Post on 24-Apr-2021
STUDI KASUS POLA ASUH ANAK BALITA TERHADAP STATUS GIZI KURANG DAN BURUK DI PESISIR KECAMATAN ABELI
KOTA KENDARI
Karya Tulis Ilmiah
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Pendidikan Program StudiDiploma Tiga (DIII) Gizi
OLEH :
WA RATINIM. P00331014.026
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIAPOLITEKNIK KESEHATAN KENDARI
PRODI D-III GIZI2017
ii
iii
STUDI KASUS POLA ASUH ANAK BALITA TERHADAP STATUS GIZI KURANG DAN BURUK DI PESISIR KECAMATAN ABELI
KOTA KENDARI
RINGKASAN
Wa RatiDi bawah bimbingan Wiralis dan Kasmawati
Latar Belakang : Pola asuh merupakan salah satu faktor penyebab masalah status gizi, Pola asuh merupakan faktor yang sangat berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak berusia di bawah lima tahun. Kekurangan gizi pada masa balita dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Studi kasus pola asuh anak balita terhadap status gizi kurang dan buruk di Pesisir Kecamatan Abeli Kota Kendari.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode observasi dan telah dilaksanakan di kecamatan Abeli Kota Kendari pada bulan Juni 2017. Sampel pada penelitian ini adalah 14 anak balita. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Total Sampling.
Hasil : Anak balita sebagian sebagian besar (78,6%) diberikan kolostrum. Sebagian besar (64,3%) sampel tidak diberikan ASI secara Eksklusif. sebagian besar sampel (71,4%) memiliki pemberian MP-ASI yang sesuai. Sebagian besar anak balita (57,1%) diberikan IMD setelah dilahirkan. Sebagian besar (57,1%) sampel tidak menderita penyakit infeksi diare. Sebagian besar sampel (64,3%) menderita ISPA. Pemberian vitamin A pada sampel (100%) menerima vitamin A serta sebagian besar (71,4%) memiliki pemberian yang lengkap sesuai dengan usianya. Serta sebagian besar sampel (57,1%) memiliki hygiene kategori baik. Sebagian besar sampel (64,3%) memiliki status gizi kurang. Dari hasil penelitian disarankan penelitian lebih lanjut hendaknya meneliti tentang hubungan masing-masing variable, serta meneliti variable yang lain seperti asupan, pola makan, serta status imunisasi.
Kata Kunci : Pola Asuh Anak Balita, Penyakit Infeksi, Vitamin A, Hygiene, Status Gizi.
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul
“Studi Kasus Pola Asuh Anak Balita Terhadap Status Gizi Kurang Dan Buruk Di
Pesisir Kecamatan Abeli Kota kendari” dengan baik sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Amd.Gz (Ahli Madya Gizi) di Program Studi D-III Gizi, Politeknik
kesehatan Kendari.
Dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini penulis dihadapkan dengan berbagai
hambatan, namun berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak maka hambatan
tersebut dapat teratasi. Olehnya itu dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan
rasa terima kasih yang sebesar–besarnya kepada :
1. Bapak Petrus, SKM, M.Kes selaku Direktur Poltekes Kendari.
2. Bapak Purnomo Leksono, DCN, M.Kes selaku Ketua Jurusan Gizi.
3. Ibu Wiralis, STP, M.Si. Med selaku Pembimbing Utama yang dengan penuh kesabaran
dan keikhlasan membimbing dalam proses penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini.
4. Ibu Kasmawati, S.Gz. M.Kes selaku Pembimbing II yang dengan penuh keikhlasan
memberikan motivasi dan bimbingan dalam proses penyusunan Karya Tulis Ilmiah
(KTI) ini.
5. Seluruh dosen pengajar dan staf Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Kendari atas segala
nasehat dan ilmu yang di berikan selama ini.
v
6. Sahabat-sahabat saya Nur Saleha, Helmi Adi Safitri, Seni Asria S, Fifit Sasrianti
Abdullah, Sulwina, Wa Ode Hardianti, dan Yusran Ainun Nini yang selalu mensuport
dan membantu saya.
7. Rekan-rekan Mahasiswa Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Kendari yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
Ucapan terimakasih teristimewa penulis peruntukkan kepada Ayahanda (La
Ridi) dan Ibunda (Wa Rukia), yang telah memberikan kasih sayang, Do’a, dukungan
moral, dan material, serta pengorbanan yang tidak ternilai dalam mendidik sejak kecil
hingga menyelesaikan pendidikan. Buat kakaku (Sarjun), adik-adiku (Winda dan
Meliana) serta semua keluarga besarku yang selalu mendukung dan memberikan
dorongan maupun arahan dalam menyelesaikan semua tugas-tugas selama dalam
menenpuh pendidikan khususnya penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih terdapat kekurangan dan
kekeliruan, karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Demikian hasil
penyusunan Karya Tulis Ilmiyah ini, semoga bermanfaat bagi semua pihak yang
membacanya.
Kendari, Juli 2017
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................. ii
RINGKASAN........................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR.............................................................................................. iv
DAFTAR ISI............................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL.................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Tujuan Penelitian........................................................................................... 4
C. Manfaat Penelitian......................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pola Asu Keluarga......................................................................................... 6
B. Status Gizi...................................................................................................... 39
C. Masyarakat Pesisir Pantai.............................................................................. 49
D. Kerangka Pemikiran dan Kerangka Konsep.................................................. 49
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian............................................................................................... 52
B. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................... 52
C. Sampel............................................................................................................ 52
D. Responden...................................................................................................... 52
E. Jenis dan Pengumpulan Data......................................................................... 53
F. Pengolahan dan Analisis................................................................................ 54
G. Penyajian Data.............................................................................................. 55
vii
H. Defenisi Operasional dan Kriteria Obyektif.................................................. 55
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil............................................................................................................... 58
B. Pembahasan.................................................................................................... 67
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.................................................................................................... 79
B. Saran.............................................................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pedoman pemberian makana pada anak yang mendapatkan ASI................. 23
Tabel 2 Klasifikasi status gizi anak balita.................................................................. 41
Tabel 3 Distribusi jumlah penduduk di Kecamatan Abeli......................................... 59
Tabel 4 Distribusi responden berdasarkan karakteristiknya...................................... 60
Tabel 5 Distribusi Sampel Berdasarkan Karakteristik Jenis Kelamin....................... 61
Tabel 6 Distribusi Sampel Berdasarkan Karakteristik Umur.................................... 61
Tabel 7 Distribusi Sampel Berdasarkan Pemberian Kolostrum................................ 62
Tabel 8 Distribusi Sampel Berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif........................... 63
Tabel 9 Distribusi Sampel Berdasarkan Pemberian MP-ASI.................................... 63
Tabel 10 Distribusi Sampel berdasarkan Pemberian IMD........................................ 64
Tabel 11 Distribusi Sampel berdasarkan Penyakit Infeksi Diare.............................. 64
Tabel 12 Distribusi Sampel berdasarkan Penyakit Infeksi ISPA............................... 65
Tabel 13 Distribusi Sampel berdasarkan Pemberian Vitamin A............................... 66
Tabel 14 Distribusi Sampel berdasarkan Kelengkapan Pemberian Vitamin A......... 67
Tabel 15 Distribusi Sampel berdasarkan Perilaku Hygiene...................................... 67
ix
DAFTAR GAMABAR
Gambar 1 Kerangka pikir........................................................................................... 50
Gambar 2 Kerangka konsep....................................................................................... 51
Gambar 3 Distribusi sampel berdaskan status gizi.................................................... 60
x
DAFTAR LAMPIRAN
1. Koesioner Penelitian
2. Master Tabel
3. Foto kegiatan saat melakukan penelitian
4. Surat izin penelitian dari badan penelitian dan pengembanagan
5. Surat keterangan telah melakukan penelitian
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah gizi pada balita seperti gizi kurang dan gizi buruk masih menjadi
masalah kesehatan nasional yang harus diatasi dengan serius. Badan kesehatan dunia
(WHO) memperkirakan bahwa 54% kematian anak disebabkan oleh keadaan gizi yang
buruk akibat penyakit penyerta infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), pneumonia,
diare, campak, dan pemberian vitamin A. Sementara masalah gizi di Indonesia
mengakibatkan lebih dari 80% kematian anak (WHO, 2007).
Terjadinya rawan gizi pada bayi dan balita disebabkan antara lain oleh karena
ASI (Air Susu Ibu) banyak di ganti oleh susu formula atau makanan pendamping ASI
dengan jumlah dan cara yang tidak sesuai kebutuhan. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Edmond et al (2005) menunjukkan bahwa 16% kematian bayi baru lahir
seharusnya dapat diselamatkan dengan pemberian ASI pada hari pertama dan
meningkat 22% jika menyusui dimulai pada 1 jam pertama setelah melahirkan. Di
Indonesia sendiri, sekitar 162 ribu balita meninggal setiap tahun atau sekitar 460 balita
setiap harinya akibat penyakit infeksi (diare dan ISPA) karena pemberian MP-ASI yang
tidak hygine. Anak dibawah 5 tahun mengalami lebih dari 200 kali diare per tahunnya
dan 4 juta anak meninggal diseluruh dunia karena diare dan malnutrisi.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), melaporkan secara nasional terjadi
peningkatan berat badan kurang pada balita tahun 2010 yaitu 17,9% yang terdiri dari
4,9% gizi buruk dan 13% gizi kurang menjadi 19,6% yang terdiri dari 5,7% gizi buruk
dan 13,9% gizi kurang pada tahun 2013. Dari 33 provinsi di Indonesia, Sulawesi
Tenggara menempati urutan ke-13 tertinggi berdasarkan indikator BB/U (Riskesdas,
2013). Hasil pemantauan dan pelaporan presentase balita dengan status gizi di wilayah
kota kendari tahun 2012, Balita Gizi Buruk di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan
jumlah gizi buruk tertinggi terdapat di Kota Kendari sebanyak 129 kasus (Profil
Kesehatan Sultra, 2012). Tahun 2014 terdapat 13 kasus gizi buruk (Profil Dinkes Sultra,
2014) dan meningkat pada tahun 2016 yaitu sebanyak 23 kasus gizi buruk (Profil
Dinkes Sultra, 2016).
Akibat yang ditimbulkan dari permasalahan gizi buruk dan gizi kurang sangat
kompleks. Gizi buruk akan berdampak pada tingginya angka kematian anak, penyakit
infeksi, gangguan pertumbuhan fisik, penurunan kemampuan belajar, penurunan
kemampuan kognitif, anggaran pencegahan dan perawatan yang meningkat sampai
pada penurunan produktivitas kerja yang pada akhirnya berdampak pada timbulnya
kerugian ekonomi pada wilayah tersebut (Aris dan Martianto, 2006).
Faktor penyebab gizi buruk dan gizi kurang dipengaruhi langsung oleh
konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh
ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, pendidikan orang tua, faktor budaya,
politik, dan lain sebagainya. Pola asuh juga merupakan salah satu faktor penyebab
masalah status gizi. Menurut Munawaroh (2015) ada hubungan antara pola asuh
dengan status gizi. Sri Khayati (2011) dan Evi Lutviana (2010) melaporkan bahwa
terdapat perbedaan status gizi buruk pada balita keluarga nelayan (8%) lebih besar
dibandingkan dengan balita pada keluarga tani (4,2%), hal ini dipengaruhi oleh pola
asuh ibu dan tingkat ketersediaan makanan serta sikap terhadap makanan tersebut
13
(Auliya, Woro, dan Budiono, 2015). Peta balita gizi kurang dan gizi buruk sebagian
besar berada di daerah pinggiran pantai (Persulessy, dkk. 2013). Wilayah pesisir
merupakan kawasan yang mempunyai karakteristik, masalah yang unik dan kompleks.
Lingkungan permukiman nelayan di kawasan pesisir pada umumnya merupakan
kawasan kumuh dengan tingkat pelayanan akan pemenuhan kebutuhan prasarana dan
sarana dasar lingkungan yang sangat terbatas (Mahmud, 2007).
Pola asuh merupakan faktor yang sangat berkaitan dengan pertumbuhan dan
perkembangan anak berusia di bawah lima tahun. Masa anak usia 1-5 tahun (anak
balita) adalah masa dimana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi
dalam jumlah yang cukup dan memadai. Kekurangan gizi pada masa ini dapat
menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial dan intelektual
yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa. Secara lebih
spesifik, kekurangan gizi dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan badan, lebih
penting lagi keterlambatan perkembangan otak dan dapat pula terjadinya penurunan
atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi (Santoso, 2005 dalam
Maryam, 2013). Pola asuh dalam konteks ini, mencakup beberapa hal yaitu makanan
yang merupakan sumber gizi, vaksinasi, ASI eksklusif, pengobatan saat sakit, tempat
tinggal, kebersihan lingkungan, dan lain - lain (Soetjiningsih, 2012 dalam Siwi, 2015).
Hasil penelitian Husin (2008) di wilayah terkena stsunami Kabupaten Pidie
Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam melaporkan bahwa pola asuh pemberian makan
dengan status gizi balita menunjukan bahwa pola asuh pemberian makan baik pada
status gizi baik 42 orang (85,7%), pola asuh praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan
dengan status gizi balita menunjukan bahwa pola asuh praktek kebersihan dan sanitasi
14
lingkungan dalam kategori kurang baik pada status gizi tidak baik sebanyak 19 orang
(51,4%), sedangkan pada status gizi baik 40 orang (88,9%).
Berdasarkan permasalahan diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti
mengenai Pola Asuh Anak Balita Terhadap Status Gizi Kurang Dan Buruk Di Pesisir
Kecamatan Abeli Kota Kendari.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui Pola Asuh Anak Balita Terhadap Status Gizi Kurang Dan
Buruk Di Pesisir Kecamatan Abeli Kota Kendari.
2. Tujuan khusus
1. Mengetahui pola asuh pemberian kolostrum anak balita di pesisir Kecamatan
Abeli Kota Kendari.
2. Mengetahui pola asuh pemberian ASI Eksklusif anak balita di pesisir
Kecamatan Abeli Kota Kendari.
3. Mengetahui pola asuh pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) anak
balita di pesisir Kecamatan Abeli Kota Kendari.
4. Mengetahui inisiasi menyusuu dini (IMD) anak balita usia di pesisir Kecamatan
Abeli Kota Kendari.
5. Mengetahui penyakit infeksi yatu diare dan ISPA anak balita di pesisir
Kecamatan Abeli Kota Kendari.
6. Mengetahui pemberian vitamin A anak balita di pesisir Kecamatan Abeli Kota
Kendari.
15
7. Mengetahui hygiene pada anak balita di pesisir Kecamatan Abeli Kota Kendari.
C. Manfaat Penelitian
1. Bagi pemerintah, sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil kebijakan dalam
upaya menangani masalah gizi kurang dan gizi buruk
2. Bagi pihak puskesmas, dapat menjadi masukan maupun informasi mengenai status
gizi anak balita yang ada di Kecamatan Abeli Pesisir Pantai Kota Kendari.
3. Bagi masyarakat, sebagai informasi untuk meningkatkan peran ibu khususnya
dalam pengasuhan anak
4. Bagi peneliti, merupakan pengaplikasian ilmu pengetahuan yang didapat selama
menempu pendidikan dibangku perkuliahan.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pola Asuh Keluarga
1. Pengertian Pola Asuh
Pengasuhan berasal dari kata asuh (to rear) yang mempunyai makna
menjaga, merawat dan mendidik anak yang masih kecil. Wagnel dan Funk
menyebutkan bahwa mengasuh itu meliputi menjaga serta memberi bimbingan
menuju pertumbuhan ke arah kedewasaan. Pengertian lain diutarakan oleh Webster
yang mengatakan bahwa mengasuh itu membimbing menuju ke pertumbuhan ke
arah kedewasaan dengan memberikan pendidikan, makanan dan sebagainya
terhadap mereka yang di asuh (Sunarti, dalam Lubis, 2008).
Pola asuh menurut Soekirman (2012) dalam lestari (2013) adalah asuhan
yang diberikan ibu atau pengasuh lain berupa sikap, dan perilaku dalam hal
kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan,
memberi kasih sayang, dan sebagainya. Semua hal tersebut berhubungan dengan
keadaan ibu dalam hal kesehatan fisik dan mental, status gizi, pendidikan umum,
pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, peran keluarga dan masyarakat.
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat
berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian
sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam
proses perkembangan anak. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai
17
peranan penting dalam pembentukan kepribadian yang akan berpengaruh pada
status gizi anak adalah praktik pengasuhan anak.
Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu di antaranya
adalah mengasuh putra-putrinya. Dalam mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi
oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di samping itu, orang tua juga diwarnai
oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-
putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang
berbeda-beda, karena orang tua mempunyai pola pengasuhan tertentu. Pola asuh
orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan
kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing, dan
mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan
norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Asmaliyah (2009) dalam lestari (2013) meyakini bahwa orang tua
seharusnya tidak bersifat menghukum maupun menjauhi anak, tetapi sebaiknya
membuat peraturan dan menyayangi mereka. Bila kasih sayang tersebut tidak ada,
maka seringkali anak akan mengalami kesulitan dalam hubungan sosial, dan
kesulitan ini akan mengakibatkan berbagai macam kelainan tingkah laku sebagai
upaya kompensasi dari anak. Sebenarnya, setiap orang tua itu menyayangi anaknya,
akan tetapi manifestasi dari rasa sayang itu berbeda-beda dalam penerapannya,
perbedaan itu akan nampak dalam pola asuh yang diterapkan.
Bayi dan anak dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan dasar untuk
tumbuh kembang, hal tersebut dikelompokkan menjadi tiga yaitu (Tanuwidjaya,
2002 dalam Kartini, 2008).
18
a. Kebutuhan fisis-biomedis (asuh), kebutuhan akan:
1) Nutrisi yang adekuat dan seimbang
Nutrisi sebagai bahan pembangun tubuh mempunyai pengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan, terutama di tahun-tahun pertama
kehidupan, dimana bayi sedang mengalami pertumbuhan sangat pesat,
terutama pertumbuhan otak.
2) Perawatan kesehatan dasar
Pemberian imunisasi sangat penting untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas terhadap penyakit-penyakit yang bisa dicegah dengan
imunisasi. Upaya deteksi dini, pengobatan dini dan tepat, diperlukan untuk
mengurangi morbiditas pada bayi dan anak. Kesehatan bayi dan anak harus
mendapat perhatian dari orang tua dengan cara membawa bayi atau anak
yang sakit ke tempat pelayanan kesehatan terdekat.
3) Pakaian layak, bersih dan aman
4) Perumahan layak dengan konstruksi bangunan yang aman dan menjamin
kesehatan penghuninya.
5) Hygiene diri dan sanitasi lingkungan
Kebersihan perorangan dan lingkungan memegang peranan penting
pada tumbuh kembang bayi dan anak. Kebersihan perorangan yang kurang
akan memudahkan terjadinya penyakit-penyakit kulit dan saluran
pencernaan, seperti diare.
19
b. Kebutuhan emosi atau kasih sayang (asih)
Kebutuhan asih yaitu kebutuhan terhadap emosi yang meliputi kasih
sayang orang tua, rasa aman, harga diri, mandiri, dorongan, rasa memiliki dan
kebutuhan mendapatkan kesempatan dan pengalaman.
c. Kebutuhan stimulasi (asah)
Kebutuhan ini merupakan cikal bakal proses pembelajaran bayi dan
anak, dengan menstimulasi yaitu perangsangan yang datang dari lingkungan luar
berupa latihan atau bermain.
Dari paparan diatas, menunjukkan bahwa pola asuh merupakan interaksi
antara orang tua dan anak dimana orang tua memiliki kegiatan pengasuhan pada
anak agar dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya. Pengasuhan tersebut
berupa pemberian makan, kasih sayang, penerapan disiplin, memberi perlindungan
dan lain sebagainya.
Kerangka konseptual yang dikemukan oleh UNICEF yang dikembangkan
lebih lanjut oleh Engle et al (1997) dalam Lubis (2008) menekankan bahwa tiga
komponen makanan – kesehatan – asuhan merupakan faktor-faktor yang berperan
dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal. Engle et al
(1997) mengemukakan bahwa pola asuh meliputi 6 (enam) hal yaitu : perhatian atau
dukungan ibu terhadap anak, pola pemberian ASI dan makanan pendamping pada
anak, rangsangan psikososial terhadap anak, persiapan dan penyimpanan makanan,
praktek kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan dan perawatan balita dalam
keadaan sakit seperti pencari pelayanan kesehatan.
20
a. Perhatian atau dukungan ibu terhadap anak dalam praktik pemberian makan
Semua orangtua harus memberikan hak anak untuk tumbuh. Semua anak
harus memperoleh yang terbaik agar dapat tumbuh sesuai dengan apa yang
mungkin dicapainya dan sesuai dengan kemampuan tubuhnya. Untuk itu perlu
perhatian/dukungan orangtua. Untuk tumbuh dengan baik tidak cukup dengan
memberinya makan, asal memilih menu makanan dan asal menyuapi anak nasi.
Akan tetapi anak membutuhkan sikap orangtuanya dalam memberi makan.
Semasa bayi, anak hanya menelan apa saja yang diberikan ibunya. Sekalipun
yang ditelannya itu tidak cukup dan kurang bergizi. Demikian pula sampai anak
sudah mulai disapih. Anak tidak tahu mana makanan terbaik dan mana makanan
yang boleh dimakan. Anak masih membutuhkan bimbingan seorang ibu dalam
memilih makanan agar pertumbuhan tidak terganggu.
Wanita yang berstatus sebagai ibu rumah tangga memiliki peran ganda
dalam keluarga, terutama jika memiliki aktivitas di luar rumah seperti bekerja
ataupun melakukan aktivitas lain dalam kegiatan sosial. Wanita yang bekerja di
luar rumah biasanya dalam hal menyusun menu tidak terlalu memperhatikan
keadaan gizinya, tetapi cenderung menekankan dalam jumlah atau banyaknya
makanan. Sedangkan gizi mempunyai pengaruh yang cukup atau sangat
berperan bagi pertumbuhan dan perkembangan mental maupun fisik anak.
Selama bekerja ibu cenderung mempercayakan anak mereka diawasi oleh
anggota keluarga lainnya yang biasanya adalah nenek, saudara perempuan atau
anak yang sudah besar bahkan orang lain yang diberi tugas untuk mengasuh
anaknya (Sunarti, 1989 dalam Lubis, 2008).
21
b. Pemberian ASI dan makanan pendamping pada anak
ASI hendaknya secepatnya diberikan kepada bayi karena ASI
merupakan makanan terbaik dan dapat memenuhi kebutuhan gizinya .
1) Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
Inisiasi Menyusu Dini didefinisikan sebagai proses membiarkan bayi
menyusui sendiri setelah kelahiran. Bayi diletakkan di dada ibunya dan bayi
itu sendiri dengan segala upayanya mencari puting untuk segera menyusui.
Jangka waktunya adalah sesegera mungkin setelah melahirkan. IMD sangat
penting tidak hanya untuk bayi, namun juga bagi ibu. Dengan demikian,
sekitar 22% angka kematian bayi setelah lahir pada satu bulan pertama dapat
ditekan. Hal tersebut juga penting dalam menjaga produktivitas ASI. Isapan
bayi penting dalam meningkatkan kadar hormon prolaktin, yaitu hormon
yang merangsang kelenjar susu untuk memproduksi ASI. Isapan itu akan
meningkatkan produksi susu dua kali lipat. Itulah bedanya isapan dengan
perasan (Yuliarti, 2010 dalam Nugraheni, 2011).
Cara melakukan IMD ini disebut pula breast crawl atau merangkak
untuk mencari puting ibu secara alamiah. Pada prinsipnya IMD merupakan
kontak langsung antara kulit ibu dan kulit bayi, bayi ditengkurapkan di dada
atau di perut ibu selekas mungkin setelah seluruh badan dikeringkan, kecuali
pada telapak tangannya. Kedua telapak tangan bayi dibiarkan tetap terkena
air ketuban karena bau dan rasa cairan ketuban ini sama dengan bau yang
dikeluarkan payudara ibu, dengan demikian ini menuntun bayi untuk
menemukan puting. Lemak (verniks) yang menyamankan kulit bayi
22
sebaiknya dibiarkan tetap menempel. Kontak antarkulit ini dilakukan sekitar
satu jam sampai bayi selesai menyusu (Siswosuharjo dan Chakrawati, 2010
dalam Nugraheni, 2011).
Tindakan IMD membantu bayi memperoleh air susu ibu (ASI)
pertamanya dan dapat meningkatkan produksi ASI serta membangun ikatan
kasih antara ibu dan bayi. Selain itu, bayi yang menyusu dalam 20-30 menit
pertama setelah lahir akan membangun refleks mengisap pada bayi sehingga
proses menyusu berikutnya akan lebih baik. (Trihendradi dan Indarto, 2010
dalam Nugraheni, 2011).
Berdasarka penelitian yang dilakukan Aprilia (2009) menyatkan
bahwa keberhasilan program Inisiasi Menyusu Dini (IMD) sangat
dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan, dan motovasi bidan atau dokter yang
menangani proses persalinan. Selain itu keberhasilan ibu menyusui juga
harus didukung oleh suami, keluarga, petugas kesehatan, dan masyarakat.
2) Praktek pemberian kolostrum
a) Batasan kolostrum
Kolostrum (susu pertama) adalah ASI yang keluar pada hari-hari
pertama setelah bayi lahir (1-7 hari) berwarna kekuning-kuningan dan
lebih kental karena mengandung banyak vitamin, protein, dan zat
kekebalan yang penting untuk kesehatan bayi dari penyakit infeksi
(Depkes RI, 2005 dalam Suwiji, 2006).
Menurut Suhardjo, dkk (1986) dalam Suwiji (2006) cairan yang
dikeluarkan dari buah dada ibu selama beberapa hari pertama setelah
23
bayi dilahirkan merupakan suatu cairan yang menyerupai air, agak
kuning yang dinamakan kolostrum. Cairan tersebut mengandung lebih
banyak protein dan mineral serta sedikit karbohidrat dari pada susu ibu
sesudahnya. Kolostrum juga mengandung beberapa bahan anti penyakit
yang dialihkan melalui susu dari tubuh ibu kepada bayi yang diteteki.
Bahan anti tersebut membantu bayi menyediakan sedikit kekebalan
terhadap infeksi penyakit, selama bulan-bulan pertama dari hidupnya.
b) Hal-hal yang berpengaruh terhadap pemberian kolostrum
Meskipun kolostrum sangat penting untuk meningkatkan daya
tahan bayi terhadap penyakit, namun masyarakat terutama ibu-ibu masih
banyak yang tidak memberikan kolostrum kepada bayinya (Depkes RI,
2000 dalam Suwiji, 2006). Hal ini sebagian besar disebabkan oleh
ketidaktahuan mereka akan manfaat kolostrum bagi bayinya.
Kebanyakan ibu-ibu di pedesaan yang persalinannya ditolong oleh
dukun bayi belum terlatih selalu membuang kolostrum dengan alasan
bahwa ASI tersebut mengandung bibit penyakit. Biasanya kolostrum
tersebut dikubur bersama plasenta bayi. Selain karena kepercayaan
tersebut di beberapa daerah memang terdapat tradisi yang mengharuskan
untuk membuang kolostrum. Sedangkan sedikitnya penyuluhan yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan gizi
masyarakat semakin memperburuk keadaan ini.
24
3) Praktek pemberian ASI
Pola pemberian ASI merupakan model praktek penyusuan/pemberian
ASI oleh ibu kepada bayinya pada usia 0-6 bulan pertama kehidupan bayi.
Pola pemberian ASI dibedakan menjadi 2 macam yaitu pola eksklusif dan
pola non eksklusif (Depkes RI, 1998 dalam Suwiji, 2006).
a) Batasan ASI eksklusif dan non eksklusif
ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sejak lahir
sampai usia 6 bulan tanpa diberi makanan pendamping ataupun makanan
pengganti ASI. Sedangkan ASI non eksklusif adalah pola pemberian
ASI yang ditambah dengan makanan lain baik berupa MP-ASI maupun
susu formula (Depkes RI, 1998 dalam Suwiji, 2006).
b) Alasan pemberian ASI eksklusif antara lain adalah:
(1) Pada periode usia bayi 0–6 bulan kebutuhan gizi bayi baik kualitas
maupun kuantitas terpenuhi dari ASI saja tanpa harus diberikan
makanan/minuman lainnya.
(2) Pemberian makanan lain akan mengganggu produksi ASI dan
mengurangi kemampuan bayi untuk mengisap.
(3) Zat kekebalan dalam ASI maksimal dan dapat melindungi bayi dari
berbagai penyakit infeksi.
Asam lemak essensial dalam ASI bermanfaat untuk pertumbuhan
otak sehingga merupakan dasar perkembangan kecerdasan bayi
dikemudian hari. Penelitian menunjukan bahwa IQ pada bayi yang diberi
ASI memiliki IQ point 4,3 point lebih tinggi pada usia 18 bulan, 4-6
25
point lebih tinggi pada usia 3 tahun, dan 8,3 point lebih tinggi pada usia
8,5 tahun, dibanding dengan bayi yang tidak diberi ASI (Depkes RI,
2005 dalam Suwiji, 2006).
c) Kebutuhan ASI bayi
Rata-rata bayi memerlukan 150 ml susu per kilogram BB perhari,
sehingga bayi dengan BB 3,5 Kg memerlukan 525 ml sehari, bayi 5 Kg
memerlukan 750 ml, dan bayi 7 Kg memerlukan 1 L per hari. Apabila
bayi mengikuti garis pertumbuhan normalnya selama 6 bulan pertama
maka kebutuhan susu 15 L (Savage, 1991 dalam Suwiji, 2006).
d) Lama menyusui
Ibu selalu dinasehati untuk menyusui selama 3-5 menit dihari-
haripertama dan 5–10 menit dihari-hari selanjutnya. Namun demikian,
pengisapan oleh bayi biasanya berlangsung lebih lama antara 15–25
menit (Winarno F.G, 1990 dalam Suwiji, 2006).
e) Hal-hal yang berpengaruh terhadap pola pemberian ASI
Hal-hal yang mendasar yang sangat berhubungan dengan pola
pemberian ASI adalah pengetahuan ibu mengenai ASI eksklusif, baik
maksud maupun manfaat pemberian ASI tersebut bagi bayi.
Pengetahuan ini dapat ditingkatkan dengan penyuluhan oleh petugas
kesehatan.
26
4) Pola pemberian MP-ASI
a) Pengertian
Menurut Utam dan Herguatanto (2016) MP-ASI adalah makanan
atau minuman selain ASI yang mengandung zat gizi yang diberikan
kepada bayi selama priode penyapihan (complementary feeding) yaitu
pada saat makan atau minuman lain diberikan bersama pemberian ASI.
MP-ASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu) adalah makanan atau
minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak
usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI (Depkes,
2006).
Makanan pendamping ASI (MP-ASI) merupakan makanan
peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian
MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun
jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi. Pemberian MP-ASI yang
cukup kualitas dan kuantitasnya penting untuk pertumbuhan fisik dan
perkembangan kecerdasan anak yang sangat pesat pada periode ini,
tetapi sangat diperlukan hygienitas dalam pemberian MP-ASI tersebut.
Sanitasi dan hygienitas MP-ASI yang rendah memungkinkan terjadinya
kontaminasi mikroba yang dapat meningkatkan risiko atau infeksi lain
pada bayi. Selama kurun waktu 4-6 bulan pertama ASI masih mampu
memberikan kebutuhan gizi bayi, setelah 6 bulan produksi ASI menurun
sehingga kebutuhan gizi tidak lagi dipenuhi dari ASI saja. Peranan
27
makanan tambahan menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan
gizi bayi tersebut (Mufida, 2015).
b) Syarat Makan Pendamping ASI
pendamping ASI (MP-ASI) diberikan sejak bayi berusia 6 bulan.
Makanan ini diberikan karena kebutuhan bayi akan nutrien-nutrien untuk
pertumbuhan dan perkembangannya tidak dapat dipenuhi lagi hanya
dengan pemberian ASI. MP-ASI hendaknya bersifat padat gizi,
kandungan serat kasar dan bahan lain yang sukar dicerna seminimal
mungkin, sebab serat yang terlalu banyak jumlahnya akan mengganggu
proses pencernaan dan penyerapan zat-zat gizi. Selain itu juga tidak
boleh bersifat kamba, sebab akan cepat memberi rasa kenyang pada bayi.
MP-ASI jarang dibuat dari satu jenis bahan pangan, tetapi merupakan
suatu campuran dari beberapa bahan pangan dengan perbandingan
tertentu agar diperoleh suatu produk dengan nilai gizi yang tinggi.
Pencampuran bahan pangan hendaknya didasarkan atas konsep
komplementasi protein, sehingga masing-masing bahan akan saling
menutupi kekurangan asam-asam amino esensial, serta diperlukan
suplementasi vitamin, mineral serta energi dari minyak atau gula untuk
menambah kebutuhan gizi energy (Mufida, 2015).
c) Kesiapan Bayi untuk Menerima MP-ASI
Saat tepat mulai pemberian makanan pendaping ASI (MP-ASI)
bergantung pada kesiapan bayi yaitu:
28
(1) Kesiapan fisik
(a) Refleks ekstrusi (menjulurkan lidah) telah sangat berkurang atau
sudah menghilang
(b) Perkembangan keterapilan oromotor yaitu semula hanya mampu
mengisap dan menelan yang cair menjadi mengunyah dan
menelan makanan yang lebih kental dan padat
(c) Mampu menahan kepala tetap tegak
(d) Duduk tanpa atau hanya dengan sedikit bantuan dan mampu
menjaga keseimbangan badan
(2) Kesiapan psikologis
(a) Dari replektif (berdasarkan reflek) ke imitative
(b) Lebih mandiri dan eksploratif
(c) Mampu menunjukkan keinginan makan dengan cara membuka
mulutnya, rasa lapar dengan memajukan tubuhnya kedepan
(kearah makan) tidak berminat untuk kenyang dengan menarik
tubuh kebelakang (Utam dan Herguatanto, 2016)
d) Cara Memperkenalkan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Pengenalan jenis, tekstur dan konsistensi makanan, frekuensi dan
jumlah harus secara bertahap. Beberapa hal penting yang berkaitan yaitu
(1) Mencoba makanan pertama kali. Bubur beras yang diperkaya zat besi
di anjurkan sebagai makanan pertama. Setelah bubur matang,
diamkan dan tambahkan ASI perah atau susu formula yang bisa
diminum bayi
29
(2) Berikan makanan 1 -2 sendok teh sesudah bayi minum ASI atau susu
formula
(3) Jenis makan diperkenalkan satu persatu dan pemberian diulang
selama 2 hari agar bayi dapat mengenal rasa, aroma jenis makanan.
Mengenalkan makanan baru tidak cukup hanya 1 -2 kali tetapi bisa
sampai 10 – 15 kali sebelum dinyatakan memeng tidak suka pada
makanan
(4) Jumlah makanan ditambah bertahap sampai jumlah yang sesuai atau
yang dapat dihabiskan bayi (Utam dan Herguatanto, 2016).
e) Manfaat Pemberian Makan Pendamping ASI
Pemberian makan setelah bayi berumur 6 bulan memberikan
perlindungan besar dari berbagai penyakit. Pemberian MP-ASI dini
sama saja dengan membuka pintu gerbang masuknya berbagai jenis
kuman. Karena system pencernaan bayi pada umur 0-6 bulan masih
belum matur dan belum siap menerima berbagai jenis makanan. Dalam
menyajikan makanan kurang terjaga. Kebersihan cara penyimpanan yang
kurang baik (terbuka), sehingga makanan terkontaminasi oleh bakteri
juga merupakan penyebab diare. Hasil riset terakhir dari penelitian di
Indonesia menunjukkan bahwa ada hubungan pemberian MP ASI dini
dengan kejadian diare pada bayi umur 0-12 bulan serta bayi yang
mendapatkan MP ASI dini mempunyai peluang 7,8 kali mengalami diare
(Maharani, 2016).
30
Pemberian makan setelah bayi berumur 6 bulan juga dapat
mengurangi resiko terkena alergi akibat makanan. Saat bayi berumur < 6
bulan, sel-sel disekitar usus belum siap untuk kandungan dari makanan,
sehingga makanan yang masuk dapat menyebebkan reaksi imun dan
terjadi alergi. Menunda pemberian MP-ASI dini melindungi bayi dari
obesitas dikemudian hari.
f) Frekuensi dan Porsi Pemberian Makanan Pendamping ASI
Pemberian makanan tambahan (MP-ASI) berarti memberikan
makanan pada bayi selain ASI. Selama priode pemberian makanan
tambahan seorang bayi perlahan-lahan terbiasa memakan makan
keluarga. Dimana pada akhir priode ini (biasanya sekitar usia 2 tahun)
ASI sudah diganti seluruhnya dengan makanan keluarga walaupun
kadang- kadang anak masih ingin menyusu untuk kenyamanan (Rosidah,
2004 dalam Djaya, 2012).
Pemberian makanan pertama cukup dua kali sehari satu atau dua
sendok teh penuh. Kebutuhan bayi akan meningkat seiring tumbuh
kembangnya, jika bayi telah menggemari makanan tersebut maka akan
mengonsumsi 3 – 6 sendok penuh tiap kali makan dan ASI tetap
diberikan. Pada usia 6 – 9 bulan bayi membutuhkan empat porsi itu paun
bayi masih kelaparan maka berilah makanan selingan seperti buah (buah
merupakan mkanan selingan yang sempurnah) dan biscuit. Bayi
memerlukan makanan setiap 2 jam, begitu ia terbangun. Pada usia 9
bulan bayi telah mempunyai gigi dan mulai pandai mengunyah kepingan
31
makanan, usia 1 tahun bayi sudah mampu memakan makanan orang
dewasa pada masa ini ia makan empat sampai lima kali sehari. Usia 2
tahun memerlukan makanan separuh orang dewasa (Arisman, 2009).
Makanan tambahan (MP-ASI) yang diberikan terlalu cepat pada
anak dapat berbahaya karena:
(1) Anak belum membutuhkan makanan tambahan saat ini karena
makanan tersebut dapat menggantikan ASI. Sehingga jumlah ASI
yang dikonsumsi menjadi lebih sedikit
(2) Anak mudah terkena infeksi karna hanya sedikit memperoleh
kandungan imunitas dari ASI
(3) Anak lebih berisiko terkena diare karena makanan tambahan tidak
sebersih ASI
(4) Kebutuhan gizi anak kadang tidak terpenuhi karena makanan
tambahan sering dalam bentuk yang encer sehingga hanya membuat
lambung menjadi penuh tetapi nutrient lebih sedikit disbanding ASI
(5) Ibu mempunyai resiko tinggi untuk hamil kembali jika sudah jarang
menyusui
Bila ingin memberikan makanan pendamping ASI dengan benar
maka dapat dimulai dengan makanan apapun yang lunak untuk di telan,
tetapi tetap ingat bahwa bayi tidak terbiasa pada suatu yang mempunyai
rasa yang lebih kuat atau lebih kental dari pada ASI. Rasa dari makanan
baru dapat mengagetkan anak. Sehingga ibu di sarankan untuk mulai
dengan memberikan makanan satu atau dua sendok teh sebanyak 2 kali
32
dalam sehari dan berangsur- angsur tingkatkan jumlah dan variasinya
karena seorang anak sudah harus mengkonsumsi berbagai jenis makanan
keluarga pada usia 9 bulan (Rosidah, 2004 dalam Djaya, 2012).
Makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang baik untuk diberikan
pada bayi adalah
(1) Kaya energi, protein dan makronutrien (terutama zink, zat besi,
kalsium, vitamin A, vitamin C dan asam folat)
(2) Bersih dan aman (tidak ada pathogen, tidak ada bahan kimia dan
tidak terlalu panas)
(3) Tidak terlalu pedas atau asin
(4) Mudah dimakan oleh anak dan disukai
(5) Tersedia didaerah tempat tinggal dan harganya terjangkau
(6) Mudah disiapkan
Pemberian makan tambahan bagi bayi setelah usianya mencapai
6 bulan adalah waktu yang tepat, karena saat usia bayi makin bertambah
mereka lebih aktif dan ASI saja sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan
nutrisi bayi.
33
Tabel 1
Pedoman Pemberian Makan Pada Anak Usia 6-23
Yang Mendapatkan ASI
Umur Tekstur Frekuensi Jumlah rata-rata /kali makan
6–8 bulan
Mulai dengan bubur halus, lembut, cukup kental, dilanjutkan bertahap menjadi lebih kasar
2-3x /hari, ASI tetap sering diberikan. Tergantung nafsu makannya, dapat diberikan 1-2x selingan
Mulai dengan 2-3 sdm/kali ditingkatkan bertahap sampai ½ mangkok / ½ gelas air mineral kemasan (125 ml). waktu makan tidak lebih dari 30 menit
9–11 bulan
Makanan yang dicincang halus atau disaring kasar, ditingkatkan semakin kasar sampai makanan bisa dipegang/ diambil dengan tangan
3-4x /hari, ASI tetap diberikan, tergantung nafsu makanya dapat diberikan 1-2x selingan
½ sampai ¾ mangkok (125 – 175 ml) waktu makan tidak boleh lebih dari 30 menit
12-23Bulan
Makanan keluarga bila perlu masih dicincang atau di saring kasar
3-4x /hari ASI tetap diberikan tergantung nafsu makannya, dapat diberikan 1-2x selingan
¾ sampai 1 mangkok (175-250 ml). waktu makan tidak boleh lebih dari 30 menit
Sumber : WHO 2009 dalam Utomu dan Herguatanto, 2016.
5) Praktek penyapihan
(a) Batasan Penyapihan
Masa penyapihan adalah proses dimana seorang bayi secara
perlahan-lahan memakan makanan keluarga ataupun makanan orang
dewasa sehingga secara bertahab bayi semakin kurang
ketergantungannya pada ASI dan perlahan-lahan proses penyusuan akan
berhenti. Bayi yang sehat pada usia penyapihan akan tumbuh dan
berkembang sangat pesat, sehingga perlu penjagaan khusus untuk
34
memastikan bahwa bayi mendapat makanan yang benar (Depkes RI,
1998 dalam Suwiji, 2006).
(b) Masa penyapihan
Masa penyapihan dapat terjadi pada waktu yang berbahaya bagi
bayi. Di beberapa tempat, bayi pada usia penyapihan tidak tumbuh
dengan baik, maka sering jatuh sakit dan lebih sering terkena penyakit
infeksi terutama diare, dibanding waktu-waktu lain. Bayi-bayi yang
kurang gizi mungkin akan menjadi lebih buruk keadaannya pada masa
penyapihan. Makanan yang tidak cukup dan adanya penyakit membuat
bayi tidak tumbuh dengan baik. Hal ini dapat terlihat pada KMS terjadi
kenaikan Berat Badan yang tidak memuaskan atau dalam keadaan yang
lebih parah terjadi penurunan Berat Badan (Depkes RI, 1998 dalam
Suwiji, 2006).
(c) Hal-hal yang berpengaruh terhadap praktek penyapihan dini
Penyapihan dimulai pada umur yang berbeda pada masyarakat
yang berbeda. Menurut studi WHO pada tahun (1981) dalam Suwiji
(2006) dipelajari bahwa jumlah ibu-ibu di pedesaan yang mulai
penyapihan lebih awal tidak sebanyak diperkotaan. Di daerah semi
perkotaan, ada kecenderungan rendahnya frekuensi menyusui dan ASI
dihentikan terlalu dini karena ibu kembali bekerja. Hal ini menyebabkan
kebutuhan zat gizi bayi/anak kurang terpenuhi apalagi kalau pemberian
MP-ASI kurang diperhatikan, sehingga anak menjadi kurus dan
pertumbuhannya sangat lambat.
35
Selain karena alasan tersebut kegagalan penyusuan akibat
pemberian makanan atau minuman prelaktal sebelum ASI keluar juga
menjadi alasan praktek penyapihan dilakukan secara dini, disamping
karena ASI tidak keluar dari sesaat sesudah melahirkan.
c. Rangsangan psikososial terhadap anak
Rangsangan psikososial adalah rangsangan berupa perilaku seseorang
terhadap orang lain yang ada di sekitar lingkungannya seperti orang tua, saudara
kandung dan teman bermain (Atkinson dkk, 1991dalam Lubis, 2008).
Fahmida (2003) dalam Lubis (2008) yang mengutip pendapat Myers
mengemukakan konsep bahwa kesehatan dan status gizi tidak saja menentukan
tapi juga ditentukan oleh kondisi psikososial. Konsep ini selaras dengan
penelitian sebelumnya oleh (Zeitlin, dkk. 1990) yang meniliti anak-anak yang
tetap tumbuh dan berkembang dengan baik dalam keterbatasan lingkungan
dimana sebagian besar anak lainnya mengalami kekurangan gizi. Dalam
penelitian tersebut terungkap bahwa kondisi dan asuhan psikososial seperti
keterikatan antara ibu dan anak merupakan salah satu faktor penting yang
menjelaskan mengapa anak-anak tersebut tumbuh dan berkembang dengan baik.
Diperkirakan bahwa kondisi psikososial yang buruk dapat berpengaruh negatif
terhadap penggunaan zat gizi didalam tubuh, sebaliknya kondisi psikososial
yang baik akan merangsang hormon pertumbuhan sekaligus merangsang anak
untuk melatih organ-organ perkembangannya. Selain itu, asuhan psikososial
yang baik berkaitan erat dengan asuhan gizi dan kesehatan yang baik pula
36
sehingga secara tidak langsung berpengaruh positif terhadap status gizi,
pertumbuhan dan perkembangan (Engle,1997 dalam Lubis, 2008).
d. Persiapan dan penyimpanan makanan
Pada saat mempersiapkan makanan, kebersihan makanan perlu mendapat
perhatian khusus. Makanan yang kurang bersih dan sudah tercemar dapat
menyebabkan diare atau cacingan pada anak. Begitu juga dengan si pembuat
makanan dan peralatan yang dipakai seperti sendok, mangkok, gelas, piring dan
sebagainya sangat menentukan bersih tidaknya makanan.
e. Praktek kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan
Perilaku hidup bersih dan sehat adalah semua perilaku kesehatan yang
dilakukan atas kesadaran sehinggan anggota keluarga atau keluarga dapat
menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam
kegiatan-kegiatan di masyarakat ( Depertemen Kesehatan RI, 2007 dalam Sari,
2012).
Widaninggar (2003) dalam Lubis (2008) menyatakan kondisi
lingkungan anak harus benar-benar diperhatikan agar tidak mempengaruhi
kesehatannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan rumah dan
lingkungan adalah bangunan rumah, kebutuhan ruang (bermain anak),
pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih, pembuangan
sampah/limbah, kamar mandi dan jamban/ WC dan halaman rumah. Kebersihan
perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang peranan penting bagi
tumbuh kembang anak. Kebersihan perorangan yang kurang akan memudahkan
terjadinya penyakit-penyakit kulit dan saluran pencernaan seperti diare dan
37
cacingan. Sedangkan kebersihan lingkungan erat hubungannya dengan penyakit
saluran pernafasan, saluran pencernaan, serta penyakit akibat nyamuk. Oleh
karena itu penting membuat lingkungan menjadi layak untuk tumbuh kembang
anak sehingga meningkatkan rasa aman bagi ibu atau pengasuh anak dalam
menyediakan kesempatan bagi anaknya untuk mengeksplorasi lingkungan.
Sulistijani (2001) dalam Lubis (2008) mengatakan bahwa lingkungan
yang sehat perlu diupayakan dan dibiasakan tetapi tidak dilakukan sekaligus,
harus perlahan-lahan dan terus menerus. Lingkungan sehat terkait dengan
keadaan bersih, rapi dan teratur. Oleh karena itu, anak perlu dilatih untuk
mengembangkan sifat-sifat sehat seperti berikut:
1. Mandi 2 kali sehari
2. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan
3. Makan teratur 3 kali sehari
4. Menyikat gigi sebelum tidur
5. Buang air kecil pada tempatnya / WC.
Awalnya mungkin anak keberatan dengan berbagai latihan tersebut.
Namun, dengan latihan terus-menerus dan diimbangi rasa kasih sayang dan
dukungan oarang tua, anak akan menerima kebijaksanaan dan tindakan disiplin
tersebut. kemudian perilaku mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu
tindakan hygiene sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari
menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan
memutuskan mata rantai kuman. Mencuci tangan dengan sabun dikenal juga
sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit. Hal ini dilakukan karena tangan
38
seringkali menjadi agen yang membawa kuman dan menyebabkan pathogen
berpindah dari satu orang ke orang lain, baik dengan kontak langsung ataupun
kontak tidak langsung (menggunakan permukaan-permukaan lain seperti
handuk, gelas).
Mencuci tangan dengan sabun merupakan salah satu cara paling efektif
untuk mencegah penyakit diare dan ISPA, yang keduanya menjadi penyebab
utama kematian anak-anak. Setiap tahun sebanyak 3,5 juta anak-anak diseluruh
dunia meninggal sebelum mencapai umur 5 tahun karena penyakit diare dan
ISPA. Mencuci tangan dengan sabun juga dapat mencegah infeksi kulit, mata,
cacing yang tinggal didalam usus, SARS, dan flu burung (Kemenkes, 2014).
Masa bayi dan balita sangat rentan terhadap berbagai penyakit. Jaringan
tubuh pada bayi dan balita belum sempurna dalam upaya membentuk
pertahanan tubuh seperti halnya orang dewasa. Umumnya penyakit yang
menyerang anak bersifat akut. Artinya penyakit menyerang secara mendadak
gejala timbul dengan cepat, bahkan dapat membahayakan (Agoes dan Poppy,
2001 dalam Rokhana, 2005).
Infeksi bisa berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara,
yaitu mempengaruhi nafsu makanan sehingga kebutuhan zat gizi tidak
terpenuhi. Secara umum defisiensi gizi sering merupakan awal dari gangguan
defisiensi sistem kekebalan.
39
Penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak antara lain:
(a) Diare
Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak
di negara berkembang. Sekitar 80% kematian yang berhubungan dengan
diare terjadi pada dua tahun pertama kehidupan. Penyebab utama kematian
karena diare adalah dehidrasi sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit
melalui tinjanya. Diare menjadi penyebab penting bagi kekurangan gizi,
karena ada anoreksia, sehingga anak makan lebih sedikit daripada biasanya
dan kemampuan menyerap sari makanan juga berkurang. Padahal kebutuhan
tubuh akan makanan meningkat akibat adanya infeksi. Setiap episode diare
dapat menyebabkan kekurangan gizi, sehingga bila episodenya
berkepanjangan maka berdampaknya terhadap pertumbuhan anak (Depkes
RI, 1999 dalam Kartini, 2008).
Hippocrates mendefinisikan diare sebagai pengeluaran tinja yang
tidak normal dan cair. Diare adalah buang air besar yang tidak normal atau
bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Diare
adalah peningkatan frekuensi, keenceran dan volume tinja, bisa ditemukan
darah dan warna feses mungkin berwarna hijau atau feses mengandung
makanan tak dicerna. Menurut Elin (2009) dalam Nurarif (2016) gejala diare
akut berupa nyeri pada kuadaran kanan bawah disertai kram dan bunyi pada
perut, demam sedangkan gejala diare kronik yaitu serangan lebih sering
selama 2-3 periode yang lebih panjang, terjadi penurunan nafsu makan dan
berat badan, demam serta dehidrasi.
40
Suharyono (1988) dalam Kartini (2008) mendefinisikan diare adalah
defekasi encer lebih dari tiga kali sehari, dengan atau tanpa darah dan atau
lendir dalam tinja. Bayi dan Balita dinyatakan menderita diare, apabila
buang air besar tidak normal atau bentuk encer dengan frekuensi buang air
besar lebih dari tiga kali. Diare yang bersifat akut dapat berubah menjadi
kronis. Diare akut yaitu diare yang berlangsung secara mendadak, tanpa
gejala gizi kurang dan demam serta berlangsung beberapa hari. Sedangkan
yang dimaksud diare kronik yaitu diare yang berlansung sampai lebih dari
dua minggu, biasanya disebut dehidrasi (Agoes, 2003 dalam Rokhana,
2005). Diare secara epidemiologik didefinisikan sebagai keluarnya tinja
yang lunak atau cair tiga kali atau lebih dalam satu hari dengan atau tanpa
darah dan lendir. Secara klinik ada tiga macam sindroma diare (Depkes RI,
1999 dalam Kartini, 2008) yaitu:
1. Diare akut adalah pengeluaran tinja yang lunak atau cair, sering dan
tanpa darah, biasanya berlangsung kurang dari 7 hari. Diare ini dapat
menyebabkan dehidrasi dan bila masukkan makanan kurang
mengakibatkan kurang gizi.
2. Disentri adalah diare yang disertai darah dalam tinja. Akibat penting
disentri, antara lain : anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat dan
kerusakan mukosa usus karena bakteri invasif.
3. Diare persisten adalah diare yang mula-mula bersifat akut, namun
berlangsung lebih dari 14 hari. Episode ini dapat dimulai sebagai diare
cair atau disentri. Diare persisten berbeda dengan diare kronik yaitu
41
diare intermiten (hilang-timbul), atau yang berlangsung lama dengan
penyebab non infeksi, seperti sensitif terhadap gluten atau gangguan
metabolisme yang menurun.
(a) ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran
pernapasan atas atau bawah, biasanya menular yang dapat menimbulkan
berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau
infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada
pathogen penyebabnya, faktor lingkungan dan faktor pejamu (WHO, 2007).
Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala seperti
tenggorokan sakit atau nyeri saat menelan, pilek, batuk kering atau
berdahak. Periode prevalensi ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan
terakhir (Kemenkes, 2015).
Sedangkan pneumonia merupakan penyakit infeksi pada bagian
saluran pernafasan (paru-paru) yang disebakan oleh bakteri atau virus tanda-
tandanya adalah batuk, pilek, napas cepat, dan kesulitan bernapas (Agoes
dan Poppy, 2001 dalam Rokhana, 2005). Faktor-faktor yang meningkatkan
resiko kematian akibat pneumonia yaitu: umur dibawah dua tahun, tingkat
sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tingkat
pendidikan ibu rendah, tingkat pelayanan kesehatan rendah, kepadatan
tempat tinggal, imunisasi yang tidak memadai, dan menderita penyakir
kronis.
42
Pemeliharaan gizi anak harus diperhatikan sebagai upaya
pencegahan terhadap penyakit infeksi. pemberian imunisasi terhadap
beberapa penyakit seperti tuberkulosa, campak, polio dan sebagainya harus
dilakukan sesuai waktu. Disamping itu pemeliharaan hygiene dan sanitasi
lingkungan sangat penting sebagai upaya pencegahan infeksi (Sjahmoen
moehji, 2003 dalam Rokhana, 2005).
f. Perawatan balita dalam keadaan sakit dan pola pencarian pelyanan kesehatan
Kesehatan anak harus mendapat perhatian dari para orang tua yaitu
dengan cara segera membawa anaknya yang sakit ketempat pelayanan kesehatan
yang terdekat (Soetjiningsih, 1995 dalam Lubis, 2008).
Masa bayi dan balita sangat rentan terhadap penyakit seperti flu, diare
atau penyakit infeksi lainnya. Jika anak sering menderita sakit dapat
menghambat atau mengganggu proses tumbuh kembang anak. Status kesehatan
merupakan salah satu aspek pola asuh yang dapat mempengaruhi status gizi
anak kearah membaik. Status kesehatan adalah hal-hal yang dilakukan untuk
menjaga status gizi anak, menjauhkan dan menghindarkan penyakit serta yang
dapat menyebabkan turunnya keadaan kesehatan anak. Status kesehatan ini
meliputi hal pengobatan penyakit pada anak apabila anak menderita sakit dan
tindakan pencegahan terhadap penyakit sehingga anak tidak sampai terkena
suatu penyakit. Status kesehatan anak dapat ditempuh dengan cara
memperhatikan keadaan gizi anak, kelengkapan imunisasinya, kebersihan diri
anak dan lingkungan dimana anak berada, serta upaya ibu dalam hal mencari
43
pengobatan terhadap anak apabila anak sakit (Zeitlin et al, 1990 dalam Lubis,
2008).
Bayi dan anak perlu diperiksa kesehatannya oleh bidan atau dokter bila
sakit sebab mereka masih memiliki resiko tinggi untuk terserang penyakit.
Adapun beberapa praktek kesehatan yang dapat dilakukan dalam rangka
pemeriksaan pemantauan kesehatan adalah:
a) Imunisasi
Imunisasi merupakan pemberian kekebalan agar bayi tidak mudah
terserang atau tertular penyakit seperti hepatitis B (HB), tuberkulosis,
difteri, batuk rejan, tetanus, folio dan campak. Pemberian imunisasi harus
sedini mungkin dan lengkap. BCG diberikan pada usia 2 bulan, DPT 1-3
diberikan pada usia 2-5 bulan, HB 1-3 diberikan pada usia 3-5 bulan dan
campak diberikan pada usia 6 bulan.
b) Pemberian vitamin A
Vitamin A merupakan zat gizi yang penting (esensial) bagi manusia,
karena zat gizi ini tidak dapat dibuat oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi
dari luar. Vitamin A dapat diperoleh tubuh melalui bahan makanan antara
lain bayam, daun singkong, pepaya matang, ASI, bahan makanan yang
diperkaya dengan vitamin A, dan kapsul vitamin A dosis tinggi.
Vitamin A penting untuk kesehatan mata dan mencegah kebutaan,
dan lebih dan lebih penting lagi vitamin A dapat meningkatkan daya tahan
tubuh. Anak-anak yang cukup mendapat vitamin A, bila terkena Diare,
44
Campak atau penyakit infeksi lain, maka penyakit-penyakit tersebut tidak
akan menjadi parah, sehingga tidak membahayakan jiwa anak.
Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting yang larut dalam
lemak, disimpan dalam hati, dan tidak dapat diproduksi oleh tubuh sehingga
harus dipenuhi dari luar tubuh. Kekurangan Vitamin A (KVA) dapat
menurunkan sistem kekebalan tubuh balita serta meningkatkan risiko
kesakitan dan kematian.
Kelompok sasaran pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi yaitu
bayi, anak balita, dan ibu nifas:
(1) Bayi
Kapsul vitamin A biru 100.000 IU diberikan kepada semua bayi
(umur 6 - 11 bulan) baik sehat maupun sakit. Diberikan setiap 6 bulan
secara serempak pada bulan Februari dan Agustus.
(2) Anak balita
Kapsul vitamin A merah 200.000 IU diberikan kepada semua
anak balita (umur 12 – 59 bulan) baik sehat maupun sakit. Diberikan
setiap 6 bulan secara serempak pada bulan Februari dan Agustus.
(3) Ibu nifas
Kapsul vitamin A merah 200.000 IU diberikan kepada ibu yang
baru melahirkan (nifas) sehingga bayinya akan memperoleh vitamin A
yang cukup melalui ASI. Deberikan paling lambat 30 hari setelah
melahirkan (Depkes RI, 2008 dan Depkes RI, 2015).
45
2. Macam-Macam Pola Asuh
Berbagai macam cara dalam pola asuh yang dilakukan oleh orang tua
menurut (Septiari, 2012 dalam Lestari, 2013).
a. Pola Asuh Otoriter (Authotarian)
Pola asuh ini menggunakan pendekatan yang memaksakan kehendak
orang tua kepada anak. Anak harus menurut kepada orang tua. Keinginan orang
tua harus dituruti, anak tidak boleh mengeluarkan pendapat. Anak jarang diajak
berkomunikasi ataupun bertukar pikiran dengan orang tua, orang tua
menganggap bahwa semua sikap yang dilakukan sudah baik, sehingga tidak
perlu anak dimintai pertimbangan atas semua keputusan yang menyangkut
permasalahan anaknya. Pola asuh yang bersifat otoriter ini juga ditandai dengan
hukuman-hukumannya yang dilakukan dengan keras, mayoritas hukuman
tersebut sifatnya hukuman badan dan anak juga diatur yang membatasi
perilakunya. Orangtua dengan pola asuh otoriter jarang atau tidak pernah
memberi hadiah yang berupa pujian maupun barang meskipun anak telah
berbuat sesuai dengan harapan orangtua.
Pola asuh otoriter ini akan berakibat buruk bagi kepribadian anak.
Akibat yang ditimbulkan dari pola asuh ini yaitu, anak menjadi penakut,
pencemas, menarik diri dari pergaulan, kurang adaptif, kurang tajam, kurang
tujuan, curiga terhadap orang lain dan mudah stress. Selain itu anak juga
kehilangan kesempatan untuk belajar bagaimana mengendalikan perilakunya
sendiri. Pola asuh otoriter ini dapat membuat anak sulit menyesuaikan diri.
Ketakutan anak terhadap hukuman justru membuat anak menjadi tidak jujur dan
46
licik. Selain itu, siswa yang merasa orang tuanya terlalu keras, cenderung
merasa tertekan dan tidak berdaya. Oleh karena itu, siswa cenderung melamun,
murung, dan kelihatan gelisah ketika berada di sekolah.
b. Pola Asuh Demokratis (Authoritative)
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang ditandai dengan pengakuan
orang tua terhadap kemampuan anak-anaknya, kemudian anak diberi
kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua. Orang tua sangat
memperhatikan kebutuhan anak dan mencukupinya dengan pertimbangan faktor
kepentingan dan kebutuhan. Pola asuh ini orang tua juga memberikan sedikit
kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang dikehendaki dan apa yang
diinginkan yang terbaik bagi dirinya, anak diperhatikan dan didengarkan saat
anak berbicara, dan bila berpendapat orang tua memberikan kesempatan untuk
mendengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang
menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan
mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih
untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Pola asuh demokratis ini memiliki dapak yang baik untuk kepribadian
anak. Dampaknya yaitu anak akan mandiri, mempunyai kontrol diri, percaya
diri, dapat berinteraksi dengan teman sebayanya dengan baik, mampu
menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, kooperatif dengan
orang dewasa, patuh, dan berorientasi pada prestasi.
47
c. Pola Asuh Permisif (Permissive)
Pola asuh ini adalah pola asuh dengan cara orang tua mendidik anak
secara bebas, anak dianggap orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran
seluas-luasnya apa saja yang dikendaki. Orang tua memiliki kehangatan, akan
tetapi kehangatannya cenderung memanjakan. Kontrol orang tua terhadap anak
juga sangat lemah, tidak memberikan bimbingan pada anaknya. Semua apa yang
dilakukan oleh anak adalah benar dan tidak perlu mendapat teguran, arahan,
atau bimbingan. Orang tua beranggapan bahwa anak akan belajar dari
kesalahannya. Orang tua dengan pola asuh permisif jarang memberikan hadiah,
karena penghargaan merupakan hadiah yang dianggap memuaskan.
Pola asuh ini dapat menyebabkan anak agresif, tidak patuh kepada orang
tua, sok kuasa, kurang mampu mengontrol diri, kurang memikirkan masa
depannya. Selain itu tak jarang hal-hal kurang baik dilakukan seperti sering
membuat onar di sekolah, berkelahi, sering terlambat sekolah, sering bolos,
tidak mengerjakan tugas, bahkan terjerumus oleh narkoba ataupun pergaulan
bebas.
Dari ketiga jenis pola asuh yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis
dan pola asuh permisif, yang bisa diandalkan adalah pola asuh orang tua
demokratis karena orang tua dalam memberikan pujian, hukuman dan
berkomunikasi dengan anak-anak mereka akan turut mempengaruhi
terbentuknya kemampuan berpenyesuaian yang baik dalam lingkungannya.
Sebagai faktor pola asuh demokratis orang tua merupakan kekuatan yang
penting dan sumber utama dalam pengembangan kemampuan sosial anak.
48
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Keluarga
Ada beberapa faktor yang dapat menentukan cara keluarga khusunya orang
tua dalam mengasuh anak. Menurut Mussen (1994) dalam Lestari (2013) beberapa
faktor yang mempengaruhi pola asuh keluarga maupun orang tua, yaitu sebagai
berikut.
a. Lingkungan tempat tinggal
Lingkungan tempat tinggal suatu keluarga akan mempengaruhi cara
orang tua dalam menerapkan pola asuh. Hal ini bisa dilihat bila suatu keluarga
tinggal di kota besar, maka orang tua kemungkinan akan banyak mengkontrol
karena merasa khawatir, misalnya melarang anak untuk pergi kemana-mana
sendirian. Hal ini sangat jauh berbeda jika suatu keluarga tinggal di suatu
pedesaan, maka orang tua kemungkinan tidak begitu khawatir jika anak-anaknya
pergi kemana-mana sendirian.
b. Sub kultur budaya
Budaya disuatu lingkungan tempat keluarga menetap akan
mempengaruhi pola asuh orang tua. Hal ini dapat dilihat bahwa banyak orangtua
di Amerika Serikat yang memperkenankan anak-anak mereka untuk
mepertanyakan tindakan orang tua dan mengambil bagian dalam argumen
tentang aturan dan standar moral.
c. Status sosial ekonomi
Keluarga dari status sosial yang berbeda mempunyai pandangan yang
berbeda tentang cara mengasuh anak yang tepat dan dapat diterima, sebagai
contoh: ibu dari kelas menengah kebawah lebih menentang ketidak sopanan
49
anak dibanding ibu dari kelas menengah keatas. Begitupun juga dengan orang
tua dari kelas buruh lebih menghargai penyesuaian dengan standar eksternal,
sementara orangtua dari kelas menengah lebih menekankan pada penyesuaian
dengan standar perilaku yang sudah terinternalisasi.
B. Status Gizi
1. Pengertian Status Gizi
Menurut Banudi (2013) Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat
konsumsi makanan dan penggunaan gizi. Status gizi dibedakan antara status gizi
buruk, kurang, baik, dan lebih. Supariasa, dkk. (2001) mengatakan bahwa status gizi
merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variable tertentu,
atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variable tertentu.
Berbagai pendapat tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa, status gizi
merupakan keadaan atau tingkat kesehatan seseorang pada waktu tertentu akibat
pangan yang di konsumsi pada waktu sebelumnya.
2. Penilaian Status Gizi
Menurut supariasa, dkk. (2001) penilaian status gizi dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu penilaian secara langsung dan tidak langsung.
a. Penilaian status gizi secara langsung
Penilain status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat
penilaian yaitu penilaian secara antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik.
50
1) Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau
dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan
berbagi macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, 2001).
Penggunaan antropometri secara umum digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini
terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti
lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Dalam program gizi masyarakat,
pemantauan status gizi anak balita menggunakan metode antropometri.
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan,
lingkar kepala, lingkar lengan, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah
kulit. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan
menurun umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) (Supariasa, 2001).
51
Tabel 2
Klasifikasi Status Gizi Anak Balita
Indeks Kategori Status Gizi
Ambang Batas(Z-score)
Berat badan menurut umur (BB/U)
Gizi buruk < - 3SDGizi kurang - 3 SD Sampai < - 2 SDGizi Baik -2 SD Sampai 2 SDGizi lebih > 2 SD
Tinggi badan menurutumur (TB/U)
Sangat Pendek < - 3 SDPendek -3 SD sampai < -2 SDNormal - 2 SD sampai 2 SDTinggi > 2 SD
Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
Sangat Kurus < -3 SDKurus -3 SD Sampai < - 2 SDNormal - 2 SD Sampai 2 SDGemuk > 2 SD
WHO-2005 dalam Kemenkes RI, 2011
a) Indeks berat badan menurut umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan
gambaran masa tubuh. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-
perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit
infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makan
yang dikonsumsi, berat badan adalah parameter antropometri yang
sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan
normal dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi
terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertumbuhan umur.
Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat 2 kemungkinan
perkembangan berat badan,yaitu dapat berkembang cepat atau lebih
lambat dari keadaan normal (Supariasa, 2001).
52
(1) Kelebihan indeks BB/U
(a) Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum.
(b) Bisa untuk mengukur status gizi akut dan kronis
(c) Berat badan dapat berfluksturasi
(d) Sangat sesintif terhadap perubahan-perubahan kecil
(e) Dapat mendeteksi kegemukan (over weight)
(2) Kelemahan indeks BB/U
(a) Dapat mengakibatkan interprestasi status gizi yang keliru bila
terdapat odema maupun asites.
(b) Data umur sulit ditaksir secara tepat karena pencatatan umur
yang belum baik.
(c) Memerlukan data umur yang akurat
(d) Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran seperti pengaruh
pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan.
b) Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggunakan
keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tidak
seperti berat badan, relative kurang sesitif terhadap masalah kekurangan
gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi tehadap
tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relative lama berdasarkan
karateristik tersebut diatas, maka indeks ini mengambarkan status gizi
masa lalu. Indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi
53
masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status social- ekonomi
(Supariasa, 2001).
(1) Kelebihan
(a) Baik untuk menilai status gizi masa lampau
(b) Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah didapat.
(2) Kelemahan
(a) Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak munkin turun
(b) Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri
tegak sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya.
(c) Ketepatan umur sulit didapat
c) Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan.
Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan
pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu (Supariasa, 2001).
(1) Kelebihan
(a) Tidak memerlukan data umum
(b) Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal, dan kurus)
(2) Kelemahan
(a) Tidak dapat memberikan gambaran, apakah anak tersebut
pendek, cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan karena
factor umur tidak dipertimbangkan.
(b) Kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang atau tinggi
badan pada kelompok balita.
54
(c) Membutuhkan dua macam alat ukur.
(d) Pengukuran relatif lebih lama.
(e) Membutuhkan dua orang untuk melakukannya.
(f) Sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran,
terutama bila dilakukan oleh kelompok non profesinal.
2) Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai
status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan
yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini
dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit,
mata, rambut, dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan
permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya
untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survei ini
dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari
kekurangan salah satu atau lebih zat gizi.
Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi
seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan
gejala (symptom) atau riwayat penyakit (Supariasa, dkk. 2001).
3) Biokumia
Pemeriksaan secara biokimia merupakan pemeriksaan specimen yang
diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.
Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urin, tinja dan juga
beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk
55
peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih
parah lagi (Supariasa, dkk. 2001).
4) Biofisik
Penilaian secara biofisik merupakan metode penentuan status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan). Umumnya dapat
digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik. Cara
yang digunakan adalah tes adaptasi gelap (Supariasa, dkk. 2001).
b. Penilaian status gizi secara tidak langsung
Penilaian status gizi tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga yaitu
survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa, 2001).
1) Survey konsumsi makanan
Survey konsumsi makanan merupakan metode penentuan status gizi
secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan
gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi dalam masyarakat, keluarga,
dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan atau
kekurangan zat gizi.
2) Statistic vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian
berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu
dan data lainnya dengan gizi. Penggunaannya dipertimbangkan sebagai
bagian dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.
56
3) Faktor Ekologi
Malnutrisi merupakan masalah etiologi sebagai hasil interaksi
beberapa factor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makan yang
tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi
dan lain-lain. Pengukuran factor ekologi dipandang sangat penting untuk
mengetahui penyebab malnutrisi disuatu masyarakat sebagai dasar untuk
melakukan program intervensi gizi (Supariasa, 2001).
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Balita
Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang. Faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi dibagi menjadi dua yaitu secar langsung dan tidak
langsung.
a. Faktor langsung:
Menurut Soekirman (2000) dalam Suwiji (2006) penyebab langsung
timbulnya gizi kurang pada anak adalah konsumsi pangan dan penyalit infeksi.
Kedua penyebab tersebut saling berpengaruh. Dengan demikian timbulnya gizi
kurang tidak hanya karena kurang makanan tetapi juga karena adanya penyakit
infeksi, terutama diare dan ispa. Anak yang mendapatkan makanan cukup baik
tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita gizi kurang.
Sebaliknya anak yang tidak memperoleh makanan cukup dan seimbang daya
tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan demikian anak mudah diserang
penyakit infeksi dan kurang nafsu makan sehingga anak kekurangan makanan.
57
Akhirnya berat badan anak menurun. Apabila keadaan ini terus berlangsung
anak dapat menjadi kurus dan timbulah kejadian kurang gizi.
b. Faktor tidak langsung:
1) Pola Asuh Gizi
Pola Asuh Gizi merupakan faktor yang secara langsung
mempengaruhi konsumsi makanan pada anak. Dengan demikian pola asuh
gizi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya merupakan faktor tidak
langsung dari status gizi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola
asuh gizi yaitu tingkat pendapatan keluarga, tingkat pendidikan ibu, tingkat
pengetahuan ibu, jumlah anggota keluarga dan budaya pantang makanan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh (2015)
menunjukkan bahwa ibu yang memberikan pola asuh baik dan status gizi
kurus sebanyak 29 (90,6%), sedangkan ibu yang mempunyai pola asuh yang
kurang baik sebanyak 11 (47,9%) balita kurus. Dari hasil tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan pola asuh dengan status gizi balita.
Hasil peneitian ini diperkuat dengan penelitian Husin (2008) yaitu ada
hubungan antara pola asuh ibu dengan status gizi anak balita dalam hal
pemberian makan, kebersihan lingkungan dan sanitasi.
2) Psikologi
Menurut Sarwono Waspadji (2003) dalam Suwiji (2006) psikologi
seseorang mempengaruhi pola makan. Makanan yang berlebihan atau
kekurangan dapat terjadi sebagai respons terhadap kesepian, berduka atau
58
depresi. Dapat juga merupakan respons terhadap rangsangan dari luar seperti
iklan makanan atau kenyataan bahwa ini adalah waktu makan.
3) Genetik
Genetik menjadi salah satu faktor dari status gizi. Hal ini dijelaskan
oleh Ali Khomsan (2003) dalam Suwiji (2006) pada anak dengan status gizi
lebih atau obesitas besar kemungkinan dipengaruhi oleh orang tuanya
(herediter). Bila salah satu orang tua mengalami gizi lebih atau obes maka
peluang anak untuk mengalami gizi lebih dan menjadi obes sebesar 40%,
dan kalau kedua orang tua mengalami gizi lebih atau obes maka peluang
anak meningkat sebesar 80%. Selain genetik atau hereditas ada faktor lain
yang mempengaruhi yaitu lingkungan, dimana lingkungan ini mempunyai
pengaruh terhadap pola makan seseorang.
4) Pelayanan Kesehatan
Penyebab kurang gizi yang merupakan faktor penyebab tidak
langsung yang lain adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga
terhadap air bersih dan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan ini
meliputi imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan,
penimbangan anak, dan sarana lain seperti keberadaan posyandu dan
puskesmas, praktek bidan, dokter, dan rumah sakit (Soekirman, 2000 dalam
Suwiji, 2006).
59
C. Masyarakat Pesisir
1. Pengertian Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir yang identik dengan nelayan merupakan bagian dari
masyarakat terpinggiran yang masih terus bergalut dengan berbagai persoalan
kehidupan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun budaya
(Winengan, 2007 dalam Rahman dan Yusuf, 2012).
2. Karaksteristik Masyarakat Pesisir
Masyarakat di pesisir pantai secara umum mempunyai karakteristik yaitu
sebagian besar penghasilan pas-pasan, tergolong keluarga miskin yang disebabkan
oleh faktor alamiah, yaitu semata-mata bergantung pada hasil tangkapan dan
bersifat musiman, rendahya pendapatan, ketersediaan rumah yang layak, pendidikan
yang minimal untuk anak-anaknya serta adanya pelayanan kesehatan yang kurang
memadai (Kusnadi, 2003 dalam Rahman dan Yusuf, 2012). Kareksteristik yang
dikemukakan oleh Gofar (2004) dalam Stanis (2005), mengatakan bahwa secara
alamiah wilayah ini sering disebut sebagai wialayah rawan gizi. Berdasarkan hasil
penelitian oleh Yulni, dkk. (2013) di wilayah pesisir didapatkan hasil status gizi
anak berdasarkan IMT/U masih tinggi yaitu sangat kurus 3,3%, kurus 16,7%,
D. Kerangka Pemikiran Dan Konsep
1. Kerangka Pikir
Faktor yang menyebabkan kurang gizi telah dikemukakan UNICEF dan
telah digunakan secara internasional, yang meliputi beberapa tahapan penyebab
timbulnya kurang gizi pada anak balita seperti berikut:
60
Sumber : UNICEF (1998) dalam Supariasa (2002)
Gambar 1Kerangka pikir
61
Krisis Politik dan Ekonomi
Penyakit Infeksi
Kemiskinan, Pendidikan Rendah, Ketersediaan Pangan, Kesempatan Kerja
Asupan Gizi
Ketersediaan Pangan Tingkat Rumah Tangga Perilaku/Asuhan Ibu dan
Anak
Pelayanan Kesehatan
Lingkungan
Penyebab Langsung
Penyebab Tak
Langsung
Masalah Utama
Masalah Dasar
Status Gizi Outcome
2. Kerangka Konsep
Gambar 2Kerangka konsep
62
Variabel yang diteliti :
Variabel yang tidak diteliti :
Status Gizi
Pola Asuh Ibu Penyakit Infeksi
MP-ASI Inisiasi Menyusu Dini
Kolostrum
ASI Eksklusif
Pelayanan Kesehatan
Lingkungan
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif. Desain yang
digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yaitu berusaha mendapatkan
gambaran menyeluruh tentang data, fakta, serta peristiwa sebenarnya mengenai obyek
penelitian.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Abeli yaitu di empat (4) kelurahan
yang merupakan pesisir pantai, meliputi: Puday, Lapulu, Poasia, dan Talia Kota
Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini di laksanakan pada tanggal 13-22 Juni 2017.
C. Sampel
Sampel adalah kasus gizi kurang dan buruk yang didapatkan 14 orang yang ada
di Pesisir Kecamatan Abeli Kota Kendari.
D. Responden
Responden adalah ibu sampel yang ada di Pesisir Kecamatan Abeli Kota
Kendari.
63
E. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
1. Data Primer
a. Data primer pada penelitian ini adalah umur dan jenis kelamin balita, pekerjaan
ibu, serta agama diperoleh dengan menggunakan formulir kuesioner yang
dilakukan dengan cara wawancara kepada responden.
b. Data pola asuh (IMD, kolostrum, ASI eksklusif, serta MP-ASI). Metode
pengumpulan data menggunakan formulir kuesioner yang dilakukan dengan
cara wawancara dengan menanyakan pertanyaan yang ada pada kuesioner.
Responden diminta untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti
pada saat itu juga.
c. Data penyakit infeksi diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden
(ibu) dengan menggunakan kuesioner
d. Data pemberian vitamin A diperoleh melalu melalui wawancara langsung
dengan responden (ibu) dengan menggunakan kuisioner
e. Data hygiene pada anak balita dikumpulkan dengan menanyakan beberapa
pertanyaan (wawancara) dengan responden menggunakan kuesioner
2. Data Skunder
a. Jumlah anak balita usia 1 - 5 tahun yang memiliki status gizi kurang dan gizi
buruk diperoleh melalui dokumentasi dari Puskesmas Abeli
b. Gambaran umum lokasi penelitian diperoleh melalui dokumentasi dari
Puskesmas Abeli
64
F. Pengolahan dan Analisi Data
1. Pengolahan dan Analisi Data
a. Editing
Pada tahap editing, peneliti memeriksa kelengkapan isi pertanyaan,
kejelasan tulisan, relevansi jawaban dengan pertanyaan, dan konsistensi
jawaban dengan jawaban lainnya.
b. Codding
Hasil editing yang telah didapat selanjutnya dilakukan pengkodean atau
coding sebagai berikut:
1) Status gizi: kurang diberi kode 2, buruk diberi kode 1
2) Variabel (IMD, kolostrum, dan ASI eksklusif ) diberikan kode sesuai yang
ada pada kuesioner
3) Variabel makanan pendamping ASI (MP-ASI) diukur menggunakan
kuesioner dan dikategorikan menjadi sesuai (≥ 60%), tidak sesuai (<60%)
4) Pemberian kapsul vitamin A: menerima diberi kode 1 dan tidak menerima
di beri kode 0
5) Penyakit infeksi (Diare dan ISPA) diolah berdasarkan hasil wawancara
kemudian dilakukan pengklasifikasian
6) Variable hygiene pada anak balita (frekuensi mandi, membersihkan gigi,
membersihkan kuku, memakai alas kaki, lingkungan yang bersih, mencuci
tangan sebelum menyuapi anak, dan mencuci tangan setelah menceboki
anak) diukur menggunakan kuesioner dan dikategorikan menjadi baik (≥
80%), tidak baik (<80%).
65
c. Processing
Peneliti memasukkan (entry) data kuesioner yang telah diisi oleh
responden ke paket komputer. Data berupa jawaban-jawaban dari masing-
masing responden yang berbentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke
dalam computer, misalnya sebagai berikut:
1. Status gizi diberi kode angka yaitu kurag diberi kode 2 dan buruk diberi
kode 1
2. Kejadian ISPA dan Diare diberi kode huruf yaitu menderita dan tidak
menderita
d. Cleaning
Hal yang dilakukan pada tahap ini adalah pengecekan kembali data
yang sudah dimasukkan ke SPSS. Peneliti melihat kembali kemungkinan
adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidak lengkapan, dan hal lainnya. Dari
data yang telah dimasukkan sebelumnya tidak ada data missing.
G. Penyajian Data
Data yang di peroleh kemudian akan di sajikan dalam bentuk table dan di sertai
narasi.
H. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif
1. Inisiasi menyusu dini (IMD) merupakan proses membiarkan bayi menyusu sendiri
setelah melahirkan (Nugraheni, 2011), dengan kriteria obyektif yaitu:
a. Diberikan inisiasi menyusu dini (IMD)
b. Tidak diberikan inisiasi menyusu dini (IMD)
66
2. Kolostrum merupakan ASI yang keluar pada hari-hari pertama setelah bayi lahir (1-
7 hari) berwarna kekuning-kuningan dan lebih kental (Suwiji, 2006), dengan kriteri
obyektif yaitu:
a. Diberikan kolostrum
b. Tidak diberikan kolostrum
3. ASI merupakan praktik penyusuan/pemberian ASI oleh ibu kepada bayinya pada
usia 0-6 bulan tanpa ada penambahan makanan atau minuman lain selain ASI
(Suwiji, 2006), dengan kriteria obyektif yaitu:
a. Eksklusif
b. Tidak Eksklusif
4. Pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) meliputi frekuensi pemberian dan
tekstur MP-ASI yang diberikan (Depkes RI, 2006), dengan kriteria obyektif:
a. Sesuai apabila skor jawaban ≥ 60% dari total skor
b. Tidak apabila skor jawaban < 60% dari total skor
5. Penyakit infeksi adalah penyakit yang menyerang anak yang bersifat akut. Artinya
penyakit yang menyerang secara mendadak, gejala timbul dengan cepat dan dapat
membahayakan (Kemenkes RI, 2014), dengan kriteria obyektif sebagai berikut:
a. Diare
Menderita diare : Bila dalam dua minggu terakhir mengalami diare
Tidak menderita diare : Jika tidak pernah mengalami diare dalam dua
minggu terakhir
67
b. ISPA
Menderita ISPA : Bila satu bulan terakhir menderita ISPA
Tidak menderita ISPA : Jika tidak pernah mengalami ISPA dalam satu bulan
terakhir
6. Pemberian kapsul vitamin A merupakan zat gizi yang penting (esensial) bagi
manusia karena zat gizi ini tidak dapat dibuat oleh tubuh sehingga harus dipenuhi
dari luar (Depkes RI, 2015), dengan kriteia obyektif:
Menerima : Apabila mendapatkan kapsul vitamin A pada bulan
Februari dan Agustus lengkap sesuai usia balita
Tidak menerima : Apabila tidak mendapatkan kapsul vitamin A pada
bulan Februari dan Agustus sesuai usia balita
7. Hygiene pada anak balita diukur berdasarkan jawaban dari kuesioner yang terdiri
dari 7 pertanyaan. Skor untuk pertanyaan a = 2, b = 1 sehingga skor menjadi 14.
Dikategorikan menjadi:
Baik : Apabila nilai yang diperoleh 12 - 14 (≥ 80%)
Tidak baik : Apabila nilai yang diperoleh < 12 (< 80%) (Lubis,
2008)
8. Status Gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari asupan makan dan penggunaan
zat-zat gizi. Hasil pengukuran BB/U kemudian dibandingkan dengan menggunakan
standar antropometri WHO-2005, dengan kriteria:
Gizi Kurang : - 3 SD sampai < - 2 SD
Gizi Buruk : < - 3 SD
(Kemenkes RI, 2011).
68
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
a. Keadaan Wilayah
Puskesmas Abeli merupakan salah satu dari 15 Puskesmas yang ada di
Kota Kendari, yang terletak di Kelurahan Abeli Kecamatan Abeli. Jarak dari
Kantor Walikota ± 73,13 km2.
b. Keadaan Geografis
Puskesmas Abeli terletak di Kelurahan Abeli Kecamatan Abeli yang
tediri atas 8 (delapan) kelurahan,dengan batasnya adalah sebagai berikut:
1) Sebelah Utara berbatasan Teluk Kendari
2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Konda
3) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Moramo
4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Matabubu kecamatan Poasia
Keadaan alam di Kecamatan Abeli terdiri dari dataran (53%),
pegunungan/bukit (47%). Iklim di Kecamatan Abeli adalah iklim tropis dengan
musim hujan umumnya bulan Desember - Mei dan musim kemarau terjadi bulan
Juni - November. Suhu udara rata-rata berkisar antara 27ºC – 32ºC.
69
c. Keadaan Demografis (Kependudukan)
Berdasarkan hasil pendataan terakhir, jumlah penduduk di wilayah kerja
Puskesmas Abeli adalah 16032 jiwa yang tersebar dalam 8 (delapan) wilayah
kelurahan, Jumlah KK 4302 dan KK miskin 1314.
Adapun untuk lebih jelasnya distribusi penduduk perkelurahan, disajikan
dalam tabel berikut ini:
Tabel 3Distribusi Jumlah Penduduk di Kecamatan Abeli
Tahun 2016
Nama Kelurahan Jumlah Penduduk (Jiwa)Puday 1681Lapulu 4019Abeli 1775
Benuanirae 1639Tobimeita 2052
Anggalomelai 1635Poasia 1579Talia 1552Total 16032
Sumber: Data Sekunder Puskesmas Abeli Tahun 2016
Sebagian besar Masyarakat terdiri dari berbagai macam suku. Mayoritas
adalah suku Tolaki, Bugis, Muna dan, selebihnya adalah Buton, Jawa, dan
Makassar. Sebagian besar memeluk agama Islam. Agama lain yang dianut
adalah Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.
2. Status Gizi
Distribusi sampel berdasarkan status gizi pada anak balita Di Pesisir
Kecamatan Abeli Kota Kendari dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
70
64.30%
35.70%KURANGBURUK
Gambar 3Distribusi Sampel berdasarkan Status Gizi
Berdasarkan gambar 3, dapat diketahui bahwa dari 14 sampel anak balita
yang memiliki status gizi kurang sebanyak 64,3% (n = 9), dan yang memiliki status
gizi buruk sebanyak 35,7% (n = 5).
3. Gambaran Umum Responden dan Sampel
a. Gambaran Umum Responden
Distribusi responden berdasarkan umur, pekerjaan dan agama ibu anak
Balita Di Pesisir Kecamatan Abeli Kota Kendari dapat dilihat pada tabel
dibawah ini
Tabel 4Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik
Karakteristik responden n %Umur (tahun)
18-35>35
122
85.714.3
Pekerjaan IbuTidak bekerja 14 100,0
AgamaIslam 14 100,0
71
Berdasarkan tabel 4, sebagian besar (78,6%) umur ibu berada dalam
kategori 20-35 tahun dan 100% responden (ibu) tidak bekerja serta 100%
responden memeluk agama islam.
b. Gambaran Umum Sampel
1. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin balita Di Pesisir Kecamatan
Abeli Kota Kendari dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 5Distribusi Sampel Berdasarkan Karakteristik Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Balita
Status Gizi JumlahGizi kurang Gizi burukn % n % n %
Laki-laki 4 28.6 3 21.4 7 50.0Perempuan 5 35.7 2 14.3 7 50.0
Jumlah 9 64.3 5 35.7 14 100.0
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa dari 7 sampel anak balita
yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 28,6% (n = 4) memiliki status gizi
kurang, dan sisanya 21,4% (n = 3) memiliki status gizi buruk. sedangkan dari 7
sampel anak balita yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 35,7% (n = 5)
memiliki status gizi gizi kurang, dan sisanya 14,3% (n = 3) memiliki status gizi
buruk.
2. Distribusi sampel kasus berdasarkan umur balita Di Pesisir Kecamatan Abeli
Kota Kendari dapat dilihat pada tabel 6
Berdasarkan tabel 6, dapat diketahui bahwa dari 10 sampel anak balita
yang berusia sekitar 12-36 bulan sebanyak 42,9% (n = 6) memiliki status gizi
kurang, dan sisanya 28,6% (n = 4) memiliki status gizi buruk. Sedangkan dari 4
72
sampel anak balita yang berusia sekitar 37-59 bulan sebanyak 21,4% (n = 3)
memiliki status gizi gizi kurang, dan sisanya 7,1% (n = 1) memiliki status gizi
buruk.
Tabel 6Distribusi Sampel Berdasarkan Karakteristik Umur
Umur Balita (Bulan)
Status Gizi JumlahGizi kurang Gizi burukn % n % n %
12-36 6 42.9 4 28.6 10 71.437-59 3 21.4 1 7.1 4 28.6
Jumlah 9 64.3 5 35.7 14 100.0
3. Pemberian Kolostrum
Distribusi sampel berdasarkan pemberian kolostrum pada anak Balita Di
Pesisir Kecamatan Abeli Kota Kendari dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 7Distribusi Sampel Berdasarkan Pemberian Kolostrum
Pemberian Kolostrum
Status Gizi JumlahGizi kurang Gizi burukn % n % n %
Diberikan 7 50.0 4 28.6 11 78.6Tidak diberikan 2 14.3 1 7.1 3 21.4
Jumlah 9 64.3 5 35.7 14 100.0
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa dari 11 sampel anak balita
yang diberikan kolostrum sebanyak 50,0% (n = 7) memiliki status gizi kurang, dan
sisanya 28,6% (n = 4) memiliki status gizi buruk. Sedangkan dari 3 sampel anak
balita yang tidak diberikan kolostrum sebanyak 14,3% (n = 2) memiliki status gizi
gizi kurang, dan sisanya 7,1% (n = 1) memiliki status gizi buruk.
73
4. Pemberian ASI Eksklusif
Distribusi sampel berdasarkan pemberian ASI Eksklusif pada anak Balita Di
Pesisir Kecamatan Abeli Kota Kendari dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 8Distribusi Sampel Berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif
Pemberian ASI Eksklusif
Status Gizi JumlahGizi kurang Gizi burukn % n % n %
Eksklusif 4 28.6 0 0 4 28.6Tidak Eksklusif 5 35.7 5 35.7 10 71.4
Jumlah 9 64.3 5 35.7 14 100.0
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa dari 4 sampel anak balita
yang menerima ASI eksklusif semuanya 28,6% (n = 4) memiliki status gizi kurang,
sedangkan dari 10 sampel anak balita yang tidak diberikan ASI ekslusif mengalami
gizi kurang dan gizi buruk dengan jumlah yang sama yaitu 35.7% (n = 5).
5. Pemberian MP-ASI
Distribusi sampel berdasarkan pemberian MP-ASI pada anak Balita Di
Pesisir Kecamatan Abeli Kota Kendari dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 9
Distribusi Sampel Berdasarkan Pemberian MP-ASI
Pemberian MP-ASIStatus Gizi JumlahGizi kurang Gizi buruk
n % n % n %Sesuai 5 35.7 5 35.7 10 71.4Tidak sesuai 4 28.6 0 0.0 4 28.6
Jumlah 9 64.3 5 35.7 14 100.0
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa dari 10 sampel anak balita
yang pemberian MP-ASInya sesuai sebanyak 35,7% (n = 5) memiliki status gizi
74
kurang, dan sisanya 35,7% (n = 5) memiliki status gizi buruk. Sedangkan dari 4
sampel anak balita yang pemberian MP-ASInya tidak sesuai sebanyak 28,6% (n =
4) memiliki status gizi gizi kurang, dan sisanya 0% (n = 0) memiliki status gizi
buruk.
6. Pemberian Inisiasi Menyusu Dini
Distribusi sampel berdasarkan pemberian Inisiasi Menyusu Dini (IMD) pada
anak balita Di Pesisir Kecamatan Abeli Kota Kendari dapat dilihat pada tabel
dibawah ini
Tabel 10Distribusi Sampel berdasarkan Pemberian IMD
Pemberian IMDStatus Gizi JumlahGizi kurang Gizi buruk
n % n % n %Diberikan 3 21.4 3 21.4 6 42.9Tidak diberikan 6 42.9 2 14.3 8 57.1
Jumlah 9 64.3 5 35.7 14 100.0
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa dari 6 sampel anak balita
yang diberikan IMD sebanyak 21,4% (n = 3) memiliki status gizi kurang, dan
sisanya 21,4% (n = 3) memiliki status gizi buruk. Sedangkan dari 8 sampel anak
balita yang tidak diberikan IMD sebanyak 42,9% (n = 6) memiliki status gizi
kurang, dan sisanya 14,3% (n = 2) memiliki status gizi buruk.
7. Penyakit Infeksi Diare dan ISPA
a. Distribusi sampel berdasarkan penyakit infeksi diare pada anak balita Di Pesisir
Kecamatan Abeli Kota Kendari dapat dilihat pada tabel dibawah ini
75
Tabel 11 Distribusi Sampel berdasarkan Penyakit Infeksi Diare
DiareStatus Gizi JumlahGizi kurang Gizi buruk
n % n % n %Menderita 3 21.4 3 21.4 6 42.9Tidak menderita 6 42.9 2 14.3 8 57.1
Jumlah 9 64.3 5 35.7 14 100.0
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa dari 6 sampel anak
balita yang menderita diare sebanyak 21,4% (n = 3) memiliki status gizi kurang,
dan sisanya 21,4% (n = 3) memiliki status gizi buruk. Sedangkan dari 8 sampel
anak balita yang tidak menderita diare sebanyak 42,9% (n = 6) memiliki status
gizi gizi kurang, dan sisanya 14,3% (n = 2) memiliki status gizi buruk.
b. Distribusi sampel berdasarkan penyakit infeksi ISPA pada anak balita Di Pesisir
Kecamatan Abeli Kota Kendari dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 12
Distribusi Sampel berdasarkan Penyakit Infeksi ISPA
ISPAStatus Gizi JumlahGizi kurang Gizi buruk
n % n % n %Menderita 5 35.7 4 28.6 9 64.3Tidak menderita 4 28.6 1 7.1 5 35.7
Jumlah 9 64.3 5 35.7 14 100.0
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa dari 9 sampel anak balita
yang menderita ISPA sebanyak 35,7% (n = 5) memiliki status gizi kurang, dan
sisanya 28,6% (n = 4) memiliki status gizi buruk. Sedangkan dari 5 sampel
76
anak balita yang tidak menderita ISPA sebanyak 28,6% (n = 4) memiliki status
gizi gizi kurang, dan sisanya 7,1% (n = 1) memiliki status gizi buruk.
8. Pemberian Vitamin A
a. Distribusi sampel berdasarkan pemberian vitamin A pada anak balita Di Pesisir
Kecamatan Abeli Kota Kendari dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 13
Distribusi Sampel berdasarkan Pemberian Vitamin A
Pemberian Vitamin A
Status Gizi JumlahGizi kurang Gizi burukn % n % n %
Menerima9 64.3 5
35.7
14 100.0
Tidak menerima 0 0 0 0 0 0.0Jumlah
9 64.3 535.7
14 100.0
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa dari 14 sampel anak
balita yang menerima kapsul vitamin A sebanyak 64,3% (n = 9) memiliki status
gizi kurang. Sedangkan sampel yang memiliki status gizi buruk juga menerima
kapsul vitamin A sebanyak 35,7% (n = 5).
b. Distribusi sampel berdasarkan kelengkapan pemberian vitamin A pada anak
balita Di Pesisir Kecamatan Abeli Kota Kendari dapat dilihat pada tabel
dibawah 14
Berdasarkan tabel 14, dapat diketahui bahwa dari 8 sampel anak balita
yang menerima kapsul vitamin A yang lengkap sebanyak 35,7% (n = 5)
memiliki status gizi kurang. Sisanya mengalami status gizi buruk 21.4% (n=3).
77
Dari 6 sampel yang menerima kapsul vitamin A yang tidak lengkap sebanyak
28.6% mengalami status gizi kurang, sisanya mengalami status gizi buruk
14.3% (n=2).
Tabel 14 Distribusi Sampel berdasarkan Kelengkapan
Pemberian Vitamin A
Kelengkapan Sesuai Usia
Status Gizi JumlahGizi kurang Gizi burukn % n % n %
Lengkap 5 35.7 3 21.4 8 57.1Tidak lengkap 4 28.6 2 14.3 6 42.9
Jumlah 9 64.3 5 35.7 14 100.0
9. Perilaku Hygiene
Distribusi sampel berdasarkan hygiene pada anak balita Di Pesisir
Kecamatan Abeli Kota Kendari dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 15Distribusi Sampel berdasarkan Hygiene
HygieneStatus Gizi JumlahGizi kurang Gizi buruk
n % n % n %Baik 6 42.9 2 14.3 8 57.1Tidak baik 3 21.4 3 21.4 6 42.9
Jumlah 9 64.3 5 35.7 14 100.0
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa dari 8 sampel anak balita
yang hygienenya baik sebanyak 42,9% (n = 6) memiliki status gizi kurang, dan
sisanya 14,% (n = 2) memiliki status gizi buruk. Sedangkan dari 6 sampel anak
balita yang hygienenya tidak baik sebanyak 21,4% (n = 3) memiliki status gizi gizi
kurang, dan sisanya 21,4% (n = 3) memiliki status gizi buruk.
78
B. Pembahasan
Konsumsi gizi pada seseorang dapat menentukan tercapainya tingkat kesehatan
bila tubuh berada dalam tingkat kesehatan gizi yang optimum. Dalam kondisi demikian
tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya tahan tubuh yang sangat tinggi
(Notoatmodjo, 2003).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sampel (64,3%) memiliki
status gizi kurang. Banyak sampel yang mempunyai status gizi kurang, kemungkinan
disebabkan oleh faktor pola asuh pemberian kolostrum, pola asuh pemberoian MP-ASI
yang sesuai, pemberian IMD pada bayi sewaktu lahir, tidak menderita diare, serta
memiliki personal hygiene yang baik.
Status gizi pada anak sangat penting, karena status gizi yang baik akan
meningkatkan daya tahan tubuh dan kekebalan tubuh anak, sehingga anak tidak mudah
terkena penyakit infeksi. Semakin rendah status gizi balita maka semakin rendah pula
daya tahan tubuh balita, maka semakin rentan balita untuk terinfeksi.
Pada anak yang mengalami status gizi buruk pada tingkat ringan atau sedang
masih dapat beraktifitas, tetapi bila diamati dengan seksama badannya akan mulai
kurus, stamina dan daya tahan tubuhnya pun menurun, sehingga mempermudah untuk
terjadinya penyakit infeksi, sebaliknya anak yang menderita penyakit infeksi akan
mengalami gangguan nafsu makan dan penyerapan zat-zat gizi sehingga menyebabkan
gizi buruk (Andarini dkk, 2005) dalam Hadiana (2013).
79
Namun dari penelitian ini ditemukan juga sampel kasus yang berstatus gizi
kurang dan mengalami penyakit infeksi (ISPA). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA pada balita pemberian ASI,
keteraturan pemberian vitamin A, polusi udara, Selain itu didapatkan juga sampel kasus
yang berstatus gizi kurang tetapi tidak terkena ISPA. Hal tersebut bisa terjadi
kemungkinan karena faktor lingkungan tempat tinggalnya yang tidak ada yang
menderita ISPA meskipun status gizinya kurang, atau bisa dikarenakan mereka sudah
mendapatkan imunisasi yang lengkap hingga mereka mempunyai kekebalan tubuh
terhadap serangan infeksi sehingga tidak mudah terkena ISPA.
Status gizi juga sangat dipengaruhi oleh pola asuh ibu dalam memberikan ASI
kepada bayinya, seperti pemberian kolostrum, IMD, ASI eksklusif serta pemberian
MP-ASI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 11 sampel anak balita yang
diberikan kolostrum sebanyak 50,0% (n = 7) memiliki status gizi kurang, dan sisanya
28,6% (n = 4) memiliki status gizi buruk. sedangkan dari 3 sampel anak balita yang
tidak diberikan kolostrum sebanyak 14,3% (n = 2) memiliki status gizi gizi kurang, dan
sisanya 7,1% (n = 1) memiliki status gizi buruk. Meskipun kolostrum diberikan tetapi
bayi masih memiliki status gizi kurang kemungikan disebabkan bayi tidak diberikan
ASI secara eksklusif, selain pemberian kolostrum dengan cara tidak diberikan semua
atau dibuang terlebih dahulu baru diberikan kepada bayinya. Pemberian kolostrum
kepada bayi sangat bagus apalagi pemberian kolostrum tersebut diberikan tanpa ada
yang dibuang terlebih dahulu. Kolostrum merupakan ASI pertama yang banyak
mengandung protein dan anti body yang sangat baik untuk tubuh bayi.
80
Kolostrum di produksi pada beberapa hari pertama setelah bayi dilahirkan.
Kolostrum mengandung banyak protein dan antibody. Wujudnya sangat kental dan
jumlahnya sangat sedikit. Pada masa awal menyusui kolostrum yang keluar mungkin
hanya sesendok teh. Meskipun sedikit, kolostrum mampu melapisi usus bayi dan
melindunginya dari bakteri, serta sanggup mencukupi kebutuhan nutrisi bayi pada
secara berangsur angsur, produksi kolostrum berkurang saat air susu keluar pada hari
ketiga sampai kelima.
Penelitian Sartika, dkk (2011) menunjukkan bahwa praktik pemberian
kolostrum dapat meningkatkan status gizi bayi. Adanya hubungan antara praktik
pemberian kolostrum dengan status gizi bayi disebabkan karena kolostrum atau susu
pertama banyak mengandung vitamin, protein, dan zat-zat kekebalan tubuh yang
penting bagi kesehatan bayi dari penyakit maupun infeksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 4 sampel anak balita yang menerima
ASI eksklusif semuanya 28,6% (n = 4) memiliki status gizi kurang, sedangkan dari 10
sampel anak balita proporsi yang tidak diberikan ASI ekslusif mengalami gizi kurang
dan gizi buruk dengan jumlah yang sama yaitu 35.7% (n = 5). Hal tersebut
menunjukkan bahwa anak yang tidak diberikan ASI eksklusif akan membuat anak
mengalami gizi kurang dan gizi buruk.
Ibu bayi sudah memberikan bayinya MP-ASI dan PASI karena merasa
bahwa ASI saja itu tidak cukup bagi bayinya. Bayi yang rewel disalah artikan sebagai
permintaan anak akan makanan padat seperti pisang atau nasi. Menurut teori, ASI
merupakan makanan yang sangat mudah diserap sehingga banyak bayi lapar kembali
dalam 2 jam setelah menyusu dengan puas. Makanan lain selain ASI pada dasarnya
81
mengenyangkan tapi sangat berbahaya bagi pencernaan bayi. Pencernaan bayi belum
sempurna dan daya tampungnya tidak besar, berbeda dengan orang dewasa. Keadaan
tubuh bayi inilah menyebabkan dirinya harus disusui paling tidak setiap 3 jam selama
siang hari dan setiap 4 jam selama malam hari.
Fenomena yang terjadi pada ibu bayi yaitu semua bayi yang baru lahir disusui,
namun seiring bertambahnya umur bayi tersebut berhenti menyusui serta sebelum umur
7 bulan bayi sudah diberikan makanan/minuman. Sejalan dengan hasil penelitian
Susilaningsih (2013) Cakupan ASI eksklusif semakin menurun seiring dengan
bertambahnya kelompok umur. Penyebab menurunnya cakupan ASI eksklusif adalah
ibu merasa bahwa semakin bertambahnya umur anak maka ASI tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan bayinya walaupun sebenarnya hanya sedikit sekali (2-5%) yang
secara biologis memang kurang produksi ASInya. Rendahnya cakupan pemberian ASI
eksklusif terkait dengan pemahaman dan pengetahuan ibu tentang ASI. Pengetahuan itu
sendiri berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan.
Hasil penelitian Puspitasari dan Pujiastuti (2015) menyatakan bahwa pemberian
ASI eksklusif dapat meningkatkan status gizi pada balita di Puskesmas Tlogomulyo.
Hal ini didukung pula oleh analisa deskriptif yangmenyebutkan bahwa kejadian
statusgizi kurus dapat berkurang dengan pemberian ASI Eksklusif. Menurut Roesli
(2010) hal tersebut memiliki alasan bahwa air susu ibu cocok sekali untuk memenuhi
kebutuhan bayi dalam segala hal. Lemak ASI yang mudah dicerna dan diserap oleh
bayi, karena ASI juga mengandung enzim lipase yang mencerna lemak sehingga hanya
sedikit lemak yang tidak diserap.
82
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 10 sampel anak balita yang pemberian
MP-ASInya sesuai sebanyak 35,7% (n = 5) memiliki status gizi kurang, dan sisanya
35,7% (n = 5) memiliki status gizi buruk. sedangkan dari 4 sampel anak balita yang
pemberian MP-ASInya tidak sesuai sebanyak 28,6% (n = 4) memiliki status gizi gizi
kurang, dan sisanya 0% (n = 0) memiliki status gizi buruk.
Perilaku Pemberian MP-ASI yang tidak tepat (diberikan pada usia dini) di
kalangan ibu bayi lebih banyak dikarenakan oleh pengaruh orang terdekat (ibu, mertua,
kakak) atau karena kebiasaan yang terjadi di masyarakat sekitarnya, dan kebiasaan ini
sudah menjadi suatu budaya, Hal ini sesuai dengan pendapat Prabantini (2010), yaitu
orang tua juga mungkin memberikan nasehat yang berbeda, terlebih jika bayi dinilai
terlalu kurus. Tak jarang orang tua mendesak agar bayi diberi pisang saat umurnya
masih 3 bulan. bayi diberi makan sebelum usia 6 bulan dengan alasan bayi rewel karena
lapar dan lain sebagainya.
Konsumsi makanan yang mengandung nutrisi sangat berperan dalam
menentukan kondisi asupan gizi balita. Kondisi tubuh yang kurang mendapat asupan
nutrisi maka akan terjadi kesalahan akibat gizi diantaranya dalam hal memilihkan
makanan. Banyak orang tua yang kurang mengerti bagaimana makanan yang benar –
benar mengandung nutrisi. Anak diberi berbagai makanan yang orang tua tidak
mengerti apa saja yang terkandung dalam makanan tersebut. Apakah makanan itu
benar-benar mengandung nutrisi yang baik dan dapat meningkatkan status gizi
balitanya.
Hasil penelitian Sartika, dkk (2011) menunjukkan bahwa pola pemberian
makanan ditinjau dari praktik pemberian MP-ASI dapat mempengaruhi status gizi
83
balita. Makanan pendamping ASI merupakan makanan tambahan yang diberikan
ketika bayi berumur enam bulan sampai bayi berusia 24 bulan. Kedudukan makanan
pendamping ASI merupakan makanan tambahan bagi bayi guna menutupi kekurangan
zat-zat gizi yang terkandung di dalam ASI, seiring dengan bertambahnya umur bayi
maka semakinmeningkat pula kebutuhan gizi bayi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 6 sampel anak balita yang diberikan
IMD sebanyak 21,4% (n = 3) memiliki status gizi kurang, dan sisanya 21,4% (n = 3)
memiliki status gizi buruk. sedangkan dari 8 sampel anak balita yang tidak diberikan
IMD sebanyak 42,9% (n = 6) memiliki status gizi gizi kurang, dan sisanya 14,3% (n =
2) memiliki status gizi buruk. Anak yang tidak diberikan IMD maka bayi akan
mengalami status gizi kurang ataupun buruk.
Anak yang dapat menyusui dini dapat mudah sekali menyusu kemudian,
sehingga kegagalan menyusui akan jauh sekali berkurang. Selain mendapatkan
kolostrum yang bermanfaat untuk bayi, pemberian ASI ekslusif akan menurunkan
kematian.(8,9%) (wulandari, 2009).
Inisiasi Menyusui Dini (IMD), dapat melatih motorik bayi dan sebagai langkah
awal untuk membentuk ikatan batin antara ibu dan anak. Sebaiknya, bayi langsung
diletakkan di dada ibu sebelum bayi dibersihkan. Sentuhan dengan kulit mampu
memberikan efek psikologis yang kuat diantara keduanya. Untuk melakukan IMD,
dibutuhkan waktu, kesabaran, serta dukungan dari keluarga. Sebenarnya bayi yang lahir
dengan kondisi normal dengan kelahiran tanpa operasi bisa menyusu kepada ibunya
tanpa dibantu pada sekitar waktu satu jam.
84
Hasil penelitian Ridzal, dkk (2013) mengatakan bahwa anak Usia 6-23 bulan
yang melakukan IMD dan Anak Usia 6-23 bulan yang tidak melakukan IMD memiliki
peluang yang sama untuk bersatatus gizi baik atau menderita gizi kurang dan gizi
buruk. Hal tersebut disebabkan adanya faktor lain yang mempengaruhi status gizi anak
pada usia baduta seperti lingkungan sekitar rumah yang kurang bersih, prilaku hidup
yang tidak higienis sehingga dapat menyebabkan anak sakit pada waktu tertentu.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa dari 6 sampel kasus anak
balita yang menderita diare sebanyak 21,4% (n = 3) memiliki status gizi kurang, dan
sisanya 21,4% (n = 3) memiliki status gizi buruk. sedangkan dari 8 sampel anak balita
yang tidak menderita diare sebanyak 42,9% (n = 6) memiliki status gizi gizi kurang,
dan sisanya 14,3% (n = 2) memiliki status gizi buruk.
Sedangkan pada penyakit infeksi ISPA menunjukkan bahwa dari 9 sampel kasus
anak balita yang menderita ISPA sebanyak 35,7% (n=5) memiliki status gizi kurang,
dan sisanya 28,6% (n = 4) memiliki status gizi buruk. sedangkan dari 5 sampel kasus
anak balita yang tidak menderita ISPA sebanyak 28,6% (n= 4) memiliki status gizi gizi
kurang, dan sisanya 7,1% (n=1) memiliki status gizi buruk.
Meskipun sebagian kecil sampel yang menderita diare namun hal tersebut dapat
menjadi masalah, penyakit infeksi diare merupakan faktor langsung yang menyebabkan
status gizi anak balita. Ditambah lagi anak yang menderita diare dialami dalam waktu
yang lama (>7 hari), hal tersebut perlu menjadi perhatian serius untuk ibunya. Kejadain
diare tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu diantara adalah hygiene,
hygiene anak yang mengalami diare adalah kurang baik.
85
Selain diare salah satu penyakit infeksi pada anak balita adalah ISPA pada
penelitian ini, pertanyaan yang diberikan kepada responden tentang penyakit infeksi
ISPA hanya sebatas gejala subjektif, Banyak faktor yang memicu gejala ISPA , kadar
debu dalam rumah merupakan faktor penting, disamping status imunisasi serta
pemberian vitamin juga merupakan salah satu faktor pemicunya.
Ketidakpatuhan imunisasi berhubungan dengan peningkatan penderita ISPA, hal
ini sesuai dengan peneliti lain yang mendapatkan bahwa imunisasi yang lengkap dapat
memberikan peranan yang cukup berarti dalam mencegah kejadian ISPA ( Maryunani,
2010 ).
Hasil penelitian Rosari, dkk (2013) menyatakan bahwa sebagian besar anak
yang menderita diare mengalami demam dan penurunan nafsu makan. Demam timbul
sebagai respon tubuh saat terjadinya proses inflamasi akibat infeksi dan penurunan
nafsu makan atau asupan makanan terjadi sejalan dengan tingkat keparahan infeksi.
Semakin parah infeksi yang terjadi maka penurunan asupan makanan akan semakin
besar yang akan berdampak terhadap status gizinya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi pada baliata adalah pemberian
vitamin A. Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting yang larut dalam lemak,
disimpan dalam hati, dan tidak dapat diproduksi oleh tubuh sehingga harus dipenuhi
dari luar tubuh. Kekurangan Vitamin A (KVA) dapat menurunkan sistem kekebalan
tubuh balita serta meningkatkan risiko kesakitan dan kematian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 8 sampel kasus anak balita yang
menerima kapsul vitamin A yang lengkap sebanyak 35,7% (n = 5) memiliki status gizi
kurang. Sisanya mengalami status gizi buruk 21.4% (n=3). Dari 6 sampel kasus yang
86
menerima kapsul vitamin A yang tidak lengkap sebanyak 28.6% mengalami status gizi
kurang, sisanya mengalami status gizi buruk 14.3% (n=2) sampel menerima kategori
lengkap. Semua sampel pernah menerima kapsul vitamin A dari petugas kesehatan,
meskipun telah menerima namun balita masih enggan mengkonsumsinya, hal tersebut
terlihat dari masih banyaknya balita yang mengkonsumsi kapsul vitamin A kurang 1-2
kapsul.
Balita yang menerima vitamin A yang kurang terlihat mengalami penyakit
infeksi dan status gizi kurus. Sedangkan balita yang mengkonsumsi vitaminA yang
lebih banyak jarang mengalami penyakit infeksi dan status gizinya akan normal.
Kenaikan berat badan ini disebabkan oleh kandungan vitamin dalam suplemen yang
dikonsumsi. Seperti yang dikatakan oleh Almatsier (2009), vitamin berperan dalam
beberapa tahap reaksi metabolisme energi, pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh.
Sebuah penelitian di Vietnam tentang pemberian suplemen mikronutrien yang lebih
lengkap pada bayi usia 6 sampai 12 bulan selama 6 bulan melaporkan adanya
peningkatan z-score data antropomentri dan peningkatan kadar Hb dan ferritin plasma.
Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan
menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada
dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan
bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, diharapkan adanya perlindungan
terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat.
Pemberian vitamin A merupakan faktor tidak langsung terhadap status gizi
balita. Pemberian vitamin A akan berpengaruh langsung terhadap penyakit infeksi yang
nantinya akan mempengaruhi status gizi. Hasil penelitian Tambunan, dkk (2013)
87
menyatakan ada hubungan yang bermakna antara riwayat pemberian vitamin A dengan
kejadian pneumonia, defisiensi vitamin A merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kejadian ISPA pada balita terutama terhadap Pneumonia. Kekurangan
vitamin A akan menyebabkan keratinisasi mukosa saluran napas dan penurunan fungsi
cilia serta sekresi mukus pada sel epitel saluran pernapasan sehingga akan
menyebabkan tubuh terkena infeksi yang nantinya akan berpengaruh terhadap status
gizinya.
Salah satu faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi balita adalah
hygiene dan sanitasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 8 sampel anak balita
yang hygienenya baik sebanyak 42,9% (n = 6) memiliki status gizi kurang, dan sisanya
14,% (n = 2) memiliki status gizi buruk. sedangkan dari 6 sampel anak balita yang
hygienenya tidak baik sebanyak 21,4% (n = 3) memiliki status gizi gizi kurang, dan
sisanya 21,4% (n = 3) memiliki status gizi buruk.
Masalah personal hygiene merupakan hal yang sehari-hari harus dilakukan,
namun kadang masih dianggap kurang penting. Pendapat ini sering terjadi karena
kurangnya sosialisasi akan pentingnya personal hygiene. Kurangnya sosialisasi tentang
personal hygiene berdampak pada rendahnya pemahaman ibu tentang personal hygiene.
Pengetahuan ibu yang kurang tentang personal hygiene, membuat perilaku hidup sehat
ini sulit diterapkan
Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Personal hygiene bertujuan
agar manusia dapat memelihara kesehatan diri sendiri, mempertinggi dan memperbaiki
nilai kesehatan, serta mencegah timbulnya penyakit. Personal hygiene disini antara lain
88
mencakup kebersihan kulit, kebersihan rambut, perawatan gigi dan mulut, kebersihan
tangan, perawatan kuku kaki dan tangan, pemakaian alas kaki, kebersihan pakaian,
makanan dan tempat tinggal (Azizah, 2011).
Personal hygiene pada anak, khususnya pada anak usia pra sekolah sangat
penting dilakukan, mengingat anak usia pra sekolah sudah mampu beraktifitas di luar
rumah dan menuntut kemungkinan anak usia pra sekolah dapat melakukan kegiatan
yang kurang sehat seperti makan jajanan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu, bermain
tanpa menggunakan alas kaki, jajan sembarangan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu
ibu diharapkan memiliki pengetahuan dan motivasi yang tinggi untuk memberikan
pembelajaran dan penerapan personal hygiene pada anaknya (Alimul, 2006 dalam Putri,
dkk 2016).
89
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Sebagian besar (78,6%) anak balita diberikan kolostrum.
2. Sebagian besar (64,3%) anak balita tidak diberikan ASI secara Eksklusif
3. Pola asuh pemberian MP-ASI sebagian besar (71,4%) diberikan sesuai.
4. Pemberian Inisiasi Menyusu Dini sebagian besar anak balita (57,1%) diberikan
IMD setelah dilahirkan.
5. Penyakit infeksi diare sebagian besar (57,1%) anak balita tidak menderita.
Sedangkan penyakit infeksi ISPA sebagian besar (64,3%) menderita.
6. Semua sampel (100,0%) menerima kapsul vitamin A, lebih banyak (71,4%) sampel
menerima kapsul vitamin A lengkap.
7. Personal hyigene sebagian besar (57,1%) berada dalam kategori baik
8. Status gizi sebagian besar (64,3%) memiliki status gizi kurang.
B. Saran
1. Bagi tenaga kesehatan meningkatkan promosi kesehatan, khususnya terkait dengan
pemberian ASI eksklusif dengan cara penyuluhan atau konsultasi gizi agar
masyarakat lebih memahami pentingnya pemberian ASI eksklusif.
2. Bagi masyarakat, hendaknya memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, yaitu tidak
memberikan makanan/minuman selain ASI sampai berumur 6 bulan, serta rajin
membawa anaknya ke Posyandu guna mendapatkan imuniasasi serta vitamin A
yang lengkap.
90
3. Bagi peneliti selanjutnya, hendaknya meneliti tentang hubungan masing-masing
variable, serta meneliti variable yang lain seperti asupan, pola makan, serta status
imunisasi.
91
DAFTAR PUSTAKA
Aries,M, Martianto, D. 2006. Estimasi Kerugian Ekonomi Akibat Status Gizi Buruk dan Biaya Penanggulangannya pada Balita Di Berbagai Provinsi Di Indonesia. Jurnal Gizi dan Pangan. Edisi November 2006 vol. 1, No.2. Hal: 26-33.
Arisman. 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC
Aprillia Y. 2009. Analisis Sosialisasi Program Inisiasi Menyusui Dini Dan ASI Eksklusif Kepada Bidan Di Kabupaten Klaten. Universitas Diponegoro Semarang. Tesis.
Auliya,C, Woro,O, Budiono,I. 2015. Profil Status Gizi Balita Ditinjau dari Topografi Wilayah Tempat Tinggal Studi di Wilayah Pantai dan Wilayah Punggung Bukit Kabupaten Jepara. URL: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph . [Diakses pada tanggal 20 november 2016].
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Profil Kesehatan Dasar.
Banudi, La. 2013. Gizi Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (Mp-Asi) Lokal. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. 2010. Profil Kesehatan Indonesia.
Djaya. 2012. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dan Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI Dengan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan Diwilayah Kerja Puskesmas Mekar Kecamatan Kadai Kota Kendari. Poltekkes Kendari Jurusan Gizi. KTI.
Departemen Kesehatan RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2012. Profil Kesehatan Sulawesi Tenggara
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2015. Profil Kesehatan Sulawesi Tenggara.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2016. Profil Kesehatan Sulawesi Tenggara.
Husin,R.C. 2008. Hubungan Pola Asuh Anak dengan Status Gizi Balita Umur 24 – 59 Bulan di Wilayah Terkena Stsunami Kabupaten Pidie Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam. Universitas Sumatera Utara Medan. Tesis.
92
Kartini,D.T. 2008. Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Kejadian Diare dengan Pertumbuhan Bayi Mengalami Hambatan Pertumbuhan dalam Rahim sampai Umur Empat Bulan. Universitas Diponegoro Semarang. Tasis.
Khayati,S. 2011. Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita Pada Keluarga Buruh Tani Di Desa Situwangi Kecamatan Rakit Kabupaten Banjarnegara Tahun 2010. Universitas Negeri Semarang.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Kemenetrian Kesehatan RI. 2014. Pusat data dan Informasi. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Pusat data dan Informasi. Jakarta.
Lubis,R. 2008. Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Status Gizi Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat. Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
Lutviana,E. 2010. Prevalensi dan Determinan Kejadian Gizi Kurang Pada Balita (Studi Kasus Pada Keluarga Nelayan di Desa Bojomulyo Kecamatan Juana Kabupaten Pati). Universitas Negeri Semarang.
Lestari,E. 2013. Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua dengan Prestasi Belajar Siswa Konsentrasi Patiseri SMK Negeri 1 Sewon Bantul. Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi.
Mahmud,A. 2007. Model Komunikasi Pembangunan Dalam Penyediaan Prasarana Perdesaan Di Kawasan Pesisir Utara Jawa Tengah. Universitas Diponegoro Semarang. Thesis.
Maryam,S. 2013. Gambaran Pola Asuh Makan dengan Status Gizi Anak Usia 1 – 3 Tahun Di Gampong Meunasah Baro Kecamatan Muara Batu Kabupaten Aceh Utara. Jesbio. Edisi November 2013. Vol. 2, No. 3, Hal: 34-35.
Munawaroh,S. 2015. Pola Asuh Mempengaruhi Status Gizi Balita. Jurnal Keperawatan. Edisi Januari 2015 Vol. 6, No.1. Hal: 44-45.
Mufida,L, dkk. 2015. Prinsip Dasar Makanan Pendamping Air Susu Ibu (Mp-Asi) Untuk Bayi 6 – 24. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Edisi September 2015 Vol. 3, No. 4. Hal: 1646-1651.
93
Maharani,O. 2016. Pemberian Makanan Pendamping ASI Dini Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Bayi umur 0 – 12 Bulan di Kecamatan Dampal Utara, Tolitoli Sulawesi Tengah. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia. Edisi Juni 2016 Vol. 4, No. 2. Hal: 84-89.
Nugraheni,K.D. 2011. Pengetahuan dan Pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini, Pemberian Asi Eksklusif serta Status Gizi Batita Di Perdesaan dan Perkotaan. Institut Pertanian Bogor. Tesisi.
Nurarif, dkk. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta
Pedoman Menulis Karya Ilmiah. 2014. Politeknik Kesehatan Kendari.
Puspitasari,S, Pujiastuti,W. 2015. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Terhadap Status Gizi Pada Bayi Usia 7-8 Bulan Di Wilayah Puskesmas Tlogomulyo Kabupaten Temanggung Tahun 2014. Jurnal Kebidanan. Edisi April 2015 Vol. 4 No. 8. Hal: 62-63
Rokhana, A.N. 2005. Hubungan antara Pendapatan Keluarga dan Pola Asuh Gizi Dengan Status Gizi Anak Balita Di Betokan Demak. Universitas Negri Semarang. Skripsi.
Rahman,L.P, Yusuf,A.E. 2012. Gambaran Pola Asuh Orang Tua pada Masyarakat Pesisir Pantai. Predicara. Edisi September 2012 Vol.1, No.1. Hal: 22-24.
Ridzal, dkk. 2013. Hubungan Pola Pemberian Asi Dengan Status Gizi Anak Usia 6-23Bulan Di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar Tahun 2013. Universitas hasanuddin Makassar. Skripsi.
Rosari, dkk. 2013. Hubungan Diare dengan Status Gizi Balita di KelurahanLubuk Buaya Kecamatan Koto Tangah Kota Padang. Universitas Andalas. Skripsi.
Supariasa,D.N, Bachyar, B, Ibnu,F. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Kedokteran EGC.
Stanis,S. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pantai Malalui Pemberdayaan Kearifan Lokal Di Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur. Universitas Diponegoro Semarang. Tesis.
Suwiji,E. 2006. Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Status Gizi Balita Usia 4–12 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora. Universitas Negeri Semarang. Skripsi.
Sartika, dkk. 2011. Hubungan Pola Pemberian Makanan Dengan Status Gizi Bayi Usia 0-11 Bulan Di Kelurahan Indralaya Mulya Ogan Ilir. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Edisi Maret 2011 Vol. 2 No. 1. Hal: 73-74
94
Sari,P.A.S. 2012. Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Ibu dengan Kejadian Diare pada Bayi Usia 1-12 Bulan Di Kelurahan Antirogo Kabupaten Jember. Universitas Jember. Skripsi.
Siwi,A.S. 2015. Hubungan Antara Pola Asuh dengan Status Gizi pada Balita Usia 2–5 Tahun. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi.
Tambunan, dkk. 2013. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2013. Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Skripsi.
Utam, Herguatanto. 2016. Penuntun Diet Anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Yulni,H.V. 2013. Hubungan Asupan Zat Gizi Makro dengan Status Gizi pada Anak Sekolah Dasar Di Wilayah Pesisir. Kota Makassar.
WHO, 2007. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang cenderung Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Trust Indonesia Partner In Development.
95