Makalah Beda Agama
-
Upload
irwan-s-ik -
Category
Documents
-
view
16 -
download
4
description
Transcript of Makalah Beda Agama
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
”Cinta itu buta," begitu kata penyair asal Inggris, William Shakespeare.
Ungkapan yang sangat masyhur itu memang kerap terbukti dalam kehidupan sehari-
hari. Bahkan, terkadang sampai melupakan aturan agama. Saat ini, tak sedikit umat
Muslim yang karena "cinta" berupaya sebisa mungkin untuk menikah dengan orang
yang berbeda agama. "Tolong dibantu... Saya benar-benar serius untuk melakukan
nikah beda agama. Saya benar-benar pusing harus bagaimana lagi," tulis seorang
wanita Muslim pada sebuah laman.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai
penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu
keluarga atau rumah tangga.
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang
kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan
No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat
dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan
hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh
tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa
hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut
hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya
tergantung pada ketentuan agama.
Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan
hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan
tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara
pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu
terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan
bahwa sebenarnya perkawinan antar agama tidak diinginkan, karena bertentangan
dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama
masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara
seluruh warga negara Indonesia yang pluralis agamanya. Banyak kasus-kasus yang
terjadi didalam masyarakat, seperti perkawinan antara artis Jamal Mirdad dengan
Lydia Kandau, Katon Bagaskara dengan Ira Wibowo, Yuni Shara dengan Henri
Siahaan, Adi Subono dengan Chrisye, Ari Sihasale dengan Nia Zulkarnaen, Dedi
Kobusher dengan Kalina, Frans dengan Amara, Sonny Lauwany dengan Cornelia
Agatha, dan masih banyak lagi.
Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat,
seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara tegas
melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan melaksanakan
suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi pemerintah dalam perkawinan
beda agama ini terlihat dalam praktek bila tidak dapat diterima oleh Kantor Urusan
Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan menganggap sah perkawinan
berbeda agama yang dilakukan diluar negeri.
Dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap perkawinan
berbeda agama, menurut aturan perundang-undangan itu sebenarnya tidak
dikehendaki. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis mencoba
memberikan pendapat tentang Pengaruh Nikah Berbeda Agama Menurut terhadap
Keluarga
B.Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Pernikahan ?
2. Apakah Hukum Nikah Beda Agama Menurut Hukum Islam ?
3. Apakah Hukum Nikah Beda Agama Menurut Hukum Negara?
4. Bagaimana kondisi Nikah Beda Agama saaat ini ?
5 Bagaimana Pengaruh Nikah Beda Agama terhadap Keluarga ?
C.Tujuan Penulisan
1. Ingin mengetahui yang dimaksud dengan Pernikahan
2. Ingin mengetahui Hukum Nikah Beda Agama Menurut Hukum Islam
3. Ingin mengetahui Hukum Nikah Beda Agama Menurut Hukum Negara
4. Ingin mengetahui Bagaimana kondisi Nikah Beda Agama saaat ini
5 Ingin mengetahui Pengaruh Nikah Beda Agama terhadap Keluarga
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pernikahan
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering
diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut istilah syariat Islam adalah akad
yang menghalalkan pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang tidak ada
hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewjiban antara
kedua insan.
Hubungan antara seorang laki – laki dan perempuan adalah merupakan
tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan
ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki – laki dn perempuan yang
diatur dengan pernikahan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan
kesejahteraan baik bagi laki – laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara
keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut.
Berbeda dengan pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang tidak dibina
dengan sarana pernikahan akan membawa malapetaka baik bagi kedua insan itu,
keturunannya dan masyarakat disekelilingnya. Pergaulan yang diikat dengan tali
pernikahan akan membawa mereka menjadi satu dalam urusan kehidupan sehingga
antara keduanya itu dapat menjadi hubungan saling tolong menolong, dapat
menciptkan kebaikan bagi keduanya dan menjaga kejahatan yang mungkin akan
menimpa kedua belah pihak itu. Dengan pernikahan seseorang juga akan terpelihara
dari kebinasaan hawa nafsunya.
Allah SWT berfirman dalam surat An – Nisa Ayat 3 sebagai berikut :
“ Maka kawinilah wanita – wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan brlaku adil maka (kawinilah) seorang saja .”
(An – Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki – laki yang sudah mampu untuk
melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam
memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain – lain yang bersifat
lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan
syarat – syarat tertentu.
Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUH Perdata, tidak memberikan
pengertian perkawinan itu. Oleh karena itu untuk memahami arti perkawinan dapat
dilihat pada ilmu pengetahuan atau pendapat para sarjana. Ali Afandi mengatakan
bahwa “perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan”.[1] Dan menurut
Scholten perkawinan adalah ”hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang
wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”.[2]
Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan
hanya dalam hubungan-hubungan perdata. [3] Hal ini berarti bahwa undang-undang
hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti
perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidak
diperhatikan atau dikesampingkan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum
Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan
gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Jadi perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga yang kekal. Sedangkan yang
dimaksud dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-
syarat dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi
pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.
B.Hukum Nikah Beda Agama Menurut Hukum Islam
Seringkali kita jumpai pertanyaan “apa hukumnya bila nikah beda agama, baik
yg laki-laki atau perempuannya yg muslim, apa sah atau tidak menurut Islam ?”.
Pertanyaan ini sering muncul terutama ketika kita berada di sebuah negara yang
mayoritas penduduknya non muslim.
Ada 2 jenis menikah beda agama:
1. Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam
2. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam
1.Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam
Hukum mengenai perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-
Islam adalah jelas-jelas dilarang (haram). Dalil yg digunakan untuk larangan
menikahnya muslimah dengan laki-laki non Islam adalah Surat Al Baqarah(2):221
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.”
Jadi, wanita musliman dilarang atau diharamkan menikah dengan non muslim,
apapun alasannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Alquran di atas.
Bisa dikatakan, jika seorang muslimah memaksakan dirinya menikah dengan laki-laki
non Islam, maka akan dianggap berzina.
2.Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam
Pernikahan seorang lelaki Muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas
2 macam:
a. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab.
Yang dimaksud dg Ahli Kitab di sini adalah agama Nasrani dan Yahudi (agama
samawi). Hukumnya boleh, dengan dasar Surat Al Maidah(5):5
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi
mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar
maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan
tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari
akhirat termasuk orang-orang merugi.”
b. Lelaki Muslim dengan perempuan non Ahli Kitab.
Untuk kasus ini, banyak ulama yg melarang, dengan dasar Al Baqarah(2):221
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Banyak ulama yg menafsirkan bahwa Al Kitab di sini adalah Injil dan Taurat.
Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal dari sumber yg sama, agama
samawi, maka para ulama memperbolehkan pernikahan jenis ini. Untuk kasus ini, yg
dimaksud dengan musyrik adalah penyembah berhala, api, dan sejenisnya. Untuk poin
2, menikah dengan perempuan yang bukan ahli kitab, para ulama sepakat melarang.
Dari sebuah literatur, dapatkan keterangan bahwa Hindu, Budha atau
Konghuchu tidak termasuk agama samawi (langit) tapi termasuk agama ardhiy
(bumi). Karena benda yang mereka katakan sebagai kitab suci itu bukanlah kitab yang
turun dari Allah SWT. Benda itu adalah hasil pemikiran para tokoh mereka dan
filosof mereka. Sehingga kita bisa bedakan bahwa kebanyakan isinya lebih
merupakan petuah, hikmah, sejarah dan filsafat para tokohnya.
Kita tidak akan menemukan hukum dan syariat di dalamnya yang mengatur
masalah kehidupan. Tidak ada hukum jual beli, zakat, zina, minuman keras, judi dan
pencurian. Sebagaimana yang ada di dalam Al-Quran Al-Karim, Injil atau Taurat.
Yang ada hanya etika, moral dan nasehat. Benda itu tidak bisa dikatakan sebagai
kalam suci dari Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan berisi hukum
syariat. Sedangkan Taurat, Zabur dan Injil, jelas-jelas kitab samawi yang secara
kompak diakui sebagai kitabullah.
Sementara itu, Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan
Kitabiyah dan non Kitabiyah sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan ahlul kitab
adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel
asli. Adapun umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka
mereka tidak termasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s.
tidak diutus kecuali untuk Israil dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi umat-
umat setelah Bani israil.”
Sementara itu, para jumhur shahabat membolehkan laki-laki muslim menikahi
wanita kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Affan, Jabir,
Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para shahabat Nabi juga ada para tabi`Insya
Allah seperti Atho`, Ibnul Musayib, al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri. Pada
generasi berikutnya ada Imam Asy-Syafi`i, juga ahli Madinah dan Kufah.
Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan Imam Ahmad
bin Hanbal, dimana mereka berdua tidak melarang hanya memkaruhkan menikahi
wanita kitabiyah selama ada wanita muslimah.
Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu
Umar. Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang
mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa
tuhannya adalah Isa. Sehingga menurut mereka menikahi wanita ahli kitab itu haram
hukumnya karena mereka adalah musyrik.
Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu boleh
dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun demikian, wanita
muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh dengan agamanya tentu lebih
utama dan lebih layak bagi seorang muslim dibanding wanita ahlul kitab. Juga apabila
ia khawatir terhadap akidah anak-anak yang lahir nanti, serta apabila jumlah pria
muslim sedikit sementara wanita muslimah banyak, maka dalam kondisi demikian
ada yang berpendapat haram hukumnyapria muslim menikah dengan wanita non
muslim.
Secara ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian :
1. Suami Islam, istri ahli kitab = boleh
2. Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram
3. Suami ahli kitab, istri Islam = haram
4. Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram
Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab namun
tidak sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa atas
isterinya, dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Islam menjamin kebebasan aqidah
bagi isterinya, serta mlindungi hak-hak dan kehormatannnya dengan syariat dan
bimbingannya. Akan tetapi, agama lain seperti nasrani dan yahudi tidak pernah
memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan agama.
C.Perkawinan beda Agama menurut hukum Negara
Perkawinan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Berdasarkan UU tersebut perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Oleh karenanya dalam UU yang sama diatur bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu
serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendapat tentang Perkawinan beda Agama:
Seorang guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Muhammad
Daud Ali (alm.) menjelaskan dalam bukunya yang bejudul “Perkawinan Antar
Pemeluk Agama Yang Berbeda“.Perkawinan antara orang-orang yang berbeda
agama adalah penyimpangan dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum
agama dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk
penyimpangan ini, kendatipun merupakan kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu
dibuat peraturan tersendiri, tidak perlu dilindungi oleh negara. Memberi perlindungan
hukum pada warga negara yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
Pancasila sebagai cita hukum bangsa dan kaidah fundamental negara serta hukum
agama yang berlaku di Indonesia, pada pendapat saya selain tidak konstitusional, juga
tidak legal.
Prof. HM Rasjidi, menteri agama pertama RI, dalam artikelnya di Harian Abadi
edisi 20 Agustus 1973, menyorot secara tajam RUU Perkawinan yang dalam pasal 10
ayat (2) disebutkan: “Perbedaan karena kebangsaan, suku, bangsa, negara asal, tempat
asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.
Pasal dalam RUU tersebut jelas ingin mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia pasal 16 yang menyatakan: “Lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa
sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk
kawin dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dengan
hubungan dengan perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal perceraian.”
khusus tentang pasal 16 tersebut, Hamka menulis kesimpulan yang sangat tajam:
“Oleh sebab itu dianggap kafir, fasiq, dan zalim, orang-orang Islam yang
meninggalkan hukum syariat Islam yang jelas nyata itu. lalu pindah bergantung
kepada “Hak-hak Asasi Manusia” yang disahkan di Muktamar San Francisco, oleh
sebagian anggota yang membuat “Hak-hak Asasi” sendiri karena jaminan itu tidak
ada dalam agama yang mereka peluk.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pernikahan Beda Agama yang ada pada saat ini
Meskipun sudah dilarang, perkawinan beda agama masih terus dilakukan.
Berbagai cara ditempuh, demi mendapatkan pengakuan dari Negara. ada beberapa
cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat
dilangsungkan.
1. Pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama
perempuan.
2. Salah satu dari calon pengantin baik laki-laki ataupun perempuannya mengalah
mengikuti agama pasangannya.lalu setelah menikah dia kembali kepada agamanya.
3. Menikah diluar negri
Untuk perkawinan beda agama yang ada pada saat ini, mantan Menteri Agama
Quraish Shihab berpendapat agar dikembalikan kepada agama masing-masing. Yang
jelas dalam jalinan pernikahan antara suami dan istri, pertama harus didasari atas
persamaan agama dan keyakinan hidup. Namun pada kasus pernikahan beda agama,
harus ada jaminan dari agama yang dipeluk masing-masing suami dan istri agar tetap
menghormati agama pasangannya. “Jadi jangan ada sikap saling menghalangi untuk
menjalankan ibadah sesuai agamanya
Pendapat berbeda disampaikan pengajar hukum Islam di UI Farida Prihatini.
Farida menegaskan bahwa MUI melarang perkawinan beda agama.Pada prinsipnya,
bukan hanya agama Islam. “Semua agama tidak memperbolehkan kawin beda agama.
Umatnya saja yang mencari peluang-peluang. Perkawinannya dianggap tidak
sah, dianggap tidak ada perkwianan, tidak ada waris, anaknya juga ikut hubungan
hukum dengan ibunya. Farida jg menilai Pemerintah tidak tegas. Meskipun UU tidak
memperbolehkan kawin beda agama, tetapi Kantor Catatan Sipil bisa menerima
pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Padahal,Kantor
Catatan Sipil merupakan produk negara. Dengan demikian, seharusnya yang dicatat
KCS adalah sesuai dengan hukum Indonesia. “Secara hukum tidak sah. Kalau kita
melakukan perbuatan hukum di luar negeri, baru sah sesuai dengan hukum kita dan
sesuai dengan hukum di negara tempat kita berada. Harusnya kantor catatan sipil
tidak boleh melakukan pencatatan,
B.Pengaruh Nikah Beda Agama terhadap Keluarga
Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agaknya
dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Bagaimana
mendidik anak-anak mereka.karena pada dasarnya seorang anak akan kebingungan
untuk mengikuti ayahnya atau ibunya.Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram
jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena jangankan
perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan
antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Landis (1954) menyebutkan bahwa pasangan yang ekstrim perbedaan agamanya,
seperti katolik–protestan, menciptakan banyak permasalahan dalam penyesuaian
pernikahan, meskipun ada juga sedikit dari mereka yang sukses melewatinya. Chinitz
dan
Brown (dalam Boyle, 2002) menyebutkan bahwa penyebab permasalahan
pernikahan beda agama bukanlah perbedaan agama, akan tetapi konflik tak
terselesaikan dalam permasalahan keagamaan. Dengan demikian, bila permasalahan
keagamaan dapat diatasi, pernikahan beda agama dapat berjalan dengan lancar. Hal
ini dibuktikan dengan adanya pasangan tertentu yang dapat melewati pernikahan ini
dengan sukses.
Bossard & Boll (1957) menyebutkan bahwa anak dalam keluarga berbeda agama
memiliki potensi masalah. Ketika lahir, penentuan anak akan dibesarkan dalam agama
mana dapat menjadi masalah. Selain itu, keluarga besar dari masing-masing pasangan
umumnya terlibat dalam memperebutkan agama anak. Beranjak usia, anak yang telah
menjadi remaja dapat mengalami kebingungan dalam menentukan agamanya.
Misalkan kedua orang tua adalah figur yang sama baik di mata anak, anak akan tidak
enak hati bila harus memilih salah satu dari agama yang dianut orang tuanya
(Viemilawati, 2002).
Pernikahan beda agama dapat menyebabkan konsekuensi jangka panjang, baik
secara psikologis maupun religius, baik itu terhadap pasangan maupun anak.
Pasangan adalah subyek dari pernikahan beda agama. Namun demikian, anak akan
terkena dampaknya. Thomas (dalam Blood, 1969) melaporkan bahwa kebanyakan
anak dari pernikahan beda agama hanya sedikit atau tidak mendapatkan pendidikan
agama dan identitas agama dari kedua orang tuanya. Djajasinga (2001) menemukan
bahwa anak-anak ini menunjukkan pencapaian dimensi kepercayaan, intelektual, dan
konsekuensial yang baik, namun pencapaian dimensi ritual dan eksperiensial kurang
baik. Viemilawati (2002) menemukan bahwa mereka memiliki keyakinan terhadap
Tuhan yang baik, memandang penting berbuat baik terhadap sesama namun ritual
tidak wajib dilakukan.
Ada penelitian yang menemukan dampak negatif pernikahan ini terhadap
kehidupan beragama anak, ada juga yang tidak menemukannya. Hal ini terungkap
dari penelitian-penelitian sebelumnya yang menggunakan pendekatan kualitatif.
Dengan demikian, gambaran yang didapatkan bersifat individu. Sebaliknya, gambaran
besar populasi anak dari pernikahan berbeda agama belum pernah didapatkan. Oleh
karena itu, peneliti mencoba untuk mendapatkan gambaran atau pola umum
konsekuensi religius pernikahan ini terhadap anak melalui pendekatan kuantitatif.
Pernikahan beda agama dapat menyebabkan konsekuensi jangka panjang dari
sisi psikologis. Ada banyak tantangan yang dihadapi oleh keluarga yang di dalamnya
terdapat perbedaan agama antara pasangan. Mulai dari konflik antara pasangan,
konflik dengan orang-orang di luar pasangan, penentuan agama anak dan cara anak
dibesarkan. Tantangan terakhir merupakan permasalahan yang paling melibatkan
emosi karena menyangkut kepentingan banyak pihak dan hal prinsipil.
Proses dibesarkan dalam pernikahan beda agama menjadi pengalaman negatif
bagi anak bila mereka mengalami perlakuan negatif dari orang tua dan keluarga besar.
Sebagian anak tidak ingin menjadi bagian dari agama apapun ketika dewasa karena
mengalami banyak konflik emosional semasa dibesarkan (Duvall & Miller, 1985;
Blood, 1969). Apabila pengalaman ini berlangsung lama, maka akan ada dampak
terhadap kesejahteraan psikologisnya, terutama dalam hal penerimaan diri. Selama ini
belum pernah diteliti spengaruh jangka panjang pernikahan beda agama
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering
diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut istilah syariat Islam adalah akad
yang menghalalkan pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang tidak ada
hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewjiban antara
kedua insan.
Ada 2 jenis menikah beda agama menurut islam:
1. Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam
2. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam
Perkawinan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Berdasarkan UU tersebut perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Oleh karenanya dalam UU yang sama diatur bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu
serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pernikahan beda agama dapat menyebabkan konsekuensi jangka panjang dari sisi
psikologis. Ada banyak tantangan yang dihadapi oleh keluarga yang di dalamnya
terdapat perbedaan agama antara pasangan. Mulai dari konflik antara pasangan,
konflik dengan orang-orang di luar pasangan, penentuan agama anak dan cara anak
dibesarkan. Tantangan terakhir merupakan permasalahan yang paling melibatkan
emosi karena menyangkut kepentingan banyak pihak dan hal prinsipil
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jashshash, Ahkâm al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kitab al-`Araby, 1335 H).
Al-Tabari, Jâmi` al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), II.
Ismatu Ropi, "Wacana Inklusif Ahl al-Kitab", dalam Paramadina: Jurnal Pemikiran
Islam , Volume 1, Nomor 2 1999.
MTPPI, Tafsir Tematik al-Qur'an (Jogjakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah, 2000).
Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya (Jakarta: Paramadina,
1998).
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, VI.
Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2004).
Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog Antar Agama (Yogyakarta: Bentang Budaya,
2000).
[1] Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum
Pembuktian, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, h.94
[2] R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin, Hukum
Orang dan Hukum Keluarga, Bandung, Alumni, 1985, h.31
[3] Lihat pasal 26 Kitab undang-undang Hukum Perdata