ensefalitis Anak3

50
PENDAHULUAN Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme, misalnya viral, bakteri, Spirochaeta, fungus, protozoa,dan metazoa ( cacing ).Penyebab yang tersering dan terpenting adalah virus, karena itu sering disebut ensefalitis virus. Virus dapat masuk ke tubuh pasien melalui kulit saluran nafas, dan saluran cerna. Pada keadaan permulaan timbul demam, tetapi belum ada kelainan neurologis. Virus akan terus berkembang biak, kemudian menyerang susunan saraf pusat dan akhirnya diikuti kelainan neurologist. 1 Ensefalitis atau yang lebih sering disebut sebagai viral ensefalitis adalah peradangan pada otak yang biasanya disebabkan oleh virus. Proses peradangannya jarang terbatas pada jaringan otak saja tetapi hampir selalu mengenai selaput otak, maka dari itu lebih tepat bila disebut meningoensefalitis. Ensefalitis mencakup berbagai variasi dari bentuk yang paling ringan sampai dengan yang parah sekali seperti koma dan kematian. Ensefalitis diagnosisnya dapat ditegakkan hanya melalui pemeriksaan mikroskopis jaringan otak. Namun dalam prakteknya diklinik, diagnosis sering dibuat berdasarkan manifestasi-manifestasi neurologis dan temuan- temuan epidemiologis, tanpa bantuan bahan histologis. 1 Diagnosis ensefalitis akut dicurigai pada pasien dengan demam dan terdapat perubahan kesadaran dengan tanda-tanda disfungsi serebral difus. Secara umum, infeksi pada susunan saraf pusat merupakan penyebab tersering dari ensefalitis 1

description

m

Transcript of ensefalitis Anak3

Page 1: ensefalitis Anak3

PENDAHULUAN

Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme,

misalnya viral, bakteri, Spirochaeta, fungus, protozoa,dan metazoa ( cacing ).Penyebab yang

tersering dan terpenting adalah virus, karena itu sering disebut ensefalitis virus. Virus dapat

masuk ke tubuh pasien melalui kulit saluran nafas, dan saluran cerna. Pada keadaan

permulaan timbul demam, tetapi belum ada kelainan neurologis. Virus akan terus

berkembang biak, kemudian menyerang susunan saraf pusat dan akhirnya diikuti kelainan

neurologist. 1

Ensefalitis atau yang lebih sering disebut sebagai viral ensefalitis adalah peradangan

pada otak yang biasanya disebabkan oleh virus. Proses peradangannya jarang terbatas pada

jaringan otak saja tetapi hampir selalu mengenai selaput otak, maka dari itu lebih tepat bila

disebut meningoensefalitis. Ensefalitis mencakup berbagai variasi dari bentuk yang paling

ringan sampai dengan yang parah sekali seperti koma dan kematian. Ensefalitis diagnosisnya

dapat ditegakkan hanya melalui pemeriksaan mikroskopis jaringan otak. Namun dalam

prakteknya diklinik, diagnosis sering dibuat berdasarkan manifestasi-manifestasi neurologis

dan temuan-temuan epidemiologis, tanpa bantuan bahan histologis. 1

Diagnosis ensefalitis akut dicurigai pada pasien dengan demam dan terdapat

perubahan kesadaran dengan tanda-tanda disfungsi serebral difus. Secara umum, infeksi

pada susunan saraf pusat merupakan penyebab tersering dari ensefalitis akut. Herpes Simplex

Virus (HSV), Varicella Zoster Virus (VZV), Epstein-Barr Virus (EBV), mumps, measles, dan

enterovirus merupakan penyebab sebagian kasus ensefalitis viral akut pada imunokompeten..

Pada penelitian disebutkan bahwa VZV merupakan virus tersering menyebabkan ensefalitis,

seperti meningitis dan mielitis, diikuti oleh HSV dan enterovirus (masing-masing 11%), dan

virus Influenza A (7%). Tuberkulosis, penyakit Ricketts, dan tripanosomiasis Afrika

merupakan penyebab penting non-viral pada meningoensefalitis akut. 6

Virus yang paling sering ditemukan adalah virus herpes simpleks. Virus Herpes

simpleks (VHS) terdiri dari 2 tipe,yaitu VHS tipe 1 dan VHS tipe 2. VHS tipe 1

menyebabkan ensefalitis terutama pada anak dan orang dewasa, sedangkan VHS tipe 2

menyebabkan infeksi pada neonatus. 2

Ensefalitis juga dapat terjadi akibat infeksi bakteri seperti Staphylococcus aureus,

Streptococcus, E. Coli, M. tuberculosa, dan T. pallidum. Tiga bakteri yang pertama

merupakan penyebab ensefalitis bakterial akut yang menimbulkan pernanahan pada korteks

1

Page 2: ensefalitis Anak3

serebri sehingga terbentuk abses serebri. Ensefalitis bakterial akut sering disebut ensefalitis

supuratif akut. Selain itu terdapat juga beberapa penyebab lain ensefalitis yaitu Infeksi

protozoa tertentu seperti Toxoplasma, infeksi Spirochaeta jenis Treponema pallidum

( ensefalitis sifilis), dan infeksi akibat cacing jenis Trikinela spiralis yang kadang-kadang

menyebabkan ensefalitis. 9

EPIDEMIOLOGI

Menurut Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) pada jurnal pediatrics in

review yang menggunakan National Hospital Discharge Survey mengestimasi perawatan inap

di RS yang disebabkan oleh ensefalitis di AS, dimana per tahun ditemukan kasus 7.3/100.000

dengan data rata- rata per tahun lebih dari 200.000 hari perawatan inap di RS, dan 1.400

kematian. Insiden tertinggi terjadi pada anak- anak dibawah usia 1 tahun dengan kasus

13.7/100.000 dan orang dewasa diatas 65 tahun dengan kasus 10.6/100.000 per tahun. Karena

keterbatasan data sehingga kriteria diagnostik spesifiknya pun terbatas. Dalam analisis

National Hospital Discharge, didapatkan data penyebab ensefalitis 60% adalah tidak

diketahui, dan dari yang diketahui didapatkan penyebab tersering adalah herpes virus,

varisela dan arbovirus. 5

Menurut Centers for Disease Control sekitar 20.000 kasus dari ensefalitis viral akut

dilaporkan di Amerika. Kematian mencakup 5-20% dari penderita keseluruhan dan gejala

sisa seperti deteriorasi mental, defek amnesia, perubahan kepribadian dan hemiparese terlihat

pada sekitar 20%. Namun secara keseluruhan hal ini tidak dapat menggambarkan angka

kejadian terhadap kematian maupun kelainan neurologis yang khusus dari masing-masing

jenis virus. 10

Menurut statistik dari 214 ensefalitis 54% (115 orang) dari penderitanya ialah anak-

anak. Virus yang paling sering ditemukan ialah virus herpes simpleks 31%, yang disusul

oleh virus ECHO 17%. Statistik lain mengungkapkan bahwa ensefalitis primer yang

disebabkan oleh virus yang dikenal mencakup 19%. Ensefalitis primer dengan penyebab yang

tidak diketahui dan ensefalitis para infeksiosa masing-masing mencakup 40% dan 41% dari

semua kasus ensefalitis yang telah diselidiki. 8

   

2

Page 3: ensefalitis Anak3

ETIOLOGI 1)

Klasifikasi yang diajukan oleh Robin berdasarkan etiologi virus:

1. Infeksi virus yang bersifat epidemik

a. Golongan enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus ECHO.

b. Golongan virus ARBO : Western equine encephalitis, St. Louis encephalitis,

Eastern equine encephalitis, Japanese B encephalitis, Russian spring summer

encephalitis, Murray valley encephalitis.

2. Infeksi virus yang bersifat sporadik : Rabies, Herpes simplex, Herpes zoster,

Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan jenis lain yang

dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.

3. Ensefalitis pasca infeksi : pasca morbili, pasca varisela, pasca rubela, pasca

vaksinia, pasca mononukleosis infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi

traktus respiratorius yang tidak spesifik.10

Meskipun di Indonesia secara klinis dikenal banyak kasus ensefalitis, tetapi baru

Japanese B encephalitis yang ditemukan.

Viral:

•    Virus DNA: herpes simplex virus (HSV-1, HSV-2), virus herpes lainnya (HHV-6, EBV,

VZV, cytomegalovirus) dan adenovirus (sebagai contoh serotipe 1,6,7,12,32)

•    Virus RNA: virus influenza (serotipe A), enterovirus (serotipe 9,71), virus polio, measles,

rubella, mumps, rabies, arbovirus (contoh: Japanese B encephalitis virus, lymphotic

choriomeningitis virus, Eastern, Western dan Venezuelan equine encephalitis virus), retro

virus(ColoradoickFevervirus),danretrovirus(HIV)

Bakterial:

Mycobacterium tuberculosis, Mycoplasma pneumoniae, Listeria monocytogenes, Borrelia

burdgorferi (lyme disease), Tropheryma whippeli (Whipple’s disease), lepstospira, brucella,

legionella, Salmonella typhii (typhoid fever), nocardia, actinomyces, Treponema pallidum

(meningovascular syphilis) dan seluruh penyebab meningitis bakterial (piogenik).

Rickettsia:

•   Rickettsia rickettsii (Rocky Mountain Spotted Fever), Rickettsia typhii (endemic typhus)

•   Rickettsia prowazekii (epidemic typhus), Coxiella burnetii (Q fever).

3

Page 4: ensefalitis Anak3

Fungal:

Cryptococcosis, coccidioidomycosis, histoplasmosis, North American Blastomycosis,

candidiasis

Parasit:

Human African Trypanosomiasis, Toxoplasma gonsii, Nagleria fowleri, Echinococcus

granulosus,schistosomiasis

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Virus dapat menyebabkan kerusakan neural SSP melalui invasi langsung dan akibat

multiplikasi aktif virus (ensefalitis primer atau infeksius) atau melalui mekanisme respon

autoimun jaringan SSP terhadap antigen virus pada infeksi sistemik ( acute disseminated

encephalomyelitis - ADEM). 6

Virus menyebar ke SSP melalui dua mekanisme utama :

(1) Penyebaran hematogen

Setelah masuk ke tubuh, virus bermultiplikasi secara lokal kemudian dapat terjadi

viremia dan bersarangnya virus diretikulo-endotelial sistem (RES); terutama dihati.

Limpa, kelenjar limfe, dan kadang-kadang muskulus. Dengan berlanjutnya replikasi,

viremia sekunder memungkinkan bersarangnya virus diorgan lain termasuk SSP.

Pada umumnya virus dapat dicegah masuk kejaringan SSP oleh sawar darah otak.

Virus dibersihkan dalam darah oleh sistem retikuolendotelial, teteapi bila terjadi

viremia masif atau terdapat keadaan lain yang menguntungkan virus, maka virus akan

masuk SSP melalui pleksus koroideus, migrasi fagosit yang terinfeksi, replikasi virus

dalam sel endotel atau transfer pasif melalui sawar darah otak. 6

(2) Penyebaran neuronal

Penyebaran neuronal (lebih jarang) terjadi melaui saraf perifer dan kranial. Virus

masuk jaringan SSP secara sentripetal melalui transmisi aksonal sepanjang

endoneurium, sel Schwann dan fibrosit sraf. Penyebaran neuronal dapat terjadi pada

rabies, herpes simpleks, VZV, dan virus polio. HSV dapat menyebar ke SSP melalui

4

Page 5: ensefalitis Anak3

neuron olfaktorius dimukosa hidung, kemudian melaui N.olfaktorius terjadi sinaps

dibulbus olfaktorius diotak.

Virus tertentu lebih menyenangi sel otak tertentu, misalnya virus polio

menyukai sel motorik, rabies menyukai sel limbik dan mumps menyukai sel

ependimal. Korteks serebral, terutama lobus temporal sering mengalami kerusakan

berat oleh virus herpes simpleks; arbovirus cendrung melibatkan seluruh otak;

sedangkan predileksi kelainan pada rabies ialah pada daerah basal otak. Keterlibatan

medula spinalis, akar saraf dan saraf perifer bervariasi. 6

Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh :

Invasi dan perusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang berkembang

biak

Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat demielinisasi,

kerusakan vascular, dan paravaskular.

Reaksi aktivasi virus neurotropik yang bersifat laten.

Biasanya ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok :

1. Ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus kelompok herpes

simpleks,virus influenza, ECHO ( Enteric Cytophatic Human Orphan ), Coxsackie,

dan virus arbo.

2. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya.

3. Ensefalitis para-infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit

virus yang sudah dikenal seperti rubeola, varisela, herpes zoster, parotitis epidemika,

mononukleosis infeksiosa dan lain-lain. 4

Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari virulensi virus,

kekuatan teraupetik dari system imun dan agen-agen tubuh yang dapat menghambat

multiplikasi virus. Banyak virus yang penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau kutu

menginokulasi virus Arbo, sedang virus rabies ditularkan melalui gigitan binatang. Pada

beberapa virus seperti varisella-zoster dan citomegalo virus, pejamu dengan sistem imun

yang lemah, merupakan faktor resiko utama. 6

5

Page 6: ensefalitis Anak3

Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik melalui peredaran

darah atau melalui sistem neural (Virus Herpes Simpleks, Virus Varisella Zoster). Setelah

melewati sawar darah otak, virus memasuki sel-sel neural yang mengakibatkan fungsi-fungsi

sel menjadi rusak, kongesti perivaskular, dan respons inflamasi yang secara difus

menyebabkan ketidakseimbangan substansia abu-abu (nigra) dengan substansia putih (alba).

Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-reseptor membran sel saraf yang

hanya ditemukan pada bagian-bagian khusus otak. Sebagai contoh, virus herpes simpleks

mempunyai predileksi pada lobus temporal medial dan inferior. 2

Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang masih belum jelas

dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena adanya transmisi neural secara langsung

dari perifer ke otak melaui saraf trigeminus atau olfaktorius.

Virus herpes simpleks tipe I ditransfer melalui jalan nafas dan ludah.Infeksi primer

biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja.Biasanya subklinis atau berupa somatitis,

faringitis atau penyakit saluran nafas. Kelainan neurologis merupakan komplikasi dari

reaktivasi virus.Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam ganglia trigeminal. Beberapa

tahun kemudian,rangsangan non spesifik menyebabkan reaktivasi yang biasanya

bermanifestasi sebagai herpes labialis. 2

Pada ensefalitis bakterial, organisme piogenik masuk ke dalam otak melalui peredaran

darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus. Penyebaran melalui peredaran darah

dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran

langsung dapat melalui tromboflebitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah dan sinus

6

Page 7: ensefalitis Anak3

paranasalis. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada jaringan otak. Biasanya terdapat di

bagian substantia alba, karena bagian ini kurang mendapat suplai darah. Proses peradangan

ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah dan agregasi

leukosit yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan tadi timbul edema,

perlunakan dan kongesti jaringan otak disertai peradangan kecil. Di sekeliling abses terdapat

pembuluh darah dan infiltrasi leukosit. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk

ruang abses. Mula-mula dindingnya tidak begitu kuat, kemudian terbentuk dinding kuat

membentuk kapsul yang konsentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit PMN, sel-sel

plasma dan limfosit. Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam

ventrikulus atau ruang subarakhnoid yang dapat mengakibatkan meningitis. Proses radang

pada ensefalitis virus selain terjadi jaringan otak saja, juga sering mengenai jaringan selaput

otak. Oleh karena itu ensefalitis virus lebih tepat bila disebut sebagai meningo ensefalitis. 4

Plasmodium falsiparun menyebabkan eritrosit yang terifeksi menjadi lengket. Sel-sel

darah yang lengket satu sama lainnya dapat menyumbat kapiler-kapiler dalam otak.

Akibatnya timbul daerah-daerah mikro infark. Gejala-gejala neurologist timbul karena

kerusakan jaringan otak yang terjadi. Pada malaria serebral ini, dapat timbul konvulsi dan

koma. Pada toxoplasmosis kongenital, radang terjadi pada pia-arakhnoid dan tersebar dalam

jaringan otak terutama dalam jaringan korteks. 4

Sangatlah sukar untuk menentukan etiologi dari ensefalitis, bahkan pada postmortem.

Kecuali pada kasus-kasus non viral seperti malaria falsifarum dan ensefalitis fungal, dimana

dapat ditemukan indentifikasi morfologik. Pada kasus viral, gambaran khas dapat dijumpai

pada rabies (badan negri) atau virus herpes (badan inklusi intranuklear). 4

MANIFESTASI KLINIS 1

Meskipun penyebabnya berbeda-beda, gejala klinis ensefalitis secara umum sama

berupa Trias ensefalitis yang terdiri dari :

Demam

Kejang

Penurunan kesadaran

Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat.

Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi dapat juga perlahan-lahan. Masa

7

Page 8: ensefalitis Anak3

prodormal berlangsung antara 1-4 hari yang ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing,

muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri pada ekstremitas dan pucat, kemudian diikuti oleh

tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung distribusi dan luasnya lesi pada neuron. 7

Pada bayi, terdapat jeritan, perubahan perilaku, gangguan kesadaran, dan kejang-

kejang. Kejang-kejang dapat bersifat umum atau fokal atau hanya twitching saja. Kejang

dapat berlangsung berjam-jam. Gejala serebrum yang beraneka ragam dapat timbul sendiri-

sendiri atau bersama-sama, misalnya paresis atau paralisis, afasia dan sebagainya. Gejala

batang otak meliputi perubahan refleks pupil, defisit saraf kranial dan perubahan pola

pernafasan. Tanda rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan mencapai meningen.

Pada kelompok pasca infeksi, gejala penyakit primer sendiri dapat membantu diagnosis. 4

Pada japanese B ensefalitis, semua bagian susunan saraf pusat dapat meradang

gejalanya yaitu nyeri kepala, kacau mental, tremor lidah bibir dan tangan, rigiditas pada

lengan atau pada seluruh badan, kelumpuhan dan nistagmus. Rabies memberi gejala pertama

yaitu depresi dan gangguan tidur, suhu meningkat, spastis, koma pada stadium paralisis. 9

Ensefalitis herpes simpleks dapat bermanifestasi sebagai bentuk akut atau subakut.

Pada fase awal, pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung 1-7 hari.

Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan kepribadian dan

gangguan daya ingat. Kemudian pasien mengalami kejang dan penurunan kesadaran. Kejang

dapat berupa fokal atau umum. Kesadaran menurun sampai koma dan letargi. Koma adalah

faktor prognosis yang sangat buruk, pasien yang mengalami koma sering kali meninggal atau

sembuh dengan gejala sisa yang berat. Pemeriksaan neurologis sering kali menunjukan

hemiparesis. Beberapa kasus dapat menunjukan afasia, ataksia, paresis saraf cranial, kaku

kuduk dan papil edema. 2

Mycoplasma pneumoniae (MP) juga diketahui merupakan penyebab infeksi

pernafasan pada anak-anak dan dewasa, akan tetapi hanya 0,1% dari infeksi MP yang dapat

menyebabkan komplikasi neurologi seperti ensefalitis, meningitis, dan myelitis, dengan

penularan secara langsung ke sistem saraf pusat maupun tidak langsung seperti toxin-

mediated. Dengan gejala klinis yang menyerupai ensefalitis pada umumnya yaitu demam,

sakit kepala, muntah, dan kejang, dan penurunan kesadaran, dan gejala klinis infeksi saluran

pernafasannya dapat asimptomatik. 4

Pada ensefalitis supuratif akut yang berkembang menjadi abses serebri akan timbul

gejala-gejala sesuai dengan proses patologik yang terjadi di otak. Gejala-gejala tersebut ialah

gejala-gejala infeksi umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan intrakranial yaitu nyeri

8

Page 9: ensefalitis Anak3

kepala yang kronik progresif, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun. Tanda-

tanda defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luas abses. 9

Gejala ensefalitis sifilis terdiri dari dua bagian yaitu gejala neurologis dan gejala

mental. Gejala-gejala neurologis diantaranya kejang-kejang yang datang dalam serangan-

serangan, afasia, apraksia, hemianopsia, kesadaran mungkin menurun, pada stadium akhir

timbul gangguan-gangguan motorik yang progresif. 9

DIAGNOSA

Memastikan diagnosis ensefalitis didasarkan atas, gambaran klinis, pemeriksaan

laboratorium, pemeriksaan virologis, dan pemeriksaan penunjang lain seperti EEG,

pencitraan, biopsi otak, dan polymerase chain reaction (PCR). Walaupun tidak begitu

membantu, gambaran cairan serebrospinal dapat pula dipertimbangkan. 7

Anamnesis

- Identitas ( Nama, Umur, Jenis kelamin )

- Keluhan utama

- Riwayat penyakit terdahulu

- Riwayat pertumbuhan dan perkembangan

- Riwayat penyakit keluarga

Pemeriksaan Fisik

Seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun dan kejang. Kejang

dapat berlangsung berjam-jam. Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, dapat

timbul terpisah atau bersama-sama, misalnya paresis atau paralisis, afasia dan

sebagainya.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan hematologi

Pada pemeriksaan hematologi sering menunjukan leukositosis dengan

predominasi limfosit dan peninggian laju endap darah (LED)

9

Page 10: ensefalitis Anak3

2. Cairan serebro-spinal

CSS pada penyakit virus SSP biasanya menunjukan pleiositosis mononuklear

(5-500 sel/mm3). Jenis sel pada awal perjalanan penyakit sering polimorfonuklear

(PMN) yang kemudian akan didominasi sel mononuklear. Perubahan jenis sel ini

akan terlihat pada 2 sampel CSS yang diambil dengan perbedaan waktu sedikitnya 8-

12 jam. 7

Kadar protein cendrung normal atau sedikit meningkat (biasanya <200mg/dl),

tetapi dapat sangat tinggi bila kerusakan otaknya luas seperti pada ensefalitis HSV.

Kadar glukosa biasanya normal walaupun pada beberapa infeksi, seperti mumps dan

HSV, kadar glukosa dapat menurun sampai 25-50 mg/dl, tetapi jarang sampai

dibawah 20 mg/dl. Sebanyak 5-15% penderita ensefalitis HSV, CSSnya normal

diawal perjalanan penyakit. 7

Pungsi lumbal tidak dilakukan bila terdapat edema papil. Bila dilakukan

pemeriksaan cairan serebrospinalis maka dapat diperoleh hasil berupa biasanya cairan

jernih, jumlah sel 50 – 200 dengan dominasi limfosit. Kadar protein kadang – kadang

meningkat, sedangkan glukosa masih dalam batas normal. Tekanan LCS dapat normal

atau meningkat. 7

3. Elektroensefalografi

EEG sangat membantu diagnosis pada ensefalitis herpes simpleks bila

ditemukan gambaran perlambatan fokal di daerah temporal atau frontotemporal.Lebih

sering EEG hanya memperlihatkan perlambatan umum yang menunjukkan disfungsi

otak menyeluruh. Pada ensefalitis virus yang disebabkan oleh herpes simpleks tipe 1,

gambaran EEG berupa aktivitas gelombang tajam periodik di temporal dengan latar

belakang fokal atau difus. 7

4. Pemeriksaan CT scan atau MRI kepala menunjukkan gambaran edema otak.

Manfaat pemeriksan pencitraan terutama bukan dalam menetukan penyebab

meningoensefalitis, tetapi dalam menilai tingkat kerusakan SSP. Dalam hal ini

MRI lebih unggul daripada CT scan. Sensitivitas MRI juga melebihi CT scan

dalam mendeteksi lesi pada ensefalomielitis diseminata akut yang berupa

demielinisasi multifokal dimassa putih serebrum, serebelum, dan batang otak. 7

10

Page 11: ensefalitis Anak3

5. Pemeriksaan diagnostik khusus

Isolasi virus dalam cairan serebrospinal secara rutin tidak dilakukan karena

sangat jarang menunjukkan hasil yang positif. Titer antibodi terhadap VHS dapat

diperiksa dalam serum dan cairan serebrospinal. Titer antibodi dalam serum

tergantung apakah infeksi merupakan infeksi primer arau infeksi rekuren. Pada infeksi

primer, antibodi dalam serum menjadi positif setelah 1 sampai beberapa minggu,

sedangkan pada infeksi rekuren kita dapat menemukan peningkatan titer antibodi

dalam dua kali pemeriksaan, fase akut dan rekonvalesen. Kenaikan titer 4 kali lipat

pada fase rekonvalesen merupakan tanda bahwa infeksi VH sedang aktif. Harus

diiongat bahwa peningkatan kadar antibodi serum belum membuktikan disebabkan

oleh VHS. Titer antibodi dalam cairan serebrospinal merupakan indikator yang lebih

baik, karena hanya diproduksi bila terjadi kerusakan sawar darah otak, akan tetapi

kemunculan antibodi dalam cairan serebrospinal sering terlambat, dan baru dapat

dideteksi pada hari ke 10-12 setelah permulaan sakit. Hal ini merupakan kendala

terbesar dalam menegakkan diagnosis EHS, dan hanya berguna sebagai diagnosis

retrospektif. Penggunaan perbandingan antara titer antibodi serum dan cairan

serebrospinal < 20 tidak memeperbaiki sensitivitas diagnosis dalam 10 hari sakit. 10

Teknik diagnostik yang tersedia diantranya pemeriksaan serologik, biakan

sel, imunohistologik dan biologi molekuler (PCR).

Polymerase chain reaction (PCR) sekarang menjadi baku emas untuk

mengevaluasi ensefalitis atau meningoensefalitis HSV dengan mendeteksi

DNA HSV didalam CSS. Spesifisitas PCR pada ensefalitis HSV mendekati

100%, sedangkan sensitivitasnya berkisar antara 75-95%. PCR juga dapat

dipakai untuk diagnosis cepat infeksi dengan CMV, enterovirus, human

herpes virus, virus varicella-Zoster dan HIV.

Enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) yang dapat mendeteksi

antibodi imunoglobin M (IgM) dalam CSS, snsitif dan spesifik pada

penderita yang diduga menderita ensefalitis Japanese.

11

Page 12: ensefalitis Anak3

DIAGNOSIS BANDING

Meningitis yang disebabkan bakteri yang paling sering menginvasi sistem saraf pusat

yaitu H. Influenza tipe B, S. Pneumoniae, dan N. Meningitidis. Pada meningitis biasanya

ditemukan rangsang meningeal, walaupun pada bayi terkadang tidak ditemukan. Meningitis

tuberkulosa juga merupakan diagnosa banding, dengan perjalanan penyakit yang sangat

lambat. Pada pemeriksaan fisiknya dapat ditemukan limfadenopati, dan tanda rangsang

meningeal. Pada funduskopi dapat ditemukan papil pucat, tuberkuloma di retina, dan adanya

nodul di koroid. Uji tuberkulin dapat juga membantu diagnosa. 9

Infeksi bakteri parameningeal juga, seperti abses otak dimana radang bernanah pada

jaringan otak, juga dapat mempunyai tanda-tanda yang sama dengan ensefalitis, dan

gangguan non infeksi juga perlu dipikirkan pada diagnosa banding ensefalitis, seperti

keganasan, perdarahan intrakranial. Untuk itu pembuatan foto adalah penting untuk diagnosa

proses ini. 10

PENATALAKSANAAN

Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah sakit.

Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan tersebut adalah

mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan perawatan pasien koma

yaitu mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian makanan secara enteral atau

parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi terhadap gangguan

keseimbangan asam basa darah. 4

Terapi suportif :

Tujuannya untuk mempertahankan fungsi organ, dengan mengusahakan jalan nafas

tetap terbuka (pembersihan jalan nafas, pemberian oksigen, pemasangan respirator bila henti

nafas, intubasi, trakeostomi), pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga

keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi gangguan asam basa darah. Untuk pasien dengan

gangguan menelan, akumulasi lendir pada tenggorok, dilakukan drainase postural dan

aspirasi mekanis yang periodik. 9

Terapi kausal :

12

Page 13: ensefalitis Anak3

Pengobatan anti virus diberikan pada ensefalitis yang disebabkan virus, yaitu dengan

memberikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari IV setiap 8 jam selama 10-14 hari. Preparat asiklovir

tersedia dalam 250 mg dan 500 mg yang harus diencerkan dengan aquadest atau larutan

garam fisiologis. Pemeberian secara perlahan-lahanm diencerkan menjadi 100 ml larutan,

diberikan selama 1 jam. Efek sampingnya adalah peningkatan kadar ureum dan keratinin

tergantung kadar obat dalam plasma. Pemberian asiklobir perlahan-lahan akan mengurangi

efek samping. Bila selama pengobatan terbukti bukan infeksi Virus Herpes Simpleks, maka

pengobatan dihentikan.

Pada pasien yang terbukti secara biopsi menderita Ensefalitis Herpes Simpleks dapat

diberikan Adenosine Arabinose 15mg/kgBB/hari IV, diberikan selama 10 hari. Pada beberapa

penelitian dikatakan pemberian Adenosisne Arabinose untuk herpes simpleks ensefalitis

dapat menurunkan angka kematian dari 70% menjadi 28%.

Terapi Ganciklovir merupakan pilihan utama untuk infeksi citomegali virus. Dosis

Ganciklovir 5 mg/kgBB dua kali sehari.kemudian dosis diturunkan menjadi satu kali, lalu

dengan terapi maintenance.

Pemberian antibiotik parenteral tetap diberikan sampai penyebab bakteri

dikesampingkan, dan juga untuk kemungkinan infeksi sekunder. Pada ensefalitis supurativa

diberikan:

- Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.

- Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.

Preparat sulfa (sulfadiasin) untuk ensefalitis karena toxoplasmosis. 6

Terapi Simptomatik :

Obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang. Tergantung dari

kebutuhan obat diberikan IM atau IV. Obat yang diberikan ialah diazepam 0,3-0,5 mg/Kg

BB/ hari dilanjutkan dengan fenobarbital. Perlunya diperiksa kadar glukosa darah, kalsium,

magnesium harus dipertahankan normal agar ancaman konvulsi menjadi minimum.

Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan surface cooling dengan menempatkan es

pada permukaan tubuh yang mempunyai pembuluh besar, misalnya pada kiri dan kanan leher,

ketiak, selangkangan, daerah proksimal betis dan diatas kepala. Dapat juga diberikan

antipiretikum seperti parasetamol dengan dosis 10-15mg/kgBB, bila keadaan telah

memungkinkan pemberian obat peroral.

Untuk mengurangi edema serebri dengan deksametason 0,2 mg/kgBB/hari IM dibagi 3 dosis

dengan cairan rendah natrium, dilanjutkan dengan pemberian 0,25-0,5mg/kgBB/hari. Bila

13

Page 14: ensefalitis Anak3

terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan manitol 0,5-2 g/kgBB IV

dalam periode 8-12 jam.

Nyeri kepala dan hiperestesia diobati dengan istirahat, analgesik yang tidak mengandung

aspirin dan pengurangan cahaya ruangan, kebisingan, dan tamu. 8

Terapi rehabilitatif:

Upaya pendukung dan rehabilitatif amat penting sesudah penderita sembuh.

Inkoordinasi motorik, gangguan konvulsif, strabismus, ketulian total atau parsial, dan

gangguan konvulsif dapat muncul hanya sesudah jarak waktu tertentu. Fasilitas khusus dan

kadang-kadang penempatan kelembagaan mungkin diperlukan. Beberapa sekuele infeksi

dapat amat tidak kentara. Karenanya evaluasi perkembangan saraf dan audiologi harus

merupakan bagian dari pemantauan rutin anak yang telah sembuh dari mengoensefalitis virus,

walaupun mereka tampak secara kasar normal. 6

KOMPLIKASI

Pada ensefalitis viral akut yang cukup banyak terjadi adalah peningkatan tekanan

intrkranial, infark serebral, trombosis vena serebral, syndrome of inappropriate secretion of

antidiuretic hormone, pneumonia aspirasi, perdarahan saluran cerna bagian atas, infeksi

saluran kemih dan koagulopati intravaskular diseminata. Sequele dari ensefalitis viral akut

bergantung pada usia, etiologi ensefalitis dan keparahan gejala klinis. 4

PROGNOSIS

Prognosis ensefalitis virus sangat bervariasi tergantung pada usia, keadaan medik

yang mendasarinya, virulensi virus, kompetensi imun penderita dan tersedianya terapi

antivirus spesifik. 7

Kebanyakan anak sembuh secara sempurna dari infeksi virus pada sistem saraf

sentral, walaupun prognosis tergantung pada keparahan penyakit klinis, etiologi spesifik, dan

umur anak. Jika penyakit klinis berat dengan bukti adanya keterlibatan parenkim, prognosis

jelek, dengan kemungkinan defisit yang bersifat intelektual, motorik, psikiatrik, epileptik,

penglihatan, ataupun pendengaran. Sekuele berat juga harus dipikirkan walaupun beberapa

kepustakaan menyarankan bahwa penderita bayi yang menderita ensefalitis virus mempunyai

hasil akhir jangka panjang lebih jelek daripada nak yang lebih tua, data baru membuktikan

14

Page 15: ensefalitis Anak3

bahwa observasi ini tidak benar. walaupun sekitar 10% anak sebelum usia 2 tahun dengan

infeksi virus menampakkan komplikasi akut seperti kejang, tekanan intrakranial naik, atau

koma, hampir semua hasil akhir neurologis jangka lama baik. 4

Pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simpleks yang tidak diobati sangat

buruk dengan kematian 70-80% setelah 30 hari dan menignkat menjadi 90% dalam 6 bulan.

Pengobatan dini dengan asiklovir akan menurunkan mortalitaas menjadi 28%. Gejala sisa

lebih sering ditemukan dan lebih berat pada kasus yang tidak diobati. Keterlambatan

pengobatan yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk, demikian juga koma; pasien

yang mengalami koma seringkali menggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat. 1

Japanese Encephalitis

15

Page 16: ensefalitis Anak3

Japanese Encephalitis (JE) adalah suatu penyakit yang menyerang susunan saraf pusat

(otak, medula spinalis,meningen), yang disebabkan oleh JEV yang ditularkan oleh binatang

melalui gigitan nyamuk. Penyakit JE termasuk Arbovirosis (arthropod borne viral disease)

yaitu penyakit yang disebabkan oleh virus dan ditularkan oleh artopoda. Untuk dapat

berlangsungnya penyakit Arbovirosis diperlukan adanya resevoir (sumber infeksi) dan

vektor. Sebagian penyakit arbovirosis resevoir utamanya adalah manusia dan vektornya

nyamuk. Salah satu contoh adalah JE dengan resevoir utamanya babi dan vektornya nyamuk

culex. 3

Hewan vertebrata yang bertindak sebagai resevoir pada JE terutama babi dan yang

lainnya adalah sapi, kuda, kerbau, kambing, tikus, ayam, kucing. Virus ini jarang

menyebabkan penyakit pada hewan, kecuali secara langsung disuntikan secara langsung pada

susunan saraf pusat. Artropoda yang bertindak sebagai vektor adalah nyamuk Culex,

Anopheles, Aedes. Virus ini dapat berkembang biak dalam jaringan arthopoda tanpa

menimbulkan penyakit dan artropoda tersebut akan menderita infeksi seumur hidup setelah

menghisap darah vertebra yang menderita viremia. 3

EPIDEMIOLOGI

JE adalah penyakit infeksi virus yang penyebarannya sangat berkaitan dengan

keadaan lingkungan. Penyakit ini ditemukan dihampir seluruh wilayah Asia, mulai dari Asia

Timur yaitu Jepang dan Korea, sampai ke Asia Selatan, seperti India dan Sri Langka, serta

Asia Tenggara, termasuk kepulauan Indonesia, bahkan sampai ke negara bagian Northern

Territory di Australia. Pada JE, sebagai vektor penyebar virus adalah nyamuk yang biasa

ditemukan di sekitar rumah. Nyamuk ini biasanya mengigit pada sore dan malam hari.

Daerah persawahan, yang terutama pada musim tanam selalu digenangi air, diduga

berhubungan dengan timbulnya daerah endemis JE. Selain itu pada musim hujan populasi

nyamuk akan meningkat sehingga memudahkan transmisi penyakit. 3

Penyakit ini menyerang semua umur, namun di India lebih banyak menyerang anak,

di Thailand, Taiwan, demikian pula di Denpasar, proposi umur terbanyak menderita JE

masing- masing 5-9 tahun, 2-5 tahun dan 2-3 tahun. Di jepang semula JE menyerang anak

tetapi kemudian orang dewasa lebih banyak diserang. 5

16

Page 17: ensefalitis Anak3

Bukan hanya nyamuk Culex yang berperan pada penyebaran penyakit JE, sebagai

host (penjamu) untuk perkembangbiakan virus diperlukan hewan lain sebelum virus tersebut

menginfeksi manusia. Babi (resevoir) merupakan amplifier terbaik bagi perkembangbiakan

virus JE tetapi antibodi JE juga ditemukan pada sapi, kerbau, kuda, kambing, domba,

anjing,dan unggas. 3

Sehubungan dengan itu, maka angka endemitas yang tinggi ditemukan dihampir

seluruh provinsi di indonesia, dimana umumnya masyarakat hidup berdekatan dengan hewan

ternak mereka. Dari data yang berhasil dikumpulkan oleh subdit zoonosis Ditjen PPM-PL,

Depkes RI dalam kurun waktu tahun 1993-2000, terlihat bahwa spesimen positif JE pada

manusia ditemukan di 14 propinsi yang tersebar diseluruh Indonesia (Bali, Riau, Jawa Barat,

Jawa Tengah, Lampung, NTB, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, NTT,

Papua). 3

Sebagai penyakit zoonis kehidupan JEV sangat memerlukan hewan vertebra seperti

babi sebagai resevoir dan nyamuk Culex sebagai vektornya. Infeksi pada manusia timbul

secara kebetulan terutama pada orang yang tinggal dekat dengan resevoir dan vektornya

cukup banyak misalnya di pedeaan, didaerah pertanian yang memakai irigasi pengairan. 3

PATOGENESIS

Segera setelah Culex yang infektif mengigit manusia yang rentan, virus menuju

sistem getah bening sekitar tempat gigitan nyamuk (kelenjar regional) dan berkembang biak,

kemudian masuk ke peredaran darah dan menimbulkan viremia pertama. Viremia ini sangat

ringan dan berlangsung sebentar. Melalui aliran darah virus menyebar ke organ tubuh seperti

susunan saraf pusat dan organ ekstraneural. Didalam organ ekstraneural inilah virus

berkembang biak, hanya saja tidak diketahui dengan pasti organ ekstraneural tersebut. Virus

dilepaskan masuk ke dalam peredaran darah menyebabkan viremia kedua yang bersamaan

dengan penyebaran infeksi dijaringan dan menimbulkan gejala penyakit sistemik. 3

Bagaimana cara virus dapat menembus sawar darah otak tidak diketahui dengan pasti,

namun diduga setelah terjadinya viremia virus menembus dan berkembang biak pada sel

endotel vaskuler dengan cara endositosis, sehingga dapat menembus sawar darah otak.

Setelah mencapai jaringan susunan saraf pusat, virus berkembang didalam sel dengan cepat

pada retikulum enndoplasma yang kasar serta badan golgi dan setelah itu menghancurkannya.

Akibat infeksi virus tersebut maka permeabilitas sel neuron, glia dan endotel meningkat,

mengakibatkan cairan diluar sel mudah masuk kedalam sel dan timbullah edema sitotoksik.

Adanya edema dan kerusakan susunan saraf pusat ini memberikan maniesfeetasi kilnis

17

Page 18: ensefalitis Anak3

berupa ensefalitis. Area otak yang terkena dapat pada thalamus, ganglia basalis, batang otak,

serebelum, hipokampus dan korteks serebral. 3

Disisi lain JEV sebagai virus yang tergolong neurotropik mungkin dapat

menimbulkan kerusakan jaringan saraf dengan jalan seperti apa yang terjadi pada virus

neurotropik lainnya, yaitu setelah masuk virus ke tubuh manusia terutama setelah viremia

yang kedua, tubuh manusia membentuk kompleks antigen antibodi antivirus. Antibodi ini

bereaksi dengan antigen membentuk kompleks antigen antibodi yang beredar dalam darah

dan masuk ke susunan saraf pusat. Didalam susunan saraf pusat menimbulkan proses

inflamasi dengan akibat timbulnya edema dan selanjutnya terjadi anoksia, yang pada

akhirnya terjadi kematian sel susunan saraf pusat yang luas. 4

MORTALITAS DAN MORBIDITAS

Rasio laki- laki: perempuan yang terinfeksi adalah 1,5:1 untuk gejala simtomatik, dan

hanya 1 dari setiap 250 infeksi akan memberikan gejala simtomatik. Dalam 1 tahun terdapat

33- 50% pasien dengan gejala simtomatik meninggalkan gejala sisa neurologis berupa

kejang, parase saraf kranial atau motorik, atau kelainan gerakan. Mortalitas dengan

penanganan intensif sebesar 5- 10%, bahkan dinegara berkembang tingkat mortalitas dapat

mencapai 35%, diseluruh dunia dilaporkan 10.000 kematian setiap tahunnya. 8

MANISFETASI KLINIS

18

Page 19: ensefalitis Anak3

Gejala klinis JE tidak berbeda secara klinis dengan ensefalitis yang disebabkan oleh

virus lain. Namun bervariasi tergantung dari berat ringannya kelainan saraf pusat, umur dan

lain- lain. Spektrum penyakit dapat berupa hanya demam disertai nyeri kepala, meningitis

aseptik, dan meningoensefalitis. Masa inkubasi 4-14hari, setelah itu perjalanan penyakit akan

melalui 4 stadium klinis yaitu:

Stadium prodormal

Terjadinya penyakit ini agak cepat. Stadium prodormal berlangsung 2-3hari dimulai

dari keluhan sampai timbulnya gejala terserangnya susunan saraf pusat. Gejala yang sangat

dominan adalah demam, nyeri kepala, dengan atau tanpa mengigil. Gejala lain berupa

malaise, anoreksia, keluhan dari traktus respiratory seperti batuk, pilek dan keluhan

gastrointestinal seperti mual, muntah, nyeri didaerah epigastrium. Nyeri kepala dirasakan

didahi atau seluruh kepala, biasanya hebat dan tidak bisa dihilangkan dengan pemberian

analgesik. Demam selalu ada dan tidak mudah diturunkan dengan obat antipiretik. Namun

mungkin saja pasie JE hanya mengalami demam ringan atau gangguan pernafasan ringan. 3

Stadium akut

Stadium akut dapat berlangsung 3-4 hari, ditandai dengan demam tinggi yang tidak

turun dengan pemberian antipiretik. Apabila selaput otak telah terinfeksi dan membengkak

maka pasien akan merasakan nyeri dan kekakuan pada leher. Pasien mulai merasakan

dampak dari pembengkakan jaringan otak dan peningkatan tekanan intrakranial.

Gejala TIK meninggi berupa gangguan kesimbangan dan koordinasi, kelemahan otot-

otot, tremor, kekakuan pada wajah (wajah seprti topeng), nyeri kepala, mual, muntah, kejang,

penurunan kesadaran dari apatis hingga koma. Iritasi meningens berupa kuduk kaku,

biasanya timbul 1-3 hari swetelah sakit. Demam tetap tinggi, kontinu dan lamanya demam

dari permulaan penyakit berlangsung 7-8hari. Otot- otot kaku dan terdapat pula kelemahan

otot. Kelemahan otot menyeluruh timbul pada minggu ke-2 atau minggu ke- 3, bila

berlangsung hebat dan luas kadang- kadang memerlukan istirahat lama, bahkan dapat

menetap sampai kebanyakan gejala lain mereda. Kelainan saraf central , paresis, refleks deep

tendon meningkat atau menurun dan refleks patologis babinsky positif. 3

Pada kasus ringan mulai penyakitnya perlahan- lahan, demam tidak tinggi, nyeri

kepala ringan, demam akan menghilang pada hari ke-6 atau hari ke-7 dan kelainan neurologik

menyembuh pada akhir minggu ke-2 setelah mulainya penyakit. Pada kasus berat,

19

Page 20: ensefalitis Anak3

awitanpenyakit sangat akut, kejang menyerupai epilepsi , hiperpireksia, kelainan neurologik

yang progresif, penyulit kardiorespirasi dan koma, diakhiri dengan kematian pada hari ke- 7

dan ke-10 atau pasien hidup dan membaik dalam jangka waktu yang lama, kadang- kadang

terkena penyulit bakteri dan meninggalkan gejala sisa permanen. 3

Tanda yang agak khas dari JE adalah terjadinya perubahan gejala susunan saraf pusat

yang cepat, misalnya penderita hiperefleksi diikuti dengan hiporefleksi. Status kesadaran

pasien dapat bervariasi dari disorientasi , delirium, somnolen dan koma. Dapat disertai

oliguria, diare dan bradikardi relatif. Pada stadium ini pemeriksaan pada cairan serebrospinal

menunjukan leukositosis yang pada awalnya didominasi oleh sel PMN tetapi setelah

beberapa hari limfositosis. Albuminuria sering ditemukan. Apabila penderita dapat melalui

stadium ini, maka demam akan turun pada hari sakit ke-7 dan gejala akan menghilang pada

hari ke-14. Apabila tidak, demam akan tetap tinggi dan gejala memburuk. Pada kasus yang

fatal, perjalanan penyakit berlangsung cepat, penderita mengalami komadan meninggal

dalam 10hari. 3

Stadium sub akut

Pada stadium sub akut, gejala gangguan susunan saraf pusat berkurang namun

seringkali pasien menghadapi masalah pneumonia ortostatik, ISK dan dekubitus. Gangguan

fungsi saraf dapat menetap, seperti paralisis spastik, hipotrofi otot, sebagai akibat perawatan

lama dan pemasangan kateter urin, fasikulasi, gangguan saraf kranial dan gangguan

ektrapiramidal. 3

Stadium konvalesens

Stadium konvalesens berlangsung lama dan ditandai kelemahan, letargi, ganguan

koordinasi, tremor dan neurosis. Berat badan dapat sangat menurun. Stadium ini dimulai saat

menghilangnya inflamasi yaitu pada saat suhu kembali normal. Gejal neurologik bisa

menetap dan cenderung membaik. Bila penyakit JE berat dan berlangsung lama maka

penyembuhannya lebih lambat, tidak jarang sisa gangguan neurologik berlangsung lama.

Pasien menjadi kurus dan kurang gizi. Gejala sisa yang sering dijumpai ialah gangguan

mental berupa emosi tidak stabil, paralisis upper atau lower motor neuron. 3

Sekuele atau gejala sisa

20

Page 21: ensefalitis Anak3

Sekuele atau gejala sisa ditemukan pada 5- 70% kasus, umumnya pada anak usia

dibawah 10 tahun, dan pada bayi akan lebih berat. Kekerapan terjadinya sekuele berhubungan

langsung dengan beratnya penyakit. Sekuele tersebut dapat berupa gangguan pada:

1. Sistem motorik : motorik halus (72%), kelumpuhan (44%), gerakan abnormal (8%)

2. Perilaku : agresif (72%), emosi tak stabil (72%), gangguan perhatian(55%), depresi

(38%)

3. Intelektual : abnormal (72%), retardasi(22%)

4. Fungsi neurologi lain: gangguan ingatan (46%), afasia (38%), epilepsi (20%),

paralisis saraf kranial(16%) dan kebutaan (2%).

Seleksi kasus JE berdasarkan kriteria WHO (1979), dikutip dari lubis:

Demam lebih dari 380C

Gejala rangsang meningeal (kaku kuduk, Laseque, kernique, Brudzinsky I dan II)

Gejala rangsang korteks (kejang, gerakan involunter)

Gangguan kesadaran (disorientasi, delirium, somnolen sampai koma)

Gangguan saraf otak (terutama N.IX dan N.X berupa suara pelan dan parau)

Gejala piramidal ( kelumpuhan) dan ektrapiramidal (kekakuan otot dan gerakan

involunter)

Cairan otak jernih, protein positif, glukosa , 100mg/dl) 3

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

A. Pemeriksaan darah

Pemeriksan darah akan ditemukan anemia dan leukositosis ringan, rata- rata

13.000/mL, polimorffonuklear lebih banyak daripada mononuklear,

trombositopenia ringan dan peningkatkan laju endap darah. Natrium serum darah

dapat menurun karena sekresi antidiuretik hormon yang tidak adekuat. 7

B. Pemeriksaan cairan serebrospinal

Pada pemeriksaan cairan serebrospinal tampak jernih sampai opalense, tergantung

dari jumlah leukosit, pleositosis bervariasi antara 20- 50.000/mL. Pada beberapa

hari pertama tampak neutrofil dan limfosit, tetapi setelah itu tampak limfosit

dominan, kadar glukosa normal atau menurun, sedangkan kadar protein

21

Page 22: ensefalitis Anak3

meningkat 50- 100 mg/dL. Cairan serebrospinal jarang mengandung virus kecuali

pada kasus- kasus berat dan fatal. 7

C. Uji serologi

Adanya lebih satu flavivirus yang bersirkulasi secara bersamaan dalam darah

dengan antibodi yang dapat bereaksi silang, menimbulkan tantangan bagi uji

serologi untuk dapat mendeteksi JE, dan membedakannya dengan flavivirus lain.

Uji diagnostik baku untuk JE adalah pemeriksaan IgM Capture dengan cara

ELISA (Enzime Linked Imunno Sorbent Assay) dari serum atau cairan

serebrospinal. Sensitivitasnya mendekati 100%, bila kedua bahan tersebut

diperiksa. Beberapa reaksi silang dapat timbul dari flavivirus lain misalnya virus

dengue, virus West Nile dan pasca vaksinasi JE dan demam kuning .

2. PEMERIKSAAN KONFIRMASI

A. Isolasi virus

Isolasi JE jarang didapat dari darah dan cairan serebrospinal tetapi lebih sering

dari jaringan otak. Dari darah JEV dapat diisolasi selama stadium akut, sedangkan

dari CSS virus dapat diisolasi pada permulaan ensefalitis. Bila pada otopsi

didapatkan jaringan otak segar, JEV cukup banyak dapat diperoleh dari kasus

yang meninggal pada minggu pertama sakit. Spsesimen jaringan otak diinokulasi

intraserebral pada mencit yang baru lahir dan kemudian harus diidentifikasikan

dengan uji serologik dengan anti serum yang telah diketahui. Isolasi JEV untuk

kepentingan diagnostik kurang praktis biasany dilakukan untuk penelitian. 10

B. Pemeriksaan RT- PCR

Deteksi RNA virus JE dapat dilakukan dengan menggunakan Reverse

transcription PCR amflification (RT- PCR). Pada metode ini terlebih dahulu

dilakukan transkripsi terbalik RNA sasaran menjadi DNA komplemen kemudian

dilakukan amplikasi. Dengan menggunakan oligonukleotida yang spsesifik JE

cara ini dapat mendeteksi RNA virus JE dalam jumlah yang sangat sedikit.

Kelemahan metode ini adalah sangat mahal serta memerlukan teknik dan

peralatan yang rumit. Deteksi RNA virus hanya bermanfaat bila dilakukan pada

fase viremia, karena bila viremia telah berakhir, maka RT-PCR akan memberikan

22

Page 23: ensefalitis Anak3

hasil negatif.spesisimen untuk pemeriksaan ini bisa dari darah atau cairan

serebrospinal dan dilakukan pada minggu pertama sakit. 10

DIAGNOSIS BANDING

Manisfestasi klinis JE dapat pula ditemukan pada penyakit lain terutama yang

berkaitan dengan kelainan susunan saraf pusat, yaitu malaria serebral, meningitis bakteri,

meningitis aseptik, kejang demam, ensefalitis oleh flavivirus lain, rabies, sindrom reye, dan

enselofati toksik. 3

Beberapa diagnosis banding dapat disingkirkan dengan adanya tanda atau gejala yang

khas atau pemeriksaan khusus, misalnya :

Meningtis TBC : uji mantoux positif, biakan BTA dari cairan serebrospinal positif

Meningitis Bakterial: cairan serebrospinal purulen

Herpes zoster : kelumpuhan saraf kranial satu sisi

Leptospirosis: ikterus, hepatosplenomegali

Ensefalitis Herpes Simplek

23

Page 24: ensefalitis Anak3

Insiden HSE mencapai 2000 kasus setiap tahunnya di USA. HSV-1 meliputi lebih

dari 90% kasus HSE pada anak dan dewasa. HSV-2 terbanyak terjadi pada neonatal dan

orang dewasa tertentu. Tidak seperti HSV-1, HSV-2 merupakan penyebab umum meningitis

aseptik (biasanya pada pasien dengan herpes genital primer). Keduanya sering dihubungkan

dengan meningitis rekuren (meningitis Mollaret). Ensefalitis herpes simplek (HSE)

disebabkan oleh virus herpes simplek dan merupakan ensefalitis yang tersering menimbulkan

kematian. Angka kematian 70% dan hanya 2,5% pasien kembali normal bila tidak diobati.

EHS mendapat perhatian khusus karena dapat diobati, keberhasilan pengobatan ensefalitis

herpes simplek tergantung pada diagnosis dini dan waktu memulai pengobatan. Virus herpes

simplek tipe 1 umumnya ditemukan pada anak, sedangkan tipe 2 banyak ditemukan pada

neonatus. 1

HSE pada neonatal disebabkan penyebaran infeksi HSV-2 pada bayi baru lahir saat

melewati genital. Secara patologi, HSE merupakan ensefalitis dengan proses nekrotis akut,

dan predileksi di frontotemporal, cinguli dan korteks insular. Tidak terdapat gejala dan tanda

yang spesifik maupun sensitif untuk HSE. Riwayat penyakit demam dan luka di labia tidak

selalu ada. Onset umumnya cepat dan gejala klinis progresif dalam beberapa hari. Perubahan

kepribadian sukar untuk diamati, kejang sering terjadi umumnya parsial kompleks dan jarang

berkembang menjadi umum. Defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, afasia, muncul jika

HSE tidak diobati, dan dapat berkembang menjadi koma. Pada suatu analisis klinik patologi

retrospektif terhadap 46 kasus HSE, gejala saat masuk RS adalah gejala menyerupai

influenza (48%), sakit kepala mendadak, penurunan kesadaran (52%), kaku kuduk (65%),

afasia atau bisu (46%), koma dalam (35%), peningkatan tekanan intrakranial (33%), gejala

neurologis fokal (89%), dan kejang (61%). Sepertiga kasus terjadi pada pasien dibawah 20

tahun dan setengah kasus terjadi pada pasien diatas 50 tahun. 2

DIAGNOSIS

Anamnesis

Ensefalitis herpes simplek dapat bersifat akut atau subakut.

24

Page 25: ensefalitis Anak3

Fase prodormal menyerupai influenza, kemudian diikuti dengan gambaran khas

ensefalitis (demam tinggi, kejang, penurunan kesadaran).

Sakit kepala, mual, muntah, atau perubahan perilaku.

Pemeriksaan fisik

Kesadaran menurun merupakan berupa sopor koma sampai koma (40% kasus) dan gejala

peningkatan tekanan intrakranial. Hampir 80% memperlihatkan gejala neurologi fokal berupa

hemiparesis, paresis nervus kranialis, kehilangan lapang penglihatan, afasia dan kejang fokal.

Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe upper motor neuron

(spastis, hiperrefleks patologis, dan klonus). 8

Pemeriksaan penunjang 7

Gambaran darah tepi tidak spesifik

Pemeriksaan cairan serebrospinal memperlihatkan jumlah sel meningkat (90%) yang

berkisar antara 10- 1000 sel/mm3 dengan predominan limfosit. Pada 50% kasus dapat

ditemukan sel darah merah. Protein meningkat sedikit sampai 100mg/dL sedangkan

glukosa normal.

Elektroensefalografi (EEG) dapat memperlihatkan gambaran yangg khas yaitu

periodic lateralizing epileptiform discharge atau perlambatan fokal di area temporal

atau frontotemporal. Sering juga EEG memperlihatkan gambaran perlambatan umum

yang tidak spesifik.

Computed tomograpy (CT-Scan) kepala tetap normal dalam tiga hari pertama setelah

timbulnya gejala neurologi, kemudian lesi hipodens muncul di regio frontotemporal.

Magnetic resonance imaging (MRI) dapat memperlihatkan lesi hiperdens di regio

temporal paling cepat 2hari setelah munculnya gejala. Dapat pula memperlihatkan

peningkatan intensitas signal pada daerah korteks dan substansia alba pada daerah

temporal dan lobus frontalis inferior.

Polymerase chain reaction (PCR) likuor dapat mendeteksi titer antibodi virus herpes

simplek (VHS) dengan cepat. PCR menjadi positif segera setelah timbulnya gejala

dan pada sebagian besar kasus tetap positif segera setelah timbulnya gejala dan pada

sebagian besar kasus tetap positif selama 2 minggu atau lebih.

Pemeriksaan titer serum darah terhadap IgM- IgG HSV-1 dan HSV-2 dapat

menunjang diagnosis walaupun tidak dapat menyingkirkan diagnosis pasti.

25

Page 26: ensefalitis Anak3

Pada ensefalitis karena virus Herpes simpleks yang menjadi ciri khas ialah

progresivitas perjalanan penyakitnya. Mulai dengan sakit kepala, demam, dan muntah-

muntah, kemudian timbul gangguan kesadaran ( ”acute organic brain syndrome” ) yang cepat

memburuk sampai koma. Sebelum koma dapat ditemukan hemiparesis atau afasia. 9

Penegakan diagnosis HSE merupakan kombinasi dari gejala klinis dan penemuan

laboratorium. Leukosit perifer dapat meningkat dengan pergeseran ke kiri. Sejumlah 50%

pasien HSE memiliki kelainan pada CT scan kepala tanpa kontras, dan 50% dari terdapat

midline shift. Ct scan kepala dalam 4-5 hari pertama gejala klinis sering kali normal. MRI

merupakan pemeriksaan pencitraan yang paling sensitif tidak saja untuk penegakan

diagnosis dini tapi juga untuk mengetahui letak dan seberapa luas lesi. Gambaran yang

terlihat pada MRI adalah adanya udem fokal pada daerah medial lobus temporal, permukaan

orbital dari lobus frontal, korteks insular, dan girus singuli .MRI merupakan pencitraan

pilihan dalam HSE dan dianjurkan sebagai pemeriksaan pertama setelah pemeriksaan fisik.

EEG seringkali abnormal dalam banyak kasus. LCS dapat normal atau terjadi peningkatan

tekanan, menunjukkan limfositosis pleositik (10-200 sel/mm3), glukosa normal dan

peningkatan protein (0,6 – 6 gr/L) pada beberapa kasus terdapat eritrosit pada LCS (10 – 500

sel/mm3) dan sedikit kasus menunjukkan hypoglycorrhacia (2 – 2,5 mmol/L). PCR pada LCS

100% spesifik dan sensitivitas melebihi 90%. Negatif palsu sangat jarang terjadi dan

umumnya disebabkan pengambilan LCS yang terlalu awal (24 – 48 jam pertama) atau terlalu

lambat (setelah 10 – 14 hari), setelah pemberian terapi acyclovir, terdapat

heparin/hemoglobin pada LCS atau jika proses penyimpanan dan pengiriman LCS ke

laboratorium terlalu lama.

26

Page 27: ensefalitis Anak3

27

Page 28: ensefalitis Anak3

Ensefalitis CMV

Cytomegalovirus (CMV) merupakan anggota keluarga virus herpes. Infeksi CMV

umumnya berjalan asimtomatik pada penderita dengan system imun tubuh yang baik, namun

apabila individu berada dalam kondisi imun belum matang (misalnya janin, bayi baru lahir),

tertekan (memakai obat immunosupressan), atau lemah (misalnya menderita kanker, human

immunodeficiency virus, dan lain-lain), dapat menimbulkan gejala klinik yang nyata dan

berat. Setelah infeksi yang pertama kali, virus tersebut dapat terus hidup dengan status "laten"

dalam tubuh penderita selama bertahun - tahun. Infeksi CMV bersifat sistemik, menyerang

berbagai organ tubuh dan dapat meningkatkan proses inflamasi, memacu respons autoimun,

terlibat dalam patogenesis aterosklerosis, memacu timbulnya dan mempercepat progresivitas

keganasan, menyebabkan infertilitas.

CMV dapat mengenai hampir semua organ dan menyebabkan hampir semua jenis infeksi.

Organ yang bisa terkena CMV adalah:

Ginjal, sehingga disebut CMV nefritis

Hati, sehingga disebut CMV hepatitis

Jantung, sehingga disebut CMV myocarditis

Paru-paru, sehingga disebut CMV pneumonitis

Mata, sehingga disebut CMV retinitis

Lambung, sehingga disebut CMV gastritis

Usus, sehingga disebut CMV colitis

Otak, sehingga disebut CMV encephalitis

CMV dapat menular melalui (pertukaran) cairan tubuh misal air seni, air liur, darah,

air mata, air mani, dan air susu ibu. Penularan virus ini berlangsung cepat tanpa tanda-tanda

atau gejala. Akibat dari terinfeksi CMV dapat ringan namun juga dapat amat berbahaya.

Gejala dapat bervariasi mulai dari amat berat hingga gejala minimal, bahkan ada juga yang

tanpa gejala. Karena dapat menyerang hampir semua organ, gejalanya sangat bervariasi

tergantung dari organ yang diserang. Biasanya CMV menyebabkan demam, penurunan

jumlah sel darah putih (leukopenia) dan letih- lesu. Gejalanya dapat ringan hingga berat.

Kreatinin dapat meningkat pada pasien cangkok ginjal dengan infeksi CMV. Infeksi pada

paru-paru menimbulkan sesak dan batuk. Pada sistem cerna seperti misalnya lambung dan

28

Page 29: ensefalitis Anak3

usus, infeksi CMV menyebabkan mual, muntah dan diare. Ensefalitis (otak) CMV dapat

menyebakan kejang, nyeri kepal, dan koma. Apabila penderita sedang hamil, CMV bisa

menginfeksi janin dan mengakibatkan gangguan pada organ tertentu janin. Virus CMV pada

wanita hamil dapat berakibat pada janin yang dikandungnya dengan manifestasi berbeda-

beda, misalnya kulit berwarna kuning, pembesaran hati dan limpa, kerusakan atau hambatan

pembentukan organ tubuh seperti mata, otak, gangguan mental, dan lain-lain tergantung

organ janin mana yang diserang. Umumnya janin yang terinfeksi CMV lahir prematur dan

berat badan lahir rendah. Virus CMV biasa menghinggapi pasien cangkok organ pasca

transplantasi karena biasanya para pasien ini diberikan obat-obatan yang menekan sistem

kekebalan tubuh. Pemberian obat ini dimaksudkan supaya sistem kekebalan tubuh pasien

operasi cangkok organ tidak menyerang organ baru yang dicangkokkan. Efek samping dari

penekanan sistem kekebalan tubuh ini adalah ketidakmampuan tubuh untuk melawan infeksi,

termasuk serangan CMV. Pada pasien dengan sistem kekebalan yang tertekan (rendah),

Penyakit yang berhubungan dengan CMV mungkin dapat lebih agresif. CMV hepatitis dapat

menyebabkan kegagalan hati secara tiba-tiba dan cepat. Penyakit lainnya terdapat pada

orang-orang yang menderita cytomegalovirus retinitis (radang pada retina mata) dan

cytomegalovirus colitis (radang usus besar). Kebanyakan infeksi yang ada tidak terdiagnosa

karena CMV seringkali menampakkan sedikit gejala, bahkan bisa juga tanpa gejala.

Diagnosis pasti CMV ditetapkan berdasarkan pemeriksaan PCR (Polymerase Chain

Reaction) yang mendeteksi keberadaan DNA (materi genetik) virus CMV dalam darah.

Disamping itu, infeksi CMV juga ditetapkan dengan pemeriksaan kadar antibodi IgG dan

IgM.

Ensefalitis CMV jarang dijumpai pada subyek normal, namun sering terdapat pada

neonatus dan imunosupresi. Pada sebuah studi otopsi, 12% dari pasien terinfeksi HIV dan 2%

dari penerima transplantasi menderita ensefalitis CMV. Pada pasien dengan imunokompeten,

ensefalitis CMV biasanya self limiting, dengan gejala episode demam dan gejala klinis yang

non spesifik dari meningoensefalitis (sakit kepala, bingung, kejang, disfasia dan koma). LCS

menunjukkan gambaran pleositosis, peningkatan protein ringan dan kadar glukosa normal.

Kasus dimana terjadi bersamaan ensefalitis CMV dan HSV pernah dilaporkan pada penderita

dengan imunokompeten dan imunokompromais. Ensefalitis CMV umum ditemukan pada

penderita terinfeksi HIV, biasanya dalam infeksi CMV sistemik, radikulomielitis CMV, atau

retinitis. Kelainan neurologis yang khas adalah ventrikulo ensefalitis dan hampir separuhnya

bersamaan dengan ensefalopati akibat HIV, ensefalitis toxoplasmik atau limfoma sistem

29

Page 30: ensefalitis Anak3

saraf pusat primer. Gambaran klinis ensefalitis CMV pada imunosupresi umumnya

didominasi oleh kelemahan dan bingung yang dengan cepat dapat menjadi koma atau bahkan

meninggal. Pleositosis PMN pada LCS hanya terdapat pada pasien dengan disertai

radikulomielitis dimana pleositosis umumnya didominasi mononuklear. Kadar protein

umumnya tinggi (> 1 gr/L) dan kultur virus pada LCS negatif pada penderita AIDS dan

ensefalitis CMV. Sensitivitas PCR pada LCS untuk mendeteksi ensefalitis CMV 79% dengan

spesifisitas 95%. PCR sebagai alat diagnostik untuk ensefalitis CMV dianggap terlalu sensitif

sehingga dapat mendeteksi CMV pada pasien terinfeksi HIV yang tidak menderita ensefalitis.

30

Page 31: ensefalitis Anak3

Ensefalitis Virus Nipah

Ensefalitis virus nipah pertama kali ditemukan pada peternak babi di Malaysia

antara tahun 1998-1999 dan dijumpai pula pada para pekerja di Singapura. Contoh

LCS dari penderita menunjukkan paramyxovirus baru (disebut virus Nipah). Virus ini

mirip, namun tidak identik dengan virus hewan lain (virus Hendra) yang sebelumnya

telah menyerang kuda dan 3 pasien di Australia. Ensefalitis virus nipah adalah

ensefalitis epizoonotik berskala luas pertama yang ditransmisikan secara langsung

dari hewan ke manusia, tidak seperti ensefalitis zoonotik lainnya (sebagai contoh

ensefalitis Japanese, ensefalitis virus West Nile, ensefalitis virus Eastern equine),

yang membutuhkan vektor. Lebih dari 200 orang terkena di Malaysia dan wabah ini

merusak industri peternakan babi di negara ini. Babi yang terkena meninggal secara

mendadak dan tidak wajar. Pada manusia gejala didahului dengan riwayat kontak

langsung dengan babi di peternakan, masa inkubasi yang pendek (2 minggu),

penurunan keasadaran yang cepat, disfungsi batang otak prominen dan angka

kematian yang tinggi. Gejala klinis adalah mioklonus segmental, arefleksia, hipotoni,

dan disotonomia (hipertensi dan takikardi). Penemuan abnormal pada LCS mencapai

75% kasus, EEG menunjukkan gelombang lambat difus dengan abnormalitas fokal di

daerah temporal (75%), CT scan kepala umumnya normal dan MRI pada fase akut

menunjukkan lesi fokal yang tersebar luas di subkortikal dan area abu-abu.

31

Page 32: ensefalitis Anak3

DAFTAR PUSTAKA

1. Lazoff, M., et al, Encephalitis. Medscape Refference. 2011. Available from

http://emedicine.medscape.com/article/791896 Diakses 01 Desember 2013

2. Soedarmo, S.S.P., Herpes Simpleks. Dalam: Soedarmo, S.S.P.,Garna H. Infeksi&

Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI. 2010.143-154.

3. Saharso, D., Hidayati, S. N., Japanese Ensefalitis. Dalam: Soedarmo, S.S.P.,Garna H.

Infeksi& Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI. 2010.259-269

4. Hom, Jeffrey. Pediatric Meningitis and Encephalitis. Department of

Pediatrics/Emergency Service. 2011. New York University School of Medicine.

Available from http://emedicine.medscape.com/article/802760 diakses 01 Desember

2013

5. Ebaugh, Franklin, G., Neuropsychiatric Sequelae of Acute Epidemic Encephalitis in

children. Journal of Attention Disorders. 2007. SAGE publication.

6. Prober Charles, G. Infeksi Sistem Saraf Pusat. Dalam: Dalam: Richard E, Behrman,

Robert M, Kliegman, Hal B, Jenson, Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition, USA:

Elsevier. 2007. Chapter 169.2

7. Sastroasmoro, S. Ensefalitis. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan

Anak. Jakarta: RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. 2007

8. Yoserizal, M. Ensefalitis. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. Jakarta:

2004.

9. Kumar, V., Abbas, A., Fausto, N., Robins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 7th

Edition. Elsevier. 2007;1372-1374

10. Lewis, P., Glacor, C., Encephalitis. American Academic of Pediatrics: Pediatrics in

Review. 2005:26;353-363

32