Post on 18-Feb-2018
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI
DAN PROTEIN DENGAN STATUS KESEHATAN DAN
STATUS GIZI PADA LANSIA DI KOTA BANDUNG
IKA ROHMAH SEKARAYU
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Hubungan antara
Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan dan Status Gizi
pada Lansia di Kota Bandung” ialah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Ika Rohmah Sekarayu
NIM I14090112
________________________
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian dengan pihak luar IPB
harus didasarkan pada perjanjian yang terkait.
ABSTRAK
IKA ROHMAH SEKARAYU. Hubungan antara Tingkat Kecukupan Energi dan
Protein dengan Status Kesehatan dan Status Gizi pada Lansia di Kota Bandung.
Dibimbing oleh ALI KHOMSAN dan DADANG SUKANDAR.
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui hubungan antara tingkat
kecukupan energi dan protein dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia
di Kota Bandung. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini ialah penelitian
menggunakan data sekunder. Contoh berjumlah 334 orang lansia di Kota
Bandung. Rata-rata konsumsi energi dan protein lansia ialah sebesar 1090 kkal
dan 35.8 g. Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein ialah berturut-turut
51.9% dan 68.9%. Sebanyak 42.5% lansia mengalami overweight. Hasil uji
korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan
(p>0.05) antara TKE dan TKP dengan status kesehatan. Selain itu, adanya
hubungan yang negatif antara TKE dengan status gizi dan adanya hubungan yang
positif antara TKP dengan status gizi.
Kata kunci: konsumsi pangan, lansia, status gizi, status kesehatan
ABSTRACT
IKA ROHMAH SEKARAYU. Association between Energy and Protein
Sufficiency Level with Health Status and Nutritional Status of Elderly in Bandung
City. Supervised by ALI KHOMSAN and DADANG SUKANDAR.
The objective of this study is to analyze the association between energy and
protein sufficiency level in elderly in Bandung City. The study used secondary
data. The total number of sample in this study were 334 elderly in Bandung City.
The average consumption of energy and protein of elderly was 1090 kcal and 35.8
g. The average sufficiency levels of energy and protein was 51.9% and 68.9%
respectively. As many as 42.5% elderly had overweight nutritional status. The
Spearman correlation analysis showed that there was no significant correlation
(p>0.05) between energy and protein sufficiency level with health status. In
addition, there was negative correlation between energy sufficiency level with
nutritional status and positif correlation between protein sufficiency level with
nutritional status.
Keywords: elderly, food consumption, health status, nutritional status
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi
pada Departemen Gizi Masyarakat
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI
DAN PROTEIN DENGAN STATUS KESEHATAN DAN
STATUS GIZI PADA LANSIA DI KOTA BANDUNG
IKA ROHMAH SEKARAYU
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Hubungan antara Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan
Status Kesehatan dan Status Gizi pada Lansia di Kota Bandung
Nama : Ika Rohmah Sekarayu
NIM : I14090112
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS
Pembimbing I
Prof Dr Ir Dadang Sukandar M. Sc
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Rimbawan
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi berjudul “Hubungan antara Tingkat
Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan dan Status Gizi pada
Lansia di Kota Bandung” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana (S1)
Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor, dapat terselesaikan dengan baik.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan masukan dari banyak
pihak. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS dan
Prof Dr Ir Dadang Sukandar M. Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan
penuh kesabaran senantiasa meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan
bimbingan, arahan, dorongan, saran, dan semangat untuk menyelesaikan skripsi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS selaku dosen
pemandu seminar sekaligus dosen penguji sidang yang telah memberikan
semangat, masukan, kritik, dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua dan keluarga
besar yang selalu mendoakan penulis, memberikan semangat, motivasi, dan
dukungan baik moril maupun materi selama masa pendidikan. Di samping itu,
terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman sesama tim penelitian Liza
dan Babang, serta sahabat dan teman terdekat Tami, Hanum, Lativa, Evi, Weni,
Ibet, Michel, Risa, Ilya, Siti dan Fera serta teman-teman Gizi Masyarakat
angkatan 46 atas semua saran, motivasi, bantuan, dan dukungannya selama ini,
serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.
Bogor, Maret 2014
Ika Rohmah Sekarayu
DAFTAR ISI
PRAKATA i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR LAMPIRAN iii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Kegunaan Penelitian 2
Hipotesis 3
KERANGKA PEMIKIRAN 3
METODE 5
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian 5
Teknik Penarikan Contoh 5
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 5
Pengolahan dan Analisis Data 6
DEFINISI OPERASIONAL 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Karakteristik Lansia 9
Konsumsi Pangan 11
Status Gizi 13
Status kesehatan 13
Hubungan antar Variabel 16
SIMPULAN DAN SARAN 20
Simpulan 20
Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 24
RIWAYAT HIDUP 30
DAFTAR TABEL
1 Peubah dan cara pengumpulan data 5
2 Sebaran dan statistik lansia 10 3 Rata-rata konsumsi, angka kecukupan dan tingkat kecukupan
lansia 12 4 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan energi dan protein 12 5 Sebaran lansia menurut status gizi 13 6 Sebaran lansia menurut persepsi kondisi kesehatan 14 7 Sebaran lansia menurut penyakit yang dialami 14 8 Sebaran lansia menurut disabilitas fisik 15 9 Sebaran lansia menurut aktivitas sehari-hari 15 10 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan tingkat
pendapatan 16 11 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKE 17 12 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP 17 13 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKE 18 14 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP 18 15 Sebaran lansia berdasarkan status gizi dan status kesehatan 19 16 Hasil uji korelasi Spearman antara TKE dan TKP dengan status
kesehatan dan status gizi 19
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner Penelitian 24 2 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan tingkat
pendapatan 28 3 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKE 28 4 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP 28 5 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKE 28
6 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKP 28 7 Sebaran lansia dan hasil uji korelasi Spearman berdasarkan status
gizi dan status kesehatan 29 8 Hasil uji korelasi Spearman antara TKE dan TKP dengan status
kesehatan dan status gizi 29
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan kesejahteraan manusia bergantung dari kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM). Peningkatan SDM berhubungan langsung dengan fenomena
terjadinya perbaikan status kesehatan akibat kemajuan teknologi dan ilmu
kedokteran, transisi epidemiologi dari penyakit infeksi menuju penyakit
degeneratif, dan perbaikan status gizi. Status kesehatan yang baik berdampak pada
peningkatan masa hidup manusia dan banyaknya lansia di Indonesia. Pada
umumnya lansia diartikan sebagai usia saat memasuki masa pensiun yang di
Indonesia dapat berkisar antara usia di atas 55 tahun (Darmojo dan Boedhi 2006).
Akan tetapi, batasan lansia menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lansia ialah individu yang memiliki umur 60 tahun ke atas.
Menjadi tua ialah sebuah konsekuensi orang hidup dan tidak bisa dihindari.
Usia lanjut sebagai tahap akhir siklus kehidupan merupakan tahap perkembangan
normal yang akan dialami oleh setiap individu yang sudah mencapai usia lanjut
tersebut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihalangi (Stanley 2006).
Pada usia diatas 55 tahun terjadi proses penuaan secara alamiah yang nantinya
akan menimbulkan masalah fisik, mental, sosial, ekonomi dan psikologi (Nugroho
2000).
Pertambahan jumlah lansia di beberapa negara, salah satunya Indonesia,
telah mengubah profil kependudukan baik nasional maupun dunia. Data Badan
Pusat Statistik tahun 2010 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk lansia di
Indonesia ialah 18.57 juta jiwa, meningkat sekitar 7.93% dari tahun 2000 yang
sebanyak 14.44 juta jiwa. Diperkirakan jumlah penduduk lansia di Indonesia akan
terus bertambah sekitar 450000 jiwa per tahun. Dengan demikian, pada tahun
2025 jumlah penduduk lansia di Indonesia akan sekitar 34.22 juta jiwa (BPS
2010).
Pertambahan jumlah lansia tersebut merupakan tantangan besar dalam
masalah kesehatan dan gizi. Lansia merupakan salah satu kelompok yang rawan
menderita gizi kurang dan diperburuk oleh adanya penyakit degeneratif. Lansia
yang menderita malnutrisi, respon kekebalan tubuhnya buruk dan lebih mudah
terserang infeksi. Di samping itu lansia dengan malnutrisi juga berisiko terhadap
beberapa komplikasi penyakit yang mempengaruhi kualitas hidup dan terhadap
meningkatnya risiko kematian. Saat ini angka kesakitan akibat penyakit
degeneratif meningkat jumlahnya di samping masih adanya kasus penyakit infeksi
dan kekurangan gizi. Selain masalah gizi lebih yang berdampak pada peningkatan
penyakit degeneratif pada lansia, masalah gizi lain yang sering diderita lansia
ialah masalah gizi kurang.
Pada umumnya masalah gizi kurang yang dialami lansia tersebut dapat
terjadi secara mendadak akibat adanya gangguan kesehatan pada lansia. Keadaan
ini membuat lansia cenderung digolongkan sebagai salah satu kelompok yang
rentan gizi. Timbulnya kerentanan terhadap masalah gizi pada lansia disebabkan
oleh penurunan kondisi fisik, baik anatomis maupun fungsionalnya. Penambahan
usia menimbulkan beberapa perubahan baik secara fisik maupun mental.
Perubahan ini mempengaruhi kondisi seseorang baik aspek psikologis dan
2
fisiologis. Selain itu, penurunan angka metabolisme basal tubuh dan gangguan
gigi dapat berpengaruh pada kemampuan mengunyah. Hal ini menyebabkan
perubahan asupan makanan, sehingga dapat terjadi defisiensi zat gizi
(Wirakusumah 2001).
Meningkatnya jumlah penduduk lansia dengan berbagai masalah gizi dan
kesehatan menyebabkan bertambah besarnya kebutuhan perawatan dan
pengawasan yang lebih intensif, khususnya perawatan dan pengawasan dari
keluarga lansia. Keluarga merupakan suatu kelompok yang bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan lansia. Peran keluarga salah satunya ialah merawat lansia
baik makanan, pemeliharaan kesehatan, dan pakaian. Keluarga harus
memperhatikan makanan lansia, agar kebutuhan zat gizinya tercukupi.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan
status kesehatan dan status gizi lansia di Kota Bandung.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini ialah mengetahui hubungan antara tingkat
kecukupan energi dan protein dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia
di Kota Bandung.
Tujuan Khusus
Penelitian ini secara khusus bertujuan:
1. Mengidentifikasi karakteristik lansia meliputi usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan dan tingkat pendapatan pada lansia di Kota
Bandung.
2. Mengidentifikasi tingkat kecukupan energi dan protein pada lansia di Kota
Bandung.
3. Mengidentifikasi status gizi pada lansia di Kota Bandung.
4. Mengidentifikasi status kesehatan meliputi persepsi kondisi kesehatan,
penyakit yang dialami, disabilitas fisik dan aktivitas sehari-hari pada lansia
di Kota Bandung.
5. Menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat
pendapatan.
6. Menganalisis hubungan antara tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan
dengan tingkat kecukupan energi dan protein pada lansia di Kota Bandung.
7. Menganalisis hubungan antara status gizi dengan status kesehatan pada
lansia di Kota Bandung.
8. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein
dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia di Kota Bandung.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat
kecukupan energi dan protein, status kesehatan dan status gizi lansia di Kota
Bandung serta hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan
3
status kesehatan dan status gizi lansia di Kota Bandung. Penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan sebagai acuan mengenai pola
makan yang aman dan seimbang untuk mengatasi masalah gizi ganda pada lansia
agar derajat kesehatan meningkat. Selain itu hasil penelitian ini diharapakan dapat
sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini ialah :
1. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan pada
lansia di Kota Bandung.
2. Terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan dengan
tingkat kecukupan energi dan protein pada lansia di Kota Bandung.
3. Terdapat hubungan antara status gizi dengan status kesehatan pada lansia di
Kota Bandung.
4. Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status
kesehatan dan status gizi pada lansia di Kota Bandung.
KERANGKA PEMIKIRAN
Status gizi pada lansia dipengaruhi oleh dua faktor ialah faktor langsung
dan faktor tidak langsung. Faktor langsung yang mempengaruhi status gizi ialah
konsumsi pangan, status kesehatan, dan aktifitas fisik. Faktor tidak langsung yang
mempengaruhi status gizi ialah karakteristik sosial ekonomi pada lansia.
Karakteristik lansia meliputi usia dan jenis kelamin, sedangkan karakteristik sosial
ekonomi lansia yang diteliti meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat
pendapatan.
Usia dan jenis kelamin berhubungan dengan konsumsi energi dan protein.
Setiap individu memiliki kebiasaan makan yang berbeda satu sama lain. Salah
satu faktor yang mempengaruhinya ialah usia. Kebiasaan makan biasanya terkait
dengan jumlah energi yang diperlukan oleh individu untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Jumlah energi yang diperlukan tubuh akan mengalami
penurunan pada saat usia lanjut.
Tingkat pendidikan berhubungan dengan pengetahuan gizi. Pengetahuan
gizi dan kesehatan akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Semakin
tinggi pengetahuan tentang gizi dan kesehatan, maka semakin beragam pula jenis
makanan yang dikonsumsi sehingga dapat memenuhi kecukupan gizi dan
mempertahankan kesehatan individu. Selain itu tingkat pendidikan akan
berhubungan dengan jenis pekerjaan individu. Tingkat pendidikan yang tinggi
akan memberikan peluang yang besar untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih
layak.
Suatu pekerjaan akan menghasilkan pendapatan. Tingkat pendapatan
merupakan salah satu faktor ekonomi yang mempengaruhi pola konsumsi pangan.
Kemampuan individu dalam penyediaan makanan dalam jumlah yang cukup dan
4
berkualitas dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan daya beli yang dimilikinya.
Karakteristik sosial ekonomi akan mempengaruhi konsumsi pangan pada lansia
serta status kesehatan pada lansia. Konsumsi pangan akan mempengaruhi tingkat
kecukupan zat gizi lansia yang kemudian akan berpengaruh juga pada status gizi
dan status kesehatan lansia. Status gizi akan mempengaruhi status kesehatan pada
lansia. Skema kerangka pemikiran hubungan antara tingkat kecukupan energi dan
protein dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia di Kota Bandung dapat
dilihat pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1 Skema kerangka pemikiran
Keterangan :
: Variabel yang diteliti : Hubungan yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang tidak diteliti
Karakteritik lansia
- Usia
- Jenis kelamin
- Pekerjaan
Konsumsi pangan
Status kesehatan
- Kondisi kesehatan
- Penyakit yang dialami
- Disabilitas fisik
Tingkat kecukupan
energi dan protein
Status gizi
Aktivitas
sehari-hari
Tingkat
pendidikan lansia
Tingkat
pendapatan lansia
5
METODE
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul “A
Study of Nutritional Status, Health Characteristics and Psychososial Aspects of
the Elderly Living with Their Family and of Those Living in Nursing Home” yang
dibiayai oleh Neys-van Hoogstaren Faoundation the Netherlands dan diketuai oleh
Rita Patriasih S. Pd, M. Si. Desain penelitian tersebut ialah cross sectional.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei 2012. Penelitian yang dilakukan
oleh peneliti saat ini ialah penelitian menggunakan data sekunder. Penelitian yang
dilakukan oleh peneliti dari proses pengolahan, analisis dan interpretasi data
penelitian ini dilakukan pada bulan September 2013 sampai Februari 2014 di
Kampus Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor, Jawa Barat.
Teknik Penarikan Contoh
Contoh dalam penelitian ini adalah lansia. Lansia yang diambil ialah lansia
yang memenuhi kriteria inklusi, ialah lansia berusia ≥55 tahun, mampu makan
menggunakan mulut, tidak ada bagian tubuh yang diamputasi, dapat
berkomunikasi dengan baik, tidak mempunyai gangguan ingatan, tidak
mempunyai gangguan pendengaran, tinggal dengan keluarga dan bersedia
diwawancara sebagai responden. Jumlah lansia pada penelitian ini ialah 334 orang.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder.
Berikut ini tabel peubah dan cara pengumpulan data yang terdiri atas: 1).
Karakteristik lansia meliputi usia dan jenis kelamin; 2). Karakteristik sosial
ekonomi, meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan; 3). Konsumsi
pangan, yang meliputi jumlah dan jenis; 4). Status kesehatan, meliputi persepsi
status kesehatan, penyakit yang dialami dan disabilitas dan aktivitas sehari-hari; 5).
Status gizi, meliputi berat badan dan tinggi badan. Peubah, cara pengumpulan data
disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 1 Peubah dan cara pengumpulan data
Peubah Cara pengumpulan
1. Karakteristik lansia
Usia Wawancara langsung dengan lansia
Jenis kelamin
2. Karakteristik sosial ekonomi
Wawancara langsung dengan lansia Tingkat pendidikan
Pekerjaan
Tingkat pendapatan
6
Tabel 1 Peubah dan cara pengumpulan data (lanjutan)
Peubah Cara pengumpulan
3. Konsumsi pangan
Jumlah Wawancara langsung dengan lansia
Jenis
4. Status kesehatan
Persepsi kondisi kesehatan
Penyakit yang dialami Wawancara langsung dengan lansia
Disabilitas fisik
5. Aktivitas sehari-hari Wawancara langsung dengan lansia
6. Status gizi Pengukuran langsung
Berat badan (kg) Penimbangan dengan timbangan injak
Tinggi badan (cm) Pengukuran menggunakan meteran
Pengolahan dan Analisis Data
Tahapan pengolahan data dimulai dari proses editing, coding, entry,
cleaning dan selanjutnya dianalisis. Proses editing dilakukan untuk pengecekan
data. Selanjutnya, dilakukan coding untuk penggolongan sesuai dengan peubah
dan dilakukan entry data sesuai dengan coding yang telah ditentukan sebelumnya.
Setelah selesai, dilakukan cleaning yang bertujuan mengecek data untuk melihat
kesesuaian pada kode yang telah ditentukan dan melihat data yang tidak sesuai.
Untuk pengolahan dan analisis data, digunakan program Microsoft Excell 2007
dan Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 16.0 for windows.
Karakteristik lansia meliputi usia dan jenis kelamin, sedangkan
karakteristik sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat
pendapatan diolah dengan memberikan pengelompokan atau skala pada setiap
peubah. Pengelompokkan usia lansia dikelompokkan menurut Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, ialah kelompok usia lanjut dini (55–64 tahun),
kelompok usia lanjut (>65 tahun), dan usia lanjut (>70 tahun) (Notoatmodjo 2007).
Pengkategorian jenis kelamin lansia dibedakan menjadi dua, ialah laki-laki dan
perempuan. Tingkat pendidikan lansia dikategorikan menjadi dua, ialah rendah
(tidak sekolah (TS), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP)),
tinggi (sekolah menengah atas (SMA) dan perguruan tinggi (PT)). Pekerjaan
lansia dikategorikan menjadi delapan, ialah tidak bekerja, pedagang, PNS/ABRI,
swasta, pensiunan, buruh, petani, dan lain-lain. Tingkat pendapatan didapatkan
berdasarkan standar Bank Dunia sebesar 2 dolar/hari dan dibedakan menjadi dua
kategori, ialah miskin (<Rp540 000) dan tidak miskin (≥Rp540 000).
Data konsumsi pangan terdiri atas jenis dan jumlah pangan. Jumlah
makanan yang dikonsumsi oleh lansia dikonversikan dari ukuran rumah tangga ke
ukuran berat dengan menggunakan ukuran yang ada di daftar komposisi bahan
makanan (DKBM) sehingga diperoleh konsumsinya sendiri (Supariasa et al.
2001). Setelah dikonversi, dihitung kandungan zat gizi seperti energi dan protein
dengan menggunakan DKBM.
Sebelum dilakukan perhitungan terhadap tingkat kecukupan zat gizi maka
terlebih dahulu dilakukan perhitungan konsumsi zat gizi terlebih dahulu. Berikut
ialah rumus yang digunakan dalam menghitung konsumsi zat gizi:
KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)
7
Keterangan:
KGij = Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j
Bj = Berat makanan j yang dikonsumsi (g)
Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 g BDD bahan makanan j
BDDj = Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan
Setelah konsumsi energi dan protein di hitung, kemudian Angka
Kecukupan Zat Gizi (AKG) baik energi dan protein di hitung. Perhitungan AKG
aktual energi dan protein menggunakan koreksi berat badan lansia. Perhitungan
AKG aktual sebagai berikut:
Keterangan:
BBi : berat badan lansia (kg)
BBj : berat badan standar (kg)
Nilai AKG selanjutnya digunakan untuk menghitung Tingkat Kecukupan Gizi
(TKG). Rumus yang digunakan untuk menghitung TKG ialah:
Selanjutnya, Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan Tingkat Kecukupan Protein
(TKP) diklasifikasikan ke dalam lima tingkat, ialah defisit tingkat berat (<70%),
defisit tingkat sedang (70−79%), defisit ringan (80−89%), normal (90−119%) dan
lebih (≥120%) (Gibson 2005). Namun, lima kategori tersebut dikategorikan
menjadi tiga ialah defisit (<90%), normal (90−119%) dan lebih (≥120%).
Status gizi contoh di lihat dari Indeks Massa Tubuh (IMT). Nilai IMT
didapatkan dari data berat badan dan tinggi badan, kemudian IMT di hitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Hasil IMT diklasifikasikan menurut WHO (2005) ialah sangat kurus
(<14.9 kg/m2), kurus (15−18.4 kg/m
2), normal (≥18.5−22.9 kg/m
2), overweight
(23−27.5 kg/m2), obesitas 1 (27.6−40.0 kg/m
2), dan obesitas 2 (≥40 kg/m
2). Status
kesehatan meliputi persepsi kondisi kesehatan, penyakit yang dialami, disabilitas
dan aktivitas sehari-hari lansia. Penyakit yang dialami dikategorikan menjadi dua
ialah sehat (tidak ada penyakit yang dialami) dan sakit (ada penyakit yang
dialami) kemudian akan di analisis.
Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan uji statistik yang sesuai
jenis data. Uji korelasi Spearman digunakan untuk mengetahui kecenderungan
hubungan antar peubah-peubah penelitian meliputi hubungan antara tingkat
pendidikan dengan tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dengan TKE dan TKP,
status gizi dengan status kesehatan, TKE dan TKP dengan status kesehatan dan
status gizi. Uji korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui hubungan antara
tingkat pendapatan dengan TKE dan TKP.
IMT = Berat Badan /Tinggi Badan (m)2
AKG=∑ [BBi/BBj x zat gizi yang dianjurkan
TKG (%) =∑ [konsumsi zat gizi/AKG aktual x 100
8
DEFINISI OPERASIONAL
Contoh ialah lansia berusia ≥55 tahun ke atas yang tinggal dengan keluarga yang
memenuhi persyaratan mampu makan menggunakan mulut, tidak ada
bagian tubuh yang diamputasi, dapat berkomunikasi dengan baik, tidak
mempunyai gangguan ingatan, tidak mempunyai gangguan pendengaran,
tinggal bersama keluarga dan bersedia diwawancara sebagai responden.
Lansia ialah seseorang dapat dikatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia
setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun.
Karakteristik contoh ialah ciri khusus yang dimiliki oleh lansia yang meliputi
usia dan jenis kelamin.
Karakteristik sosial ekonomi ialah ciri khusus terkait sosial ekonomi lansia
seperti tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat pendapatan.
Tingkat pendidikan ialah tingkatan sekolah yang pernah dialami oleh lansia
dalam kegiatan belajar mengajar dan menuntut ilmu di pendidikan formal
berdasarkan kategori SD/sederjat, SMP/sederajat, SMA/sederajat, dan
Perguruan Tinggi/sederajat.
Pekerjaan ialah ialah predikat yang dimiliki oleh lansia dalam usaha memperoleh
penghasilan berupa uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari berupa
kebutuhan pangan, transportasi, pendidikan, kesehatan, tabungan, dan
lainnya.
Tingkat pendapatan ialah materi yang didapatkan lansia dari pekerjaannya, yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya baik sandang,
pangan, dan papan.
Konsumsi pangan ialah jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh lansia
berupa makanan dan minuman dalam setiap waktu makan dengan
menggunakan metode recall 24 jam.
Tingkat kecukupan gizi ialah angka perbandingan jumlah zat gizi pangan yang
dikonsumsi oleh lansia dengan angka kecukupan gizi berdasarkan usia,
jenis kelamin dan berat badan lansia.
Status gizi ialah ukuran mengenai kondisi tubuh lansia yang ditentukan dengan
pengukuran berat badan dan tinggi badan untuk kemudian di hitung IMT
dan dikategorikan menjadi sangat kurus (<14.9 kg/m2), kurus (15–18.4
kg/m2), normal (≥18.5–22.9 kg/m
2), overweight (23–27.5 kg/m
2), obesitas
1 (27.6–40.0 kg/m2), dan obesitas 2 (≥40 kg/m
2).
Status Kesehatan ialah kondisi kesehatan lansia yang dilihat dari skor atau
jumlah penyakit yang dialami.
Persepsi status kesehatan ialah penilaian lansia terhadap kondisi kesehatan.
Aktivitas sehari-hari ialah kegiatan dasar yang umum dilakukan lansia sehari-
hari.
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lansia
Jenis Kelamin Lansia yang digunakan sebagai contoh dalam penelitian ini ialah semua
lansia yang tinggal dengan keluarga di Kota Bandung. Lansia dalam penelitian ini
terdiri atas lansia laki-laki dan perempuan. Lansia perempuan di Indonesia
mempunyai proporsi jumlah lebih banyak daripada lansia pria. Tabel 2
memperlihatkan bahwa proporsi jenis kelamin terbanyak ialah pada perempuan
sebanyak 80.5% dan sisanya laki-laki sebanyak 19.5%. Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian Marhamah (2005) yang menyatakan bahwa sebagian besar
(55.4%) lansia berjenis kelamin perempuan dan laki-laki sebanyak 44.5%. Selain
itu, penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Jauhari (2003) yang menyatakan
bahwa sebaran responden di Panti Werdha Budi Mulia 4 Jakarta terdiri atas 75%
perempuan dan 25% laki-laki. Tabel 2 memperlihatkan bahwa jumlah lansia
perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa usia
harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Usia Undang-Undang (UU) No 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut
Usia dinyatakan bahwa lanjut usia ialah seseorang yang telah mencapai usia 60
tahun ke atas. Pada penelitian ini kisaran usia lansia antara 55 tahun dan 55 tahun
ke atas. Pengelompokkan usia dibagi menjadi tiga, ialah rentang usia 55−64 tahun,
>65 tahun dan >70 tahun (Notoatmodjo 2007). Usia lansia yang semakin tinggi
menunjukkan adanya peningkatan angka harapan hidup. Tabel 2 memperlihatkan
bahwa sebagian besar lansia berusia 55−64 tahun dengan persentase sebesar
53.3%. Rata-rata usia lansia ialah 65.6 ± 8.5 tahun.
Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pengetahuan masyarakat. Lansia memerlukan pendidikan untuk meningkatkan
kesejahteraan sosialnya seperti yang tertuang pada UU No 13 Tahun 1998 Bab III
Pasal 5 Ayat 2d tentang hak dan kewajiban lansia. Tingkat pendidikan pada
penelitian ini dikelompokkan menjadi dua ialah rendah (tidak sekolah, SD, SMP)
dan tinggi (SMA dan PT). Pengelompokkan tingkat pendidikan berdasarkan
program pemerintah ialah wajib belajar selama 9 tahun. Tabel 2 memperlihatkan
bahwa proporsi lansia yang berpendidikan rendah lebih besar ialah sebanyak
71.6% sedangkan lansia yang berpendidikan tinggi sebanyak 28.4%. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Yenny dan Herwana (2006) yang
menyatakan bahwa pendidikan formal terakhir lansia laki-laki meliputi tidak
tamat SD (11.4%) dan tidak sekolah (6.8%) sedangkan lansia perempuan tidak
tamat SD (24.8%) dan tamat SD (20.2%). Rendahnya tingkat pendidikan lansia
memperlihatkan kualitas SDM lansia yang rendah. Selain itu, menurut Almatsier
(2011) bahwa tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan berpengaruh terhadap
cara memelihara diri dan kesempatan untuk mendapat pelayanan kesehatan yang
sesuai. Dengan demikian, individu dengan tingkat pendidikan dan tingkat
10
pendapatan rendah pada umumnya mempunyai usia harapan hidup yang lebih
rendah.
Tabel 2 Sebaran dan statistik lansia
Variabel N %
Jenis kelamin
Laki-laki 65 19.5
Perempuan 269 80.5
Total 334 100
Usia
55−64 tahun 178 53.3
>65 tahun 57 17.1
> 70 tahun 99 29.6
Total 334 100
x ± SD 65.6±8.5
Pendidikan
Rendah (tidak sekolah, SD dan SMP) 239 71.6
Tinggi (SMA dan PT) 95 28.4
Total 334 100
Pekerjaan
Tidak bekerja 267 79.9
Pedagang 36 10.8
PNS/ABRI 1 0.3
Swasta 3 0.9
Buruh 11 3.3
Petani 1 0.3
Lain-lain 15 4.5
Total 334 100
Tingkat pendapatan (Rp/Kapita/Bulan)
Miskin (<Rp540 000) 101 30.2
Tidak miskin (≥Rp540 000) 233 69.8
Total 334 100
x ± SD 1301189.4±1449878.0
Pekerjaan Tingkat pendidikan umumnya akan berhubungan dengan jenis pekerjaan
seseorang. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan memberikan peluang
besar untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Pekerjaan lansia dalam
penelitian ini dibedakan menjadi delapan kategori ialah tidak bekerja, pedagang,
PNS/ABRI, swasta, pensiunan, buruh, petani, dan lain-lain. Tabel 2
memperlihatkan bahwa sebanyak 25.7% lansia sudah pensiun dari pekerjaannya
dan 54.2% lansia tidak bekerja. Namun masih ada lansia yang bekerja sebanyak
20.1%, pekerjaan tersebut diantaranya ialah pedagang, PNS/ABRI, swasta, buruh,
petani, lain-lain. Jenis pekerjaan yang banyak dilakukan ialah sebagai pedagang
(10.8%). Pekerjaan lainnya seperti wiraswasta, penjahit, dan service elektronik.
Tingginya angka tidak bekerja pada lansia dapat disebabkan oleh faktor usia
karena bertambahnya usia lansia berdampak pada menurunnya kondisi fisik dan
penurunan kemampuan untuk bekerja.
11
Tingkat pendapatan Pendapatan merupakan indikator tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga
dalam bentuk uang yang dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp). Pada penelitian ini
ada lansia potensial dan lansia yang tidak potensial, namun tetap saja lansia sangat
bergantung kepada keluarganya dalam masalah ekonomi. Hal ini disebabkan oleh
rendahnya pendapatan yang diterima atau tidak mempunyai pendapatan sama
sekali. Pada penelitian ini pendapatan dibedakan menjadi dua kategori ialah
miskin dan tidak miskin. Tingkat pendapatan lansia diperoleh dari total
penerimaan lansia dan anggota keluarga. Tabel 2 memperlihatkan bahwa sebagian
besar lansia (69.8%) tergolong tidak miskin (≥Rp540 000) dan lansia yang
tergolong miskin (<Rp540 000) sebanyak 30.2%. Rata-rata tingkat pendapatan
lansia sebesar Rp1 301 189.4±Rp1 449 878.0. Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian Rolland et al. (2009) yang menyatakan bahwa lebih dari setengah
lansia perempuan (59.4%) di Perancis memiliki tingkat pendapatan yang tinggi
(>$900/bulan).
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan ialah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang
dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan jumlah tertentu.
Konsumsi pangan erat kaitannya dengan masalah gizi dan kesehatan serta
perencanaan produksi pangan. Jenis dan jumlah pangan merupakan hal yang
penting dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi (Hardinsyah dan
Briawan 1994). Kebutuhan gizi pada lansia secara umum sedikit lebih rendah
dibandingkan kebutuhan gizi di usia dewasa. Kondisi ini merupakan konsekuensi
terjadinya penurunan tingkat aktivitas dan metabolisme basal tubuh lansia. Angka
kecukupan gizi yang dianjurkan merupakan patokan bagi lansia yang sehat.
Akibatnya, kecukupan gizi tersebut bersifat fleksibel dan tidak mutlak
(Wirakusumah 2001).
Lansia memerlukan pangan yang relatif kecil jumlahnya tetapi tinggi
mutunya. Mutu yang tinggi dimaksudkan untuk mengimbangi penyusutan faali
yang cepat serta untuk mempertahankan daya tahan tubuh terhadap penyakit.
Konsumsi pangan dalam jumlah yang kecil tercermin dari nilai energinya,
terutama untuk menghindari masalah kegemukan yang membahayakan lansia
(Arisman 2009). Metode yang umum digunakan dalam survei konsumsi makanan
terdiri atas jangka pendek (24 hours food recall, dietary record) dan jangka
panjang (food frequency questionnaire) (Fatmah 2010). Metode mengingat-ingat
(recall method) merupakan salah satu metode penilaian konsumsi pangan pada
tingkat individu. Metode ini dapat menaksir asupan gizi individu (Gibson 2005).
Konsumsi harian lansia di peroleh dari hasil wawancara dengan
menggunakan metode food recall 2x24 jam. Data konsumsi pangan lansia
digunakan untuk mengetahui konsumsi gizi lansia. Angka kecukupan energi dan
protein diperoleh dengan memperhatikan koreksi berat badan, ialah perbandingan
berat badan aktual terhadap berat badan standar. Menu yang disajikan pada lansia
terkadang disajikan menu yang sama bergantung dari habis atau tidaknya menu
makanan yang disajikan. Lansia makan utama tiga kali dalam sehari. Makanan
utama yang diberikan berupa makanan pokok dan lauk pauk, seperti nasi, sayuran,
12
protein hewani dan nabati. Sayuran yang umum di konsumsi lansia ialah buncis,
wortel dan labu siam, sedangkan protein hewani yang umum di konsumsi ialah
ayam, telur ayam, daging sapi dan ikan mas. Berikut ini disajikan tabel rata-rata
konsumsi, angka kecukupan dan tingkat kecukupan lansia.
Tabel 3 Rata-rata konsumsi, angka kecukupan dan tingkat kecukupan lansia
Rata-rata Energi (kkal) Protein (g)
Konsumsi 1090 35.8
Angka kecukupan 2098 52.0
Tingkat kecukupan (%) 51.9 68.9
Tabel 3 memperlihatkan bahwa rata-rata konsumsi energi dan protein
lansia ialah 1090 kkal dan 35.8 g. Rata-rata konsumsi energi pada penelitian ini
lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Nisa (2006) yang menyatakan
bahwa rata-rata konsumsi energi lansia di Panti Werdha Pemerintah DKI Jakarta
ialah 1595 kkal. Rata-rata konsumsi energi dan protein yang rendah diduga karena
adanya perubahan pola makan pada kelompok usia lanjut yang dipengaruhi oleh
faktor fisiologis atau fisik seperti berkurangnya kemampuan gigi dalam
mengunyah makanan, penurunan kemampuan mencium bau dan rasa makanan,
serta faktor psikologis yakni merasa diri kesepian, depressi, dan stress (Fatmah
2006). Rata-rata konsumsi protein pada penelitian ini tidak sejalan dengan hasil
penelitian Devine et al. (2005) yang menyatakan bahwa rata-rata konsumsi
protein lansia di Australia ialah 80.5 g/hari atau hampir dua kali angka protein
yang direkomendasikan untuk wanita usia >55 tahun di Australia, ialah 45 g/hari.
Bila jumlah kalori yang dikonsumsi berlebihan, maka sebagian energi akan
disimpan berupa lemak, sehingga akan timbul obesitas. Sebaliknya, bila terlalu
sedikit, maka cadangan energi tubuh akan digunakan, sehingga tubuh akan
menjadi kurus (Depkes 2003). Selain itu, menurut Gross et al. (2004) menyatakan
bahwa asupan energi yang berlebihan dan tertimbun di dalam tubuh, terutama
dalam jaringan adipose dalam bentuk lemak dapat menimbulkan obesitas yang
akhirnya akan menyababkan resistensi insulin dan sindrom metabolik. Chernoff
(2005) menyatakan bahwa kebutuhan protein lansia meningkat dengan adanya
peningkatan usia.
Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein diperoleh dari rata-rata
konsumsi energi dan protein dibandingkan dengan rata-rata angka kecukupannya,
maka diperoleh tingkat kecukupan energi dan protein ialah masing-masing sebesar
51.9% dan 68.9%. Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein lansia berada
dalam kategori defisit, ialah <90%.
Tabel 4 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan energi dan protein
Kategori TKE TKP
n % n %
Defisit (<90%) 302 90.4 250 75.1
Normal (90-119%) 27 8.1 53 16.2
Lebih (≥120%) 5 1.5 31 8.7
Total 334 100.0 334 100.0
Tingkat kecukupan energi dan protein lansia dibedakan menjadi lima
kategori, ialah ialah defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70−79%),
defisit ringan (80−89%), normal (90−119%) dan lebih (≥120%) (Gibson 2005).
13
Tabel 4 memperlihatkan bahwa hampir seluruh (90.4%) lansia tingkat kecukupan
energinya tergolong defisit dan sebanyak 75.1% TKP lansia juga tergolong defisit.
Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan
zat gizi (Riyadi 2003). Menurut Almatsier (2006) status gizi ialah keadaan tubuh
sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang dibedakan
antara status gizi buruk, kurang, baik dan lebih. Status gizi lansia ditentukan
berdasarkan perhitungan IMT, ialah perbandingan berat badan aktual dengan
tinggi badan. Batas ambang nilai IMT menurut WHO (2005) ialah sangat kurus
(<14.9 kg/m2), kurus (15–18.4 kg/m
2), normal (≥18.5–22.9 kg/m
2), overweight
(23–27.5 kg/m2), obesitas 1 (27.6–40.0 kg/m
2), dan obesitas 2 (≥40 kg/m
2).
Hasil pengelompokkan tersebut, dapat di lihat persentase lansia berdasar
status gizi seperti yang disajikan pada Tabel 5. Sebanyak 42.5% lansia yang
tergolong overweight, 26.0% yang tergolong obesitas 2 dan hanya 7.2% lansia
yang tergolong kurus. Fisher et al. (2007) menyatakan bahwa ukuran porsi
makanan berkontribusi terhadap kejadian obesitas. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Ambartana (2010) yang menyebutkan bahwa lansia dengan
IMT <18.5 (kurus) persentase tertinggi pada kelompok usia 70−75 tahun ialah
54.2% sedangkan lansia dengan IMT >25 (Overweight ) tertinggi pada kelompok
usia 60−64 tahun ialah 69.7%.
Tabel 5 Sebaran lansia menurut status gizi
Status gizi n %
Sangat kurus (<14.9 kg/m2) 2 0.6
Kurus (15.00-18.4 kg/m2) 24 7.2
Normal (18.5-22.9 kg/m2) 79 23.7
Overweight (23-27.5 kg/m2) 142 42.5
Obesitas 1 (27.6-40 kg/m2) 0 0.0
Obesitas 2 (>40 kg/m2) 87 26.0
Total 334 100
Status kesehatan
Persepsi kondisi kesehatan
Kesehatan ialah suatu permasalahan yang kompleks sehingga tidak
memungkinkan untuk dapat mengukur semua faktor yang mempengaruhinya baik
secara langsung maupun tidak langsung. Status kesehatan merupakan suatu
tingkatan kesehatan perseorangan, kelompok atau masyarakat yang ditentukan
berdasarkan mortalitas, morbiditas, status gizi dan usia harapan hidup (UHH)
(Depkes 2007). Pada penelitian ini status kesehatan dilihat dari persepsi kondisi
kesehatan saat ini, penyakit yang dialami, disabilitas lansia dan aktivitas sehari-
hari. Persepsi kondisi kesehatan di ukur dengan menggunakan instrument garis
lurus yang memiliki skala 10 cm. Garis paling kiri dengan angka 0 menunjukkan
14
yang sangat buruk dan garis paling kanan dengan angka 10 menunjukkan
kesehatan yang baik. Lansia di minta untuk mengatakan skala angka untuk
menggambarkan kondisi kesehatannya saat ini dan menceritakan kondisi
kesehatannya. Pengukuran di atas angka 5.5 dinyatakan baik, nilai antara 5−5.5
dinyatakan sedang dan kurang dari 5 dinyatakan sangat buruk. Tabel 6
memperlihatkan bahwa lebih dari setengah (63.5%) kondisi kesehatan lansia
berada dalam kondisi baik, 28.1% dalam kondisi sedang dan 8.4% dalam kondisi
sangat buruk.
Tabel 6 Sebaran lansia menurut persepsi kondisi kesehatan
Kategori n %
Sangat buruk 28 8.4
Sedang 94 28.1
Baik 212 63.5
Total 334 100
Penyakit yang dialami lansia
Meningkatnya usia menyebabkan seseorang menjadi rentan terhadap
serangan penyakit. Menurut Depkes (2003) gangguan kesehatan pada usia lanjut
umumnya berupa penyakit-penyakit kronik menahun dan degeneratif seperti
penyakit hipertensi, diabetes melitus, osteoporosis, demensia, gangguan jantung,
gangguan pernapasan, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, gangguan
pengunyahan, dan lain-lain. Penyakit yang dialami lansia di lihat berdasarkan
penyakit lansia selama satu tahun terakhir. Tabel 7 memperlihatkan bahwa
penyakit yang paling banyak di derita ialah hipertensi (43.0%) dan arthritis
(43.0%). Penyakit lainnya yang juga dialami lansia ialah maag (28.7%), jantung
pembuluh darah (8.7%), diabetes (8.1%), pernapasan (4.8%), dislipidemia
(18.8%), batu ginjal (3.0%), dan katarak (5.7%). Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Lee et al. (2004) yang menyatakan bahwa banyaknya lansia
kulit putih dan kulit hitam di Pittsburgh dan Memphis Amerika Serikat yang
menderita hipertensi ialah sebanyak 38.4% lansia kulit putih dan kulit hitam
(53.8%).
Tabel 7 Sebaran lansia menurut penyakit yang dialami
Penyakit n %
Hipertensi 144 43.0
Arthritis 144 43.0
Maag 96 28.7
Jantung pembuluh darah 29 8.7
Diabetes 27 8.1
Pernapasan 16 4.8
Dislipidemia 63 18.8
Batu ginjal 10 3.0
Katarak 19 5.7
Lain-lain 15 4.5
Total 334 100
Disabilitas fisik
Rolland et al. (2004) mengatakan bahwa obesitas merupakan masalah
kesehatan utama pada orang tua karena terkait dengan disabilitas. Disabilitas fisik
pada lansia dibedakan menjadi penglihatan dan pendengaran. Pada penglihatan
15
lansia terjadinya degenerasi struktur jaringan lensa mata, iris, pupil dan retina
menyebabkan kemampuan penglihatan pada lansia menurun dan menimbulkan
berbagai penyakit seperti katarak dan glaukoma. Bentuk bola mata lebih cekung
sedangkan bentuk kelopak mata menjadi cembung disebabkan oleh terjadinya
penyusutan lemak periorbital dan 65−70% lansia menunjukkan kemunduran
pendengaran secara fungsional (tuli fungsional) setelah berusia 80 tahun dan 5%
dari populasi usia di atas 65 tahun (Fatmah 2010). Masing-masing permasalahan
dibedakan menjadi dapat melihat/mendengar dengan baik, melihat/mendengar
dengan menggunakan kacamata/alat bantu dengar dan masalah
penglihatan/pendengaran yang serius.
Tabel 8 memperlihatkan bahwa sebanyak 59.6% bisa melihat tanpa
kacamata, 37.7% bisa melihat dengan bantuan kacamata dan hanya 2.7% lansia
yang mengalami masalah penglihatan serius. Berbeda dengan masalah
pendengaran dari 334 orang lansia 93.1% bisa mendengar dengan baik, 6.3% bisa
mendengar dengan Alat Bantu Dengar (ABD) dan sisanya 0.6% lansia yang
mengalami masalah pendengaran serius. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Suryanto (2002) yang menyatakan bahwa proporsi lansia di Jakarta dan
Bogor yang tidak berkacamata lebih tinggi dibandingkan yang berkacamata ialah
sebanyak 67.1% dan kondisi pendengarannya masih normal sebanyak 78.5%.
Tabel 8 Sebaran lansia menurut disabilitas fisik
Disabilitas N %
Penglihatan
Bisa melihat tanpa kacamata 199 59.6
Bisa melihat dengan bantuan kacamata 126 37.7
Masalah penglihatan serius 9 2.7
Total 334 100
Pendengaran
Bisa mendengar dengan baik 311 93.1
Bisa mendengar dengan bantuan Alat Bantu Dengar (ABD) 21 6.3
Masalah pendengaran serius 2 0.6
Total 334 100
Aktivitas sehari-hari
Pada aktivitas sehari-hari lansia diminta menyebutkan kesan lansia dalam
melakukan aktivitas dasar harian. Kesan tersebut terbagi menjadi dua, ialah tidak
mengalami kesulitan dalam melakukan dan sulit dalam melakukan. Sebaran lansia
menurut aktivitas sehari-hari disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran lansia menurut aktivitas sehari-hari
Kegiatan Tidak sulit Sulit
n % n %
Memakai pakaian sendiri 327 97.9 7 2.1
Minum menggunakan gelas 329 98.5 5 1.5
Mandi 324 97.0 10 3.0
Menggantungkan baju 315 94.3 19 5.7
Berolahraga (jalan sehat, senam, dll) 271 81.1 63 18.9
Minum menggunakan gelas merupakan kegiatan yang paling banyak dapat
dilakukan oleh lansia. Sebanyak 98.5% lansia menyatakan bahwa tidak
mengalami kesulitan dalam minum menggunakan gelas. Lansia yang mengalami
kesulitan dalam minum menggunakan gelas sebanyak 1.5% dan lansia yang
16
mengalami kesulitan dalm minum menyatakan bahwa lansia minum
menggunakan tangan kiri karena tangan kanannya sulit digerakkan. Selain minum
menggunakan gelas, kegiatan lainnya yang dapat dilakukan lansia tanpa kesulitan
ialah memakai pakaian (97.9%), mandi (97.0%) dan menggantungkan baju
(94.3%). Kegiatan yang sulit dilakukan oleh lansia ialah olahraga sebanyak
18.9%.
Hubungan antar Variabel
Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan
Tabel 10 memperlihatkan bahwa tingkat pendapatan yang tergolong
miskin lebih besar pada lansia yang tingkat pendidikannya rendah ialah sebanyak
27.8% dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendidikannya tinggi ialah
sebanyak 2.4%. Pada tingkat pendapatan yang tergolong tidak miskin proporsi
tertinggi terdapat pada lansia yang tingkat pendidikannya rendah ialah sebanyak
43.7% dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendidikannya tinggi ialah
sebanyak 26.0%.
Tabel 10 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan
Tingkat pendidikan
Tingkat pendapatan
Total Miskin
(<Rp540 000)
Tidak miskin
(≥Rp540 000)
n % n % n %
Rendah (TS, SD, SMP) 93 27.8 146 43.7 239 71.6
Tinggi (SMA dan PT) 8 2.4 87 26.0 95 28.4
Total 101 30.2 233 69.8 334 100.0
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang positif
antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan (r=0.564 dan p=0.000) yang
berarti semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi tingkat
pendapatan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Atmaja (2012)
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dan tingkat
pendidikan (p<0.01 dan r=0.379). Pendapatan seseorang identik dengan mutu
sumber daya manusia sehingga orang yang berpendidikan tinggi umumnya
memiliki pendapatan yang relatif tinggi pula (Suhardjo 1989).
Hubungan antara tingkat pendapatan dengan TKE dan TKP
Tingkat pendapatan merupakan salah satu faktor ekonomi yang
mempengaruhi pola konsumsi pangan. Kemampuan seseorang dalam penyediaan
makanan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas dipengaruhi oleh tingkat
pendapatan dan daya beli yang dimilikinya. Drewnowski (2004) menyatakan
bahwa tingkat pendapatan mempengaruhi dalam pemilihan makanan, kebiasaan
makan dan kualitas makanan. Sharkey (2002) menyatakan bahwa rendahnya
tingkat pendapatan menyebabkan tidak terpenuhinya intik zat gizi lansia. Tabel 11
memperlihatkan bahwa TKE yang defisit lebih besar pada lansia yang tingkat
pendapatannya tergolong tidak miskin ialah sebanyak 22.5% dibandingkan
dengan lansia yang tingkat pendapatannya tergolong miskin ialah sebanyak 6.9%.
Pada TKE yang lebih proporsi tertinggi pada lansia yang tingkat pendapatannya
tergolong tidak miskin sebanyak 9.0% dibandingkan dengan lansia yang tingkat
pendapatannya tergolong miskin ialah sebanyak 8.7%.
17
Tabel 11 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKE
Tingkat pendapatan
TKE Total
Defisit Normal Lebih
n % n % n % n %
Miskin (<Rp540 000) 23 6.9 49 14.7 29 8.7 101 30.2
Tidak miskin (≥Rp540 000) 75 22.5 128 38.3 30 9.0 233 69.8
Total 98 29.3 177 53.0 59 17.7 334 100.0
Tabel 12 memperlihatkan bahwa TKP yang defisit lebih besar pada lansia
yang tingkat pendapatannya tergolong tidak miskin ialah sebanyak 15.0%
dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendapatannya tergolong miskin ialah
sebanyak 11.7%. Pada TKP yang lebih proporsi tertinggi pada lansia yang tingkat
pendapatannya tergolong tidak miskin sebanyak 15.0% dibandingkan dengan
lansia yang tingkat pendapatannya tergolong miskin ialah sebanyak 3.6%.
Tabel 12 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP
Tingkat pendapatan
TKP Total
Defisit Normal Lebih
n % n % n % N %
Miskin (<Rp540 000) 39 11.7 50 15.0 12 3.6 101 30.2
Tidak miskin (≥Rp540 000) 50 15.0 133 39.8 50 15.0 233 69.8
Total 89 26.6 183 54.8 62 18.6 334 100.0
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan yang
signifikan (p>0.05) antara tingkat pendapatan dengan TKE dan TKP. Hal ini
diduga karena TKE dan TKP diperoleh dari jumlah asupan lansia dalam dua hari
saat recall dan seseorang dengan tingkat pendapatan tinggi tidak menjamin dapat
mencukupi kecukupan energi dan proteinnya karena walaupun tingkat
pendapatannya tinggi tetapi kebutuhan dan konsumsinya tidak semakin tinggi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Horner et al. (2002) yang
menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan
TKE dan sejalan dengan hasil penelitian Zaddana (2011) yang menyatakan bahwa
tidak terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan TKP.
Hubungan antara tingkat pendidikan dengan TKE dan TKP
Tingkat pendidikan umumnya akan berhubungan dengan tingkat
pengetahuan termasuk pengetahuan gizi seseorang. Pengetahuan gizi akan
berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan, semakin tinggi pengetahuan gizi
maka semakin beragam jenis pangan yang dikonsumsinya sehingga dapat
memenuhi kecukupan gizinya. Tabel 13 memperlihatkan bahwa TKE yang defisit
lebih besar pada lansia yang tingkat pendidikannya rendah ialah sebanyak 19.5%
dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendidikannya tinggi ialah sebanyak
9.9%. Pada TKE yang lebih proporsi tertinggi pada lansia yang tingkat
pendidikannya rendah sebanyak 15.0% dibandingkan dengan lansia yang tingkat
pendidikannya tinggi ialah sebanyak 2.7%.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang negatif
antara tingkat pendidikan dengan TKE (r=-0.118 dan p=0.031) yang berarti
semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin rendah tingkat kecukupan
energinya. Hal ini diduga karena seseorang yang berpendidikan tinggi tidak
18
menjamin dapat menerapkan pengetahuan yang dimilikinya, sehingga seseorang
yang berpendidikan tinggi, tingkat kecukupan energinya rendah. Hasil ini berbeda
dengan pernyataan Suhardjo (1989) yang menyatakan bahwa orang yang
berpendidikan tinggi akan cenderung memilih makanan yang murah tetapi
kandungan gizinya tinggi sesuai dengan jenis pangan yang tersedia sehingga
kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Hasil penelitian ini tidak sejalan
dengan hasil penelitian Wijiastuti (2000) yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang positif antara tingkat pendidikan dengan TKE.
Tabel 13 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKE
Tingkat pendidikan
TKE Total
Defisit Normal Lebih
n % n % n % N %
Rendah (TS, SD, SMP) 65 19.5 124 37.1 50 15.0 239 71.6
Tinggi (SMA dan PT) 33 9.9 53 15.9 9 2.7 95 28.4
Total 98 29.3 177 53.0 59 17.7 334 100.0
Tabel 14 memperlihatkan bahwa TKP yang defisit lebih besar pada lansia
yang tingkat pendidikannya rendah ialah sebanyak 22.5% dibandingkan dengan
lansia yang tingkat pendidikannya tinggi ialah sebanyak 4.2%. Pada TKP yang
lebih proporsi tertinggi pada lansia yang tingkat pendidikannya rendah sebanyak
12.0% dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendidikannya tinggi ialah
sebanyak 6.6%. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat
hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat pendidikan dengan TKP
(r=0.075 dan p=0.172). Hal ini diduga karena terjadinya penurunan nafsu makan
pada lansia. Pada lansia ujung-ujung indra pengecap di lidah mulai berkurang
jumlahnya sehingga indra pengecap kurang peka (Santoso dan Andar 2009). Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Zaddana (2011) yang menyatakan
bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan TKP.
Tabel 14 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP
Tingkat pendidikan
TKP Total
Defisit Normal Lebih
n % n % n % N %
Rendah (TS, SD, SMP) 75 22.5 124 37.1 40 12.0 239 71.6
Tinggi (SMA dan PT) 14 4.2 59 17.7 22 6.6 95 28.4
Total 89 26.6 183 54.8 62 18.6 334 100.0
Hubungan antara status gizi dengan status kesehatan (penyakit yang
dialami)
Status kesehatan lansia dilihat dari penyakit yang dialami oleh lansia yang
kemudian dikategorikan menjadi sehat (tidak ada penyakit yang dialami) dan sakit
(ada penyakit yang dialami). Tabel 15 memperlihatkan bahwa status kesehatan
yang sakit lebih besar pada lansia yang status gizinya overweight ialah sebanyak
32.9% dibandingkan dengan lansia yang status gizinya normal ialah sebanyak
18.0%. Pada status kesehatan yang sehat proporsi tertinggi pada lansia yang
overweight sebanyak 9.6% dibandingkan dengan lansia yang status gizinya
normal ialah sebanyak 5.7%. Proporsi lansia yang sakit sebanyak 79.0%.
Tingginya proporsi tersebut disebabkan oleh lansia kurang mampu menghasilkan
limfosit untuk sistem imun, walaupun jumlah limfosit tidak berubah banyak tetapi
berkurangnya reaksi limfosit melawan infeksi (Fatmah 2006).
19
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan yang positif
antara status gizi dengan status kesehatan (r=0.112 dan p=0.034) yang berarti
semakin tinggi IMT maka akan semakin tinggi pula risiko penyakit yang akan
dialami seseorang atau sebaliknya. Supariasa et al. (2001) menyatakan bahwa
kebiasaan mengonsumsi makanan yang berlebihan dapat mempengaruhi status
gizi seseorang dan berpengaruh pada keadaan kesehatannya.
Tabel 15 Sebaran lansia berdasarkan status gizi dan status kesehatan
Status gizi
Status kesehatan Total
Sehat Sakit
n % n % N %
Sangat kurus (<14.9 kg/m2) 0 0.0 2 0.6 2 0.6
Kurus (15.00-18.4 kg/m2) 6 1.8 18 5.4 24 7.2
Normal (18.5-22.9 kg/m2) 19 5.7 60 18.0 79 23.7
Overweight (23-27.5 kg/m2) 32 9.6 110 32.9 142 42.5
Obesitas 2 (>40 kg/m2) 13 3.9 74 22.2 87 26.0
Total 70 21.0 264 79.0 334 100.0
Hubungan antara TKE dan TKP dengan status kesehatan (penyakit yang
dialami) dan status gizi
Nutrisi berperan penting dalam peningkatan respons imun. Orang tua
rentan terhadap gangguan gizi buruk (undernutrition), disebabkan oleh faktor
fisiologi dan psikologi yang mempengaruhi keinginan makan dan kondisi fisik
serta ekonomi. Gizi kurang pada orang tua disebabkan oleh berkurangnya
kemampuan penyerapan zat gizi atau konsumsi makanan bergizi yang tidak
memadai. Berkurangnya asupan kalori diketahui dapat memperlambat proses
penuaan. Konsumsi protein yang tidak cukup mempengaruhi status imun karena
berhubungan dengan kerusakan jumlah dan fungsi imun serta penurunan respons
antibodi (Fatmah 2006).
Tabel 16 memperlihatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
(p>0.05) antara TKE dan TKP dengan status kesehatan. Hal ini diduga karena
tingkat kecukupan energi dan protein diperoleh dari jumlah asupan lansia dalam
dua hari saat recall sedangkan penyakit yang dialami oleh lansia ialah penyakit
yang telah lama diderita lansia.
Tabel 16 Hasil uji korelasi Spearman antara TKE dan TKP dengan statu
kesehatan dan status gizi
Peubah TKE TKP
Status kesehatan r -0.063 -0.037
p 0.254 0.495
Status gizi r -0.347 0.133
p 0.000 0.015
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan yang negatif
antara TKE dengan status gizi yang berarti semakin tinggi TKE maka semakin
rendah status gizi seseorang. Pada saat pengambilan data, diduga lansia sedang
memiliki nafsu makan yang baik sehingga tingkat kecukupan energinya baik.
Namun untuk status gizi merupakan akumulasi dari kebiasaan makan terdahulu,
sehingga TKE dalam recall 2x24 jam tidak bisa menggambarkan status gizi lansia
saat ini. Hasil penelitian Zulaihah (2006) menyatakan bahwa status gizi seseorang
terbentuk dari apa yang dikonsumsi dalam waktu yang cukup lama, sehingga
20
asupan zat gizi yang di recall selama 3 hari belum bisa menggambarkan kebiasaan
makan contoh yang telah membentuk status gizinya sekarang. Hasil penelitian ini
tidak sejalan dengan hasil penelitian Paramita (2002) yang menyatakan bahwa
adanya hubungan yang positif antara TKE dengan status gizi.
Hasil uji korelasi Spearman antara TKP dengan status gizi menunjukkan
adanya hubungan yang positif yang berarti semakin tinggi TKP maka akan
semakin tinggi status gizi seseorang atau sebaliknya. Hasil penelitian ini juga
sejalan dengan hasil penelitian Puspitasari (2011) yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan positif antara TKP dengan status gizi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Contoh dalam penelitian ini ialah lansia yang berusia 55 tahun dan 55
tahun ke atas yang berjumlah 334 orang dengan banyaknya lansia yang berusia
60–74 tahun dengan rata-rata 65.6 tahun. Proporsi jenis kelamin paling banyak
ialah perempuan sebanyak 80.5% dan sisanya laki-laki. Lebih dari setengah lansia,
tingkat pendidikannya tergolong rendah dan tidak bekerja. Sebanyak 68.9%
tingkat pendapatan lansia tergolong tidak miskin (≥Rp540 000). Sayuran yang
umum di konsumsi lansia ialah buncis, wortel dan labu siam. Sedangkan protein
hewani yang umum di konsumsi ialah ayam, telur ayam, daging sapi dan ikan mas.
Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein tergolong dalam kategori defisit.
Sebanyak 42.5% status gizi lansia paling banyak lansia yang tergolong overweight.
Lebih dari setengah lansia persepsi kondisi kesehatan tergolong baik.
Penyakit yang paling banyak di derita ialah hipertensi (43.0%) dan arthritis
(43.0%). Disabilitas fisik lansia menunjukkan bahwa hampir seluruh lansia bisa
mendengar dengan baik dan sebanyak 59.6% lansia bisa melihat tanpa kacamata.
Hampir seluruh lansia menyatakan bahwa tidak mengalami kesulitan dalam
minum menggunakan gelas dan sebanyak 18.9% lansia yang menyatakan
mengalami kesulitan dalam berolahraga.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang positif
antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan, terdapat hubungan yang
negatif antara tingkat pendidikan dengan TKE, namun tidak terdapat hubungan
anatara tingkat pendidikan dengan TKP dan terdapat hubungan yang positif antara
status gizi dengan status kesehatan. Selain itu, terdapat hubungan yang negatif
antara TKE dengan status gizi dan terdapat hubungan yang positif antara TKP
dengan status gizi. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat
hubungan antara tingkat pendapatan dengan TKE dan TKP.
Saran
TKE dan TKP lansia banyak dalam kategori defisit dan berstatus gizi
overweight. Oleh karena itu, keluarga lansia harus memperhatikan konsumsi
pangan lansia agar kecukupan zat gizi dapat terpenuhi sesuai dengan
21
kecukupannya. Penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti tentang pengaruh
antara tingkat kecukupan energi dan protein terhadap status kesehatan dan status
gizi lansia dengan cara pengambilan data konsumsi pangan menggunakan metode
Food Weighing. Metode Food Weighing diharapkan akan mendapatkan hasil yang
lebih menggambarkan konsumsi lansia.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka
Utama.
__________.2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): PT
Gramedia Pustaka Utama.
Ambartana W. 2010. Hubungan Status Gizi dengan Kekuatan Otot Lanjut Usia di
Kelurahan Gianyar Kabupaten Gianyar Provinsi Bali. J Ilmu Gizi.
1(1):67-74.
Arisman. 2009. Gizi dalam Daur Kehidupan. Palembang (ID): Universitas
Sriwijaya.
Atmaja Nining T T. 2012. Konsumsi Kalsium, Status Gizi, Tekanan Darah dan
Hubungannya terhadap Keluhan Sendi pada Lansia di Panti Werdha Kota
Bandung. [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Laju Penduduk Indonesia 2010.
Jakarta (ID): BPS.
Chernoff R. 2005. Micronutrient requirements in older women. American
Journal of Clinical Nutrition 81:1240-1245.
Darmojo dan Boedhi R. 2006. Buku Ajar Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut.
Jakarta (ID): FK-UI.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Umum Gizi Seimbang.
Jakarta (ID): Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
________________________________. 2007. Profil Kesehatan Indonesia.
Jakarta (ID): Depkes RI.
Devine et al. 2005. Protein consumption is an important predictor of lower limb
bone mass in elderly women. American Journal of Clinical Nutrition
8:1423-1428.
Drewnowski A dan Specter SE. 2004. Poverty and Obesity: The Role of Energy
Density and Energy Costs. American Journal of Clinical Nutrition 79:6-
16.
Fatmah. 2006. Persamaan (Equation) Tinggi Badan Manusia Usia Lanjut
(Manula) Berdasarkan dan Etnis pada 6 Panti Terpilih di DKI Jakarta
dan Tangerang Tahun 2005. Makara Kesehatan 10:7-16.
______. 2006. Respons Imunitas yang Rendah pada Tubuh Manusia Usia Lanjut.
Makara Kesehatan 10:47-53.
______. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta (ID): Erlangga.
22
Fisher JO, Angels A, Leann LB, Barbara JR. 2007. Portion size effects on daily
energi intake in low-income Hispatic and African American children and
their mother. American Journal of Clinical Nutrition. 86:1709-1716.
Gibson RS. 2005. Principle of Nutritional Asessment. Second Edition. New York:
Oxford University Press.
Gross LS, Li Li, Ford ES, Liu S. 2004. Increased consumption of refined
carbohydrates and the epidemic of type 2 diabetes in the United States :
an ecologic assessment. Am J Clin Nutr. 79: 774–9.
Hardinsyah dan Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan.
Bogor (ID): Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Horner NK, Ruth EP, Marian LN, Johanna WL, Shirley AB, Ross LP. 2002.
Participant characteristics associated with errors in self-reportedenergy
intake from the womens health initiative food-frequency questionnaire.
American Journal of Clinical Nutrition. 76:766-773.
Jauhari M. 2003. Status gizi, kesehatan dan kondisi mental lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha Budi Mulia 4 Jakarta [Tesis]. Bogor (ID): Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lee J, Robert J, Patricia C, Stephen B, Tamara B, Ronica R, Susam M, Anne B.
2004. Edentulism and Nutrional Status in a Biracial Sample of Well
Functioning Community-Dwelling Elderly the Health, Aging, and Body
Composition Study. American Journal of Clinical Nutrition 75:295-302.
Marhamah. 2005. Konsumsi Gizi dan Aktivitas Fisik Usia Lanjut di Kota Depok
Kaitannya dengan Status Kesehatan dan Kemampuan Kognitif [Skripsi].
Banten (ID): Universitas Terbuka Serang.
Nisa H. 2006. Faktor Determinan Status Gizi Lansia Penghuni Panti Werdha
Pemerintah DKI Jakarta Tahun 2004. Media Litbang Kesehatan
16(3):24-34.
Notoatmodjo S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta (ID): PT
Rineka Cipta.
Nugroho W. 2000. Keperawatan Gerontik. Jakarta (ID): EGC.
Paramita L. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan dan
Status Gizi [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
Puspitasari A. 2011. Keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi
dan status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care di Tegal Alur,
Jakarta Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Riyadi H. 2003. Penilaian Status Gizi secara Antropometri. Bogor (ID): Fakultas
Pertanian, IPB.
Rolland Y, Valerie L, Marco P, Judith F, Helene G, Bruno V. 2004. Muscle
Strength in Obese Elderly Women: effect of Recreational Physical
Activity in a Cross-Sectional Study. American Journal of Clinical
Nutrition 79:552-557.
Rolland Y, Valeris L, Christelle C, Gabor A, Ian J, John E, Bruno V. 2009.
Difficulties with Phsycal Function Associated with Obesity, Sarcopenia,
23
and Sarcopenic-Obesity in Community-Dwelling Elderly Women.
American Journal of Clinical Nutrition 89:1895-1900.
Santoso H dan Andar I. 2009. Memahami Krisis Lanjut Usia. Jakarta (ID):
Gunung Mulia.
Sharkey J. 2002. Inadequate Nutrition Intakes Among Homebound Elderly and
Their Correlation With Individual Characteristic and Health Related
Factors. American Journal of Clinical Nutrition 76(6):1435-1445.
Stanley M . 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta (ID): EGC.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Jakarta (ID): Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian
Bogor.
Supariasa, Bakri, Fajar. 2001. Penialaian Status Gizi. Jakarta (ID): Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Suryanto A. 2002. Perilaku Makan, Status Gizi dan Kesehatan Wanita Usia Lanjut
di Kelurahan Cakung Timur, Jakarta dan Kelurahan Baranangsiang,
Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
Undang-Undang Republik Indonesia. 1998. Kesejahteraan Lanjut Usia.
http://www.google.co.id/UUNo13Tahun1998 [diakses 10 Oktober 2013].
[WHO] World Health Organization. 2005. Cut off point nutritional status.
http://www.euro.who.intnutrtion–20030507_1 [diakses 10 Oktober 2013].
Wijiastuti YN. 2000. Keragaan Konsumsi Pangan Keluarga menurut Tingkat
Pendidikan Kepala Keluarga di Kotamadya Bogor [Skripsi]. Bogor (ID):
Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Wirakusumah ES. 2001. Menu Sehat Untuk Lanjut Usia. Jakarta (ID): EGC.
Yenny dan Herwana E. 2006. Prevalensi Penyakit Kronis dan Kualitas Hidup
pada Lanjut Usia di Jakarta Selatan. 25(4): 164-171.
Zaddana C. 2011. Keadaan Sosial Ekonomi, Pola Konsumsi Makan, Status Gizi,
Tingkat Stress dan Status KesehatanLansia Wanita Peserta
Pemberdayaan Lansia di Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Zulaihah, L dan Widajanti. 2006. Hubungan Kecukupan Asam Eikosapentanoat
(EPA), Asam Dokosaheksanoat (DHA) Ikan dan Status Gizi dengan
Prestasi Belajar Siswa. Jurnal Gizi Indonesia. 1(2):15-25.
24
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
STUDI STATUS GIZI, KARAKTERISTIK KESEHATAN DAN ASPEK
PSIKOSOSIAL LANSIA YANG TINGGAL DENGAN KELUARGA DAN
DI PANTI WREDHA
Sheet 1: CoLans
1. Enumerator A1 : 1. Wiwi 2. Okta 3. Iin 4. Nining 5. Nisa
2. Tanggal wawancara A2 : ______________2012
3. Nomor responden A3 : ______________
4. Nama responden A4 : __________________________________
5. Tinggal bersama dengan A5 : 1. Panti wredha, A5L nama: Panti_______
2. keluarga
3. tinggal sendiri/berdua, dekat keluarga
4. tinggal sendiri/berdua, jauh dari keluarga
Alamat rumah/panti
6. Rt A6 :
7. Rw A7 :
8. Desa A8 :
9. Kelurahan A9 :
10. Kecamatan A10 :
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
25
Sheet 2: Karaklans
B. KARAKTERISTIK LANSIA 1. Jenis Kelamin B1 1. Laki-laki 2. Perempuan 2. Umur B2 ____ Tahun 3. Pendidikan terakhir
(berdasarkan ijazah
terakhir)
B3 1. Tidak sekolah 2. SD 3. SMP
4. SMA 5. Perguruan tinggi
4. Pekerjaan B4 1. Tidak bekerja 2. Pedagang
3. PNS/ABRI 4. Swasta 5. Pensiunan 6. Buruh 7. Petani 8. Lain-lain, sebutkan B4L:_________
Sheet 3: Incomkelans
C. PENDAPATAN KELUARGA LANSIA
C1
C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9
Anggota Keluarga
Jenis
Pekerjaan
Pendapatan1)
: Rp per Jumlah
Hari Kerja2)
Har
i Mingg
u Bulan
2) Tahu
n
hari/
mgg mgg
/bln
bln
/th
n
1. Lansia
a. Pensiunan
b. Kiriman c. Hasil kerja sendiri
d. Lain-lain:
2.Anggota
lainnya 3
1. Pasangan
(suami/istri) a.
2. Anak a.
b.
3. Cucu a.
b.
4. Lainnya a.
b.
Keterangan :
1) Pilih salah satu (hari, minggu, bulan, tahun)
2) Kolom bulan digunakan untuk merekap kolom sebelumnya dan harusterisi
3) ditanyakan kepada lansia non panti wredha
26
Sheet 4: Recallans
D. KONSUMSI PANGAN LANSIA
D1. Hari ke-1 D= 1
D1 D3
No. Kode1)
Pangan/bahan2)
URT gr/URT
Berat
bersih
(gr) satuan
0.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
D1. Hari ke-2 D= 2
D2 D3
No. Kode1)
Pangan/bahan2) URT
gr/URT Berat
bersih (gr) satuan
0.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Keterangan:
1) Berikan kode pangan/bahan pada saat editing sesuai kode pangan
2) Sebut nama bahan pangan bila pangan tersebut tidak tercantum pada DKBM
3) Berat bersih = (gr/URT) – (gr/URT sisa)
Sheet 5: Statgizlans
E. STATUS GIZI LANSIA
1. Berat Badan E1 = kg
2. Tinggi badan E2 = cm
27
Sheet 6 : Statkeslans
F. STATUS KESEHATAN LANSIA
Estimasi Status Global Pasien 1. Bagaimana kondisi kesehatan yang Anda rasakan saat ini? Pilih salah satu
skala berikut ini F1:
2. Penyakit yang terdiagnosis (berdasarkan diagnosis
dokter): 2.1. Tekanan darah tinggi 2.2. Artritis (radang sendi/rematik) 2.3. Sindroma dyspepsia (sakit maag)
2.4. Penyakit jantung pembuluh darah 2.5. Diabetes 2.6. Penyakit pernafasan (asma/radang paru) 2.7. Dislipidemia (kolesterol) 2.8. Batu ginjal 2.9. Katarak 2.10 Lain-lain, sebutkan…………
F21 F22 F23 F24 F25 F26 F27 F28 F29
F210
1=Ya
2=Tidak
Problem fisik/disabilitas 3. Masalah penglihatan F3:
1. Bisa melihat tanpa kacamata 2. Bisa melihat dengan bantuan kacamata 3. Masalah penglihatan serius
4. Masalah pendengaran F4:
1. Bisa mendengar dengan baik. 2. Bisa mendengar dengan bantuan alat bantu dengar (ABD) 3. Masalah pendengaran serius
Aktifitas sehari-hari
5 Masalah mobilitas apakah Anda mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas
berikut ini F5
No. Melakukan Aktivitas sendiri Kode
Jawaban
Tidak
Sulit Agak
sulit Sangat
sulit
Tidak
dapat
melakukan 5.1 Memakai pakaian, termasuk
mengikat tali sepatu dan
memakai kancing F51 0 1 2 3
5.2 Minum menggunakan gelas F52 0 1 2 3 5.3 Mandi F53 0 1 2 3 5.4 Menggantungkan baju F54 0 1 2 3 5.5 Turun naik bis, mobil, atau
kereta F55 0 1 2 3
5.6 Berolahraga (jalan sehat,
senam dll) F56 0 1 2 3
SANGAT BURUK SEDANG 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5
BAIK 6.0 6.5 7.0 7.5 8.0 8.5 9.0 9.5 10.0
28
Lampiran 2 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan
Tingkat pendidikan
Tingkat pendapatan
Total Miskin
(<Rp 540 000)
Tidak miskin
(≥Rp 540 000)
n % n % n %
Rendah (TS, SD, SMP) 93 27.8 146 43.7 239 71.6
Tinggi (SMA dan PT) 8 2.4 87 26.0 95 28.4
Total 101 30.2 233 69.8 334 100.0
Uji korelasi Spearman r=0.564 p=0.000
Lampiran 3 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKE
Tingkat pendapatan
TKE Total
Defisit Normal Lebih
n % n % n % n %
Miskin (<Rp 540 000) 23 6.9 49 14.7 29 8.7 101 30.2
Tidak miskin (≥Rp 540 000) 75 22.5 128 38.3 30 9.0 233 69.8
Total 98 29.3 177 53.0 59 17.7 334 100.0
Uji korelasi Pearson r=0.000 p=0.987
Lampiran 4 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP
Tingkat pendapatan
TKP Total
Defisit Normal Lebih
n % n % n % n %
Miskin (<Rp 540 000) 39 11.7 50 15.0 12 3.6 101 30.2
Tidak miskin (≥Rp 540 000) 50 15.0 133 39.8 50 15.0 233 69.8
Total 89 26.6 183 54.8 62 18.6 334 100.0
Uji korelasi Pearson r=0.104 p=0.058
Lampiran 5 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKE
Tingkat pendidikan
TKE Total
Defisit Normal Lebih
n % n % n % n %
Rendah (TS, SD, SMP) 65 19.5 124 37.1 50 15.0 239 71.6
Tinggi (SMA dan PT) 33 9.9 53 15.9 9 2.7 95 28.4
Total 98 29.3 177 53.0 59 17.7 334 100.0
Uji korelasi Spearman r= -0.118 p=0.031
Lampiran 6 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKP
Tingkat pendidikan
TKP Total
Defisit Normal Lebih
n % n % n % n %
Rendah (TS, SD, SMP) 75 22.5 124 37.1 40 12.0 239 71.6
Tinggi (SMA dan PT) 14 4.2 59 17.7 22 6.6 95 28.4
Total 89 26.6 183 54.8 62 18.6 334 100.0
Uji korelasi Spearman r=0.075 p=0.172
29
Lampiran 7 Sebaran lansia dan hasil uji korelasi Spearman berdasarkan status gizi
dan status kesehatan
Status gizi
Status kesehatan Total
Sehat Sakit
n % n % n %
Sangat kurus (<14.9 kg/m2) 0 0.0 2 0.6 2 0.6
Kurus (15.00-18.4 kg/m2) 6 1.8 18 5.4 24 7.2
Normal (18.5-22.9 kg/m2) 19 5.7 60 18.0 79 23.7
Overweight (23-27.5 kg/m2) 32 9.6 110 32.9 142 42.5
Obesitas 2 (>40 kg/m2) 13 3.9 74 22.2 87 26.0
Total 70 21.0 264 79.0 334 100.0
Uji korelasi Spearman r=0.112 p=0.034
Lampiran 8 Hasil uji korelasi Spearman antara TKE dan TKP dengan status
kesehatan dan status gizi
Peubah TKE TKP
Status kesehatan r -0.063 -0.037
p 0.254 0.495
Status gizi r -0.347 0.133
p 0.000 0.015
30
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 15 Oktober 1991, dari seorang
Ayah yang bernama Sunarto dan seorang Ibu yang bernama Suwanti Asih (alm).
Penulis merupakan anak tunggal. Awal pendidikan penulis dimulai dari taman
kanak-kanak ialah di TK Mexindo Bogor pada tahaun 1996-1997, kemudian
melanjutkan sekolah dasar di SDN Ciheuleut 2 Bogor pada tahun 1997-2003.
Tahun 2003-2009 penulis menduduki pendidikan SMP ialah di SMPN 3 Bogor
dan SMA di SMA Plus YPHB Bogor. Pada tahun 2009, melalui jalur Seleksi
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN), penulis diterima sebagai mahasiswa
Institut Pertanian Bogor di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Selama perkuliahan, penulis hanya mengikuti kegiatan kepanitiaan acara
departemen. Pada bulan Juli-Agustus 2012 penulis mengikuti Kuliah Kerja
Profesi (KKP) di Desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriono, Kabupaten
Pekalongan, Jawa Tengah. Pada bulan Februari-Maret 2013 penulis melaksanakan
Internship Dietetic di Rumah Sakit Ciawi, Bogor.