Perkawinan beda agama

download Perkawinan beda agama

If you can't read please download the document

Transcript of Perkawinan beda agama

OLEH ATIK BAROROH 108016200014 HIZRAINI POHAN 108016200021 SITI AISAH 108016200016

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN JURUSAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI KIMIA 2

2008/2009KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW juga keluarga, para sahabat dan kita sebagai umatnya. Terima kasih kepada teman- teman yang telah membantu kami dalam proses pembuatan makalah ini sehingga dapat terselesaikan. Kami sadar, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terkait dalam proses pembuatan makalah ini. Semoga dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dan para pembaca umumnya. Ciputat, 27 Maret 2009

Tim penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB 1. PENDAHULUAN. 1 BAB 2. PEMBAHASAN.2 2.1. Pemahaman yang setuju. 2.2. Pemahaman yang tidak setuju BAB 3. KESIMPULAN...3 DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah mengutus nabi Muhammad SAW sebagai penyempurna akhlak manusia dengan menyampaikan agama yang hak, memberi petunjuk kepada segenap manusia ke jalan kebaikan, untuk kehidupan di dunia dan keselamatan di akhirat. Salah satu sunnah nabi adalah menikah. Tarif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong- menolong antara seorang laki- laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Perkawinan di Indonesia di atur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan UU tersebut perkawinan didefenisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan bukanlah hanya terkait antara seorang laki- laki dan seorang perempuan. Tetapi dengan adanya pernikahan maka hal ini akan mendatangkan hubungan antara dua kaum yang mungkin berbeda dari pihak laki- laki maupun perempuan. Lebih dari itu juga akan sangat mempengaruhi terhadap keturunan kedua belah pihak. Era globalisasi yang dicanangkan oleh kaum musyrikin berpengaruh juga atas perkembangan pemikiran muslimin. Sementara itu, sedikit orang Islam yang berusaha mengglobalkan hukum agamanya. Akhirnya mencari-cari alasan untuk bisa memberikan kebebasan bergaul. Pengaruh tersebut mengakibatkan sering bermunculan orang yang mengaku muslim mencari pasangan hidup dari kalangan non muslim. Semakin maraknya nikah beda agama juga meresahkan kalangan masyarakat. Terpikir oleh kita bahwa bagaimana solusi antara dua orang insan untuk membina rumah tangga, sedangkan keduanya berasal dari agama yang berbeda, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka masing- masing pihak mempunyai tujuan dan pedoman hidup yang berbeda. Apa jadinya keturunan mereka nanti yang akan menjadi generasi penerus bangsa jika hal ini terus terjadi. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami mencoba ingin mengupas bagaimana

sebenarnya pandangan agama khususnya Islam terhadap fakta ini, dan juga bagaimana aturan yang ditetapkan negara terhadap kasus tersebut.

BAB II

PEMBAHASAN Pernikahan merupakan ikatan dua insan, laki- laki dan perempuan yang mempunyai banyak perbedaan baik dari segi fisik, asuhan keluarga, cara berpikir, pendidikan, dan lain- lain. Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan suatu ikatan yang sangat suci, yakni bersatunya dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat dan masyarakat. Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat, yaitu ijab dan qabul. Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi ke langit yang tinggi. Dan dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal soleh. Aqad nikah bukan hanya perjanjian antara dua insan, tetapi juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan Al- khaliq. Ketika dua tangan diulurkan maka di atasnya ada tangan Allah Swt. Oleh sebab itu bukan perkara yang mudah untuk melakukannya, karena dibalik itu ada pertanggungjawaban yang sangat besar. Belakangan ini banyak kita ketahui bahwa adanya pernikahan yang dilakukan oleh dua insan yang berasal dari agama yang berbeda yang sering disebut nikah beda agama. Semakin maraknya pernikahan beda agama dikalangan masyarakat ini bukan hanya mengundang perdebatan diantara sesama umat Islam, tetapi juga sering mengundang keresahan di tengahtengah masyarakat. Dengan pertimbangan tersebut pulalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memutuskan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah, kemudian perkawinan laki- laki muslim dengan wanita ahlu kitab adalah haram dan tidak sah. Secara ringkas hukum nikah beda agama bisa dibagi menjadi sebagai berikut; 1. Suami Islam, istri ahli kitab dinyatakan boleh. 2. Suami Islam, istri kafir dinyatakan haram. 3. Suami ahli kitab, istri Islam dinyatakan haram. 4. Suami ahli kitab, istri Islam dinyatakan haram. Dibolehkannya laki- laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab namun tidak sebaliknya, karena laki- laki pemimpin rumah tangga, berkuasa atas istrinya dan

bertanggungjawab terhadap dirinya. Islam menjamin kebebasan aqidah bagi istrinya, serta melindungi hak- hak dan kehormatannya dengan syariat dan bimbingannya. Pemahaman yang Setuju Mayoritas ulama membolehkan seorang mumin menikah dengan wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani). Namun, menikah dengan wanita muslimah tetap harus diutamakan sebab pada hakikatnya diantara hikmah dibolehkannya adalah dengan rangka untuk dakwah mengislamkannya. Hal ini berdasarkan pada surat al- Maidah : 5

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (Al-Maaidah Ayat 5) Diriwayatkan bahwa Utsman bin Affan ra. menikah dengan Nailah Al Kalbiyah, wanita Yahudi, begitu juga Thalhah bin Ubaidillah ra. menikah dengan wanita Yahudi dari penduduk Syam. Itu pun tidak ada satupun riwayat yang mengatakan bahwa salah seorang sahabat menentang pernikahan tersebut. Dari sini nampak bahwa mereka bersepakat atas bolehnya menikah dengan wanita ahlul kitab. Banyak ulama yang menafsirkan bahwa Al Kitab di sini adalah Injil dan Taurat. Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal dari sumber yang sama, agama samawi, maka para ulama memperbolehkan pernikahan jenis ini. Sedang yang dikatakan musyrik adalah penyembah berhala, api, dan sejenisnya Namun, hal ini kemudian memunculkan permasalahan lagi, menurut sebagian pendapat

bahwa tidak ada lagi yang namanya Ahli Kitab, umat Kristen sendiri sejak Rasulullah Muhammad saw diutus Allah swt untuk menyebarkan ajaran Islam telah melakukan perubahan terhadap kitab sucinya. Yusuf Al-Qardlawi berpendapat bahwa kebolehan nikah dengan Kitabiyah tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib untuk diperhatikan, yaitu 1. Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi; 2. Wanita Kitabiyah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina); 3. Ia bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum muslimin; 4. Di balik perkawinan dengan Kitabiyah itu tidak akan terjadi fitnah, yaitu mafsadat atau kemurtadan. Makin besar kemungkinan terjadinya kemurtadan makin besar tingkat larangan dan keharamannya. Nabi Muhammad saw. pernah menyatakan, "La dharara wa la dhirara (tidak bahaya dan tidak membahayakan). Pemahaman yang Tidak Setuju

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)

kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Surat Al-Baqarah Ayat 221) Dalam pasal 2 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, dinyatakan bahwa "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Artinya pihak yang akan kawin menganut agama yang sama. Jika kedua-duanya itu berlainan agama, menurut ketentuan dalam UU Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksananya, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya ikut menganut agama pihak lainnya itu. Firman Allah, surat Al- Mumtahanah ayat 10

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 60:10) .Wanita Islam dengan pria bukan Islam. Seluruh ulama sejak zaman sahabat hingga abad modern ini sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya kawin dengan pria bukan Islam. Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, dimana

mereka berdua tidak melarang hanya memakruhkan menikahi wanita kitabiyah selama ada wanita muslimah. Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu Umar. Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa. Sehingga menurut mereka menikahi wanita ahli kitab itu haram hukumnya karena mereka adalah musyrik. Selanjutnya Qardlawi menyatakan beberapa kemurtadan (keburukan) yang akan terjadi manakala kawin dengan wanita non-Muslim: 1) Akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan laki-laki Muslim yang belum kawin. Sementara itu poligami diperketat dan malah laki-laki yang kawin dengan wanita Nasrani sesuai dengan ajaran agamanya serta tidak mungkin menyetujui suaminya berpoligami; 2) Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya. Demikian pula anak-anaknya. Bila hal ini terjadi maka fitnah benar-benar menjadi kenyataan, dan 3) Perkawinan dengan non-Muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami istri dan kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Lebih-lebih jika laki-laki Muslim dan Kitabiyah berbeda tanah air, bahasa dan budaya.

BAB III KESIMPULAN Nikah beda agama hukumnya adalah haram. QS.Al- Maidah: 5 dihalalkan untuk menikahi wanita ahlu kitab, tetapi ayat ini termasuk ke dalam ayat yang nashih yaitu (yang

terhapuskan) setelah turunnya QS. Al- Baqarah: 221 yang disebut manshuh (yang menghapus). Dan dengan keyakinan bahwa yang dikatakan sebagai ahlu kitab itu zaman sekarang sudah tidak ada lagi, karena kitab- kitab yang terdahulu diturunkan dari Tuhan sekarang sudah tidak asli lagi dan sudah banyak perubahan di dalamnya.

BAB IV DAFTAR PUSTAKA Rasjid, Sulaiman. FIQH ISLAM. Jakarta: Sinar Baru Algensindo, 2007. http://www.dakwatuna.com/2007/hukum-menikah-dengan-orang-musyrik-dan-ahlul-kitab/

Al- Jamal, Ibrahim Muhammad. FIQIH MUSLIMAH. Jakarta: Pustaka Amani, 1994.