Pernikahan Beda Agama
description
Transcript of Pernikahan Beda Agama
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu tradisi yang sangat penting, perkawinanpun
banyak di atur dalam berbagai aspek, baik dari sisi agama, tradisi kemasyarakatan,
dan institusi negara. Pada kenyataannya pengaturan mengenai masalah perkawinan
terdapat banyak perbedaan diantara satusama lainnya dan tidak memiliki suatu
keseragaman, misalnya pada tradisi masyarakat yang satu dengan yang lain, antar
agama yang satu dengan yang lainnya, bahkan dalam satu agama pun dapat terjadi
perbedaan pengaturan perkawianan disebabkan adanya cara berfikir yang berlainan
karena menganut mazhab atau aliran yang berbeda.
Keadaan dan kondisi di suatu daerah akan turut mempengaruhi pengaturan hukum
perkawinan di daerah tersebut. Di negara Indonesia, bangsa yang plural dan heterogen.
Indonesia adalah bangsa yang multikultural dan multiagama. Pluralitas di bidang agama
terwujud dalam banyaknya agama yang diakui sah di Indonesia, yaitu agama Islam,
Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan lain-lain.
Menurut publikasi BPS (Badan Pusat Statistika) pada bulan Agustus 2010,
jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak 237.556.363 orang,
yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan, dengan tingkat laju
pertumbuhan rata-rata sebesar 1,4% per tahun. Sementara distribusi menurut agamanya,
di tahun 2010, kira-kira 85,1% dari penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2%
Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan diatur dalam
UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada
ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak
boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda
agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur Pernikahan?
2. Bagaimana peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur Pernikahan beda
Agama?
3. Bagaimana pandangan masing-masing Agama selain Hindu di Indonesia terhadap
Pernikahan beda Agama?
4. Bagaimana pandangan Agama Hindu terhadap pernikahan beda Agama?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur
Pernikahan.
2. Dapat mengetahui peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur
Pernikahan beda Agama.
3. Dapat mengetahui pandangan masing-masing Agama selain Hindu di Indonesia
terhadap Pernikahan beda Agama.
4. Dapat mengetahui pandangan Agama Hindu terhadap pernikahan beda Agama.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkawinan Secara Umum
Menurut Peraturan Perundang-Undangan RI No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 1 ayat 1, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Di samping mengatur hubungan perkawinan sesama warga negaranya, antara
warganegaranya dengan warga negara lain, negara Republik Indonesia juga
mempunyai kewajiban internasional tentang pengaturan dan pemeberian pelayanan
hukum kepada warganegara lain yang kawin di Indonesia, hal tersebut sesuai dengan
UUD 1945 alinea ke empat yang menyatakan “dan ikut melakssanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan nesional”.
Perkawinan campuran adalah sebagaimana yang dianut dalam Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 57 yaitu perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pengaturan perkawinan campuran dalam UUP secara nasional sesuai dengan
Pembukaan UUD 1945, secara internasional sesuai dengan Pasal 16 AB (dalam rangka
Hukum Perdata Internasional), kondisi hukum, kenyataan hukum, serta hukum yang
dicita -citakan bangsa Indonesia, tinggal masalah pemahaman dan pengaturan
pelaksanaannya.
3
Pengupacaraan perkawinan campuran menurut upacara hukum agama suami,
hukum suami merupakan pilihan hukum antara dua sistem hukum yang berlainan,
seorang warga WNI yang bersedia melakukan perkawinan campuran dengan lelaki
penganut agama lain, berarti secara sadar menerima pengupacaraan perkawinannya
menurut hukum agama suami dan meninggalkan pengupacaraan perkawinan menurut
hukum agamanya sendiri, namun ia tetap tidak kehilangan haknya yang paling asasi,
ialah memeluk agamnaya dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu,
dalam negara Indonesia, tidak ada yang berhak memaksanya untuk pindah agama.
Adapun syarat-syarat perkawinan menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974
tentang perkawinan :
1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.
2. Adanya ijin kedua orangtua atau wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21
tahun.
3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita
sudah mencapai 16 tahun.
4. Antar calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah
atau keluarga yang tidak boleh kawin
5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain
6. Bagi suami isteri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka
kawin untuk ketiga kalinya
7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda
2.2 Perkawinan Menurut Agama
2.2.1 Perkawinan Menurut Islam
Perkawinan dalam agama Islam merupakan kewajiban yang harus
dijalankan sebagai peningkatan dalam penyempurnaan ibadah kepada Allah
S.W.T, yang di wujudkan dalam hubungan antara dua orang insan manusia yang
berbeda yang di takdirkan satu sama lain saling memerlukan dalam kelangsungan
hidup kemanusiaan untuk memenuhi nalurinya dalam hubungan seksual.
4
Pengertian perkawinan dalam agama Islam, adalah “Suatu akad atau
perjanjian mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan sukarela dan kerelaan kedua
belah pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang di liputi rasa
kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara yang di ridoi Allah
SWT”.
2.2.2 Perkawinan Menurut Protestan
Pengertian perkawinan menurut agama protestan adalah suatu persekutuan
hidup dan percaya total, eksklusif dan kontinyu antara seorang pria dan seorang
wanita yang dikuduskan dan diberkati oleh oleh Kristus Yesus. Pernikahan
sebagai soal agama, hukum tuhan, agar pernikahan tersebut sesuai dengan
kehendak tuhan yang menciptakan pernikahan itu. Syaratsyarat perkawinan
menurut agama Kristen Protestan adalah : 1) Masing - masing calon mempelai
tidak terikat tali perkawinan dengan pihak lain; 2) Kedua mempelai beragama
Kristen Protestan (agar perkawinan tersebut dapat diteguhkan dan diberkati); 3)
Kedua calon mempelai harus sudah ”sidi” (sudah dewasa); 4) Harus dihadiri dua
orang saksi; 5) Harus disaksikan oleh jemaat.
2.2.3 Perkawinan Menurut Katolik
Pengertian perkawinan menurut Soekoto Leo (1991:13) dari ke Uskupan
Agung Jakarta mengatakan bahwa, “Pernikahan adalah sepasang pria dan wanita
yang menikah bukan hanya sekedar hidup bersama, melainkan bersatu jiwa dan
raganya”. Untuk itu dalam agama Khatolik mereka menerima sakramen. Mereka
mau hidup bersatu dalam Tuhan artinya hidup kesatuan mereka, akan mereka
selenggarakan dengan rahmat pertolongan Tuhan. Dan mereka atur sesuai dengan
perintah- perintah Tuhan.
2.2.4 Perkawinan Menurut Hindu
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan.
Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal katanya,
kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Wiwaha atau perkawinan
dalam masyarakat hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat penting, dalam
catur asrama wiwaha termasuk kedalam Grenhastha Asrama. Disamping itu
5
dalam agama Hindu, wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia, seperti
dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha tersebut bersifat
sakral yang hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang
normal sebagai suatu kewajiban dalam hidupnya.
2.2.5 Perkawinan Menurut Budha
Agama Buddha mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan suci yang harus
dijalani dengan cinta dan kasih sayang seperti yang diajarkan Budha. Perkawinan
adalah ikatan lahir dan batin dua orang yang berbeda kelamin, yang hidup
bersama untuk selamanaya dan bersama-sama melaksanakan Dharma Vinaya
untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang ini dan kehidupan
yang akan datang.
2.2.6 Perkawinan Menurut Kong Hu Chu
Dalam ajaran agama Khonghucu perkawinan adalah, ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga yang bahagia), dan melangsungkan keturunan berdasarkan
Ketuhanan Yang maha Esa. Tujuan perkawinan dalam agama Konghucu di
Indonesia ialah memungkinkan manusia melangsungkan sejarahnya dan
mengembangkan benih-benih Thian (Tuhan Yang Maha Esa), berwujud kebajikan
yang bersemayam di dalam dirinya, dan memungkinkan manusia membimbing
putra-putrinya. Pengertian perkawinan Menurut Konghucu dapat ditemukan dalam
Kitab LI JI buku XLI : 1 & 3 tentang Hun Yi (kebenaran makna upacara
pernikahan), dinyatakan bahwa upacara pernikahan bermaksud akan menyatu-
padukan benih kebaikan/ kasih antara dua manusia yang berlainan keluarga;
keatas mewujudkan pengabdian kepada Tuhan dan leluhur (zong Miao),dan ke
bawah meneruskan generasi.
6
2.3 Pandangan Masing-Masing Agama Terhadap Perkawinan Beda Agama
2.3.1 Perkawinan Beda Agama dalam Islam
Perkawinan dalam agama Islam adalah suatu kewajiban dan merupakan
peristiwa penting yang harus dilaksanakan oleh seorang umat yang patuh pada
hukum-hukum Allah. Perkawinan dalam agama Islam terbentuk dari dua orang
yang sama-sama berkeyakinan pada Allah S.W.T dan bukan pada yang lainnya,
yaitu seorang pria dan wanita muslim. Jadi agama menunjukkan bahwa
perkawinan adalah baik jika dilaksanakan dengan aturan-aturan yang berlaku.
Agama Islam menetapkan syarat perkawinan bagi umatnya yang salah satunya
adalah tidak ada perbedaan agama antara calon suami dan calon istri
Dalam Alquran disebutkan bahwa perkawinan antara orang Islam dengan
orang musrik yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi:
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman.
Sesungguh nya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkah orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.
(Al-Baqarah [2]:221)
Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi
laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang
yang tidak beragama Islam.
2.3.2 Perkawinan Beda Agama dalam Protestan
Dalam perjanjian baru adalah hubungan lahir dan batin yang syah antara
seorang pria dan seorang wanita, seperti dijelaskan dalam kitab Injil yang
berbunyi : “Allah merencakan kawin untuk mengadakan hubungan sehingga pria
dan wanita menjadi satu daging. Dimana dalam satu hubungan antara pria dan
wanita, seorang Kristen diartikan suatu ikatan cinta kasih dan taat, yang
mengambarkan perwujudan hubungan Kristus dengan Gereja”. Jadi perkawinan
menurut Kristen Protestan adalah suatu ikatan atau hubungan lahir batin yang
7
berdasarkan cinta kasih antara seorang pria dan wanita sebagaimana ketaatan
mereka yang tergambar dalam perwujudan hubungan Kristus dengan Gereja.
Perkawinan dalam agama Kristen merupakan suatu keharusan bagi setiap
umat untuk menjalankan berbagai kehidupan. Keharusan ini berlaku terhadap
semua orang yang berlandaskan pada Firman Allah, maka untuk memilih teman
hidup tentu memilih yang sesuai dengan pernikahanya, yaitu memilih orang yang
sama-sama mempunyai keyakinan terhadap Kristus dan dilarang untuk
berpasangan dengan orang yang tak percaya terhadap Allah. Perkawinan dalam
Kristen yang syah harus diberkati oleh seorang pendeta. Dan pendeta akan
memberkati pernikahan bila keduanya memang orang beriman dihadapan Allah,
tapi bila terdapat salah satu yang tidak beriman berarti membantu orang untuk
berdosa yaitu melanggar Firman Allah.
Untuk menghindari kesalahan atau pelanggaran Firman Allah, seorang
pendeta biasanya dapat menginjili terlebih dahulu orang yang belum beriman, tapi
bila menolak maka upacara perkawinan tidak akan berlangsung atau dilaksanakan.
Perkawinan yang sudah terlanjur dilaksanakan oleh orang yang tidak beriman,
maka seorang Kristen tidak boleh menceraikannya, dan harus mengakui kesalahan
yang diperbuatnya, sebagai konsekuensinya ia harus hidup dengannya sebagai
suami-istri, megasihinya, merawatnya, memeliharannya, mendoakannya serta
setia kepadanya.
2.3.3 Perkawinan Beda Agama dalam Katolik
Gereja melarang perkawinan beda Agama, baik antara Katholik dengan
Protestan, maupun Khatolik dengan Agama lain. Larangan tersebut sehubungan
dengan pihak Khatolik dan pendidikan anak yang dilahirkannya, karena
dikhawatirkan iman terhadap Gereja akan hilang setelah perkawinan nanti (akan
pindah mengikuti keyakinan pasangannya).
Dilain pihak Gereja juga memberikan kelonggaran dan tidak menggekang
umatnya apabila dalam keadaan darurat, yaitu dengan diberikannya dispensasi.
Dipensasi akan diberikan, bila terdapat alasan yang cukup dan jaminan yang
meyakinkan, misalnya ada harapan pihak non Khatolik menjadi Khatolik, karena
lingkungan atau pergaulan, umur, untuk menghindari hubungan yang tidak sah,
8
untuk menegaskan hubungan yang sudah berlangsung, semua terlanjur siap untuk
pernikahan. Kemudian jaminan yang meyakinkan diri calon pengantin, yaitu :
pihak Khatolik berjanji akan selalu setia pada Agama Khatolik dan akan sungguh-
sungguh berusaha supaya anak dibina dan dididik secara Khatolik, pihak non
Khatolik tidak mengetahui apa yang dijanjikan oleh pihak Khatolik. Kelonggaran
yang diberikan oleh pihak Khatolik merupakan suatu tugas berat, sebab untuk
mengamankan imannya dalam diri dan anak-anaknya secara resmi tidak dijanjikan
bantuan positif oleh pihak non Khatolik.
2.3.4 Perkawinan Beda Agama dalam Budha
Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak
beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan,
asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal
ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk
agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua
mempelai diwajidkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan
Sangka” yang merupakan dewa-dewa umat Budha.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang
umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi
kalau penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha.
Di samping itu, dalam upacara perkawinan itu kedua mempelai diwajibkan
untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak
langsug berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi
penganut agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada
kaidah agama Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Untuk menghadapi
praktek perkawinan yang demikian mungkin bagi calon mempelai yang tidak
beragama Budha akan merasa keberatan.
2.3.5 Perkawinan Beda Agama dalam Kong Hu Chu
Tidak ada satu ayat pun yang khusus membolehkan atau melarang
pernikahan dua insan yang berbeda keyakinan. Pernikahan dinyatakan sah
9
bila, terjadi antara laki-laki dan perempuan dewasa, tidak ada unsur paksaan,
disetujui atau atas kemauan dua belah pihak, mendapat restu kedua orang tua
atau yang dituakan, diteguhkan dalam sebuah upacara keagamaan, meski untuk
salah satu mempelai tidak diharuskan berpindah keyakinan.
2.4 Pandangan dan Tanggapan Agama Hindu Terhadap Pernikahan Beda Agama
Menurut hukum agama Hindu, perkawinan (wiwaha) adalah ikatan seorang
pria dan wanita sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak
guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang
tuanya dari neraka, yang dilangsungkan dengan upacara ritual menurut agama
Hindu Weda Smerti.
Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda
beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara
lain: menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan
pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha
Esa. Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat saya simpulkan bahwa
pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan wanita
untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama
dan Adat.
Perkawinan campuran antara agama terjadi apabila seorang pria dan seorang
wanita yang berbeda agama yang dianutnya melakukan perkawinan dengan tetap
mempertahankan agamanya masing-masing. Termasuk dalam pengertian ini,
walaupun agamanya satu kiblat namun berbeda dalam pelaksanaan upacara-upacara
agamnya dan kepercayaannya. Adanya perbedaan agama atau perbedaan dalam
melaksanakan upacara agama yang dipertahankan oleh suami isteri di dalam satu
rumah tangga, adakalanya menimbulkan gangguan keseimbangan dalam kehidupan
rumah tangga.
Penyelesaian gangguan keseimbangan dalam keluarga rumah tangga dikarenakan
pelanggaran nyentane mungkin tidak sulit diatasi, tetapi lain halnya dengan akibat
perkawinan campuran antara agama yang berbeda, dikarenakan suami isteri masing-
10
masing mempertahankan agama yang dianutnya masing-masing. Apa yang sering terjadi
dalam kenyataan ialah menyimpang dari maksud ketentuan dalam UU no. 1-1974 yang
menggariskan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ternyata yang dilakukan
adalah penyimpangan atau penyelundupan hukum. Hal mana dapat dilihat dari kenyataan
yang berlaku dalam masyarakat, dan sesungguhnya perkawinan itu tidak sah.
Menurut hukum agama Hindu, perkawinan itu sah bila dilakukan dihadapan
pendeta. Bila ada yang salah satunya bukan beragama Hindu, maka sebelum hari
perkawinan harus dibuatkan upacara “Sudhiwadani” yang mengandung pengertian
menyucikan ucapan.
Pernikahan, sesuai ketentuan hokum adat Agama hindu di Bali tahun 1910,
pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang berkasta lebih rendah atau berbeda
agama merupakan sebuah pelanggaran. Pelanggaran tersebut berupa hukuman
pembuangan bagi laki-laki dan perempuan. Meskipun dianggap pelanggaran adat,
pernikahan tersebut tetap sah. Pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang
berkasta lebih tinggi juga menimbulkan pelanggaran dengan hukuman denda bagi laki-
laki. Pada zaman kerajaan Bali pelanggaran tersebut dapat menyebabkan kedua mempelai
dibunuh atas perintah raja, terlebih lagi apabila perempuan itu sudah menjadi calon istri
raja. Dalam kedua pernikahan tersebut si istri turun kasta menjadi sama kastanya dengan
si suami.
Pada tahun 1951 dengan Peraturan Gubernur Kepala Daerah Bali, peraturan
presiden Bali dan Lombok tahun 1910 dihapuskan. Kini pernikahan campuran
diperbolehkan tanpa hukuman pun. Akan tetapi, turun kasta bagi si istri tetap berlaku
meskipun tidak ditegaskan. Perempuan dari kasta tinggi yang menikah dengan laki-laki
dari kasta lebih rendah menjadi turun kasta dan mendapat kasta suaminya. Perempuan
yang menikah dengan laki-laki dari kasta yang lebih rendah tersebut tidak diizinkan
pulang ke rumah asalnya atau menegur orang tuanya seperti sediakala. Sementara itu,
apabila seorang laki-laki berkasta menikah dengan seorang perempuan sudra (tidak
berkasta), si istri berganti nama dan naik derajat menjadi jero atau mekel.
Kesalahan utama pemuda Hindu dalam meminang seorang wanita non-Hindu
adalah pada pemahaman yang merupakan kebanggaan semu dari penganut Hindu yang
menyatakan bahwa “semua agama sama”. Padahal pada kenyataannya tidak satu agama
11
pun yang sama di dunia ini, bahkan dalam satu agama pun acap kali terdapat perbedaan
pandangan/aliran. Sebuah survei interfaith menunjukkan bahwa agama yang memiliki
toleransi paling tinggi adalah Hindu. Merupakan sebuah kebanggaan sebagai Hindu
dimana menduduki peringkat teratas dalam hal toleransi beragama, tapi juga merupakan
bumerang bagi mereka yang tidak memahami filsafat Hindu dengan benar.
Kesalahan terbesar orang Hindu, terutama Hindu etnis Bali diluar
ketidakmampuan mensinergikan antara filsafat dan upacara (ritual) adalah karena orang
Hindu tidak pernah mau belajar dari sejarah. Kerajaan majapahit runtuh karena Raja
Brawijaya V tidak mampu bertindak sebagai seorang suami yang benar, dia tidak mampu
mengendalikan dan mendidik istrinya yang muslim sehingga anak kandung dari istrinya
itulah yang pada akhirnya menjadi penyebab kehancurannya dan kerajaannya. Kerajaan
badung-pun hampir hancur dengan cara seperti ini, namun “untung” belanda datang
menjajah sehingga Hindu di Bali belum sempat hancur seperti halnya Hindu di Jawa.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkawinan di atur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Tiap agama memandang bahwa perkawinan bukan hanya sekedar hubungan sosial
dan keperdataan semata, tetapi juga ada hubungan teologi yang diyakini oleh
penganutnya masing-masing. Pandangan agama-agama mengenai nikah beda agama
dapat disimpulkan bahwa :
1. Agama Katholik pada prinsipnya melarang dilakukannya perkawinan antar agama,
kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi untuk melakukan
perkawinan antar agama.
2. Agama Protestan membolehkan dilakukannya perkawinan antaragama dengan syarat
bahwa pihak yang bukan Protestan harus membuat surat pernyataan tidak
berkeberatan perkawinannya dilangsungkan di gereja Protestan.
3. Agama Hindu melarang dilakukannya perkawinan antaragama.
4. Buddha, membolehkan penganutnya untuk melaksanakan perkawinan beda agama,
dengan syarat pernikahan harus dilakukan secara buddha dan mengucapkan janji
dengan menyebut nama dewa-dewa.
5. Khonghucu membolehkan umatnya untuk menikah dengan penganut agama lain.
6. Islam dengan sangat tegas melarang pernikahan anatara laki-laki dan perempuan
untuk menikah dengan penganut agama lain.
7. Begitu pula dengan undang – undang yang berlaku di Indonesia, menurut UU. No. 1
Tahun 1997 tetang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 telah jelas tertulis perkawinan harus
sesuai masing- masing hukum agama, sedangkan agama yang diakui di Indonesia
tidak memperbolehkan pernikahan beda agama.
Pernikahan beda agama dalam Agama Hindu khusus nya di Bali dianggap sebagai
sebuaah pelanggaran, walaupun perkawinan tersebut tetap sah. Semenjak tahun 1951
dengan Peraturan Gubernur Kepala Daerah Bali, peraturan presiden Bali dan Lombok
13
tahun 1910 dihapuskan, tetapi masih mengikuti hukum adat istiadat yang berlaku. Dan
terus melonggar sampai sekarang.
14
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Kompendium Bidang Hukum Perkawinan. Kementerian Hukum Dan HAM
RI
Adnyana, Wayan Putra. 2011. Perkawinan Nyeburin Berbeda Agama Ditinjau Dari Hukum
Adat Bali. Universitas Udayana
Panetje, I Gede, 1986, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Kayumas, Denpasar
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tantang Perkawinan
15