Post on 30-Jan-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal
yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari
jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati .(1)
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati
piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang
paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal juga
sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial
hepatic abscess. (1)
Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek, status
ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Abses hepar amuba merupakan kasus yang jarang
di Amerika Serikat, biasanya ditemukan pada imigran atau pendatang. Pada tahun 1994,
terdapat 2.983 kasus amebiasis yang dilaporkan ke Centers for Disease Control (CDC).
Penyakit ini telah dihapus dari Sistem Surveilans Penyakit Nasional di tahun 1995. Sekitar
4% pasien dengan kolitis amuba dapat berkembang menjadi abses hepar amuba. Sekitar 40-50
juta orang di seluruh dunia terinfeksi setiap tahunnya, dan sebagian infeksi terjadi di negara
berkembang. Prevalensi infeksi lebih tinggi 5-10% di daerah endemik dan kadang-kadang
55%. Prevalensi tertinggi ditemukan di negara-negara berkembang yang beriklim tropis,
terutama di Meksiko, India, Amerika Tengah dan Selatan dan daerah tropis di Asia dan
Afrika. (2)
Berikut ini dilaporkan seorang pasien yang dirawat di RSUP. Prof. Dr. dr. R. D.
Kandou Manado dengan diagnosa peritonitis et causa rupture abses hepar.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI HATI
Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500gr atau 2 %
berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di regio hipokondria dekstra,
epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria sinistra. Hati memiliki dua lobus utama yaitu
kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura
segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum
falsiformis. Di bawah peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut kapsula Glisson
yang meliputi seluruh permukaan hati. Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur
yang disebut sebagai lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ yang
terdiri atas lempeng-lempeng sel hati dimana diantaranya terdapat sinusoid. Selain sel-sel hati,
sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan makrofag yang
melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus
hepatikus. Hati memiliki suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta
hepatika dan dari aorta melalui arteria hepatika. (3,4)
2
B. ETIOLOGI
1. Abses Hati Amebik
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit non-
patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang dapat
menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi Entamoeba
histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis
Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi
berbagai strain Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan kemampuannya
menimbulkan lesi pada hati. (2)
Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang mengadakan
pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3 bentuk parasit, yaitu
tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif, mampu memasuki organ dan jaringan,
bentuk kista yang tidak aktif bergerak dan bentuk prakista yang merupakan bentuk antara
kedua stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup komensal di
dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara membelah diri menjadi 2 atau menjadi
kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan hanya perlu bakteri atau jaringan untuk
kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini tidak penting untuk penularan karena dapat mati
terpajan hidroklorida atau enzim pencernaan. Jika terjadi diare, tropozoit dengan ukuran
10-20 um yang berpseudopodia keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar
sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu
hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan.
Bentuk tropozoit ini akan mati dalam suasana kering atau asam. Bila tidak diare/disentri
tropozoit akan membentuk kista sebelum keluar ke tinja. (2)
2. Abses Hati Piogenik
Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci, anaerobic
streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes, fusobacterium, staphylococcus aureus,
staphylococcus milleri, candida albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens,
yersinia enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme
penyebab yang paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus
3
vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob ( contohnya
Streptococcus Milleri ). Staphylococcus aureus biasanya organisme penyebab pada
pasien yang juga memiliki penyakit granuloma yang kronik. Organisme yang jarang
ditemukan sebagai penyebabnya adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia.
Kebanyakan abses hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri
dapat mengivasi hati melalui :
1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal
2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik
3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis, dan infeksi
post operasi
4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau saluran-
saluran empedu.
5. Trauma tusuk atau tumpul.
6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang lanjut usia.
Namun insiden meningkat pada pasien dengan diabetes atau kanker metastatik. (2)
C. PATOGENESIS
1. Abses Hepar Amebik
Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada orang dengan
higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun
anal. (5)
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan penyakit
invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada lumen usus. Bentuk
kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus
halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi
lapisan mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim
cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh
organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke submukosa
memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati
E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk
4
abses. Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan
infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti dengan nekrotik.
Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering
adalah di lobus kanan (70% - 90%) karena lobus kanan menerima darah dari arteri
mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri
mesenterika inferior dan aliran limfatik. Dinding abses bervariasi
tebalnya,bergantung pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan
abses menyerupai ”achovy paste” dan berwarna coklat kemerahan,
sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang dicerna. (5)
2. Abses Hepar Piogenik
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi di
Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat
berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen
maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum.
Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini
memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang berulang, tetapi
dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari
terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri piogenik dapat memperoleh akses ke
hati dengan ekstensi langsung dari organ-organ yang berdekatan atau melalui vena
portal atau arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi
aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan
distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan limfatik
sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan
menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat
trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi
AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan
intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari
kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi
pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding lobus kiri, kal
ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari arteri
5
mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri
mesenterika inferior dan aliran limfatik. (5,6)
D. GAMBARAN KLINIS
Abses hepar amuba sering terjadi pada umur 20-45 tahun. Terjadi sering 7 sampai 9 kali
pada laki-laki. Abses hepar amuba dapat bermanifestasi sebagai proses akut atau proses kronik
indolent. Klasifikasi dari abses hepar amuba berdasarkan durasi dan tingkat keparahan penyakit
terbagi menjadi:7
1. Akut:
Akut jinak
Akut agresif
2. Kronik:
kronik jinak
kronik accelerated
Sebagian besar pasien datang dengan penyakit akut dan durasi gejalanya kurang dari 2
minggu. Gejala utama yang dapat terlihat yaitu nyeri perut, demam dan anorexia. Nyeri pada
abdomen biasanya nyeri sedang dan terlokalisasi pada daerah abdomen kuadran kanan atas atau
regio epigastrium. Nyeri perut yang menyebar, nyeri dada pleuritik, dan nyeri yang menjalar dari
kuadran kanan atas ke bahu kanan adalah gejala yang tidak jarang dapat dijumpai. Nyeri
epigastrium biasanya terlihat pada lobus kiri abses. Demam pada tingkat sedang dalam
kebanyakan kasus, sementara demam tinggi disertai menggigil adalah pengaruh dari infeksi
bakteri sekunder. Batuk dengan atau tanpa dahak dan nyeri dada pleuritik juga ditemukan pada
pasien abses hepar amuba. (7)
Selama perjalanan penyakit, 1/3 dari pasien mungkin didapatkan ikterus. Ikterus berat
biasanya terjadi karena abses besar atau abses multipel atau abses yang terletak di vena porta.
Ikterus membawa kemungkinan terjadinya obstruksi intra-hepatik atau hepatitis virus. Diare dan
penurunan berat badan tidak sering terlihat. Hepatomegali ditemukan pada 80% pasien. Lapisan
6
permukaan pada hati cenderung reguler. Kaku pada perut atas ditemukan pada sebagian kecil
kasus dengan peritonitis. Toxaemia dan septicaemia mungkin dapat terjadi. (7)
Abses hepar kiri dapat bermanifestasi toxaemia, ikterus, dan encefalopati. Ascites
terdapat pada pasien abses hepar amuba dengan obstruksi vena cava inferior, dan batuk dengan
dahak berlebihan menunjukkan putusnya hubungan dengan bronkus lobus kanan bawah hati. (7)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan hemoglobin
10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada pemeriksaan faal hati
didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-3,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%,
fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi
kelainan yang didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang,
leukositosis berkisar 15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan ringan sampai
sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan adanya Ag atau Ab yang
spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal infeksi. Ada beberapa uji yang banyak
digunakan antara lain hemaglutination (IHA), countermunoelectrophoresis (CIE), dan
ELISA. Real Time PCR cocok untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus
penderita abses hepar. (8)
Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis dengan pergeseran
ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan fungsi hati seperti peninggian
bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan enzim transaminase, serum bilirubin,
berkurangnya konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin yang memanjang
menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati. Kultur darah yang memperlihatkan
bakterial penyebab menjadi standar emas untuk menegakkan diagnosis secara
mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit sering tidak ditemukan
kuman. Kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram negatif seperti Proteus
vulgaris, Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan kuman anaerib
Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau Fusobacterium sp. (8)
2. Pemeriksaan Radiologi
7
Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan peninggian kubah
diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura kolaps paru dan
abses paru. Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak. Mungkin berupa
gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan
air fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG sama efektifnya
dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval
tidak ada gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal
bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal. Gambaran CT scan : 85 %
berupa massa soliter relatif besar, monolokular, prakontras tampak sebagai massa
hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras
tampak penyengatan pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus.
Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta. (9)
Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang didapatkan
kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma kanan, efusi pleura, atelektasis
basal paru, empiema, atau abses paru. Pada foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus
tertutup, pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik
abses merupakan daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau cairan pada
subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan dan MRI
mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat menetapkan lokasi abses
lebih akurat terutama untuk drainase perkutan atau tindakan bedah. Gambaran CT scan :
apabila mikroabses berupa lesi hipodens kecil-kecil < 5 mm sukar dibedakan dari
mikroabses jamur, rim enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu
kecil. Apabila mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak massa agak
besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai masa low density berbatas
suram. Pasca kontras fase arterial tampak gambaran khas berupa masa dengan rim
enhancement dimana hanya kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah
abses terlihat hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga
membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding kapsul abses
akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak area yang hipodens sebagai
reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta,
8
dan menyerupai abses amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada
infeksi oleh kuman Klebsiella. (9)
Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan penyengatan kontras
yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak tampak penyengatan. Cincin
penyengatan tetap terlihat pada fase tunda. Sangat sukar dibedakan gambaran USG antara
abses piogenik dan amebik. Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular. Struktur
eko rendah sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-bercak hiperekoik (debris) di
dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama makin bertambah tebal. (9)
F. DIAGNOSIS
1. Abses hati amebik (6,7)
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit amuba.
Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat dipertimbangkan jika terdapat
demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu
bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang
tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes serologi.
Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan kriteria Sherlock (1969),
kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan Pooler.
a. Kriteria Sherlock (1969)
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5. Aspirasi pus
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
b. Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
9
4. Kelainan radiologis
5. Respons terhadap terapi amebisid
c. Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis
4. Pus amebik
5. Tes serologi positif
6. Kelainan sidikan hati
7. Respons terhadap terapi amebisid
2. Abses hati piogenik
Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-kadang sulit ditegakkan
sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Diagnosis dapat ditegakkan bukan
hanya dengan CT-Scan saja, meskipun pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai
prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang
dilakukan. Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun terdapat
pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan
penyebab adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil
aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis. (6,7)
G. PENATALAKSANAAN
1. Abses hati amebik (6,7)
1. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan penyembuhan yang
besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba. Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk amubiasis intestinal
maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling sering adalah sakit kepala, mual,
mulut kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati
10
amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah
35-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole lainnya yang
dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari,
untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan untuk
mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5
mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih
aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih rendah.
Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak
c. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal ialah 2x300
mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150 mg/hari selama 2 atau 3
minggu. Dosis untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3
minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari
selama 20 hari.
2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak
berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau bila
terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu
dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur atau diameter
abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak abses dekat dengan
permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu,
drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan
perikardial.
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil mcmbaik
dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan
aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang
11
jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur
abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi
sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi
perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga dikedepankan untuk kemungkinannya dalam
mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal.
2. Abses hati piogenik (6,7)
Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses hati piogenik
yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu ataupun tumor
dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan
menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran cerna.
Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti
pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa jenis
bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin generasi ketiga
seperti cefoperazone 1-2 gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri anaerob
terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-metronidazole,
aminoglikosida dan siklosporin.
Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase terbuka
terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan konservatif. Penatalaksanaan
saat ini adalah dengan menggunakan drainase perkutaneus abses intraabdominal
dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi komputer.
12
Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi perkutan,
drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen yang memerlukan
manajemen operasi.
KOMPLIKASI1. Abses Hepar Amoeba
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur dapat
terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat
terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah
komplikasi yang paling umum terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi
serosa simpatik, pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan
empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim. Fistula
hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan nekrotik mengandung
amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya
dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri hati dimana ini dapat menimbulkan kematian.
Pecah atau rupturnya abses dapat ke organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus
pseudoaneurysm arteri hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. (6,7)
2. Abses Hepar Piogenik
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti
septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai peritonitis
generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke
dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard
atau retroperineum. Sesudah mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi
luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses. (6,7)
H. DIAGNOSIS BANDING
1. Abses Hepar Piogenik
Abses hepar piogenik dapat berasal dari radang bilier, dari daerah splanknik melalui v.
porta, atau sistemik dari manapun di tubuh melalui a. hepatika. Sebagian sumber tidak
diketahui. Kadang disebabkan oleh trauma atau infeksi langsung dari Hepar atau sistem di
sekitarnya. (6,7)
13
Gambaran klinis abses Hepar piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang lebih
berat dari abses hepar amuba. Secara klinis, ditemukan demam yang naik turun, rasa lemas,
penurunan berat badan dan nyeri perut. Nyeri terutama di bawah iga kanan atau pada kuadran
kanan atas. Dapat dijumpai gejala dan tanda efusi pleura. Nyeri sering berkurang bila
penderita berbaring pada sisi kanan. Demam hilang timbul atau menetap bergantung pada
jenis abses atau kuman penyebabnya. Dapat terjadi ikterus, ascites dan diare. Ikterus,
terutama terdapat pada abses hepar piogenik karena penyakit saluran empedu disertai dengan
kolangitis supurativa dan pembentukan abses multiple. Jenis ini prognosisnya buruk. Pada
pemeriksaan mungkin didapatkan hepatomegali atau ketegangan pada perut kuadran lateral
atas abdomen atau pembengkakan pada daerah intercosta. Ketegangan lebih nyata pada
perkusi. Apabila abses terdapat pada lobus kiri, mungkin dapat diraba massa di epigastrium. (6,7)
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit meningkat dengan jelas (>
10.000/mm3) didapatkan pada 75-96% pasien, walaupun beberapa kasus menunjukkan nilai
normal. Laju endap darah biasanya meningkat dan dapat terjadi anemia ringan yang
didapatkan pada 50-80% pasien. Alkali fosfatase dapat meningkat yang didapatkan pada 95-
100 pasien. Peningkatan serum aminotransferase aspartat dan serum aminotransferase alanin
didapatkan pada 48-60% pasien. Prognosis buruk bila kadar serum amino transferase
meningkat. Peningkatan bilirubin didapatkan pada 28-73% pasien.Penurunan albumin (<3
g/dL) dan peningkatan globulin (>3 g/dL) masih diamati. Protrombin time meningkat pada
71-87 pasien. (6,7)
2. Hepatoma
Hepatoma (karsinoma hepatoseluler) adalah kanker yang berasal dari sel-sel hati.
Hepatoma merupakan kanker hepar primer yang paling sering ditemukan. Terjadinya penyakit ini
belum diketahui secara pasti. Namun, beberapa faktor yang diduga sebagai penyebabnya antara
lain virus hepatitis B dan C, sirosis hepar, aflatoksin, infeksi beberapa macam parasit, keturunan
maupun ras. Keluhan dan gejala yang timbul sangat bervariasi. Pada awalnya penyakit kadang
tanpa disertai keluhan atau sedikit keluhan seperti perasaan lesu, dan berat badan menurun
drastis. Penderita sering mengeluh rasa sakit atau nyeri tumpul (rasa nyeri seperti ditekan jari
atau benda tumpul) yang terus menerus di perut kanan atas yang sering tidak hebat tetapi
bertambah berat jika digerakkan. (6,7)
14
Pada pemeriksaan fisis didapatkan hepar membesar dengan konsistensi keras dan sering
berbenjol-benjol, terjadi pembesaran limpa, serta perut membuncit karena adanya asites.
Kadang-kadang dapat timbul ikterus dengan kencing seperti air teh dan mata menguning.
Keluhan yang disertai demam umumnya terjadi akibat nekrosis pada sentral tumor. Penderita
bisa tiba-tiba merasa nyeri perut yang hebat, mual, muntah, dan tekanan darah menurun akibat
pendarahan pada tumornya. Diagnosis KHS selain memerlukan anamesis dan pemeriksaan fisik
juga beberapa pemeriksaaan tambahan seperti pemeriksaan radiologi (rontgen), ultrasonografi
(USG), computed tomography scanning (CT scan), peritneoskopi, dan test laboratrium. Diagnosa
yang pasti ditegakkan dengan biopsi Hepar untuk pemeriksaan jaringan. (6,7)
Hepatoma selain menimbulkan gangguan faal hepar juga membentuk beberapa jenis
hormon yang dapat meningkatkan kadar hemoglobin, kalsium, kolesterol, dan alfa feto protein di
dalam darah. Gangguan faal hepar menyebabkan peningkatan kadar SGOT, SGPT, fosfatase
alkali, laktat dehidrogenase dan alfa-L-fukosidase. Pengobatan KHS yang telah dilakukan
sampai saat ini adalah dengan obat sitostatik, embolisasi, atau pembedahan. Prognosis umumnya
jelek. Tanpa pengobatan, kematian penderita dapat terjadi kurang dari setahun sejak gejala
pertama. (6,7)
I. PROGNOSIS
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin, metronidazole
dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas menurun
tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang
kurang memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas
sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang
tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab
kematian biasanya sepsis atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga
dipengaruhi oleh virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan
terdapatnya komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi ektraintestinal,
serta infeksi peritonial dan perikardium. (6,7)
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang akurat dengan
ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob, pemberian antibiotik
perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara bedah. Faktor utama yang menentukan
15
mortalitas antara lain umur, jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan
gangguan fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir mortalitas
terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke rongga peritonium,
ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia, dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit
penyerta yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati.
Mortalitas abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab
dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila: terjadi umur di atas 70 tahun,
abses multipel, infeksi polimikroba, adanya hubungan dengan keganasan atau penyakit
immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan
drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit
lain. (6,7,9)
BAB III
LAPORAN KASUS
16
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Damima Andris
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 65 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Poigar I jaga II
Tanggal MRS : 24 Juni 2015
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : Nyeri seluruh perut
Nyeri seluruh perut dialami penderita sejak ± 2 hari SMRS, awalnya nyeri dirasakan di
sekitar uluhati dan perut bagian kanan sejak ± 1 minggu SMRS. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-
tusuk dan dirasakan tembus sampai ke belakang. Nyeri dirasakan bertambah pada saat batuk atau
saat ditekan. Riwayat muntah (-) , riwayat demam (+) dialami sekitar 1 minggu terakhir sebelum
masuk rumah sakit, hilang timbul, menggigil (-), dan turun dengan obat penurun panas. Batuk (-)
sesak napas (-) nyeri dada (-). Nafsu makan menurun sejak pasien sakit.
BAK : lancar, warna kuning muda
BAB : lancar, warna kuning/coklat, lendir (-), darah (-)
penderita lalu berobat ke RSUP Prof Kandou.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hepatitis (+) ± 2 tahun yang lalu.
Gastritis, hipertensi, asam urat, DM, disangkal penderita
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Hanya penderita yang mengeluhkan sakit ini
4. Riwayat Sosial
Keadaan Sosial, Ekonomi, Kebiasaan dan Lingkungan
Penderita tinggal di rumah permanen beratap seng, lantai semen, dinding beton. Rumah
di huni oleh 5 orang yang terdiri dari 4 orang dewasa, dan 1 orang anak. WC dan kamar
17
mandi di dalam rumah. Kebiasaan konsumsi obat-obatan tertentu dalam jangka waktu
lama (-).
Sumber air minum : PAM
Sumber penerangan listrik : PLN
Penanganan sampah : Dibuang pada tempat pembuangan sampah.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign : Tekanan darah: 120/ 80 mmHg
Nadi : 88 kali/menit
Respirasi : 22 kali/menit
Suhu badan : 37,6° C
Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks
Paru
Inspeksi : Gerak pernapasan simetris paru kiri dan paru kanan
Palpasi : Stem fremitus paru kiri sama dengan paru kanan
Perkusi : Sonor pada paru kiri dan paru kanan
Auskultasi : Suara pernapasan vesikuler paru kiri dan paru kanan,
Rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Batas jantung kanan dan kiri dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II normal, bising (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : datar
Auskultasi : Bising usus (+) menurun
18
Perkusi : Timpani, pekak hepar (+)
Palpasi : Nyeri tekan seluruh perut, defans muskuler (+), hepar dan lien susah di evaluasi.
Rectal Toucher :
Tonus spincter ani : longgar, ampula kosong, mukosa licin, tidak teraba masa, nyeri tekan ke segala arah.
Sarung tangan : Darah (-), feses (-), lendir (-).
Ekstremitas superior et inferior : tak ada kelainan.
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 24/7/2015
Leukosit 14.780 /uL
Eritrosit 5.03x 106/uL
Hb 15.3 g/dL
Hematokrit 45. 6%
Trombosit 239x 103/uL
MCH 30 pg
MCHC 34 g/dL
MCV 91 fl
Ureum darah 46 mg/dL
Creatinin darah 1.0 mg/dL
GDS 157 mg/dL
D. RESUME MASUK
Seorang laki-laki datang ke RSUP Prof. DR. dr. R. D. Kandou dengan keluhan utama nyeri
seluruh perut. Nyeri seluruh perut dialami penderita ± 2 hari SMRS, awalnya nyeri dirasakan
di sekitar uluhati dan perut bagian kanan sejak ± 1 minggu SMRS. Nyeri dirasakan seperti
tertusuk-tusuk dan dirasakan tembus sampai ke belakang. Nyeri dirasakan bertambah pada
saat batuk atau saat ditekan. Riwayat muntah (-) , riwayat demam (+) dialami sekitar 5 hari
19
terakhir sebelum masuk rumah sakit, hilang timbul, menggigil (-), dan turun dengan obat
penurun panas.
BAK : lancar, warna kuning muda
BAB : lancar, warna kuning/coklat, lendir (-), darah (-)
penderita lalu berobat ke RSUP Prof Kandou.
E. DIAGNOSA KERJA
Peritonitis et causa suspek apendisitis perforasi dd/ ruptur abses hepar
F. SIKAP
IVFD RL 20 gtt
Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
Metronidazole 3 x 500 mg IV
Ranitidine 2 x 1 IV
Ketorolak 3 x 1 IV
NGT-Kateter => balans cairan
Laparatomi eksplorasi cito
Laporan operasi (Tanggal operasi : 24/07/2015)
Diagnosis sebelum operasi : Peritonitis ec. suspek apendisitis perforasi dd/ ruptur abses hepar
Diagnosis paska operasi : peritonitis ec. Ruptur abses hepar
Nama / jenis operasi : laparatomi eksplorasi
Laporan operasi :
-penderita tidur terlentang dengan general anestesi
- a dan antisepsis lapangan operasi
- Insisi midline sampai ke peritoneum, keluar pus ± 100 cc => kultur
- Eksplorasi lebih lanjut tampak fibrin di kolon asenden dan tampak keluar pus dari hepar lobus dekstra.
- organ lain tidak ada kelainan.
20
- cuci rongga abdomen dengan NaCl 0, 9% hangat sampai bersih
- pasang drain di subhepatal dan cavum rectovesica
- luka operasi dijahit lapis demi lapis
-Operasi selesai, periksa kultur pus
Instruksi post op
IVFD RL 20 tpm
Drip metronidazole 3 x 500 mg
Inj ceftriaxone 2 x 1 gr iv
Inj ranitidin 2 x 1 amp
Inj ketorolak 3 x 1 amp
Hasil laboratorium post oprasi 25 Juli 2015
Leukosit 11470/uL
Eritrosit 3. 90x 106/uL
Hb 11. 6 g/dL
Hematokrit 35.4%
Trombosit 270x 103/uL
MCH 30 pg
MCHC 33 g/dL
MCV 91fL
G. FOLLOW UP
25 Juli 2015
S : Nyeri perut , demam (-)
O: abdomen
Inspeksi : datar, luka post op terawat, drain I & II minimal.
Auskultasi : Bu( + )normal
Palpasi : lemas, NT (+) sekitar luka, defans muskular (-)
21
Perkusi : timpani
A: post laparatomi eksplorasi H 1 ec. Peritonitis ec. Ruptur abses hepar
P : IVFD RL
Drip metronidazole 3 x 500 mg
Inj ceftriaxone 2 x 1 gr iv
Inj ranitidin 2 x 1 amp
Inj ketorolak 3 x 1 amp
Aff kateter & NGT
2 6 Juli 2015
S : Nyeri perut , demam (-)
O : abdomen
Inspeksi : datar, drain I & II minimal
Auskultasi : bu( + )normal
Palpasi : lemas, NT (+) sekitar luka, defans muskular (-)
Perkusi : timpani
A: post laparatomi eksplorasi H2 ec. Peritonitis ec. Ruptur abses hepar
P : IVFD RL 20 gtt/m
Drip metronidazole 3 x 500 mg
Inj ceftriaxone 2 x 1 gr iv
Inj ranitidin 2 x 1 amp
Inj ketorolak 3 x 1 amp
Rawat luka
27 Juli 2015
S: nyeri perut (-) demam (–)
O: abdomen
22
Inspeksi : datar, drain I & II minimal
Auskultasi : bu( + ) normal
Palpasi : lemas, NT (+) sekitar luka, defans muskular (-)
Perkusi : timpani
A : Post laparatomi H3 ec. Peritonitis ec. Ruptur abses hepar
P : IVFD RL 20 gtt/m
Drip metronidazole 3 x 500 mg
Inj ceftriaxone 2 x 1 gr iv
Inj ranitidin 2 x 1 amp
Inj ketorolak 3 x 1 amp
Rawat luka
Aff drain
2 9 Juli 2015
S : (–)
O: Abdomen
inspeksi : datar, luka terawat, pus (–)
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : lemas, NT (+) sekitar luka, defans muskular (-)
Perkusi : timpani
A: post laparatomi eksplorasi H4 ec. Peritonitis ec. Ruptur abses hepar
P : IVFD RL 20 gtt/m
Drip metronidazole 3 x 500 mg
Inj ceftriaxone 2 x 1 gr iv
Inj ranitidin 2 x 1 amp
Inj ketorolak 3 x 1 amp
23
Rawat luka
30 juli 2015
S : (–)
O: Abdomen
inspeksi : datar, luka terawat, pus (–)
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : lemas
Perkusi : timpani
A: post laparatomi eksplorasi H5 ec. Peritonitis ec. Ruptur abses hepar
P : Cefixime 2 x 100 mg tab
Metronidazole 3 x 500 mg tab
Ranitidin 2 x 150 mg tab
rawat jalan
24
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien masuk dengan keluhan utama nyeri seluruh perut. Pada pemeriksaan fisik
abdomen didapatkan kesan dinding perut cembung, prestaltik usus (+) menurun, defans muskuler
(+), nyeri tekan (+) pada semua kuadran. Pada pemeriksaan rectal toucher : Tonus spincter ani
longgar, mukosa licin, tidak teraba masa, nyeri tekan ke segala arah, darah dan feses (-). Pasien
kemudian di diagnosa kerja dengan peritonitis et causa suspek apendisitis perforasi dengan
diferensial diagnosa ruptur abses hepar dan direncanakan dilakukan laparatomi eksplorassi cito.
Peritonitis murupakan suatu keadaaan akut abdomen akibat peradangan sebagaian atau
seluruh selaput peritonium parietal ataupun viseral pada rongga abdomen. (10) Dari anamnesis
riwayat nyeri pada pasien ini, sejak ± 1 minggu SMRS pasien mengeluh nyeri dirasakan di
sekitar uluhati dan perut bagian kanan. Banyak penyakit yang dapat menimbulkan nyeri uluhati
dan perut bagian kanan antara lain gastritis, abses hepar, kolecystitis,apendisitis dan lain-lain.
Penyebab tersering peritonitis adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus
duodenale, perforasi kolon akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus. (10)
Sehingga pada pasien ini di diagnose kerja dengan peritonitis et causa suspek apendisitis
perforasi dengan diferensial diagnosa ruptur abses hepar. Tatalaksana utama pada peritonitis
antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian
antibiotik sistemik. (10)
Pada tanggal 24 Juli 2015 dilakukan laparatomi eksplorasi cito dengan diagnosis sebelum
operasi peritonitis et causa suspek apendisitis perforasi dd/ ruptur abses hepar, namun pada saat
dilakukan operasi tampak keluar pus dari lobus dextra hepar. Sehingga dapat di simpulkan
penyebab peritonitis pada pasien ini yaitu abses hepar dan diagnosis paska operasi menjadi
peritonitis et causa ruptur abses hepar.
Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang
ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati
nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati . Secara umum, abses hati terbagi
2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). Abses hati amebik disebabkan
oleh Entamoeba histolytica sedangkan organisme yang paling sering ditemukan sebagai
25
penyebab abses hati piogenik adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris,
Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus Milleri ).
Penatalaksaan abses hepar berupa medikamentosa seperti antiamoeba (khususnya pada
abses hepar amebik) dan antibiotik (khususnya pada abses hepar piogenik), aspirasi, maupun
drainase perkutan atau drainase bedah. Antiamoeba dapat diberikan berupa metronidazole, DHE,
maupun chloroquin, sedangkan untuk antibiotik dapat diberikan penisilin atau sefalosporin
( untuk coccus gram (+) dan gram (-) yang sensitif), aminoglikosida, klindamisin, dan
kloramfenikol ( untuk bakteri anaerob), maupun ampicilin-sulbaktam.(2). Pasien diberikan terapi
berupa metronidazole 0,5gr/8jam/IV dan ceftriaxon 1gr/12 jam/IV.
Drainase bedah diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil membaik
dengan cara yang konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain
itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan ataupun peritonitis yang terjadi disertai
atau tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang
mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha
dekompresi perkutan tidak berhasil. Pada pasien ini dilakukan operasi laparatomi oleh karena
terjadi peritonitis.
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, ada beberapa pemeriksaan
yang belum dilakukan yang dapat mendukung diagnosis, di antaranya pemeriksaan SGOT,
SGPT serta pemeriksaan USG hepar. Peningkatan enzim – enzim hati (SGOT dan SGPT)
menunjukkan telah terjadinya gangguan fungsi hepar. Adanya proses infeksi dapat memicu
peningkatan produksi enzim – enzim hati sehingga kadar enzim – enzim tersebut tinggi di dalam
darah. USG sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis hati adalah
bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari
parenkim hati normal serta ukuran hepar dapat membesar. Selanjutnya, pemeriksaan yang
menjadi standar emas untuk penegakan diagnosis abses hepar adalah melalui kultur darah yang
memperlihatkan bakteri penyebab.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam : Sudoyo,Aru W.
Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus. Setiati,Siti. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461.
2. Brailita DM. Amebic hepatic abscess [online]. 2012 [cited on 2015 August 12]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/183920-overview#shGLall
3. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku ajar fisiologi
kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.
4. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari sel ke sistem
edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.
5. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses hati amuba.
Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1 November 2011.
6. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser. Intraabdominal infection and abscess. Harrison
principle of internal medicine. 17th edition. USA: The Mc Graw Hill Company; 2008.
Chapter 121.
7. Sharma MP, Ahuja V. Amoebic liver abscess. Indian Academy of Clinical Medicine. 2003. p.107-111.
8. Haque R, Mollah NU, Ali IK, et all. Diagnosis of amebic liver abscess and intestinal infection with the techlab Entamoeba Histolytica II antigen detections and antibody test .Journal of Clinical Microbiology. 2000. p.3235-3239.
9. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November 1st, 2011.
Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920-overview#showall.
10. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.
27