat, misalnya, dapat dikendalikan oleh
packing hidung. Transfusi darah urgent yang menyelamatkan jiwa dan jangan ditunda
sampai HCT turun ke tingkat rendah. Jika kehilangan darah bisa diukur, ini harus diganti.
Namun, jika ini tidak bisa diukur, aliquots dari 10 ml / kg fresh whole blood atau 5 ml / kg
freshly packed red harus ditransfusi dan respon dievaluasi. Pasien mungkin memerlukan
satu atau beberapa alikuot.
• Pada perdarahan gastrointestinal, H-2 antagonis dan inhibitor pompa proton telah
digunakan, tetapi belum ada studi yang tepat untuk menunjukkan kemanjurannya.
• Tidak ada bukti untuk mendukung penggunaan komponen darah seperti trombosit
konsentrat, fresh frozen plasma atau kriopresipitat. Penggunaannya dapat memberikan
kontribusi untuk overload cairan.
• Faktor rekombinan 7 mungkin bisa membantu pada beberapa pasien tanpa gagal organ,
tetapi sangat mahal dan umumnya tidak tersedia.
Pengelolaan pasien berisiko tinggi
• Pasien obesitas memiliki cadangan pernapasan kurang dan perawatan harus dilakukan
untuk menghindari infus cairan intravena yang berlebihan. Berat badan ideal harus
digunakan untuk menghitung resusitasi cairan dan penggantian dan koloid harus
dipertimbangkan dalam tahap awal terapi cairan. Setelah stabil, furosemid dapat diberikan
untuk menginduksi diuresis.
47
• Bayi juga memiliki cadangan pernapasan kurang dan lebih rentan terhadap kerusakan hati
dan ketidakseimbangan elektrolit. Mereka mungkin memiliki durasi yang lebih singkat
kebocoran plasma dan biasanya merespon dengan cepat terhadap resusitasi cairan. Bayi
harus, karena itu, dievaluasi lebih sering untuk asupan cairan oral dan output urin.
• Insulin intravena biasanya diperlukan untuk mengontrol kadar gula darah pada pasien
demam berdarah dengan diabetes melitus. Non-glukosa yang mengandung kristaloid harus
digunakan.
• Baseline pasien tekanan darah harus dipertimbangkan. Tekanan darah yang dianggap
normal mungkin sebenarnya rendah untuk pasien.
• Penyakit hemolitik dan haemoglobinopathies: Pasien-pasien ini beresiko hemolisis dan
akan memerlukan transfusi darah. Perhatian harus menemani hyperhydration dan terapi
alkalinisasi, yang dapat menyebabkan overload cairan dan hipokalsemia.
Manajemen pemulihan
• Penyembuhan dapat diakui oleh perbaikan parameter klinis, nafsu makan dan
kesejahteraan umum.
• Keadaan hemodinamik seperti perfusi perifer yang baik dan tanda-tanda vital stabil.
• Penurunan HCT dan dieresis.
• Cairan intravena harus dihentikan.
• Pada pasien dengan efusi masif dan asites, dapat terjadi hipervolemia dan terapi diuretik
mungkin diperlukan untuk mencegah edema paru.
• Hipokalemia dapat hadir karena stres dan diuresis dan harus dikoreksi dengan buah-
buahan kaya kalium atau suplemen.
• Bradikardia umumnya ditemukan dan membutuhkan pemantauan ketat untuk komplikasi
langka seperti blok jantung atau kontraksi ventrikel prematur (VPC).
• Ruam konvalesen ditemukan dalam 20% -30% pasien.4
Kriteria untuk pasien pulang
48
• Tidak adanya demam selama paling sedikit 24 jam tanpa menggunakan anti-demam
terapi.
• Kembali nafsu makan.
• perbaikan klinis Visible.
• Output urin Memuaskan.
• Minimal 2-3 hari telah berlalu setelah sembuh dari shock.
• Tidak ada gangguan pernapasan dari efusi pleura dan tidak ada ascites.
• Hitungan trombosit lebih dari 50 000/mm3. Jika tidak, pasien dapat dianjurkan untuk
menghindari kegiatan traumatis setidaknya selama 1-2 minggu untuk jumlah trombosit
menjadi normal. Pada kasus tanpa komplikasi, kenaikan trombosit normal dalam waktu 3-5
hari.4
Manajemen komplikasi
Komplikasi yang paling umum adalah overload cairan. Deteksi kelebihan beban cairan
pada pasien
• Tanda dan gejala awal termasuk kelopak mata bengkak, perut buncit (asites), takipnea,
dispnea ringan.
• tanda-tanda dan gejala Akhir termasuk semua hal di atas, bersama dengan gangguan
pernapasan sedang hingga parah, sesak nafas dan mengi (bukan karena asma) yang juga
merupakan tanda awal edema paru interstisial dan krepitasi. Gelisah / agitasi dan confusion
adalah tanda-tanda hipoksia dan impending respiratory failure.4
Pengelolaan overload cairan
Tinjau terapi cairan intravena dan jumlah perjalanan klinis, dan memeriksa dan mengoreksi
ABC (Kotak 14). Semua larutan hipotonik harus dihentikan. Dekstran 40 efektif 10 ml/kg
infus bolus, tetapi dosis dibatasi sampai 30 ml/kg/ hari karena efek ginjalnya. Dekstran 40
diekskresikan dalam urin dan akan mempengaruhi osmolaritas urin. Pasien mungkin
49
mengalami urin “sticky” karena sifat hyperoncotic dari dekstran 40 (osmolaritas sekitar
dua kali lipat dari plasma).
Pada tahap akhir overload cairan atau mereka dengan edema paru, furosemid dapat
diberikan jika pasien memiliki tanda-tanda vital stabil. Jika mereka berada pada shock
bersama dengan overload, cairan 10 ml / kg / jam koloid (dekstran) harus diberikan. Ketika
tekanan darah stabil, biasanya dalam waktu 10 sampai
30 menit infus, mengelola IV 1 mg / kg / dosis furosemid dan lanjutkan dengan infus
dekstran sampai selesai. Cairan intravena harus dikurangi ke level 1 ml / kg / jam sampai
penghentian ketika hematokrit turun menjadi dasar atau bawah (dengan perbaikan klinis).
Hal-hal berikut harus diperhatikan:
• Pasien harus memiliki kateter kandung kemih untuk memantau pengeluaran urin per jam.
• Furosemide harus diberikan selama infus dekstran karena sifat hyperoncotic dari dekstran
akan mempertahankan volume intravaskuler sementara furosemid menghabiskannya di
kompartemen intravaskuler.
• Setelah pemberian furosemid, tanda-tanda vital harus dipantau setiap 15 menit selama
satu jam untuk dicatat dampaknya.
• Jika tidak ada output urin dalam menanggapi furosemide, periksa status volume
intravaskular (CVP (central vena preasure atau laktat). Jika cukup, menyiratkan bahwa
pasien dalam keadaan gagal ginjal akut. Pasien-pasien mungkin memerlukan bantuan
ventilator segera. Jika volume intravaskular tidak memadai atau tekanan darah tidak stabil,
periksa ABCS dan ketidakseimbangan elektrolit lainnya.
• Dalam kasus dengan tidak ada respon terhadap furosemid (urin tidak diperoleh), dosis
furosemide diulang dan dua kali lipat dari dosis yang dianjurkan. Jika gagal ginjal oliguria
ditegakan, terapi penggantian ginjal harus dilakukan sesegera mungkin. Kasus-kasus ini
memiliki prognosis buruk.
• pungsi asites dan pleura dapat diindikasikan dan dapat menyelamatkan jiwa dalam kasus-
kasus dengan gangguan pernapasan parah dan kegagalan manajemen di atas. Ini harus
dilakukan dengan sangat hati-hati karena perdarahan traumatik adalah komplikasi yang
paling serius dan menyebabkan kematian. Inform consent tentang komplikasi dan
prognosis dengan keluarga wajib sebelum melakukan prosedur ini.
Manajemen ensefalopati dengue
Sebagian besar pasien dengan laporan ensefalopati adalah ensefalopati hepatik. Pengobatan
utama dari ensefalopati hati adalah untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial
50
(ICP). Radiologi (CT scan atau MRI). Berikut ini adalah rekomendasi untuk terapi suportif
untuk kondisi ini:
• Mempertahankan jalan napas oksigenasi yang memadAI dengan terapi oksigen.
Mencegah / mengurangi ICP dengan langkah-langkah berikut:
- Memberikan cairan IV minimal untuk mempertahankan volume intravaskuler yang
memadAI; idealnya total IV cairan tidak harus > 80% cairan maintenance.
- Beralih ke solusi lebih awal jika hematokrit terus meningkat.
- Pemberian diuretik jika ditunjukkan dalam kasus dengan tanda dan gejala overload
cairan.
- Posisi pasien harus dengan kepala 30 derajat.
- Intubasi awal untuk menghindari hiperkarbia dan untuk melindungi jalan napas.
- Dapat mempertimbangkan steroid untuk mengurangi ICP. Dexamethazone 0,15 mg / kg /
dosis IV untuk diberikan setiap 6-8 jam.
• Penurunan produksi amonia dengan langkah-langkah berikut:
- Memberikan 5-10 ml laktosa setiap enam jam untuk induksi diare osmotik.
- Antibiotik lokal menghilangkan flora usus, itu tidak diperlukan jika antibiotik sistemik
diberikan.
• Menjaga tingkat gula darah pada 80-100 mg / dl persen. Kenalkan kadar gula infus masih
berada antara 4-6 mg / kg / jam.
• Vitamin K1 pemberian IV, 3 mg untuk <1 tahun, 5 mg <5 tahun dan 10 mg untuk pasien
> 5 tahun dan dewasa.
• Antikonvulsan harus diberikan untuk mengendalikan kejang: fenobarbital, dilantin dan
diazepam IV sesuai indikasi.
• transfusi darah, sebaiknya segar (freshly packed red cells). Komponen darah lain seperti
trombosit dan fresh frozen plasma tidak dapat diberikan karena overload cairan dapat
menyebabkan peningkatan TIK.
• terapi antibiotik dapat diindikasikan jika ada yang dicurigai infeksi bakteri.
• H2-blocker atau inhibitor pompa proton dapat diberikan untuk mengurangi perdarahan
gastrointestinal.
• Hindari obat yang tidak perlu karena kebanyakan obat harus dimetabolisme oleh hati.
• Pertimbangkan plasmapheresis atau hemodialisis atau terapi pengganti ginjal pada kasus
dengan kerusakan klinis.
51
Indikasi merujuk
Rujukan dilakukan pada kasus lebih parah / rumit dan harus dikelola di rumah sakit dimana
hampir semua penyelidikan laboratorium, peralatan, obat-obatan dan fasilitas bank darah
tersedia. Para tenaga medis dan keperawatan mungkin lebih berpengalaman dalam
perawatan pasien demam berdarah yang sakit kritis. Para pasien berikut ini harus dirujuk
untuk pemantauan lebih dekat dan perlakuan khusus mungkin diberikan pada tingkat yang
lebih tinggi perawatan di rumah sakit:
• Bayi <1 tahun.
• Pasien obesitas
• Hamil
• Mendalam / berkepanjangan shock.
• Pendarahan signifikan.
• Syok berulang 2-3 kali selama pengobatan.
• Pasien yang tampaknya tidak menanggapi terapi cairan konvensional.
• Pasien yang terus mengalami kenaikan hematokrit dan ada solusi koloid.
• Pasien dengan penyakit yang mendasar, dikenal seperti Diabetes Mellitus (DM),
hipertensi, penyakit jantung atau penyakit hemolitik.
• Pasien dengan tanda dan gejala overload cairan.
• Pasien dengan keterlibatan organ.
• Pasien dengan manifestasi neurologis seperti perubahan kesadaran, kejang.
Pemberantasan Demam Berdarah Dengue
Kegiatan pemberantasan DBD terdiri atas kegiatan pokok dan kegiatan penunjang.
Kegiatan pokok meliputi pengamatan dan penatalaksaan penderita, pemberantasan vektor,
penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi.
Kegiatan pokok
1. Pengamatan dan penatalaksanaan penderita
52
Setiap penderita/tersangka DBD yang dirawat di rumah sakit/puskesmas dilaporkan
secepatnya ke Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II. Penatalaksanaan penderita
dilakukan dengan cara rawat jalan dan rawat inap sesuai dengan prosedur diagnosis,
pengobatan dan sistem rujukan yang berlaku.
2. Pemberantasan vektor
Pemberantasan sebelum musim penularan meliputi perlindungan perorangan,
pemberantasan sarang nyamuk, dan pengasapan. Perlindungan perorangan untuk
mencegah gigitan nyamuk bisa dilakukan dengan meniadakan sarang nyamuk di dalam
rumah dan memakai kelambu pada waktu tidur siang, memasang kasa di lubang
ventilasi dan memakai penolak nyamuk. Juga bisa dilakukan penyemperotan dengan
obat yang dibeli di toko seperti mortein, baygon, raid, hit dll.
Pergerakan pemberantasan sarang nyamuk adalah kunjungan ke rumah/tempat
umum secara teratur sekurang-kurangnya setiap 3 bulan untuk melakukan penyuluhan
dan pemeriksaan jentik. Kegiatan ini bertujuan untuk menyuluh dan memotivasi
keluarga dan pengelola tempat umum untuk melakukan PSN secara terus menerus
sehingga rumah dan tempat umum bebas dari jentik nyamuk Ae. aegypti. Kegiatan PSN
meliputi menguras bak mandi/wc dan tempat penampungan air lainnya secara teratur
sekurang-kurangnya seminggu sekali, menutup rapat TPA, membersihkan halaman dari
kaleng, botol, ban bekas, tempurung, dll sehingga tidak menjadi sarang nyamuk,
mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung, mencegah/mengeringkan air
tergenang di atap atau talang, menutup lubang pohon atau bambu dengan tanah,
membubuhi garam dapur pada perangkap semut, dan pendidikan kesehatan
masyarakat.
Pengasapan masal dilaksanakan 2 siklus di semua rumah terutama di kelurahan
endemis tinggi, dan tempat umum di seluruh wilayah kota. Pengasapan dilakukan di
dalam dan di sekitar rumah dengan menggunakan larutan malathion 4% (atau
fenitrotion) dalam solar dengan dosis 438 ml/Ha.
3. Penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi
53
Penyuluhan perorangan dilakukan di rumah pada waktu pemeriksaan jentik berkala
oleh petugas kesehatan atau petugas pemeriksa jentik dan di rumah
sakit/puskesmas/praktik dokter oleh dokter/perawat. Media yang digunakan adalah
leaflet, flip chart, slides, dll.
Penyuluhan kelompok dilakukan kepada warga di lokasi sekitar rumah penderita,
pengunjung rumah sakit/puskesmas/ posyandu, guru, pengelola tempat umum, dan
organisasi sosial kemasyarakatan lainnya.
Evaluasi operasional dilaksanakan dengan membandingkan pencapaian target
masing-masing kegiatan dengan direncanakan berdasarkan pelaporan untuk kegiatan
pemberantasan sebelum musim penularan. Peninjauan di lapangan dilakukan untuk
mengetahui kebenaran pelaksanaan kegiatan program.
Kegiatan penunjang
Kegiatan penunjang yang dilakukan adalah peningkatan keterampilan tenaga
melalui pelatihan, penataran, bimbingan teknis dan penyebarluasan buku petunjuk,
publikasi dll.
Pelatihan diberikan kepada teknisi alat semprot, petugas pemeriksa jentik, kader,
dan tenaga lapangan lainnya sedangkan pentaran diberikan kepada petugas sanitasi
puskesmas, dokter/kepala puskesmas, para medis, petugas pelaksana pemberantasan
DBD Dinas Kesehatan. Selain itu diadakan pertemuan/rapat kerja di berbagai tingkat
mulai dari puskesmas sampai tingkat pusat.[3
Penelitian dilaksanakan dalam rangka mengembangkan teknologi pemberantasan
meliputi aspek entomologi, epidemiologi, sosioantropologi, dan klinik. Penelitian
diselenggarakan oleh Depkes, perguruan tinggi, atau lembaga penelitian lainnya. 3
DAFTAR PUSTAKA
1. Hadinegoro SR. Satari HI, penyunting. Demam berdarah dengue. Naskah lengkap
pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak dan spesialis penyakit dalam, dalam
tatalaksana kasus DBD. Ed ke-1, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 1998.
54
2. Harikushartono, Hidayah N, Darmowandowo W,Soegijanto S, (2002), Demam
Berdarah Dengue: Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan, Jakarta,
Penerbit Salemba Medika.
3. Kurane I, Ennis E Francis, (1992). Immunity and immunopathologi in dengue virus
infections. Seminars in Imunology., vol.4;121-127.
4. Oppenheim J.J et al, (1995). Cytokines Basic and Clinical Immunology. Seven
edition. 78-98.
5. Suhendro,Nainggolan Leonard,Chen Khie.Demam Berdarah Dengue. Dalam : Aru
W Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta :
Penerbitan IPD FKUI, 2006. h. 1709-1713
6. Wang S, He R, Patarapotikul, J et al, (1995). Antibody-Enhanced Binding of
Dengue Virus to Human Platelets. J.Virology. October 213: page:1254-1257.
7. WHO 2011
8. World Health Organization. Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention
and control.Geneva: WHO, 2009.
55