Post on 04-Jan-2016
description
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
No. RM : 849557
Nama : An. k
Usia : 2 tahun 1 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Nama Orangtua : Tn. W
Alamat : Jl. Cempaka No.9 RT 20/RW 07 Kel. Sunter
Tanggal MRS : 12 Oktober 2014, Pukul 19.30 WIB
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Demam sudah 3 hari yang lalu
Keluhan Tambahan : Muntah (+), batuk dan pilek (-), BAB cair (+),
kejang (+).
Riwayat Penyakit Sekarang :
OS datang diantar ibunya ke RSIJ Cempaka Putih dengan keluhan demam sejak 3 hari
yang lalu SMRS, demam naik turun. Muntah setiap makan dan minum. BAB cair sudah
3 hari, lendir (+), darah (-). Hari ini sudah 2 kali BAB cair dengan lendir. BAK normal.
OS sering minta dipijat akhir-akhir ini.Orang tua OS mengaku 1 jam SMRS, OS kejang
seluruh tubuh, mata mendelik keatas, kejang >15 menit. Setelah kejang Os sadar. Kejang
terjadi baru pertama kalinya. Batuk dan pilek (-), sesak (-). 1 hari sebelumnya OS dibawa
berobat ke puskesmas, dan diberikan antibiotik, obat penurun panas dan obat anti-mual.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan seperti ini
- Penyakit flek disangkal
- Riwayat kejang disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Di keluarga tidak ada yang mengalami seperti ini
- Asma disangkal pada keluarga
- Penyakit TB disangkal pada keluarga
Riwayat Pengobatan : Riwayat pengobatan TB dan kejang disangkal.
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran : Riwayat ANC rutin ke dokter, lahir cukup bulan,
lahir spontan. Selama hamil ibu tidak sakit. BBL 2700 gr, PBL: 45 cm. Keadaan sehat.
Riwayat Imunisasi :
Imunisasi hepatitis B 3x, polio 4x, BCG 1x, DPT 3x, Campak 1x.
Kesan : Riwayat imunisasi dasar sesuai usia.
Riwayat Perkembangan :
- Berbicara kata : umur 1 tahun
- Merangkak : umur 1 tahun 2 bulan
- Berjalan : masih belum bisa berjalan sendiri dengan baik
Kesan : Riwayat perkembangan tidak sesuai usia
Riwayat Makanan : ASI tidak ekslusif, saat ini anak mengkonsumsi susu formula,
bubur dan nasi.
Riwayat Alergi : Alergi obat-obatan, makanan dan debu disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umun : Sakit berat
Kesadaran : Somnolen
Tanda Vital
Suhu : 39,4 o C
Nadi : 140 x/menit, lemah
Nafas : 35 x/menit
Antropometri
BB :14 kg
TB : 82 cm
Lingkar Kepala : 47 cm
Status gizi
BB/U :14/12.8 x 100% = 109.4% (Gizi Baik)
TB/U : 82/89 x 100% = 92.13% (Gizi Baik)
BB/TB: 14/11.4 x100% = 122.8% (Obesitas)
Kesan : Gizi Baik
IV. STATUS GENERALIS
Kepala :
Bentuk : normocephal
Lingkar kepala : 47 cm
Ubun-ubun : Ubun-ubun menutup sempurna
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflex pupil (+/+), mata
cekung (-/-), edema palpebra (+/+)
Hidung : sekret (-), deviasi septum (-), epistaksis (-/-)
Telinga : normotia, sektet (-/-)
Mulut : bibir kering, perdarahan gusi (-), lidah kotor (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-)
Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), kaku kuduk (-)
Thoraks
Paru
Inspeksi : normochest, dada simetris (+), retraksi dinding dada (-)
Palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : tidak tampak ictus cordis
Palpasi : tidak teraba ictus cordis ICS-V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Redup pada batas jantung kanan linea parasternalis dextra, batas
jantung kiri linea midklavikula sinistra
Auskultasi : BJ I dan BJ II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : perut kembung (-), luka bekas operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+), normal
Perkusi : timpani pada keempat kuadran abdomen
Ascites : -
Palpasi : NTE (+), abdomen supel, hepatomegali (-), splenomegali (-)
Turgor kulit : normal
Ekstremitas Atas
Akral : hangat
RCT <2 detik : (+)
Edema : (-)
Sianosis : (-)
Ekstremitas Bawah
Akral : hangat
RCT <2 detik : (+)
Edema : (-)
Sianosis : (-)
Kelenjar inguinal : pembesaran kelenjar inguinal (-/-)
Anus dan rectum : dalam batas normal
Genital : Perempuan
Refleks :
Tanda rangsang meningeal Fisiologis
Kaku kuduk Negatif Patella Tidak dilakukan
Burdzinski I Negatif Biseps Tidak dilakukan
Burdzinski II Kanan-kiri negatif Tendo Achilles Tidak dilakukan
Kernig Kanan-kiri negatif
>135°
Pemeriksaan Penunjang
V. RESUME
OS masuk RS dengan keluhan demam sejak 3 hari yang lalu SMRS,, kesadaran
somnolen. Muntah setiap makan dan minum. Hari ini sudah 2 kali BAB cair dengan
lendir. OS sering minta dipijat. Orang tua OS mengaku 1 jam SMRS, OS kejang seluruh
tubuh, mata mendelik keatas, kejang >15 menit. Kejang terjadi baru pertama kalinya. PF :
Suhu 39,4 o C, nadi 140 kali/menit, lemah. Pemeriksaan lab : Na 123 mEq/L, K 2,4
mEq/L, Cl 88 mEq/L.
VI. ASSESMENT
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
11,3
15,8
31 (L)
362
g/dL
ribu/µL
%
ribu/µL
10,8-12,8
6,00-17,00
35-43
217-491
Natrium (Na)
Kalium (K)
Clorida (Cl)
123 (L)
2,4 (L)
88 (L)
mEq/L
mEq/L
mEq/L
135 -147
3,5 – 5,0
94-111
GDS 158 mg/dL < 200
- Febris
- GEA
- Dehidrasi ringan-sedang
- Kejang
- Hiponatremia
- Hipokalemia
- Ensefalitis
VII. DIAGNOSIS
- Klinis : Ensefalitis
- Tumbuh Kembang : Delayed Development
- Gizi : Gizi Baik
- Imunisasi : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Gejala Ensefalitis Ensefalopati
Metabolik
Meningitis Epilepsi
Demam
hiperpireksia
(+) (+/-) (+) (-)
Muntah (+) (+/-) (-) (+/-)
Kejang umum (+) (+) (-) (+)
Batuk dan pilek (-) (-) (-) (-)
GEA (-) (+/-) (-) (-)
Sesak (-) (-) (-) (-)
Kesadaran
menurun
(+) (+) (+) (-)
Kaku kuduk (+/-) (-) (+) (-)
Gangguan
metabolik
(+) (+) (+) (-)
IX. PLANNING
Perawatan umum :
- Jalan napas terbuka, isap lendir
- Pemberian makanan secara enteral/parenteral
- Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit
- Koreksi gangguan asam-basa
- Atasi kejang, mengurangi edema dan menurunkan tekanan intrakranial
X. RENCANA TERAPI
Rencana Terapi
Infus Ka EN 3B
Injeksi Terfacef (Ceftriaxon) 1x1 gr Ondancentron 3x2 mg Calmethason ekstra (Dexamethason) 1.5 mg
Oral Praxion (Paracetamol) syr 3x1¼ cdo
Probiokid 1x1
Smecta ½ sc 2x1 sc
Luminal (Fenobarbital) 2x50 mg
Supp Proriss (Ibuprofen) 125 mg Stesolid (Diazepam) 10 mg
XI. FOLLOW UP
Tanggal Jam S O A P12 Oktober 2014
21.00 WIB Kejang (spastic), lama kejang 3 detik
N = 168 kali/menitS = 37.8°CRR = 36 kali/menit
-Febris-Obs. kejang
-Loading RL 300 cc-Fenitoin
21.40 WIB Kejang (spastic) 2 kali, lama kejang 2-3 detik dengan interval ± 5 menit
N = 132 kali/menitS = 38.9°CRR = 36 kali/menit
-Febris-Obs. Kejang
-Loading RL 300 cc-Puyer diazepam
22.00 WIB Kejang (spastic) 3 kali, lama kejang 3-5 detik dengan interval ± 5 menit
N = 144 kali/menitS = 39.1°CRR = 37 kali/menit
-Febris-Obs. Kejang
Terapi dilanjutkan
22.1 5 WIB Kejang (spastic) 2 kali, lama kejang 1-2 detik dengan interval 5 menit
N = 152 kali/menitS = 39.3°CRR = 37 kali/menit
-Febris-Obs. Kejang
-Infus RL 12 tpm-Inj. Extra novalgin
13 Oktober 2014
02.30 WIB Kejang (spastic) lama 3-5 detik
Tidak sadar
Pasien meninggal
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ENSEFALITIS
DEFINISI
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikro-organisme (Anonim,
1985). Ensefalitis ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskopis jaringan otak. Dalam
prakteknya di klinik, diagnosis sering dibuat berdasarkan manifestasi-manifestasi neurologis dan
temuan-temuan epidemiologis, tanpa bahan histologis. (Nelson, 1992).
ETIOLOGI
I. Infeksi-infeksi Virus
A. Penyebaran hanya dari manusia ke manusia
1. Gondongan, kadang-kadang bersifat ringan.
2. Campak, Dapat memberikan sekuele berat.
3. Kelompok virus entero, Sering pada semua umur, keadaannya lebih berat pada neonatus.
4. Rubela, jarang sekali kecuali pada rubela congenital
5. Kelompok Virus Herpes
- Herpes Simpleks (tipe 1 dan 2) : relatif sering; sering ditemukan pada neonates
menimbulkan kematian.
- Virus varicela-zoster; jarang; berat sering ditemukan.
- Virus sitomegalo-kongenital atau akuista : dapat pada CMV congenital
- Virus EB (mononukleosis infeksiosa) : jarang
6. Kelompok virus poks, Vaksinia dan variola ; jarang, tetapi dapat terjadi kerusakan SSP
berat.
B. Agen-agen yang ditularkan oleh antropoda
- Virus arbo : menyebar ke manusia melalui nyamuk.
- Caplak : epidemi musiman tergantung pada ekologi vektor serangga.
C. Penyebaran oleh mamalia berdarah panas.
- Rabies : saliva mamalia jinak dan liar
- Virus herpes Simiae (virus “B”) : saliva kera
- Keriomeningitis limfositik : tinja binatang pengerat
II. Infeksi-infeksi Non-virus
A. Riketsia, Komponen ensefalitik dari vaskulitis serebral.
B. Mycoplasma pneumonia, Terdapat interval beberapa hari antara gejala tuberculosis dan
bakteri lain; sering mempunyai komponen ensefalitik.
C. Bakteri, Tuberculosa dan meningitis bakteri lainnya; seringkali memiliki komponen-
komponen ensefalitis.
D. Spirochaeta, Sifilis, kongenital atau akuisita; leptospirosis
E. Jamur, Penderita-penderita dengan gangguan imunologis mempunyai resiko khusus;
kriptokokosis; histoplasmosis;aspergilosis, mukor mikosis, moniliosis;
koksidioidomikosis
F. Protozoa, Plasmaodium Sp; Tyypanosoma Sp; naegleria Sp; Acanthamoeba; Toxoplasma
gondii.
G. Metazoa , Trikinosis; ekinokokosis; sistiserkosis; skistosomiasis.
III. Parainfeksiosa-pascainfeksiosa, alergi
Penderita-penderita dimana agen-agen infeksi atau salah satu komponennya berperan
sebagai etiologi penyakit, tetapi agen-agen infeksinya tidak dapat diisolasi secara utuh in
vitro dari susunan syaraf. Diduga pada kelompok ini, kompleks antigen-antibodi yang
diperantarai oleh sel dan komplemen, terutama berperan penting dalam menimbulkan
kerusakan jaringan.
A. Berhubungan dengan penyakit-penyakit spesifik tertentu (Agen ini dapat pula secara
langsung menyebabkan kerusakan SSP).
- Campak
- Rubela
- Pertusis
- Gondongan
- Varisela-zoster
- Influenza
- Mycoplasma pneumonia
- Infeksi riketsia
- Hepatitis
B. Berhubungan dengan vaksin
- Rabies
- Campak
- Influenza
- Vaksinis
- Pertusis
- Yellow fever
- Typhoid
IV. Penyakit-penyakit virus manusia yang lambat
Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa berbagai virus yang didapatkan
pada awal masa kehidupan, yang tidak harus disertai dengan penyakit akut, sedikit banyak
ikut berperan sebagian pada penyakit neurologis kronis di kemudian hari :
- Panensefalitis sklerosis sub akut (PESS); campak; rubella
- Penyakit Jakob-Crevtzfeldt (ensefalitis spongiformis)
- Leukoensefalopati multifokal progresif
V. Kelompok kompleks yang tidak diketahui Contoh : Sindrom Reye, Ensefalitis Von Economo,
dan lain-lain (Nelson, 1992).
KLASIFIKASI
Penyebab ensefalitis yang terpenting adalah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus
langsung menyerang otak atau reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi
terdahulu. Sesuai dengan jenis virus, ensefalitis diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
A. Ensefalitis virus sporadic
Virus yang bersifat sporadik adalah virus rabies, Herpes Simpleks Virus (HSV), Herpes
Zoster, mumps, limfogranuloma dan limphocytic choriomeningitis yang ditularkan
melalui gigitan tupai dan tikus. (Bradley, 1991).
B. Ensefalitis virus epidemic
Golongan virus ini adalah virus entero seperti poliomyelitis, virus Coxsacki, virus ECHO,
serta golongan virus ARBO.
C. Ensefalitis pasca infeksi
Pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella, pasca vaksinasi, dan jenis-jenis virus yang
mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik (Anonim, 1985).
PATOFISIOLOGI
Rangkaian peristiwa yang terjadi berbeda-beda, sesuai dengan agen penyakit dan pejamu.
Pada umumnya virus ensefalitis termasuk sistem limfatik, baik berasal dari menelan enterovirus
akibat gigitan nyamuk atau serangga lain. Didalam sistem limfatik ini terjadi perkembangbiakan
dan penyebaran ke dalam aliran darah yang mengakibatkan infeksi pada beberapa organ. Pada
stadium ini (fase ekstraneural), ditemukan penyakit demam nonpleura, sistemis, tetapi jika terjadi
perkembangbiakan lebih lanjut dalam organ yang terserang, terjadi pembiakan dan penyebaran
virus sekunder dalam jumlah besar. Invasi ke susunan saraf pusat akan diikuti oleh bukti klinis
adanya penyakit neurologis.
Kemungkinan besar kerusakan neurologis disebabkan oleh (1) invasi langsung dan
destruksi jaringan saraf oleh virus yang berproliferasi aktif atau (2) reaksi jaringan saraf terhadap
antigen-antigen virus. Perusakan neuron mungkin terjadi akibat invasi langsung virus, sedangkan
respon jaringan pejamu yang hebat mungkin mengakibatkan demielinisasi, kerusakan pembuluh
darah dan perivaskular. Kerusakan pembuluh darah mengakibatkan gangguan peredaran darah
dan menimbulkan tanda-tanda serta gejala-gejala yang sesuai. Penentuan besarnya kerusakan
susunan syaraf pusat yang ditimbulkan langsung oleh virus dan bagaimana menggambarkan
banyaknya perlukaan yang diperantarai oleh kekebalan, mempunyai implikasi teraupetik; agen-
agen yang membatasi multiplikasi virus diindikasikan untuk keadaan pertama dan agen-agen
yang menekan respons kekebalan selular pejamu digunakan untuk keadaan lain. (Nelson, 1992).
Pada ensefalitis bakterial, organisme piogenik masuk ke dalam otak melalui peredaran
darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus. Penyebaran melalui peredaran darah
dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran
langsung dapat melalui tromboflebitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah dan sinus
paranasalis. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada jaringan otak. Biasanya terdapat di
bagian substantia alba, karena bagian ini kurang mendapat suplai darah. Proses peradangan ini
membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah dan agregasi leukosit
yang sudah mati.
Di daerah yang mengalami peradangan tadi timbul edema, perlunakan dan kongesti
jaringan otak disertai peradangan kecil. Di sekeliling abses terdapat pembuluh darah dan
infiltrasi leukosit. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk ruang abses. Mula-mula
dindingnya tidak begitu kuat, kemudian terbentuk dinding kuat membentuk kapsul yang
konsentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit PMN, sel-sel plasma dan limfosit. Abses
dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subarakhnoid
yang dapat mengakibatkan meningitis. (Harsono, 1996). Proses radang pada ensefalitis virus
selain terjadi jaringan otak saja, juga sering mengenai jaringan selaput otak. Oleh karena itu
ensefalitis virus lebih tepat bila disebut sebagai meningo ensefalitis. (Arif, 2000)
Virus-virus yang menyebabkan parotitis, morbili, varisela masuk ke dalam tubuh melalui
saluran pernafasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, VHS melalui mulut atau mukosa
kelamin, virus yang lain masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau
nyamuk. Bayi dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubella atau CMV.
Virus memperbanyak diri secara lokal, terjadi viremia yang menyerang SSP melalui kapilaris di
pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer (gerakan sentripetal) misalnya VSH,
rabies dan herpes zoster.
Pertumbuhan virus berada di jaringan ekstraneural (usus, kelenjar getah bening,
poliomielitis) saluran pernafasan atas mukosa gastrointestinal (arbovirus) dan jaringan lemak
(coxackie, poliomielitis, rabies, dan variola). Di dalam SSP virus menyebar secara langsung atau
melalui ruang ekstraseluler.
Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron kemudian terjadi intracellular inclusion
bodies, peradangan otak dan medulla spinalis serta edema otak. Terdapat juga peradangan pada
pembuluh-pembuluh darah kecil, trombosis dan proliferasi astrosit dan mikroglia. Neuron yang
rusak dimakan oleh makrofag disebut neurofagia yang khas bagi ensefalitis primer. (Harsono,
1996).
Kemampuan dari beberapa virus untuk tinggal tersembunyi (latent) merupakan hal yang
penting pada penyakit sistem saraf oleh virus. Virus herpes simplek dan herpes zoster dapat
tinggal latent di dalam sel tuan rumah pada sistem saraf untuk dapat kembali aktif berbulan-
bulan atau bertahun-tahun setelah infeksi pertama. (Khumer, 1987).
EPIDEMIOLOGI
Karena terdapat banyak penyebab ensefalitis, maka tidak terdapat pola epidemiologi yang
sama. Tetapi sebagian besar kasus yang terjadi pada musim panas dan musim gugur,
mencerminkan adanya virus arbo dan virus entero sebagai etiologi. Ensefalitis yang disebabkan
karena virus arbo terjadi dalam bentuk epidemik, dengan batas wilayah yang ditentukan oleh
batas vektor nyamuk serta prevalensi binatang reservoar alamiah.
Kasus-kasus enesefalitis yang sporadis dapat terjadi setiap musim, pertimbangan
epidemiologis yang harus ditinjau ulang dalam usaha mencari agen penyebab meliputi wilayah
geografis, iklim, pemaparan oleh binatang, air, manusia, dan bahan makanan, tanah, manusia,
dan faktor-faktor hospes (Nelson, 1992).
Angka kematian untuk ensefalitis berkisar antara 35-50%. Dari penderita yang hidup, 20-
40% mempunyai komplikasi atau gejala sisa (Anonim, 1985).
MANIFESTASI KLINIK
Meskipun penyebabnya berbeda, gejala klinis ensefalitis lebih kurang sama dan khas
sehingga dapat digunakan sebagai kriteria diagnostik. Secara umum gejala berupa trias
ensefalitis yang terdiri dari demam, kejang dan kesadaran menurun. (Arif, 2000).
Setelah masa inkubasi kurang lebih 5-10 hari akan terjadi kenaikan suhu yang mendadak,
seringkali terjadi hiperpireksia, nyeri kepala pada anak besar, menjerit pada anak kecil.
Ditemukan tanda perangsangan SSP (koma, stupor, letargi), kaku kuduk, peningkatan reflek
tendon, tremor, kelemahan otot dan kadang-kadang kelumpuhan (Kempe, 1982). Manifestasi
klinik ensefalitis bakterial, pada permulaan terdapat gejala yang tidak khas seperti infeksi umum,
kemudian timbul tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial yaitu nyeri kepala, muntah-
muntah, nafsu makan tidak ada, demam, penglihatan kabur, kejang umum atau fokal dan
kesadaran menurun. Gejala defisit nervi kranialis, hemiparesis, refleks tendon meningkat, kaku
kuduk, afasia, hemianopia, nistagmus dan ataksia (Harsono, 1996).
Penyebab kelainan neurologis (defisit neurologis) adalah invasi dan perusakan langsung
pada jaringan otak oleh virus yang sedang berkembang biak; reaksi jaringan saraf terhadap
antigen virus yang akan berakibat demielinisasi, kerusakan vaskular, dan paravaskular; dan
karena reaksi aktivasi virus neurotropik yang bersifat laten. (Arif, 2000).
Pada ensefalitis viral gejala-gejala awal nyeri kepala ringan, demam, gejala infeksi
saluran nafas atas atau gastrointestinal selama beberapa hari kemudian muncul tanda-tanda
radang SSP seperti kaku kuduk, tanda kernig positif, gelisah, lemah dan sukar tidur. Defisit
neurologik yang timbul bergantung pada tempat kerusakan. Selanjutnya kesadaran mulai
menurun sampai koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan koordinasi,
kelainan kepribadian, disorientasi, gangguan bicara dan gangguan mental (Harsono, 1996).
Temuan-temuan klinis pada ensefalitis ditentukan oleh (1) berat dan lokalisasi anatomis susunan
saraf yang terlihat (2) patogenesitas agen yang menyerang (3) kekebalan dan mekanisme reaktif
lain penderita (Nelson 1992).
DIAGNOSIS
Diagnosis pasti untuk ensefalitis ialah berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi
jaringan otak. Scara praktis diagnostik dibuat berdasarkan manifestasi neurologik dan informasi
epidemiologik (komite Medik RSUP Dr. Sadjito, 2000).
Hal-hal penting dalam menegakkan diagnosis ensefalitis adalah :
A. Panas tinggi, nyeri kepala hebat, kaku kuduk, stupor, koma, kejang dan gejala-gejala
kerusakan SSP.
B. Pada pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS) terdapat pleocytosis dan sedikit
peningkatan protein (normal pada ESL).
C. Isolasi virus dari darah, CSS atau spesimen post mortem (otak dan darah)
D. Identifikasi serum antibodi dilakukan dengan 2 spesimen yang diperoleh dalam 3-4
minggu secara terpisah (Kempe, 1982).
Sebaiknya diagnosis ensefalitis ditegakkan dengan :
a. Anamnesis yang cermat, tentang kemungkinan adanya infeksi akut atau kronis, keluhan,
kemungkinan adanya peningkatan tekanan intra kranial, adanya gejala, fokal
serebral/serebelar, adanya riwayat pemaparan selama 2-3 minggu terakhir terhadap
penyakit melalui kontak, pemaparan dengan nyamuk, riwayat bepergian ke daerah
endemik dan lain-lain (Nelson, 1992).
b. Pemeriksaan fisik/neurologik, perlu dikonfirmasikan dengan hasil anamnesis dan
sebaliknya anamnesis dapat diulang berdasarkan hasil pemeriksaan :
- Gangguan kesadaran
- Hemiparesis
- Tonus otot meninggi
- Reflek patologis positif.
- Reflek fiisiologis menningkat
- Klonus
- Gangguan nervus kranialis
- Ataksia (Komite Medik RSUP Dr. Sarjito, 2000)
c. Pemeriksaan laboratorium
Pungsi lumbal, untuk menyingkirkan gangguan-gangguan lain yang akan
memberikan respons terhadap pengobatan spesifik. Pada ensefalitis virus umumnya
cairan serebro spinal jernih, jumlah lekosit berkisar antara nol hingga beberapa ribu tiap
mili meter kubik, seringkali sel-sel polimorfonuklear mula-mula cukup bermakna
(Nelson, 1992). Kadar protein meningkat sedang atau normal, kadar protein mencapai
360 mg% pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simplek dan 55 mg% yang
disebabkan oleh toxocara canis. Kultur 70-80 % positif dan virus 80% positif (Komite
Medik RSUP Dr. Sardjito, 2000).
d. Pemeriksaan pelengkap
- Isolasi virus
Virus terdapat hanya dalam darah pada infeksi dini. Biasanya timbul sebelum
munculnya gejala. Virus diisolasi dari otak dengan inokulasi intraserebral mencit dan
diidentifikasi dengan tes-tes serologik dengan antiserum yang telah diketahui.
- Serologi
Antibodi netralisasi ditemukan dalam beberapa hari setelah timbulnya penyakit.
Dalam membuat diagnosis perlu untuk menentukan kenaikan titer antibodi spesifik
selama infeksi diagnosis serologik menjadi sukar bila epidemi yang disebabkan oleh
salah satu anggota golongan serologik terjadi pada daerah dimana anggota golongan
lain endemik atau bila individu yang terkena infeksi, sebelumnya pernah terkena
infeksi virus arbo yang mempunyai hubungan dekat. Dalam keadaan tersebut,
diagnostik etiologik secara pasti tidak mungkin dilakukan (Jawetz, 1991).
- EEG didapatkan gambaran penurunan aktivitas atau perlambatan
- CT scan kepala
Sifat atau komposisi jaringan dapat ditentukan dengan melihat kepadatan atau
nilai Hounsfield. Ada empat kategori kepadatan secara umum, yaitu pengapuran
tulang atau yang sangat padat dan putih terang, kepadatan jaringan lunak yang
menunjukkan berbagai nuansa warna abu-abu, kepadatan lemak yang berwarna
abu-abu gelap dan udara yang berwarna hitam. Dengan menerapkan prinsip-prinsip
ini, dimungkinkan untuk menentukan bagian yang terlihat pada CT scan apapun,
dan CT scan kepala pada khususnya.
CT scan kepala dapat menunjukkan :
1. CT bisa menunjukkan hipodens pada pre kontras-hyperdensity pada post
kontras salah satu atau kedua lobus temporal, edema / massa dan kadang-
kadang peningkatan kontras.
2. Lesi isodens atau hipodens berbentuk bulat cincin, noduler atau pola homogen
dan menyangat dengan kontras, tempat predileksi pada hemisfer (grey-white
junction).
3. Bias ditemukan edema cerebri.
4. Kadang disertai tanda-tanda perdarahan.
Gambar 6. CT Scan otak pada seorang gadis dengan Rasmussen's encephalitis.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding untuk ensefalitis meliputi kemungkinan meningitis bakterial, tumor
otak, abses ekstradural, abses subdural, infiltrasi neoplasma (Harsono, 1996), trauma kepala pada
daerah epidemik (Kempe, 1982), ensefalopati, sindrom Reye (Arif, 2000)
PENATALAKSANAAN
Penderita baru dengan kemungkinan ensefalitis harus dirawat inap sampai
menghilangnya gejala-gejala neurologik. Tujuan penatalaksanaan adalah mempertahankan fungsi
organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian makanan enteral atau
parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan koreksi gangguan asam basa darah
(Arif, 2000). Tata laksana yang dikerjakan sebagai berikut :
1. Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensefalitis biasanya berat.
Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu diberikan
Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3 menit.
2. Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S (tergantung
umur) dan pemberian oksigen.
3. Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh anoksia
serebri dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.
4. Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan intravena
dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat diulang setiap 8-12
jam. Dapat juga dengan Gliserol, melalui pipa nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan
dengan dua bagian sari jeruk. Bahan ini tidak toksik dan dapat diulangi setiap 6 jam
untuk waktu lama.
5. Pengobatan kausatif.
Sebelum berhasil menyingkirkan etilogi bakteri, terutama abses otak (ensefalitis
bakterial), maka harus diberikan pengobatan antibiotik parenteral. (Nelson, 1992)
Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes simplek diberikan Acyclovir
intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari selama 10 hari. Jika terjadi toleransi
maka diberikan Adenine arabinosa (vidarabin). Begitu juga ketika terjadi kekambuhan
setelah pengobatan dengan Acyclovir (Bradley, 1991). Dengan pengecualian penggunaan
Adenin arabinosid kepada penderita ensefalitis oleh herpes simplek, maka pengobatan
yang dilakukan bersifat non spesifik dan empiris yang bertujuan untuk mempertahankan
kehidupan serta menopang setiap sistem organ yang terserang. Efektivitas berbagai cara
pengobatan yang dianjurkan belum pernah dinilai secara objektif (Nelson, 1992).
6. Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh.
7. Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet.
8. Lain-lain, perawatan yang baik, konsultan dini dengan ahli anestesi untuk mengantisipasi
kebutuhan pernapasan buatan.
GEJALA SISA DAN KOMPLIKASI
Gejala sisa maupun komplikasi karena ensefalitis dapat melibatkan susunan saraf pusat
dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan pendengaran, sistem
kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat secara menetap (Nelson,
1992).
Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan koreoatetoid),
hidrosefalus maupun gangguan mental sering terjadi (Harsono, 1996). Komplikasi pada bayi
biasanya berupa hidrosefalus, epilepsi, retardasi mental karena kerusakan SSP berat (Kempe,
1982).
PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan. Disamping itu perlu
dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit yang dapat muncul selama perawatan.
Edema otak dapat sangat mengancam kehidupan penderita.
Prognosis jangka pendek dan panjang sedikit banyak bergantung pada etiologi penyakit
dan usia penderita. Bayi biasanya mengalami penyulit dan gejala sisa yang berat. Ensefalitis
yang disebabkan oleh VHS memberi prognosis yang lebih buruk daripada pognosis virus entero
(Nelson, 1992).
Kematian karena ensefalitis masih tinggi berkisar antara 35-50 %. Dari penderita yang
hidup 20-40% mempunyai komplikasi atau gejala sisa. Penderita yang sembuh tanpa kelainan
neurologis yang nyata dalam perkembangan selanjutnya masih menderita retardasi mental,
epilepsi dan masalah tingkah laku (Anonim, 1985).
2.2 ENSEFALOPATI METABOLIK
DEFINISI
Ensefalopati (Ensefalo + pati) adalah penyakit degeneratif otak sedangkan Metabolisme
merupakan suatu Biotransformasi. Maka Ensefalopati Metabolik adalah Gangguan
neuropsikiatrik akibat penyakit metabolic otak. Ensefalopati Metabolik adalah pengertian umum
keadaan klinis yang ditandai dengan :
1. Penurunan kesadaran sedang sampai berat
2. Gangguan neuropsikiatrik : kejang, lateralisasi
3. Kelainan fungsi neurotransmitter otak
4. Tanpa disertai tanda-tanda infeksi bacterial yang jelas
MANIFESTASI KLINIK
Ensefalopati metabolik merupakan suatu kondisi disfungsi otak yang global yang
menyebabkan terjadi perubahan kesadaran, perubahan tingkah laku dan kejang yang disebabkan
oleh kelainan pada otak maupun di luar otak. Kondisi ini mempengaruhi fungsi Ascending
Reticular Activating System dan atau mengganggu proyeksinya di kortek serebri sehingga terjadi
gangguan kesadaran dan atau kejang. Mekanisme terjadinya disfungsi otak ini multifaktorial,
termasuk perubahan aliran darah dan gangguan fungsi neurotransmitter diikuti gagalnya energy
metabolisme dan depolarisasi seluler. Singkatnya, ensefalopati metabolik merupakan kelainan
fungsi otak yang penyebabnya berasal dari intra dan ekstraserebral. Prosesnya termasuk
gangguan metabolik (elektrolit, serum osmolaritas, fungsi renal dan disfungsi hepar, beberapa
defisiensi (subtrat metabolik, hormone turoid, vitamin B12, dll), racun (obat-obatan, alcohol, dll)
atau kelainan toksik sistemik (misalnya sepsis). Pada ensefalopati metabolik terdapat disfungsi
difus dari otak, yang onsetnya cepat dengan fluktuasi tingkat kesadaran (perhatian dan
konsentrasi).
Klinis pasien dengan ensefalopati metabolik tergantung penyebabnya, usia dan keadaan
neural (misalnya kapasitas untuk kompensasi pada suatu disfungsi), biasanya klinisnya mirip,
berupa penuranan kesadaran, kehilangan intelek progress (dementia), hypereksitasi seperti
dementia agitasi (delirium) atau kejang (myoclonus general dan multifocal, kejang tonik-klonik).
Kondisi seperti hyponatremi, hyperosmolar, hypercapnia, hypercalcemia, gagal hati
(Hepatic Encephlopaty, Parto Systemic Encephalopaty, Hepatic Coma) dan gagal ginjal
(almunium encephalopathy, dialysis encephalopathy syndrome, dialysis disequilibrium
syndrome) akan menyebabkan kelainan yang reversible pada asrosit dan neuron, sehingga terjadi
gangguan cadangan energy, perubahan flux ion yang melintasi membrane neural dan
menyebabkan kelainan neurotransmitter.
Contohnya, tingginya konstrasi amoniak dalam otak berhubungan dengan koma hepatik
yang mengganggu metabolisme energi serebral dan pompa Na-K ATPase, sehingga
meningkatkan jumlah dan ukuran astrosit, kelainan fungsi sel saraf, dan meningkatnya
konsentrasi produk dari metabolisme ammonia, juga menyebabkan abnormalitas
neurotransmitter, berupa “fase” neurotransmitter yang aktif pada permukaan reseptor. Berbeda
dengan hyperammonia, diamana mekanismenya berbeda dan belum diketahui. Mekanisme
ensefalopati metabolik pada gagal ginjal juga tidak diketahui. Tidak seperti ammonia, urea tidak
menyebabkan toksisitas pada pusat persarafan (Central Nervous System). Penyebabnya
multifactor, termasuk peningkatan permeabilitas sawar darah otak terhadap substansi seperti
asam organic dan peningkatan kalsium otak atau muatan fosfat LCS.
Volume cairan otak berhubungan dengan status kesadaran, faktor lain juga berperan.
Kadar sodium dibawah 125 mmol/L menyebabkan konfusi dan di bawah 115 mmol/L
berhubungan dengan koma dan konvulsi. Besarnya perubahan neurologik bergantung dari
perubahan kadar yang cepat serum. Dialysis pada gagal ginjal dapat meningkatkan resiko
terjadinya kejang : hampir sepertiga pasien dengan gagal ginjal mengalami ensefalopati
metabolik akibat dialysis. Dysequilibrium syndrome, berupa pertukaran cairan yang cepat yang
terlihat pada pasien dengan sindroma uremik, biasanya setelah dialysis pertama. Manifestasinya
berupa kejang dan konfusi sedang. Lesi pada struktur otak, yang dapat dilihat dengan pencitraan
otak, juga meningkatkan resiko terjadinya kejang.
ETIOLOGI
Berdasarkan penyakit penyebabnya, ensefalopati metabolik terbagi; ensefalopati
metabolik primer dan ensefalopati sekunder. Yang tergolong dalam ensefalopati metabolik
primer ialah penyakit-penyakit yang memperlihatkan :
1. Degenerasi di substansia grisea otak, yaitu : penyakit Jacob Creutzfeldt, penyakit Pick,
penyakit Alzhemair, korea Huntington, Epilepsimioklonik progresiva.
2. Degenerasi di substansia alba, yaitu : penyakit Schilder dan berbagai jenis leukodistrofia.
Sedangkan Ensefalopati metabolik sekunder penyebabnya banyak sekali, sehingga dapat
diklasifikasikan menurut sebab pokoknya, yaitu :
1. Kekurangan zat asam, glikose dan kofaktor-kofaktor yang diperlukan untuk metabolisme
sel
a) Hypoksia, yang bisa timbul karena : penyakit paru-paru, anemia, intoksikasi karbon
mono-oksida, methemoglobinemia, keadaan setelah insult epileptic berhenti.
b) Iskemia, yang bisa berkembang karena : “Cerebal Blood Flow” yang menurun akibat
penurunan “cardiac output”, seperti pada sindrom Stokes-Adams, aritmia, infark
jantung, dekompensasio kordis dan stenosis aorta. CBF menurun akibat penurunan
resistensi vascular perifer, seperti pada sinkope ortostatik atau vasovagal,
hipersensitivitas sinus koratikus dan volume darah yang rendah. CBF menurun akibat
resistensi vascular yang meningkat, seperti pada ensefalopati hipertensif, sindrom
hiperventilasi dan sindrom hyperviskositas.
c) Hypoglikemia, yang bias timbul karena pemberian insulin atau pembuatan insulin
endogenik meningkat.
d) Defisiensi kofaktor thiamin, niacin, pyridoxine, dan vitamin B1.
2. Penyakit-penyakit organik di luar susunan saraf
a) Penyakit non-endokrinologik, seperti : penyakit hepar, ginajal, jantung dan paru.
b) Penyakit endokrinologik : M. Addison, M. Cushing, tomur Pankreas miksedema,
feokromositoma dan tirotoksikosis.
3. Intoksikasi eksogenik
a) Sedativa, seperti barbiturate, opiate, obat antikol; inergi, ethanol dan penenang.
b) Racun yang menghasilkan banyak karbolit acid, seperti paraldehyde, methylalkohol,
dan ethylene.
c) Inhibitor enzim, seperti : cyanide, salysilat dan logam-logam berat.
4. Gangguan balans cairan dan elektrolit
a) Hypo dan hypernatremia
b) Asidosis respiratorik dan metabolik
c) Alkolosis respiratorik dan metabolik
d) Hypo dan hyperkalemia
5. Penyakit-penyakit yang membuat toksin atau menghambat fungsi enzim-enzim serebral,
seperti meningitis, ensefalitis dan perdarahan subarakhnoidal.
6. Trauma kapitis yang menimbulkan gangguan difus tanpa perubahan morfologik, seperti
pada komosio
Faktor Resiko, bila terdapat :
- Penurunan kadar oksigen dalam darah
- Infeksi
- Bedah mayor
- Penyakit berat
- Penggunaan zat-zat sedative dan narkotik
- Perdarahan saluran cerna
- Diare atau muntah persisten yang menyebabkab penurunan kadar potassium
- Ketidakseimbangan kadar elektrolit
Gejala :
- Konfusio atau agitasi
- Perubahan tingkah laku atau personality
- Pelupa
- Disorientasi
- Insomnia
- Kekakuan otot atau ragiditas
- Tremor
- Sulit berbicara
- Pergerakan yang tidak terkontrol, kejang (jarang)
- Stupor atau koma
DIAGNOSIS
Ensefalopati Metabolik merupakan salah satu kasus emergency. Pada pemeriksaan darah
ditemukan peningkatan kadar amonia dan kelainan signifikan yang berhubungan dengan organ
penyebab ensefalopati tersebut. Sebaiknya selalu curiga adanya ensefalopati metabolik dan
sebaiknya dilakukan screening test bila terdapat kejang setelah melakukan prosedur yang
berhubungan dengan pertukaran cairan seperti bilas kandung kemih, hemodialisis, dan prosedur
radiografi yang menggunakan materi kontras yang mengandung iodium melalui intravena, dan
pemberian cairan IV secara cepat. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan GDS, AGD, plasma
amoniak, laktat darah, plasma keton, asam amino plasma, fungsi liver, asam organik urin.
PENATALAKSAAN
Hospitalisasi dan perawatan emergensi di rumah sakit, para staff akan menangani
problem yang menyebabkab kondisi pasien saat itu. Akan dilakukan pembuangan atau
penetralisiran toksin yang ada dalam aliran darah. Tujuannya adalah mengembalikan kondisi
seperti semula. Namun, kerusakan otak masih mungkin terjadi. Dalam beberapa kasusu bahkan
kerusakannya bersifat permanen.
Mediamentosa, obat-obatan yang digunakan adalah untuk menetralisir toksin, menangani kondisi
pasien, mencegah rekurensi. Pantangan diet : dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan rendah
protein. Diet lainnya disesuaikan dengan kondisi dan penyebab. Pemberian makan melalui NGT
diperlukan pada pasien koma.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 1985, Ensefalitis dalam Hasan R., Ilmu Kesehatan Anak, H : 622-624, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Anonim 1996, Ensefalitis dalam Harsono, Neurologi Klinis, Ed. I. H : 172-179, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Behrman RE, Vaughan, V.C, Ensefalitis Viral dalam Nelson Ilmu Kesehatan Anak Nelson, edisi
12, Bag 2, H : 42-48, EGC, Jakarta
Bradley, W.G., Ensefalitis Viral dalam Carol H., Neurology in Clinical Practice, p : 599-603,
Butterworth. Heinemann, Boston.
Dorlan, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi ke 20. Jakarta : ECG.
Jawetz, E, et all, Penyakit-penyakit Virus melalui Autropoda dalam Bonang G. Review of
Medical Microbiology, 1991, 16 ed., p : 489-493, Lange Medical Publications, Los Atlos,
California.
Kempe, C.H., 1982, Infections, bacterial and Spirochaetal In Jerry L. Eller, Current Pediatric
Diagnosis and Treatment, 7 ed., p : 732-733, Lange Medical Publications, Los Atlos, California.
Komite Medik RSUP Dr. Sardjito, 2000, Ensefalitis dalam Sutoyo, Standar Pelayanan Medis,
Ed. 2, h : 198-200, Medika Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta.
Mardjono, Mahar. 2008. Neurologis Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat.