Post on 30-Jun-2015
Hakekat Ilmu : “Mencari Alternatif Kebenaran Baru”
Mengkaji Pemikiran Jujun Suparjan Suriasumantri1
Oleh : Ali Murfi2
A. Pendahuluan
Membincangkan pemikiran Jujun S. Suriasumantri tidaklah mudah, karena
terlalu luas spectrum pemikiranya, merambah mulai dari social, budaya, pendidikan,
sampai filsafat. Pemikiranya dapat dilihat dari pelbagai aspek, tapi basis analisinya
dalam melihat realitas tetap sama, yaitu filsafat. Sebagai seorang yang telah lama
berkecimpung dalam dunia kademik dan berinteraksi dengan pelbagai teks- teks yang
membebaskan, tidak mengherankan jika dia telah memiliki paradigm atau pandangan
dasar yang khas. Cara pendang yang khas tersebut merupakan stand point, tempat
berpijak, atau paradigma.
Basis analisisnya dalam melihat realitas dengan filsafat inilah, yang hendak
penulis lihat sebagai bahan konstruksi pemikiran Jujun Suparjan Suriasumntri tentang
hakikat ilmu untuk mencari kebenaran baru.
B. Mencari Alternatif Kebenaran Baru
Pengetahuan
Pengetahuan diartikan secara luas, mencakup segala hal yang kita ketahui
tentang suatu obyek tertentu. Pengetahuan adalah terminology generic yang mencakup
segenap pengetahuan yang kita miliki. Manusia mendapatkan pengetahuan tersebut
berdasarkan kemampuanya selaku makhluk berpikir, merasa, dan mengindera. Di
samping itu manusia bisa juga mendapatkan pengetahuanya lewat intusi dan wahyu dari
Tuhan yang disampaikan lewat utusan-Nya.
Secara garis besar kita dapat menggolongkan pengetahuan menjadi tiga kategori utama
yakni :
(1) Pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk (etika)
1 Jujun Suparjan Suriasumantri. Lahir di Tasikmalaya, tanggal 9 April 1940. Setelah melalui pendidikan di SD V, SMP III dan SMA II, yang semuanya berada di Bandung melanjutkan ke institute Pertanian (IPB) di Bogor, dan lulus tahun 1969 sebagai insinyur pertanian. Pada tahun 1970, sebagai dosen IPB, mewakili Konsorsium Ilmu-Ilmu Pertanian dalam Latihan Educational System Analysis selama 8 bulan, yang diselenggarakan Unesco di Jakarta. Selesai dari latihan tersebut, pada tahun 1971 melanjutkan studi ke Harvard University sebagai Unesco fellow, dan lulus tahun 1975, dengan disertasi yang berjudul The Utilities of PPBS and Organization Development Planning: An Indonesian Case.
2 Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Kependidikan Islam 2011, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
1
(2) Pengetahuan tentang yang indah dan yang jelek (estetika)
(3) Pengetahuan tentang yang benar dan yang salah (logika).
Apakah Ilmu ?
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan baru yang mempunyai cirri-ciri tertentu
yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainya. Cirri-ciri keilmuan
didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga matra kefalsafahan, yakni
Apa yang ingin kita ketahui ? Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan ? Dan
apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita ?
Pengetahuan mempunyai cabang berbagai cabang pengetahuan dan ilmu merupakan
salah satu dari cabang pengetahuan tersebut. Karakteristik keilmuan itulah yang
mencirikan hakikat keilmuan dan sekaligus membedakan dari berbagai cabang
pengetahuan lainya atau dengan perkataan lain, karakteristik keilmuan menjadikan ilmu
merupakan suatu oengetahuan yang bersifat ilmiah. Dengan demikian, maka sinonim
dari ilmu adalah pengetahuan ilmiah (scientific knowledge).
Apakah kebenaran ?
Ilmu, dalam upaya untuk menemukan kebenaran, mendasarkan dirinya kepada
beberapa criteria kebenaran. Kriteria tersebut seringkali disebut sebagai teori, adalah
kriteria koherensi, korespondensi dan pragmatisme.
Koherensi merupakan terori kebenaran yang mendasarkan diri kepada criteria tentang
konsistensi argumentasi. Sekiranya terdapat konsistensi dalam alur berpikir, maka
kesimpulan yang ditariknya adalah benar. Sebaliknya, jika terdapat argumentasi yang
bersifat tidak konsisten, maka kesimpulan yang ditariknya adalah salah. Secara
keseluruhan argumentasi yang bersifat konsisten tersebut juga harus bersifat koheren
untuk dapat disebut benar. artinya, jalur - jalur pemikiran yang masing-masing bersifat
konsisten seluruhnya, maka juga harus terpada secara utuh (koheren), baik ditinjau dari
lingkup argumentasi, maupun dikaitkan dengan pengetahun-pengetahuan sebelumnya
yang dianggap benar. landasan koherensi inilah yang dipakai sebagai dasar kegiatan
keilmuan untuk menyusun pengetahuan yang bersifat sistematis dan konsisten.
Korespondensi merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada criteria
tentang kesesuaian antara materi yang dikandung oleh suatu pernyataan dengan obyek
yang dikenai pernyataan tersebut. Artinya, bila kita menyatakan bahwa “gula itu rasany
manis”, maka pernyataan itu adalah benar sekiranya dalam kenyataanya gula itu rasanya
memang manis. Sebaliknya, jika kenytaanya tidak sesuai dengan materi pernyataan
yang dikandungnya, maka pernyataan itu adalah salah. Umpamanya saja, pernyataan
2
yamg menyebutkan bahwa “gula itu rasanya asin”. Dapat disimpulkan bahwa sifat salah
atau benar dalam teori korespondensi disimpulkan dalam proses pengujian (verifikasi)
untuk menentukan sesuai atau tidaknya suatu pernyataan dengan kenyataan yang
sebenarnya.
Pragmatisme merupkan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada criteria tentang
berfungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Jadi,
bila suatu teori keilmuan secara fungsional mampu menjelaskan, meramalkan dan
mengontrol suatu gejala alam tertentu, maka secara pragmatis teori iu adalah benar.
sekiranya, dalam kurun waktu yang berlainan, muncul teori lain yang (lebih) fungsional,
maka kebenaran kita alihkan kepada teori tersebut. Dalam dunia keilmuan, nilai
kegunaan pengetahuan didasarkan kepada preferensi kepada teori yang bersifat lebih
meyakinkan dan lebih bersifat umum (universal) dibandingkan dengan teori-teori
sebelumnya. Bukankah ilmu sekadar alat yang berfungsi untuk menjelaskan,
meramalkan, dan mengontrol gejala alam ?
Mencari Alternatif Paradigma Kebenaran Baru
Tidak puas dengan paradigma kebenaran keilmuan konvensional, terutama
paradigma kebenaran keilmuan yang bersifat pragmatis, akhir-akhir terdapat
kecenderungan untuk mncari alternative paradigma kebenaran baru. Alternatif ini
berorientasikan pada kebenaran yang bersifat mutlak dan deterministic dibandingkan
dengan paradigma keilmuan dewasa ini yang bersifat pragmatis dan probabilistic.
Sumber paradigma kebenaran baru ini ialah Agama.
Dalam khazanah kemerdekaan berpikir, tentu saja upaya semacam ini patut dihargai,
apalagi terdapat alas an-alasan kuat bagi orientasi pemikiran keilmuan yang baru itu.
Ilmu dan penerapanya yang bernama teknologi, ternyata tidak dapat memecahkan
semua permasalahan manusia, dan bahkan memberikan dampak yang bersifat negative
seperti dehumanisasi kebudayaan dan degradasi moral.3 Menghadapi kenyataan ini, ada
kalangan yang berpendapat bahwa kesemrawutan tersebut bersumber dari materi
kebenaran keilmuan itu sendiri. Atau secara filosofis, bila kita mempergunakan criteria
hakikat pengetahuan terkait denagn asas ontolohi dan epistemoloho keilmuan.
Bila kita mencoba menempuh jalan ini, terutama bila kita mengaitkanya dengan
kebenaran yang bersumber pada ajaran agama, maka terdapat beberapa hal yang patut
diperhatikan. Pertama, apakah pernyataan yang terkandung dalam ajaran agama
tersebut bersifat factual atau sombolik. Factual disini diartikan bahwa pernyataan yang
3 Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1984), hal. 229-236
3
terkandung didalamnya dapat ditafsirkan secara harfiah. Gejala-gejala fisik untuk
dinyatakan secara harfiah, tetapi tubuh teori keilmuan tidak sekadar menganalisis gejala
namun lebih dalam dari itu, yakni mengkaji konsepsi yang merupakan reduksi dan
abstraksi dari gejala tersebut. Kedua, apakah pernyataan yang terkait denagan keilmuan
itu memang bersifat mengandung hakikat kebenaran itu sendiri (kognitif), ataukah
sekadar ilustrasi yang bersifat mengajak manusia untuk memepelajari alam dan
kehidupan (afektif).4 Permasalahan tentang factual-simbolik dan kognitif-afektif inilah
yang harus kita perhatiakan secara sungguh-sungguh sebelum kita melangkah lebih
jauh.
Saya sendiri berpendapat bahwa agama dapat berfungsi sebagai kendali moral bagi hal
tersebut. Dalam hal ini, saya juga berpendapat bahwa terdapat nilai-nilai universal
dalam berbagai agama yang dapat dijadikan rujukan bagi kendali moral kegunaan ilmu
tersebut. Agama mengajarkan kebaikan kepada manusia, dan ilmu didasarkan kepada
ajaran agama, seyogyanya diamalkan untuk kebaikan manusia. Impetus (energy gerak)
intelektual Muslim untuk mengkaji ilmu dikaitkan dengan ajaran agamanya, ditinjau
dari segi aksiologis ini, diharapkan bukan saja akan membawa berkah bagi umat Islam
itu sendiri, tetapi akan membawa berkah bagi umat manusia dengan mengajak
intelektual dari agama-agama lain untuk menemukan rujukan moral yang universal.
C. Kesimpulan
Dilihat dari perspektif makro, posisi Jujun Suria Sumantri dapat dikategorikan
sebagai kritikus diskursus filsafat. Kritik utamanya adalah ketidakpuasan dengan
paradigma kebenaran keilmuan konvensional, terutama paradigma kebenaran keilmuan
yang bersifat pragmatis, dia menawarkan pencarian alternatif paradigma kebenaran
baru. Alternatif ini berorientasikan pada kebenaran yang bersifat mutlak dan
deterministic dibandingkan dengan paradigma keilmuan dewasa ini yang bersifat
pragmatis dan probabilistic. Sumber paradigma kebenaran baru ini ialah Agama.
Dalam khazanah kemerdekaan berpikir, tentu saja upaya semacam ini patut
dihargai, apalagi terdapat alas an-alasan kuat bagi orientasi pemikiran keilmuan yang
baru itu. Ilmu dan penerapanya yang bernama teknologi, ternyata tidak dapat
memecahkan semua permasalahan manusia, dan bahkan memberikan dampak yang
bersifat negative seperti dehumanisasi kebudayaan dan degradasi moral.5 Menghadapi
kenyataan ini, ada kalangan yang berpendapat bahwa kesemrawutan tersebut bersumber 4 Lihat Jujun S, Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik, (Jakarta: Gramedia, 1986), hal.
194-2055 Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1984), hal. 229-236
4
dari materi kebenaran keilmuan itu sendiri, atau secara filosofis, bila kita
mempergunakan criteria hakikat pengetahuan terkait denagn asas ontologi dan
epistemologi keilmuan.
D. Daftar Pustaka
Suriasumantri, S. Jujun. 1997. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
. 1984. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
. 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik. Jakarta:
Gramedia
Saefuddin, M. Ahmad. 1991. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi.
Bandung: Penerbit Mizan
5