Post on 06-Dec-2015
description
10 Akupuntur pada Inkontinensia Urin
a. Etiologi pada Glomerulonefritis
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan
pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain:
melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali,
kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain
itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung
kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit,
sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait
dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-
obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih
bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran
kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila
vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan
terapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika
pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi
feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya
serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu
penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi
karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya
gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus
dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan
yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang
bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab
produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis
yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan
oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara
teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila
penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau
farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi
obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya. Obat-
obatan ini bisa sebagai ‘biang keladi’ mengompol pada orang-
orang tua. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau
penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau
modifikasi jadwal pemberian obat.
Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika,
antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa,
agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik.
Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan
sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan
alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain
hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi
akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca
melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut,
kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan
tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya
otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan.
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar
panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang
serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko
terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar
hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke
atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu
saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya
inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas
atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga
berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang
semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine,
karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot
dasar panggul (Santoso BI, 2008).
b. Patofisiologi Inkontinensia Urin
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang
memerlukan rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan
yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase yaitu, fase
pengisisan, dengan kandung kemih berfungsi sebagai
reservoar urine yang masuk secara berangsur-angsur dari
ureter, dan fase miksi dengan kandung kemih befungsi sebagai
pompa serta menuangkan urine melalui uretra dalam waktu
relatif singkat. Pada keadaan normal selama fase pengisian
tidak terjadi kebocoran urine, walaupun kandung kemih penuh
atau tekanan intraabdomen meningkat seperti sewaktu batuk,
meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan isi kandung
kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan normal,
dalam hal demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar
kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung kemih
dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat
atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar,
tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja
kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung
kemih tetap kendor sehingga meskipun volume kandung kemih
meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah.
Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan
selalu dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka uretra
tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung
kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya,
sementara terjadi pengendoran mekanisme penutup di dalam
uretra. Uretra membuka dan urine memancar keluar. Ada
semacam kerjasama antara otot-otot kandung kemih dan uretra,
baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase pengeluaran.
Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam
ureter (refluks).
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme
dikendalikan dan tanpa kendali. Sfingter uretra eksternal dan
otot dasar panggul berada dibawah kontrol volunter dan
disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan otot detrusor kandung
kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol
sistem safar otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks
otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan
serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisan
mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung
kemih terjadi dan bila otot kandung kemih berkontraksi
pengosongan kandung kemih atau proses berkemih
berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri
atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor
meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medula spinalis dan pusat
saraf yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih
seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan
melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal
dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan
serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga
dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami
desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih
berlanjut, rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan
pusat kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat
pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan
subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi
kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen penting
dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan
kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter
berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara urethra dan
kandung kemih. Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung
pada posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat
meningkatkan tekanna intraabdomen secara efektif
ditrasmisikan ke uretre. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin
tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk yang
meningkatkan tekanan intraabdomen. Mekanisme dasar proses
berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di medula
spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih.
Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan
aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan
penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung
kemih serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan
mempertahankan inversi somatik pada otot dasar panggul.
Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik
menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi
kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih.
Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih
tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum.
Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinensia
urin yaitu ada inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia tipe
urgensi, tipe fungsional dan tipe overflow. Patofisiologi yang
akan dibahas adalah inkontinensia urin tipe stress dimana
inkontinensia urin tipe stres merupakan inkontinensia urin
yang paling banyak dijumai pada perempuan. Ada sebuah
penelitian yang melaporkan bahwa inkontinensia urin stres
ternyata tidak hanya disebabkan oleh kegagalan penyokong
uretr tetapi juga karena penutupan leher vesika yang tidak
adekuat dan gangguan pada sestem kendali kontinensia urin
(neuromuskular). Pemahaman itu memicu kesimpulan bahwa
tatalaksana yang diberikan pada perempuan dengan
inkontinensia urin harus disesuaikan dengan jenis
inkontinensia urin dan penyebab kerusakan; sebaiknya
tatalaksana ini tidak disamaratakan untuk semua kasus
inkontinensia urin. Untuk lebih memahami patofisiologinya,
inkontinensia urin akan dibahas dengan pendekatan anatomi
dan fisiologi (Santoso BI, 2008; O’callaghan CA, 2006).
c. Tanda dan Gejala Inkontinensia Urin
Gejala dari inkontinensia urin berbeda-beda, tergantung
pada tipe inkontinensianya, berikut adalah beberapa tipe
inkontinensia urin beserta gejalanya menurut Baradero M et
al., (2005):
a. Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan
intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah
raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar
panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin
pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada
wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat
kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan
transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan
urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang
keluar dapat sedikit atau banyak.
b. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan
sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini
umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak
terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah
neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin
urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia
dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup
waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk
berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin.
Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab
tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu
variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor
dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami
kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan
kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti
inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh
karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena
dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga
penanganannya tidak tepat.
c. Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow
incontinence)
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan
distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini
disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran
prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau
sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak
berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-
obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin
tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
d. Inkontinensia urin fungsional
Memerlukan identifikasi semua komponen tidak
terkendalinya pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar
saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat,
masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang
menyebabkan kesulitan untuk pergi ke kamar mandi, dan
faktor psikologis.
d. Akupuntur Sebagai Terapi Komplementer Inkontinensia Urin
Penelitian Wright dan Sun menyebutkan bahwa
akupunktur berperan untuk memperbaiki inkontinensia tipe
urgensi, campuran (urgensi dan stres) dan overflow
(hiperrefleksi detrusor). Penelitian yang membandingkan terapi
lanjutan obat kolinergik dan pemberian akupunktur pada
pasien over active bladder (OAB) menunjukkan bahwa terapi
akupunktur tidak efektif untuk mengurangi risiko kekambuhan
penyakit. Walaupun akupunktur tidak bersifat kuratif,
pengurangan gejala dan perbaikan kualitas hidup menunjukkan
bahwa akupunktur dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari
tatalaksana pasien inkontinensia urin. Kekurangan terapi
akupunktur adalah memerlukan partisipasi aktif dan kesabaran
dari pasien.
Obat antikolinergik bekerja dengan cara merelaksasi otot
polos kandung kemih melalui penghambatan impuls saraf
parasimpatis dan menghambat secara selektif pengikatan
neurotransmitter asetilkolin pada reseptor tersebut. Sistem
parasimpatis bertanggungjawab untuk kontraksi otot detrusor
selama pengosongan kandung kemih normal. Aktivasi sistem
saraf parasimpatis menyebabkan kontraksi kandung kemih.
Akupunktur merangsang pelepasan neurotransmiter melalui
impuls saraf ke otak dan mempengaruhi sistem saraf
otonom.Akupunktur mengubah kimia otak dengan mengubah
pelepasan neurotransmiter yang mempengaruhi sistem saraf
pusat (SSP) terkait dengan sensasi dan fungsi tubuh melalui
perantara saraf otonom. Selain itu, akupunktur meningkatkan
aliran darah, mempengaruhi pelepasan neurotransmiter dan
neurohormon yang salah satunya adalah opioid endogen.
Akupunktur dapat mengubah impuls aferen yang abnormal
dari kandung kemih ke sumsum tulang belakang sehingga
terjadi aktivasi refleks yang akan menghambat kontraksi
detrusor.
Persarafan aferen dan eferen kandung kemih dipengaruhi
oleh saraf simpatis yang berasal di T11-L2, dan parasimpatis
serta somatik yang berasal di S2-4. Otot yang mengatur proses
berkemih diatur oleh sistem saraf otonom dan somatik.
Relaksasi otot detrusor akibat stimulasi simpatis yang berasal
dari sumsum tulang belakang regio T11-L2, sedangkan
kontraksi timbul akibat stimulasi parasimpatis terjadi dari
sumsum tulang belakang sakrum S2. Sfingter uretra eksterna
berada di bawah kendali somatik. Pemilihan titik BL31, BL32,
dan BL33 sesuai dengan persarafan segmental yang
memberikan saraf parasimpatis ke kandung kemih.
Titik-titik akupunktur lain yang mempengaruhi pusat miksi
dan persarafan parasimpatis ke sistem kemih adalah BL23,
BL28 dan beberapa titik pada perut bagian bawah yang terletak
pada meridian Ren (CV). Titik SP6, ST36 dan KI3, yang
terletak di kaki, sesuai dengan dermatom kulit dari persarafan
L4-S2, yang berarti bahwa stimulasi titik-titik ini dapat
mempengaruhi fungsi kandung kemih. Demikian pula titik
pada meridian CV sesuai dengan dermatom kulit T11-L1
(Wahdini S, 2014).
Sumber:
Baradero M, Dayrit MW, Siswadi Y. Klien gangguan ginjal: seri asuhan
keperawatan. Jakarta: EGC; 2005.
O’callaghan CA. The renal system at a glance. 2nd ed. Jakarta: Erlangga; 2006.
Santoso BI. Inkontinensia urin pada perempuan. MKI. 2008 Juli; vol 58(no.7):
258-264
Wahdini S (2014). Peran Akupuntur dalam Penatalaksanaan Geriatri. Jakarta,
2(2): 379-384.