HAKEKAT SABAR

25
HAKEKAT SABAR Sabar merupakan salah satu sifat yang seharusnya dimiliki setiap manusia. Sabar berarti menerima segala sesuatu yang diberikan oleh Allah dengan pikiran positif, tidak berpikir negatif kepada-Nya. Sabar juga dapat diartikan menahan diri dari hawa nafsu. Sabar merupakan salah satu rahasia diri seorang hamba Allah karena sifat sabar membuat manusia lebih bisa memahami kedudukannya sebagai hamba yang semestinya selalu patuh dan taat pada perintah sang pencipta dan menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi kepada kita merupakan yang terbaik untuk kita. Sabar berasal dari bahasa Arab dari akar shabara ( َ رَ بَ ص), hanya tidak yang berada di belakang hurufnya karena ia tidak bisa berdiri sendiri. Shabara ’ala ( ىَ لَ عَ رَ بَ ص) berarti bersabar atau tabah hati, shabara ’an ( ْ نَ عَ رَ بَ ص) berarti memohon atau mencegah, shabara bihi ( ِ هِ بَ رَ بَ ص) berarti menanggung. Sabar dalam bahasa Indonesia berarti: Pertama, tahan menghadapi cobaan seperti tidak lekas marah, tidak lekas putus asa dan tidak lekas patah hati, sabar dengan pengertian seperti ini juga disebut tabah, kedua sabar berarti tenang; tidak tergesa- gesa dan tidak terburu-buru. Dalam kamus besar Ilmu Pengetahuan, sabar merupakan istilah agama yang berarti sikap tahan menderita, hati-hati dalam bertindak, tahan uji dalam mengabdi atau mengemban perintah-perintah Allah serta tahan dari godaan dan cobaan duniawi. Aktualisasi pengertian ini sering ditunjukan oleh para sufi. Illustration from image google Hanya kepada Allah-lah setiap manusia akan kembali dan Allah membenci manusia yang tidak sabar karena sifat tidak sabar akan berkembang jauh melahirkan sikap putus asa, dan Allah sangat membenci sifat putus asa. Oleh karena itu, sabar merupakan alat untuk mengendalikan diri agar seseorang bisa bertindak secara bijak. Putus asa berarti menyerah kepada apa yang semestinya bisa kita hadapi, bisa kita ubah dan mungkin

description

sebagai pedoman agar senantiasa sabar

Transcript of HAKEKAT SABAR

Page 1: HAKEKAT SABAR

HAKEKAT SABAR

Sabar merupakan salah satu sifat yang seharusnya dimiliki setiap manusia. Sabar berarti menerima segala sesuatu yang diberikan oleh Allah dengan pikiran positif, tidak berpikir negatif kepada-Nya. Sabar juga dapat diartikan menahan diri dari hawa nafsu. Sabar merupakan salah satu rahasia diri seorang hamba Allah karena sifat sabar membuat manusia lebih bisa memahami kedudukannya sebagai hamba yang semestinya selalu patuh dan taat pada perintah sang pencipta dan menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi kepada kita merupakan yang terbaik untuk kita.

Sabar berasal dari bahasa Arab dari akar shabara ( �ر� hanya tidak yang berada di belakang ,(ص�بhurufnya karena ia tidak bisa berdiri sendiri. Shabara ’ala ( ع�ل�ى �ر� berarti bersabar atau (ص�بtabah hati, shabara ’an ( ع�ن� �ر� ,berarti memohon atau mencegah (ص�ب shabara bihi ( ه ب �ر� (ص�بberarti menanggung.

Sabar dalam bahasa Indonesia berarti: Pertama, tahan menghadapi cobaan seperti tidak lekas marah, tidak lekas putus asa dan tidak lekas patah hati, sabar dengan pengertian seperti ini juga disebut tabah, kedua sabar berarti tenang; tidak tergesa-gesa dan tidak terburu-buru. Dalam kamus besar Ilmu Pengetahuan, sabar merupakan istilah agama yang berarti sikap tahan menderita, hati-hati dalam bertindak, tahan uji dalam mengabdi atau mengemban perintah-perintah Allah serta tahan dari godaan dan cobaan duniawi. Aktualisasi pengertian ini sering ditunjukan oleh para sufi.

Illustration from image googleHanya kepada Allah-lah setiap manusia akan kembali dan Allah membenci manusia yang tidak sabar karena sifat tidak sabar akan berkembang jauh melahirkan sikap putus asa, dan Allah sangat membenci sifat putus asa. Oleh karena itu, sabar merupakan alat untuk mengendalikan diri agar seseorang bisa bertindak secara bijak. Putus asa berarti menyerah kepada apa yang semestinya bisa kita hadapi, bisa kita ubah dan mungkin bisa kita perbaiki. Putus asa akan menyuburkan sifat malas dan sifat malas akan mengarah pada kebodohan. Orang yang tidak sabar selalu gentar dalam menghadapi cobaan yang datang kepadanya sehingga menyebabkan nyali mereka ciut. Cobaan kecil yang menimpanya dipandang besar dan berat. Hal ini menyebabkan hati mereka akan bertambah gusar dan menghilangkan semua semangat yang ada pada diri mereka. Mereka akan menganggap diri mereka tidak berarti dan tidak akan mampu menghadapi tantangan di depan mereka. Kepercayaan kepada diri sendiri akan hilang dan menyerah pada keadaan tanpa ada usaha terlebih dahulu.

Betapa meruginya diri kita bila kita termasuk dalam golongan orang yang tidak mau sabar dan mudah menyerah. Allah telah menciptakan kita sebagai manusia yang paling sempurna yang dibekali dengan akal dan pikiran. Hendaknya dengan akal itu kita mampu menyadari bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Pemurah. Selain itu, kita juga memiliki hati yang mampu kita jadikan cermin terhadap setiap perbuatan yang telah kita lakukan. Bahwa apakah yang kita lakukan sudah sesuai dengan tuntunan ajaran kita.

Untuk itu hendaknya kita bisa menanamkan sifat sabar dalam diri kita. Dengan bersikap sabar maka hati menjadi lapang dan pikiran menjadi jernih. Dengan sabar pula kita bisa mengendalikan emosi diri kita secara bijak karena emosi yang meledak-ledak dan berlebihan tidak akan membawa manfaat, baik bagi diri kita sendiri atau pun bagi orang lain. Dan lebih jauh lagi kita akan mampu memiliki sifat ikhlas, yang merupakan rahasia diri sekaligus sifat yang dimuliakan oleh Allah.

Page 2: HAKEKAT SABAR

HIKMAH SABAR (1)

Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)

Pengertian Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Macam-Macam Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:

1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal

yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sebab Meraih Kemuliaan

Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.

Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).

Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).

Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).

Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk

Page 3: HAKEKAT SABAR

dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)

Sabar Dalam Ketaatan

Sabar Dalam Menuntut Ilmu

Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.

Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)

Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu

Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.

Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)

Sabar Dalam Berdakwah

Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”

Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.

Page 4: HAKEKAT SABAR

Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul, hal. 13-14)

Sabar dan Kemenangan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).

Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.

Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sabar di atas Islam

Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)

Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.

Page 5: HAKEKAT SABAR

Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.

Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.

Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).

Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).

Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)

Sabar Menjauhi Maksiat

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.

Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”

Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).

“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.

Page 6: HAKEKAT SABAR

Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar Menerima Takdir

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar dan Tauhid

Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.

Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.

Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.

Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”

Page 7: HAKEKAT SABAR

Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.

Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”

Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.

Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.

Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.

Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.

Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang

Page 8: HAKEKAT SABAR

kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)

HIKMAH SABAR (2)

Hukum Merasa Ridha Terhadap Musibah

Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala menjelaskan, “Hukum merasa ridha dengan adanya musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh karenanya banyak orang yang kesulitan membedakan antara ridha dengan sabar. Sedangkan kesimpulan yang pas untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi musibah hukumnya wajib, dia adalah salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu dikarenakan di dalam sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak terima terhadap ketetapan dan takdir Allah.

Adapun ridha memiliki dua sudut pandang yang berlainan:

Sudut pandang pertama: terarah kepada perbuatan Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba merasa ridha terhadap perbuatan Allah yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridha dan puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia merasa ridha terhadap pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa ridha terhadap perbuatan Allah ini termasuk salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang harus ada).

Sudut pandang kedua: terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum merasa ridha terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sebab kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sebab kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab (disunnahkan).

Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridha yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan, “Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka diapun merasa ridha” yakni merasa puas terhadap ketetapan Allah “dan ia bersikap pasrah”. Karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi (perbuatan) Allah jalla jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393)

Sabar dan Syukur

Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinaan radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, semua urusannya adalah baik. Tidaklah hal itu didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia tertimpa kesenangan maka bersyukur. Maka itu baik baginya. Dan apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar. Maka itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)

Page 9: HAKEKAT SABAR

Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa manusia dalam menghadapi takdir Allah yang berupa kesenangan dan kesulitan terbagi menjadi dua, yaitu kaum beriman dan kaum yang tidak beriman.

Adapun orang yang beriman bagaimanapun kondisinya selalu baik baginya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia bersabar dan tabah menunggu datangnya jalan keluar dari Allah serta mengharapkan pahala dengan kesabarannya itu. Dengan demikian dia memperoleh pahala orang-orang yang sabar. Maka ini baik baginya.

Sedangkan apabila seorang mukmin menerima nikmat diniyah maupun duniawiyah maka dia bersyukur yaitu dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah. Karena syukur bukan saja mencakup ucapan syukur di mulut saja, akan tetapi harus dilengkapi dengan melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah. Sehingga orang yang beriman memiliki dua nikmat ketika mengalami kesenangan yaitu nikmat dunia dengan merasa senang dan nikmat diniyah dengan bersyukur. Sehingga inipun baik bagi dirinya.

Adapun orang kafir, mereka berada dalam keadaan yang buruk sekali, wal ‘iyaadzu billaah. Apabila tertimpa kesulitan mereka tidak mau bersabar, bahkan tidak mau terima, memprotes takdir, mendoakan kebinasaan, mencela masa dan caci maki lainnya.

Sedangkan apabila mendapatkan kesenangan dia tidak bersyukur kepada Allah. Maka kesenangan yang dialami oleh orang-orang kafir di dunia ini kelak di akhirat akan berubah menjadi siksaan. Karena orang kafir itu tidaklah menyantap makanan atau menikmati minuman kecuali dia pasti mendapatkan dosa karenanya. Meskipun hal itu bagi orang mukmin tidak dinilai dosa, akan tetapi lain halnya bagi orang kafir.

Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah ta’ala yang artinya, “Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah dan rezeki yang baik-baik yang dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Katakanlah: itu semua adalah untuk orang-orang yang beriman di dalam kehidupan dunia yang akan diperuntukkan untuk mereka saja pada hari kiamat.” (QS.Al A’raaf [7]: 32).

Sehingga semua rezeki tersebut diperuntukkan bagi kaum beriman saja pada hari kiamat nanti. Adapun orang-orang yang tidak beriman maka nikmat itu bukan menjadi hak mereka. Mereka memakannya padahal itu haram bagi mereka dan pada hari kiamat nanti mereka akan disiksa karenanya. Sehingga bagi orang kafir kesenangan maupun kesulitan adalah sama-sama buruknya, wal ‘iyaadzu billaah. (Lihat Syarh Riyadhush Shalihin, I/107-108)

Hikmah di Balik Musibah

Dari Anas, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan nomor 2396 di dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomor 1220)

Page 10: HAKEKAT SABAR

Syaikhul Islam mengatakan, “Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat. Karena ia menjadi sebab dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga menuntut kesabaran sehingga orang yang tertimpanya justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan sikap kembali taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala serta memalingkan ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai maslahat agung lainnya yang muncul karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah sebagai sebab penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini termasuk nikmat yang paling agung. Maka seluruh musibah pada hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi keseluruhan makhluk, kecuali apabila musibah itu menyebabkan orang yang tertimpa musibah menjadi terjerumus dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat yang dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia menjadi keburukan baginya, bila ditilik dari sudut pandang musibah yang menimpa agamanya.”

“Sesungguhnya ada di antara orang-orang yang apabila mendapat ujian dengan kemiskinan, sakit atau terluka justru menyebabkan munculnya sikap munafik dan protes dalam dirinya, atau bahkan penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan sebagian kewajiban yang dibebankan padanya dan malah berkubang dengan berbagai hal yang diharamkan sehingga berakibat semakin membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kesehatan lebih baik baginya. Hal ini bila ditilik dari sisi dampak yang timbul setelah dia mengalami musibah, bukan dari sisi musibahnya itu sendiri. Sebagaimana halnya orang yang dengan musibahnya bisa melahirkan sikap sabar dan tunduk melaksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam ini sebenarnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi dengan perbuatan Rabb ‘azza wa jalla sekaligus sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala maha terpuji karena perbuatan-Nya tersebut. Barang siapa yang diuji dengan suatu musibah lantas diberikan karunia kesabaran oleh Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus karenanya maka muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang dari Allah).

Dan apabila dia memuji Rabbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga akan memperoleh pujian-Nya. “Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) dari Rabb mereka dan memperoleh curahan rahmat.” (QS. Al Baqarah [2]: 156) Ampunan dari Allah atas dosa-dosanya juga akan didapatkan, begitu pula derajatnya pun akan terangkat. Barang siapa yang merealisasikan sabar yang hukumnya wajib ini niscaya dia akan memperoleh balasan-balasan tersebut” Selesai perkataan Syaikhul Islam, dengan ringkas. (Lihat Fathul Majiid, hal. 353-354)

Doa Apabila Tertimpa Musibah

Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, Allahumma’jurnii fii mushiibatii wa ahklif lii khairan minhaa

Artinya: “Sesungguhnya kita adalah milik Allah. Dan kita pasti akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berikanlah ganjaran pahala atas musibah hamba. Dan gantikanlah ia dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim, 2/632. lihat Hishnul Muslim, hal. 96-97)

Pertanyaan: Apabila ada seseorang yang terkena suatu penyakit atau tertimpa suatu bencana yang berakibat buruk bagi diri atau hartanya, lalu bagaimanakah cara untuk mengetahui bahwa bencana itu merupakan ujian ataukah kemurkaan dari sisi Allah ?

Page 11: HAKEKAT SABAR

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab, “Allah ‘azza wa jalla menguji hamba-hamba-Nya dengan bentuk kesenangan dan kesulitan, dengan kesempitan dan kelapangan. Terkadang dengan hal itu Allah menguji mereka supaya bisa menaikkan derajat mereka serta meninggikan sebutan mereka dan juga demi melipatgandakan kebaikan-kebaikan mereka. Yang demikian itu sebagaimana yang dialami oleh para Nabi dan Rasul ‘alaihimush shalatu was salaam, dan juga para hamba Allah yang shalih. Sebagaimana sudah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang paling berat cobaannya adalah para Nabi, kemudian diikuti oleh orang-orang lain yang berada di bawah tingkatan mereka.”

Dan terkadang Allah juga menimpakan hal itu disebabkan oleh perbuatan-perbuatan maksiat dan dosa-dosa (yang mereka lakukan). Sehingga dengan demikian maka bencana itu merupakan hukuman yang di segerakan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah Yang Mahasuci yang artinya, “Dan musibah apapun yang menimpa kalian maka itu terjadi karena ulah perbuatan tangan-tangan kalian, dan Allah memaafkan banyak kesalahan orang.” (QS. Asy Syura [42]: 30).

Adapun kondisi sebagian besar umat manusia yang ada ialah fenomena taqshir/meremehkan dan tidak menunaikan kewajiban yang telah dibebankan. Oleh karena itu musibah yang menimpa dirinya maka itu sesungguhnya timbul dikarenakan dosa-dosa yang diperbuatnya serta kekurangannya sendiri dalam menjalankan perintah Allah.

Sedangkan apabila yang mengalami musibah adalah termasuk golongan hamba Allah yang shalih, entah berupa penyakit tertentu ataupun musibah yang lainnya, maka sesungguhnya hal ini termasuk kategori ujian yang diberikan kepada kalangan para Nabi dan Rasul dalam rangka mengangkat derajat serta membesarkan balasan pahalanya. Dan juga dia bisa menjadi contoh untuk orang lain dalam hal kesabaran dan keyakinannya untuk berharap pahala. Sehingga hasil yang ingin diraih dengan sebab terjadinya musibah ialah terangkatnya derajat, peningkatan pahala, sebagaimana halnya musibah yang ditetapkan oleh Allah menimpa para Nabi dan sebagian orang yang baik/shalih.

Dan bisa juga hal itu terjadi demi menghapuskan dosa kesalahan-kesalahan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Barang siapa yang melakukan kejelekan pasti akan dibalas.” (QS. An Nisaa’ [4] : 123).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada sebuah kesusahan, kekalutan, keletihan, penyakit, kesedihan maupun gangguan yang menimpa seorang mukmin melainkan Allah pasti menghapuskan sebagian dosa kesalahan-kesalahannnya, bahkan sampai duri yang menusuk bagian tubuhnya.” Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang diinginkan baik oleh Allah maka pasti Dia timpakan musibah kepadanya.”

Namun terkadang bisa juga hal itu merupakan hukuman yang di segerakan disebabkan perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan dan kelambatan diri dalam bertaubat. Hal itu sebagaimana diceritakan di dalam sebuah hadits dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya maka Allah segerakan hukuman baginya di alam dunia. Sedangkan apabila Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya maka Allah menahan hukuman atas dosa itu hingga terbayarkan kelak pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, dinilainya hasan). (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah juz 4, diterjemahkan dari website beliau)

Page 12: HAKEKAT SABAR

Marah Saat Tertimpa Musibah ?

Pertanyaan: Apa hukumnya orang yang marah tatkala tertimpa musibah ?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjawab, “Orang ketika menghadapi musibah terbagi dalam empat tingkatan :

Tingkatan Pertama: Marah

Tingkatan ini meliputi beberapa macam keadaan:

Kondisi pertama; ia menyimpan perasaan marah di dalam hati kepada Allah. Sehingga dia pun menjadi marah terhadap apa yang sudah diputuskan Allah. Hal ini adalah haram. Bahkan terkadang bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam kekafiran. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Di antara manusia ada orang yang menyembah Allah di pinggiran. Apabila dia tertimpa kebaikan dia pun merasa tenang. Dan apabila dia tertimpa ujian maka dia pun berbalik ke belakang, hingga rugilah dia dunia dan akhirat.” (QS. Al Hajj [22]: 11).

Kondisi kedua; kemarahannya diekspresikan dengan ucapan. Seperti dengan mendoakan kecelakaan dan kebinasaan atau ucapan semacamnya, ini juga haram.

Kondisi ketiga; kemarahannya sampai meluap sehingga terekspresikan dengan tindakan anggota badan. Seperti dengan menampar-nampar pipi, merobek-robek kain pakaian, mencabuti rambut dan perbuatan semacamnya. Perbuatan ini semua haram hukumnya dan meniadakan sifat sabar yang wajib ada.

Tingkatan Kedua: Bersabar

Hal ini sebagaimana digambarkan oleh seorang penyair dalam syairnya,

Sabar itu memang seperti namanya

Pahit kalau baru dirasa

Tapi buahnya yang ditunggu-tunggu

Jauh lebih manis daripada madu

Dia melihat bahwa musibah ini adalah sesuatu yang sangat berat akan tetapi dia tetap bisa tabah dalam menanggungnya. Dia merasa tidak senang atas kejadiannya. Namun imannya masih bisa menjaganya untuk tidak marah. Sehingga terjadi atau tidaknya musibah itu masih terasa berbeda baginya. Dan hal ini adalah tingkatan yang wajib. Sebab Allah ta’ala telah memerintahkan untuk bersabar. Allah berfirman yang artinya, “Bersabarlah kalian. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Alnfaal [8]: 46).

Tingkatan Ketiga: Merasa Ridha

Yaitu seseorang bisa merasa ridha dengan musibah yang menimpanya. Sehingga ada dan tidaknya musibah adalah sama saja baginya. Dia tidak merasakannya sebagai sebuah beban yang sangat berat. Ini adalah tingkatan yang sangat dianjurkan/mustahab, dan bukan hal yang

Page 13: HAKEKAT SABAR

wajib menurut pendapat yang kuat. Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan sebelumnya cukup jelas. Yaitu karena dalam tingkatan ini ada tidaknya musibah itu terasa sama saja dalam hal keridhaan terhadapnya. Adapun dalam tingkatan sebelumnya terjadinya musibah itu masih dirasakan sebagai sesuatu yang sukar baginya, namun dia masih tetap bersabar.

Tingkatan Keempat: Bersyukur

Inilah tingkatan yang tertinggi. Yaitu dengan justru bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpanya. Dia sadar bahwa pada hakikatnya musibah adalah faktor penyebab terhapusnya dosa-dosanya, bahkan terkadang bisa menjadi sumber penambahan amal kebaikannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada sebuah musibah pun yang menimpa seorang muslim, kecuali pasti Allah hapuskan (dosanya) dengan sebab musibah itu, bahkan sekalipun duri yang menusuknya.” (HR. Bukhari (5640) dan Muslim (2572)). (Diterjemahkan dengan penyesuaian redaksional dari Fatawa Arkanil Islam, hal. 126-127)

Balasan Bagi Orang yang Sabar

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan serta kekurangan harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami ini berasal dari Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya”. Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan ucapan shalawat (pujian) dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh hidayah.” (QS. Al Baqarah [2]: 155-157).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak bersabar maka dia berhak menerima lawan darinya, berupa celaan dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian. Betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini. Betapa kecilnya keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang sabar bila dibandingkan dengan besarnya penderitaan yang harus ditanggung oleh orang-orang yang protes dan tidak bersabar…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 76)

Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS. Az Zumar [39]: 10).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya,”Ayat ini berlaku umum untuk semua jenis kesabaran. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan, yaitu hamba tidak merasa marah karenanya. Sabar dari kemaksiatan kepada-Nya, yaitu dengan cara tidak berkubang di dalamnya. Bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepada-Nya, sehingga dia pun merasa lapang dalam melakukannya.

Allah menjanjikan kepada orang-orang yang sabar pahala untuk mereka yang tanpa hitungan, artinya tanpa batasan tertentu maupun angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan hal itu tidaklah bisa diraih kecuali disebabkan karena begitu besarnya keutamaan sifat sabar dan agungnya kedudukan sabar di sisi Allah, dan menunjukkan pula bahwa Allah lah penolong segala urusan.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 721)

Surga Bagi Orang yang Sabar

Page 14: HAKEKAT SABAR

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “(yaitu) Surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun ‘alaikum bima shabartum” (Keselamatan atas kalian sebagai balasan atas kesabaran kalian). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar Ra’d: 23-24).

Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

HAKIKAT SABAR DALAM ISLAM

Sabar termasuk akhlak yang paling utama yang banyak mendapat perhatian Al-Qur’an dalam surat-suratnya. Imam al-Ghazali berkata, “Allah swt menyebutkan sabar di dalam al-Qur’an lebih dari 70 tempat.”Ibnul Qoyyim mengutip perkataan Imam Ahmad: “Sabar di dalam al-Qur’an terdapat di sekitar 90 tempat.”

Abu Thalib al-Makky mengutip sebagian perkataan sebagian ulama: “Adakah yang lebih utama daripada sabar, Allah telah menyebutkannya di dalam kitab-Nya lebih dari 90 tempat. Kami tidak mengetahui sesuatu yang disebutkan Allah sebanyak ini kecuali sabar.”Sabar menurut bahasa berarti menahan dan mengekang. Di antaranya disebutkan pada QS.Al-Kahfi [18]: 28 “Dan tahanlah dirimu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan di senja hari dengan mengharap keridhaanNya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka.”Kebalikan sabar adalah jaza’u (sedih dan keluh kesah), sebagaimana di dalam firman Allah QS. Ibrahim [14]: 21, “...sama saja bagi kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri.”

Macam-macam Sabar Dalam al-Qur’anAspek kesabaran sangat luas, lebih luas dari apa yang selama ini dipahami oleh orang mengenai kata sabar. Imam al-Ghazali berkata, “Bahwa sabar itu ada dua; pertama bersifat badani (fisik), seperti menanggung beban dengan badan, berupa pukulan yang berat atau sakit yang kronis. Yang kedua adalah al-shabru al-Nafsi (kesabaran moral) dari syahwat-syahwat naluri dan tuntutan-tuntutan hawa nafsu. Bentuk kesabaran ini (non fisik) beraneka macam;Jika berbentuk sabar (menahan) dari syahwat perut dan kemaluan disebut iffahJika di dalam musibah, secara singkat disebut sabar, kebalikannya adalah keluh kesah.Jika sabar di dalam kondisi serba berkucukupan disebut mengendalikan nafsu, kebalikannya adalah kondisi yang disebut sombong (al-bathr)Jika sabar di dalam peperangan dan pertempuran disebut syaja’ah (berani), kebalikannya adalah al-jubnu (pengecutJika sabar di dalam mengekang kemarahan disebut lemah lembut (al-hilmu), kebalikannya adalah tadzammur (emosional)Jika sabar dalam menyimpan perkataan disebut katum (penyimpan rahasia)Jika sabar dari kelebihan disebut zuhud, kebalikannya adalah al-hirshu (serakah)Kebanyakan akhlak keimanan masuk ke dalam sabar, ketika pada suatu hari Rasulullah saw ditanya tentang iman, beliau menjawab: Iman aadalah sabar. Sebab kesabaran merupakan pelaksanaan keimanan yang paling banyak dan paling penting. “Dan orang-orang yang sabar dalam musibah, penderitaan dan dalam peperangan mereka itulah orang-orang yang benar imannya, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]: 177)

Page 15: HAKEKAT SABAR

Dari itu kita dapat memahami mengapa al-Qur’an menjadikan masalah sabar sebagai kebahagiaan di akhirat, tiket masuk ke surga dan sarana untuk mendapatkan sambutan para malaikat. Dalam surat Al-Insan [72]: 12 “Dan Dia memberi balasan kepada mereka atas kesabaran mereka dengan surga dan (pakaian) sutera”. Dalam surat Ar-Ra’d [13]:23-24 “...Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan); keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”Sabar, Suatu Kekhasan ManusiaSabar adalah kekhasan manusia, sesuatu yang tidak terdapat di dalam binatang sebagai faktor kekurangannya, dan di dalam malaikat sebagai faktor kesempurnaannya.Binatang telah dikuasai penuh oleh syahwat. Karena itu, satu-satunya pembangkit gerak dan diamnya hanyalah syahwat. Juga tidak memiliki “kekuatan” untuk melawan syahwat dan menolak tuntutannya, sehingga kekuatan menolak tersebut bisa disebut sabar.Sebaliknya, malaikat dibersihkan dari syahwat sehingga selalu cenderung kepada kesucian ilahi dan mendekat kepada-Nya. Karena itu tidak memerlukan “kekuatan” yang berfungsi melawan setiap kecenderungan kepada arah yang tidak sesuai dengan kesucian tersebut.Tetapi manusia adalah makhluk yang dicipta dalam suatu proses perkembangan; merupakan makhluk yang berakal, mukallaf (dibebani) dan diberi cobaan, maka sabar adalah “kekuatan” yang diperlukan untuk melawan “kekuatan” yang lainnya. Sehingga terjadilah “pertempuran” antara yang baik dengan yang buruk. Yang baik dapat juga disebut dorongan keagamaan dan yang buruk disebut dorongan syahwat.Pentingnya KesabaranAgama tidak akan tegak, dan dunia tidak akan bangkit kecuali dengan sabar. Sabar adalah kebutuhan duniawi keagamaan. Tidak akan tercapai kemenangan di dunia dan kebahagaiaan di akhirat kecuali dengan sabar.Al-Qur’an telah mengisyaratkan pentingnya kesabaran ini. Ketika mengyinggung masalah penciptaan manusia dan cobaan penderitaan yang akan dihadapinya. Dalam surat Al-Insaan [76]: 2 “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang tercampur yang Kami hendak mengujinya )dengan perintah dan larangan)”.Pentingnya Kesabaran Bagi Orang Beriman.Sudah menjadi sunnatulah bahwa kaum muslimin harus berhadapan dengan para musuhnya yang jahat yang membuat makar dan tipu daya. Seperti Allah menciptakan Iblis untuk Adam; Namrud untuk Ibrahim; Fir’aun untuk Musa dan Abu Jahal untuk Muhammad saw.Dalam Surat al-Ankabut [29]]: 1-3 “Ali Laam Miim. Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan; kami telah beriman, padahal mereka belum diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.”

HAKIKAT SABAR

Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 155 dijelaskan:

رين� الص�اب ر �ش� و�ب ات �م�ر� و�الث و�األنف�س م�و�ال� األ م�ن� �ق�ص! و�ن �ج�وع و�ال �خ�وف� ال م�ن� ي�ء! ش� ب �م� �ك �و�ن �ل �ب �ن و�ل

Artinya:Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-

Page 16: HAKEKAT SABAR

orang yang sabar.

Sabar dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa ketika ada dua pilihan dan kita tetap memilih berada pada pilihan yang benar walaupun berat dan susah, itulah dia sabar. Contohnya dalam surat Al Baqarah ayat 61:

ه�ا �ق�ل ب من ر�ض�� األ ت� �نب ت مم�ا �ا �ن ل �خ�رج� ي �ك� ب ر� �ا �ن ل ف�اد�ع� و�احد! ! ط�ع�ام ع�ل�ى� ر� �ص�ب ن ل�ن م�وس�ى �ا ي �م� �ت ق�ل ذ� و�إ

ن� ف�إ B مص�را � ط�وا اه�ب Eر� ي خ� ه�و� �ذي ال ب �ى د�ن� أ ه�و� �ذي ال �ون� �دل �ب ت �س� ت

� أ ق�ال� ه�ا �ص�ل و�ب ه�ا و�ع�د�س و�ف�ومه�ا ه�ا �آئ و�قثون� �ف�ر� �ك ي � �وا �ان ك �ه�م� ن

� أ ب ك� ذ�ل �ه الل م�ن� غ�ض�ب! ب � �آؤ�و�ا و�ب �ة� �ن ك �م�س� و�ال �ة� الذ�ل �هم� �ي ع�ل �ت� و�ض�رب �م� �ت ل� أ س� م�ا �م �ك ل

�د�ون� �ع�ت ي � �وا �ان و�ك � ع�ص�وا م�ا ب ك� ذ�ل �ح�ق� ال �ر غ�ي ب �ين� ي �ب الن �ل�ون� �ق�ت و�ي �ه الل �ات آي ب

Artinya:Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta". Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.

Dalam Ayat ini dijelaskan bahwa ummat nabi Musa a.s tidak sabar akan kenikmatan yang diberikan padanya dengan makanan yang diberikan padanya dari Allah subhanahu wata'ala yang satu macam saja yaitu manna dan syalwa. Nabi Musa menjawab bahwa mereka mempunyai pilihan apakah akan teguh dengan ketentuan yang diberikan Allah subhanahu wata'ala padanya dengan memakan satu makanan saja, atau mereka dapat mendapatkannya dipasar apa saja makanan yang mereka inginkan tetapi mendapat murka dari Allah.

Dalam ayat lain dijelaskan bahwa betapa tentara Thalut melawan Jalut diuji dengan tidak meminum air kecuali seceduk tangan. Yang sabar tidak meminum air merekalah tentara Thalut yang kuat memerangi Jalut dan tentaranya dan menang.

Surat Al Baqarah ayat 249.�ط�ع�م�ه� ي �م� ل و�م�ن �ي من �س� �ي ف�ل �ه� من رب� ش� ف�م�ن �ه�ر! ن ب �م يك �ل �ت م�ب Zه� الل ن� إ ق�ال� �ود ن �ج� ال ب ط�ال�وت� ف�ص�ل� �م�ا ف�لم�ع�ه� � �وا آم�ن �ذين� و�ال ه�و� ه� ج�او�ز� �م�ا ف�ل �ه�م� م�ن B يال ق�ل � ال إ �ه� من � �وا رب ف�ش� �ده ي ب Bف�ة غ�ر� �ر�ف� اغ�ت م�ن � ال إ �ي من �ه� ن ف�إ�ت� �ب غ�ل �ة! يل ق�ل �ة! فئ م�ن �م ك Zه الل �ق�و مdال �ه�م ن

� أ dون� �ظ�ن ي �ذين� ال ق�ال� و�ج�نوده ال�وت� ج� ب �و�م� �ي ال �ا �ن ل ط�اق�ة� � ال � �وا ق�الرين� الص�اب م�ع� Zه� و�الل Zه الل ذ�ن إ ب Bة ير� �ث ك Bة� فئ

Artinya:Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat

Page 17: HAKEKAT SABAR

mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."

Allah menjelaskan Sabar adalah berat kecuali orang yang khusuk tetapi sabar dapat dijadikan alat pertolongan dalam kesusahan.

Allah berfirman: Dalam Surat Al Baqarah ayat 45

عين� �خ�اش ال ع�ل�ى � ال إ Eة ير� �ب �ك ل �ه�ا ن و�إ �ة و�الص�ال �ر الص�ب ب � �وا �عين ت و�اس�

Artinya: Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',

Dan Juga Surat al Baqarah ayat 153

رين� الص�اب م�ع� Zه� الل ن� إ �ة و�الص�ال �ر الص�ب ب � �وا �عين ت اس� � �وا آم�ن �ذين� ال dه�ا ي� أ �ا ي

Artinya:Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Pada intinya tetap pada jalan yang benar dan berjuangkan kebenaran walaupun susah dan derita menerpa menguji orang-orang dalam kebenaran dan perjuangan.

Sekarang Ummat Islam pun sedang diuji dengan Fitnah yang besar yaitu mengatakan Islam adalah sumber dan dalang Terorisme. Saya katakan Terorisme bukanlah berbuatan orang Islam dan kita bagi ummat Islam harus berada dalam kesabaran walau ancapan dan deraan datang menguji.