Meningitis Dan Ensefalitis
description
Transcript of Meningitis Dan Ensefalitis
LAPORAN PENDAHULUAN
MENINGOESENFALITIS
A. MENINGITIS
1.Definisi
Meningitis merupakan inflamasi yang terjadi pada lapisan arahnoid dan piamatter di
otak serta spinal cord. Inflamasi ini lebih sering disebabkan oleh bakteri dan virus
meskipun penyebab lainnya seperti jamur dan protozoa juga terjadi. (Donna D.,1999).
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan
medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur(Smeltzer,
2001).
Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah
satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus
influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal
column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).
2. Etiologi
a) Meningitis Bakterial (Meningitis sepsis)
Sering terjadi pada musim dingin, saat terjadi infeksi saluran pernafasan. Jenis
organisme yang sering menyebabkan meningitis bacterial adalah streptokokus
pneumonia dan neisseria meningitis.
Meningococal meningitis adalah tipe dari meningitis bacterial yang sering terjadi
pada daerah penduduk yang padat, spt: asrama, penjara. Klien yang mempunyai
kondisi spt: otitis media, pneumonia, sinusitis akut atau sickle sell anemia yang dapat
meningkatkan kemungkinan terjadi meningitis. Fraktur tulang tengkorak atau
pembedahan spinal dapat juga menyebabkan meningitis . Selain itu juga dapat terjadi
pada orang dengan gangguan sistem imun, spt: AIDS dan defisiensi imunologi baik
yang congenital ataupun yang didapat.
Tubuh akan berespon terhadap bakteri sebagai benda asing dan berespon dengan
terjadinya peradangan dengan adanya neutrofil, monosit dan limfosit. Cairan eksudat
yang terdiri dari bakteri, fibrin dan lekosit terbentuk di ruangan subarahcnoid ini akan
terkumpul di dalam cairan otak sehingga dapat menyebabkan lapisan yang tadinya tipis
1
menjadi tebal. Dan pengumpulan cairan ini akan menyebabkan peningkatan
intrakranial. Hal ini akan menyebabkan jaringan otak akan mengalami infark.
b) Meningitis Virus (Meningitis aseptic)
Meningitis virus adalah infeksi pada meningen; cenderung jinak dan bisa sembuh
sendiri. Virus biasanya bereplikasi sendiri ditempat terjadinya infeksi awal (misalnya
sistem nasofaring dan saluran cerna) dan kemudian menyebar kesistem saraf pusat
melalui sistem vaskuler.
Ini terjadi pada penyakit yang disebabkan oleh virus spt: campak, mumps, herpes
simplek dan herpes zoster. Virus herpes simplek mengganggu metabolisme sel
sehingga sell cepat mengalami nekrosis. Jenis lainnya juga mengganggu produksi
enzim atau neurotransmitter yang dapat menyebabkan disfungsi sel dan gangguan
neurologik.
c) Meningitis Jamur
Meningitis Cryptococcal adalah infeksi jamur yang mempengaruhi sistem saraf
pusat pada klien dengan AIDS. Gejala klinisnya bervariasi tergantung dari system
kekebalan tubuh yang akan berefek pada respon inflamasi Respon inflamasi yang
ditimbulkan pada klien dengan menurunnya sistem imun antara lain: bisa demam/tidak,
sakit kepala, mual, muntah dan menurunnya status mental.
Faktor resiko terjadinya meningitis :
1. Infeksi sistemik
Didapat dari infeksi di organ tubuh lain yang akhirnya menyebar secara hematogen
sampai ke selaput otak, misalnya otitis media kronis, mastoiditis, pneumonia, TBC,
perikarditis, dll.
Pada meningitis bacterial, infeksi yang disebabkan olh bakteri terdiri atas faktor
pencetus sebagai berikut diantaranya adalah :
Otitis media
Pneumonia
Sinusitis
Sickle cell anemia
Fraktur cranial, trauma otak
Operasi spinal
Meningitis bakteri juga bisa disebabkan oleh adanya penurunan system kekebalan
tubuh seperti AIDS.
2
2. Trauma kepala
Bisanya terjadi pada trauma kepala terbuka atau pada fraktur basis cranii yang
memungkinkan terpaparnya CSF dengan lingkungan luar melalui othorrhea dan
rhinorhea
3. Kelainan anatomis
Terjadi pada pasien seperti post operasi di daerah mastoid, saluran telinga tengah,
operasi cranium.
a) Terjadinya peningkatan TIK pada meningitis, mekanismenya adalah sebagai berikut
:
Agen penyebab → reaksi local pada meninges → inflamasi meninges → pe ↑
permiabilitas kapiler → kebocoran cairan dari intravaskuler ke interstisial → pe
↑ volume cairan interstisial → edema → Postulat Kellie Monroe, kompensasi
tidak adekuat → pe ↑ TIK
Pada meningitis jarang ditemukan kejang, kecuali jika infeksi sudah menyebar
ke jaringan otak, dimana kejang ini terjadi bila ada kerusakan pada korteks
serebri pada bagian premotor.
b) Hidrosefalus pada meningitis terjadi karena mekanisme sebagai berikut :Inflamasi
local → scar tissue di daerah arahnoid ( vili ) → gangguan absorbsi CSF →
akumulasi CSF di dalam otak → hodrosefalus
c) Bila gejala yang muncul campuran kemungkinan mengalami Meningo-ensefalitis.
3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala meningitis secara umum:
1. Aktivitas / istirahat ;Malaise, aktivitas terbatas, ataksia, kelumpuhan, gerakan
involunter, kelemahan, hipotonia
2. Sirkulasi ;Riwayat endokarditis, abses otak, TD ↑, nadi ↓, tekanan nadi berat, takikardi
dan disritmia pada fase akut
3. Eliminasi ; Adanya inkontinensia atau retensi urin
4. Makanan / cairan ; Anorexia, kesulitan menelan, muntah, turgor kulit jelek, mukosa
kering
5. Higiene ; Tidak mampu merawat diri
6. Neurosensori ; Sakit kepala, parsetesia, kehilangan sensasi,
“Hiperalgesia”meningkatnya rasa nyeri, kejang, gangguan penglihatan, diplopia,
fotofobia, ketulian, halusinasi penciuman, kehilangan memori, sulit mengambil
keputusan, afasia, pupil anisokor, , hemiparese, hemiplegia, tanda”Brudzinski”positif,
3
rigiditas nukal, refleks babinski posistif, refkleks abdominal menurun, refleks
kremasterik hilang pada laki-laki
7. Nyeri / kenyamanan ; Sakit kepala hebat, kaku kuduk, nyeri gerakan okuler,
fotosensitivitas, nyeri tenggorokan, gelisah, mengaduh/mengeluh
8. Pernafasan ; Riwayat infeksi sinus atau paru, nafas ↑, letargi dan gelisah
9. Keamanan ; Riwayat mastoiditis, otitis media, sinusitis, infeksi pelvis, abdomen atau
kulit, pungsi lumbal, pembedahan, fraktur cranial, anemia sel sabit, imunisasi yang
baru berlangsung, campak, chiken pox, herpes simpleks. Demam, diaforesios,
menggigil, rash, gangguan sensasi.
10. Penyuluhan / pembelajaran ; Riwayat hipersensitif terhadap obat, penyakit kronis,
diabetes mellitus
Tanda dan gejala meningitis secara khusus:
1. Anak dan Remaja
Demam
Mengigil
Sakit kepala
Muntah
Perubahan pada sensorium
Kejang (seringkali merupakan tanda-tanda awal)
Peka rangsang
Agitasi
Dapat terjadi: Fotophobia (apabila cahaya diarahkan pada mata pasien (adanya
disfungsi pada saraf III, IV, dan VI)),Delirium, Halusinasi, perilaku agresi,
mengantuk, stupor, koma.
2. Bayi dan Anak Kecil
Gambaran klasik jarang terlihat pada anak-anak usia 3 bulan dan 2 tahun.
Demam
Muntah
Peka rangsang yang nyata
Sering kejang (sering kali disertai denagan menangis nada tinggi)
Fontanel menonjol.
4
3. Neonatus:
Tanda-tanda spesifik: Secara khusus sulit untuk didiagnosa serta manifestasi tidak
jelas dan spesifik tetapi mulai terlihat menyedihkan dan berperilaku buruk dalam
beberapa hari, seperti
- Menolak untuk makan.
- Kemampuan menghisap menurun.
- Muntah atau diare.
- Tonus buruk.
- Kurang gerakan.
- Menangis buruk.
- Leher biasanya lemas.
- Tanda-tanda non-spesifik:
- Hipothermia atau demam.
- Peka rangsang.
- Mengantuk.
- Kejang.
- Ketidakteraturan pernafasan atau apnea.
- Sianosis.
Penurunan berat badan.
4. Pathofisiologi
Otak dilapisi oleh tiga lapisan, yaitu: duramater, arachnoid, dan piamater. Cairan
otak dihasilkan di dalam pleksus choroid ventrikel bergerak/mengalir melalui sub
arachnoid dalam sistem ventrikuler dan seluruh otak dan sumsum tulang belakang,
direabsorbsi melalui villi arachnoid yang berstruktur seperti jari-jari di dalam lapisan
subarachnoid. Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang
di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan
penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme
akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar
sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran
ventrikel serebral. Cairan hidung (sekret hidung) atau sekret telinga yang disebabkan
oleh fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan meningitis karena hubungan langsung
antara cairan otak dengan lingkungan (dunia luar), mikroorganisme yang masuk dapat
berjalan ke cairan otak melalui ruangan subarachnoid. Adanya mikroorganisme yang
5
patologis merupakan penyebab peradangan pada piamater, arachnoid, cairan otak dan
ventrikel.
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti dengan
septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas.
Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri
dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema
serebral dan peningkatan TIK. Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian
atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur
bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui
nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat
saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong
perkembangan bakteri.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi
meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi
dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen)
sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang
disebabkan oleh meningokokus.
Selain dari adanya invasi bakteri, virus, jamur maupun protozoa, point d’entry
masuknya kuman juga bisa melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan abses otak yang
pecah, penyebab lainnya adalah adanya rinorrhea, otorrhea pada fraktur bais cranii yang
memungkinkan kontaknya CSF dengan lingkungan luar.
6
PATHWAY
Penyakit Campak
Cacar Air
Herpes
Bronchopneumonia
Virus/Bakteri masuk Jaringan Otak
Peradangan Di Otak
Edema Pembentukan
Transudat & Eksudat
Gangguan Perfusi Reaksi Kuman Iritasi Korteks Kerusakan Kerusakan
Jaringan Cerebral Patogen Cerebral Area Saraf IV Saraf IX
Fokal Seizure
Suhu Tubuh Resiko Trauma Sulit Sulit Nyeri Mengunyah Makan
Deficit Cairan Gangguan Pemenuhan Nutrisi
Kesadaran Hipovolemik
Stasis Cairan Tubuh Gangguan Mobilitas Fisik
Gangguan Persepsi Sensori
Penumpukan Sekret
Gangguan Bersihan Jalan Nafas
7
5. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan otak.
Analisa cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa Lumbal
Pungsi. Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa hitung jenis sel dan
protein.cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan TIK.
Lumbal punksi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanan tintra
kranial.
1. Meningitis bacterial: tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, leukosit dan protein
meningkat, glukosa menurun, kultur posistif terhadap beberapa jenis bakteri.
2. Meningitis virus : tekanan bervariasi, CSF jernih, leukositosis, glukosa dan protein
normal, kultur biasanya negative.
Kaku kuduk pada meningitis bisa ditemukan dengan melakukan pemeriksaan
fleksi pada kepala klien yang akan menimbulkan nyeri, disebabkan oleh adanya iritasi
meningeal khususnya pada nervus cranial ke XI, yaitu Asesoris yang mempersarafi otot
bagian belakang leher, sehingga akan menjadi hipersensitif dan terjadi rigiditas.
Sedangan pada pemeriksaan Kernigs sign (+) dan Brudzinsky sign (+)
menandakan bahwa infeksi atau iritasi sudah mencapai ke medulla spinalis bagian
bawah.
Pemeriksaan darah ini terutama jumlah sel darah merah yang biasanya meningkat
diatas nilai normal. Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk mengidentifikasi
adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi. Kadar glukosa darah
dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya kadar glukosa cairan otak
adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien meningitis kadar glukosa cairan
otaknya menurun dari nilai normal.
Glukosa serum: meningkat (meningitis) LDH serum: meningkat (meningitis
bakteri) Sel darah putih: sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi
bakteri) Elektrolit darah: Abnormal ESR/LED: meningkat pada meningitis MRI/CT-
scan: dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak ventrikel; hematom
daerah serebral, hemoragik atau tumor Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine: dapat
mengindikasikan daerah pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi.
Ronsen dada/kepala/ sinus: mungkin ada indikasi sumber infeksi intra kranial
Arteriografi karotis : Letak abses
8
6. Komplikasi
Komplikasi serta sequelle yang timbul biasanya berhubungan dengan proses
inflamasi pada meningen dan pembuluh darah cerebral (kejang, parese nervus
cranial,lesi cerebral fokal, hydrasefalus) serta disebabkan oleh infeksi meningococcus
pada organ tubuh lainnya (infeksi okular, arthritis, purpura, pericarditis, endocarditis,
myocarditis, orchitis, epididymitis, albuminuria atau hematuria, perdarahan adrenal).
DIC dapat terjadi sebagai komplikasi dari meningitis. Komplikasi dapat pula terjadi
karena infeksi pada saluran nafas bagian atas, telinga tengah dan paru-paru, Sequelle
biasanya disebabkan karena komplikasi dari nervous system.
7. Penatalaksanaan
Farmakologis
a. Obat anti inflamasi :
Meningitis tuberkulosa :
- Isoniazid 10 – 20 mg/kg/24 jam oral, 2 kali sehari maksimal 500 gram selama
1 ½ tahun.
- Rifamfisin 10 – 15 mg/kg/ 24 jam oral, 1 kali sehari selama 1 tahun.
- Streptomisin sulfat 20 – 40 mg/kg/24 jam sampai 1 minggu, 1 – 2 kali sehari,
selama 3 bulan.
Meningitis bacterial, umur < 2 bulan :
- Sefalosporin generasi ke 3
- ampisilina 150 – 200 mg (400 gr)/kg/24 jam IV, 4 – 6 kali sehari.
- Koloramfenikol 50 mg/kg/24 jam IV 4 kali sehari.
Meningitis bacterial, umur > 2 bulan :
- Ampisilina 150-200 mg (400 mg)/kg/24 jam IV 4-6 kali sehari.
- Sefalosforin generasi ke 3.
b. Pengobatan simtomatis :
Diazepam IV : 0.2 – 0.5 mg/kg/dosis, atau rectal 0.4 –
0.6/mg/kg/dosiskemudian klien dilanjutkan dengan.
Fenitoin 5 mg/kg/24 jam, 3 kali sehari.
Turunkan panas :
- Antipiretika : parasetamol atau salisilat 10 mg/kg/dosis.
- Kompres air PAM atau es
c. Pengobatan suportif :
Cairan intravena.
9
Zat asam, usahakan agar konsitrasi O2 berkisar antara 30 – 50%.
Perawatan
a) Pada waktu kejang
Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka.
Hisap lender
Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi.
Hindarkan penderita dari rodapaksa (misalnya jatuh).
b) Bila penderita tidak sadar lama.
Beri makanan melalui sonda.
Cegah dekubitus dan pnemunia ortostatik dengan merubah posisi
penderitasesering mungkin.
Cegah kekeringan kornea dengan boor water atau saleb antibiotika.
c) Pada inkontinensia urine lakukan katerisasi.
Pada inkontinensia alvi lakukan lavement.
d) Pemantauan ketat.
Tekanan darah
Respirasi
Nadi
Produksi air kemih
Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini adanya DC.
B. ENSEFALITIS
1. Definisi
Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh virus atau
mikro organisme lain yang non purulent.
Ensefalitis adalah peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi virus.
Terkadang ensefalitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti meningitis, atau
komplikasi dari penyakit lain seperti rabies (disebabkan oleh virus) atau sifilis
(disebabkan oleh bakteri). Penyakit parasit dan protozoa seperti toksoplasmosis, malaria,
atau primary amoebic meningoencephalitis, juga dapat menyebabkan ensefalitis pada
orang yang sistem kekebalan tubuhnya kurang. Kerusakan otak terjadi karena otak
terdorong terhadap tengkorak dan menyebabkan kematian.
10
2. Etiologi
a. Ensefalitis Supurativa
Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : staphylococcus aureus,
streptococcus, E.coli dan M.tuberculosa.
Patogenesis: Peradangan dapat menjalar ke jaringan otak dari otitis media,
mastoiditis, sinusitis, atau dari piema yang berasl dari radang, abses di dalam paru,
bronchiektasi, empiema, osteomeylitis cranium, fraktur terbuka, trauma yang
menembus ke dalam otak dan tromboflebitis. Reaksi dini jaringan otak terhadap
kuman yang bersarang adalah edema, kongesti yang disusul dengan pelunakan dan
pembentukan abses. Disekeliling daerah yang meradang berproliferasi jaringan ikat
dan astrosit yang membentuk kapsula. Bila kapsula pecah terbentuklah abses yang
masuk ventrikel. Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala
infeksi umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan intracranial yaitu : nyeri kepala
yang kronik dan progresif,muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun,
pada pemeriksaan mungkin terdapat edema papil.
b. Ensefalitis Siphylis
Patogenesis : Disebabkan oleh Treponema pallidum. Infeksi terjadi melalui
permukaan tubuh umumnya sewaktu kontak seksual. Setelah penetrasi melalui
epithelium yang terluka, kuman tiba di sistim limfatik, melalui kelenjar limfe kuman
diserap darah sehingga terjadi spiroketemia. Hal ini berlangsung beberapa waktu
hingga menginvasi susunansaraf pusat Treponema pallidum akan tersebar diseluruh
korteks serebri dan bagianbagian lain susunan saraf pusat.
c. Ensefalitis Virus
Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia :
1) Virus RNA
- Paramikso virus : virus parotitis, irus morbili
- Rabdovirus : virus rabies
- Togavirus : virus rubella flavivirus (virus ensefalitis Jepang B, virus dengue)
- Picornavirus : enterovirus (virus polio, coxsackie A,B,echovirus)
- Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoria
2) Virus DNA
- Herpes virus : herpes zoster-varisella, herpes simpleks, sitomegalivirus,
- virus Epstein-barr
- Poxvirus : variola, vaksinia
11
- Retrovirus : AIDS
3) Ensefalitis Karena Parasit
- Malaria serebral Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria
serebral.Gangguan utama terdapat didalam pembuluh darah mengenai parasit.
Sel darah merah yang terinfeksi plasmodium falsifarum akan melekat satu
sama lainnya sehingga menimbulkan penyumbatan-penyumbatan.
Hemorrhagic petechia dan nekrosis fokal yang tersebar secara difus ditemukan
pada selaput otak dan jaringan otak. Kelainan neurologik tergantung pada
lokasi kerusakan-kerusakan.
- Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan gejala-
gejala kecuali dalam keadaan dengan daya imunitas menurun. Didalam tubuh
manusia parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista terutama di otot dan
jaringan otak.
- Amebiasis
Amoeba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika
berenang di air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan
meningoencefalitis akut. Gejala-gejalanya adalah demam akut, nausea,
muntah, nyeri kepala, kaku kuduk dan kesadaran menurun.
- Sistiserkosis
Cysticercus cellulosae ialah stadium larva taenia. Larva menembus mukosa
dan masuk kedalam pembuluh darah, menyebar ke seluruh badan. Larva dapat
tumbuh menjadi sistiserkus, berbentuk kista di dalam ventrikel dan parenkim
otak. Bentuk rasemosanya tumbuh didalam meninges atau tersebar didalam
sisterna. Jaringan akan bereaksi dan membentuk kapsula disekitarnya.
Gejaja-gejala neurologik yang timbul tergantung pada lokasi kerusakan.
4) Ensefalitis Karena Fungus
Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : candida albicans,
Cryptococcus neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor
mycosis. Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat
ialah meningo-ensefalitis purulenta. Faktor yang memudahkan timbulnya
infeksi adalah daya imunitas yang menurun.
12
5) Riketsiosis Serebri
Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat
menyebabkan Ensefalitis. Di dalam dinding pembuluh darah timbul noduli yang
terdiri atas sebukan sel-sel mononuclear, yang terdapat pula disekitar pembuluh
darah di dalam jaringan otak. Didalam pembuluh darah yang terkena akan terjadi
trombosis. Gejala-gejalanya ialah nyeri kepala, demam, mula-mula sukar tidur,
kemudian mungkin kesadaran dapat menurun. Gejala-gejala neurologik
menunjukan lesi yang tersebar.
3. Manifestasi Klinis
Meskipun penyebabnya berbeda-beda, gejala klinis Ensefalitis lebih kurang sama
dan khas, sehingga dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis. Secara umum, gejala
berupa Trias Ensefalitis yang terdiri dari demam, kejang dan kesadaran menurun.
(Mansjoer, 2000). Adapun tanda dan gejala Ensefalitis sebagai berikut:
1. Suhu yang mendadak naik, seringkali ditemukan hiperpireksia
2. Kesadaran dengan cepat menurun
3. Muntah
4. Kejang-kejang, yang dapat bersifat umum, fokal atau twitching saja (kejang-kejang
di muka)
5. Gejala-gejala serebrum lain, yang dapat timbul sendiri-sendiri atau bersama-sama,
misal paresis atau paralisis, afasia, dan sebagainya (Hassan, 1997)
Inti dari sindrom Ensefalitis adalah adanya demam akut, dengan kombinasi tanda
dan gejala : kejang, delirium, bingung, stupor atau koma, aphasia, hemiparesis dengan
asimetri refleks tendon dan tanda Babinski, gerakan involunter, ataxia, nystagmus,
kelemahan otot-otot wajah.
4. Patofisiologi
Virus masuk tubuh pasien melalui kulit,saluran nafas dan saluran cerna.setelah
masuk ke dalam tubuh,virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa cara:
1. Setempat: virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau organ
tertentu.
2. Penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar ke
organ dan berkembang biak di organ tersebut.
3. Penyebaran melalui saraf-saraf: virus berkembang biak di permukaan selaput lendir
dan menyebar melalui sistem saraf.
13
5. Pemeriksaan Diagnostik
1. Biakan:
a) Dari darah viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga sukar untuk
mendapatkan hasil yang positif.
b) Dari likuor serebrospinalis atau jaringan otak (hasil nekropsi), akan didapat
gambaran jenis kuman dan sensitivitas terhadap antibiotika.
c) Dari feses, untuk jenis enterovirus sering didapat hasil yang positif
d) Dari swap hidung dan tenggorokan, didapat hasil kultur positif.
e) Pemeriksaan serologis : uji fiksasi komplemen, uji inhibisi hemaglutinasi dan
uji neutralisasi. Pada pemeriksaan serologis dapat diketahui reaksi antibodi
tubuh. IgM dapat dijumpai pada awal gejala penyakit timbul.
f) Pemeriksaan darah : terjadi peningkatan angka leukosit.
g) Punksi lumbal Likuor serebospinalis sering dalam batas normal, kadang-
kadang ditemukan sedikit peningkatan jumlah sel, kadar protein atau glukosa.
h) EEG/ Electroencephalography
EEG sering menunjukkan aktifitas listrik yang merendah sesuai dengan
kesadaran yang menurun. Adanya kejang, koma, tumor, infeksi sistem saraf,
bekuan darah, abses, jaringan parut otak, dapat menyebabkan aktivitas listrik
berbeda dari pola normal irama dan kecepatan.(Smeltzer, 2002)
i) CT scan
Pemeriksaan CT scan otak seringkali didapat hasil normal, tetapi bisa pula
didapat hasil edema diffuse, dan pada kasus khusus seperti Ensefalitis herpes
simplex, ada kerusakan selektif pada lobus inferomedial temporal dan lobus
frontal.
6. Komplikasi
Komplikasi jangka panjang dari ensefalitis berupa sekuele neurologikus yang
nampak pada 30 % anak dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala klinik,
dan penanganan selama perawatan.Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti
perkembangan penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi
adanya sekuele secara dini.Walaupun sebagian besar penderita mengalami perubahan
serius pada susunan saraf pusat (SSP), komplikasi yang berat tidak selalu
terjadi.Komplikasi pada SSP meliputi tuli saraf, kebutaan kortikal, hemiparesis,
quadriparesis, hipertonia muskulorum, ataksia, epilepsi, retardasi mental dan motorik,
gangguan belajar, hidrosefalus obstruktif, dan atrofi serebral.
14
7. Penatalaksanaan
Isolasi
Isolasi bertujuan untuk mengurangi stimuli/rangsangan dari luar dan sebagai tindakan
pencegahan.
Terapi antimikroba :
1. Ensefalitis supurativa
1. Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.
2. Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.
3. Ensefalitis syphilis
- Penisillin G 12-24 juta unit/hari dibagi 6 dosis selama 14 hari
- Penisillin prokain G 2,4 juta unit/hari intra muskulat + probenesid 4 x
500mg oral selama 14 hari.
Bila alergi penicillin :
1. Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari
2. Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari
3. Cloramfenicol 4 x 1 g intra vena selama 6 minggu
4. Seftriaxon 2 g intra vena/intra muscular selama 14 hari.
5. Ensefalitis virus
1. Pengobatan simptomatis:
- Analgetik dan antipiretik: Asam mefenamat 4 x 500 mg
- Anticonvulsi : Phenitoin 50 mg/ml intravena 2 x sehari.
2. Pengobatan antivirus diberikan pada ensefalitis virus dengan penyebab herpes
zoster-varicella:
- Asiclovir 10 mg/kgBB intra vena 3 x sehari selama 10 hari atau 200
mgperoral tiap 4 jam selama 10 hari.
6. Ensefalitis karena parasit
1. Malaria serebral
- Kinin 10 mg/KgBB dalam infuse selama 4 jam, setiap 8 jam hingga tampak
perbaikan.
2. Toxoplasmosis
- Sulfadiasin 100 mg/KgBB per oral selama 1 bulan
- Pirimetasin 1 mg/KgBB per oral selama 1 bulan
- Spiramisin 3 x 500 mg/hari
15
3. Amebiasis
- Rifampicin 8 mg/KgBB/hari.
7. Ensefalitis karena fungus
- Amfoterisin 0,1- 0,25 g/KgBB/hari intravena 2 hari sekali minimal 6 minggu
- Mikonazol 30 mg/KgBB intra vena selama 6 minggu.
8. Riketsiosis serebri
- Cloramphenicol 4 x 1 g intra vena selama 10 hari
- Tetrasiklin 4x 500 mg per oral selama 10 hari.
Mengurangi meningkatnya tekanan intracranial, management edema otak :
a) Mempertahankan hidrasi, monitor balance cairan : jenis dan jumlah cairan yang
diberikan tergantung keadaan anak.
b) Glukosa 20%, 10ml intravena beberapa kali sehari disuntikkan.
c) Kortikosteroid intramuscular atau intravena dapat juga digunakan untuk
menghilangkan edema otak
8. Perbedaan Ensefalitis dengan Meningitis
Encephalitis Meningitis
Kesadaran ↓ Kesadaran relatif masih baik
Demam ↓ Demam ↑
Lokasi terinfeksi di jaringan otak Lokasi terinfeksi di selaput otak
Banyak disebabkan virus Banyak disebabkan bakteri
16
ASUHAN KEPERAWATAN
MENINGITIS DAN ESEFALITIS
I. PENGKAJIAN
1. Identitas
Meningoensefalitis dapat terjadi pada semua kelompok umur.
2. Keluhan utama
Panas badan meningkat, kejang, kesadaran menurun.
3. Riwayat penyakit sekarang
Mula-mula anak rewel ,gelisah ,muntah-muntah ,panas badan meningkat
kurang lebih 1-4 hari , sakit kepala.
4. Riwayat penyakit dahulu
Klien sebelumnya menderita batuk , pilek kurang lebih 1-4 hari, pernah
menderita penyakit Herpes, penyakit infeksi pada hidung,telinga dan
tenggorokan.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga ada yang menderita penyakit yang disebabkan oleh virus contoh :
Herpes dll. Bakteri contoh : Staphylococcus Aureus,Streptococcus , E , Coli,
dll.
6. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
anak
a. Faktor Keturunan ; yaitu faktor gen yang diturunkan dari kedua
orang tuanya.
b. Faktor Hormonal ; banyak hormon yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak, namun yang paling berperan
adalah Growth Hormon (GH).
c. Faktor Gizi ; Setiap sel memerlukan makanan atau gizi yang baik.
Untuk mencapai tumbuh kembang yang baik dibutuhkan gizi yang baik.
d. Faktor Lingkungan; Terdiri dari lingkungan fisik, lingkungan biologi dan
lingkungan psikososial.
17
Teori kepribadian anak menurut Sigmund Freud meliputi tahap
a.Fase oral, usia antara 0 - 11/2 Tahun
b.Fase anal, usia antara 11/2 - 3 Tahun
c.Fase Falik, usia antara 3 - 5 Tahun
d.Fase Laten, usia antara 5 - 12 Tahun
e.Fase Genital, usia antara 12 - 18 Tahun
Tahap-tahap perkembangan anak menurut Erik Erikson !
a.Bayi (oral) usia 0 - 1 Tahun
b.Usia bermain (Anak ) yakni 1 - 3 Tahun
c.Usia prasekolah (Phallic) yakni 3 - 6 Tahun
d.Usia sekolah (latent) yakni 6 - 12 tahun
e.Remaja (Genital) yakni 12 tahun lebih
f. Remaja akhir dan dewasa muda
g.Dewasa
h.Dewasa akhir
Erikson mengemukakan bahwa dalam tahap-tahap perkembangan manusia
mengalami 8 fase yang saling terkait dan berkesinambungan.
TUGAS PERKEMBANAGAN
BILA TUGAS
PERMKEMBANGAN
TIDAK TERCAPAI
Bayi (0 - 1 tahun)
Rasa percaya mencapai harapan,
Dapat menghadapi frustrasi dalam jumlah kecil
Mengenal ibu sebagai orang lain dan berbeda dari
diri sendiri.
Tidak percaya
Usia bermain (1 - 3 Tahun)
Perasaan otonomi.
Mencapai keinginan
Memulai kekuatan baru
Menerima kenyataan dan prinsip kesetiaan
Malu dan ragu-ragu
Usia pra sekolah ( 3 - 6 Tahun) Rasa bersalah.
18
Perasaan inisiatif mencapai tujuan
Menyatakan diri sendiri dan lingkungan
Membedakan jenis kelamin.
Usia sekolah ( 6 - 12 Tahun)
Perasaan berprestasi
Dapat menerima dan melaksanakan tugas dari
orang tua dan guru
Rasa rendah diri
Remaja ( 12 tahun lebih)
Rasa identitas
Mencapai kesetiaan yang menuju pada
pemahaman heteroseksual.
Memilih pekerjaan
Mencapai keutuhan kepribadian
Difusi identitas
Remaja akhir dan dewasa muda
Rasa keintiman dan solidaritas
Memperoleh cinta.
Mampu berbuat hubungan dengan lawan jenis.
Belajar menjadi kreatif dan produktif.
Isolasi
Dewasa
Perasaan keturunan
Memperoleh perhatian.
Belajar keterampilan efektif dalam
berkomunikasi dan merawat anak
Menggantungkan minat aktifitas pada keturunan
Absorpsi diri dan
stagnasi
Dewasa akhir
Perasaan integritas
Mencapai kebijaksanaan
keputusasaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak
19
a. Faktor keturunan (genetik)
Seperti kita ketahui bahwa warna kulit, bentuk tubuh dan lain-lain
tersimpan dalam gen. Gen terdapat dalak kromosom, yang dimiliki oleh
setiap manusia dalam setiap selnya. Baik sperma maupun ovum masing
masing mempunyai 23 pasang kromosom. Jika ovum dan sperma
bergabung akan terbentuk 46 pasang kromosom, yang kemudian akan
terus smembelah untuk memperbanyak diri sampai akhirnya terbentuk
janin, bayi. Setiap kromosom mengandung gen yang mempunyai sifat
diturunkan pada anak dari keluarga yang memiliki abnormalitas tersebut.
b. Faktor Hormonal
Kelenjar petuitari anterior mengeluarkan hormon pertumbuhan (Growth
Hormone, GH) yang merangsang pertumbuhan epifise dari pusat tulang
panjang. Tanpa GH anak akan tumbuh dengan lambat dan kematangan
seksualnya terhambat. Pada keadaan hipopetuitarisme terjadi gejala-gejala
anak tumbuh pendek, alat genitalia kecil dan hipoglikemi. Hal sebaliknya
terjadi pada hiperfungsi petuitari, kelainan yang ditimbulkan adalah
akromegali yang diakibatkan oleh hipersekresi GH dan pertumbuhan
linear serta gigantisme bila terjadi sebelum pubertas. Hormon lain yang
juga mempengaruhi pertumbuhan adalah hormon-hormon dari kelenjar
tiroid dan lainya.
c. Faktor Gizi.
Proses tumbuh kembang anak berlangsung pada berbagai tingkatan sel,
organ dan tumbuh dengan penambahan jumlah sel, kematangan sel, dan
pembesaran ukuran sel. Selanjutnya setiap organ dan bagian tubuh
lainnya mengikuti pola tumbuh kembang masing-masing. Dengan adanya
tingkatan tumbuh kembang tadi akan terdapat rawan gizi. Dengan kata
lain untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal dibutuhkan gizi yang
baik.
d. Faktor Lingkungan
Lingkungan fisik; termasuk sinar matahari, udara segar, sanitas, polusi,
iklim dan teknologi
Lingkungan biologis; termasuk didalamnya hewan dan tumbuhan.
20
Lingkungan sehat lainnya adalah rumah yang memenuhi syarat
kesehatan.
Lingkungan psikososial; termasuk latar belakang keluarga, hubungan
keluarga.
e. Faktor sosial budaya
Faktor ekonomi, sangat memepengaruhi keadaan sosial keluarga.
Faktor politik serta keamanan dan pertahanan; keadaan politik dan
keamanan suatu negara juga sangat berpengaruh dalam tumbuh
kembang seorang anak.
Teori Kepribadian Menurut Sigmund Freud
Kepribadian ialah hasil perpaduan antara pengaruh lingkungan dan bawaan,
kualitas total prilaku individu yang tampak dalam menyesuaikan diri secara
unit dengan lingkungannya.
Teori kpribadian yang dikemukakan oleh ahli psikoanlisa Sigmund freud
(1856 - 1939). Meliputi tahap-tahap :
a.Fase oral, usia antara 0 - 11/2 Tahun
b.Fase anal, usia antara 11/2 - 3 Tahun
c.Fase Falik, usia antara 3 - 5 Tahun
d.Fase Laten, usia antara 5 - 12 Tahun
e.Fase Genital, usia antara 12 - 18 Tahun
7. Imunisasi
Kapan terakhir diberi imunisasi DPT
Karena ensefalitis dapat terjadi post imunisasi pertusis.
- Pertumbuhan dan Perkembangan
POLA-POLA FUNGSI KESEHATAN
A. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
a. Kebiasaan
sumber air yang dipergunakan dari PAM atau sumur ,kebiasaan buang air besar
di WC,lingkungan penduduk yang berdesakan (daerah kumuh)
b. Status Ekonomi
21
Biasanya menyerang klien dengan status ekonomi rendah.
B. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pemenuhan Nutrisi
Biasanya klien dengan gizi kurang asupan makanan dan cairan dalam jumlah kurang
dari kebutuhan tubuh,Pada pasien dengan Ensefalitis biasanya ditandai dengan adanya
mual, muntah, kepalah pusing, kelelahan.
Status Gizi yang berhubungan dengan keadaan tubuh.
Postur tubuh biasanya kurus ,rambut merah karena kekurangan vitamin A, berat badan
kurang dari normal.
Menurut rumus dari BEHARMAN tahun 1992, umur 1 sampai 6 tahun
Umur (dalam tahun) x 2 + 8
TB menurut BEHARMAN umur 4 sampai 2 x TB Lahir
Perkembangan badan biasanya kurang karena asupan makanan yang bergizi kurang.
Pengetahuan tentang nutrisi biasanya pada orang tua anak yang kurang pengetahuan
tentang nutrisi, yang dikatakan gizi kurang bila berat badan kurang dari 70% berat
badan normal.
C. Pola Eliminasi
Kebiasaan Defekasi sehari-hari
Biasanya pada pasien ensefalitis karena pasien tidak dapat melakukan mobilisasi
maka dapat terjadi obstipasi.
Kebiasaan Miksi sehari-hari
Biasanya pada pasien Ensefalitis kebiasaan mictie normal frekuensi normal.
Jika kebutuhan cairan terpenuhi.
Jika terjadi gangguan kebutuhan cairan maka produksi irine akan menurun,
konsentrasi urine pekat.
D. Pola tidur dan istirahat
Biasanya pola tidur dan istirahat pada pasien Ensefalitis biasanya tidak dapat
dievaluasi karena pasien sering mengalami apatis sampai koma.
22
E. Pola Aktivitas
a. Aktivitas sehari-hari : klien biasanya terjadi gangguan karena bx Ensefalitis
dengan gizi buruk mengalami kelemahan.
b. Kebutuhan gerak dan latihan : bila terjadi kelemahan maka latihan gerak dilakukan
latihan positif. Upaya pergerakan sendi : bila terjadi atropi otot pada px gizi buruk
maka dilakukan latihan pasif sesuai ROM, Kekuatan otot berkurang karena px
Ensefalitis dengan gizi buruk. Kesulitan yang dihadapi bila terjadi komplikasi ke
jantung ,ginjal ,mudah terkena infeksi yang berat, aktifitas togosit turun ,Hb
turun ,punurunan kadar albumin serum, gangguan pertumbuhan.
F. Pola Hubungan Dengan Peran
Interaksi dengan keluarga / orang lain biasanya pada klien dengan Ensefalitis kurang
karena kesadaran klien menurun mulai dari apatis sampai koma.
G. Pola Persepsi dan pola diri
Pada klien Ensenfalitis umur > 4 ,pada persepsi dan konsep diri yang meliputi Body
Image ,self Esteem ,identitas deffusion deper somalisasi belum bisa menunjukkan
perubahan.
H. Pola sensori dan kuanitif
a. Sensori
- Daya penciuman
- Daya rasa
- Daya raba
- Daya penglihatan
- Daya pendengaran.
b. Kognitif
I. Pola Reproduksi Seksual
Bila anak laki-laki apakah testis sudah turun ,fimosis tidak ada.
J. Pola penanggulangan Stress
Pada pasien Ensefalitis karena terjadi gangguan kesadaran :
- Stress fisiologi biasanya anak hanya dapat mengeluarkan air mata saja ,tidak
bisa menangis dengan keras (rewel) karena terjadi afasia.
- Stress Psikologi tidak di evaluasi.
23
K. Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Anak umur 3-4 tahun belum bisa dikaji
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING TERJADI
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan daya tahan terhadap infeksi turun.
2. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan Hepofalemia,
anemia.
3. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan aktivitas kejang umum.
4. Nyeri berhubungan dengan adanya proses infeksi yang ditandai dengan anak
menangis, gelisah.
5. Gangguan mobilitas berhubungan dengan penurunan kekuatan otot yang ditandai
dengan ROM terbatas.
6. Gangguan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual
muntah.
7. Gangguan sensorik motorik (penglihatan, pendengaran, gaya bicara) berhubungan
dengan kerusakan susunan saraf pusat.
8. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan sakit kepala mual.
9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan daya pertahanan tubuh
terhadap infeksi turun.
10. Resiko terjadi kontraktur berhubungan dengan spastik berulang.
III. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan :
Pasien kembali pada keadaan status neurologis sebelum sakit
Meningkatnya kesadaran pasien dan fungsi sensoris
Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital dalam batas normal
Rasa sakit kepala berkurang
Kesadaran meningkat
Adanya peningkatan kognitif dan tidak ada atau hilangnya tanda-tanda tekanan
intrakranial yang meningkat
Rencana Tindakan :
INTERVENSIRASIONAL
Pasien bed rest total dengan posisi tidur Perubahan pada tekanan intakranial
24
terlentang tanpa bantal akan dapat meyebabkan resiko untuk terjadinya herniasi otak
Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjt
Monitor tanda-tanda vital seperti TD, Nadi, Suhu, Respirasi dan hati-hati pada hipertensi sistolik
Pada keadaan normal autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik berubah secara fluktuatif. Kegagalan autoregulasi akan menyebabkan kerusakan vaskuler cerebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan tekanan diastolik. Sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan perjalanan infeksi.
Monitor intake dan output Hipertermi dapat menyebabkan peningkatan IWL dan meningkatkan resiko dehidrasi terutama pada pasien yang tidak sadar serta nausea yang menurunkan intake per oral
Bantu pasien untuk membatasi muntah, batuk. Anjurkan pasien untuk mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur.
Aktifitas muntah atau batuk dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan intraabdomen. Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau merubah posisi dapat melindungi diri dari efek valsava
Kolaborasi :
Berikan cairan perinfus dengan perhatian ketat.
Meminimalkan fluktuasi pada beban vaskuler dan tekanan intrakranial, vetriksi cairan dan cairan dapat menurunkan edema cerebral
Monitor AGD bila diperlukan pemberian oksigen
Adanya kemungkinan asidosis disertai dengan pelepasan oksigen pada tingkat sel dapat menyebabkan terjadinya iskhemik serebral
Berikan terapi sesuai advis dokter seperti: Steroid, Aminofel, Antibiotika.
Terapi yang diberikan dapat menurunkan permeabilitas kapiler.
Menurunkan edema serebri
Menurunkan metabolik sel / konsumsi dan kejang.
2. Nyeri berhubungan dengan adanya iritasi lapisan otak
Tujuan :
Pasien terlihat rasa sakitnya berkurang / rasa sakit terkontrol
25
Kriteria evaluasi :
Pasien dapat tidur dengan tenang
Memverbalisasikan penurunan rasa sakit.
Rencana Tindakan :
INTERVENSI RASIONAL
Independent
Usahakan membuat lingkungan yang aman dan tenang
Menurunkan reaksi terhadap rangsangan ekternal atau kesensitifan terhadap cahaya dan menganjurkan pasien untuk beristirahat
Kompres dingin (es) pada kepala dan kain dingin pada mata
Dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak
Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut dan hati-hati
Dapat membantu relaksasi otot-otot yang tegang dan dapat menurunkan rasa sakit / disconfort
Kolaborasi :
Berikan obat analgesik
Mungkin diperlukan untuk menurunkan rasa sakit. Catatan : Narkotika merupakan kontraindikasi karena berdampak pada status neurologis sehingga sukar untuk dikaji.
3. Resiko injuri berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan
penurunan tingkat kesadaran
Tujuan:
Pasien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran
Kriteria Hasil :
Tidak mengalami kejang / penyerta cedera lain
Rencana Tindakan :
INTERVENSI RASIONAL
26
Independent :
Monitor kejang pada tangan, kaki, mulut dan otot-otot muka lainnya
Gambaran tribalitas sistem saraf pusat memerlukan evaluasi yang sesuai dengan intervensi yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Persiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat pasien.
Melindungi pasien bila kejang terjadi
Pertahankan bedrest total selama fae akut
Mengurangi resiko jatuh / terluka jika vertigo, sincope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi :
Berikan terapi sesuai advis dokter seperti; diazepam, phenobarbital, dll.
Untuk mencegah atau mengurangi kejang.
Catatan : Phenobarbital dapat menyebabkan respiratorius depresi dan sedasi.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskulaer, penurunan
kekuatan otot, penurunan kesadaran, kerusakan persepsi/kognitif
Tujuan :
Tidak terjadi kontraktur, footdrop, gangguan integritas kulit, fungsi bowell dan
bladder optimal serta peningkatan kemampuan fisik
Tindakan :
Intervensi Rasional
Independen :
Review kemampuan fisik dan kerusakan yang terjadi
Mengidentifikasi kersakan fungsi dan menentukan pilihan intervensi
Kaji tingkat imobilisasi, gunakan skala ketergantungan dari 0 - 4
Kemungkinan tingkat ketergantungan (0) hanya memerlukan bantuan minimal (1)Memerlukan bantuan moderate (3) Memerlukan bantuan komplit dari perawat (4)Klien yang memerlukan pengawasan khusus karena resiko injury yang tinggi
Berikan perubahan posisi yang teratur pada klien
Perubahan posisi teratur dapat mendistribusikan berat badan secara meneyluruh dan memfasilitasi peredaran
27
darah serta mencegah dekubitus
Pertahankan body aligment adekuat, berikan latihan ROM pasif jika klien sudah bebas panas dan kejang
Mencegah terjadinya kontraktur atau foot drop serta dapat mempercepat pengembalian fungsi tubuh nantinya
Berikan perawatan kulit secara adekuat, lakukan masasse, ganti pakaian klien dengan bahan linen dan pertahankan tempat tidur dalam keadaan kering
Memfasilitasi sirkulais dan mencegah gangguan integritas kulit
Berikan perawatan mata, bersihkan mata dan tutup dengan kapas yang basah sesekali
Melindungi mata dari kerusakan akibat terbukanya mata terus menerus
Kaji adanya nyeri, kemerahan, bengkak pada area kulit
Indikasi adanya kerusakan kulit
5. Kerusakan sensori persepsi berhubungan dengan kerusakan penerima rangsang
sensori, transmisi sensori dan integrasi sensori
Tujuan :
Kesadaran klien dan persepsi sensori membaik
Tindakan :
Intervensi Rasional
Evaluasi secara teratur perubahan orientasi klien, kemampuan bicara, keadaan emosi serta proses berpikir klien.
Kerusakan area otak akan menyebabkan klien mengalami gangguan persepsi sensori. Sejalan dengan proses peneymbuhan, lesi area otak akan mulai membaik sehingga perlu dievaluasi kemajuan klien
Kaji kemampuan menterjemahkan rangsang sensori misalnya : respon terhadap sentuhan, panas atau dingin, serta kesadaran terhadap pergerakan tubuh.
Informasi tersebut penting untuk menentukan tindak lanjut bagi klien
Batasi suara-suara bising serta pertahankan lingkungan yang tenang
Menurunkan kecemasan, dan mencegah kebingungan pada klien akibat rangsang sensori berlebihan
Tetap bicara dengan klien dengan suara yang tenang, gunakan kata-kata yang sederhana dan singkat serta pertahankan kontak mata
Rangsang sensori tetap diberikan pada klien walaupun dalam keadaan tidak sadar untuk memacu kemampuan sensori persepsi klien
28
Kolaborasi :
Rujuk ke ahli fisioterapi atau okupasi
Untuk dapat memberikan penanganan menyeluruh pada klien
6. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik
Tujuan :
Nutrisi klien terpenuhi dengan kriteria tidak adanya tanda malnutrisi dengan nilai
laboratorium dalam batas normal
Kriteria hasil :
a. Berat badan naik,LILA bertambah
b. Turgor baik
c. Conjungtifa merah mudah
d. Hb bertambah
Tindakan :
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan klien dalam menelan, batuk dan adanya sekret
Faktor-faktor tersebut menentukan kemampuan menelan klien dan klien harus dilindungi dari resiko aspirasi
Auskultasi bowel sounds, amati penurunan atau hiperaktivitas suara bpowell
Fungsi gastro intestinal tergantung pula pada kerusakan otak, bowelll sounds menentukan respon feeding atau terjadinya komplikasi misalnya illeus
Timbang berat badan sesuai indikasi Untuk megevaluasi efektifitas dari asupan makanan
Berikan makanan dengan cara meninggikan kepala
Menurunkan resiko regurgitasi atau aspirasi
Pertahankan lingkungan yang tenang dan anjurkan keluarga atau orang terdekat untuk memberikan makanan pada klien
Membuat klien merasa aman sehingga asupan dapat dipertahankan
7. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan daya tahan tubuh terhadap infeksi turun
Tujuan:
29
- tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil:
- Masa penyembuhan tepat waktu tanpa bukti penyebaran infeksi endogen
Intervensi
1) Pertahanan teknik aseptic dan teknik cuci tangan yang tepat baik petugas
atau pengunmjung. Pantau dan batasi pengunjung.
R/. menurunkan resiko px terkena infeksi sekunder . mengontrol penyebaran
Sumber infeksi, mencegah pemajaran pada individu yang mengalami
nfeksi saluran nafas atas.
2) Abs. suhu secara teratur dan tanda-tanda klinis dari infeksi.
R/. Deteksi dini tanda-tanda infeksi merupakan indikasi perkembangan
Meningkosamia .
3) Berikan antibiotika sesuai indikasi
R/. Obat yang dipilih tergantung tipe infeksi dan sensitivitas individu.
8. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan aktivitas kejang umum
Tujuan :
- Tidak terjadi trauma
Kriteria hasil :
- Tidak mengalami kejang / penyerta cedera lain
Intervensi :
1. Berikan pengamanan pada pasien dengan memberi bantalan,penghalang
tempat tidur tetapn terpasang dan berikan pengganjal pada mulut, jalan nafas
tetap bebas.
R/. Melindungi px jika terjadi kejang , pengganjal mulut agak lidah tidak
tergigit.
Catatan: memasukkan pengganjal mulut hanya saat mulut relaksasi.
2. Pertahankan tirah baring dalam fase akut.
R/. Menurunkan resiko terjatuh / trauma saat terjadi vertigo.
3. Kolaborasi.
Berikan obat sesuai indikasi seperti delantin, valum dsb.
30
R/. Merupakan indikasi untuk penanganan dan pencegahan kejang.
4. Abservasi tanda-tanda vital
R/. Deteksi diri terjadi kejang agak dapat dilakukan tindakan lanjutan
9. Resiko terjadi kontraktur berhubungan dengan kejang spastik berulang
Tujuan :
- Tidak terjadi kontraktur
Ktiteria hasil :
- Tidak terjadi kekakuan sendi
- Dapat menggerakkan anggota tubuh
Intervensi
1. Berikan penjelasan pada ibu klien tentang penyebab terjadinya spastik ,
terjadi kekacauan sendi.
R/ Dengan diberi penjelasan diharapkan keluarga mengerti dan mau
membantu program perawatan .
2. Lakukan latihan pasif mulai ujung ruas jari secara bertahap
R/ Melatih melemaskan otot-otot, mencegah kontraktor.
3. Lakukan perubahan posisi setiap 2 jam
R/ Dengan melakukan perubahan posisi diharapkan peR/usi ke jaringan
lancar, meningkatkan daya pertahanan tubuh .
4. Observasi gejala kaerdinal setiap 3 jam
R/ Dengan melakukan observasi dapat melakukan deteksi dini bila ada
kelainan dapat dilakukan inteR/ensi segera
5. Kolaborasi untuk pemberian pengobatan spastik dilantin / valium sesuai
Indikasi
R/ Diberi dilantin / valium ,bila terjadi kejang spastik ulang
LAPAORAN PENDAHULUAN
STATUS EPILEPTIKUS
31
A. Definisi
Epilepsi adalah manifestasi klinik dari bangkitan seizure(stereotipik), berlangsung
secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh
hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit
otak akut.
Menurut WHO (Chadwick, 1991) epilepsi adalah suatu kelainan otak kronik dengan
berbagai macam penyabab yang ditandai serangan kejang berulang yang disebabkan oleh
bangkitan neuron otak yang berlebihan, dimana gambaran klinisnya dapat berupa kejang,
perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran tergantung lokasi kelainan di
otak.http://kuliahitukeren.blogspot.com/
Status Epileptikus (SE) didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau
lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang, atau serangan
yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih. Serangan yang berlangsung
terus menerus lebih dari 5 menit atau yang kesadarannya belum pulih setelah 5 menit
harus dipertimbangkan sebagai SE.
B. Klasifikasi
a Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Againts Epilepsy (ILAE)
terdiri dari dua jenis klasifikasi yaitu:
1) Bangkitan Parsial
Bangkitan Parsial sederhana
Motorik
Sensorik
Otonom
Psikis
2) Bangkitan Parsial kompleks
Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
Parsial sederhana yang menjadi umum tonik klonik
Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi umum tonik klonik
4) Bangkitan Umum
32
Lena (absence)
Mioklonik
Tonik
Tonik-klonik
Atonik
5) Tak tergolongkan
Klasifikasi status epileptikus
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena
penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya
status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan – area tertentu dari
korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori
utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-
konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus.
Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum
(tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial
(sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum
(overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial
kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap
kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa,
hanya dewasa).
C. Etiologi
Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
1. Idiopatik :penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisigenetik
2. Kriptogenik: Dianggap simptomatik tatapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik, gambaran klinik
sesuai dengan ensefalopati difusi
3. Simptomatik: Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat misalnya trauma
kepala, infeksi susunan saraf (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neuro degenerative.
Faktor pencetus Status Epileptikus
Penderita Epilepsi tanpa pengobatan atau dosis pengobatan yang tidak memadai
33
Pengobatan yang tiba-tiba dihentikan atau gangguan penyerapan GIT
Keadaan umum yang tidak menurun sebagai akibat kurang tidur, stres psikis, atau
stres fisik.
Pengunaan atau Withdrawal alkohol, drug abuse, atau obat-obat anti depresi
D. Patofisiologi
Sel saraf diootak berkomunikasi melalui transmisi listrik dan kimia. Ada
keseimbangan yang teratur antara faktor yang menyebabkan eksistasi dan inhibisi
aktifitas listrik otak.
Untuk dapat mempresentasikan sinyal listrik diotak menjadi perilaku, banyak sel
saraf yang terlibat. Dalam kebanyakan kasus kejang, sejumlah kecil kumpulan sel saraf
yang abnormal menyebabkan perubahan pada sel didekatnya atau pada sel yang memilik
hubungan erat dengannya. Pada kejang, sejumlah besar kumpulan sel saraf tereksitasi
bersamaan (hipersinkroni), sehingga menyebabkan aktfitas tubuh berlebihan.
Penyebab kelainan yang utama adalah hilangnya sel saraf yang menginhibisi sel
eksitasi dan membatasi penyebaran listrik otak atau mungkin dikarenakan produksi
berlebihan rangsangan kimia otak yang menyebabkan sel mengeluarkan sinyal listrik
yang abnormal. Neurotransmitter eksitasi juga dilepasakan berlebihan dan mengganggu
bendungan listrik sel saraf yang normalnya membatasi penyebaran sinyal listrik yang
abnormal. Diantara neurotansmitter-neurotarsmitter eksitasi dapat disebut glutamate,
aspartat, norepinefrin, dan asetilkolin, sedangkan nerutransmitter inhibisi yang terkenal
ialah gamma amino butyric acid (GABA).
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase.
Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan
cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah,
peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang
diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit,
ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan
darah , pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap
ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia
(suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang
irreversibel.
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat,
ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan
34
ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi
kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks
serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus
mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf
maksimal dalam zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan
melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan
meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan
masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.
E. Gambaran klinik
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic)
merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei
ditemukan kira-kira 44-74%, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
a) Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik
umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada
status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum
tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien
menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya
takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang.
Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan
pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali
pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
b) Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
35
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
c) Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan
merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.
d) Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus
adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat
kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat
dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik,
infeksi atau kondisi degeneratif.
e) Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas
atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai
suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai
“slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama.
Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak.
Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada
semua tempat. Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.
f) Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-
konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional,
cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi
psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan
generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari
status absens.
g) Status Epileptikus Parsial Sederhana
36
1. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-
jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin
menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi
tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada
hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses
destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai
dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
2. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala
sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
h) Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang
cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme,
gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG
terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi
bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens
dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks
dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus
F. Penatalaksanaan Status Epileptikus
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk
pasien sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental
yang dimiliki pasien. Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya,
yaitu menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping atau
dengan efek samping yang ringan, serta menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Pertolongan pertama pada saat kejang
Bantulah pasien berbaring, jauhkanlah dari sesuatu yang keras dan tajam seperti sudut
meja
Gulingkan pasien sehingga kepala menghadap ketanah agar air ludah tidak masuk ke
jalan nafas dan mencegah lidah menutup jalan nafas
Longgrkan baju, lepaskan kaca mata tetapi kontak lens biarkan saja
37
Jangan berusaha memasukkan apapun kedalam mulut pasien, lidah tak dapat
berfungsi untuk menrlan sehingga akan menyebabkan tersedak
Sesudah kejang berhenti, sebaiknya jangan menahan (restrain) pasien, hal ini akan
mengakibatkan perlawanan atau agitasi pasien.
Hindari pemberian obat oral, minuman atau makanan sebelum pasien pulih 100%
kesadarannya.
G. Obat-obat untu status epileptikus
Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin.
Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam
(Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi
dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan
kompleks Reseptor-Barbiturat.
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien
yang mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel
di bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil
menghentikan kejang sebanyak 65 persen.
Nama obat Dosis (mg/kg) Persentase
1. Lorazepam 0,1 65 %
2. Phenobarbitone 15 59 %
3. Diazepam + Fenitoin 0.15 + 18 56 %
4. Fenitoin 18 44 %
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan
Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut
dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis
awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula
kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam
adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan
Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak
lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang
berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin
parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus
38
menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal
iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan
untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan
terbentuknya mikrokristal
OBAT CARA PEMBERIAN
DOSIS DEWASA DOSIS ANAK
Diazepam
Lorazepam
Midazolam
Phenobarbital
Phenytoin
· IV bolus· Rektal· IV infus
· IV bolus
· IM/Rektal· IV bolus· IV infus· Buccal
· IV bolus
· IV bolus/infus
10-20 mg at 2-5 mg/min10-30 mg8 mg/jam
4 mg
5-10 mg0,1-0,3 mg/kg at<4 mg/jam0,05-0,4mg/kg/jam10 mg
10 mg/kgBB kecepatan <100 mg/min
15-18mg/kg kecepatan <50 mg/kg/min
0,25-0,5 mg/kgBB2-5 mg/kgBB0,5-0,75 mg/jam
0,1 mg/kg
0,15-0,3 mg/kg
10 mg
15-20 mg/kg kecepatan <100 mg/min
20 mg/kg kecepatan <25 mg/min
39
Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Data Subyektif, antara lain :
1) Keluhan Utama
Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat
pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara
tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh
anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga
mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila
diajak bicara.
2) Riwayat kesehatan.
Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-spiritual.
Kapan klien mulai serangan, pada usia berapa. Frekuensi serangan, ada faktor
presipitasi seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil. Apakah
pernah menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran, kejang, cedera
otak operasi otak, Apakah klien terbiasa menggunakan obat-obat penenang atau
obat terlarang, atau mengkonsumsi alkohol. Klien mengalami gangguan
interaksi dengan orang lain / keluarga karena malu,merasa rendah diri, ketidak
berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu waspada/berhati-hati dalam
hubungan dengan orang lain.
3) Riwayat kesehatan keluarga.
Dimaksudkan untuk mendapatkan informasi kemungkinan masalah
yang sama pada keluarga.
4) Klien dapat mengeluhkan kelemahan/lelah dan kurang mampu melakukan
aktivitas sehari-hari.
b. Data Objektif, antara lain:
Dari pemeriksaan fisik didapat penurunan kekuatan otot. Data pada saat
serangan dijumpai:
1) Perubahan pada tanda-tanda vital berupa peningkatan tekanan darah, denyut
nadi meningkat dan sianosis.
2) Inkontinensia urin dan fekal.
3) Perlukaan pada gusi dan lidah.
40
4) Ada riwayat nyeri, kehilangan kesadaran/pingsan, kehilangan kesadaran sesaat
klien menangis, jatuh kelantai, disertai komponen motorik seperti kejang tonik
klonik.
5) Mioklonik.
tonik, klonik, atonik. Klien menggigit lidah. mulut berbuih, ada inkontinensia
urin dan fekal, bibir dan muka cianosis, mata dan kepala bergerak memutar-
mutar pada satu posisi atau keduanya.
c. Data setelah Serangan:
1) Setelah serangan tanda-tanda vital mungkin berubah.
2) Klien mengalami lethargi, bingung, otot sakit, gangguan bicara, nyeri
kepala.
3) Perubahan dalam gerakan misalnya hemiplegi/hemiparese sementara.
4) Klien lupa atau sedikit ingat terhadap kejadian yang menimpa dirinya.
5) Terjadi perubahan kesadaran/tidak, pernafasan, denyut jantung.
6) Ada perlukaan/cedera.
7) Gusi mengalami hiperplasi karena efek samping penggunaan Dilantin.
Deskripsi spesifik dari kejang harus mencakup beberapa data penting
meliputi:
1) Awitan yakni serangan itu mendadak atau didahului oleh prodormal dan
fase aura.
2) Durasi kejang berapa lama dan berapa kali frekuensinya.
3) Aktivitas motorik mencakup apakah ekstrimitas yang terkena sesisi atau
bilateral, dimana mulainya dan bagaimana kemajuannya.
4) Status kesadaran dan nilai kesadarannya. Apakah klien dapat dibangunkan
selama atau setelah serangan ?
5) Distrakbilitas, apakah klien dapat memberi respon terhadap lingkungan. Hal
ini sangat penting untuk membedakan apakah yang terjadi pada klien benar
epilepsi atau hanya reaksi konversi.
6) Keadaan gigi. Apakah pada saat serangan gigi klien tertutup rapat atau
terbuka.
7) Aktivitas tubuh seperti inkontinensia, muntah, salivasi dan perdarahan dari
mulut.
41
8) Masalah yang dialami setelah serangan paralisis, kelemahan, baal atau
semutan, disfagia, disfasia cedera komplikasi, periode post iktal atau lupa
terhadap semua pristiwa yang baru saja terjadi.
9) Faktor pencetus seperti stress emosional dan fisik.
2. Diagnosa keperawatan
a. Risiko cedera berhubungan dengan tipe kejang.
b. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi
trakheobronkhial.
c. Kerusakan memori berhubungan dengan hipoksia.
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan aktivitas kejang.
e. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan.
f. Risiko isolasi berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
g. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita penyakit
kronis.
h. Cemas berhubungan dengan ancaman kematian.
i. Kurang pengetahuan orang tua berhubungan dengan keterbatasan paparan.
j. Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan konflik
pengambilan keputusan.
3. Intervensi
a. Diagnosa 1 : Risiko cedera berhubungan dengan tipe kejang.
1) NOC : Pengendalian Resiko.
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pencegahan jatuh selama
3x24 jam diharapkan pasien tidak mengalami cedera dan tetap tenang dengan
seringnya pengendalian resiko skala 3.
3) Kriteria hasil :
a) Pantau faktor resiko perilaku dan lingkungan.
b) Mempersiapkan lingkungan yang aman (misalnya, penggunaan tikar karet).
c) Menghindari cedera fisik.
d) Mengidentifikasi risiko yang meningkatkan kerentanan terhadap cedera
e) Orang tua akan mengenali resiko dan memantau kekerasan.
Skala :
1. Tidak pernah
42
2. Jarang
3. Kadang
4. Sering
5. Konsisten
4) NIC : Mencegah Jatuh
a) Identifikasi faktor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan, misalnya
perubahan status mental, usia, pengobatan dan defisit motorik / sensorik.
b) Identifikasi faktor lingkungan yang memungkinkan risiko jatuh.
c) Singkirkan benda-benda yang dapat menimbulkan bahaya.
d) Arahkan anak ke area aman, khususnya jauh dari jendela, tangga, alat
pemainan, atau sumber air.
e) Jangan membuat anak teragitasi; bicara dengan suara lembut dan sikap
tenang.
f) Lindungi anak setelah kejang.
b. Diagnosa 2 : Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
obstruksi trakheobronkhial
1) NOC : Kontrol Aspirasi
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Mencegah Jatuh selama
3x24 jam diharapkan jalan nafas pasien kembali efektif dengan seringnya
memonitor aspirasi skala 2.
3) Kriteria hasil :
a) Mengidentifikasi faktor risiko.
b) Menghindari faktor risiko.
c) Menyediakan makanan sesuai kemampuan menelan pasien.
d) Mengupayakan konsitusi cairan dan makanan.
Skala :
1. Ekstrem
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
4) NIC : Mencegah Jatuh
a) Pengelolaan jalan nafas.
b) Ajarkan batuk secara efektif.
43
c) Posisikan 90 derajat sesuai kemampuan.
d) Berikan oksigen sesuai kebutuhan.
e) Lakukan pengisapan sesuai dengan kebutuhan untuk membersihkan
sekresi.
c. Diagnosa 3 : Kerusakan memori berhubungan dengan hipoksia
1) NOC : Orientasi Kognitif
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pelatihan Memori selama
3x24 jam diharapkan pasien tidak menunjukkan kerusakan memori dengan
status orientasi kognitif skala 4.
3) Kriteria hasil :
a) Mengidentifikasikan orang terdekat, tempat sekarang, dan musim, tahun,
hari yang benar.
b) Menggunakan teknik untuk membantu memperbaiki memori.
c) Secara akurat mengingat secara tepat, informasi saat ini dan lama.
d) Mengungkapkan kemampuan yang lebih baik untuk mengingat.
Skala :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang
4. Sering
5. Konsisten
4) NIC : Pelatihan Memori
a) Kaji depresi, ansietas, dan peningkatan stres yang mungkin memberikan
kontribusi pada kehilangan memori.
b) Kaji fungsi neurologis untuk menentukan masalah pasien, apakah
kehilangan memori atau demensia.
c) Beri label pada barang-barang.
d) Bantu pasien untuk rileks untuk meningkatkan konsentrasi.
e) Berikan kesempatan pasien untuk konsentrasi seperti suatu permainan
pasangan kartu yang sesuai.
f) Berikan gambar pengingat memori; bila diperlukan.
d. Diagnosa 4 : Gangguan citra tubuh berhubungan dengan aktivitas kejang
1) NOC : Citra Tubuh
44
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencapaian Citra Tubuh
selama 3x24 jam diharapkan persepsi pasien terhadap dirinya positif dengan
status citra tubuh skala 3
3) Kriteria hasil :
a. Kepuasan terhadap penampilan dan fungsi tubuh.
b. Kesesuaian antara realitas tubuh, ideal tubuh dan wujud tubuh.
c. Mengidentifikasi kekuatan personal.
d. Memelihara hubungan sosial yang dekat dan hubungan personal.
Skala :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang
4. Sering
5. Konsisten
4) NIC : Pencapaian Citra Tubuh
a) Tentukan bagaimana respon anak terhadap tubuhnya sesuai dengan tahap
perkembangan.
b) Identifikasi budaya, agama, ras, jenis kelamin, dan usia dari orang penting
bagi pasien yang menyangkut citra tubuh.
c) Beri dorongan pada pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan
dan untuk berduka.
d) Beri dorongan pada pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perhatian
tentang hubungan personal yang dekat.
e. Diagnosa 5 : Harga Diri Rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan.
1) NOC : Perkembangan Anak :2,3,4,5 tahun: Masa Kanak-kanak Pertengahan
(%-11 tahun), dan Remaja (12-17 tahun).
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Peningkatan Harga Diri
selama 3x24 jam diharapkan harga diri pasien positif (pasien dapat
meningkatkan harga dirinya) dengan status perkembangan menunjukkan skala
3
3) Kriteria hasil :
a) 2 th : Mengindikasikan keinginan secara verbal, berinteraksi dengan orang
dewasa dalam permainan sederhana.
45
b) 3 th : mampu mengatakan nama pertamanya; memainkan interaksi dengan
anak seusianya.
c) 4 th : Mampu menjelaskan aturan-aturan permainan interaktid bersama
teman seusianya.
d) Mempertahankan hubungan pribadi yang dekat.
Skala :
1. Ekstrem
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
4) NIC : Peningkatan Harga Diri
a) Pantau pernyataan pasien tentang penghargaan diri.
b) Bantu pasien meningkatkan penilaian dirinya terhadap penghargaan diri.
c) Hindari tindakan yang dapat melemahkan pasien.
d) Beri penghargaan / pujian terhadap perkembangan pasien dalam pencapaian
tujuan.
e) Ajarkan orang tua akan pentingnya ketertarikan dan dukungannya terhadap
perkembangan konsep diri yang positif pada anak.
f. Diagnosa 6 : Resiko isolasi sosial berhubungan dengan gangguan psikologis.
1) NOC : Keterlibatan Sosial
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Peningkatan Sosialisasi
selama 3x24 jam diharapkan pasien dapat berinteraksi dengan lingkungan dan
dapat diterima di lingkungan dengan status keterlibatan sosial menunjukkan
skala 3.
3) Kriteria Hasil :
a) Melaporkan adanya interaksi dengan teman, tetangga, aggota keluarga.
b) Berpartisipasi dalam aktivitas pengalihan
c) Mulai berhubungan dengan orang lain.
d) Mengembangkan hubungan satu sama lain.
e) Melaporkan adanya peningkatan dukungan sosial.
Skala :
1. Tidak pernah
2. Jarang
46
3. Kadang
4. Sering
5. Konsisten
4) NIC : Peningkatan Sosialisasi
a) Identifikasi dengan pasien faktor-faktor yang berpengaruh pada perasaan
isolasi sosial.
b) Kurang stigma isolasi dengan menghormati martabat pasien.
c) Dukung hubungan dengan orang lain yang mempunyai ketertarikan dan
tujuan sama
d) Dukung usaha-usaha yang dilakukan pasien, keluarga dan teman-teman
untuk berinteraksi.
e) Berikan uji pembatasan interpersonal.
f) Dukung pasien untuk mengubah lingkungan, seperti jalan-jalan dan
menonton film
g. Diagnosa 7 : Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak
yang menderita penyakit kronik.
1) NOC : Parenting
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Peningkatan Integritas
Keluarga selama 3x24 jam diharapkan keluarga berfungsi secara efektif dengan
seringnya melakukan peran sebagai orang tua yang ditunjukkan dengan skala 4.
3) Kriteria hasil :
a) Memberikan kebutuhan psikologi untuk anak.
b) Memberikan perlindungan dan perawatan kesehatan secara teratyr dan
aseptik.
c) Stimulasi perkembangan kognitif.
d) Stimulasi perkembangan emosi.
e) Stimulasi perkembangan spiritual.
Skala :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang-kadang
4. Sering
5. Konsisten
4) NIC : Peningkatan Integritas keluarga
47
a) Kaji interaksi antara pasien dan keluarga.
b) Tentukan jenis hubungan keluarga.
c) Tentukan gangguan dalam jenis proses keluarga.
d) Ajari keterampilan merawat pasien yang diperlukan oleh keluarga.
e) Ajari keluarga perlunya kerja sama dengan sistem sekolah untuk menjamin
akses kesempatan pendidikan yang sesuai untuk penyakit kronik.
f) Bantu keluarga berfokus pada anaknya dibanding dengan penyakitnya.
h. Diagnosa8 : Cemas berhubungan dengan ancaman kematian / perubahan status
kesehatan.
1) NOC : Kontrol Cemas
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pengurangan ansietas
selama 3x24 jam diharapkan kecemasan hilang atau berkurang dengan
seringnya mengontrol cemas dengan skala
3) Kriteria hasil :
a) Merencanakan strategi koping untuk situasi yang membuat stres.
b) Melaporkan tidak ada gangguan persepsi sensori.
c) Manifestasi perilaku kecemasan tidak ada.
d) Menunjukkan kemampuan untuk berfokus pada pengetahuan dan
keterampilan yang baru.
e) Tidak menunjukkan perilaku agresif
Skala :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang
4. Sering
5. Konsisten
4) NIC : Pengurangan Ansietas
a) Sediakan informasi yang sesungguhnya meliputi diagnosis, treatmen
dan prognosis.
b) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
c) Berikan dorongan kepada orang tua untu menemani anak, sesuaidengan
kebutuhan.
d) Sediakan pengalihan melalui televise, radio, permainan, untuk
mengurangi ansietas.
48
i. Diagnosa9 : Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan
1) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Menjelaskan Proses
Penyakit selama 3x24 jam diharapkan defisit pengetahuan dapat teratasi
dengan status pengetahuan mengenai proses penyakit menunjukkan skala 4.
2) NOC : Knowledge: Proses Penyakit
a) Menguraikan proses penyakit
b) Menguraikan faktor risiko
c) Menguraikan komplikasi
d) Menguraikan tanda dan gejala penyakit.
e) Menguraikan faktor penyebab untuk mencegah komplikasi.
Skala:
1 : Tidak mengetahui
2 : Terbatas pengetahuannya
3 : Sedikit mengetahui
4 : Banyak pengetahuannya
5 : Intensif atau mengetahuinya secara kompleks
3) NIC : Menjelaskan proses penyakit
a) Identifikasi etiologi yang memungkinkan.
b) Uraikan proses penyakit.
c) Uraikan tanda dan gejala penyakit.
d) Diskusikan terapi atau pilihan pengobatan.
e) Jelaskan patofisiologi penyakit.
f) Jelaskan komplikasi kronis yang mungkin terjadi.
j. Diagnosa10 : Resiko isolasi sosial berhubungan dengan gangguan psikologis.
1) NOC : Keterlibatan Sosial
2) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan Peningkatan Sosialisasi
selama 3x24 jam diharapkan pasien dapat berinteraksi dengan lingkungan dan
dapat diterima di lingkungan dengan status keterlibatan sosial menunjukkan
skala 3.
3) Kriteria Hasil :
a) Melaporkan adanya interaksi dengan teman, tetangga, anggota keluarga.
b) Berpartisipasi dalam aktivitas pengalihan
c) Mulai berhubungan dengan orang lain.
d) Mengembangkan hubungan satu sama lain.
49
e) Melaporkan adanya peningkatan dukungan sosial.
Skala :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang
4. Sering
5. Konsisten
4) NIC : Peningkatan Sosialisasi
a) Identifikasi dengan pasien faktor-faktor yang berpengaruh pada perasaan
isolasi sosial.
b) Kurang stigma isolasi dengan menghormati martabat pasien.
c) Dukung hubungan dengan orang lain yang mempunyai ketertarikan dan
tujuan sama.
d) Dukung usaha-usaha yang dilakukan pasien, keluarga dan teman-teman
untuk berinteraksi.
e) Berikan uji pembatasan interpersonal.
f) Dukung pasien untuk mengubah lingkungan, seperti jalan-jalan dan
menonton film
50
DAFTAR PUSTAKA
Harsono (ED). 2007. Kapita Selekta Neurologi Second Ed. Yogyakarta: Gajah
MadaUniversity Press.
Laboratorium UPF Ilmu Kesehatan Anak, Pedoman Diagnosis dan Terapi, Fakultas
Kedokteran UNAIR Surabaya, 199
Manjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 2. Jakarta: MediaAesculapius
FKUI.
Ngastiyah, Perawatan Anak Sakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997
Rahman M, Petunjuk Tentang Penyakit, Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium, Kelompok
Minat Penulisan Ilmiah Kedokteran Salemba, Jakarta, 1986
Sacharian, Rosa M, Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2 Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta ,1993
Sutjinigsih (1995), Tumbuh kembang Anak, Penerbit EGC, Jakarta.
51