Pengaruh Pola Asuh
-
Upload
muhammad-nazli -
Category
Documents
-
view
183 -
download
1
Transcript of Pengaruh Pola Asuh
BAB I
PENDAHULUAN
Pada saat sekarang ini sangatlah erat kaitan antara Napza dengan generasi
muda dewasa. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus kecanduan dan
pengedaran Napza yang di dalamnya melibatkan generasi muda, khususnya
remaja sekolah dan luar sekolah (putus sekolah). usia remaja memang merupakan
"sasaran empuk" dan periode yang paling rawan terhadap penyalahgunaan Napza,
karena masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri, saat dimana remaja
mulai muncul rasa penasaran, ingin tahu, serta ingin mencoba berbagai hal yang
baru dan bahkan beresiko tinggi. Oleh karenanya, sangat mungkin jika semakin
hari akan semakin bertambah jumlah pengedar dan pengguna Napza di kalangan
anak-anak dan remaja. Pada dasarnya Napza merupakan jenis obat atau zat yang
berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kesehatan seperti terapi,
contohnya adalah morfin, opium, sabu-sabu (amfetamina), PCP (halusinogen) dan
lain-lain.
Menurut pendapat Yatim (dalam Buletin Psikologi, 1998) yang termasuk
Napza adalah semua jenis obat yang menimbulkan penyalahgunaan, antara lain
adalah Narkotika sekelompok obat yang bersifat menenangkan syaraf dan
mengurangi rasa sakit, Depresants; jenis obat yang digunakan untuk menenangkan
seseorang atau dipakai untuk obat tidur, Stimulan, meningkatkan kemampuan
fisik seseorang, namun juga dapat menimbulkan kerusakan fisik, Kanabis; sejenis
tanaman perdu yang mengandung delta-gtetra kanobinol (THC), dan yang terakhir
1
Hallusinogen; pada pengguna dapat menimbulkan perasaan tidak rill, yang dapat
meningkatkan halusinasi menjadi persepsi yang salah. Pada awalnya,
penyalahgunaan Napza terjadi pada remaja melalui teman sebaya yang
menawarkan Napza dengan disertai janji atau juga melalui tekanan atau paksaan.
Biasanya, terlebih dahulu akan ditawari dengan rokok atau minuman keras,
kemudian setelah terbiasa maka dengan mudah akan beralih pada kebiasaan
menggunakan jenis Napza lain, baik ganja, heroin, atau zat yang lainnya.
Kasus penyalahgunaan Napza, khususnya pada remaja sering berawal dari
pengaruh pola pergaulan dan gaya berteman, di samping berasal dari keinginan
pribadi dan problem yang terjadi di masyarakat. Pada saat ini, sudah banyak
generasi muda yang terpengaruh dengan budaya asing dengan berperilaku negatif,
misalnya merokok, minum-minuman keras, menggunakan ekstasi, pergaulan
bebas dan lain sebagainnya. Hal ini akan berpengaruh negatif terutama bagi
remaja yang jiwa dan emosinya masih dalam tahap perkembangan yang labil.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PENGARUH POLA ASUH TERHADAP PENYALAHGUNAAN
NAPZA
2.1.1 Pengertian Pola Asuh
Hetherington dan Whiting (1999) menyatakan bahwa pola asuh sebagai
proses interaksi total antara orang tua dengan anak, seperti: proses pemeliharaan,
pemberian makan, membersihkan, melindungi dan proses sosialisasi anak dengan
lingkungan sekitar. Orang tua akan menerapkan pola asuh yang terbaik bagi
anaknya dan orang tua akan menjadi contoh bagi anaknya. Menurut Gunarsa
(2000) pola asuh orang tua merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua
yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis tetapi juga
norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan
lingkungan.
Menurut Wahyuning (2003) pola asuh adalah seluruh cara perlakuan orang
tua yang ditetapkan pada anak, yang merupakan bagian penting dan mendasar
menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Pengasuhan anak
menunjuk pada pendidikan umum yang ditetapkan pengasuhan terhadap anak
berupa suatu proses interaksi orang tua (sebagai pengasuh) dan anak (sebagai
yang diasuh) yang mencakup perawatan, mendorong keberhasilan dan melindungi
maupun sosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh
masyarakat.
3
Menurut Gunarsa (2000) pola asuh orang tua merupakan pola interaksi
antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan fisik dan
psikologis tetapi juga norma-norma yang berlaku dimasyarakat agar dapat hidup
selaras dengan lingkungan. Ada tiga jenis pola asuh yaitu pertama; pola asuh
otoriter dimana orang tua membatasi dan menghukum, menuntut anak untuk
mengikuti perintah-perintah orangtua. Kedua; pola asuh otoritatif yaitu pola asuh
yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan
pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Sedangkan yang terakhir adalah pola
asuh permisif; dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak.
Pengasuhan menurut Porwadarminta (dalam Amal, 2005) adalah orang yang
melaksanakan tugas membimbing, memimpin atau mengelola. Pengasuhan yang
dimaksud disini adalah mengasuh anak. Menurut Darajat (dalam Amal, 2005)
mengasuh anak maksudnya adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus
makan, minumnya, pakaiannya dan keberhasilannya dalam periode yang pertama
sampai dewasa. Dengan pengertian di atas dapatlah dipahami bahwa pengasuhan
anak yang dimaksud adalah kepemimpinan, bimbingan yang dilakukan terhadap
anak berkaitan dengan kepentingan hidupnya.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002), pengertian pola asuh adalah
merupakan suatu bentuk (struktur), system dalam menjaga, merawat, mendidik
dan membimbing anak kecil. Sedangkan pola asuh menurut Soetjiningsih (2004)
adalah suatu model atau cara mendidik anak yang merupakan suatu kewajiban
dari setiap orang tua dalam usaha membentuk pribadi anak yang sesuai dengan
harapan masyarakat pada umumnya.
4
2.1.2 Dimensi dan Jenis Pola Asuh Orang Tua
Baumrind (1994) mengemukakan 4 dimensi pola asuh yaitu:
a. Kendali Orang Tua (Control): tingkah menunjukan pada upaya orang tua
dalam menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan laku
yang sudah dibuat sebelumnya
b. Kejelasan Komunikasi Orang Tua-anak (Clarity Of Parent Child
Communication): menunjuk kesadaran orang tua untuk mendengarkan
atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan juga
kesadaran orang tua dalam memberikan hukuman kepada anak bila
diperlukan
c. Tuntutan Kedewasaan (Maturity Demands): menunjuk pada dukungan
prestasi, sosial, dan emosi dari orang tua terhadap anak
d. Kasih Sayang (Nurturance): menunjuk pada kehangatan dan keterlibatan
orang tua dalam memperlihatkan kesejahteraan dan kebahagiaan anak
Jenis dari pola asuh orang tua adalah sebagai berikut:
a. Pola asuh otoriter
Menurut Gunarsa (2002) pola asuh yang mengendalikan suatu
perilaku secara otoriter menggunakan kekuasaan. Pola asuh yang otoriter
berhubungan dengan remaja, kegelisahan mengenai perbandingan
masyarakat, kegagalan untuk mengambil inisiatif dalam suatu tindakan, dan
tidak efektifnya interaksi di dalam masyarakat.
5
Pola asuh ini ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari
orang tua. Kebebasan anak sangat dibatasi dan orang tua memaksa anak
untuk berperilaku seperti yang diinginkan. Bila aturan-aturan ini dilanggar,
orang tua akan menghukum anak dengan hukuman yang biasanya bersifat
fisik. Tapi bila anak patuh maka orang tua tidak memberikan hadiah karena
sudah dianggap sewajarnya bila anak menuruti kehendak orang tua.
Perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak bercirikan tegas,
suka menghukum, anak dipaksa untuk patuh terhadap aturan-aturan yang
diberikan oleh orang tua tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa
guna dan alas an dibalik aturan tersebut, serta cenderung mengekang
keinginan anak. Pola asuh otoriter dapat berdampak buruk pada anak, yaitu
anak merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif
(kurang berinisiatif), selalu tegang, cenderung ragu, tidak mampu
menyelesaikan masalah, kemampuan komunikasinya buruk serta mudah
gugup, akibat seringnya mendapat hukuman dari orang tua. Dengan pola
asuh seperti ini, anak diharuskan untuk berdisiplin karena semua keputusan
dan peraturan ada di tangan orang tua.
b. Pola asuh otoritatif (demokratis)
Menurut Santrock (1999) pola asuh yang mendorong remaja menjadi
bebas namun tetap menempatkan batasan dan pengendalian dalam tindakan
remaja, memberi dan menerima secara lisan dilakukan dengan luas dan
orang tua ramah serta pengasuhan diarahkan pada remaja.
6
Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya sikap terbuka antara
orang tua dengan anaknya. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui
bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan
dan keinginannya serta belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain.
Orang tua bersikap sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap
aktivitas anak. Dengan pola asuhan ini, anak akan mampu mengembangkan
kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima
oleh masyarakat. Hal ini akan mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri,
bertanggung jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya
berkembang dengan baik karena orang tua selalu merangsang anaknya untuk
mampu berinisiatif.
Menurut Shochib (dalam Yuniyati, 2003), orang tua menerapkan pola
asuh demokratis dengan banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk
berbuat keputusan secara bebas, berkomunikasi dengan lebih baik,
mendukung anak untuk memiliki kebebasan sehingga anak mempunyai
kepuasan sedikit menggunakan hukuman badan untuk mengembangkan
disiplin. Pola asuh authoritative dihubungkan dengan tingkah laku anak-
anak yang memperlihatkan emosional positif, sosial, dan pengembangan
kognitif.
c. Pola asuh permisif
Menurut Hurlock (1991) pola asuh orangtua yang tidak membimbing
anak ke pola perilaku yang menyetujui segala tingkah laku anak termasuk
keinginan-keinginan yang sifatnya segera dan tidak menggunakan hukuman.
7
Anak tidak diberikan batasan-batasan atau kendali yang mengatur, apa saja
boleh dilakukan, mereka diijinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan
berbuat sesuai dengan kehendak mereka sendiri.
Pola asuh ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada
anaknya untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Orang tua
tidak pernah memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Semua keputusan
diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan dari orang tua. Anak tidak tahu
apakah perilakunya benar atau salah karena orang tua tidak pernah
membenarkan atau menyalahkan anak. Akibatnya anak akan berperilaku
sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai
dengan norma masyarakat atau tidak. Dengan pola asuh seperti ini, anak
mendapatkan kebebasan sebanyak mungkin dari orang tua. Pola asuh
permisif memuat hubungan antara anak-anak dan orang tua penuh dengan
kasih sayang, tapi menjadikan anak agresif dan suka menurutkan kata
hatinya. Secara lebih luas, kelemahan orang tua dan tidak konsistennya
disiplin yang diterapkan membuat anak-anak tidak terkendali, tidak patuh,
dan tingkah laku agresif di luar lingkungan keluarga.
2.1.3 Faktor - faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
Menurut Hurlock (1993) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola
asuh, yaitu:
8
a. Pendidikan orang tua
Orang tua yang mendapat pendidikan yang baik, cenderung menetapkan
pola asuh yang lebih demokratis ataupun permisif dibandingkan dengan orang tua
yang pendidikannya terbatas. Pendidikan membantu orang tua untuk lebih
memahami kebutuhan anak.
b. Kelas Sosial
Orang tua dari kelas sosial menengah cenderung lebih permisif dibanding
dengan orang tua dari kelas sosial bawah.
c. Konsep tentang peran orang tua
Tiap orang tua memiliki konsep yang berbeda-beda tentang bagaimana
seharusnya orang tua berperan. Orang tua dengan konsep tradisional cenderung
memilih pola asuh yang ketat dibanding orang tua dengan konsep nontradisional.
d. Kepribadian orang tua
Pemilihan pola asuh dipengaruhi oleh kepribadian orang tua. Orang tua
yang berkepribadian tertutup dan konservatif cenderung akan memperlakukan
anak dengan ketat dan otoriter.
e. Kepribadian Anak
Tidak hanya kepribadian orang tua saja yang mempengaruhi pemilihan
pola asuh, tetapi juga kepribadian anak. Anak yang ekstrovert akan bersifat lebih
9
terbuka terhadap rangsangan-rangsangan yang datang pada dirinya dibandingkan
dengan anak yang introvert.
f. Usia anak
Tingkah laku dan sikap orang tua dipengaruhi oleh anak. Orang tua yang
memberikan dukungan dan dapat menerima sikap tergantung anak usia pra
sekolah dari pada anak.
2.1.4 Pengertian Napza dan Penyalahgunaan Napza
Menurut Hawari (1991) Napza adalah singkatan dari Narkotika, Alkohol,
Psikotropika dan Zat adiktif lainya. Napza mencakup segala macam zat yang
disalah gunakan untuk Gitting, mabuk, fly atau high, yang dapat mengubah tingkat
kesadaran seseorang. Termasuk dalam Napza adalah obat perangsang, penenang,
penghilang rasa sakit, pencipta ilusi atau psikotropika, dan zat-zat yang tidak
termasuk obat namun dapat disalahgunakan (misalnya alkohol atau zat yang bisa
dihirup seperti bensin, lem, tinner, dan lain – lainya sehingga high.
Menurut Budiarta (2000) Napza merupakan zat atau obat yang berasal dari
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi bahkan menghilangkan
rasa nyeri dan dapat menimbulkan penyalahgunaan.
Menurut Willis (2005), maksud dari penyalahgunaan adalah suatu
pemakaian non medical atau ilegal barang haram yang dinamakan Napza
(narkotika dan obat-obat adiktif) yang dapat merusak kesehatan dan kehidupan
10
produktif manusia pemakainya. Manusia pemakai Napza bisa dari berbagai
kalangan, mulai dari level ekonomi tinggi hingga rendah, para penjahat, pekerja,
ibu-ibu rumah tangga, bahkan sekarang sudah sampai ke sekolah-sekolah yang
jelas-jelas terdiri dari para generasi muda, bahkan lebih khusus lagi anak-anak dan
remaja.
2.1.5 Faktor Penyebab Penyalahgunaan Napza
Menurut Hawkins dkk (Buletin Psikologi, 1998) beberapa faktor utama yang
dipandang berpengaruh terhadap penyalahgunaan Napza adalah: faktor internal
dari individu (ciri kepribadian), faktor keluarga, dan faktor teman sebaya.
a. Faktor internal (ciri kepribadian)
Pola kepribadian seseorang besar pengaruhnya dalam
penyalahgunaan Napza. Ciri kepribadian yang lemah dan antisosial sering
merupakan penyebab seseorang menjadi penyalahguna Napza.
b. Faktor keluarga
Beberapa kondisi keluarga yang berpengaruh terhadap
penyalahgunaan Napza adalah:
1) Hubungan antara anggota keluarga tidak harmonis.
2) Keluarga yang tidak utuh.
3) Suasana rumah diwarnai dengan pertengkaran yang terus-menerus.
4) Kurang komunikasi dan kasih sayang antara anggota keluarga.
5) Keluarga yang sering ribut dan berselisih.
11
6) Keluarga yang kurang mengamalkan hidup beragama.
7) Keluarga yang orang tuanya telah menggunakan Napza.
Menurut Sayuti (2006) keluarga sebagai lingkungan yang paling
menentukan bagi terbentuknya perilaku remaja. Jika di dalam keluarga
terdapat hubungan yang tidak harmonis, tingkat pendidikan yang rendah,
rasa dan praktek keagamaan lemah, maka secara langsung atau tidak
langsung maka akan memberikan pengaruh bagi kehidupan dan perilaku
anaknya, terutama yang masih dalam usia remaja, karena di saat anak
memasuki usia remaja, perkembangan emosinya masih labil, berperilaku
ragu, sering uring-uringan, dan kecenderungan meniru gaya dan perilaku
keluarga. Oleh karenanya, jika lingkungan keluarga tidak dapat memberikan
contoh yang baik, maka lambat laun anak atau remaja akan mencari
kepuasan di luar atau remaja akan mencari kepuasan di luar dan bisa
menjerumuskannya ke dalam penyalahgunaan Napza.
c. Faktor lingkungan teman sebaya
Pengaruh buruk dari lingkungan pergaulan, khususnya pengaruh
dan tekanan dari kelompok teman sebaya sering menjadi sumber penyebab
terjadinya penyalahgunaan Napza. Kelompok teman sebaya tersebut
berperan sebagai media awal perkenalan Napza Menurut Hawkins dkk
(dalam Buletin Psikologi 1998). Penyalahgunaan Napza pada kelompok
teman sebaya merupakan prediktor yang kuat terhadap penyalahgunaan
Napza pada remaja.
12
2.1.6 Pola Asuh pada Penyalahgunaan Napza
Menurut penelitian, pola asuh yang banyak diterapkan orang tua pada remaja
yang melakukan penyalahgunaan Napza adalah pola asuh yang bersifat permisif,
hal ini dilihat dari:
a) Kendali orang tua (control): kurangnya upaya kedua orang tua subjek
dalam menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan tingkah
laku yang sudah dibuat sebelumnya. Seperti orang tua subjek bertipe orang
yang tidak pernah menerapkan disiplin yang tegas didalam rumah, karena
mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, dalam
pergaulan, orang tua subjek sangat memberikan kebebasan sepenuhnya
kepada subjek, dan orang tua subjek tidak pernah memberikan hukuman
yang terlalu berat apabila subjek melakukan kesalahan, karena mereka
hanya memberikan nasehat dan jangan pernah diulang kembali kesalahan
yang sama.
b) Kejelasan komunikasi orang tua dan anak (Clarity of parent child
Communication): kurangnya kesadaran orang tua untuk mendengarkan
atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan juga
kesadaran orang tua dalam memberikan hukuman kepada anak bila
diperlukan. Seperti hubungan subjek dengan kedua orang tuanya kurang
baik, karena kedua orang tuanya memiliki kesibukannya masing-masing,
yang menyebabkan komunikasi subjek dengan kedua orang tuanya hanya
melalui telepon. dan subjek terkadang sering sekali tidak sependapat
13
dengan kedua orang tuanya, yang sering mementingkan pekerjaan mereka.
Yang menyebabkan subjek lebih memilih keluar dari rumah dan
menghabiskan waktu bersama teman-temannya.
c) Tuntutan kedewasaan: kurang memberi dukungan pada prestasi, social,
dan emosi dari orang tua terhadap anak. Seperti kedua orang tua subjek
memberikan kebebasan dalam pergaulan sehari-hari, terutama ibunya
sangat membebaskan dan tidak memberi batasan dalam pergaulanya dalam
memilih teman. Kedua orang tua subjek berharap subjek bias lulus dengan
nilai yang memuaskan dan ketika kedua orang tua subjek memergoki
subjek sedang menggunakan napza yang mengakibatkan kedua orang tua
subjek marah besar kepada subjek.
d) Kasih sayang (Nuturence): kurang memberikan kehangatan dan
keterlibatan orang tua dalam memperlihatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan anak. Seperti kasih sayang, perhatian dan rasa nyaman itu
semua tidak subjek dapatkan dari kedua orang tuanya. Selama ini subjek
hanya mendapakan kasih sayang, perhatian dan rasa nyaman hanya dari
neneknya. Hal itu dirasakan oleh subjek dari sejak subjek kecil hingga
sekarang dewasa, Sedangankan Kedua orang tua subjek hanya bisa
memberikan materi yang dibutuhkan oleh subjek saja.
14
BAB III
KESIMPULAN
Pola asuh adalah seluruh cara perlakuan orang tua yang ditetapkan pada
anak, yang merupakan bagian penting dan mendasar menyiapkan anak untuk
menjadi masyarakat yang baik. Pengasuhan anak menunjuk pada pendidikan
umum yang ditetapkan pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi
orang tua (sebagai pengasuh) dan anak (sebagai yang diasuh) yang mencakup
perawatan, mendorong keberhasilan dan melindungi maupun sosialisasi yaitu
mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat.
Napza adalah singkatan dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat
adiktif lainya. Napza mencakup segala macam zat yang disalah gunakan untuk
Gitting, mabuk, fly atau high, yang dapat mengubah tingkat kesadaran seseorang.
Termasuk dalam Napza adalah obat perangsang, penenang, penghilang rasa sakit,
pencipta ilusi atau psikotropika, dan zat-zat yang tidak termasuk obat namun
dapat disalahgunakan (misalnya alkohol atau zat yang bisa dihirup seperti bensin,
lem, tinner, dan lain – lainya sehingga high
Menurut penelitian, pola asuh yang banyak diterapkan orang tua pada
remaja pengguna Napza adalah pola asuh yang bersifat permisif
15
DAFTAR PUSTAKA
Gunarsa, S. D. 2000. Psikologi Praktis : Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta :
PT. BPK Gunung Mulya.
Hawari, M. 1999. Penyalahgunaan Narkotika dan Zat aditif. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Heterington, M. E & Porke, R. D. 1999, Child Psychology A Contemporary New
Point 4 th. New York : Mc Graw Hill . Inc
Koch, C. 1986 Psikodiagnostika: Tes Pohon. Bandung : Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran
Adina, 1998. Hubungan Antara Pola Suh Orang Tua Dengan Tahap
Perkembangan,Penalaran Moral Remaja Usia 17-19 th, Skripsi (tidak
diterbitkan). Depok; Fakultas Psikologi UI.
Budiarta, T. 2000. Dampak Narkoba dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal
Psikologi (tidak diterbitkan). Depok : Universitas Indonesia
Buletin Psikologi. 1998. Bagaimana Menghindari Diri dari Penyalahgunaan
Napza (tidak diterbitkan). Depok : Universitas Indonesia
Machover, K. 1987. Suatu Metode Pemerksaan Kepribadian. Bndung : Fakultas
Psikologi Universitas Padjadjaran.
Rozak, A & Sayitu, W. 2006. Remaja dan Bahaya Narkoba. Jakarta : Prenada
Media
Samtrock, J. W. 1999. Life Span Development (7 th ed). New York : MC. Graw
Hill
Sarwono, S. W. 1988. Psikologi Remaja. Jakarta : Rajawali Pers.
Sofyan, S. & Willis, M. Pd. 2006. Remaja dan Masalahnya Mengupas Berbagai
Bentuk Kenakalan Remaja dengan Narkoba, Freeseks dan Pemecahannya.
Bandung : Alfa Beta
16