Post on 30-Jun-2015
JURNAL
POLA ASUH ANAK PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA
NINE IS PRATIWI 10500279
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana pola asuh anak pada pasangan beda agama. Pola asuh adalah suatu proses interaksi total orangtua dan anak, meliputi kegiatan seperti memelihara, memberi makan, melindungi dan mengarahkan tingkah laku anak selama masa perkembangan anak serta bagaimana cara orangtua mengkomunikasikan afeksi (perasaan) dan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan. Pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita, yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaannya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sampel dalam penelitian ini adalah seorang suami yang menikah secara beda agama dengan istri yang menganut agama Katholik. Usia pernikahan subjek lima tahun. Menurut Poerwandari (1998) mengatakan bahwa dengan fokus penelitian kualitatif pada kedalaman dan proses , maka penelitian kulitatif cenderung dilakukan dengan jumlah sedikit. Berdasarkan pendapat diatas, maka dalam penelitian ini subjek berjumlah satu orang.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara menurut Poerwandari (1998) wawancara adalah suatu kegiatan dilakukan untuk mendapatkan informasi langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para responden. Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) salah satu hal penting tetapi sering dilupakan dalam observasi adalah mengamati hal yang tidak terjadi.
Dari hasil analisis data yang dilakukan menunjukkan bahwa subjek dan pasangannya mengasuh anaknya dengan menggunakan pola asuh authoritatif yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan keluarganya yang harmonis dan cukup bahagia serta tidak ada masalah yang terlalu rumit. Hal tersebut karena didukung dengan faktor yang mendorong subjek menikah untuk membina keluarga bahagia, rukun, harmonis karena memang mereka saling mencintai satu sama lain.
Kata kunci : Pola Asuh Anak, Pernikahan Beda Agama
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya manusia sebagai
makhluk sosial tidak akan pernah lepas dari
hubungannya dengan orang lain. Hubungan
tersebut ada yang bersifat formal, yang
hanya sekedar basa-basi sehingga tidak
mendalam dan ada pula hubungan yang
mendalam, seperti mencurahkan isi hati,
berkeluh kesah, dan meminta tolong dalam
kesulitan. Hal ini juga akan dialami oleh
mereka (pria dan wanita) yang telah
meningkat dewasa. Di mana dituntut untuk
dapat berhubungan secara mendalam sampai
dapat memiliki arti tersendiri di dalam
hidupnya. Hubungan demikian akan terus
meningkat sampai jenjang pernikahan.
Umumnya pernikahan dianggap sebagai
salah satu tugas perkembangan bagi orang
yang telah meningkat dewasa. Diharapkan
setiap orang dapat menjalani tugas
perkembangannya dengan baik.
Ada berbagai macam alasan
mengapa pernikahan beda agama semakin
meningkat jumlahnya di Indonesia.
Pernikahan campur adalah hasil dari adanya
heterogenitas dalam satu populasi penduduk
(Bossard & Boll, 1957). Disamping
pernikahan campur, ada pula hal-hal yang
mendorong pernikahan antar agama adalah
meningkatnya toleransi dan penerimaan
antar pemeluk agama yang berbeda, dan
meningkatnya mobilitas penduduk yang
memungkinkan mereka untuk berinteraksi
dengan orang yang berlatarbelakang
berbeda. Penyebaran penduduk yang
semakin meluas, menyebabkan interaksi
dengan kelompok yang berlatarbelakang
berbeda, dan memperbesar kemungkinan
untuk menikah dengan orang dari kelompok
yang berbeda (Duvall & Miller, 1985).
Masalah-masalah dalam pernikahan
kerap kali terjadi, dan banyak konflik atau
masalah yang ada mengakibatkan rusaknya
komunikasi, kehilangan tujuan bersama
dalam pernikahan sampai kepada masalah
seksual. Hal ini tentunya mengarah pada
penurunan kualitas hubungan dalam
pernikahan itu sendiri. Masalah-masalah
lain yang mungkin timbul adalah masalah
keuangan, anak-anak, sampai kepada
masalah dengan keluarga pasangan
(Atwater, 1985).
Masalah-masalah yang disebutkan
di atas adalah masalah yang umumnnya
timbul dalam suatu pernikahan, tetapi
pernikahan beda agama memiliki masalah
dan konflik yang lebih khusus sehubungan
dengan adanya perbedaan agama dalam
pernikahan mereka. Menurut Lubis (dalam
Koran Tempo, 2001), pasangan beda agama
memiliki kemungkinan besar untuk
tersandung masalah dengan pasangannya.
Karena itu pasangan beda agama
membutuhkan kesiapan psikologis yang
lebih besar. Memang, tak berarti pasangan
berbeda agama akan cenderung gagal atau
berhasil. Semuanya tergantung kesiapan
psikologis masing-masing. Soalnya bisa saja
saat pacaran semuanya tampak baik-baik
saja, tetapi ketika pernikahan berlangsung
beberapa tahun, masalah akibat berbagai
perbedaan muncul (Lubis dalam Koran
Tempo, 2001).
Dalam penelitian ini, maka peneliti
juga berfokus pada masalah internal yang
dialami individu karena ingin menggali
penghayatan individu atas masalah yang
dialaminya. Untuk itu, penelitian dilakukan
pada individu yang menikah beda agama,
bukan pada pasangan beda agama.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang
telah diuraikan di atas, maka pertanyaan
penelitian yang ingin ditanyakan adalah:
1. Mengapa subjek melakukan pernikahan
beda agama ?
2. Masalah
masalah apa yang muncul
dalam keluarga subjek berkaitan dengan
pernikahan beda agama ?
3. Bagaimana gambaran pola asuh anak
pada pernikahan beda agama?
4. Mengapa keluarga subjek menerapkan
pola asuh yang seperti itu?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk
mendapatkan pemahaman tentang gambaran
pernikahan beda agama, masalah - masalah
yang muncul yang berkaitan dengan
pernikahan beda agama, dan pola asuh anak
pada pernikahan beda agama serta faktor-
faktor apa saja yang mempengaruhi pola
asuh pada pernikahan beda agama.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan
mempunyai dua manfaat, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan ilmiah secara
teoritis (pengetahuan) bagi
perkembangan disiplin ilmu psikologi
khususnya Psikologi Pernikahan,
Psikologi Keluarga, Psikologi
Konseling, dan Psikologi
Perkembangan serta dapat
membangkitkan minat para peneliti lain
untuk melakukan penelitian lebih
lanjut, khususnya tentang permasalahan
seputar pernikahan beda agama.
2. Manfaat Praktis
Di lain pihak, memberi sumbangan
pengetahuan kepada para konselor
pernikahan yang menghadapi
permasalahan serupa dengan penelitian
ini dan bagi para pasangan yang
berbeda agama, baik yang sudah
menikah maupun akan menikah,
diharapkan dapat dijadikan rujukan atau
referensi dan bahan masukan yang
berguna dalam membina keluarga di
dalam rumah tangganya.
TINJAUAN PUSTAKA
Teori-teori yang akan digunakan sebagai
landasan dalam penelitian ini adalah teori
mengenai pola asuh, dimensi pola asuh,
jenis-jenis pola asuh, faktor-faktor pola
asuh, pernikahan, serta pernikahan beda
agama, termasuk di sini akan dijelaskan
gambaran pola asuh anak pada pernikahan
beda agama.
A. Pola Asuh
1. Definisi Pola Asuh
Pola asuh orangtua merupakan pola
interaksi antara anak dengan orang tua yang
meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan
fisik (makan, minum, pakaian, dan lain
sebagainya) dan kebutuhan psikologis
(afeksi atau perasaan) tetapi juga norma-
norma yang berlaku di masyarakat agar anak
dapat hidup selaras dengan lingkungan
(Gunarsa, 2002).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa pola asuh adalah suatu
proses interaksi total orangtua dan anak,
yang meliputi kegiatan seperti memelihara,
memberi makan, melindungi, dan
mengarahkan tingkah laku anak selama
masa perkembangan anak serta bagaimana
cara orangtua mengkomunikasikan afeksi
(perasaan) dan norma-norma yang berlaku
di masyarakat agar anak dapat hidup selaras
dengan lingkungan.
2. Dimensi Pola Asuh
Menurut Adiana (1988), ada empat
dimensi dalam pengasuhan anak, yaitu:
dimensi kontrol, tuntutan, kejelasan
komunikasi antara orangtua dan anak, dan
pemeliharaan terhadap anak.
3. Jenis-Jenis Pola Asuh
Pola asuh yang diterapkan oleh orangtua
pada anak terdiri dari tiga jenis, yaitu pola
asuh otoriter (authoritarian pattern), pola
asuh otoritatif (authoritative pattern), dan
pola asuh permisif (permissive pattern).
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Pola Asuh
Menurut Triwardani (2001), terdapat
faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh,
yaitu: sosial ekonomi, pendidikan,
kepribadian, nilai-nilai yang dianut
orangtua, dan jumlah anak.
B. Pernikahan
1. Definisi Pernikahan
Pernikahan adalah puncak dari
hubungan intim antar jenis di mana kedua
belah pihak saling membagi pengalaman
dan perasaan serta pikiran, sehingga
akhirnya pasangan-pasangan yang sudah
menikah cukup lama mempunyai kemiripan
dalam sikap, nilai-nilai, minat, dan sifat-sifat
(Pearson & Lee dalam Sarwono, 1996).
2. Motivasi Pernikahan
Turner & Helms (1995)
mengemukakan beberapa alasan-
alasan yang melatarbelakangi suatu
pasangan untuk melangkah ke jenjang
pernikahan. Alasan-alasan tersebut
antara lain: cinta dan komitmen,
kebersamaan, konformitas, legitimasi
hubungan intim, legitimasi anak, dan
perasaan siap.
3. Definisi Pernikahan Beda Agama
Pernikahan antara dua individu yang
memeluk agama berbeda disebut interfaith
marriage, mixed marriage, mixed faith
marriage, atau interreligious marriage
(Robinson, 2005). Dalam bahasa Indonesia,
peneliti akan menggunakan istilah
pernikahan beda agama.
Menurut Mandra & Artadi (dalam Eoh,
1996), pernikahan beda agama adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita, yang masing-masing berbeda
agamanya dan mempertahankan
perbedaannya itu sebagai suami istri dengan
tujuan untuk membentuk rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan
Yang Maha Esa.
4. Masalah-Masalah yang Muncul pada Pernikahan Beda Agama
Menurut beberapa ahli, masalah-
masalah yang muncul akibat dari
perbedaan agama dengan pasangan
dalam pernikahan beda agama antara
lain, yaitu (dalam Paramitha, 2002):
Latar belakang agama, hubungan dengan
keluarga, pelaksanaan ibadah,
seksualitas, kehidupan sehari-hari,
menghadapi masalah sulit, anak.
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif yang berbentuk studi
kasus. Menurut Punch (dalam Poerwandari,
1998), studi kasus adalah fenomena khusus
yang hadir dalam suatu konteks yang
terbatas, meski batas-batas antara fenomena
dan konteks tidak sepenuhnya jelas.
B. Subyek Penelitian
Dalam penelitian ini ditentukan
sejumlah karakteristik bagi subyek dalam
penelitian, antara lain:
1. Identitas Subyek
Pasangan suami istri yang beda
agama, memiliki anak yang berusia
minimal 6 tahun dan lama pernikahan
minimal 2 tahun.
2. Jumlah Subyek
Menurut Patton (dalam
Poerwandari, 1998) tidak ada aturan
pasti dalam sampel yang harus diambil
dalam penelitian kualitatif. Jumlah
sampel sangat tergantung pada apa yang
akan diketahui peneliti, tujuan
penelitian, konteks
saat itu, apa yang dianggap bermanfaat,
dan dapat dilakukan dengan waktu dan
sumber daya yang tersedia. Poerwandari
(1998) juga mengatakan bahwa dengan
fokus penelitian kualitatif pada
kedalaman dan proses, maka penelitian
kualitatif cenderung dilakukan dengan
jumlah kasus sedikit.
Dalam penelitian ini dan
berdasarkan pendapat di atas, maka
jumlah subyek berjumlah dua orang
yang merupakan pasangan suami istri.
C. Tahap-Tahap dalam Penelitian
Adapun tahap persiapan dan
pelaksanaan yang dilakukan dalam
penelitian ini meliputi beberapa tahap, yaitu:
Tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap
penyelesaian.
D. Teknik Pengumpulan Data Penelitian
Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif
yang terbuka dan luwes, metode dan tipe
pengumpulan data dalam penelitian
kualitatif sangat beragam, disesuaikan
dengan masalah, tujuan penelitian, dan sifat
objek yang diteliti. Teknik dan tipe
pengumpulan data tersebut antara lain
wawancara, observasi, diskusi kelompok
terfokus, analisis terhadap karya, analisis
dokumen, analisis catatan pribadi, studi
kasus, dan studi riwayat hidup
(Poerwandari, 1998).
Dalam penelitian ini, maka digunakan
metode pengumpulan data, yaitu wawancara
dan observasi. Berikut adalah penjabaran
lengkap mengenai dua metode yang
digunakan dalam penelitian, yaitu:
wawancara dan observasi.
E. Alat Bantu Pengumpulan Data
Penelitian
Menurut Poerwandari (1998),
peneliti sangat berperan dalam seluruh
proses penelitian, mulai dari memilih topik,
mendekati topik, mengumpulkan data,
hingga menganalisis, mengintepretasikan,
dan menyimpulkan hasil penelitian.
Dalam pengambilan dan
mengumpulkan data, maka peneliti
membutuhkan alat bantu penelitian. Dalam
penelitian ini, maka peneliti menggunakan
tiga alat bantu, yaitu:
Pedoman wawancara, pedoman observasi,
alat perekam.
F. Keabsahan (Credibility) dan Keajegan
(Dependability)Penelitian
Keabsahan data merupakan konsep
penting yang dibaharui dari konsep
kesahihan (validitas) dan keandalan
(reliabilitas). Yin (2003) mengajukan empat
kriteria keabsahan dalam suatu penelitian,
empat hal tersebut adalah: keabsahan
konstruk (construk validity), keabsahan
internal (internal validity), keabsahan
eksternal (external validity), dan keajegan
(dependability).
G. Teknik Analisis Data Penelitian
Adapun proses analisis data yang
dilakukan dalam penelitian ini akan
dianalisa dengan teknik analisa data
kualitatif yang diajukan oleh Marshall dan
Rossman (1995). Dalam menganalisa
penelitian kualitatif terhadap beberapa
tahapan yang perlu dilakukan. Tahap-tahap
tersebut adalah: Mengorganisasikan data,
pengelompokan berdasarkan kategori, tema,
dan pola jawaban. Menguji asumsi atau
permasalahan yang ada terhadap data,
Mencari alternatif penjelasan bagi data,
Menulis Hasil Penelitian.
HASIL DAN ANALISIS 1.Mengapa Subjek Melakukan Pernikahan Beda Agama ?
Dilihat dari motivasi pernikahan
beda agama yang dilakukan subjek dapat
dilihat dari beberapa hal, diantaranya
cinta dan komitmen dimana subjek yang
menjadi dasar pernikahannya yang beda
agama adalah cinta. Karena menurut
subjek pernikahan tanpa cinta tidak bisa
berjalan dengan mulus dan jika
berdasarkan dengan cinta semua masalah
bisa diatasi.Dilihat dari kebersamaan
dimana, pernikahan adalah hubungan
yang sudah direncanakan dan bertujuan
untuk hidup bersama dengan pilihan
sendiri. Dilihat dari konformitas, dimana
subjek tidak ada dorongan / tekanan dari
pihak luar ketika untuk memilih menikah
beda agama. Dilihat berdasarkan
legitimasi hubungan intim, dimana
subjek bertujuan untuk mendapatkan
pengesahan sosial, komitmen dan rasa
aman terhadap hubungan seksual ketika
menikah dengan istrinya yang beda
agama. Dilihat berdasarkan legitimasi
anak, dimana subjek dengan adanya
pernikahan memberikan status yang jelas
terhadap anak. Dilihat dari perasaan siap
bagi subjek merasa telah siap untuk
menikah beda agama walaupun belum
mendapatkan pendidikan dan karir dalam
hidupnya. Dilihat dari kedekatan subjek
merasakan kedekatan kasih sayang
setelah menikah. Dan terakhir dilihat dari
kebahagiaan, menurut subjek pernikahan
adalah bertujuan untuk mencapai
kebahagiaan.
Turner & Helms (1995)
mengemukakan hal senada dengan
beberapa alasan-alasan yang
melatarbelakangi suatu pasangan untuk
melangkah ke jenjang pernikahan.
Alasan-alasan tersebut antara lain, cinta
dan komitmen, kebersamaan,
konformitas, legitimasi hubungan intim,
legitimasi anak, dan perasaan siap.
Selain itu juga, Stinnet dkk (dalam
Wardhani, 2003) mengemukakan dua hal
yang berbeda, yaitu kelekatan dan
kebahagiaan.
Faktor-faktor yang mendorong
subjek untuk melakukan pernikahan beda
agama dapat dilihat dari beberapa hal
diantaranya: kecocokan pada hal lain,
dimana mempunyai kecocokan pada sifat
yang akhirnya timbul menjadi cinta dan
dilihat dari pemberontakan walaupun
hubungan subjek dengan keluarganya
tidak harmonis yang dikarenakan subjek
berpindah agama dari Kristen Katolik
menjadi islam. Pencapaian tujuan
pribadi, motivasi subjek untuk menikah
beda agama adalah cinta dan setelah
menikah menurut subjek keadaan status
sosialnya biasa-biasa aja. Dilihat dari
keterpaksaan untuk menikah, subjek
tidak terpaksa untuk menikah beda
agama karena hamil diluar nikah atau
merasa hanya kali ini kesempatan untuk
menikah. Berdasarkan persamaan pada
hal mendasar, menurut subjek hal yang
paling mendasar dalam pernikahannya
adalah cinta, menurut subjek, ia dan
istrinya sama-sama jatuh cinta, saling
memiliki, saling memenuhi kebutuhan
dan sama-sama menginginkan
perkawinan. Jika dilihat dari keengganan
dan ketidaksabaran untuk mencari subjek
merasa tidak kurang bersabar dalam
mencari dan menunggu pasangan lain
yang mungkin satu agama, walaupun
subjek juga pernah berpikiran seperti itu
bagi subjek ia sudah cinta mati dan
merasa istrinya adalah jodohnya. Dan
berdasar karakteristik yang berbeda ia
dan istrinya memiliki karakter yang agak
bertolak belakang , dimana subjek
merasa keras kepala sedangkan istrinya
orang yang pengertian dan penyabar oleh
karenanya mereka merasa cocok.
Faktor-faktor tersebut sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Duval
(1964) hal-hal yang mendorong
seseorang melakukan pernikahan beda
agama antara lain, yaitu kecocokan pada
hal-hal lain, pemberontakan, pencapaian
tujuan pribadi, dan menikah terpaksa.
Lain halnya menurut Blood (1978)
ada beberapa faktor untuk menikah
dengan pasangan yang berbeda agama
adalah menikah karena terpaksa,
pemberontakan, pencapaian tujuan
pribadi, dan persamaan pada hal-hal
mendasar.
Selain itu, menurut Duvall &
Miller (1985) terdapat dua faktor yang
mendorong seseorang melakukan
pernikahan beda agama antara lain,
keengganan dan ketidaksabaran untuk
mencari, dan karakteristik yang berbeda.
2. Masalah- Masalah apa yang muncul
dalam keluarga subjek berkaitan
dengan pernikahan beda agama ?
Masalah-masalah yang muncul
dalam keluarga subjek berkaitan dengan
pernikahan beda agama dapat dilihat dari
beberapa hal diantaranya latar belakang
agama, dimana subjek setuju mengenai
bahwa agama dapat membentuk cara
pandang dan nilai seseorang, hal ini
sesuai dengan yang dirasakan oleh subjek
dimana saat ini terkadang cara
pandangnya masih seperti pada saat dia
masih beragama Katholik, perbedaan
tersebut dapat menyebabkan perbedaan
pandangan menyangkut berbagai isu
dalam kehidupan pernikahan (Yoeb,
1998). Hubungan subjek dengan
keluarga, dimana subjek mengaku telah
melakukan pelanggaran terhadap tradisi
keluarga dan telah memperlakukan
mereka.Namun karena istri subjek juga
berasal dari keturunan Cina dan
Katholik, keluarga subjek agak mulai
menerima. Menurut (Bosard, 1957)
rusaknya hubungan dengan keluarga
mewarnai kehidupan banyak pasangan
pernikahan beda agama dan sedikit
banyak mempengaruhi kehidupan suami
istri tersebut.
Dilihat dari pelaksanaan ibadah,
subjek menyadari dalam kehidupan
sehari-hari mereka membutuhkan
toleransi yang sangat besar. Dimana
menjalani ibadah berdasarkan
kepercayaan masing-masing. Hal ini
dapat dilihat dimana terkadang istri
subjek sering mengingatkan subjek untuk
sholat. Menurut (Bossard, 1957) tak
jarang perbedaan ini menimbulkan
permasalahan diantara pasangan. Jika
dilihat dari seksualitas, subjek dan istri
memiliki pandangan yang sama
mengenai seksualitas dan tujuan
hubungan seksualitas bagi subjek adalah
untuk mempunyai keturunan. Menurut
(Rosenbaum & Rosenbaum, 1999)
masalah dapat muncul apabila pasangan
akibat perbedaan agama mempunyai
pandangan yang berbeda akan tujuan
hubungan seksual. Dari kehidupan
sehari-hari, dimana subjek dan istrinya
tidak mempergunakan kata-kata yang
kasar dalam pemilihan kata dan humor.
Subjek memberitahukan kepada istrinya
mengenai makanan-makanan yang tidak
boleh dimakannya sesuai dengan
pernyataan dari (Rosenbaum &
Rosenbaum, 1999). Hal seperti ini
membutuhkan toleransi diantara
pasangan sehingga diantara mereka
terdapat aling pengertian. Dan ketika
menghadapi masa sulit, terkadang subjek
ada keinginan untuk mengajak istrinya
sholat ketika doa bersama dalam
menghadapi masa sulit. Dan dilihat dari
anak, subjek melakukan upacara ritual
kehadiran anak sesuai dengan ajaran
islam walaupun tidak semeriah orang
lain. Hal ini disebabkan tidak adanya
keluarga yang beragama islam. Subjek
memberikan pendidikan islam kepada
anaknya walaupun ia bersekolah di
sekolah umum. Hal ini bisa dilihat
dimana subjek sudah mengajarkan
anaknya untuk sholat.
Hal tersebut serupa dengan yang
dikemukakan oleh (Landis, 1970)
pernikahan beda agama selain membawa
masalah bagi pasangan juga dapat
mendatangkan masalah bagi anak itu
sendiri dari pernikahan beda agama
tersebut.
3. Bagaimana gambaran pola asuh anak
pada pernikahan beda agama ?
Gambaran pola asuh anak pada
pernikahan beda agama dapat dilihat dari
dimensi-dimensi pola asuh dan jenis-
jenis pola asuh. Dimensi pola asuh
memiliki dimensi-dimensi, diantaranya
dimensi kontrol dimana Dalam hal ini
subjek tidak berusaha untuk
mempengaruhi aktivitas anak karena bagi
subyek selama aktivitas itu tidak
berbahaya maka ia akan
membebaskannya. Dan subyek juga
memanjakan anaknya. Dimensi tuntutan
dalam hal ini subyek tidak menuntut
untuk bersikap lebih dewasa dalam hal
bertingkah laku.Dimensi kejelasan
komunikasi antara orang tua dan anak
dalam hal ini subyek tidak membuat
peraturan semuanya berjalan dengan
biasa saja. Dimensi pemeliharaan
terhadap anak dalam hal pemeliharaan
terhadap anak tidak menggunakan baby
sitter karena semua diurus oleh keluarga.
Gambaran pola asuh anak tersebut
sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Adiana (1998), ada empat dimensi dalam
pengasuhan anak, yaitu dimensi kontrol,
tuntutan, kejelasan komunikasi antara
orangtua dan anak dan pemeliharaan
terhadap anak.
4. Mengapa keluarga subyek menerapkan
pola asuh yang seperti itu ?
Faktor-fakto ryang mempengaruhi
pola asuh yang dilakukan subjek
terhadap anaknya dalam pernikahan beda
agama diantaranya, faktor sosial ekonomi
dimana subyek dan istri berasal dari
kelas ekonomi menengah yang pada
umumnya cenderung memiliki sifat yang
lebih hangat, kontrol terhadap
perkembangan anak serta lebih peka
terhadap anak, orangtua dari golongan ini
lebih bersikap terbuka pada hal-hal baru
(Adiana, 1988). Faktor pendidikan
dimana subyek yang memiliki
pendidikan yang tinggi dalam mengasuh
anak lebih luas wawasan yang dimiliki
terhadap perkembangan anak. Faktor
kepribadian dimana subyek memiliki
sifat yang ekstrovert atau terbuka
sehingga berpengaruh terhadap pola asuh
yang lebih permisif atau fleksibel. Hal
tersebut sesuai dengan teori dari Hurlock
(1990) yang menyebutkan bahwa
kepribadian orangtua dapat
mempengaruhi penggunaan pola asuh.
Faktor-faktor nilai yang dianut orangtua
dimana subyek sebagai orang timur
memiliki nilai-nilai yang beranggapan
bahwa anak harus patuh terhadap
orangtua menurut teori yang serupa
diungkapkan bahwa di negara timur
orangtua masih lebih cenderung
menghargai kepatuhan anak (Triwardani,
2001). Jumlah anak dimana saat ini
subyek baru memiliki seorang anak
sehingga cenderung menerapkan pola
asuh yang demokratis.Orangtua yang
memiliki anak hanya dua sampai tiga
cenderung mempergunakan pola asuh
demokratis, dengan digunakannya pola
pengasuhan ini orangtua menganggap
dapat tercipta ketertiban didalam rumah
sesuai dengan yang dikemukakan oleh
(Triwardani, 2001).
PENUTUP A Simpulan
Dari uraian diatas penulis ingin
mencoba meneliti pola asuh anak pada
pernikahan bada agama, berdasarkan hasil
analisis yang diperoleh dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut
1. Dilihat dari motivasi pernikahan beda
agama yang dilakukan subjek dapat
dilihat dari beberapa hal, diantaranya
cinta dan komitmen dimana subjek
yang menjadi dasar pernikahannya
yang beda agama adalah cinta. Karena
menurut subjek pernikahan tanpa cinta
tidak bisa berjalan dengan mulus dan
jika berdasarkan dengan cinta semua
masalah bisa diatasi.Dilihat dari
kebersamaan dimana, pernikahan
adalah hubungan yang sudah
direncanakan dan bertujuan untuk
hidup bersama dengan pilihan sendiri.
Dilihat dari konformitas, dimana
subjek tidak ada dorongan / tekanan
dari pihak luar ketika untuk memilih
menikah beda agama. Dilihat
berdasarkan legitimasi hubungan
intim, dimana subjek bertujuan untuk
mendapatkan pengesahan sosial,
komitmen dan rasa aman terhadap
hubungan seksual ketika menikah
dengan istrinya yang beda agama.
Dilihat berdasarkan legitimasi anak,
dimana subjek dengan adanya
pernikahan memberikan status yang
jelas terhadap anak. Dilihat dari
perasaan siap bagi subjek merasa telah
siap untuk menikah beda agama
walaupun belum mendapatkan
pendidikan dan karir dalam hidupnya.
Dilihat dari kedekatan subjek
merasakan kedekatan kasih sayang
setelah menikah. Dan terakhir dilihat
dari kebahagiaan, menurut subjek
pernikahan adalah bertujuan untuk
mencapai kebahagiaan.
2. Masalah-masalah yang muncul dalam
keluarga yang menikah beda agama
subjek berkaitan dengan pernikahan
beda agama dapat dilihat dari
beberapa hal diantaranya latar
belakang agama, dimana subjek setuju
mengenai bahwa agama dapat
membentuk cara pandang dan nilai
seseorang, hal ini sesuai dengan yang
dirasakan oleh subjek dimana saat ini
terkadang cara pandangnya masih
seperti pada saat dia masih beragama
Katholik. Hubungan subjek dengan
keluarga, dimana
Subjek mengaku telah melakukan
pelanggaran terhadap tradisi keluarga
dan telah memperlakukan mereka.
Namun karena istri subjek berasal dari
kturunan Cina dan Katholik, keluarga
subjek agak mulai menerima. Dilihat
dari pelaksanaan ibadah, subjek
menyadari dalam kehidupan sehari-
hari mereka membutuhkan toleransi
yang sangat besar. Dimana
menjalankan ibadah berdasarkan
kepercayaan masing-masing. Hal ini
dapat dilihat dimana terkadang istri
subjek sering mengingatkan subjek
untuk sholat. Jika dilihat dari
seksualitas, subjek dan istri memiliki
pandangan yang sama tentang
seksualitas dan tujuan hubungan
seksualitas bagi subjek adalah untuk
memiliki keturunan. Dari kehidupan
sehari-hari dimana subjek dan istrinya
tidak mempergunakan kata-kata yang
kasar dalam pemilihan kata dan
humor. Subjek memberitahukan
kepada istrinya mengenai makanan-
makanan yang tidak boleh
dimakannya. Dan ketika menghadapi
masa sulit, terkadang subjek ada
keinginan untuk mengajak istrinya
sholat ketika doa bersama dalam
menghadapi masa sulit. Dan dilihat
dari anak, subjek melakukan upacara
ritual kehadiran anak sesuai dengan
ajaran Islam walaupun tidak semeriah
orang lain. Hal ini disebabkan tidak
adanya keluarga yang beragama
Islam. Subjek memberikan pendidikan
Islam kepada anaknya walaupun ia
bersekolah di sekolah umum. Hal ini
bisa dilihat dimana subjek sudah
mengajarkan anaknya untuk sholat.
3. Gambaran pola asuh anak pada
pernikahan beda agama subjek dapat
dilihat dari dimensi-dimensi pola asuh
dan jenis-jenis pola asuh. Dimensi
pola asuh memiliki dimensi-dimensi,
diantaranya dimensi kontrol dimana
dalam hal ini subjek tidak berusaha
untuk mempengaruhi aktifitas anak
karena bagi subjek selama aktifitas itu
tidak berbahaya maka ia akan
membebaskannya. Dan subjek juga
memanjakan anaknya. Dimensi
tuntutan dalam hal ini subjek tidak
menuntut untuk bersikap lebih dewasa
dalam hal bertingkah laku. Dimensi
kejelasan komunikasi antara orangtua
dan anak dalam hal ini subjek tidak
membuat peraturan semuanya berjalan
dengan biasa saja. Dimensi
pemeliharaan terhadap anak dalam hal
pemeliharaan terhadap anak tidak
menggunakan baby sitter karena
semua diurus oleh keluarga.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pola asuh yang dilakukan subjek
terhadap anaknya dalam pernikahan
beda agama diantaranya, faktor sosial
ekonomi dimana subjek dan istri
berasal dari kelas ekonomi menengah
yang pada umumnya cenderung
memiliki sifat yang hangat, kontrol
terhadap perkembangan anak serta
lebih peka terhadap anak. Faktor
pendidikan dimana subjek yang
memiliki pendidikan yang tinggi
dalam mengasuh anak lebih luas
wawasan yang dimiliki terhadap
perkembangan anak. Faktor
kepribadian dimana subjek memiliki
sifat yang ekstrovert atau terbuka
sehingga berpengaruh terhadap pola
asuh yang lebih permisif atau
fleksibel. Faktor-faktor nilai yang
dianut orangtua dimana subjek
sebagai orang timur memiliki nilai-
nilai yang beranggapan bahwa anak
harus patuh terhadap orangtua. Jumlah
anak dimana saat ini subjek baru
memiliki seorang anak sehingga
cenderung menerapkan pola asuh
yang demokratis.
B. Saran
Terdapat beberapa saran yang
diajukan penulis berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan terhadap pasangan yang
menikah berbeda agama yaitu :
1. Bagi Subjek
Sebaiknya sebelum menikah pasangan
membuat suatu komitmen-komitmen
yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Agar tidak menimbulkan suatu
hambatan ditengah-tengah jalannya
kehidupan pernikahan
mereka.Pasangan juga sebaiknya tidak
membuat suatu perbedaan diantara
mereka menjadi suatu permasalahan
yang dapat terus memicu suatu
pertengkaran.
2. Bagi Masyarakat
Sebaiknya dapat memberikan
masukkan yang positif kepada
keluarga subjek agar mereka bisa
melaksanakan kehidupan didalam
rumahtangga dengan lebih baik.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan peneliti dapat mengambil
subjek lebih dari satu orang salah
satunya adalah pola asuh anak pada
pernikahan seagama. Ini bisa
bermanfaat untuk membandingkan
pola asuh anak pada pernikahan beda
agama dan pola asuh anak pada
pernikahan seagama.
DAFTAR PUSTAKA
Adiana. (1988). Perkembangan anak. Jakarta : Erlangga
Asmin. (2001). Pernikahan. Jakarta : Koran Tempo
Atwater, E.(1985). Psychology of adjustment. New Jersey. NY: Engle Wood Glifts.
Blood, R & Blood, M. (1978). Marriage, (3rd ed). The Free Press
Bossard, J. & Boll, E.(1957). One marriage two faith. New York : the Ronald Press.
Brehm,S. (1992). Intimate relationship. 2nd
editon. New York : Mc Graw- Hill Co.
Christina, A.(2001). Strategi coping pada wanita etnis tionghoa yang menikah dengan pribumi. Skripsi. Depok Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Cowan, P & Bronstein. (1988). Mixed blessing : Overcoming the stumbling blocks in an interfaith marriage : New York, NY : Penguin Books Inc.
Duvall, E & Miller, B. (1985). Marriage and family development. New York,Ny : Harper And Crow Publisher.
Duval, S. (1964). Before you marry. London : W Foulsham & Co.Ltd.
Dwidevi. (2000). Pola asuh anak otoriter. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
Eoh, O. (1996). Perkawinan antar agama.
Dalam teori dan praktek. Jakarta : Srigunting.
Gunarsa, S.D & Gunarsa, Y. S.(1991). Psikologi praktis : Anak remaja & keluarga. Jakarta : PT.Gunung Mulia.
Gunarsa. (2002). Psikologi perkembangan anak & remaja. Jakarta : PT. Gunung Mulia
Hurlock, E.B.(1990). Psikologi perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta : Gelora Aksara Pratama Erlangga.
Hurlock. (1996). Perkembangan anak. Jilid 1. Jakarta : Erlangga
Ihromi, T.O.(1999). Sosiologi keluarga. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Koentjaraningrat. (2002). Kemajemukan agama di indonesia. Jakarta : PT. Gramedia.
Landis,P. (1970). Your marriage and family living. New York : Mc Graw Hill.
Laswell,M & Laswell,T. (1987). Marriage and the family. Los Angeles : Woodworth Publishing Co.
Levinson, D.(1995). Encylopedia of marriage and the family (vol 1-2). New York: Simon, Schuster & Prentice Hall. Intl.
Lubis. (2001). Masalah pernikahan beda agama. Jakarta : Koran Tempo.
Marshall,C.& Rossman,G..(1995). Designing qualitative research. California : Publication, Inc.
Miranti, V. (2004). Gambaran pernikahan beda agama (Studi kualitatif untuk
memahami konflik, burnout & coping pada istri). Tugas Akhir Pasca Sarjana. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Moleong, L.J.(1998). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.
Narbuko & Achmadi. (2003). Metode penelitian. Jakarta : Universitas Indonesia.
Paramita, D.A.(2002). Gambaran masalah dan penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah beda agama. Skripsi. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Papalia, D. E & Olds, S.W.(2001).Human development. 3rd Ed. New York.
Poerwandari,E .K.(1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian Psikologi. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi UI.
Prasetya. (2003). Pola asuh otoriter pada anak. Depok : Fakultas psikologi Universitas Gunadarma.
Robinson . (2005). Pernikahan beda agama. Www.Religious Tolerance.Com
Rosenbaum,M. & Rosenbaum,S. (1999). Cellebrating our differences. Living two faith in one marriage. Philadelphia, PA : Beidel Printing House Inc.
Rozakis, L. (2001). Interfaith relationship. Indiana Polis : Macmilan USA Inc.
Rusli & Tama. (1986). Perkawinan antar agama dan masalahnya. Bandung : Pionir Jaya.
Santrock, W.J.(1999). Life span
development. International Edition Eight Edition Child Development. North America.
Sarwono,S.W.(1996). Psikologi sosial : Individu dan teori-teori psikologi sosial. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Sukardi,I. S.(1983). Pengantar metode penelitian sosial. Jakarta : Universitas Indonesia.
Triwardani, D. (2001). Hubungan antara persepsi siswa terhadap pola asuh orangtua dengan goal orientation siswa. Skripsi. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Turner, J. & Helms, D. (1995). Life span development. Fortworth : Hartcourt Brace College Publish.
Wardhani,A. R.(2003). Gambaran burnout pada wanita bekerja yang menikah dan memiliki anak (Menggunakan Pine s Couple Burnout Questionaire & Measurement). Tugas akhir Pasca Sarjana. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Yin, R. (2003). Case study research design and method. London : Sage Publication.
Yoeb, J. (1998). Keys to interfaith parenting. New York : Barons Educational Series, Inc.
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.