Pernikahan Beda Agama

21
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu tradisi yang sangat penting, perkawinanpun banyak di atur dalam berbagai aspek, baik dari sisi agama, tradisi kemasyarakatan, dan institusi negara. Pada kenyataannya pengaturan mengenai masalah perkawinan terdapat banyak perbedaan diantara satusama lainnya dan tidak memiliki suatu keseragaman, misalnya pada tradisi masyarakat yang satu dengan yang lain, antar agama yang satu dengan yang lainnya, bahkan dalam satu agama pun dapat terjadi perbedaan pengaturan perkawianan disebabkan adanya cara berfikir yang berlainan karena menganut mazhab atau aliran yang berbeda. Keadaan dan kondisi di suatu daerah akan turut mempengaruhi pengaturan hukum perkawinan di daerah tersebut. Di negara Indonesia, bangsa yang plural dan heterogen. Indonesia adalah bangsa yang multikultural dan multiagama. Pluralitas di bidang agama terwujud dalam banyaknya agama yang diakui sah di Indonesia, yaitu agama Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan lain-lain. Menurut publikasi BPS (Badan Pusat Statistika) pada bulan Agustus 2010, jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak 237.556.363 orang, yang terdiri 1

description

Tugas

Transcript of Pernikahan Beda Agama

Page 1: Pernikahan Beda Agama

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu tradisi yang sangat penting, perkawinanpun

banyak di atur dalam berbagai aspek, baik dari sisi agama, tradisi kemasyarakatan,

dan institusi negara. Pada kenyataannya pengaturan mengenai masalah perkawinan

terdapat banyak perbedaan diantara satusama lainnya dan tidak memiliki suatu

keseragaman, misalnya pada tradisi masyarakat yang satu dengan yang lain, antar

agama yang satu dengan yang lainnya, bahkan dalam satu agama pun dapat terjadi

perbedaan pengaturan perkawianan disebabkan adanya cara berfikir yang berlainan

karena menganut mazhab atau aliran yang berbeda.

Keadaan dan kondisi di suatu daerah akan turut mempengaruhi pengaturan hukum

perkawinan di daerah tersebut. Di negara Indonesia, bangsa yang plural dan heterogen.

Indonesia adalah bangsa yang multikultural dan multiagama. Pluralitas di bidang agama

terwujud dalam banyaknya agama yang diakui sah di Indonesia, yaitu agama Islam,

Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan lain-lain.

Menurut publikasi BPS (Badan Pusat Statistika) pada bulan Agustus 2010,

jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak 237.556.363 orang,

yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan, dengan tingkat laju

pertumbuhan rata-rata sebesar 1,4% per tahun. Sementara distribusi menurut agamanya,

di tahun 2010, kira-kira 85,1% dari penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2%

Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha.

Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan diatur dalam

UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada

ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak

boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda

agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.

1

Page 2: Pernikahan Beda Agama

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur Pernikahan?

2. Bagaimana peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur Pernikahan beda

Agama?

3. Bagaimana pandangan masing-masing Agama selain Hindu di Indonesia terhadap

Pernikahan beda Agama?

4. Bagaimana pandangan Agama Hindu terhadap pernikahan beda Agama?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Dapat mengetahui peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur

Pernikahan.

2. Dapat mengetahui peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur

Pernikahan beda Agama.

3. Dapat mengetahui pandangan masing-masing Agama selain Hindu di Indonesia

terhadap Pernikahan beda Agama.

4. Dapat mengetahui pandangan Agama Hindu terhadap pernikahan beda Agama.

2

Page 3: Pernikahan Beda Agama

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perkawinan Secara Umum

Menurut Peraturan Perundang-Undangan RI No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan Pasal 1 ayat 1, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Di samping mengatur hubungan perkawinan sesama warga negaranya, antara

warganegaranya dengan warga negara lain, negara Republik Indonesia juga

mempunyai kewajiban internasional tentang pengaturan dan pemeberian pelayanan

hukum kepada warganegara lain yang kawin di Indonesia, hal tersebut sesuai dengan

UUD 1945 alinea ke empat yang menyatakan “dan ikut melakssanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan nesional”.

Perkawinan campuran adalah sebagaimana yang dianut dalam Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 57 yaitu perkawinan antara dua orang yang di

Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan

dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Pengaturan perkawinan campuran dalam UUP secara nasional sesuai dengan

Pembukaan UUD 1945, secara internasional sesuai dengan Pasal 16 AB (dalam rangka

Hukum Perdata Internasional), kondisi hukum, kenyataan hukum, serta hukum yang

dicita -citakan bangsa Indonesia, tinggal masalah pemahaman dan pengaturan

pelaksanaannya.

3

Page 4: Pernikahan Beda Agama

Pengupacaraan perkawinan campuran menurut upacara hukum agama suami,

hukum suami merupakan pilihan hukum antara dua sistem hukum yang berlainan,

seorang warga WNI yang bersedia melakukan perkawinan campuran dengan lelaki

penganut agama lain, berarti secara sadar menerima pengupacaraan perkawinannya

menurut hukum agama suami dan meninggalkan pengupacaraan perkawinan menurut

hukum agamanya sendiri, namun ia tetap tidak kehilangan haknya yang paling asasi,

ialah memeluk agamnaya dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu,

dalam negara Indonesia, tidak ada yang berhak memaksanya untuk pindah agama.

Adapun syarat-syarat perkawinan menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974

tentang perkawinan :

1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.

2. Adanya ijin kedua orangtua atau wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21

tahun.

3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita

sudah mencapai 16 tahun.

4. Antar calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah

atau keluarga yang tidak boleh kawin

5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain

6. Bagi suami isteri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai

lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka

kawin untuk ketiga kalinya

7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda

2.2 Perkawinan Menurut Agama

2.2.1 Perkawinan Menurut Islam

Perkawinan dalam agama Islam merupakan kewajiban yang harus

dijalankan sebagai peningkatan dalam penyempurnaan ibadah kepada Allah

S.W.T, yang di wujudkan dalam hubungan antara dua orang insan manusia yang

berbeda yang di takdirkan satu sama lain saling memerlukan dalam kelangsungan

hidup kemanusiaan untuk memenuhi nalurinya dalam hubungan seksual.

4

Page 5: Pernikahan Beda Agama

Pengertian perkawinan dalam agama Islam, adalah “Suatu akad atau

perjanjian mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan

hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan sukarela dan kerelaan kedua

belah pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang di liputi rasa

kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara yang di ridoi Allah

SWT”.

2.2.2 Perkawinan Menurut Protestan

Pengertian perkawinan menurut agama protestan adalah suatu persekutuan

hidup dan percaya total, eksklusif dan kontinyu antara seorang pria dan seorang

wanita yang dikuduskan dan diberkati oleh oleh Kristus Yesus. Pernikahan

sebagai soal agama, hukum tuhan, agar pernikahan tersebut sesuai dengan

kehendak tuhan yang menciptakan pernikahan itu. Syaratsyarat perkawinan

menurut agama Kristen Protestan adalah : 1) Masing - masing calon mempelai

tidak terikat tali perkawinan dengan pihak lain; 2) Kedua mempelai beragama

Kristen Protestan (agar perkawinan tersebut dapat diteguhkan dan diberkati); 3)

Kedua calon mempelai harus sudah ”sidi” (sudah dewasa); 4) Harus dihadiri dua

orang saksi; 5) Harus disaksikan oleh jemaat.

2.2.3 Perkawinan Menurut Katolik

Pengertian perkawinan menurut Soekoto Leo (1991:13) dari ke Uskupan

Agung Jakarta mengatakan bahwa, “Pernikahan adalah sepasang pria dan wanita

yang menikah bukan hanya sekedar hidup bersama, melainkan bersatu jiwa dan

raganya”. Untuk itu dalam agama Khatolik mereka menerima sakramen. Mereka

mau hidup bersatu dalam Tuhan artinya hidup kesatuan mereka, akan mereka

selenggarakan dengan rahmat pertolongan Tuhan. Dan mereka atur sesuai dengan

perintah- perintah Tuhan.

2.2.4 Perkawinan Menurut Hindu

Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan.

Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal katanya,

kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Wiwaha atau perkawinan

dalam masyarakat hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat penting, dalam

catur asrama wiwaha termasuk kedalam Grenhastha Asrama. Disamping itu

5

Page 6: Pernikahan Beda Agama

dalam agama Hindu, wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia, seperti

dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha tersebut bersifat

sakral yang hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang

normal sebagai suatu kewajiban dalam hidupnya.

2.2.5 Perkawinan Menurut Budha

Agama Buddha mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan suci yang harus

dijalani dengan cinta dan kasih sayang seperti yang diajarkan Budha. Perkawinan

adalah ikatan lahir dan batin dua orang yang berbeda kelamin, yang hidup

bersama untuk selamanaya dan bersama-sama melaksanakan Dharma Vinaya

untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang ini dan kehidupan

yang akan datang.

2.2.6 Perkawinan Menurut Kong Hu Chu

Dalam ajaran agama Khonghucu perkawinan adalah, ikatan lahir batin

antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga

(rumah tangga yang bahagia), dan melangsungkan keturunan berdasarkan

Ketuhanan Yang maha Esa. Tujuan perkawinan dalam agama Konghucu di

Indonesia ialah memungkinkan manusia melangsungkan sejarahnya dan

mengembangkan benih-benih Thian (Tuhan Yang Maha Esa), berwujud kebajikan

yang bersemayam di dalam dirinya, dan memungkinkan manusia membimbing

putra-putrinya. Pengertian perkawinan Menurut Konghucu dapat ditemukan dalam

Kitab LI JI buku XLI : 1 & 3 tentang Hun Yi (kebenaran makna upacara

pernikahan), dinyatakan bahwa upacara pernikahan bermaksud akan menyatu-

padukan benih kebaikan/ kasih antara dua manusia yang berlainan keluarga;

keatas mewujudkan pengabdian kepada Tuhan dan leluhur (zong Miao),dan ke

bawah meneruskan generasi.

6

Page 7: Pernikahan Beda Agama

2.3 Pandangan Masing-Masing Agama Terhadap Perkawinan Beda Agama

2.3.1 Perkawinan Beda Agama dalam Islam

Perkawinan dalam agama Islam adalah suatu kewajiban dan merupakan

peristiwa penting yang harus dilaksanakan oleh seorang umat yang patuh pada

hukum-hukum Allah. Perkawinan dalam agama Islam terbentuk dari dua orang

yang sama-sama berkeyakinan pada Allah S.W.T dan bukan pada yang lainnya,

yaitu seorang pria dan wanita muslim. Jadi agama menunjukkan bahwa

perkawinan adalah baik jika dilaksanakan dengan aturan-aturan yang berlaku.

Agama Islam menetapkan syarat perkawinan bagi umatnya yang salah satunya

adalah tidak ada perbedaan agama antara calon suami dan calon istri

Dalam Alquran disebutkan bahwa perkawinan antara orang Islam dengan

orang musrik yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi:

“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman.

Sesungguh nya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,

walupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkah orang musyrik

(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak

yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.

(Al-Baqarah [2]:221)

Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi

laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang

yang tidak beragama Islam.

2.3.2 Perkawinan Beda Agama dalam Protestan

Dalam perjanjian baru adalah hubungan lahir dan batin yang syah antara

seorang pria dan seorang wanita, seperti dijelaskan dalam kitab Injil yang

berbunyi : “Allah merencakan kawin untuk mengadakan hubungan sehingga pria

dan wanita menjadi satu daging. Dimana dalam satu hubungan antara pria dan

wanita, seorang Kristen diartikan suatu ikatan cinta kasih dan taat, yang

mengambarkan perwujudan hubungan Kristus dengan Gereja”. Jadi perkawinan

menurut Kristen Protestan adalah suatu ikatan atau hubungan lahir batin yang

7

Page 8: Pernikahan Beda Agama

berdasarkan cinta kasih antara seorang pria dan wanita sebagaimana ketaatan

mereka yang tergambar dalam perwujudan hubungan Kristus dengan Gereja.

Perkawinan dalam agama Kristen merupakan suatu keharusan bagi setiap

umat untuk menjalankan berbagai kehidupan. Keharusan ini berlaku terhadap

semua orang yang berlandaskan pada Firman Allah, maka untuk memilih teman

hidup tentu memilih yang sesuai dengan pernikahanya, yaitu memilih orang yang

sama-sama mempunyai keyakinan terhadap Kristus dan dilarang untuk

berpasangan dengan orang yang tak percaya terhadap Allah. Perkawinan dalam

Kristen yang syah harus diberkati oleh seorang pendeta. Dan pendeta akan

memberkati pernikahan bila keduanya memang orang beriman dihadapan Allah,

tapi bila terdapat salah satu yang tidak beriman berarti membantu orang untuk

berdosa yaitu melanggar Firman Allah.

Untuk menghindari kesalahan atau pelanggaran Firman Allah, seorang

pendeta biasanya dapat menginjili terlebih dahulu orang yang belum beriman, tapi

bila menolak maka upacara perkawinan tidak akan berlangsung atau dilaksanakan.

Perkawinan yang sudah terlanjur dilaksanakan oleh orang yang tidak beriman,

maka seorang Kristen tidak boleh menceraikannya, dan harus mengakui kesalahan

yang diperbuatnya, sebagai konsekuensinya ia harus hidup dengannya sebagai

suami-istri, megasihinya, merawatnya, memeliharannya, mendoakannya serta

setia kepadanya.

2.3.3 Perkawinan Beda Agama dalam Katolik

Gereja melarang perkawinan beda Agama, baik antara Katholik dengan

Protestan, maupun Khatolik dengan Agama lain. Larangan tersebut sehubungan

dengan pihak Khatolik dan pendidikan anak yang dilahirkannya, karena

dikhawatirkan iman terhadap Gereja akan hilang setelah perkawinan nanti (akan

pindah mengikuti keyakinan pasangannya).

Dilain pihak Gereja juga memberikan kelonggaran dan tidak menggekang

umatnya apabila dalam keadaan darurat, yaitu dengan diberikannya dispensasi.

Dipensasi akan diberikan, bila terdapat alasan yang cukup dan jaminan yang

meyakinkan, misalnya ada harapan pihak non Khatolik menjadi Khatolik, karena

lingkungan atau pergaulan, umur, untuk menghindari hubungan yang tidak sah,

8

Page 9: Pernikahan Beda Agama

untuk menegaskan hubungan yang sudah berlangsung, semua terlanjur siap untuk

pernikahan. Kemudian jaminan yang meyakinkan diri calon pengantin, yaitu :

pihak Khatolik berjanji akan selalu setia pada Agama Khatolik dan akan sungguh-

sungguh berusaha supaya anak dibina dan dididik secara Khatolik, pihak non

Khatolik tidak mengetahui apa yang dijanjikan oleh pihak Khatolik. Kelonggaran

yang diberikan oleh pihak Khatolik merupakan suatu tugas berat, sebab untuk

mengamankan imannya dalam diri dan anak-anaknya secara resmi tidak dijanjikan

bantuan positif oleh pihak non Khatolik.

2.3.4 Perkawinan Beda Agama dalam Budha

Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak

beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan,

asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal

ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk

agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua

mempelai diwajidkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan

Sangka” yang merupakan dewa-dewa umat Budha.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang

umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi

kalau penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha.

Di samping itu, dalam upacara perkawinan itu kedua mempelai diwajibkan

untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak

langsug berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi

penganut agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada

kaidah agama Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Untuk menghadapi

praktek perkawinan yang demikian mungkin bagi calon mempelai yang tidak

beragama Budha akan merasa keberatan.

2.3.5 Perkawinan Beda Agama dalam Kong Hu Chu

Tidak ada satu ayat pun yang khusus membolehkan atau melarang

pernikahan dua insan yang berbeda keyakinan. Pernikahan dinyatakan sah

9

Page 10: Pernikahan Beda Agama

bila, terjadi antara laki-laki dan perempuan dewasa, tidak ada unsur paksaan,

disetujui atau atas kemauan dua belah pihak, mendapat restu kedua orang tua

atau yang dituakan, diteguhkan dalam sebuah upacara keagamaan, meski untuk

salah satu mempelai tidak diharuskan berpindah keyakinan.

2.4 Pandangan dan Tanggapan Agama Hindu Terhadap Pernikahan Beda Agama

Menurut hukum agama Hindu, perkawinan (wiwaha) adalah ikatan seorang

pria dan wanita sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak

guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang

tuanya dari neraka, yang dilangsungkan dengan upacara ritual menurut agama

Hindu Weda Smerti.

Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda

beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara

lain: menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan

pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha

Esa. Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat saya simpulkan bahwa

pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan wanita

untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama

dan Adat.

Perkawinan campuran antara agama terjadi apabila seorang pria dan seorang

wanita yang berbeda agama yang dianutnya melakukan perkawinan dengan tetap

mempertahankan agamanya masing-masing. Termasuk dalam pengertian ini,

walaupun agamanya satu kiblat namun berbeda dalam pelaksanaan upacara-upacara

agamnya dan kepercayaannya. Adanya perbedaan agama atau perbedaan dalam

melaksanakan upacara agama yang dipertahankan oleh suami isteri di dalam satu

rumah tangga, adakalanya menimbulkan gangguan keseimbangan dalam kehidupan

rumah tangga.

Penyelesaian gangguan keseimbangan dalam keluarga rumah tangga dikarenakan

pelanggaran nyentane mungkin tidak sulit diatasi, tetapi lain halnya dengan akibat

perkawinan campuran antara agama yang berbeda, dikarenakan suami isteri masing-

10

Page 11: Pernikahan Beda Agama

masing mempertahankan agama yang dianutnya masing-masing. Apa yang sering terjadi

dalam kenyataan ialah menyimpang dari maksud ketentuan dalam UU no. 1-1974 yang

menggariskan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ternyata yang dilakukan

adalah penyimpangan atau penyelundupan hukum. Hal mana dapat dilihat dari kenyataan

yang berlaku dalam masyarakat, dan sesungguhnya perkawinan itu tidak sah.

Menurut hukum agama Hindu, perkawinan itu sah bila dilakukan dihadapan

pendeta. Bila ada yang salah satunya bukan beragama Hindu, maka sebelum hari

perkawinan harus dibuatkan upacara “Sudhiwadani” yang mengandung pengertian

menyucikan ucapan.

Pernikahan, sesuai ketentuan hokum adat Agama hindu di Bali tahun 1910,

pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang berkasta lebih rendah atau berbeda

agama merupakan sebuah pelanggaran. Pelanggaran tersebut berupa hukuman

pembuangan bagi laki-laki dan perempuan. Meskipun dianggap pelanggaran adat,

pernikahan tersebut tetap sah. Pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang

berkasta lebih tinggi juga menimbulkan pelanggaran dengan hukuman denda bagi laki-

laki. Pada zaman kerajaan Bali pelanggaran tersebut dapat menyebabkan kedua mempelai

dibunuh atas perintah raja, terlebih lagi apabila perempuan itu sudah menjadi calon istri

raja. Dalam kedua pernikahan tersebut si istri turun kasta menjadi sama kastanya dengan

si suami.

Pada tahun 1951 dengan Peraturan Gubernur Kepala Daerah Bali, peraturan

presiden Bali dan Lombok tahun 1910 dihapuskan. Kini pernikahan campuran

diperbolehkan tanpa hukuman pun. Akan tetapi, turun kasta bagi si istri tetap berlaku

meskipun tidak ditegaskan. Perempuan dari kasta tinggi yang menikah dengan laki-laki

dari kasta lebih rendah menjadi turun kasta dan mendapat kasta suaminya. Perempuan

yang menikah dengan laki-laki dari kasta yang lebih rendah tersebut tidak diizinkan

pulang ke rumah asalnya atau menegur orang tuanya seperti sediakala. Sementara itu,

apabila seorang laki-laki berkasta menikah dengan seorang perempuan sudra (tidak

berkasta), si istri berganti nama dan naik derajat menjadi jero atau mekel.

Kesalahan utama pemuda Hindu dalam meminang seorang wanita non-Hindu

adalah pada pemahaman yang merupakan kebanggaan semu dari penganut Hindu yang

menyatakan bahwa “semua agama sama”. Padahal pada kenyataannya tidak satu agama

11

Page 12: Pernikahan Beda Agama

pun yang sama di dunia ini, bahkan dalam satu agama pun acap kali terdapat perbedaan

pandangan/aliran. Sebuah survei interfaith menunjukkan bahwa agama yang memiliki

toleransi paling tinggi adalah Hindu. Merupakan sebuah kebanggaan sebagai Hindu

dimana menduduki peringkat teratas dalam hal toleransi beragama, tapi juga merupakan

bumerang bagi mereka yang tidak memahami filsafat Hindu dengan benar.

Kesalahan terbesar orang Hindu, terutama Hindu etnis Bali diluar

ketidakmampuan mensinergikan antara filsafat dan upacara (ritual) adalah karena orang

Hindu tidak pernah mau belajar dari sejarah. Kerajaan majapahit runtuh karena Raja

Brawijaya V tidak mampu bertindak sebagai seorang suami yang benar, dia tidak mampu

mengendalikan dan mendidik istrinya yang muslim sehingga anak kandung dari istrinya

itulah yang pada akhirnya menjadi penyebab kehancurannya dan kerajaannya. Kerajaan

badung-pun hampir hancur dengan cara seperti ini, namun “untung” belanda datang

menjajah sehingga Hindu di Bali belum sempat hancur seperti halnya Hindu di Jawa.

12

Page 13: Pernikahan Beda Agama

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Perkawinan di atur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Tiap agama memandang bahwa perkawinan bukan hanya sekedar hubungan sosial

dan keperdataan semata, tetapi juga ada hubungan teologi yang diyakini oleh

penganutnya masing-masing. Pandangan agama-agama mengenai nikah beda agama

dapat disimpulkan bahwa :

1. Agama Katholik pada prinsipnya melarang dilakukannya perkawinan antar agama,

kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi untuk melakukan

perkawinan antar agama.

2. Agama Protestan membolehkan dilakukannya perkawinan antaragama dengan syarat

bahwa pihak yang bukan Protestan harus membuat surat pernyataan tidak

berkeberatan perkawinannya dilangsungkan di gereja Protestan.

3. Agama Hindu melarang dilakukannya perkawinan antaragama.

4. Buddha, membolehkan penganutnya untuk melaksanakan perkawinan beda agama,

dengan syarat pernikahan harus dilakukan secara buddha dan mengucapkan janji

dengan menyebut nama dewa-dewa.

5. Khonghucu membolehkan umatnya untuk menikah dengan penganut agama lain.

6. Islam dengan sangat tegas melarang pernikahan anatara laki-laki dan perempuan

untuk menikah dengan penganut agama lain.

7. Begitu pula dengan undang – undang yang berlaku di Indonesia, menurut UU. No. 1

Tahun 1997 tetang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 telah jelas tertulis perkawinan harus

sesuai masing- masing hukum agama, sedangkan agama yang diakui di Indonesia

tidak memperbolehkan pernikahan beda agama.

Pernikahan beda agama dalam Agama Hindu khusus nya di Bali dianggap sebagai

sebuaah pelanggaran, walaupun perkawinan tersebut tetap sah. Semenjak tahun 1951

dengan Peraturan Gubernur Kepala Daerah Bali, peraturan presiden Bali dan Lombok

13

Page 14: Pernikahan Beda Agama

tahun 1910 dihapuskan, tetapi masih mengikuti hukum adat istiadat yang berlaku. Dan

terus melonggar sampai sekarang.

14

Page 15: Pernikahan Beda Agama

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Kompendium Bidang Hukum Perkawinan. Kementerian Hukum Dan HAM

RI

Adnyana, Wayan Putra. 2011. Perkawinan Nyeburin Berbeda Agama Ditinjau Dari Hukum

Adat Bali. Universitas Udayana

Panetje, I Gede, 1986, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Kayumas, Denpasar

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tantang Perkawinan

15