laporan kasus bedah

39
BAB I PENDAHULUAN Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati . (1) Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. (1) Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Abses hepar amuba merupakan kasus yang jarang di Amerika Serikat, biasanya ditemukan pada imigran atau pendatang. Pada tahun 1994, terdapat 2.983 kasus amebiasis yang dilaporkan ke Centers for Disease Control (CDC). Penyakit ini telah dihapus dari Sistem Surveilans Penyakit Nasional di tahun 1995. Sekitar 4% pasien dengan kolitis amuba dapat berkembang menjadi abses hepar amuba. Sekitar 40-50 juta orang di seluruh dunia terinfeksi setiap tahunnya, dan sebagian infeksi terjadi di negara berkembang. Prevalensi infeksi lebih tinggi 5-10% di 1

description

laporan kasus bedah

Transcript of laporan kasus bedah

Page 1: laporan kasus bedah

BAB I

PENDAHULUAN

Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi

bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal

yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari

jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati .(1)

Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati

piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang

paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal juga

sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial

hepatic abscess. (1)

Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek, status

ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Abses hepar amuba merupakan kasus yang jarang

di Amerika Serikat, biasanya ditemukan pada imigran atau pendatang. Pada tahun 1994,

terdapat 2.983 kasus amebiasis yang dilaporkan ke Centers for Disease Control (CDC).

Penyakit ini telah dihapus dari Sistem Surveilans Penyakit Nasional di tahun 1995. Sekitar

4% pasien dengan kolitis amuba dapat berkembang menjadi abses hepar amuba. Sekitar 40-50

juta orang di seluruh dunia terinfeksi setiap tahunnya, dan sebagian infeksi terjadi di negara

berkembang. Prevalensi infeksi lebih tinggi 5-10% di daerah endemik dan kadang-kadang

55%. Prevalensi tertinggi ditemukan di negara-negara berkembang yang beriklim tropis,

terutama di Meksiko, India, Amerika Tengah dan Selatan dan daerah tropis di Asia dan

Afrika. (2)

Berikut ini dilaporkan seorang pasien yang dirawat di RSUP. Prof. Dr. dr. R. D.

Kandou Manado dengan diagnosa peritonitis et causa rupture abses hepar.

1

Page 2: laporan kasus bedah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI HATI

Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500gr atau 2 %

berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di regio hipokondria dekstra,

epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria sinistra. Hati memiliki dua lobus utama yaitu

kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura

segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum

falsiformis. Di bawah peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut kapsula Glisson

yang meliputi seluruh permukaan hati. Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur

yang disebut sebagai lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ yang

terdiri atas lempeng-lempeng sel hati dimana diantaranya terdapat sinusoid. Selain sel-sel hati,

sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan makrofag yang

melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus

hepatikus. Hati memiliki suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta

hepatika dan dari aorta melalui arteria hepatika. (3,4)

2

Page 3: laporan kasus bedah

B. ETIOLOGI

1. Abses Hati Amebik

Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit non-

patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang dapat

menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi Entamoeba

histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis

Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi

berbagai strain Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan kemampuannya

menimbulkan lesi pada hati. (2)

Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang mengadakan

pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3 bentuk parasit, yaitu

tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif, mampu memasuki organ dan jaringan,

bentuk kista yang tidak aktif bergerak dan bentuk prakista yang merupakan bentuk antara

kedua stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup komensal di

dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara membelah diri menjadi 2 atau menjadi

kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan hanya perlu bakteri atau jaringan untuk

kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini tidak penting untuk penularan karena dapat mati

terpajan hidroklorida atau enzim pencernaan. Jika terjadi diare, tropozoit dengan ukuran

10-20 um yang berpseudopodia keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar

sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu

hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan.

Bentuk tropozoit ini akan mati dalam suasana kering atau asam. Bila tidak diare/disentri

tropozoit akan membentuk kista sebelum keluar ke tinja. (2)

2. Abses Hati Piogenik

Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci, anaerobic

streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes, fusobacterium, staphylococcus aureus,

staphylococcus milleri, candida albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens,

yersinia enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme

penyebab yang paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus

3

Page 4: laporan kasus bedah

vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob ( contohnya

Streptococcus Milleri ). Staphylococcus aureus biasanya organisme penyebab pada

pasien yang juga memiliki penyakit granuloma yang kronik. Organisme yang jarang

ditemukan sebagai penyebabnya adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia.

Kebanyakan abses hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri

dapat mengivasi hati melalui :

1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal

2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik

3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis, dan infeksi

post operasi

4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau saluran-

saluran empedu.

5. Trauma tusuk atau tumpul.

6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang lanjut usia.

Namun insiden meningkat pada pasien dengan diabetes atau kanker metastatik. (2)

C. PATOGENESIS

1. Abses Hepar Amebik

Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik melalui

makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada orang dengan

higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun

anal. (5)

E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan penyakit

invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada lumen usus. Bentuk

kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus

halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi

lapisan mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim

cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh

organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke submukosa

memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati

E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk

4

Page 5: laporan kasus bedah

abses. Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan

infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti dengan nekrotik.

Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering

adalah di lobus kanan (70% - 90%) karena lobus kanan menerima darah dari arteri

mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri

mesenterika inferior dan aliran limfatik. Dinding abses bervariasi

tebalnya,bergantung pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan

abses menyerupai ”achovy paste” dan berwarna coklat kemerahan,

sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang dicerna. (5)

2. Abses Hepar Piogenik

Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi di

Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat

berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen

maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum.

Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini

memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang berulang, tetapi

dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari

terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri piogenik dapat memperoleh akses ke

hati dengan ekstensi langsung dari organ-organ yang berdekatan atau melalui vena

portal atau arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi

aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan

distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan limfatik

sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan

menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat

trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi

AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan

intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari

kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi

pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding lobus kiri, kal

ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari arteri

5

Page 6: laporan kasus bedah

mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri

mesenterika inferior dan aliran limfatik. (5,6)

D. GAMBARAN KLINIS

Abses hepar amuba sering terjadi pada umur 20-45 tahun. Terjadi sering 7 sampai 9 kali

pada laki-laki. Abses hepar amuba dapat bermanifestasi sebagai proses akut atau proses kronik

indolent. Klasifikasi dari abses hepar amuba berdasarkan durasi dan tingkat keparahan penyakit

terbagi menjadi:7

1. Akut:

Akut jinak

Akut agresif

2. Kronik:

kronik jinak

kronik accelerated

Sebagian besar pasien datang dengan penyakit akut dan durasi gejalanya kurang dari 2

minggu. Gejala utama yang dapat terlihat yaitu nyeri perut, demam dan anorexia. Nyeri pada

abdomen biasanya nyeri sedang dan terlokalisasi pada daerah abdomen kuadran kanan atas atau

regio epigastrium. Nyeri perut yang menyebar, nyeri dada pleuritik, dan nyeri yang menjalar dari

kuadran kanan atas ke bahu kanan adalah gejala yang tidak jarang dapat dijumpai. Nyeri

epigastrium biasanya terlihat pada lobus kiri abses. Demam pada tingkat sedang dalam

kebanyakan kasus, sementara demam tinggi disertai menggigil adalah pengaruh dari infeksi

bakteri sekunder. Batuk dengan atau tanpa dahak dan nyeri dada pleuritik juga ditemukan pada

pasien abses hepar amuba. (7)

Selama perjalanan penyakit, 1/3 dari pasien mungkin didapatkan ikterus. Ikterus berat

biasanya terjadi karena abses besar atau abses multipel atau abses yang terletak di vena porta.

Ikterus membawa kemungkinan terjadinya obstruksi intra-hepatik atau hepatitis virus. Diare dan

penurunan berat badan tidak sering terlihat. Hepatomegali ditemukan pada 80% pasien. Lapisan

6

Page 7: laporan kasus bedah

permukaan pada hati cenderung reguler. Kaku pada perut atas ditemukan pada sebagian kecil

kasus dengan peritonitis. Toxaemia dan septicaemia mungkin dapat terjadi. (7)

Abses hepar kiri dapat bermanifestasi toxaemia, ikterus, dan encefalopati. Ascites

terdapat pada pasien abses hepar amuba dengan obstruksi vena cava inferior, dan batuk dengan

dahak berlebihan menunjukkan putusnya hubungan dengan bronkus lobus kanan bawah hati. (7)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan hemoglobin

10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada pemeriksaan faal hati

didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-3,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%,

fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi

kelainan yang didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang,

leukositosis berkisar 15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan ringan sampai

sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan adanya Ag atau Ab yang

spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal infeksi. Ada beberapa uji yang banyak

digunakan antara lain hemaglutination (IHA), countermunoelectrophoresis (CIE), dan

ELISA. Real Time PCR cocok untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus

penderita abses hepar. (8)

Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis dengan pergeseran

ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan fungsi hati seperti peninggian

bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan enzim transaminase, serum bilirubin,

berkurangnya konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin yang memanjang

menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati. Kultur darah yang memperlihatkan

bakterial penyebab menjadi standar emas untuk menegakkan diagnosis secara

mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit sering tidak ditemukan

kuman. Kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram negatif seperti Proteus

vulgaris, Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan kuman anaerib

Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau Fusobacterium sp. (8)

2. Pemeriksaan Radiologi

7

Page 8: laporan kasus bedah

Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan peninggian kubah

diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura kolaps paru dan

abses paru. Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak. Mungkin berupa

gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan

air fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG sama efektifnya

dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval

tidak ada gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal

bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal. Gambaran CT scan : 85 %

berupa massa soliter relatif besar, monolokular, prakontras tampak sebagai massa

hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras

tampak penyengatan pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus.

Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta. (9)

Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang didapatkan

kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma kanan, efusi pleura, atelektasis

basal paru, empiema, atau abses paru. Pada foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus

tertutup, pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik

abses merupakan daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau cairan pada

subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan dan MRI

mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat menetapkan lokasi abses

lebih akurat terutama untuk drainase perkutan atau tindakan bedah. Gambaran CT scan :

apabila mikroabses berupa lesi hipodens kecil-kecil < 5 mm sukar dibedakan dari

mikroabses jamur, rim enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu

kecil. Apabila mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak massa agak

besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai masa low density berbatas

suram. Pasca kontras fase arterial tampak gambaran khas berupa masa dengan rim

enhancement dimana hanya kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah

abses terlihat hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga

membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding kapsul abses

akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak area yang hipodens sebagai

reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta,

8

Page 9: laporan kasus bedah

dan menyerupai abses amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada

infeksi oleh kuman Klebsiella. (9)

Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan penyengatan kontras

yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak tampak penyengatan. Cincin

penyengatan tetap terlihat pada fase tunda. Sangat sukar dibedakan gambaran USG antara

abses piogenik dan amebik. Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular. Struktur

eko rendah sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-bercak hiperekoik (debris) di

dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama makin bertambah tebal. (9)

F. DIAGNOSIS

1. Abses hati amebik (6,7)

Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit amuba.

Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat dipertimbangkan jika terdapat

demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu

bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang

tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes serologi.

Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan kriteria Sherlock (1969),

kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan Pooler.

a. Kriteria Sherlock (1969)

1. Hepatomegali yang nyeri tekan

2. Respon baik terhadap obat amebisid

3. Leukositosis

4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.

5. Aspirasi pus

6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati

7. Tes hemaglutinasi positif

b. Kriteria Ramachandran (1973)

Bila didapatkan 3 atau lebih dari:

1. Hepatomegali yang nyeri

2. Riwayat disentri

3. Leukositosis

9

Page 10: laporan kasus bedah

4. Kelainan radiologis

5. Respons terhadap terapi amebisid

c. Kriteria Lamont Dan Pooler

Bila didapatkan 3 atau lebih dari:

1. Hepatomegali yang nyeri

2. Kelainan hematologis

3. Kelainan radiologis

4. Pus amebik

5. Tes serologi positif

6. Kelainan sidikan hati

7. Respons terhadap terapi amebisid

2. Abses hati piogenik

Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan

laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-kadang sulit ditegakkan

sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Diagnosis dapat ditegakkan bukan

hanya dengan CT-Scan saja, meskipun pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai

prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang

dilakukan. Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun terdapat

pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan

penyebab adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil

aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis. (6,7)

G. PENATALAKSANAAN

1. Abses hati amebik (6,7)

1. Medikamentosa

Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan penyembuhan yang

besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba. Pengobatan yang dianjurkan adalah:

a. Metronidazole

Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk amubiasis intestinal

maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling sering adalah sakit kepala, mual,

mulut kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati

10

Page 11: laporan kasus bedah

amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah

35-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole lainnya yang

dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari,

untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.

b. Dehydroemetine (DHE)

Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan untuk

mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5

mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih

aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih rendah.

Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak

c. Chloroquin

Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal ialah 2x300

mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150 mg/hari selama 2 atau 3

minggu. Dosis untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3

minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari

selama 20 hari.

2. Aspirasi

Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak

berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau bila

terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu

dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.

3. Drainase Perkutan

Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur atau diameter

abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak abses dekat dengan

permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu,

drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan

perikardial.

4. Drainase Bedah

Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil mcmbaik

dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan

aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang

11

Page 12: laporan kasus bedah

jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur

abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi

sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi

perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga dikedepankan untuk kemungkinannya dalam

mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal.

2. Abses hati piogenik (6,7)

Pencegahan

Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses hati piogenik

yaitu dengan cara:

a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu ataupun tumor

dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi

b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal

Terapi definitif

Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan

menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran cerna.

Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti

pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:

a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa jenis

bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin generasi ketiga

seperti cefoperazone 1-2 gr/12jam/IV

b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri anaerob

terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV

c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.

d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-metronidazole,

aminoglikosida dan siklosporin.

Drainase abses

Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase terbuka

terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan konservatif. Penatalaksanaan

saat ini adalah dengan menggunakan drainase perkutaneus abses intraabdominal

dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi komputer.

12

Page 13: laporan kasus bedah

Drainase bedah

Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi perkutan,

drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen yang memerlukan

manajemen operasi.

KOMPLIKASI1. Abses Hepar Amoeba

Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur dapat

terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat

terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah

komplikasi yang paling umum terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi

serosa simpatik, pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan

empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim. Fistula

hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan nekrotik mengandung

amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya

dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri hati dimana ini dapat menimbulkan kematian.

Pecah atau rupturnya abses dapat ke organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus

pseudoaneurysm arteri hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. (6,7)

2. Abses Hepar Piogenik

Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti

septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai peritonitis

generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke

dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard

atau retroperineum. Sesudah mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi

luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses. (6,7)

H. DIAGNOSIS BANDING

1. Abses Hepar Piogenik

Abses hepar piogenik dapat berasal dari radang bilier, dari daerah splanknik melalui v.

porta, atau sistemik dari manapun di tubuh melalui a. hepatika. Sebagian sumber tidak

diketahui. Kadang disebabkan oleh trauma atau infeksi langsung dari Hepar atau sistem di

sekitarnya. (6,7)

13

Page 14: laporan kasus bedah

Gambaran klinis abses Hepar piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang lebih

berat dari abses hepar amuba.  Secara klinis, ditemukan demam yang naik turun, rasa lemas,

penurunan berat badan dan nyeri perut. Nyeri terutama di bawah iga kanan atau pada kuadran

kanan atas. Dapat dijumpai gejala dan tanda efusi pleura. Nyeri sering berkurang bila

penderita berbaring pada sisi kanan. Demam hilang timbul atau menetap bergantung pada

jenis abses atau kuman penyebabnya. Dapat terjadi ikterus, ascites dan diare. Ikterus,

terutama terdapat pada abses hepar piogenik karena penyakit saluran empedu disertai dengan

kolangitis supurativa dan pembentukan abses multiple. Jenis ini prognosisnya buruk. Pada

pemeriksaan mungkin didapatkan hepatomegali atau ketegangan pada perut kuadran lateral

atas abdomen atau pembengkakan pada daerah intercosta. Ketegangan lebih nyata pada

perkusi. Apabila abses terdapat pada lobus kiri, mungkin dapat diraba massa di epigastrium. (6,7)

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit meningkat dengan jelas (>

10.000/mm3) didapatkan pada 75-96% pasien, walaupun beberapa kasus menunjukkan nilai

normal. Laju endap darah biasanya meningkat dan dapat terjadi anemia ringan yang

didapatkan pada 50-80% pasien. Alkali fosfatase dapat meningkat yang didapatkan pada 95-

100 pasien. Peningkatan serum aminotransferase aspartat dan serum aminotransferase alanin

didapatkan pada 48-60% pasien. Prognosis buruk bila kadar serum amino transferase

meningkat. Peningkatan bilirubin didapatkan pada 28-73% pasien.Penurunan albumin (<3

g/dL) dan peningkatan globulin (>3 g/dL) masih diamati. Protrombin time meningkat pada

71-87 pasien. (6,7)

2. Hepatoma

Hepatoma (karsinoma hepatoseluler) adalah kanker yang berasal dari sel-sel hati.

Hepatoma merupakan kanker hepar primer yang paling sering ditemukan. Terjadinya penyakit ini

belum diketahui secara pasti. Namun, beberapa faktor yang diduga sebagai penyebabnya antara

lain virus hepatitis B dan C, sirosis hepar, aflatoksin, infeksi beberapa macam parasit, keturunan

maupun ras. Keluhan dan gejala yang timbul sangat bervariasi. Pada awalnya penyakit kadang

tanpa disertai keluhan atau sedikit keluhan seperti perasaan lesu, dan berat badan menurun

drastis. Penderita sering mengeluh rasa sakit atau nyeri tumpul (rasa nyeri seperti ditekan jari

atau benda tumpul) yang terus menerus di perut kanan atas yang sering tidak hebat tetapi

bertambah berat jika digerakkan. (6,7)

14

Page 15: laporan kasus bedah

Pada pemeriksaan fisis didapatkan hepar membesar dengan konsistensi keras dan sering

berbenjol-benjol, terjadi pembesaran limpa, serta perut membuncit karena adanya asites.

Kadang-kadang dapat timbul ikterus dengan kencing seperti air teh dan mata menguning.

Keluhan yang disertai demam umumnya terjadi akibat nekrosis pada sentral tumor. Penderita

bisa tiba-tiba merasa nyeri perut yang hebat, mual, muntah, dan tekanan darah menurun akibat

pendarahan pada tumornya. Diagnosis KHS selain memerlukan anamesis dan pemeriksaan fisik

juga beberapa pemeriksaaan tambahan seperti pemeriksaan radiologi (rontgen), ultrasonografi

(USG), computed tomography scanning (CT scan), peritneoskopi, dan test laboratrium. Diagnosa

yang pasti ditegakkan dengan biopsi Hepar untuk pemeriksaan jaringan. (6,7)

Hepatoma selain menimbulkan gangguan faal hepar juga membentuk beberapa jenis

hormon yang dapat meningkatkan kadar hemoglobin, kalsium, kolesterol, dan alfa feto protein di

dalam darah. Gangguan faal hepar menyebabkan peningkatan kadar SGOT, SGPT, fosfatase

alkali, laktat dehidrogenase dan alfa-L-fukosidase. Pengobatan KHS yang telah dilakukan

sampai saat ini adalah dengan obat sitostatik, embolisasi, atau pembedahan. Prognosis umumnya

jelek. Tanpa pengobatan, kematian penderita dapat terjadi kurang dari setahun sejak gejala

pertama. (6,7)

I. PROGNOSIS

Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin, metronidazole

dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas menurun

tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang

kurang memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas

sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang

tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab

kematian biasanya sepsis atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga

dipengaruhi oleh virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan

terdapatnya komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi ektraintestinal,

serta infeksi peritonial dan perikardium. (6,7)

Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang akurat dengan

ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob, pemberian antibiotik

perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara bedah. Faktor utama yang menentukan

15

Page 16: laporan kasus bedah

mortalitas antara lain umur, jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan

gangguan fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir mortalitas

terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke rongga peritonium,

ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia, dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit

penyerta yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati.

Mortalitas abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab

dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila: terjadi umur di atas 70 tahun,

abses multipel, infeksi polimikroba, adanya hubungan dengan keganasan atau penyakit

immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan

drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit

lain. (6,7,9)

BAB III

LAPORAN KASUS

16

Page 17: laporan kasus bedah

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Damima Andris

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 65 tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Poigar I jaga II

Tanggal MRS : 24 Juni 2015

B. ANAMNESIS

1. Keluhan utama : Nyeri seluruh perut

Nyeri seluruh perut dialami penderita sejak ± 2 hari SMRS, awalnya nyeri dirasakan di

sekitar uluhati dan perut bagian kanan sejak ± 1 minggu SMRS. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-

tusuk dan dirasakan tembus sampai ke belakang. Nyeri dirasakan bertambah pada saat batuk atau

saat ditekan. Riwayat muntah (-) , riwayat demam (+) dialami sekitar 1 minggu terakhir sebelum

masuk rumah sakit, hilang timbul, menggigil (-), dan turun dengan obat penurun panas. Batuk (-)

sesak napas (-) nyeri dada (-). Nafsu makan menurun sejak pasien sakit.

BAK : lancar, warna kuning muda

BAB : lancar, warna kuning/coklat, lendir (-), darah (-)

penderita lalu berobat ke RSUP Prof Kandou.

2. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hepatitis (+) ± 2 tahun yang lalu.

Gastritis, hipertensi, asam urat, DM, disangkal penderita

3. Riwayat Penyakit Keluarga

Hanya penderita yang mengeluhkan sakit ini

4. Riwayat Sosial

Keadaan Sosial, Ekonomi, Kebiasaan dan Lingkungan

Penderita tinggal di rumah permanen beratap seng, lantai semen, dinding beton. Rumah

di huni oleh 5 orang yang terdiri dari 4 orang dewasa, dan 1 orang anak. WC dan kamar

17

Page 18: laporan kasus bedah

mandi di dalam rumah. Kebiasaan konsumsi obat-obatan tertentu dalam jangka waktu

lama (-).

Sumber air minum : PAM

Sumber penerangan listrik : PLN

Penanganan sampah : Dibuang pada tempat pembuangan sampah.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Compos mentis

Vital sign : Tekanan darah: 120/ 80 mmHg

Nadi : 88 kali/menit

Respirasi : 22 kali/menit

Suhu badan : 37,6° C

Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks

Paru

Inspeksi : Gerak pernapasan simetris paru kiri dan paru kanan

Palpasi : Stem fremitus paru kiri sama dengan paru kanan

Perkusi : Sonor pada paru kiri dan paru kanan

Auskultasi : Suara pernapasan vesikuler paru kiri dan paru kanan,

Rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Iktus kordis teraba

Perkusi : Batas jantung kanan dan kiri dalam batas normal

Auskultasi : BJ I-II normal, bising (-), gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : datar

Auskultasi : Bising usus (+) menurun

18

Page 19: laporan kasus bedah

Perkusi : Timpani, pekak hepar (+)

Palpasi : Nyeri tekan seluruh perut, defans muskuler (+), hepar dan lien susah di evaluasi.

Rectal Toucher :

Tonus spincter ani : longgar, ampula kosong, mukosa licin, tidak teraba masa, nyeri tekan ke segala arah.

Sarung tangan : Darah (-), feses (-), lendir (-).

Ekstremitas superior et inferior : tak ada kelainan.

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 24/7/2015

Leukosit 14.780 /uL

Eritrosit 5.03x 106/uL

Hb 15.3 g/dL

Hematokrit 45. 6%

Trombosit 239x 103/uL

MCH 30 pg

MCHC 34 g/dL

MCV 91 fl

Ureum darah 46 mg/dL

Creatinin darah 1.0 mg/dL

GDS 157 mg/dL

D. RESUME MASUK

Seorang laki-laki datang ke RSUP Prof. DR. dr. R. D. Kandou dengan keluhan utama nyeri

seluruh perut. Nyeri seluruh perut dialami penderita ± 2 hari SMRS, awalnya nyeri dirasakan

di sekitar uluhati dan perut bagian kanan sejak ± 1 minggu SMRS. Nyeri dirasakan seperti

tertusuk-tusuk dan dirasakan tembus sampai ke belakang. Nyeri dirasakan bertambah pada

saat batuk atau saat ditekan. Riwayat muntah (-) , riwayat demam (+) dialami sekitar 5 hari

19

Page 20: laporan kasus bedah

terakhir sebelum masuk rumah sakit, hilang timbul, menggigil (-), dan turun dengan obat

penurun panas.

BAK : lancar, warna kuning muda

BAB : lancar, warna kuning/coklat, lendir (-), darah (-)

penderita lalu berobat ke RSUP Prof Kandou.

E. DIAGNOSA KERJA

Peritonitis et causa suspek apendisitis perforasi dd/ ruptur abses hepar

F. SIKAP

IVFD RL 20 gtt

Ceftriaxone 2 x 1 gr IV

Metronidazole 3 x 500 mg IV

Ranitidine 2 x 1 IV

Ketorolak 3 x 1 IV

NGT-Kateter => balans cairan

Laparatomi eksplorasi cito

Laporan operasi (Tanggal operasi : 24/07/2015)

Diagnosis sebelum operasi : Peritonitis ec. suspek apendisitis perforasi dd/ ruptur abses hepar

Diagnosis paska operasi : peritonitis ec. Ruptur abses hepar

Nama / jenis operasi : laparatomi eksplorasi

Laporan operasi :

-penderita tidur terlentang dengan general anestesi

- a dan antisepsis lapangan operasi

- Insisi midline sampai ke peritoneum, keluar pus ± 100 cc => kultur

- Eksplorasi lebih lanjut tampak fibrin di kolon asenden dan tampak keluar pus dari hepar lobus dekstra.

- organ lain tidak ada kelainan.

20

Page 21: laporan kasus bedah

- cuci rongga abdomen dengan NaCl 0, 9% hangat sampai bersih

- pasang drain di subhepatal dan cavum rectovesica

- luka operasi dijahit lapis demi lapis

-Operasi selesai, periksa kultur pus

Instruksi post op

IVFD RL 20 tpm

Drip metronidazole 3 x 500 mg

Inj ceftriaxone 2 x 1 gr iv

Inj ranitidin 2 x 1 amp

Inj ketorolak 3 x 1 amp

Hasil laboratorium post oprasi 25 Juli 2015

Leukosit 11470/uL

Eritrosit 3. 90x 106/uL

Hb 11. 6 g/dL

Hematokrit 35.4%

Trombosit 270x 103/uL

MCH 30 pg

MCHC 33 g/dL

MCV 91fL

G. FOLLOW UP

25 Juli 2015

S : Nyeri perut , demam (-)

O: abdomen

Inspeksi : datar, luka post op terawat, drain I & II minimal.

Auskultasi : Bu( + )normal

Palpasi : lemas, NT (+) sekitar luka, defans muskular (-)

21

Page 22: laporan kasus bedah

Perkusi : timpani

A: post laparatomi eksplorasi H 1 ec. Peritonitis ec. Ruptur abses hepar

P : IVFD RL

Drip metronidazole 3 x 500 mg

Inj ceftriaxone 2 x 1 gr iv

Inj ranitidin 2 x 1 amp

Inj ketorolak 3 x 1 amp

Aff kateter & NGT

2 6 Juli 2015

S : Nyeri perut , demam (-)

O : abdomen

Inspeksi : datar, drain I & II minimal

Auskultasi : bu( + )normal

Palpasi : lemas, NT (+) sekitar luka, defans muskular (-)

Perkusi : timpani

A: post laparatomi eksplorasi H2 ec. Peritonitis ec. Ruptur abses hepar

P : IVFD RL 20 gtt/m

Drip metronidazole 3 x 500 mg

Inj ceftriaxone 2 x 1 gr iv

Inj ranitidin 2 x 1 amp

Inj ketorolak 3 x 1 amp

Rawat luka

27 Juli 2015

S: nyeri perut (-) demam (–)

O: abdomen

22

Page 23: laporan kasus bedah

Inspeksi : datar, drain I & II minimal

Auskultasi : bu( + ) normal

Palpasi : lemas, NT (+) sekitar luka, defans muskular (-)

Perkusi : timpani

A : Post laparatomi H3 ec. Peritonitis ec. Ruptur abses hepar

P : IVFD RL 20 gtt/m

Drip metronidazole 3 x 500 mg

Inj ceftriaxone 2 x 1 gr iv

Inj ranitidin 2 x 1 amp

Inj ketorolak 3 x 1 amp

Rawat luka

Aff drain

2 9 Juli 2015

S : (–)

O: Abdomen

inspeksi : datar, luka terawat, pus (–)

Auskultasi : BU (+) normal

Palpasi : lemas, NT (+) sekitar luka, defans muskular (-)

Perkusi : timpani

A: post laparatomi eksplorasi H4 ec. Peritonitis ec. Ruptur abses hepar

P : IVFD RL 20 gtt/m

Drip metronidazole 3 x 500 mg

Inj ceftriaxone 2 x 1 gr iv

Inj ranitidin 2 x 1 amp

Inj ketorolak 3 x 1 amp

23

Page 24: laporan kasus bedah

Rawat luka

30 juli 2015

S : (–)

O: Abdomen

inspeksi : datar, luka terawat, pus (–)

Auskultasi : BU (+) normal

Palpasi : lemas

Perkusi : timpani

A: post laparatomi eksplorasi H5 ec. Peritonitis ec. Ruptur abses hepar

P : Cefixime 2 x 100 mg tab

Metronidazole 3 x 500 mg tab

Ranitidin 2 x 150 mg tab

rawat jalan

24

Page 25: laporan kasus bedah

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien masuk dengan keluhan utama nyeri seluruh perut. Pada pemeriksaan fisik

abdomen didapatkan kesan dinding perut cembung, prestaltik usus (+) menurun, defans muskuler

(+), nyeri tekan (+) pada semua kuadran. Pada pemeriksaan rectal toucher : Tonus spincter ani

longgar, mukosa licin, tidak teraba masa, nyeri tekan ke segala arah, darah dan feses (-). Pasien

kemudian di diagnosa kerja dengan peritonitis et causa suspek apendisitis perforasi dengan

diferensial diagnosa ruptur abses hepar dan direncanakan dilakukan laparatomi eksplorassi cito.

Peritonitis murupakan suatu keadaaan akut abdomen akibat peradangan sebagaian atau

seluruh selaput peritonium parietal ataupun viseral pada rongga abdomen. (10) Dari anamnesis

riwayat nyeri pada pasien ini, sejak ± 1 minggu SMRS pasien mengeluh nyeri dirasakan di

sekitar uluhati dan perut bagian kanan. Banyak penyakit yang dapat menimbulkan nyeri uluhati

dan perut bagian kanan antara lain gastritis, abses hepar, kolecystitis,apendisitis dan lain-lain.

Penyebab tersering peritonitis adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus

duodenale, perforasi kolon akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus. (10)

Sehingga pada pasien ini di diagnose kerja dengan peritonitis et causa suspek apendisitis

perforasi dengan diferensial diagnosa ruptur abses hepar. Tatalaksana utama pada peritonitis

antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian

antibiotik sistemik. (10)

Pada tanggal 24 Juli 2015 dilakukan laparatomi eksplorasi cito dengan diagnosis sebelum

operasi peritonitis et causa suspek apendisitis perforasi dd/ ruptur abses hepar, namun pada saat

dilakukan operasi tampak keluar pus dari lobus dextra hepar. Sehingga dapat di simpulkan

penyebab peritonitis pada pasien ini yaitu abses hepar dan diagnosis paska operasi menjadi

peritonitis et causa ruptur abses hepar.

Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh karena infeksi

bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang

ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati

nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati . Secara umum, abses hati terbagi

2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). Abses hati amebik disebabkan

oleh Entamoeba histolytica sedangkan organisme yang paling sering ditemukan sebagai

25

Page 26: laporan kasus bedah

penyebab abses hati piogenik adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris,

Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus Milleri ).

Penatalaksaan abses hepar berupa medikamentosa seperti antiamoeba (khususnya pada

abses hepar amebik) dan antibiotik (khususnya pada abses hepar piogenik), aspirasi, maupun

drainase perkutan atau drainase bedah. Antiamoeba dapat diberikan berupa metronidazole, DHE,

maupun chloroquin, sedangkan untuk antibiotik dapat diberikan penisilin atau sefalosporin

( untuk coccus gram (+) dan gram (-) yang sensitif), aminoglikosida, klindamisin, dan

kloramfenikol ( untuk bakteri anaerob), maupun ampicilin-sulbaktam.(2). Pasien diberikan terapi

berupa metronidazole 0,5gr/8jam/IV dan ceftriaxon 1gr/12 jam/IV.

Drainase bedah diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil membaik

dengan cara yang konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain

itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan ataupun peritonitis yang terjadi disertai

atau tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang

mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha

dekompresi perkutan tidak berhasil. Pada pasien ini dilakukan operasi laparatomi oleh karena

terjadi peritonitis.

Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, ada beberapa pemeriksaan

yang belum dilakukan yang dapat mendukung diagnosis, di antaranya pemeriksaan SGOT,

SGPT serta pemeriksaan USG hepar. Peningkatan enzim – enzim hati (SGOT dan SGPT)

menunjukkan telah terjadinya gangguan fungsi hepar. Adanya proses infeksi dapat memicu

peningkatan produksi enzim – enzim hati sehingga kadar enzim – enzim tersebut tinggi di dalam

darah. USG sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis hati adalah

bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari

parenkim hati normal serta ukuran hepar dapat membesar. Selanjutnya, pemeriksaan yang

menjadi standar emas untuk penegakan diagnosis abses hepar adalah melalui kultur darah yang

memperlihatkan bakteri penyebab.

26

Page 27: laporan kasus bedah

DAFTAR PUSTAKA

1. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam : Sudoyo,Aru W.

Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus. Setiati,Siti. Buku ajar ilmu

penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461.

2. Brailita DM. Amebic hepatic abscess [online]. 2012 [cited on 2015 August 12]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/183920-overview#shGLall

3. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku ajar fisiologi

kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.

4. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari sel ke sistem

edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.

5. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses hati amuba.

Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1 November 2011.

6. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser. Intraabdominal infection and abscess. Harrison

principle of internal medicine. 17th edition. USA: The Mc Graw Hill Company; 2008.

Chapter 121.

7. Sharma MP, Ahuja V. Amoebic liver abscess. Indian Academy of Clinical Medicine. 2003. p.107-111.

8. Haque R, Mollah NU, Ali IK, et all. Diagnosis of amebic liver abscess and intestinal infection with the techlab Entamoeba Histolytica II antigen detections and antibody test .Journal of Clinical Microbiology. 2000. p.3235-3239.

9. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November 1st, 2011.

Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920-overview#showall.

10. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.

27