PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

89
PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK Skripsi diajukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Theologi Islam pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat oleh Abdi Pujiasih NIM 101032121603 JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M

Transcript of PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Page 1: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

PERNIKAHAN BEDA AGAMA

MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Skripsi

diajukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan

untuk mencapai gelar Sarjana Theologi Islam

pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

oleh

Abdi Pujiasih

NIM 101032121603

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H / 2008 M

Page 2: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

PERNIKAHAN BEDA AGAMA

MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Skripsi

diajukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan

untuk mencapai gelar Sarjana Theologi Islam

pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

oleh

Abdi Pujiasih

NIM 101032121603

Di bawah bimbingan

Prof. Dr. Zainun Kamal MA NIP 150228520

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H / 2009 M

Page 3: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Pengesahan Panitia Ujian

Skripsi yang berjudul Pernikahan Beda Agama Menurut Islam dan Katolik telah

diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Februari 2008. Skripsi ini telah

diterima sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Program Srata 1 (S1) pada Jurusan Perbandingan Agama.

Jakarta, 18 Maret 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua merangkap Anggota Sekretaris merangkap Anggota

Drs. Agus Darmaji. M.Fils Maulana. M.A. NIP: 150262447 NIP: 150293221

Anggota,

Dra. Ida Rosyidah. M.A, Dr. Hamid Nasuhi. M.A.

NIP: 150242267 NIP: 150241817

Dr. Zainun Kamal. M.A. NIP: 150228520

Page 4: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta, berkat petunjuk-Nya penulis

dapat menyelesaikan karya ini. Tidak lupa pula shalawat serta salam selalu

tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW, sebagai suri tauladan semua manusia

di dunia. Selanjutnya, adalah suatu keharusan bagi setiap mahasiswa yang ingin

menyelesaikan perkuliahan dan mencapai gelar sarjana pada Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk menyusun

sebuah skripsi. Terkait hal tersebut, penulis telah menyelesaikan penulisan sebuah

skripsi dengan judul: ”PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM

DAN KATOLIK.”

Dalam hemat penulis, tema pernikahan beda agama ini perlu diangkat

mengingat ia telah menjadi permasalahan yang menghinggapi hampir seluruh

agama dan keyakinan yang ada dan berkembang di dunia. Persoalan ini tak jarang

menimbulkan konflik antara pemeluk agama bahkan meluas menjadi persoalan

antar-agama, meski tak jarang, dari sini, kemudian lahir sebuah hubungan yang

toleran, saling menghormati, dan harmonis antar-agama. Karena fakta yang terjadi

kini tidak lagi memungkinkan seseorang atau institusi, termasuk juga agama,

untuk abai terhadap kehadiran dan karenanya berinteraksi dengan yang lain, maka

pernikahan beda agama pun sudah selayaknya menjadi persoalan yang harus

secara bijak ditanggapi. Eksklusif dengan keberadaan agama dan umat lain dan

ahistoris terhadap perkembangan sejarah manusia dan hubungan yang harus

Page 5: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

dibangun di antara sesamanya, adalah sebentuk kekerdilan sikap dan kepicikan

dalam menjalani hidup, tidak hanya dalam beragama.

Dari pemikiran dasar itulah, skripsi ini dihadirkan dan memperoleh

momentumnya. Namun, penyelesaian skripsi hingga sampai pada bentuknya yang

sekarang sungguh bukan sesuatu yang mudah, melainkan banyak menemui

kesulitan dan hambatan yang kadang tidak begitu saja mudah diselesaikan.

Kendati demikian, berkat segenap dukungan dan motivasi dari berbagai pihak

skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu, ucapan terimakasih yang tulus penulis

ucapkan kepada: Bapak Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Dr. M. Amin

Nurdin, MA, Dra. Hj. Ida Rosyidah, MA dan Bapak Maulana, M.A, sebagai ketua

dan sekretaris Jurusan Perbandingan Agama yang begitu tulus dan ikhlas untuk

selalu membantu penulis dalam berbagai hal.

Terimakasih pula untuk Bapak Prof. Zainun Kamal, M.A selaku

pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan tidak

hanya dalam aspek substansi keilmuan, melainkan juga memfasilitasi waktu

dalam membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terimakasih juga ditujukan

kepada seluruh dosen pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya dosen

Jurusan Perbandingan Agama yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama

menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kepada yang terkasih dan tersayang suamiku Muhamad Arif Hadiwinata

yang selalu memberi sentuhan kasih sayang dalam perjalanan hidup dan semangat

yang membara dalam menyelesaikan tugas ini. Kepada Alvan Razky Hadiwinata,

the little container driver, aku persembahkan segenap cinta dan kasih sayang yang

tulus sebagai kesediaanmu mewarnai hidupku dengan penuh canda tawa.

Page 6: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Juga yang saya cintai kedua orang tua, H. Kasdullah dan Hj. Sukarsih, dan

kedua mertua, H. Hadiat Subawinata dan Hj. Dwi Sulasmimbar, karena kesabaran,

doa, kasih sayang dan motivasi yang begitu besar membuat saya mampu

menuntaskan tugas ini. Tak lupa anggota keluarga yang lain, Mami dan Hani,

adik-adikku, ka Abas, mbak Ratna, abang Maulvi dan Chika terima kasih atas

pinjaman rumah dan tamannya. Ka Syidqi dan mbak Lina terima kasih atas

pinjaman buku-bukunya. Terima kasih kepada Ayesha, Nayla, Azril dan Tante

Wini yang selalu setia menjadi teman anak kami. Secara khusus, penulis

menyampaikan banyak terima kasih kepada keluarga besar pa’de Legimin di

Legoso, Ciputat. Tanpa bantuan mereka, saya mungkin tidak bisa menyelesaikan

skripsi ini dalam tenggat waktu yang telah ditentukan.

Teruntuk teman-teman di pondok mawar, khususnya Indri, terimakasih

atas kosannya. Didi yang selalu siap sedia untuk bantuan skripsinya, dan untuk

teman-teman seperjuangan di Jurusan Perbandingan Agama angkatan 2001,

khususnya Olies dan Awad yang masih setia menemani penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengakhiri dengan mengutip karya seorang novelis terkenal Paulo

Coelho, ”jika engkau ingin mewujudkan legenda pribadimu, niscaya segenap

alam semesta akan membantumu” . Dalam hal ini penulis percaya bahwa karya

penulis yang ada saat ini merupakan satu lompatan besar dalam rangka

mewujudkan legenda pribadi penulis.

Jakarta, Januari 2008

ABDI PUJIASIH

Page 7: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

DDAAFFTTAARR IISSII

LLEEMMBBAARR PPEENNGGEESSAAHHAANN ii

KKAATTAA PPEENNGGAANNTTAARR iiiiii

DDAAFFTTAARR IISSII vvii

BBAABB II.. PPEENNDDAAHHUULLUUAANN 11

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 7

D. Metodologi Penelitian 8

E. Sistematika Penulisan 8

BBAABB IIII.. PPEERRNNIIKKAAHHAANN BBEEDDAA AAGGAAMMAA DDAALLAAMM IISSTTIILLAAHH 1100

A. Pengertian Pernikahan Beda Agama 10

B. Kebijakan Negara tentang Pernikahan Beda Agama 15

BBAABB IIIIII.. PPEERRNNIIKKAAHHAANN BBEEDDAA AAGGAAMMAA

MMEENNUURRUUTT PPAANNDDAANNGGAANN IISSLLAAMM DDAANN KKAATTOOLLIIKK 2244

A. Pernikahan Beda Agama dalam Pandangan Islam 24

1. Pernikahan Beda Agama Menurut al Quran 24

2. Pernikahan Beda Agama dan Perdebatan

tentang Ahl al-Kitab 29

B. Pernikahan Beda Agama dalam Pandangan Katolik 39

1. Pernikahan Beda Agama dalam Perjanjian Lama 40

2. Pernikahan Beda Agama dalam Perjanjian Baru 41

3. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Kanonik 43

BBAABB IIVV.. AANNAALLIISSIISS KKOOMMPPAARRAATTIIFF TTEERRHHAADDAAPP

FFEENNOOMMEENNAA PPEERRNNIIKKAAHHAANN BBEEDDAA AAGGAAMMAA 4477

A. Fakta Pluralitas di Indonesia 47

B. Perdebatan Kontemporer Pernikahan Beda Agama

Page 8: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

di Indonesia 54

C. Analisis Komparatif terhadap Fenomena Pernikahan

Beda Agama di Indonesia 65

BBAABB VV.. PPEENNUUTTUUPP 7733

A. Kesimpulan 73

1. Landasan Pernikahan Beda Agama dalam Islam dan Katolik 73

2. Keterkaitan Pemahaman Keagamaan terhadap Fenomena

Pernikahan Beda Agama dan Hubungan Antaragama

di Indonesia 75

B. Saran 77

DDAAFFTTAARR PPUUSSTTAAKKAA 78

Page 9: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang identitas penduduknya terdiri beragam

agama, etnis, dan budaya. Fakta tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara

yang dikenal dengan kekayaan budayanya di antara negara lain di dunia ini.

Namun demikian, Indonesia juga dikenal dengan negara yang berpenduduk

Muslim terbesar di dunia. Mayoritas penduduk Muslim ini kemudian menjadikan

Indonesia sebagai negara yang menarik untuk dikaji. Sejumlah penelitian

menyebutkan bahwa dengan banyaknya penduduk yang beragama Islam,

Indonesia dapat dianggap sebagai sebuah negara yang sanggup merepresentasikan

nilai-nilai keislaman dalam kehidupan masyarakatnya sehari-hari.

Asumsi tersebut memang sah, namun justru terbantahkan dengan realitas

sosial yang menunjukkan bahwa Indonesia sendiri merupakan kesatuan dari multi

kebudayaan.1 Dengan kata lain, identitas masyarakat indonesia tidak hanya

bersandar kepada homogenitas agama Islam melainkan juga mengacu kepada

heterogenitas budaya yang melingkupinya. Implikasi luas dari heterogenitas

kebudayaan adalah timbulnya beragam perbedaan dalam realitas sosial. Sebagai

contoh seringkali ditemukan perbedaan baik di tingkat sikap, persepsi, bahkan

tindakan (yang sangat mungkin berujung konflik) di antara sesama Muslim

1 Dalam prakata buku Tafsir Ulang Pernikahan Lintas Agama, Perspektif Perempuan dan

Pluralisme, (Jakarta, Kapal Perempuan, 2004) hlm ii. Yanti Muchtar mengatakan bahwa

masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang plural; dilihat dari sisi agama, suku, ras, dan

kelas, dan lain-lain. Ruang interaksi lintas golongan sangat terbuka lebar.

Page 10: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Indonesia tentang sebuah fenomena sosial keagamaan. Untuk mencontohkan

betapa perbedaan seperti itu kerap terjadi di Indonesia ambil contoh peristiwa

pengusiran jamaah Ahmadiyah, jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden, hingga

peristiwa pernikahan beda agama di kalangan umat Muslim.

Isu pernikahan beda agama juga merupakan isu yang sensitif jika kita

tempatkan kepada pemeluk agama selain Islam di Indonesia. Dalam konteks

agama Katolik di Indoenesia, pernikahan beda agama merupakan sebuah hal yang

sama sensitifnya dengan agama Islam. Setidaknya dua agama besar ini melihat

bahwa pernikahan beda agama justru merupakan hal yang tidak mungkin

dilakukan jika pasangan yang melakukan pernikahan tetap berpegang kepada

prinsip agamanya masing-masing dalam melangsungkan pernikahan. Namun

demikian, dalam agama Katolik pernikahan yang dilakukan tetaplah sah jika

pasangan yang berbeda agama tersebut menerima prinsip-prinsip, sifat dan tujuan

pernikahan menurut agama Katolik.

Peristiwa pernikahan beda agama menjadi salah satu masalah perbedaan

yang cukup kompleks dalam isu pernikahan. Dalam sejarah pernikahan beda

agama, pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang tunduk pada hukum yang

berbeda berdasarkan hukum agama, adat, maupun kewarganegaraan telah diatur

secara khusus sejak zaman kolonial, hingga pasca kemerdekaan.2 Namun sejak

diberlakukannya UU No. 1 tahun 1974, definisi pernikahan beda agama mengarah

kepada orang yang menikah dengan perbedaan kewarganegaraan.

Undang-undang no. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 tentang pernikahan

memuat asas penting bahwa, “pernikahan adalah sah apabila dilaksanakan

2 Maria Ulfa dan Martin Lukito Sinaga (ed.), Tafsir Ulang Pernikahan Lintas Agama,

Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), h. 92

Page 11: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Asas ini

berlaku untuk semua pernikahan yang dilaksanakan di Indonesia termasuk

pernikahan antar agama.3

Di sini jelas bahwa pernikahan yang dilaksanakan di luar hukum agama

maka akan dianggap oleh negara sebagai pernikahan yang tidak sah. Selama ini

pernikahan beda agama sudah banyak terjadi di Indonesia, tetapi dalam hal ini

pemerintah kurang tegas dalam menanggapi pernikahan beda agama karena

sampai detik ini pernikahan beda agama masih terus berlangsung. Dan dari sekian

banyak pelaku pernikahan beda agama pun masih belum jelas tercatat dalam arsip

pemerintah.

Sedangkan permasalahan pernikahan beda agama dalam hukum agama

Islam, senantiasa dimaknai dan dipahami secara berbeda oleh para penganutnya.

Hal itu merupakan konsekuensi logis dari kandungan kitab suci Al-Quran yang

lebih banyak memuat gambaran umum dari satu persoalan, dan oleh karenanya

selalu ada peluang untuk ditafsirkan, terlebih lagi jika dikaitkan dengan kondisi

dan situasi saat ini yang jelas berbeda dengan kondisi masa lalu. Beragam

penafsiran disamping mencerminkan bahwa ada pluralitas dalam agama itu

sendiri, juga mencerminkan kekayaan khasanah al-Quran yang senantiasa bisa

digali untuk kemudian mendapatkan hal-hal baru yang belum pernah ditemukan

oleh generasi sebelumnya.

Oleh karena itu, pernikahan beda agama dalam Islam menjadi sesuatu

yang tak pernah selesai diperdebatkan. Sebagian sumber (nash al-Qur’an)

dimaknai sebagai bentuk pelarangan terhadap pernikahan beda agama, sementara

3 H. Ichtiyanto, SA, SH, APU, Pernikahan Campuran dalam Negara Republk Indonesia,

(Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI,2003), h.81

Page 12: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

sebagian lagi ditafsirkan oleh banyak kalangan sebagai ayat yang membolehkan

pernikahan beda agama. Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan dalam upaya

memahami teks al-Qur’an sebagai sumber hokum, termasuk untuk pernikahan

beda agama, adalah konteks pada saat ayat itu diturunkan. Dengan melihat

konteks tersebut, penafsiran ayat yang membicarakan tentang pernikahan beda

agama akan lebih jelas dipahami.

Maka, dalam hemat penulis, ayat yang melarang pernikahan beda agama

merupakan bentuk larangan untuk umat pada saat itu. Terbukti ketika konteksnya

berubah, nada ayat al-Qur’an juga mengalami perubahan. Al-Qur’an kemudian

secara tegas memperbolehkan terjadinya pernikahan beda agama meski, pada saat

itu, terbatas hanya pernikahan antara kaum Muslim dengan Ahl al-Kitab.

Konteks yang terjadi dan dapat dilihat pada masa kini, berbeda hampir 180

derajat dengan konteks baik ketika al-Qur’an melarang pernikahan beda agama

maupun ketika memperbolehkannya dengan syarat tertentu. Konteks kini,

manusia begitu plural, tidak mungkin hidup menyendiri tanpa bergaul dan

berinteraksi dengan yang lain. Hubungan dan, bahkan, pernikahan dengan umat

dari agama lain pun, kini, tak terelakkan lagi. Pendapat seperti ini sudah

diutarakan oleh banyak ulama dan pemikir Islam kontemporer sebagaimana akan

dijelaskan pada bab III.

Sedangkan bagi umat Katolik sendiri pernikahan beda agama adalah salah

satu halangan yang membuat tujuan pernikahan tidak dapat diwujudkan. Apabila

pernikahan beda agama ini masih tetap dilaksanakan harus terlebih dahulu

meminta izin atau dispensasi kepada uskup setempat.4 Walaupun di dalam

4 Lihat Kanon 1086 pasal 2

Page 13: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

pernikahan ini tidak ada keharusan bagi pihak yang bukan Katolik untuk ikut

menjadi Katolik, tetapi ia harus menerima prinsip-prinsip, sifat dan tujuan

pernikahan menurut agama Katolik.

Di dalam agama Katolik terdapat ayat-ayat yang dipakai sebagai acuan

pernikahan beda agama. Sebagian besar kitab Katolik melarang terjadinya

pernikahan beda agama. Hal itu sebagaimana terlihat pada beberapa ayat di dalam

kitab Perjanjian Lama seperti Kejadian 6:5-6 dan Ulangan 7:3-4. Pelarangan

pernikahan beda agama juga terrekam dalam kitab Perjanjian Baru seperti pada

Korintus 6:14 Korintus 7:1 dan 7: 12-16.5 Sementara tanda-tanda pembolehan

pernikahan beda agama baru muncul pada Hukum Kanonik, hukum turunan dari

Kitab Suci yang berbasis pada realitas. Meski pasangan yang akan menikah beda

agama terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan tertentu, dua ayat dalam

Hukum Kanonik patut disebut sebagai ayat-ayat yang memungkinkan terjadinya

pernikahan beda agama dalam Katolik. Dua ayat tersebut adalah Hukum Kanon

1125 dan 1126.

Perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan, dan itu tidak akan menjadi

suatu masalah selama kita bisa menyikapinya dengan arif dan bijaksana, salah

satunya yaitu senantiasa menumbuhkan sikap saling menghormati dan

menghargai kepada sesama pemeluk agama. Dan kita tidak sepatutnya untuk

memaksakan suatu agama kepada orang lain karena pada dasarnya semua agama

itu mengajarkan tentang kebaikan.

Demi kepentingan kajian ini, penulis akan membahas lebih jauh mengenai

pernikahan beda agama dari perspektif agama Islam dan dari agama Kristen

5 Yonathan A. Trisna, Berpacaran dan Memilih Teman Hidup, (Bandung:Penerbit Kalam

Hidup Pusat, 1987), h.53

Page 14: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Katolik. Kedua agama ini merupakan agama yang cukup menarik karena kedua

agama ini cukup banyak membahas tentang pernikahan beda agama, baik itu dari

perspektif yang melarang pernikahan beda agama sampai dengan perspektif yang

membolehkan bersyarat dengan alasan kemajemukan agama merupakan suatu

yang tak terbantahkan, sehingga pernikahan seperti ini merupakan hal yang wajar

terjadi di Negara Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai macam suku

dan agama .

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis kemudian merasa perlu untuk

melakukan studi secara mendalam mengenai pernikahan beda agama. Tentunya

studi mendalam terhadap pandangan agama Islam dan Kristen Katolik dalam

melihat pernikahan beda agama. Studi ini akan ditulis dengan judul:

“PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK”.

Diharapkan dengan adanya studi mengenai pernikahan beda agama ini penulis

bisa memberikan kontribusi penting baik bagi studi agama yang telah dilakukan

maupun yang akan dilakukan.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Pernikahan beda agama adalah peristiwa sosial. Ia sangat mungkin terjadi

dan dialami oleh setiap umat dari semua agama dalam konteks kehidupan kini

yang plural, multietnis, multi bahasa, budaya, dan lain sebagainya. Maka,

pernikahan beda agama merupakan sebuah tema yang sungguh memiliki cakupan

sangat luas. Karena keluasan wilayah itu, tanpa ada kepentingan lain, kecuali

kebutuhan pemokusan masalah, penulis akan membatasi persoalan yang akan

Page 15: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

diangkat dalam tulisan ini pada pernikahan beda agama dalam pandangan Islam

dan Katolik.

Dalam rangka memperoleh dan coba masuk pada pembahasan yang lebih

sistematis dan logis, penulis perlu membuat beberapa rumusan masalah sebagai

patokan dan focus bahasan pada bab-bab dan paparan-paparan selanjutnya. Untuk

itu, rumusan masalah pada tulisan ini adalah:

1. Apa sesungguhnya yang menjadi landasan utama dalam agama Islam dan

Katolik dalam memandang pernikahan beda agama?

2. Bagaimana pula penafsiran teks-teks keagamaan berimplikasi bagi para

pelaku pernikahan beda agama dan kehidupan atau hubungan antar-umat

beragama di Indonesia secara lebih luas?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah dalam rangka pemenuhan syarat-

syarat dan tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S1). Adapun

yang menjadi tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan analisis

tentang bagaimana sesungguhnya pernikahan beda agama yang terjadi di dalam

agama Islam dan Kristen Katolik. Adapun manfaat penelitian ini adalah

diharapkan dapat memberikan pengayaan terhadap literatur penelitian di

Indonesia khususnya di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Page 16: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

D. Metodologi Penelitian

Sebagai sebuah karya ilmiah, ulasan dan isi karya ini merujuk pada dan

menggunakan metode penelitian yang bersifat kualitatif. Penulis berusaha

mensistematisasi berbagai penemuan dari bermacam literatur menjadi sebuah

kumpulan kalimat atau paparan yang bermakna. Karena akan menganalisis

kumpulan temuan literatur, maka data yang akan digunakan sekaligus penelitian

ini juga bisa disebut dengan penelitian pustaka. Secara lebih tegas, penelitian

pustaka dilakukan dengan membaca dan menginterpretasikan buku-buku dan

dokumen yang memiliki kaitan erat, baik secara substansial maupun sekadar

pelengkap data, dengan pembahasan yang tentunya disesuaikan berdasarkan

pilihan tema yang menjadi konsentrasi perbabnya.

Informasi yang didapatkan dari penelitian pustaka tersebut akan dianalisis

dengan pendekatan komparatif antara satu informasi dengan informasi lainnya dan

diskematisasikan melalui perangkat tabel. Dengan model analisis demikian

diharapkan dapat tercipta proposisi kalimat yang kuat dan bertanggung jawab

tidak hanya secara teks, tetapi juga konteks. Sehingga penarikan kesimpulan dan

tesis yang dibuat oleh penulis memiliki kesesuaian dan ketepatan yang memadai.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini sendiri akan terbagi ke dalam lima bab. Secara

sistematis, kelimanya akan tersusun dan secara deskriptif menjelaskan:

Bab I mencakup Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, batasan

dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan

sistematika penulisan.

Page 17: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Bab II mencakup pengertian dari pernikahan beda agama. Bagaimana

masing-masing (Islam dan Katolik) mendefinisikan pernikahan beda agama

adalah uraian pada sub bab pertama. Selanjutnya bab ini juga akan membahas

undang-undang dan kebijakan pemerintah yang telah ada dalam memandang

pernikahan beda agama.

Bab III membahas pernikahan beda agama dalam pandangan agama Islam

dan Katolik berdasarkan sumber hukum yang ada pada masing-masing agama.

Apa saja yang menjadi hambatan dan memungkinkan terjadinya atau bahkan

sahnya pernikahan beda agama adalah poin penting yang juga dibahas pada bab

ini.

Bab IV berisi tentang analisis komparatif penulis setelah melihat dan

mendeskripsikan pandangan kedua agama tersebut pada bab sebelumnya.

Perdebatan kontemporer para tokoh agama dan celah hukum, argumentasi

pelarangan dan persetujuan akan pernikahan beda agama menjadi suguhan

utamanya.

Adapun Bab V merupakan kesimpulan dan sikap subyektif penulis setelah

melihat pandangan kedua agama (Islam dan Katolik) tentang pernikahan beda

agama. Tak lupa penulis juga mengajukan saran yang secara khusus berkaitan

dengan fenomena dan penafsiran teks keagamaan tentang pernikahan beda agama.

Page 18: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

BAB II

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM ISTILAH

A. Pengertian Pernikahan Beda Agama

Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengertian pernikahan beda

agama, ada baiknya jika dijelaskan terlebih dahulu pengertian dari pernikahan itu

sendiri. Undang-Undang (UU) perkawinan pasal 1 menyebutkan secara jelas apa

yang dimaksud dengan pernikahan. Penulis menjadikan definisi itu juga untuk

memaksudkan kata perkawinan atau pernikahan pada pembahasan selanjutnya. Di

Undang-undang itu pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia berdasarkan ketuhanan yang

maha Esa.6

Tampak bahwa UU di atas menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang

mulia. Dari situ, idealitas kehidupan sepasang laki-laki dan perempuan guna

memperoleh kesejahteraan dan keutuhan hidup berada pada tempat yang utama.

Undang-Undang tersebut tidak hanya melihat pernikahan dari sisi lahir, tetapi

sekaligus ikatan kebatinan antara suami istri dalam membina keluarga yang

bahagia sesuai dengan kehendak Tuhan yang maha Esa.

Dalam Islam, salah satu tanda dari kekuasaan Allah adalah penyatuan

sepasang laki-laki dan perempuan. Penyatuan tersebut didasari oleh rasa kasih

sayang (mawaddah wa rahmah) yang terjalin di antara mereka. Artinya, dalam

6 Muhammad Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang

No. I Tahun 1974 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, (Medan: CV. Zahir Trading Co

Medan, ), h. 237

Page 19: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Islam, pernikahan tidak hanya menjadi peristiwa sosial yang murni manusiawi,

melainkan masih menyimpan unsur-unsur ketuhanan. Pernikahan bahkan

dianggap sebagai manifestasi dari tanda kebesaran Tuhan.

Lebih dari itu, pernikahan adalah sebuah perbuatan yang diperintahkan

oleh Allah. Allah menganjurkan seorang laki-laki dan perempuan yang telah

dewasa dan mapan serta siap menjalin hubungan dengan manusia yang nota bene

lain, baik dari jenis kelamin maupun keturunan darah, untuk melakukan

pernikahan. Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal, dan Malik bin Anas

menyatakan bahwa untuk pribadi-pribadi tertentu, yang telah memenuhi

kualivikasi sebagaimana disebutkan pada paragraf sebelumnya, menikah menjadi

suatu perbuatan dan pengambilan sikap yang dihukumi wajib.

Kewajiban, atau lebih tepatnya perintah, kemudian bahkan tidak hanya

dikenakan pada perbuatan menikah dalam skala besar, tetapi juga pada praktek

yang lebih spesifik di dalamnya, yakni dalam rangka menambah dan melanjutkan

keturunan. Pada kasus ini Islam memerintahkan untuk senantiasa mengingat dan

bertaqwa kepada-Nya. Karena itulah, pernikahan memiliki filosofi yang sangat

mendalam. Dalam Islam, menikah kemudian bukan hanya dianggap sebagai

sebuah perbuatan yang bermaksud untuk sekedar bersenang-senang dan

melampiaskan nafsu (rekreasi) tetapi juga mengemban tugas mulia untuk

melangsungkan keberlangsungan spesies manusia di muka bumi ini (prokreasi).

Tugas suci tersebut hanya bisa diemban jika manusia memiliki cinta kasih

(mawaddah wa rahmah) dalam melaksanakan pernikahan. Tanpa itu, cita-cita

mulia yang sebenarnya hendak dicapai akan sulit untuk diwujudkan.

Page 20: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Karena pernikahan adalah institusi yang dianggap sakral, maka pernikahan

biasanya diatur oleh aturan-aturan agama. Mulai dari persyaratan, tata cara, dan

segala tetek bengek-nya. Karena itulah, pada lazimnya, pernikahan dilakukan oleh

pasangan yang memeluk agama yang sama.

Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan pasangan yang menikah berasal

dari agama yang berbeda. Pernikahan seperti inilah yang disebut dengan

pernikahan beda agama. Bisa jadi, orang Islam, baik pria maupun wanita, akan

menikah dengan orang yang non-Islam seperti Katolik, Protestan, Budha, Hindu,

Khonghucu, dan lain-lain.

Pernikahan beda agama ini mengundang titik perdebatan yang panjang.

Karena, semua agama tampak ingin melindungi para penganutnya dari pengaruh

yang ditebarkan oleh agama lain. Di samping itu, pernikahan beda agama

seringkali “dicurigai” sebagai upaya-upaya yang tersistematisir untuk membawa

pemeluk salah satu agama menjadi pemeluk agama lain.

Titik perdebatan tersebut juga merambah hingga hal yang paling mendasar

yaitu persoalan penafsiran terhadap teks-teks suci, baik al-Quran dari pihak Islam

maupun Injil dari pihak Katolik.

Ada banyak pro dan kontra mengenai persoalan penafsiran teks suci ini.

Pihak yang tidak menyetujui pernikahan beda agama biasanya menggunakan pola

penafsiran tekstual dalam memahami ayat-ayat suci. Mereka menganggap bahwa

teks suci diturunkan tanpa memandang realitas sosial yang terjadi di masa itu.

Bagi kalangan penafsir tekstualis, kitab suci diangap sebagaimana layaknya

Tuhan itu sendiri, yang berkuasa mengatur segala persoalan kehidupan.

Page 21: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Sebaliknya, kalangan yang menerima keberadaan pernikahan beda agama

cenderung menafsirkan teks suci atau teks keagamaan dengan pendekatan yang

lebih bersifat kontekstual. Mereka memandang bahwa teks adalah produk budaya,

yang tak lepas dari interaksi dengan kondisi sosial pada masa ayat tersebut

diturunkan. Artinya, teks suci selalu berdialektika dengan kondisi sosial pada saat

teks tersebut diturunkan, tak pernah tercabut dari kontekstualitas.

Oleh karena itu, dalam menyarikan maksud dari teks suci, para penafsir

haruslah mempertimbangkan konteks “ruang” dan “waktu” ketika ayat tersebut

diturunkan. Artinya, harus ditelaah pula kondisi sosial budaya yang berlangsung

pada saat ayat tersebut diturunkan, untuk diterjemahkan dalam konteks kekinian.

Perlu juga untuk menerjemahkan konteks tersebut dalam bingkai “ruang”, artinya

bahwa teks tersebut diturunkan di suatu tempat tertentu yang notabene memiliki

kultur budaya berbeda dengan kultur budaya Indonesia.

Pembahasan lain yang berkenaan dengan penikahan beda agama adalah

yang berkait dengan statusnya dalam wilayah hukum Indonesia. Hingga saat ini,

belum ada hukum yang mengatur mengenai pernikahan beda agama. Dalam UU

Nomor 1 tahun 1974 pasal 57 memang disebutkan istilah perkawinan campur.

Akan tetapi, yang dimaksud dengan perkawinan campur dalam undang-undang ini

adalah perkawinan (pernikahan) antara dua orang yang tinggal di Indonesia dan

tetap tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan,

salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan pihak lainnya

berkewarganegaraan Indonesia.7 Jadi, pernikahan yang dimaksud bukan

7 Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di

Indonesia, ( Serang: Percetakan Saudara, 1995), h. 35

Page 22: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

merupakan pernikahan antara dua orang yang berbeda agama, melainkan

pernikahan antara dua orang yang berbeda status kewarganegaraan.

Undang-undang perkawinan pada dasarnya telah menjelaskan pernikahan

yang secara substansial dilakukan oleh dua orang di Indonesia yang memiliki

perbedaan spesifik seperti kewarganegaraan. Kendati perbedaan agama tidak

disebutkan secara spesifik dalam undang-undang perkawinan, namun para pakar

hukum perkawinan di Indonesia telah mendefinisikan pernikahan beda agama

sebagai “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang masing-masing

berbeda agamanya dan mempertahankan agamanya itu sebagai suami istri

dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.8 Pengertian pernikahan antar agama

yang lebih ringkas dapat ditemukan dalam pedoman pegawai pencatat nikah.

Dalam pedoman tersebut disebutkan bahwa pernikahan antar agama adalah

pernikahan yang terjadi di Indonesia antara dua orang yang menganut agama yang

berbeda.9

Sedangkan pernikahan beda agama menurut Romo Antunius Dwi Joko, Pr

yaitu pernikahan antara seorang baptis Katolik dengan pasangan yang bukan

Katolik (bisa dibaptis oleh gereja lain, atau sama sekali tidak dibaptis). Dan,

menurutnya, gereja memberi kemungkinan untuk pernikahan beda agama tersebut

8 Eoh O.S., Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1996) cet 1, h 35

9 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum perkawinan (Nikah, Talak, Cerai, Rujuk),

(Bandung: Al-Bayan, 1994) cet 1, h

Page 23: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih

pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya.10

Dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama yaitu suatu pernikahan

yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda keyakinan atau agama, mereka

bertekad untuk membangun keluarga bahagia tanpa harus meninggalkan

keyakinan mereka masing-masing dan mereka tetap taat kepada agama yang

mereka anut.

B. Kebijakan Negara tentang Pernikahan Beda Agama

Sebelum berlakunya UU tahun 1974, di Indonesia kita jumpai peraturan

perkawinan campuran (Regeling of De Gemende Huwelykue; Staatsblad 1898 No.

158). Akan tetapi sesuai dengan ketentuan pasal 66 UU, peraturan Staatsblad

1898 No. 158 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.

Di luar fakta sejarah di atas, UU Staatsblad 1898 No. 158 sendiri

menyatakan bahwa pernikahan campuran adalah pernikahan antara orang-orang

yang tinggal di Indonesia namun tunduk pada hukum yang berlainan.11

Menurut

UU di atas setiap pernikahan di antara orang-orang yang berada dan tunduk pada

hukum yang berlainan disebut pernikahan campuran, baik disebabkan perbedaan

golongan penduduk, perbedaan hukum adat, maupun perbedaan agama. Artinya,

UU Staatsblad tahun 1898 No. 158 ingin mengatakan bahwa perbedaan golongan

penduduk baik warga asing atau bukan warga asing, perbedaan hukum adat dan

perbedaan agama bukanlah suatu penghalang bagi pasangan yang ingin

10

Romo Antunius Dwi Joko, “Kawin Campur,” artikel diakses pada 10 september 2007 dari

WWW.Yesaya. Indocell. Net.

11 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan nasional, h. 238

Page 24: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

melangsungkan pernikahan campuran. Ini jelas sangat bertolak belakang dengan

UU tahun 1974 yang telah ditetapkan oleh pemerintah saat ini.

UU perkawinan nomor 1 tahun 1974 disusun berdasarkan Pancasila yang

berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam UU ini tidak dibahas secara

eksplisit mengenai pernikahan beda agama. Walaupun secara implisit dapat

ditemukan landasannya pada pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan

adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu”. Pasal inilah yang selalu menjadi rujukan soal pernikahan

beda agama di Indonesia. Pasal 2 ayat 1 menyerahkan sepenuhnya soal pernikahan

beda agama kepada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan

mengenai diperbolehkan atau dilarangnya pernikahan tersebut.12

Sedikit ke belakang, menengok proses sejarah yang sebelumnya terjadi,

pemberlakuan pasal itu sendiri sebelumnya melalui pro-kontra yang tidak pendek.

Pengesahan UU perkawinan ini sendiri sempat mengalami penolakan baik dari

internal DPR, sebagai pemutus UU, maupun dari masyarakat. Sebagai bentuk

kompromi, akhirnya UU perkawinan tidak membahas secara eksplisit tentang

pernikahan beda agama. Pernikahan yang diatur di dalam UU perkawinan sebatas

pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda kewarganegaraan, bukan

berbeda agama.

Dalam buku terbitan Balitbang Depag RI yang ditulis oleh Ichtiyanto

disebutkan bahwa kata “masing-masing” dalam UU perkawinan tertuju pada

agama-agama yang dipeluk di Indonesia, bukan mengacu kepada masing-masing

pengantin. Yang dimaksud di sini bahwa pernikahan itu akan sah apabila

12

Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di

Indonesia, h. 36

Page 25: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

pengantin dapat memeluk agama dan kepercayaan yang sama, jika yang terjadi

sebaliknya, yaitu pengantin menganut agama yang berbeda, maka pernikahan

tersebut tetap dianggap tidak sah.13

Di Indonesia, pernikahan beda agama bisa dilakukan bila salah satu

pasangan yang akan melaksanakan pernikahan beda agama terlebih dahulu

melakukan perpindahan agama sehingga kedua pasangan memiliki kesamaan

agama. Di sisi lain, pernyataan seperti itu sama sekali tidak sesuai dengan prinsip

yang terdapat pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sebagai konstitusi dasar,

pasal 29 ayat 2 yang secara tegas menyatakan adanya kebebasan beragama bagi

setiap warga negara, tanpa terkecuali. Inilah contoh penyimpangan UU turunan

dari UUD di antara sekian banyak contoh lainnya.

Dari sejarahnya, rancangan UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang

diajukan oleh pemerintah kepada DPR, semula memuat pasal 11 ayat 2 yang

menyebutkan bahwa perbedaan kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat

asal, agama atau kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang

pernikahan. Tetapi, karena satu dan lain hal yang tidak penulis ketahui, akhirnya

ketentuan dalam rancangan UU itu tidak dimasukkan sebagai salah satu pasalnya.

Alih-alih memberi keleluasaan semua pemeluk agama untuk melangsungkan

pernikahan, UU perkawinan sekarang malah memperlihatkan bahwa perbedaan

agama dapat menjadi penghalang dalam melangsungkan pernikahan.14

Kesan bahwa UU no 1 tahun 1974 menentang pernikahan beda agama

terlihat pada pasal 2 ayat (1) UU no 1 tahun 1974 yang berbunyi: “Perkawinan

13

Ichtiyanto, SA, SH, APU, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia,

(Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2003) h. 85

14 Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di

Indonesia, (Serang:Penerbit Saudara, 1995), h. 37

Page 26: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu”.15 Karena setiap agama dalam pemikiran mainstream

cenderung menolak pernikahan beda agama, maka dengan demikian pasal ini

secara implisit juga melarang pernikahan beda agama.

Pelarangan beda agama di Indonesia pada ujungnya menimbulkan dampak

sosial yang tidak ringan. Karena Undang-Undang tidak melindungi pasangan

berbeda agama yang ingin melangsungkan pernikahan, maka yang sering terjadi

adalah salah satu pasangan berpindah agama ke agama pasangannya. Walhasil,

keberadaan Undang-Undang ini seakan memaksa seseorang untuk berpindah

keyakinan. Padahal, undang-undang dasar sudah menjamin bahwa setiap warga

negara berhak menjalankan keyakinan masing-masing tanpa ada paksaan. Atau,

bisa juga dikatakan bahwa, pelarangan atas pernikahan beda agama sama juga

dengan perngangkangan terhadap amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Pelarangan pernikahan beda agama, yang berakibat perpindahan agama

yang terpaksa dilakukan oleh pasangan yang hendak melakukannya, juga bisa

dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Karena,

memeluk agama dan kepercayaan merupakan hak manusia yang paling asasi.

Setiap orang berhak memeluk agama yang dianutnya tanpa ada paksaan. Hal ini

termaktub dalam piagam HAM yang sudah diratifiaksi dalam TAP MPR no XVII

/MPR/1998 pasal 13 yang berbunyi : “Setiap orang bebas memeluk agamanya

15 Undang-Undang No : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara 1974/1; TLN

NO. 3019

Page 27: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya

itu”16

Perpindahan agama yang dilakukan oleh pasangan beda agama seringkali

dilakukan dengan kepura-puraan. Maskudnya, salah satu pasangan pura-pura

berpindah agama dengan memeluk agama yang dianut oleh pasangannya, hanya

untuk “mengelabui” hukum dan aturan tertulis. Hal ini merupakan konsekuensi

lebih parah dari adanya pelarangan atas pernikahan beda agama. Tindakan

demikian sama dengan mempermainkan hukum dan kepercayaan. Sesuatu yang

sejatinya bertentangan dengan semangat penegakan hukum itu sendiri.

Upaya lain yang sering dilakukan oleh pasangan yang hendak melakukan

pernikahan beda agama adalah melakukan pernikahan di luar negeri. Hal ini

menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang juga sama beratnya. Selain

membebani ongkos yang tidak sedikit, pernikahan di luar negeri juga menyisakan

sedikit “pekerjaan rumah” bagi pasangan tersebut, yaitu mengenai status

kewarganegaraan anak mereka. Karena, pernikahan mereka dilakukan tidak

dengan hukum yang berlaku di Indonesia, maka mengurus status

kewarganegaraan anak mereka akan lebih rumit.

Bila pasangan yang ingin melakukan pernikahan beda agama ini merasa

repot dengan segala aturan yang ada, sementara mereka tidak ingin berpindah

agama masing-masing, terkadang mereka mengambil jalan pintas untuk “kumpul

kebo” atau hidup bersama tanpa menikah.

Dari segala paparan diatas, maka akan tampak bahwa setiap upaya untuk

menghalangi pernikahan beda agama akan menimbulkan konsekuensi yang

16

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII

/MPR/1998.

Page 28: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

sebenarnya bertentangan dengan tujuan pernikahan yang diatur dalam UU itu

sendiri. Karena itu, sebaiknya pemerintah patut mempertimbangkan kembali

segala macam aturan yang melarang, atau setidaknya menghalangi dan

mendiskriminasi pernikahan beda agama. Pernikahan beda agama selayaknya

diberikan jalan yang lebih mudah, demi terciptanya tatanan sosial yang lebih baik.

Pemerintah harus lebih tegas karena pernikahan beda agama akan terus

terjadi di Indonesia yang masyarakatnya sangat plural ini. Untuk keselamatan

masyarakat Indonesia, pemerintah sudah sepatutnya menetapkan hukum yang

berlaku untuk masyarakatnya tentang pernikahan orang-orang yang berlainan

agama, dengan tidak melebihkan satu agama atas agama lainnya. Pemerintah

harus betul-betul kembali mempertimbangkan dan memperhatikan asas kesamaan

di muka hukum untuk semua warga negara dari semua agama. Sekali lagi,

terutama dalam kasus pernikahan, pemerintah harus menetapkan aturan yang

egaliter dan memfasilitasi mereka yang kemungkinan menikah dengan pasangan

yang memiliki perberbedaan keyakinan beragama. Hal ini penting mengingat

modernitas dan perkembangan interaksi yang terjadi di Indonesia sudah tidak bisa

dibatasi dengan faktor agama atau apapun.

Lebih dari itu, pelaranganan terhadap pernikahan beda agama hanya akan

memperbanyak anak-anak yang tidak mempunyai orang tua sah menurut hukum.

Yang dari sini kemudian menimbulkan masalah baru seperti tidak terjaminnya hak

atas pemeliharan dan warisan. Lebih parah lagi, anak hasil pernikahan beda agama

kerap memperoleh penghinaan dalam pergaulannya dengan anak-anak lain yang

kebetulan orang tuanya menikah dengan pasangan yang seagama. Hampir dapat

Page 29: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

disimpulkan kalau anak hasil pernikahan beda agama adalah anak yang tidak jelas

identitas dan statusnya dalam hukum negara.

Ada sejumlah tempat di mana Kantor Catatan Sipil (KCS) bisa

mencatatkan pernikahan beda agama. Dari sumber-sumber tulisan yang menjadi

rujukan, terlihat bahwa di kantor-kantor tersebut terdapat beberapa putusan yang

memberi izin pernikahan beda agama yaitu:

1. Penetapan pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pdt/P/1990, 3 april 1990

antara Bambang Djatmiko Setiabudi, pria Indonesia Islam dan

Maliangkay Sharon dari perempuan Kristen, mendasarkan antara lain

atas Putusan Mahkamah Agung No. 1400K/Pdt/1986

2. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 151/Pdt/P/1988 antara

laki-laki Indonesia beragama Budha Cornelis Hendrik dan Siti Nuraini

Isa seorang perempuan Indonesia beragama Islam. Berdasarkan pasal 66

UU tahun 1974 No. 1. Hakim telah menggunakan materi aturan dari

Regeling op de Gemengde Huweijken (GHR), aturan tentang perkawinan

campur zaman pendudukan Belanda, 1898 No. 158 mengingat dalam

UU 1974 No. 1 tidak mengatur pernikahan beda agama secara devinitif.

3. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.36/Pdt/P/1989/P.N. Jkt.

Sel. tertanggal 23 Februari 1989, tentang pengabulan pernikahan antara

Togar Siborutorop, laki-laki Indonesia Kristen dan Yavinsa Merlgita

seorang perempun Islam. Pernikahan beda agama tersebut tetap

dilangsungkan berdasar pada materi putusan GHR (sebagaimana juga

disebut pada Pasal 60 undang-undang tahun 1974 No. 1 ayat 3 dan 4):

perbedaan agama bukan penghalang untuk menikah.

Page 30: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

4. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 456/Pdt/P/1988/PN Jkt.

Bar., tanggal 29 juni 1988, antara Geri Lumempow seorang laki-laki

Indonesia Kristen, dengan Gina Lasiari seorang wanita dari Islam,

dengan alasan bahwa sesuai pasal 29 UUD 1945. sesungguhnya tidak

ada aksaan dari warga Indonesia untuk memeluk suatu agama tertentu.

Demikian pula undang-undang perkawinan tidak mengadakan paksaan

atau desakan agama yang satu terhadap yang lain. Dan sama sekali tidak

menganjurkan seseorang untuk berpindah agama. Sesuai dengan

Rakernas M.A. dengan Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia tahun

1986 No. 102, menurut pasal 2 ayat 2 PP No. 9/1975, pencatatan mereka

yang melangsungkan pernikahan menurut agama dan kepercayaan selain

Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Kantor Catatan Sipil. Kalau

pegawai Kantor Catatan Sipil menolak, pengadilan berwenang

memerintahkan mereka untuk mencatat pernikahan tersebut.17

Keputusan-keputusan yang membolehkan pernikahan beda agama seperti

yang tertera diatas tidak banyak kita dapati di Indonesia mungkin hanya sebagian

kecil saja. Hanya beberapa lembaga yang memberi kemudahan bagi pasangan

beda agama untuk melaksanakan pernikahan seperti Paramadina dan Wahid

Institut. Yang dipertanyakan disini mengapa Departemen Agama yang merupakan

alat Negara untuk memberi solusi semacam pernikahan beda agama malah tidak

memberi jalan bagi pasangan beda agama.

Dari situ, tak aneh kalau kemudian orang-orang yang ingin melaksanakan

pernikahan beda agama malah lari ke negara-negara lain hanya untuk

17

Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, (Bandung:Citra

Aditya Bakti,1996), h. 289

Page 31: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

mendapatkan keabsahan pernikahan mereka. Di sini jelas bahwa negara kita tidak

mampu untuk melindungi warga negaranya sendiri, malah negara lain yang

sanggup memberi perlindungan bagi warga negara Indonesia, seperti Singapura

dan Australia. Maraknya pernikahan di luar negeri memberi kesan bahwa

Indonesia belum dapat menjamin sepenuhnya hak-hak warga negaranya. Pada titik

inilah dapat diambil kesimpulan bahwa diskriminasi masih menghantui pasangan

yang melakukan pernikahan beda agama di Indonesia. Cara-cara seperti menikah

di negara lain seharusnya tidak perlu terjadi jika pemerintah lebih mempunyai

kepekaan dan tanggung jawab untuk menjamin kebebasan warga negaranya

sebagaimana diamanatkan oleh UUD.

Page 32: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

BAB III

PERNIKAHAN BEDA AGAMA

MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

A. Pernikahan Beda Agama dalam Pandangan Islam

Islam terlahir tidak pada ruang yang kosong. Ia terlahir pada sebuah

konteks sosial, sekaligus merespon segala keadaan yang terjadi di seputarnya.

Islam merespon dari masalah ketuhanan, politik, hukum, hubungan antar makhluk

hidup, dan sebagainya. Dalam konteks ini, Islam tentunya merespon hubungan

pernikahan antar sesama manusia, lebih khusus lagi pernikahan antar-manusia

yang kebetulan berbeda keyakinan, berbeda agama. Paparan selanjutnya akan

memfokuskan diri pada pembahasan tentang pernikahan beda agama ini.

1. Pernikahan Beda Agama menurut al Quran

Respon Islam atas konteks sosial yang terjadi pada saat itu terrangkum

dalam kitab suci al Quran. Al-Qur’an, meski menjadi pembeda antara Islam

dengan agama-agama lainnya, memiliki pesan universal yang sama dengan

agama-agama yang terlebih dahulu diturunkan ke dunia. Salah satu kesamaan

yang paling kentara misalnya pesan yang mengatakan bahwa semua agama

menyerukan umatnya untuk menyembah Allah yang Esa dan selalu melakukan

perbuatan yang bermoral dan konstruktif.

Namun demikian, pengejawantahan nilai-nilai dasar agama senantiasa

bervariasi ketika sudah berhadapan dengan realitas sosial. Selalu terdapat dua

Page 33: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

dimensi das sein dan das solen, dimensi historisitas dan normativitas. Kedua

dimensi tersebut tak ubahnya seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa

dipisahkan satu sama lain. Maka wilayah das solen ajaran agama Islam menyatu

dengan praktek keseharian wilayah das sein sejarah kemanusiaan.18

Pergumulan das sein dan das solen sudah dimulai sejak permulaan sejarah

kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu, sangatlah naif kalau hanya memokuskan

diri pada wilayah das solen seraya abai terhadap wilayah das sein. Karena, sekali

lagi, teks-teks al-Quran sebagai wahyu Allah sendiri tidak berbicara pada ruang

hampa. Artinya jelas bahwa al Quran akan kehilangan maknanya ketika

ditanggalkan dari konteksnya. Penafsiran yang dilakukan secara parsial hanya

akan menghilangkan keutuhan makna al Quran dan cenderung terjebak pada aspek

yang sejatinya hanya simbolis.

Khusus tentang permasalahan pernikahan beda agama, ayat-ayat al-Quran

yang umumnya dijadikan pegangan oleh para ulama adalah surat al-Baqarah: 221

���� �������� ��⌧������☺����

������ ! "�$% � &'(")*��

+',- "�." &�/0�1 ! 2" 3'⌧�����."

/����� /456(7�8�$�9 :���

������;� (<= ������☺����

������ ���$� "�$% � �>/3�;����

! "�." &�/0�1 ! 2" 3@����."

/����� /45(7�8�$�9 �3BC���D�E9

(F�$$�>(% GHI�J K�L���� �

MN���� ��O�$$�>(% GHI�J

'L-�8���� ,(0 P��☺������

R � S�T�U�V � �<�2=(3$%��

R � 6�(%��5 L�L-X � /4�YCX�;��

(F�$0Z�⌧[(6(% \]]^_

18

M. Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”, Ulumul Qur’an,

No. 4, IV, (1993), h. 17

Page 34: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.

Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik,

walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang

musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya

budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.

Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan

dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)

kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (al-Baqarah: 221)

atau surat al-Mumtahanah:10:

�'`a>�DC�(% (<b cZN��

��O�$�("��5 ��T�J $4de�5Nc�!

d��,- "��☺���� f4(0h8��Y$"

!;i�$��(6�"���j � MN�� $4HXk�9

!`_l��☺%�U�V � F�U�j !;i��☺n�☺�X($ f���� "�$" :⌧�j

!;i�$;o/0�� GHI�J K�pP5����

� :� !;i qq � /4rsf :��� /4;i

(F�tX (�u !r�f � 4;i�;���5��

N�L" ���dJ⌧PS�9 � :��� ���,-$o

/45�[HX(k F�9 !;i������ N��T�J

!;i��☺6v����5 !;i�K�$oE9 �

:��� ���5w�☺;� 4xy ;�V

z0 j�������� ���;X({|�� N�("

�5}�J⌧PS�9 ���;X({w�~����

N�(" ���dJ⌧PS�9 � /45 ��T $4$�

{N�� � $45�(�u /45,-v(V � MN����

+���X(k ��~�� \^h_

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu

perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)

mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah

mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu

kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka

tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula

bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah

mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar

kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali

(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta

mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah

Page 35: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu.

Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (al-Mumtahanah/60:10)

Ayat-ayat di atas diturunkan di Madinah serta membawa pesan agar orang-

orang muslim tidak menikahi perempuan musyrik, begitu juga sebaliknya. Istilah

al-Musyrikun dan al-Musyrikah dalam ayat diatas merujuk pada masyarakat

politeis, penyembah berhala, yang dibedakan oleh al-Qur’an dengan masyarakat

keagamaan lainnya.19

Sedangkan Muhammad Abduh, sebagaimana dinyatakan

oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha, dengan tegas berpendapat bahwa yang

dimaksud dengan Musyrik adalah Musyrik Arab pada konteks saat itu yang sangat

agitatif terhadap umat Islam.20

Ayat itu selain berbicara tentang larangan menikahi laki-laki atau

perempuan musyrik juga memuat anjuran menikahi budak, karena dengan jalan

menikahinya, maka si budak dan anak-anaknya akan menjadi merdeka. Pada sisi

lain, surat al-Baqarah: 221 di atas turun dengan kondisi masyarakat Madinah yang

cukup homogen. Umat Islam pada saat itu masih sangat sedikit, ditambah kondisi

kebencian dan peperangan antara kaum Musyrik dengan umat Islam yang

menyebabkan terusirnya Nabi Muhammad dan kaum Muslimin pengikutnya. Oleh

karena itu, melakukan pernikahan dengan kaum Musyrik yang senantiasa

memusuhi dan memerangi Islam, selain dianggap bertentangan dengan tujuan

Islam juga dikhawatirkan malah hanya akan menimbulkan masalah lain.

19

Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an: Sebuah kerangka konseptual, (Bandung: Mizan, 1992), h. 73.

20 Dengan mengutip pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha pada Tafsir al-Manar,

Jilid VI, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t), Nurchalish Madjid dkk. menguatkannya dengan

kontekstualisasi aspek keindonesiaan di sana-sini, sebagaimana terrekam pada tulisan mereka

dalam Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina dan

The Asia Foundation, 2004), h. 160.

Page 36: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Selain Surat al-Baqarah sebagaimana disebutkan di atas, ayat lain yang

seringkali dijadikan dasar pelarangan nikah beda agama adalah surat al-

Mumtahanah: 10. Ayat ini turun beriringan dengan peristiwa perjanjian

Hudaibiyah yang terjadi antara Nabi Muhammad dengan kaum musyrik Quraisy

pada tahun 628 M. Salah satu butir kesepakatan yang dilahirkan pada perjanjian

ini berisi bahwa apabila ada orang dari pihak Quraisy datang kepada Muhammad

atau melarikan diri dari mereka tanpa izin walinya, maka ia harus dikembalikan

kepada pihak Quraisy. Sebaliknya, jika ada pengikut Muhammad yang datang

kepada pihak Quraisy, melarikan diri dari dia, maka tidak akan dikembalikan pada

Muhammad.

Sejarah kemudian mencatat bahwa setelah perjanjian ini ditandatangani,

Abu Jandal, anak dari Suhail bin Amr datang kepada Nabi dan mengutarakan

keinginannya untuk bergabung dengan kaum Muslim. Suhail ternyata mengetahui

hal ini, dia marah besar kemudian memukuli anaknya, direnggut kerah bajunya

untuk dikembalikan kepada kaum Musyrik Quraisy. Saat itu, Abu Jandal berteriak

dengan keras, “wahai kaum Muslim, apakah aku dikembalikan kepada orang-

orang Musyrik yang akan menyiksaku karena agamaku?” lantas Rasulullah

berkata: “wahai Abu Jandal, bersabarlah, sesungguhnya Allah akan memberikan

jalan keluar kepadamu dan kepada orang-orang yang lemah yang bersamaan.

Kami telah mengikat perjanjian dengan kaum Musyrik Quraisy, dan kita tidak

boleh menghianati mereka.”

Setelah peristiwa itu ada beberapa orang perempuan Mukminin datang

berhijrah ke Madinah, Ummu Khultsum binti ‘Uqba bin Mu’ait keluar dari

Mekkah. Saudaranya, Umara bin Walid, kemudian menuntut kepada Nabi supaya

Page 37: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

wanita itu dikembalikan kepada mereka sesuai dengan isi perjanjian. Tetapi Nabi

menolak permintaannya, karena isi yang termaktub dalam perjanjian tidak

mencakup kaum perempuan. Disamping itu, perempuan yang sudah masuk Islam

tidak sah lagi bagi suaminya yang masih kafir Musyrik, oleh karena itu mereka

harus berpisah. Maka dalam konteks inilah surat al-Mumtahanah turun.21

Dari latar belakang turunnya ayat yang telah dipaparkan di atas, jelaslah

bahwa ayat tersebut hanya menegaskan keharaman perempuan-perempuan

Muslim untuk menikah dengan lelaki kafir Musyrik. Sebagian penafsir

mengemukakan bahwa “kafir” yang dimaksud dalam ayat ini adalah kafir

Musyrik Quraisy. Artinya yang haram untuk dinikahi oleh kaum muslim (laki-laki

dan perempuan) adalah kaum Musyrik Quraisy.

Dari pemaparan kedua ayat beserta konteks sosial historisnya di atas, dapat

disimpulkan bahwa umat Islam dilarang menikah dengan orang Musyrik. Karena

berdasarkan konteksnya bagaimana mungkin akan tercipta keluarga yang

mawaddah wa rahmah jika ternyata kaum Musyrik sangat membenci dan

memerangi Islam. Ayat inilah yang dipahami dan disimpulkan sebagian besar

umat Islam sebagai ayat yang melarang pernikahan antara orang Muslim dengan

non-Muslim.

2. Pernikahan Beda Agama dan Perdebatan tentang Ahl al-Kitab

Membicarakan pernikahan beda agama dalam Islam tak bisa dilepaskan

dari perdebatan tentang Ahl al-Kitab. Perdebatan perihal ini sendiri berpangkal

pada perbedaan penafsiran ayat al-Quran yang berisi tentang kebolehan kaum

21 Zainun Kamal dan Musdah Mulia, Makalah: Penafsiran Baru Islam Atas Pernikahan Beda

Agama, Oktober 2003, h.14

Page 38: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Muslim laki-laki untuk menikahi perempuan Ahl al-Kitab dan tidak sebaliknya

sebagaimana terdapat dalam Surat al-Maidah: 5. Ayat tersebut berbunyi:

(�/��[���� Lq �E9 $45��

d��(7�[Z���� � $���;���

(<b cZN�� ���;��E9 xX�(6����

qq � /V5Z� /45$"��;��� qq �

/4rsf � d��,-xy�Sj����� 1! "

��,- "��☺����

d��,-xy�Sj����� 1! "

(<b cZN�� ���;��E9 xX�(6����

! " /45�X/7�c N��T�J

!;i��☺nv����5 !;i�K�$oE9

(<= -y�(;� ��/0⌧+ (<=� P�xw$" :���

=�h[ ��6$" �F��>*�9 !("��

/0dP(% \!���%�����V �>�J�j

⌧��7�� �$9E��☺($ ��;i�� G�<

,(01n��� 1! " 1!%�� ��%����

\�_

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-

orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi

mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di

antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga

kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu

telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan

maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa

yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah

amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (al-Maidah/5:5)

Sebagian kelompok menafsirkan ayat tersebut sebagai penghalalan Islam

atas pernikahan beda agama. Sementara sebagian lagi beranggapan bahwa

kehalalan pernikahan beda agama pada ayat tersebut telah dihapus oleh ayat-ayat

lain yang menyatakan tentang pengharamannya. Kelompok ini tetap beranggapan

bahwa pernikahan antara Muslim dan non-Muslim adalah terlarang, adalah haram.

Page 39: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Namun, sebelum ke penyimpulan itu, ada baiknya ditelusuri terlebih dahulu

perdebatan lebih rinci tentang konsep Ahl al-Kitab yang berkembang di dalam

dunia Islam.

Para ulama salaf (ulama-ulama terdahulu) seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i

dan Hambali sepakat untuk mengharamkan pernikahan antara kaum Muslim dan

kaum Musyrik. Perbedaan pendapat baru terjadi untuk pernikahan antara laki-laki

Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab. Kelompok pertama menyatakan bahwa

pernikahan yang melibatkan antara laki-laki Muslim dan perempuan Ahl al-Kitab

adalah haram. Mereka yang menyatakan demikian berargumen bahwa Ahl al-

Kitab termasuk ke dalam kategori Musyrik. Keduanya adalah sama karena

kenyataannya memang sama saja.

Selain itu, kelompok pertama ini juga berargumen bahwa surat al Maidah:

5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahl al-Kitab

telah dinasakh (dihapus) oleh surat al-Baqarah: 221.22 Yang termasuk ke dalam

kelompok ini antara lain Abdullah ibn Umar dan al-Thabarsi. Abdullah ibn Umar

menegaskan bahwa: ”Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari

kemusyrikan orang yang menyatakan bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah satu

dari hamba Tuhan.”23

Yang dimaksud dengan “seseorang yang mengaku

Tuhannya adalah Isa atau salah satu dari hamba Tuhan” adalah umat Nashrani dan

Yahudi. Menurut Ibn Umar, kelompok ini pada prakteknya telah

mempersekutukan Tuhan dengan yang lain. Umat Kristen dianggap menuhankan

Isa sedangkan umat Yahudi dianggap menuhankan Uzair.

22

Quraisy Shihab, Wawasan al Quran, h. 196.

23 Lihat M. Quraisy Shihab, Wawasan al Quran, (Bandung: Mizan, 1996), h. 15.

Page 40: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Dilihat dari konteksnya, pada saat itu memang terdapat beberapa tokoh

Islam yang menikahi perempuan Yahudi dan Kristen, seperti yang dilakukan oleh

Thalhah dan Hudzayfah. Sikap Umar sendiri sebenarnya lebih mencerminkan

kekhawatiran jika pada suatu saat para sahabat tersebut membelot dan masuk

komunitas non-Muslim. Perasaan demikian mudah dipahami mengingat Islam

pada saat itu sedang membutuhkan jumlah pengikut yang banyak dan loyal.

Dengan demikian, terlihat bahwa Umar sebenarnya hanya ingin memperingatkan

kaum Muslim untuk berhati-hati dalam memperjuangkan Islam, tak terkecuali

untuk memilih pasangan hidup.

Al-Thabarsi memperkuat argumen Ibn Umar dengan mengatakan bahwa

yang dimaksud perempuan Ahl al-Kitab yang halal dinikahi oleh laki-laki Muslim

dalam surat al-Maidah: 5 adalah perempuan Ahl al-Kitab yang sudah masuk Islam

terlebih dahulu sebelum menikah dengan laki-laki Muslim.24 Artinya, ia tetap

mengharamkan terjadinya pernikahan laki-laki Muslim dan Perempuan Ahl al-

Kitab sebelum perempuan tersebut berpindah agama menjadi Islam.

Pandangan kelompok pertama inilah yang dijadikan landasan para ulama

saat ini dalam menyikapi masalah pernikahan beda agama. Pandangan ini pula

yang menjadi mainstream umat Islam di Indonesia, bahkan kemudian dilegalkan

melalui UU Perkawinan No. I Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI)

yang disahkan dengan Inpres No. 1 Tahun 1991. Sebagai konsekuensinya,

pernikahan beda agama di Indonesia sama sekali tidak mendapat tempat karena

negara memang tidak memfasilitasinya, tidak memberikan ruang yang

memungkinkan untuk pelaksanaannya.

24

Muhammad Galib. M, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya (Jakarta: Paramadina,

1998), h. 167.

Page 41: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Kelompok kedua adalah yang memperbolehkan pernikahan antara laki-laki

Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab. Kelompok ini berpendapat bahwa surat

al-Maidah: 5 telah secara tegas memperbolehkan laki-laki Muslim untuk menikah

dengan perempuan Ahl al-Kitab. Ayat madaniyah itu sekaligus merupakan ayat

terakhir di antara ayat-ayat pernikahan dengan orang kafir, sebagaimana

dinyatakan Nabi: “Surat al-Maidah adalah surat dari al-Qur’an yang terakhir

turunnya. Maka halalkanlah apa yang dihalalkan dan haramkanlah apa yang

diharamkan.”25

Berdasarkan pernyataan Nabi tersebut, kelompok kedua ini beranggapan

bahwa tidaklah benar jika surat al-Baqarah: 221 dan surat al-Mumtahanah: 60

telah me-nasakh surat al Maidah: 5, karena dua ayat yang melarang pernikahan

antara laki-laki muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab sebenarnya diturunkan

terlebih dahulu. Sebagaimana ditegaskan dalam kaidah fiqih bahwa jika terdapat

dua ayat yang bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, maka ambillah

ayat yang lebih akhir diturunkan. Selain itu, kelompok ini membedakan secara

tegas antara non-Muslim dengan Musyrik berdasarkan alasan bahwa dalam al-

Quran sendiri terdapat sejumlah ayat yang membedakan antara Ahl al-Kitab

(termasuk Kristen dan Yahudi) dengan orang-orang Musyrik. Di antaranya adalah

surat al-Baqarah:105 yang berbunyi:

�L" �~��(% a�b cZN�� ���$0⌧P⌧�

�! " _qi�9 hX�(6���� :���

(<= �����Sj��� F�9 (�L�(�$%

4d7�[HX(k �! 2" ��/0�1 ! 2"

/4d7�HV�K MN���� ��(6�%�u

R � 6�☺��(0�V !(" �5N�(�,� �

25

Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama Dalam Syari’at Islam (Jakarta: Khoerul

Bayan, 2003), h. 65

Page 42: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

MN���� �;T _q��⌧P����

h�~ d�;���� \^h�_

“Orang-orang kafir dari Ahl al-Kitab dan orang-orang Musyrik tiada

menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan

Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya

(kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (al-Baqarah/2:105)

dan surat al-Bayyinah:1:

��� \!5(% (<b cZN�� ���$0⌧P⌧�

�! " _qi�9 hX�(6����

(<= ������☺������ (<=�⌧P�$"

������ $4`�� �jD��

;'��h2v(3���� \^_

“Orang-orang kafir yakni Ahl al-Kitab dan orang-orang Musyrik (mengatakan

bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada

mereka bukti yang nyata,” (al-Bayyinah/98:1)

Pada kedua ayat di atas dan ayat-ayat lainnya, al-Quran memakai kata

penghubung “dan” (waw) di tengah kata kafir Ahl al-Kitab dan kafir Musyrik. Ini

menandakan bahwa kedua kata tersebut (Ahl al-Kitab dan Musyrik), mempunyai

arti dan makna yang berbeda.26 Abu Ja’far ibn Jarir al-Thabari dalam Jami’ al-

Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an menafsirkan Musyrik sebagai orang-orang yang

bukan Ahl al-Kitab. Musyrik dalam surat al-Baqarah: 221 bukanlah Kristen dan

Yahudi melainkan orang-orang Musyrik Arab yang tidak memiliki kitab suci.

Ketiga kelompok di atas yakni Musyrik, Yahudi dan Kristen merupakan

kelompok yang terdapat dalam masyarakat Arab dan sering disebut sebagai

kelompok lain (al-Akhar).27

26

Zainun Kamal dan Musdah Mulia, Makalah: Penafsiran Baru Islam Atas Pernikahan

AntarAgama, Oktober 2003, h. 3.

27 Dalam masyarakat Arab terdapat tiga kelompok yang sering disebut sebagai kelompok

lain (al-Akhar) yakni Musyrik, Yahudi dan Kristen. Musyrik adalah mereka yang menempati

Page 43: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Namun demikian, Para ulama yang memperbolehkan pernikahan laki-laki

Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab pun masih berselisih paham tentang siapa

sebetulnya yang dimaksud dengan Ahl al-Kitab dalam ayat tersebut. Apakah

terbatas hanya untuk umat Yahudi dan Nashrani atau bisa dilekatkan juga untuk

umat-umat dari agama lain? Maliki, Syafi’i dan Hambali hanya memasukkan

umat Kristen dan Yahudi ke dalam kategori Ahl al-Kitab. Sementara Hanafi tidak

hanya Kristen dan Yahudi melainkan juga kaum Majusi dan Shabi’in. Mahmud

Syaltut mengatakan bahwa pernikahan seorang laki-laki Muslim dengan

perempuan Ahl al-Kitab diperbolehkan sebagai strategi dakwah. Laki-laki dalam

posisinya sebagai suami memiliki hak untuk mendidik keluarganya: istri dan

anak-anak mereka dengan akhlak Islam. Pernikahan tersebut diharapkan bisa

mengeliminir kebencian dan dendam orang-orang non-Muslim terhadap Islam

terutama di hati istri. Namun jika hal itu tidak bisa diwujudkan maka perkawinan

itu pun terlarang.28 Dengan demikian, Mahmud Syaltut membolehkan pernikahan

beda agama dengan syarat suami bisa menarik istri dan anak-anaknya untuk

masuk dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam.

Adapun mengenai pernikahan perempuan muslim dengan laki-laki Ahl al-

Kitab, meskipun tidak dinyatakan secara tegas dalam al-Quran, para ulama

posisi penting dalam masyarakat yang berpusat di Mekkah. Mereka mempunyai patung yang

paling besar, “Hibal” yang menghadap ke Ka’bah dan dikelilingi oleh 360 patung-patung kecil.

Sedangkan Kristen merupakan kekuatan yang sangat besar di kawasan Arab. Mereka adalah

sekelompok Kristen Syam yang lari dari kezaliman Romawi dan kemudian menempati puncak

gunung serta bukit melalui para pedagang Afrika. Kedatangan orang-orang Kristen tersebut

menyebabkan banyak diantara kabilah Arab yang memeluk Kristen, antara lain: kabilah Ghassan,

Taghallub, Tanukh, Lakhm, Kharam dan lain-lain. Adapun yang dimaksud dengan Yahudi adalah

mereka yang juga lari dari kediktatoran Romawi dan Persia yang berpusat di Madinah. Jumlah mereka hampir dari separuh penduduk Madinah, antara lain: keturunan Qainaqa, Nadhir dan

Quraidzah. Komposisi masyarakat seperti ini menunjukkan bahwa ada distingsi yang jelas antara

kaum musyrik, Kristen dan Yahudi. Uraian selengkapnya lihat, Nurcholis Madjid, dkk., Fiqih

Lintas Agama, h. 163.

28

Linda Hindasyah, Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Pelaku, (Jakarta: PPIM

UIN Jakarta, 2003), h. 27.

Page 44: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

melarangnya dengan alasan bahwa perempuan dikhawatirkan akan terpengaruh

oleh agama suaminya. Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa meskipun hal

itu tidak dinyatakan dengan jelas dalam al-Quran, dalam prakteknya mayoritas

umat Islam tidak memberikan persetujuan sejak dahulu.

Ketidaksetujuan itu semata-mata didasarkan pada ijtihad bahwa seorang

perempuan Muslimah yang menikah dengan laki-laki non-Muslim akan merasa

susah jika tinggal dalam keluarga non-Muslim, karena akan kehilangan hak yang

seharusnya mereka nikmati sebagaimana jika berada dalam lingkungan keluarga

Muslim. Seorang istri akan mengikuti tradisi suaminya dan suami akan

mempengaruhi statusnya sebagai perempuan Muslim.29

Meski kritik dapat

diajukan karena pandangan seperti ini sangat bias jender, selalu menganggap

perempuan lebih rendah ketimbang laki-laki, menempatkan perempuan sebagai

manusia yang sama sekali tidak mempunyai daya dan kekuatan menentukan,

dalam Islam, itu diperparah lewat hadits Nabi yang kerap dijadikan dasar

pelarangan nikah beda agama yang berbunyi: Rasulullah SAW bersabda: “Kami

menikahi wanita-wanita Ahl al-Kitab dan laki-laki Ahl al-Kitab tidak boleh

menikahi wanita-wanita kami (Muslimah)”.30

Senada dengan itu, Khalifah Umar ibn al-Khattab dalam sebuah pesannya

berkata: “Seorang Muslim boleh menikahi wanita Nashrani, akan tetapi laki-laki

Nashrani tidak boleh menikahi wanita Muslimah”. Pesan Umar tersebut

29

Maulana Muhammad Ali, Qur’an Suci: Teks Arab Terjemah dan Tafsir (Jakarta: Darul

Kutub al-Islamiyah, 1993), h. 2.

30 Hadits di atas menurut Shudqi Jamil al-‘Aththar tidak shahih karena mawquf, sanadnya

terputus hingga Jabir, sebagaimana dijelaskan al-Imam al-Syafi’i dalam, al-Um. Lihat, Hindasyah,

Pernikahan Beda Agama, h. 28.

Page 45: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

seringkali dipegang oleh kelompok ini sebagai penguat alasan dilarangnya

perempuan muslim menikah dengan laki-laki non-muslim.

Dari paparan di atas terlihat bahwa pandangan yang tidak

memperbolehkan pernikahan beda agama pada umumnya beranjak dari suatu

keinginan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah yang,

menurutnya, hanya bisa tercipta jika terdapat kesamaan diantara suami dan istri,

termasuk kesamaan agama. Perbedaan agama merupakan hal fundamental yang

diduga kuat akan mempengaruhi keutuhan dan keharmonisan sebuah keluarga.

Alasan lainnya adalah bahwa dengan pernikahan beda agama dikhawatirkan akan

terjadi konversi (perpindahan) agama atau “pemurtadan”, terlebih jika yang dalam

kubu Islam kebetulan adalah pihak perempuan. Perempuan cenderung lebih lemah

dibandingkan laki-laki.

Kesimpulannya, karena diasumsikan bahwa perempuan memiliki iman

yang lemah, mudah goyah sehingga mudah tergoda untuk pindah memeluk agama

suaminya, seorang perempuan muslimah tidak diperbolehkan menikah dengan

laki-laki non-muslim sekalipun Ahl al-Kitab.

Berbeda dengan para ulama yang telah disebutkan di atas, Muhammad

Abduh, sebagaimana diungkap oleh Muhammad Rasyid Ridha, berpendapat

bahwa yang dimaksud dengan Ahl al-Kitab tidak terbatas pada penganut agama

Yahudi, Nashrani, Majusi dan Shabiin, melainkan para penganut semua agama.

Dengan demikian, menurutnya, Budha, Hindu, Konghucu, dan lain-lainnya pun

termasuk ahl al-kitab. Ahl al-Kitab dalam pengertian Rasyid Ridha adalah setiap

Page 46: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

kaum yang memiliki kitab suci dan pernah didatangi seorang Nabi.31

Lebih jelas

lagi, Ahl al-Kitab merupakan gambaran dari orang-orang yang tercerahkan.

Orang-orang yang ketika bertindak mempunyai pemandu, berupa ajaran yang

diyakini, tidak seperti orang musyrik yang jelas tidak mempunyai acuan, sehingga

bermusuhan dengan siapapun.32

Selain itu, kelompok yang memperbolehkan pernikahan antara laki-laki

muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab ini juga berargumen bahwa pernikahan

beda agama sudah dilakukan sejak sejarah permulaan Islam. Nabi Muhammad

sendiri bahkan pernah menikah dengan Sofia yang beragama Yahudi dan Maria

Qibtiyyah yang beragama Nashrani. Sementara di kalangan shahabat, Utsman bin

Affan menikah dengan Nailah binti Quraqashah al-Kalbiyah, Huzaifah menikah

dengan perempuan Yahudi di Madinah dan Thalhah bin Ubaidillah menikah

dengan perempuan Yahudi di Damaskus. Pada saat itu, tidak pernah dipersoalkan

apakah kemudian pasangan mereka itu masuk Islam atau tidak, artinya bebas.33

Lebih jauh dari itu, kelompok kedua ini juga berpendapat bahwa konteks

masyarakat yang sangat plural seperti sekarang ini, perbedaan agama tidak bisa

lagi menjadi suatu penghalang untuk melaksanakan sebuah pernikahan. Di

samping itu, Islam datang dengan membawa semangat pembebasan, bukan

belenggu. Tahapan-tahapan di dalam al-Qur’an dari mulai pelarangan menikah

dengan musyrik, kemudian membuka jalan bagi pernikahan dengan Ahl al-Kitab,

merupakan tahapan pembebasan yang evolutif. Penganut agama lain tidak lagi

31

Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al Manar, h. 193.

32 Nuryamin Aini, “Fakta Empiris Nikah Beda Agama,” wawancara diakses tanggal 22 Juni

2003, dari http://www.islamlib.com.

33Zainun Kamal dan Musdah Mulia, Penafsiran Baru, h. 7.

Page 47: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

dianggap sebagai kelas dua (second class), bukan pula Ahl al-Dzimmah,

melainkan sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.34

Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa pernikahan

beda agama merupakan konsekuensi logis dari realitas keberagaman agama

sebagaimana diakui sendiri oleh al-Qur’an. Untuk menjembatani ketegangan yang

selama ini terjadi diantara umat beragama, khususnya Islam dan Kristen, maka

pernikahan beda agama bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam upaya

membangun sikap toleransi antarumat beragama, sesuai dengan tujuan

pernikahan, yakni bukan hanya untuk membangun tali kasih sayang yang terdapat

dalam ikatan keluarga, melainkan juga relasi yang seimbang antara dua keyakinan

berbeda yang dilandasi oleh semangat toleransi dan saling menghargai.

Oleh karena itu, di tengah rentannya hubungan antar agama dalam

masyarakat modern dan plural sebagaimana terlihat dalam konteks keindonesiaan,

pernikahan beda agama justru bisa dijadikan wahana tidak hanya untuk merajut

kebahagiaan dua insan yang saling berbeda keyakinan, namun juga untuk

membangun kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama sekaligus dapat

merajut dan memperkuat kerukunan dan kedamaian.

B. Pernikahan Beda Agama dalam Pandangan Katolik

Dalam Katolik pernikahan merupakan suatu hal yang kudus. Kitab

kejadian menyatakan bahwa “tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja”.

Namun demikian, masalah kemudian muncul ketika pernikahan itu tidak

dilakukan oleh umat yang seagama, melainkan berbeda agama. Dalam pernikahan

34

Nurcholis Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama, h. 165.

Page 48: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

model demikian, gereja Katolik memandang bahwa pernikahan antara seseorang

yang beragama Katolik dengan yang bukan Katolik bukanlah bentuk pernikahan

yang ideal. Pasalnya, sekali lagi, pernikahan, dalam pandangan Katolik, dianggap

sebagai sebuah sakramen (sesuatu yang kudus, suci).35

Dua kitab suci yang dijadikan pegangan hukum umat Katolik, Kitab

Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, tak pelak membahas permasalahan seputar

pernikahan yang dilaksanakan oleh pasangan yang berbeda agama. Di samping

kedua sumber pokok ini, sebagai pelengkap dari kedua sumber hukum utama,

Katolik juga mempunyai sumber lain yakni Hukum Kanonik yang lebih

mendasarkan putusan hukumnya pada realitas kehidupan kemasyarakatan dan

lebih bersifat praktis. Berikutnya akan disajikan secara lebih lengkap mengenai

ulasan atau pandangan tentang pernikahan beda agama, menurut agama Katolik,

dari sumber-sumber yang telah disebutkan di atas.

1. Pernikahan Beda Agama dalam Perjanjian Lama

Pada Kitab kejadian, kitab yang menyoroti kehidupan bapak leluhur Israel,

dapat ditemukan beberapa kasus perkawinan beda agama. Beberapa bagian dalam

kitab tersebut yang memberi informasi berkenaan dengan kasus pernikahan beda

agama adalah:

i. Kejadian 6: ayat 5-6

Perkawinan beda agama seperti yang diinformasikan oleh al-Kitab dalam

kejadian 6: ayat 5-6 tersebut merupakan perkawinan yang tidak dikehendaki

35

Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish (Ed.), Pernikahan Beda Agama,; Kesaksian,

Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan, (Jakarta: Komnas HAM dan ICRP, 2005), h. 207.

Page 49: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Allah. Hal ini nyata direspon oleh Tuhan ketika melihat perkembangan yang

terjadi antara anak-anak manusia pada waktu itu. Tidak dikehendaki artinya

pernikahan yang melibatkan kaum Katolik dengan kaum non-Katolik adalah

terlarang, atau haram dalam bahasa Islam. Terlarangnya pernikahan seperti ini

karena bisa mengakibatkan bertambahnya dosa dalam kehidupan manusia dan

akan mendatangkan penyesalan dalam hati Tuhan.36

Ketika Tuhan melihat bahwa kejahatan manusia paling besar di bumi dan

bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan, maka

menyesallah Tuhan bahwa ia telah menjadikan manusia di bumi dan hal itu

sangat memilukan hatinya.

Di sini dapat dikatakan bahwa betapa besar kejahatan yang dilakukan oleh

manusia, kejahatan manusia itu tidak pernah berubah sampai saat ini. Salah satu

bentuk kejahatan yang dimaksud yaitu pernikahan beda agama. Istilah “menyesal”

dalam ayat ini menunjukkan bahwa akibat dosa umat manusia yang menyedihkan

itu, sikap allah terhadap manusia berubah yaitu sikap kemurahan hati dan sabar

berubah menjadi hukuman.37

ii. Ulangan 7: 3-4.

Bangsa Israel dilarang kawin dengan bangsa-bangsa diluar Israel.

Pelarangan pernikahan beda agama di sini berlaku untuk agama selain agamanya

bangsa Israel tanpa terkecuali. Hubungan pernikahan beda agama pada akhirnya

hanya akan menghancurkan hubungan manusia dan kekudusan Allah. Yang

dimaksud ayat ini yaitu bahwa permasalahan seperti pernikahan beda agama dari

umat Allah dengan orang yang tidak percaya hanya akan mengakibatkan umat

36

Lihat dalam kitab Kejadian 24

37 Al-Kitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Percetakan Lembaga Al-Kitab Indonesia, h.6

Page 50: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Allah akan berpaling dari agama, sehingga mereka akan beribadah selain kepada

Allah. Allah kecewa dan menghukum orang-orang yang kawin dengan bangsa

diluar Israel.

2. Pernikahan Beda Agama dalam Perjanjian Baru

i. Korentus 6: 14 dan 7: 1

Ayat ini menjadi salah satu ayat yang berisi penolakan terhadap

pernikahan beda agama. Ayat ini berbunyi “janganlah kamu merupakan pasangan

yang tidak seimbang dan orang-orang yang tidak percaya”. Terlihat jelas bahwa

penolakan atau larangan melakukan pernikahan beda agama dalam Katolik, dari

ayat ini, dikarenakan perbedaan kepercayaan. Tegasnya, maksud dari perkataan

tidak seimbang pada ayat di atas adalah suami istri yang tidak sama-sama

Kristiani, tidak sama-sama beragama Katolik.38 Yang beragana Katolik dianggap

kudus karena kelahirannya sudah melalui pembaptisan, sementara yang non-

Katolik tidak kudus karena tidak terlebih dahulu dibaptis, maka bisa disebut

sebagai pasangan yang tidak seimbang.

ii. Korentus 7: 12-16

Suami istri (pernikahan) yang tidak seiman sudah menjadi fakta yang telah

terjadi sejak gereja awal. Pernikahan beda agama sudah terjadi dan dihadapi oleh

Paulus. Katolik tidak lahir sebagai agama tunggal di muka bumi. Maka sejak

agama ini ada, kehidupan para penganutnya sudah senantiasa bersinggungan

dengan penganut dari agama dan keyakinan yang berbeda-beda (majemuk). Dari

sini, dalam hal membangun sebuah kekuarga, membangun pernikahan

kemungkinan terjadinya pernikahan beda agama menjadi tak bisa dihindari lagi.

38

Yonathan A. Trisna, Berpacaran dan Memilih Teman Hidup, (Bandung:Kalam Hidup

Pusat,1987) h. 53

Page 51: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Menyadari bahwa melarang seseorang untuk memilih pasangan hidup yang

berbeda agama adalah suatu hal yang tidak bijaksana, Paulus kemudian menulis:

“Kalau ada seorang saudara beristrikan seorang yang tidak beriman dan

perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah seorang itu

menceraikan dia. Dan kalau ada seorang istri bersuamikan seorang yang tidak

beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia

menceraikan laki-laki itu. (Kor 7: 12b-13).

Pernikahan beda agama dapat terus dilangsungkan atau diperbolehkan

dengan syarat pasangan tersebut dapat memenuhi beberapa persyaratan yakni mau

hidup bersama. Artinya, pasangan yang bukan beragama Katolik harus menerima

prinsip-prinsip moral kehidupan Kristiani tanpa menyebut syarat untuk berganti

agama menjadi Kristiani. Pernyataan ini sendiri sebenarnya bukan datang dari

Tuhan melainkan dari Paulus sendiri. Namun demikian Paulus meyakini bahwa

jika ikatan perkawinan antara pasangan yang berbeda agama (Katolik dan non-

Katolik) semacam ini tetap suci sebagaimana diungkapkan dalam kitab I Korentus

7:14 yang berbunyi: “karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh

istrinya dan istri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya”.

Pernikahan beda agama (melibatkan pasangan Katolik dan non-Katolik)

jika dapat memenuhi persyaratan sebagaimana dituliskan oleh Paulus tetap sah

dan kudus karena salah satu pasangan yang beragama Katolik akan secara

otomatis mengkuduskan pasangannya yang tidak Katolik, yang tidak pernah

diberkati melalui sakramen pembaptisan. Pernikahan beda agama tetap sah

asalkan memenuhi syarat tertentu.

3. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Kanonik

Dalam melengkapi hukum ilahi, sebagaimana termaktub pada kitab suci,

Gereja Katolik juga mempunyai hukum kanonik yang landasan hukum dan

penarikan kesimpulan hukumnya lebih berdasar kepada realitas kehidupan

Page 52: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

kemasyarakatan. Karena sifatnya yang demikian, hukum kanonik secara umum

lebih detail membahas kejadian atau fenomena-fenomena yang terjadi di

masyarakat, tak terkecuali fenomena pernikahan beda agama.

Hukum kanonik mengatakan bahwa ada sejumlah halangan yang membuat

tujuan perkawinan tidak dapat diwujudkan. Sejumlah halangan tersebut antara

lain: adanya ikatan nikah, dan kaul kebiaraan, tahbisan imam, hubungan

kekeluargaan baik secara biologis maupun hukum, usia yang belum mencukupi,

adanya tekanan atau paksaan baik secara fisik, psikis maupun sosial, adanya

indikasi kejahatan, ketidakmampuan secara fisik maupun secara psikis untuk

melakukan hubungan suami-istri, kesepakatan pranikah untuk tidak mempunyai

anak, perbedaan Gereja, dan juga perbedaan agama. Jika salah satu dari beberapa

pasal di atas terdapat pada pasangan yang hendak menikah maka pernikahannya

akan menjadi tidak sah.

Tentang perkawinan beda agama sendiri hukum kanon mengatakan:

“Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu sudah dibaptis dalam

Gereja Katolik atau diterima didalamnya dan tidak meninggalkannya secara

resmi, sedang yang lain tidak dibaptis adalah tidak sah”. (Kanon 1086 par. 1)39

Tegasnya, jika terjadi pernikahan beda agama dan di dalamnya terdapat atau

melibatkan umat Katolik kecil kemungkinan dapat dilaksanakan.40

Hukum Kanon Katolik, sebagaimana juga hukum-hukum yang terdapat

pada kitab suci, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, menyatakan dengan tegas

bahwa perkawinan orang yang beragama Katolik dengan orang yang beragama

39

Maria Ulfa Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama

Pespektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta:Kapal Perempuan, 2004), h. 53.

40 David Sriyanto, Perkawinan Orang yang Berbeda Agama, (Jakarta: Sekolah Tinggi

Teologi Jakarta, Thesis, 1992), h. 58.

Page 53: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

non-Katolik adalah tidak sah. Gereja, lebih jauh, melihat perkawinan beda agama

merupakan perkawinan yang tidak diharapkan dan dilihat sebagai perkawinan

yang tidak seharusnya.

Namun demikian, tidak seperti dua kitab suci Katolik yang utama, hukum

Kanonik Katolik dapat merestui pernikahan beda agama yang melibatkan umat

Katolik di dalamnya dengan catatan pasangan tersebut dapat memenuhi

persyaratan-persyaratan yang tercantum dalam hukum Kanon. Artinya, Gereja

akan memberikan dispensasi bagi pasangan beda agama yang hendak

melangsungkan pernikahan dengan syarat sebagaimana terdapat pada Hukum

Kanon: 1125 dan 1126 yang berbunyi:

Kanon: 1125: “ijin semacam itu (untuk pernikahan beda agama yang di dalamnya

melibatkan umat Katolik) dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat

alasan yang wajar dan masuk akal, ijin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi

syarat-syarat sebagai berikut: 1) Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan

bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan

berbuat sesuatu dengan sekuat tenaga agar semua anaknya dibaptis dalam gereja

Katolik; 2) Mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak Katolik itu pihak

yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa

ia sungguh sadar akan janji dari kewajiban pihak Katolik; 3) Kedua pihak

hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan secara sifat-sifat hakiki

perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya”.41

Kanon: 1126: “menjadi kewenangan Majelis Wali gereja untuk menentukan baik

cara pernyataan dan janji yang selalu dituntut itu, harus dibuat, maupun cara

bagaimana hal-hal itu jelas dalam tata lahir.42

Dispensasi di atas dapat terlaksana jika adanya ijin dari uskup setempat

dengan mengikuti pesyaratan-persyaratan yang sudah ditetapkan. Dispensasi dari

uskup ini juga baru dapat diberikan jika diantara kedua pasangan perkawinan beda

agama ini mempunyai kesadaran untuk membina keluarga yang baik dan utuh

41

Ichtiyanto, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia, ( Jakarta: Badan

Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2003), h. 130. Lihat juga Sriyanto,

Perkawinan Orang yang Berbeda Agama, h. 58-59.

42 Ichtiyanto, Perkawinan Campuran, h. 130

Page 54: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

setelah perkawinan, juga untuk kepentingan pemeriksaan untuk memastikan tidak

adanya halangan perkawinan. Jika syarat-syarat yang disebutkan di atas tidak

dipenuhi maka uskup belum dapat mengijinkan pelaksanaan pernikahan beda

agama.

Di sini Wali Gereja harus membuat perjanjian baik lisan maupun tulisan

terhadap calon pasangan perkawinan beda agama di depan saksi mengenai janji-

janji yang sudah dinyatakan oleh pasangan perkawinan beda agama. Syarat-syarat

di atas harus benar-benar diperhatikan oleh pasangan perkawinan beda agama,

karena jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi perkawinan yang dilaksanakan

menjadi tidak sah.

Dengan adanya syarat-syarat yang terdapat pada kanon 1125 ini, jelaslah

bahwa agama Katolik secara ekplisit sebenarnya sudah membuka ruang

kemungkinan untuk terlaksananya pernikahan beda agama yang melibatkan

umatnya. Kendati demikian, persyaratan yang sebagaimana termaktub dalam

Kanon 1125 dan 1126 masih mengindikasikan kecemasan akan terjadinya

konversi agama. Sehingga mencegah penganutnya untuk beralih agama atau

minimal mencegah akan kemungkinan terjadinya penurunan kualitas keimanan

penganutnya setelah melakukan pernikahan dengan penganut agama lain.

Page 55: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

BAB IV

ANALISIS KOMPARATIF

TERHADAP FENOMENA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

A. Fakta Pluralitas di Indonesia

Pernikahan beda agama dalam konteks Indonesia yang terdiri dari

manusia-manusia, etnis, suku bangsa, bahasa, budaya dan agama beragam

menjadi fenomena yang sangat mungkin terjadi, bahkan tak terelakkan. Suatu hal

yang tentunya sangat alamiah jika pemeluk dari satu agama dengan pemeluk

agama lain saling berinteraksi, membangun relasi, pertemanan, bahkan

persaudaraan, termasuk dalam ikatan pernikahan.

Fenomena yang sangat alamiah itu semestinya tidak berimplikasi terhadap

apapun. Sayangnya, di Indonesia hal itu muncul lebih sebagai masalah ketimbang

berkah. Maka tak bisa disangkal kalau sebenarnya ada sejenis kepentingan yang

dimainkan di balik pelarangan atau minimal sulitnya melangsungkan pernikahan

beda agama di negeri ini. Siapakah mereka yang berkepentingan ini? Kamala

Chandrakirana, dalam pengantar buku Perkawinan Lintas Agama Perspektif

Perempuan dan Pluralisme yang diterbitkan oleh Kapal Perempuan, memberi

jawaban cukup tegas. Baginya, pihak yang paling tergantung terhadap pernikahan

beda agama adalah pihak yang mempunyai kepentingan tertentu dengan institusi

perkawinan itu sendiri.43

43

Kamala Chandrakirana, “Kata Pengantar”, dalam Maria Ulfah Anshor (ed), Tafsir Ulang

Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme (Jakarta : KAPAL Perempuan,

2004)

Page 56: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Dari situ dapat dikatakan bahwa pelarangan atau resistensi beberapa

kelompok terhadap pernikahan beda agama, bukan sesuatu yang berjalan secara

alamiah. Respon demikian hadir karena memang ada pihak-pihak tertentu yang

mempunyai kepentingan di belakangnya. Untuk kembali mempertegas ungkapan

Chandrakirana, “orang dalam” institusi perkawinan itulah yang justru punya

permainan. Tentunya, ini tidak murni kepentingan agama. Kesimpulan ini bisa

ditarik karena faktanya tak ada satu agama pun yang hadir dengan eksklusifitas

spesial ketimbang agama-agama lainnya. Maka semua agama sejatinya

menempatkan posisi umat dari setiap agama sebagai umat yang setara. Semua

agama mengakui pluralitas umat manusia, tak ada satu pun yang menganggap

bahwa hanya umat dari agamanyalah yang berhak hidup dan melangsungkan

keturunan di dunia.

Dalam konteks itu, Indonesia sebagai negara besar, berpenduduk lebih dari

dua ratus juta jiwa dan plural dari segala aspeknya, hendaknya mengerti sekaligus

memperhatikan betul kemungkinan terjadinya hubungan lintas agama di antara

warga negaranya. Indonesia harus sangat sadar bahwa kemajemukan yang

embodied pada tubuhnya tak selamanya berjalan dan terawat dengan rapih. Hal itu

mesti ditekankan betul karena kemajemukan selain bisa menjadi sebuah kekayaan,

pada dirinya sendiri, ia menyimpan benih disintegrasi dan perpecahan. Perbedaan

yang dimiliki bangsa tak ubah seperti sekam dalam tumpukan jerami. Ia tidak

terlihat berbahaya, tetapi sekali mengemuka bisa membakar semuanya,

menghilangkan semua harmoni yang sebelumnya mendominasi permukaan.

Mungkin masih lekat dalam ingatan bagaimana kasus Ambon dan Poso, di mana

masyarakat saling bergolak karena tidak memahami esensi kemajemukan.

Page 57: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Dalam meretas gagasan di tengah-tengah kemajemukan inilah, esensi

pluraslisme dan dialog antaragama patut dibangun. Banyak titik awal untuk

memulai dialog dan kerjasama lintas agama. Di masa Orde Baru, istilah dialog

dan kerjasama tidak begitu populer. Namun demikian, berbagai upaya untuk

mempererat hubungan antaragama telah dilakukan baik oleh pemerintah, melalui

Departemen Agama (Depag), maupun oleh individu-individu tokoh dan lembaga-

lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Istilah toleransi dan kerukunan umat beragama awalnya diprakarsai oleh

pemerintahan Orde Baru, tepatnya oleh Depag, walaupun secara praktis masih

belum banyak dilakukan. Dalam konteks ini, perlu disebut nama Prof. Dr. Mukti

Ali. Ketika menjadi Menteri Agama periode 1971-1978, ia membentuk proyek

kerukunan hidup antarumat beragama yang menyelenggarakan dialog antar-tokoh-

tokoh agama. Depag juga membentuk Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama

yang rutin menyelenggarakan pertemuan bersama. Wadah-wadah ini dibentuk

bersama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja di

Indonesia (PGI), Konferensi Wali-Wali Gereja di Indonesia (KWI), Parisada

Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Perwakilan Umat Budha Indonesia

(Walubi).44

Proyek kerukunan antarumat beragama atau toleransi dilakukan oleh

pemerintah dalam konteks integrasi nasional, atau secara spesifik untuk

menciptakan stabilitas dalam menunjang pembangunan nasional.

Kendati pemerintah merupakan pihak pemrakarsa, secara resmi sering

dinyatakan bahwa esensi kerukunan merupakan tanggung jawab agama. Karena

44

Nurcholis Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,

(Jakarta: Paramadina dan The Asia Foundation, 2004), h. 198.

Page 58: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

itu, apabila terjadi perselisihan baik intern suatu agama maupun antarumat

beragama, seyogyanya harus diselesaikan oleh umat beragama itu sendiri.

Dengan kata lain, ungakapan di atas mengandung pesan bahwa di Indonesia

agama tidak berada di bawah bayang-bayang kekuasaan dan pengaruh

pemerintah. Hubungan agama dan negara merupakan hubungan yang konsultatif

dan partnership (kemitraan), bukan hubungan dominatif. Sebab, Indonesia

memang tidak di desain sebagai negara agama.

Persentuhan agama dengan ide-ide demokrasi yang telah ramai disuarakan

sejak awal 1990-an, yakni pasca runtuhnya Komunisme yang diklaim sebagai

kemenangan demokrasi liberal, membuat forum-forum keagamaan menjadi lebih

terbuka terhadap segala ide yang berkembang. Dalam konteks Indonesia,

misalnya, sudah cukup sering dilakukan seminar-seminar ilmiah berskala lokal,

nasional, bahkan internasional yang mengambil tema-tema dialog antaragama,

peradaban dan globalisasi, Islam dan Barat, dan sebagainya. Semua itu tak lain

merupakan bukti bahwa agama kini tidak bisa mengisolasi diri, apalagi

menghindar, dari pergaulan global dan globalisasi. Ide keterbukaan (glasnot) yang

digulirkan oleh Mikhail Gorbachev semasa menjadi presiden Uni Soviet yang

kemudian memacu gelombang demokratisasi di seluruh Eropa Timur, bukan

hanya menjadi gejala yang khas berkembang di negeri-negeri bekas Komunis. Hal

tersebut merupakan fenomena global, termasuk gejala agama-agama.

Dialog antaragama adalah sebentuk aktivitas yang coba menyerap ide

keterbukaan itu. Dialog tidak mungkin dilakukan tanpa adanya sikap terbuka

antara dua belah pihak. Karenanya, dialog antaragama memiliki arti yang amat

penting untuk menyingkap ketertutupan dalam hubungan antaragama yang selama

Page 59: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

ini membeku. Hubungan antar agama yang selama ini terjadi, tanpa bermaksud

membuang fakta harmoni antaragama dalam forum dan organisasi-organisasi

tertentu, masih cenderung diliputi rasa saling curiga, menganggapnya sebagai

indoktrinasi, kristenisasi dalam anggapan umat Islam dan Islamisasi dalam

anggapan umat Kristiani, dan lain sebagainya. Sebuah hubungan yang tidak

dilandasi rasa saling percaya dan saling menghormati.

Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi, dialog yang dikembangkan

masih kerap dilakukan sebatas dalam forum-forum seminar di kampus-kampus

dan di tempat-tempat yang eksklusif, tidak dapat diakses oleh semua umat

beragama. Parahnya lagi, aplikasi dari dialog masih hanya mengejawantah dalam

bentuk jargon. Belum beranjak ke arah tindakan yang praksis. Itupun hanya

dilakukan oleh segelintir orang dari masing-masing agama. Beberapa kemajuan

sebagai implikasi dari forum dialog antaragama memang cukup membanggakan,

mulai terbangun rasa saling percaya dan menghormati pada kelompok atau

komunitas agama tertentu. Sayangnya ini, lagi-lagi, tidak menjadi mainstream,

bahkan cenderung dicurigai dan dinilai negatif oleh internal masing-masing

agama komunitas tersebut. Di atas segalanya, dialog antaragama sejatinya perlu

terus dikembangkan, selain mengingat kondisi pluralitas bangsa Indonesia, juga

karena persoalan globalisasi. Dua faktor besar tersebut menjadikan hubungan

antarmanusia, kini, tidak bisa disekat oleh norma budaya dan agama tertentu,

melainkan menerobos batas-batas itu dan mengatasi segalanya.

Di luar faktor agama, dalam konteks budaya bangsa, keragaman yang

dimiliki bangsa ini, sekali lagi, dapat menjadi kekayaan dan penambah keindahan,

tetapi juga sekaligus dapat menjadi bahaya dan seumber kerusakan. Masih belum

Page 60: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

kering dalam ingatan beberapa kasus di tanah air yang terjadi atas dasar

perselisihan Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan (SARA). Kasus Ambon,

Poso, Luwu, dan lain sebagainya seakan semakin menahbiskan betapa

berbahayanya keragaman bangsa ini jika tidak didialogkan. Selain itu, muncul

juga sedikit pertanyaan, jika dialog agama telah lama dilakukan dan hingga kini

masih terjadi berbagai kasus berdarah yang berlatar perbedaan agama, bukankah

berarti bahwa pola dialog antaragama yang selama ini dilakukan kurang

memberikan manfaat.

Berangkat dari pertanyaan ini, sudah saatnya pula digagas pola dialog

antaragama dalam bentuk lain. Pola dialog antaragama yang tidak hanya selesai di

seminar-seminar atau buku-buku saja. Bukan sekedar dialog dan toleransi yang

melangit dan mewacana, tidak membumi dalam tindakan praktis. Sudah saatnya

sekarang merekontruksi pola hubungan antaragama yang secara kongkrit bisa

dipraktekkan untuk mengikat pluralitas bangsa Indonesia. Salah satu cara yang

mungkin bisa dilakukan adalah dengan tidak melarang atau menghalang-halangi

pasangan yang akan melakukan pernikahan beda agama. Sudah tidak dapat

ditolerir lagi sikap curiga buta atau ketakutan atas agama lain, karena pluralitas

sendiri memang tidak bisa dibatasi termasuk oleh pernikahan.

Di samping itu, pelarangan pernikahan beda agama jelas merupakan

bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Karena pernikahan adalah hak

yang asasi bagi setiap manusia. Setiap orang boleh menikah dengan siapa saja

yang dia anggap bisa membahagiakan dirinya dan melangsungkan keturunannya.

Lagipula, segala konseksuensi yang ditimbulkan oleh pernikahan akan di

tanggung oleh orang yang menjalaninya. Baik atau buruk, duka atau bahagia

Page 61: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

hanya akan ditanggung oleh para pelaku yang menjalaninya. Karena itulah,

seharusnya tidak boleh ada larangan untuk melakukan pernikahan campur. Setiap

orang boleh saja menikah dengan pasangan yang berbeda agama asalkan ia

meyakini bahwa pasangannya tersebut bisa membahagiakan dirinya. Sama sekali

tidak ada urusannya dengan intitusi agama atau bahkan negara.

Dilihat dari pertimbangan agama sendiri, pelarangan terhadap pernikahan

beda agama merupakan tindakan yang sama sekali tidak bijak, baik berdasarkan

ajaran agama Islam mupun Katolik (pembahasan utama tulisan ini). Setiap ajaran

agama mengajarkan tentang nilai-nilai dasar kemanusiaan dan cinta kasih.

Tentunya, prinsip tersebut sejalan dengan cita-cita pihak yang ingin melakukan

pernikahan beda agama, yang memang mendasarkan hubungan atas dasar cinta

kasih sesama manusia, tanpa memandang “baju” dan keyakinan apa yang mereka

kenakan dan miliki. Dalam Islam, dikenal konsep bahwa Islam adalah agama

rahmatan li al-‘alamiin, agama yang memberi rahmat, cinta kasih bagi seluruh

alam semesta. Konsep demikian membawa implikasi bahwa setiap mahluk di

seluruh dunia, baik yang beragama Islam maupun non-Islam, selayaknya

mendapatkan atsar yang baik dari keberadaan agama Islam.

Konsep serupa juga dimiliki oleh Katolik. Katolik mendefinisikan dirinya

juga sebagai agama penebar cinta kasih. Yesus sebagai pembawa ajaran Kristiani

hadir dengan membawa pesan utama cinta kasih terhadap semua manusia. Pesan

utama Yesus tersebut tentunya relevan untuk diterapkan dalam pernikahan beda

agama. Karena cinta kasih tidak memandang kaya miskin, suku-bangsa, bahasa,

budaya, negara dan agama.

Page 62: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

B. Perdebatan Kontemporer Pernikahan Beda Agama di Indonesia

Hampir semua fenomena, pada dirinya sendiri, menyimpan pro dan kontra.

Tanpa terkecuali fenomena pernikahan beda agama. Pro-kontra yang meliputi

pernikahan beda agama itu sendiri mungkin sudah setua kehadiran berbagai

agama, bahkan sejak adanya perbedaan dalam umat manusia.

Dalam konteks Islam dan Katolik, kontroversi perihal pernikahan beda

agama lebih diwarnai oleh pendapat yang dimiliki oleh kelompok konservatif dan

kelompok moderat dalam memahami teks dan penafsiran agama. Pihak pertama

adalah golongan yang cenderung menolak terjadinya pernikahan beda agama,

sementara pihak kedua menjadi golongan yang menerima. Golongan pertama

memandang agama sebagai sesuatu yang “saklek” dan paten, tidak bisa diubah

lagi. Beragama adalah menjalani aturan-aturan yang telah tertulis tanpa banyak

pertanyaan, dan menganggap bahwa segala ijtihad untuk menyarikan kebenaran

secara lebih mendalam dianggap sebagai bid’ah dan menyesatkan.

Dalam konteks Islam, perdebatan tentang pernikahan beda agama hingga

kini tetap diwarnai dengan penafsiran atas kata Musyriq dan Ahl al-Kitab yang

terdapat dalam teks al-Quran. Pihak yang menolak pernikahan beda agama dari

kalangan Islam, misalnya, beranggapan bahwa Islam adalah agama yang

sempurna, dengan mengutip beberapa ayat al-Quran, seperti an-Nahl: 89.45

Bagi

kalangan ini, aturan-aturan pernikahan yang ada dalam al-Quran sudah merupakan

aturan yang final dan tidak dapat diubah lagi. Golongan ini berkeyakinan bahwa

al-Quran, sebagai kitab suci, sudah mengatur segala aspek pernikahan secara

45

Budi Handrianto, Pernikahan Beda Agama Dalam Syari’at Islam (Jakarta: PT. Kairul

Bayan, 2003), h. 14.

Page 63: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

komprehensif.46

Pemahaman yang dikemukakan cenderung tekstualis tanpa

mempertimbangkan konteks perkembangan sejarah.

Sebaliknya, pihak yang menerima pernikahan beda agama memiliki

pemahaman agama lebih kontekstual. Pihak ini cenderung menganggap bahwa

teks agama tidaklah berdiri sendiri tanpa intervensi ruang dan waktu. Sebuah teks

agama merupakan hasil kerjasama yang sinergis antara “maksud Tuhan” dengan

setting sosial pada waktu teks tersebut diturunkan. Karena itu, untuk bisa

menyarikan kebenaran yang sejati dari sebuah teks agama, perlu dilakukan

pemaknaan atas konteks saat teks tersebut diturunkan, lalu dihubungkan dengan

konteks kekinian. Memaknai kata Musyriq dan Ahl al-Kitab harus juga

memperhatikan setting sosial saat teks tersebut diturunkan. Tidak bisa hanya

sekedar dimaknai sesuai dengan arti dari kamus atau kitab terjemahan saja.

Dari situ, sangat bisa dimaklumi kalau pihak yang menolak pernikahan

beda agama memaksudkan Ahl al-Kitab terbatas pada agama-agama Ibrahim

(Abrahamic Religions), yaitu Kristen dan Yahudi. Mereka menganggap bahwa

hanya agama-agama tersebutlah yang memiliki kitab suci asli dari “langit”.

Mereka menganggap bahwa agama-agama selain yang disebutkan di atas bukan

berasal dari wahyu Tuhan, melainkan ciptaan manusia. Bahkan, bagi mereka,

kaum Kristen dan Yahudi sekarang ini tidak bisa dianggap sebagai Ahl al-Kitab

lagi karena terlalu banyak penyimpangan yang dilakukan atas kitab sucinya.

Walhasil, kemungkinan untuk melakukan pernikahan beda agama menurut

golongan ini sudah benar-benar tidak mungkin.

46

Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 14.

Page 64: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Pihak yang menolak pernikahan beda agama juga melakukan generalisasi

bahwa orang yang menikah beda agama tidak akan berbahagia. Pernikahan

tersebut tidak akan bertahan lama. Selain itu, mereka juga mempertanyakan

tentang nasib anak-anak yang lahir dari keluarga yang melakukan pernikahan

beda agama tersebut47. Di luar perdebatan pemaknaan teks-teks agama, pihak

yang menolak pernikahan beda agama kerap menyela pemikiran pihak yang

menerima. Mereka beranggapan bahwa pendapat kalangan yang menerima

pernikahan beda agama adalah nyleneh dan tidak berdasar.48

Bahkan tak jarang

“mengkafirkan” para tokoh yang memperbolehkan pernikahan beda agama.

Sedangkan pihak yang menerima pernikahan beda agama menganggap

bahwa yang disebut Ahl al-Kitab bukan hanya agama Kristen dan Yahudi saja,

tetapi semua agama yang mengakui adanya Tuhan yang Esa, yang memiliki kitab

suci sebagai panduan hidup mereka. Dalam kategori ini, maka agama Budha dan

Konghucu masuk dalam hitungan.49 Selain itu, mereka memiliki tafsir tersendiri

atas pemaknaan Kafir (atau Musyriq) dan Ahl al-Kitab. Sebutan untuk golongan

Kafir selalu merujuk kepada kaum Kafir Quraiys di Mekkah yang selalu menindas

kaum Muslim. Juga adakalanya merujuk kepada bangsa yang melakukan invasi

kepada Islam seperti bangsa Persia dan Romawi. Perlu dicatat, bahwa bangsa

Romawi dan Persia juga beragama Kristen dan Yahudi. Sedangkan istilah Ahl al-

Kitab merujuk kepada kaum non-Muslim yang tidak melakukan invasi atau

upaya-upaya yang mengancam keberlangsungan Islam, baik yang beragama

Kristen, Yahudi (Abrahamic Religion) maupun lainnya. Bahkan, tercatat

47

Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 26-27.

48 Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 114.

49 Nurcholis Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis

(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina Bekerjasama dengan The Asia Fondation, 2003), h. 48.

Page 65: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Rasulullah SAW sendiri pernah menikahi wanita non-Muslim yang bernama

Mariatul Qibtiyah. Wanita ini beragama Kristen Koptik, atau Kristen dari Syiria.

Tipikal kalangan penolak pernikahan beda agama dapat dilihat

sebagaimana dicontohkan oleh pandangan-pandangan Budi Handrianto. Budi

menyebutkan bahwa pernikahan beda agama adalah haram. Kebahagiaan hakiki

berada dalam institusi rumah tangga50

. Karena itu, dalam rumah tangga harus

dibangun sinergitas antara suami dan isteri. Hal tersebut belum terlaksana bila

pasangan suami isteri berbeda agama. Budi juga mempertanyakan pendidikan

anak hasil pernikahan campur.51

Budi mengkhawatirkan anak-anak dari

masyarakat Muslim akan beralih agama ke non-Muslim karena pernikahan

campur. Budi juga mengritik perilaku dari artis-artis yang gemar melakukan

pernikahan campur52.

Pendapat yang melarang pernikahan beda agama juga diperkuat oleh

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah menerbitkan fatwa mengenai

keharaman melakukan pernikahan beda agama. Dalam fatwa Majelis Ulama

Indonesia nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang pernikahan beda agama,

MUI memutuskan bahwa :

1. Pernikahan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim adalah

haram hukumnya.

2. Seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan

Muslim.

50

Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 20.

51 Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 26.

52 Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 30.

Page 66: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Tentang pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kitab sendiri

masih terdapat perbedaan pendapat. Namun, dengan mempertimbangkan bahwa

mafsadah-nya akan lebih besar daripada maslahatnya, MUI kemudian

memfatwakan pernikahan tersebut juga hukumnya haram.53

Fatwa-fatwa yang dikeluarkan baik oleh MUI maupun para ulama

Nahdlatul Ulama (NU) dari 1960-an hingga 1990-an tentang pernikahan beda

agama ternyata tidak mengalami perubahan dan fleksibilitas yang signifikan.

Hampir semua fatwanya berisi penolakan terhadap pernikahan beda agama.

Ulama-ulama NU, pada tahun 1962, mengeluarkan larangan pernikahan beda

agama, disusul kemudian oleh fatwa yang sama pada 1968 dan 1969. MUI Jakarta

mengeluarkan fatwa senada pada 1975, diikuti fatwa MUI pusat pada 1980.

Kemudian MUI Jakarta kembali mengeluarkan surat publik yang menegaskan

larangan pernikahan beda agama dalam situasi apapun pada tahun 1986.54

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa fatwa-fatwa tersebut tidak

berubah? Komentar Mohammad Atho Mudzhar menanggapi hal ini menarik untuk

disimak:

“Dikeluarkannya fatwa oleh MUI yang melarang kaum Muslimin pria dan wanita

untuk kawin dengan orang yang bukan Islam bahkan juga dengan orang-orang

ahl al-kitab, rupanya didorong oleh keinsyafan akan adanya persaingan keagamaan kendatipun ada kenyataan khusus al-Qur’an yang memberi izin

kepada kaum pria Islam untuk mengawini wanita Ahl al-Kitab. Hal ini boleh jadi

berarti bahwa persaingan itu sudah dianggap para ulama telah mencapai titik

rawan bagi kepentingan dan pertumbuhan masyarakat Muslim, sehingga pintu

bagi kemungkinan dilangsungkannya pernikahan antaragama harus ditutup sama

sekali.”55

53

Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia

(Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Inddonesia Mesjid Istiqlal, 1995), h. 91.

54 Muhammad Ali, “Fatwas on Inter-faith Marriage in Indonesia,” Studia Islamika:

Indonesian Journal for Islamic Studies 9, no. 3 ( 2002): h. 1.

55 Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (Sebuah Studi tentang

Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1979-1988) (Jakarta: INIS, 1993), h. 103.

Page 67: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Lebih lanjut dia menilai bahwa fatwa-fatwa tersebut sangat radikal karena selain

berlawanan dengan apa yang secara jelas dinyatakan oleh al-Quran juga

bertentangan dengan kitab-kitab fiqh klasik yang biasanya dirujuk oleh MUI

sendiri untuk membuat fatwa-fatwa.

Paparan di atas menerbitkan suatu pemahaman bahwa ternyata fatwa-

fatwa pelarangan pernikahan beda agama muncul dalam konteks ketegangan

antara umat Islam dengan umat Kristen yang sudah terjadi berabad-abad. Hal lain

dapat juga diutarakan bahwa kemunculan fatwa semacam itu tidak hanya

menggambarkan wacana mengenai hukum Islam tapi lebih mencerminkan sikap

dan persepsi para pemuka Islam terhadap penganut agama lain. Ini tercermin dari

komentar beberapa tokoh Islam ketika mengomentari maraknya pernikahan beda

agama dewasa ini.

Amidhan, Ketua MUI, berpendapat bahwa pernikahan beda agama harus

dihindari karena selain bertentangan dengan Undang-undang Pernikahan Nomor I

Tahun 1974, juga dikhawatirkan menimbulkan pergeseran makna pernikahan

menurut Islam. Dalam ajaran Islam, pernikahan memiliki makna sakral. Dengan

menikah diharapkan terwujud sebuah keluarga yang sakinah. Berdasarkan tujuan

pernikahan tersebut maka pada prakteknya akan sulit membangun kelurga sakinah

melalui fondasi perbedaan agama dalam satu atap. Al-Quran memang

memperbolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahl al-Kitab,

meski para ulama masih bersilang pendapat. Terlepas dari silang pendapat

tersebut yang perlu digarisbawahi adalah motif dari pernikahan beda agama itu

Page 68: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

sendiri. Kalau motifnya untuk mengagamakan salah satu pasangan ke agama yang

lain, maka hal itu jelas bertentangan dengan tujuan suci pernikahan oleh agama.56

Husein Umar, Sekjen Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)

berpendapat senada dengan Amidhan. Menurutnya pernikahan beda agama tidak

dapat diterima karena bertentangan dengan aqidah Islam dan undang-undang yang

ada (UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan). Islam tidak boleh menganggap

sepele masalah pernikahan beda agama. Ada sinyalemen bahwa maraknya

pernikahan beda agama di beberapa daerah merupakan bagian dari strategi

pemurtadan. Baginya, pernikahan beda agama tidak ada kaitannya dengan

toleransi antarumat beragama. Senada dengan itu, Muslimat NU mengemukakan

bahwa sebaiknya pernikahan beda agama dilarang secara tegas, tujuannya untuk

mencegah pemurtadan dan kehancuran pernikahan.57

Dari komentar tokoh-tokoh Islam yang telah dipaparkan di atas, tak heran

apabila orang-orang yang melakukan pernikahan beda agama dianggap telah

melanggar cita-cita agama dalam hal memelihara aqidah dan menjaga identitas

serta integritas komunitas (dalam hal ini Islam).

Quraisy Syihab termasuk salah seorang ulama tafsir yang memaknai Ahl

al-Kitab terbatas pada umat Yahudi dan Kristen, baik yang ada sebelum Islam

maupun setelah datangnya Islam. Menurutnya, laki-laki Muslim diperbolehkan

menikah dengan perempuan Ahl al-Kitab, yakni Yahudi dan Kristen, kalau

mereka memang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatannya sebagaimana

56

“Ada Motif di Balik Pelaminan,” Tabloid Republika Dialog Jum’at, 15 Agustus 2003, h.

4.

57 “Galeri Pendapat: Pro-Kontra Nikah Beda Agama di Kalangan Ulama,” Tabloid Jum’at,

12 September 2003, h. 5.

Page 69: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

diungkapkan dalam surat al Maidah di atas, (wal muhshshanatu minal ladzina utul

kitab).

Nada yang berbeda dikemukakan oleh Musdah Mulia. Menurutnya,

kekhawatiran sebagian umat Islam akan terjadinya konversi agama dari pihak

Muslim jika menikah dengan non-Muslim, berangkat dari sindrom psikologis,

yakni umat Islam seringkali dihinggapi rasa tidak percaya diri dan rasa takut yang

berlebihan, yang tidak beralasan. Meskipun mayoritas, umat Islam Indonesia

cenderung bersikap atau bermental minoritas. Lebih dari itu, kalaupun pernikahan

beda agama diperbolehkan, maka umat Islam selalu menginginkan pihak Muslim

mampu mempengaruhi pasangannya agar melakukan konversi agama, dan jika

terjadi sebaliknya, umat Islam pun menjadi murka dan mengutuknya. Hal ini

disebabkan yang pertama identik dengan kemenangan dan yang kedua identik

dengan kekalahan, dan umat Islam hanya ingin menang. Lebih parah lagi, sikap

dan pikiran yang sangat tidak sehat ini ternyata tidak hanya didapati di kalangan

Muslim, tetapi juga di kelompok agama yang lain.58

Budhy Munawar-Rahman menilai bahwa kondisi masyarakat kini yang

sangat plural mengakibatkan terjadinya interaksi yang tidak mungkin lagi

dikendalikan, ia menjadi tidak terbatas. Maka, menurutnya, negara telah berlaku

ekslusif saat menetapkan Undang-undang Pernikahan yang tidak memberi ruang

bagi pernikahan beda agama.59

Senada dengan itu, Ulil Abshar Abdala,

Koordinator Jaringan Islam Liberal, mengungkapkan bahwa dalam Islam

pernikahan beda agama itu tidak ada masalah. Islam, menurutnya, adalah agama

58

Zainun Kamal dan Musdah Mulia, Makalah: Penafsiran Baru Islam Atas Pernikahan

AntarAgama, Oktober 2003, h. 11.

59 “Pernikahan Campuran: Ibu Dominan, Anak Bingung,” Tabloid Republika Dialog

Jum’at, 15 Agustus 2003, h. 3.

Page 70: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

revolusioner. Hal itu terbukti dengan diperbolehkannya pernikahan antaragama

meski pada saat itu masih sebatas untuk laki-laki Muslim yang menikahi Ahl al-

Kitab. Revolusi seperti itu harus diteruskan sehingga pernikahan beda agama tidak

dilarang. Kesulitan pernikahan beda agama sebetulnya lebih kepada kesulitan

birokrasi, bukan kesulitan secara agama. Islam sendiri justru percaya bahwa

semua agama itu benar.60

Sedangkan menurut Zainun Kamal, secara eksplisit al-Quran sebenarnya

mengizinkan seorang laki-laki Muslim untuk menikah dengan wanita non-

Muslim. Hal tersebut disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 5. Zainun

mengatakan bahwa dalam ayat tersebut dinyatakan alladzîna ûtu al-kitab, orang-

orang-orang yang mempunyai kitab suci.61

Zainun berpendapat bahwa al-Quran mengkategorisasikan kaum non-

Muslim menjadi golongan Musyriq, Mukmin dan Ahl al-Kitab. Orang Musyriq

bisa didefinisikan sebagai mereka yang percaya pada adanya Tuhan tetapi juga

mempersekutukan dengan lainnya, serta tidak percaya pada kitab suci dan atau

tidak percaya pada salah seorang nabi. Kaum musyrik yang disebut disini adalah

kaum musyrik Mekkah dan secara hukum Islam tidak boleh sama sekali dinikahi.

Sedangkan Ahl al-Kitab adalah mereka yang percaya pada salah seorang Nabi dan

salah satu kitab suci.

Teks yang tertera dalam al-Quran surat al-Mâ’idah adalah orang-orang

yang diberikan kitab atau Ahl al-Kitab. Golongan ini mempercayai kebenaran

kitab suci mereka dan yang diutus kepada mereka adalah seorang Nabi. Maka,

60

“Pernikahan Mei Menuai Kontroversi,” Gatra, 21 Juni 2003, h. 19.

61 Petikan wawancara dengan Zainun Kamal, dalam www.islamlib.com. Tanggal akses 29

desember 2007.

Page 71: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

menurut Zainun, menikahi golongan ini diperbolehkan. Misalnya, orang Budha

menganggap mereka punya kitab suci dan Budha Gautama adalah seorang Nabi.

Konghuchu, dianggap Nabi dan mempunyai kitab suci. Demikian juga dengan

Sintho. Jadi, pemeluk agama-agama tersebut dianggap sebagai Ahl al-Kitab.

Begitu juga dengan pemeluk agama Yahudi, yang memiliki kitab taurat dan

percaya kepada rasul yang diutus kepada mereka, yakni Nabi Musa. Juga umat

Nasrani yang memiliki kitab suci yang rasul.

Mengenai persoalan hanya Muslim laki-laki yang boleh menikahi wanita

non-Muslim, Zainun mengatakan bahwa hal tersebut perlu untuk ditinjau ulang.

Karena pada akhirnya, tanggungjawab untuk mendidik anak ada pada kaum

perempuan. Sehingga, dalam pernikahan beda agama, posisi seorang perempuan

justru lebih potensial untuk mempengaruhi anak-anak mereka agar masuk agama

tertentu. Lebih lanjut, Zainun juga berpendapat bahwa semua agama sebenarnya

membawa pesan moral yang sama.

Selain Zainun Kamal, tokoh lain yang menerima pernikahan beda agama

adalah Drs. Nuryamin Aini., M.A. Ia adalah pengajar pada Fakultas Syariah UIN

Syarif Hidayatullah dan peneliti Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia

(PPSDM) UIN Jakarta pada Kamis. Nuryamin menulis tesis untuk meraih gelar

MA di Flinders university dengan mengambil tema pernikahan beda agama.

Nuryamin melakukan penelitian di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

sebagai sasaran penelitian. Alasannya, karena DIY merupakan melting pot atau

wadah peleburan identitas budaya. Dari data tersebut ditemukan bahwa di DIY

terjadi fluktuasi. Pada tahun 1980, paling tidak terdapat 15 kasus yang menikah

beda agama dari 1000 kasus pernikahan yang tercatat. Pada tahun 1990, naik

Page 72: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

menjadi 18 kasus dan justru trend-nya menurun menjadi 12 kasus saja pada tahun

2000. Trend penurunan ini dalam bahasa statistiknya disebut U terbalik. Tahun

1980 rendah (15/1000), lalu naik tahun 1990 (19/1000), kemudian turun lagi

tahun 2000.

Dari kalangan Katolik, tokoh yang menerima keberadaan pernikahan beda

agama adalah Antonius Dwi Joko. Antonius berpendapat memang sebaiknya

masyarakat pemeluk agama Katolik tidak melakukan kawin campur. Akan tetapi,

mengingat kompleksitas dan pluralitas situasi masyarakat, di mana orang-orang

Katolik hidup berdampingan dengan non-Katolik. Selain itu, semangat ekumenis

Gereja Katolik untuk merangkul dan bekerjasama dengan pihak-pihak Kristen

lainnya, serta kesadaran akan kebebasan beragama, telah mendorong pada

pemahaman akan realitas terjadinya pernikahan campur.62

Namun, satu hal yang menjadi amatan penulis dari perdebatan soal

pernikahan beda agama, meski tidak akan dijabarkan lebih jauh, adalah kurangnya

perhatian terhadap perspektif jender. Ini tak aneh, mengingat pembahasan

pernikahan memang kerap bias jender. Dari paparan di atas, tampak bahwa

pernikahan beda agama atau pernikahan secara umum cenderung lelaki sentris.

Makanya penghalalan pernikahan beda agama oleh beberapa kalangan pun belum

dapat melepaskan diri dari pengarus-utamaan laki-laki. Faktanya, kehalalan

pernikahan antara lelaki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab lebih dilatari

oleh alasan bahwa lelaki lebih bisa mendidik dan mengarahkan istri dan anak-

anaknya, tidak sebaliknya. Di dunia sekarang, hal sebaliknya justru banyak

terlihat. Kini, tidak sedikit perempuan (istri) yang lebih mempengaruhi keluarga

62 Antonius Dwi Joko, Pr, “Kawin Campur”, http://yesaya.indocell.net/id1066.htm, diakses

pada tanggal 29 Desember 2007.

Page 73: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

ketimbang suami. Kalau sudah demikian, maka tidak hanya suami tetapi

pendidikan anak pun sebenarnya dapat ditentukan atau lebih didominasi oleh

peran istri (perempuan).

C. Analisis Komparatif terhadap Pernikahan Beda Agama di Indonesia

Pernikahan beda agama, sedari awal sudah dinyatakan, menjadi fenomena

yang kontroversial baik dalam Islam maupun Katolik. Meski dalam banyak hal,

keduanya memiliki perbedaan yang amat jelas, persamaan juga muncul tak kalah

banyak. Persamaan ini, secara umum, terlihat minimal pada adanya sumber teks

kitab suci yang secara eksplisit melarang pernikahan beda agama dan kemudian

ada pula teks kitab suci yang memperbolehkannya dengan spesifikasi persyaratan

yang berbeda-beda. Dari sini, persamaan antara Islam dan Katolik, pada saat yang

sama juga menyimpan perbedaan. Dua hal ini pada paragraf-paragraf berikutnya

akan dieksplorasi lebih detil.

Untuk lebih mensistematisasi perbandingan pandangan mengenai

pernikahan beda agama antara Islam dan Katolik, berikut disajikan tabel

persamaan dan perbedaan sumber dan pandangan kedua belah pihak:

Tabel Perbandingan pandangan Pernikahan Beda Agama (PBA)

Menurut Islam dan Katolik

Aspek

Perbandingan Islam Katolik Keterangan

Perjanjian Lama:

Kejadian 6: 5-6 dan

Ulangan 7: 3-4

Larangan

terhadap PBA

(Teks Primer

Kitab Suci)

al-Baqarah

ayat 221 dan

al-Mumtahanah

ayat 10 Perjanjian Baru:

Korentus 6: 14, 7:1, dan

7: 12-16

Baik Islam maupun

Katolik mempunyai

sumber primer Kitab Suci

yang menyatakan tidak bolehnya melakukan PBA

Pembolehan PBA

(Teks Primer

Kitab Suci)

al-Maidah

ayat 5

Islam membolehkan PBA

antara laki-laki Muslim

dan Perempuan Ahl al-Kitab dan tidak

sebaliknya. Sementara

Page 74: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

tidak ada teks primer

Kitab Suci Katolik yang

menyatakan bolehnya

melakukan PBA

Teks Sekunder

Hadits Nabi

Hukum Kanon 1125

dan 1126

Katolik baru menyatakan

boleh melakukan PBA

pada hukum pendukung

Kitab Suci dengan

persyaratan yang sangat

ketat

Penafsiran

Kontemporer

Pandangan kontemporer yang berkembang dalam Islam maupun Katolik

tentang PBA bervariasi. Tidak sedikit yang tetap menyatakan tidak boleh,

sementara juga bermunculan penafsiran dan pendapat yang menyatakan

bolehnya melakukan PBA, bahkan tidak dibatasi oleh jenis kelamin dan

syarat-syarat yang memberatkan bagi pasangan pelaku PBA

Dari tabel di atas, tampak bahwa baik Islam maupun Katolik sama-sama

memiliki teks primer kitab suci yang menyatakan tidak diperbolehkannya

melakukan pernikahan beda agama. Namun demikian, Islam secara eksplisit

memiliki satu sumber teks pada kitab suci yang memperbolehkan pernikahan beda

agama, meski hanya untuk pernikahan antara laki-laki Muslim dan perempuan Ahl

al-Kitab.

Di atas segala perdebatan yang muncul tentang pemaknaan kata Ahl al-

Kitab itu, satu hal yang menjadi nilai lebih pada Islam adalah adanya teks kitab

suci yang memperbolehkan pernikahan beda agama bagi umatnya. Lebih dari itu

terdapat juga salah satu hadits Nabi yang memperbolehkan pernikahan beda

agama. Pada titik ini, baik sumber hukum primer (al-Quran) maupun sumber

hukum sekunder, pendukung (hadits Nabi) menyatakan bolehnya melakukan

pernikahan beda agama.

Persoalan tentang pernikahan beda agama dalam Islam ternyata tidak

berhenti sampai di situ. Dalam penafsiran baik pada jaman ulama salaf (ulama

jaman dahulu) maupun jaman sekarang masih terdapat kekhawatiran akan

pernikahan beda agama. Lebih dari itu, kekhawatiran itu kini menjadi lebih tegas

Page 75: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

dengan munculnya pelarangan pernikahan beda agama. Larangan tersebut datang

dengan latar argumen bahwa sudah tidak ada lagi umat yang bisa dikatakan Ahl

al-Kitab dan kekhawatiran terjadinya mutasi keimanan dan agama bagi umat

Islam yang melakukan pernikahan beda agama. Parahnya, hal itu diperkuat oleh

Undang-Undang (UU) perkawinan yang dimiliki oleh Indonesia. UU perkawinan

Indonesia terlihat masih membatasi, tidak memfasilitasi, bahkan dapat dikatakan

melarang terjadinya pernikahan beda agama. Kalaupun boleh, persyaratan yang

musti dipenuhinya begitu berat, hampir-hampir tidak memungkinkan

melangsungkan pernikahan beda agama. Untuk yang terakhir ini, tentunya, tidak

hanya dialami oleh umat Islam, melainkan juga umat Katolik dan umat agama-

agama lain yang ada di Indonesia.

Sedangkan dari pemikiran agama Katolik, gereja Katolik menganggap

bahwa pernikahan beda agama bukanlah pernikahan yang ideal. Pasalnya,

pernikahan dalam agama Katolik dianggap sebagai sebuah sakramen (kudus).

Karena itu, Katolik tampak lebih memberikan persyratan yang terlampau ketat

bagi pasangan yang hendak melakukan pernikahan beda agama.

Persoalan Pernikahan beda agama seperti yang diinformasikan kitab

Kejadian 6: 5-6 dianggap sebagai pernikahan yang tidak dikehendaki Allah. Ada

semacam keyakinan bahwa pernikahan beda agama hanya akan mengakibatkan

pada makin bertambahnya dosa dalam kehidupan manusia, bahkan mendatangkan

penyesalan dalam hati Tuhan.63

Kitab Ulangan 7: 3-4. menyebutkan bahwa bangsa Israel dilarang kawin

dengan bangsa-bangsa di luar Israel. Israel dalam konteks itu artinya umat Kristen

63

Lihat dalam kitab Kejadian: 24.

Page 76: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

(Katolik) juga tidak boileh menikah dengan bangsa atau umat lain. Namun dalam

Hukum Kanonik, sikap gereja Katolik tampak lebih melunak. Meski

kemungkinan melakukan pernikahan beda agama disertai dengan berbagai

persyaratan yang sama sekali tidak mudah. 64 Kendati begitu, tampak bahwa

gereja lebih memiliki keasadaran untuk tidak melarang pernikahan beda agama.

Melarang seseorang untuk memilih pasangan hidup merupakan hal yang tidak

bijaksana. Dengan kejadian ini Paulus kemudian menulis, “Kalau ada seorang

saudara beristrikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup

bersama-sama dengan dia, janganlah seorang itu menceraikan dia. Dan kalau ada

seorang istri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup

bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu.”

Kembali membincangkan persyaratan yang harus dipenuhi bagi pasangan

yang hendak melakukan pernikahan beda agama dalam Katolik, hal itu tetap

memberatkan. Contohnya, pasangan yang bukan beragama Kristen harus

menerima prinsip-prinsip moralitas hidup Kristen yang dijalankan oleh

pasangannya, meski tanpa menyebut syarat untuk berganti agama menjadi

Kristen. Pernyataan ini sendiri sebenarnya bukan datang dari Tuhan tetapi dari

Paulus. Paulus meyakini bahwa ikatan pernikahan semacam ini tetap suci

sebagaimana dikatakan Korentus 7:14, “karena suami yang tidak beriman itu

dikuduskan oleh istrinya dan istri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh

suaminya.”

Dispensasi seperti yang disebutkan di atas pun baru bisa dilakukan jika

ada izin dari uskup setempat dengan mengikuti pesyaratan-persyaratan yang sudah

64

Ichtiyanto, Pernikahan Campuran dalam Negara Republik Indonesia (Jakarta: Badan

Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2003), h. 130.

Page 77: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

ditetapkan. Dispensasi dari uskup ini juga baru dapat diberikan jika di antara

kedua pasangan pernikahan beda agama ini mempunyai kesadaran untuk membina

keluarga yang baik dan utuh setelah pernikahan, juga untuk kepentingan

pemeriksaan guna memastikan tidak adanya halangan pernikahan. Tanpa adanya

syarat-syarat tersebut, maka uskup belum bisa memberi izin untuk melakukan

pernikahan beda agama.

Pasangan yang hendak melakukan pernikahan beda agama harus membuat

perjanjian lisan maupun tulisan di depan saksi mengenai janji-janji yang sudah

dinyatakan. Perjanjian tersebut kewenangannya di pegang oleh wali Gereja.

Syarat-syarat diatas harus benar-benar diperhatikan oleh pasangan pernikahan

beda agama, karena jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pernikahan itu

tidak sah. Di atas segalanya, syarat-syarat yang sedemikian rumit sebenarnya

dilakukan sebagai upaya untuk mencegah perpindahan agama dari Katolik ke

agama lain. Atau minimal mencegah menurunnya keimanan penganutnya setelah

kawin dengan penganut agama lain.

Akan tetapi, dikalangan pendeta Katolik, kini, sudah cukup banyak yang

berpikiran moderat yang beranggapan bahwa pernikahan beda agama merupakan

suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Perbuatan menghalangi cinta kasih

dua insan atas nama agama sungguh tidak benar dan bertentangan dengan Hak

Asasi Manusia (HAM). Karena Yesus sendiri datang dengan membawa ajaran

mengenai cinta kasih dan perdamaian. Bukan malah membawa umatnya ke dalam

kejumudan dalam pergaulannya. Umat Katolik, seyogyanya menyebarkan

gagasan-gagasan cinta kasih Yesus kepada pemeluk lain dengan berbagai cara,

termasuk jika terjadi hubungan pernikahan dengan umat agama lain.

Page 78: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Sedangkan perbedaan antara pandangan Islam dan Katolik pada sumber

yang memperbolehkan pernikahan beda agama pada kedua agama tersebut adalah

dalam hal jenis kelamin. Dalam Islam, teks al-Quran menyebutkan bahwa

kebolehan tersebut hanya berlaku bagi laki-laki. Sedangkan perempuan tidak

diperkenankan melakukannya. Asumsi dari aturan ini adalah, bahwa laki-laki

adalah kepala keluarga yang otoritasnya dianut oleh keluarga. Sehingga, upaya

untuk membawa anak-anak mereka ke dalam agama Islam akan lebih mudah

dilakukan oleh seorang laki-laki daripada perempuan.

Meski demikian Islam kemudian menunjukkan perkembangan bahwa

pendapat dan tafsir atas hal ini perlu dikaji ulang dengan melihat pada konteks

ayat tersebut. Ayat tersebut mungkin relevan jika dikorelasikan dengan konteks

turunnya ayat di jaziran Arab pada abad ke enam (6) Masehi. Pada masa itu,

dominasi jenis kelamin laki-laki sangatlah kuat. Sedangkan kaum perempuan

tidak memiliki daya apapun jika berhadapan dengan laki-laki. Akan tetapi,

sekarang ini, asumsi tersebut tidak lagi bisa dijadikan patokan. Seorang ibu, kini,

justru lebih dekat dengan anak-anak mereka. Maka peluang untuk menanamkan

pengaruh dalam keagamaan menjadi lebih potensial dimilikinya ketimbang sang

ayah. Karena itulah kemudian muncul sebuah wacana untuk membebaskan jenis

kelamin pihak yang melakukan pernikahan beda agama tersebut.

Sementara Katolik tidak mengenal pembedaan jenis kelamin dalam

melakukan pernikahan beda agama. Setiap jenis kelamin, baik laki-laki maupun

perempuan, boleh melakukan pernikahan beda agama, asal memenuhi segala

persyaratan sebagaimana ditentukan oleh Hukum Kanon. Dalam hal ini, Katolik

terlihat lebih egaliter ketimbang Islam yang masih kental patriarkhis.

Page 79: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Perbedaan kedua adalah mengenai syarat-syarat untuk melakukan

pernikahan beda agama. Dalam pandangan Islam, pernikahan beda agama tidak

menuntut persyaratan yang rumit, semua berlaku seperti pernikahan biasa. Akan

tetapi, dalam pandangan Katolik, persyaratan yang harus dipenuhi oleh pasangan

yang hendak melakukan pernikahan beda agama cukup rumit. Harus ada

perjanjian lisan maupun tertulis dari pihak yang beragama Katolik untuk tidak

berpindah agama. Begitu pula dengan pengasuhan anak-anak mereka. Pandangan

Katolik menuntut otoritas mendidik agama anak-anak hasil pernikahan beda

agama dalam didikan gereja.

Namun kedua agama ini juga memiliki titik kesamaan bahwa pernikahan

akan lebih baik dilakukan dengan pasangan yang seiman. Dalam pandangan

Islam, disebutkan (al-Baqarah: 221) bahwa wanita budak yang beriman lebih baik

dibandingkan dengan wanita Kafir yang merdeka. Disebutkan pula dalam hadis

bahwa dalam memilih pasangan ada empat hal yang harus dipertimbangkan; dari

aspek, kecantikan, keturunan, kekayaan, dan agama. Dan aspek agama inilah yang

paling penting untuk dipertimbangkan. Senada dengan pandangan Islam,

pandangan Katolik pun menganggap bahwa pernikahan akan lebih sempurna bila

penganut Katolik menikah dengan orang yang seiman.

Lebih jauh lagi, dalam menyikapi fenomena keberagaman Indonesia,

terutama konteks agama, baik dari kalangan Islam maupun Katolik sama-sama

sudah memunculkan pihak yang cukup bijak dengan menganggap pernikahan

beda agama sebagai sebuah konsekuensi yang tidak bisa dihindari lagi. Dimensi

pluralitas bangsa ini menjadi ancaman yang sangat berbahaya bagi bangsa jika

tidak disikapi dengan bijak. Melarang pernikahan antaragama, sama dengan

Page 80: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

menghilangkan kemungkinan terjadinya akulturasi dan peleburan simpul-simpul

sosial bangsa. Tampak bahwa penafsiran paling kontemporer pada kedua agama

memiliki kesamaan bahwa pernikahan beda agama adalah sesuatu yang tidak

terlarang, bahkan tanpa pembedaan jenis kelamin dan ketatnya persyaratan yang

terlebih dahulu harus dipenuhi oleh para pelaku pernikahan beda agama. Sebuah

kondisi yang menggembirakan.

Page 81: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya, sebagaimana rumusan masalah

yang penulis ajukan di awal tulisan, penulis akan menyimpulkan seluruh isi

tulisan ini ke dalam dua pokok permasalahan.

1. Landasan Pernikahan Beda Agama dalam Islam dan Katolik

Landasan hukum untuk memutuskan persoalan pernikahan beda agama

baik dalam Islam maupun Katolik bersumber pada kitab suci masing-masing.

Meski terdapat perbedaan pendapat dalam penafsiran dan sebagainya, baik kitab

suci Islam maupun Katolik memiliki kesamaan sikap dalam menjawab persoalan

pernikahan beda agama. Islam maupun Katolik beranggapan bahwa pernikahan

beda agama adalah sesuatu yang terlarang secara agama.

Namun demikian masing-masing menyisakan celah untuk kemungkinan

dilangsungkannya pernikahan beda agama. Dalam hal ini, kitab suci Islam, al-

Quran, menurut penulis, sebagaimana juga diakui Ulil Abshar Abdalla, lebih

revolusioner menyikapi fenomena pernikahan beda agama. Meski berjalan secara

evolutif, al-Quran kemudian secara eksplisit menyatakan bahwa pernikahan beda

agama dalam Islam diperbolehkan. Dalam teksnya, al-Quran menyatakan dengan

tegas bahwa lelaki muslim boleh menikahi perempuan Ahl al-Kitab (non-

Muslim).

Page 82: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Meski masih menyisakan perdebatan hingga sekarang, mengenai siapa saja

yang bisa disebut Ahl al-Kitab, banyak pendapat dalam Islam yang menyatakan

bahwa Ahl al-Kitab dapat dilekatkan kepada setiap agama, yang mempunyai kitab

suci, yang mempunyai tuntunan jelas untuk kehidupan umatnya, tidak hanya

untuk Yahudi dan Nashrani, atau lebih sempit lagi hanya untuk Ahl al-Kitab pada

jaman Nabi.

Teks kitab suci Katolik tidak ada yang menyatakan secara eksplisit

mengenai bolehnya pernikahan beda agama yang melibatkan umat katolik.

Kemungkinan untuk itu baru ada ketika membaca hukum kanon gereja, itupun

pasangan yang hendak melakukan pernikahan beda agama terlebih dahulu

diharuskan memenuhi persyaratan yang tidak ringan sebagaimana tercantum

dalam kanon 1125 dan 1126.

Persyaratan-persyaratan tersebut, menurut penulis, pertanda bahwa Katolik

masih memperlihatkan keengganan untuk mengabsahkan pernikahan beda agama.

Dengan persyaratan tersebut, Katolik sebenarnya secara tidak langsung mencegah

terjadinya pernikahan beda agama atau minimal mencegah menurunnya tingkat

keimanan generasi penerusnya. Lebih jauh, dengan disyaratkannya pernikahan

beda agama, Katolik mengharapkan agar tidak kehilangan penganut. Hal itu

terbukti dengan adanya persyaratan bagi pasangan Katolik untuk menjamin

pendidikan anaknya berjalan sesuai dengan iman Kristiani. Untuk kasus ini, Islam

sebenarnya memiliki ketakutan yang tidak jauh berbeda.

Karena pada faktanya pernikahan beda agama masih sangat sulit untuk

dilangsungkan, ditambah sikap gereja dan Kantor Urusan Agama (dalam Islam)

yang masih berbeda-beda dalam menyikapi pernikahan beda agama, maka

Page 83: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

pernikahan beda agama bisa dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil. Dalam Katolik,

pemberkatan dapat dilangsungkan oleh gereja sesuai dengan peraturan yang

berlaku dalam gereja yang bersangkutan. Dalam Islam upacara akad nikah, tidak

harus terlebih dahulu dibacakan dua kalimat syahadat, sebagaimana umumnya

pada pernikahan sesama muslim. Sayangnya, masih banyak pejabat gereja

maupun pejabat KUA yang masih awam dengan penafsiran tokoh-tokoh agama

yang secara substantif tidak mensyaratkan kesamaan agama sepasang laki-laki dan

perempuan yang hendak melangsungkan pernikahan. Maka pernikahan beda

agama, di Indonesia hingga sekarang, masih menjadi sesuatu yang amat sulit

untuk dilakukan. Tak heran kalau kemudian banyak pasangan beda agama yang

hendak melanjutkan ke jenjang pernikahan menjadi gagal, dan kalaupun tetap

kukuh dengan keinginannya untuk menikah melakukan pernikahannya di luar

negeri.

2. Keterkaitan Pemahaman Keagamaan terhadap Fenomena

Pernikahan Beda Agama dan Hubungan Anta-agama di Indonesia

Penafsiran belakangan yang banyak bermunculan, baik di Islam maupun

Katolik, menerbitkan secercah harapan untuk pasangan berbeda agama agar dapat

membangun hubungan keluarga dalam ikatan pernikahan. Penafsiran demikian tak

lain merupakan refleksi berkepanjangan atas fakta pluralitas kehidupan

masyarakat Indonesia yang multi agama, bangsa, budaya, bahasa, dan sebagainya.

Fakta inilah yang menjadikan pernikahan beda agama tak mungkin lagi untuk

dihindari.

Lebih dari itu, kini, banyak kasus pasangan yang menikah meski masing-

masing pasangan memiliki atau menganut agama yang berbeda dapat membangun

Page 84: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

sebuah keluarga yang sejahtera, atau dalam bahasa Islam sakinah, mawaddah,

warahmah. Keluarga dari pasangan pernikahan beda agama menjadi keluarga

yang memiliki kadar toleransi sangat besar. Sikap demikian yang sebenarnya

sangat konstrukstif untuk memelihara fakta pluralitas yang ada di Indonesia.

Pluralitas tidak bisa disikapi dengan eksklusifitas, melainkan saling menghormati

dan toleransi. Akan sia-sia upaya memajukan dialog antar agama kalau umat

masing-masing agama tetap merasa eksklusif dengan umat dari agama lainnya.

Dari fakta-fakta di atas, ditambah dengan keyakinan penulis bahwa

perbedaan agama, bangsa dan keturunan tidak bisa menjadi penghalang terhadap

perkawinan, maka, menurut penulis, pernikahan beda agama sudah tidak bisa lagi

dilarang. Pernikahan beda agama seharusnya disikapi secara lebih bijak oleh

masing-masing tokoh agama. Agama adalah keyakinan dalam hati dan tidak

mungkin dapat digoyahkan begitu saja, seperti oleh cinta atau ikatan pernikahan.

Tidak boleh ada lagi ketakutan konversi agama dan sebagainya yang semakin

mengarah pada sikap eksklusif dalam menyikapi dan memahami agama.

Pemahaman agama yang demikian akan berkontribusi positif tidak hanya

untuk pernikahan beda agama melainkan untuk hubungan antar-agama secara

lebih luas. Agama adalah jalan masing-masing individu untuk memperoleh

keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan pernikahan adalah usaha

pasangan laki-laki dan perempuan untuk membina sebuah rumah tangga yang

bahagia dan sejahtera. Kebahagian rumah tangga, tidak ditentukan secara absolut

oleh kesamaan iman atau agama, melainkan komitmen masing-masing pasangan

untuk membangun keberlangsungan, keutuhan, dan keharmonisan rumah tangga.

Page 85: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

B. Saran

Dalam tulisan ini penulis menyarankan:

1. Tulisan ini tidak begitu sempurna sebagai kajian pernikahan beda

agama, karenanya, bagi yang mau mendalami fenomena ini,

disarankan untuk mengakses sumber-sumber lain yang qualified baik

dari Islam maupun Katolik, bahkan dari agama-agama lain, terlebih

karena tulisan ini hanya berpretensi untuk membahas pendapat Islam

dan Katolik.

2. Pembacaan teks-teks keagamaan harus dilakukan secara berimbang,

agar tidak terjadi sikap apriori terhadap salah satu agama.

3. Perlunya diciptakan budaya penafsiran teks-teks keagamaan yang

konstruktif, berbudaya pluralis dan kontekstual, sehingga tidak sempit

dalam memahami agama, tidak ada lagi eksklusivitas suatu agama

terhadap agama lain..

4. Perlu adanya payung hukum yang definitif tentang pernikahan beda

agama. Sehingga yang hendak melakukannya tetap bisa merasa tenang

dan tidak terkucilkan sebagai warga Negara.

Page 86: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad, dan Rasyid Ridha. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Tt.

Abdullah, M. Amin. “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”. Ulumul

Qur’an. No. 4. IV. 1993.

Aini, Nuryamin. “Fakta Empiris Nikah Beda Agama.” wawancara diakses tanggal

22 Juni 2003, dari http://www.islamlib.com.

Ali, Maulana Muhammad. Qur’an Suci: Teks Arab Terjemah dan Tafsir. Jakarta:

Darul Kutub al-Islamiyah. 1993.

Ali, Muhammad Daud, Perkawinan Campuran Antara Orang-Orang Berbeda

Agama Ditinjau dari Sudut Agama dan Perundang-undangan Perkawinan

Indonesia, Jakarta: Mimbar Hukum, 1993.

Ali, Muhammad. “Fatwas on Inter-faith Marriage in Indonesia.” Studia Islamika:

vol 9. no. 3. 2002.

Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Departemen Agama Republik Imdomesia

(Depag RI), 2004.

Amal, Taufik Adnan. Tafsir Kontekstual al-Qur’an: Sebuah kerangka konseptual.

Bandung: Mizan. 1992.

Antonius Dwi Joko, Pr, “Kawin Campur” http://yesaya.indocell.net/id1066.htm

tanggal akses 29 Desember 2007.

Baso, Ahmad, dan Ahmad Nurchaliolish (Ed.). Pernikahan Beda Agama,;

Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan. Jakarta: Komnas HAM dan ICRP. 2005.

Eoh, Sh, MS., O.S. Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktik. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada. 1996.

Galib, Muhammad. M. Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya. Jakarta: Paramadina. 1998.

Gatra. “Pernikahan Mei Menuai Kontroversi”. 21 Juni 2003.

Gautama, Sudargo. Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran.

Bandung:Citra Aditya Bakti. 1996.

Handrianto, Budi. Perkawinan Beda Agama Dalam Syari’at Islam. Jakarta:

Khairul Bayan. 2003.

Harahap, Muhammad Yahya. Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan

Undang-Undang No. I Tahun 1974 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun

1975, (Medan: CV. Zahir Trading Co Medan).

Hindasyah, Linda. Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Pelaku. Jakarta: PPIM UIN Jakarta, 2003.

Page 87: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Ichtiyanto. Perkawinan Campuran dalam Negara Republk Indonesia, Jakarta:

Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2003.

Jabari, Al, Abdul Mutaal M. Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam.

Jakarta: Bulan Bintang. 1988.

Kamal, Zainun, dan Musdah Mulia. Makalah: Penafsiran Baru Islam Atas

Pernikahan Beda Agama. Oktober 2003.

Kamal, Zainun. “Fakta Empiris Nikah Beda Agama”. www.islamlib.com. Tanggal

akses 29 desember 2007.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII

/MPR/1998.

Kitab Kejadian.

Kitab Kanon

Madjid, Nurcholis, dkk. Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-

Pluralis. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina Bekerjasama dengan The

Asia Fondation. 2003.

Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama

Indonesia. Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia. 1995.

Mudzhar, Mohammad Atho. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, Sebuah Studi

tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1979-1988. Jakarta: INIS.

1993.

Muhdlor, A. Zuhdi. Memahami Hukum perkawinan, Nikah, Talak, Cerai, Rujuk. Bandung: Al-Bayan. 1994.

Sriyanto, David. Perkawinan Orang yang Berbeda Agama. Jakarta: Sekolah

Tinggi Teologi Jakarta. Thesis. 1992.

Suryabroto, Sumardi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.

Shihab, M. Quraisy. Wawasan al Quran. Bandung: Mizan. 1996.

Tabloid Dialog Jum’at Republika. “Ada Motif di Balik Pelaminan”. 15 Agustus

2003.

Tabloid Dialog Jum’at Republika. “Galeri Pendapat: Pro-Kontra Nikah Beda

Agama di Kalangan Ulama”. 12 September 2003.

Tafsir Kitab Kejadian 5: 1 – 12-3. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1987.

Thabari, al, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-

Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr. 2001.

Trisna, Yonathan A. Berpacaran dan Memilih Teman Hidup. Bandung: Kalam

Hidup Pusat. 1987.

Ulfa, Maria, dan Martin Lukito Sinaga (ed.) Tafsir Ulang Perkawinan Lintas

Agama, Perspektif Perempuan dan Pluralisme, Jakarta: Kapal Perempuan,

2004.

Page 88: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara

1974/1. TLN NO. 3019.

Usman, Suparman. Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum

Perkawinan di Indonesia, Serang: Percetakan Saudara, 1995.

Page 89: PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK