Post on 11-Sep-2019
Pembaca sekalian,
Riset dilakukan untuk menjawab hal-
hal yang belum kita ketahui. Oleh karena
itu, riset menciptakan pengetahuan baru.
Pengetahuan baru hanya dapat menjadi
sesuatu yang diketahui oleh banyak orang
jika dapat diakses informasinya. Itulah
sebabnya mengapa hasil riset harus ditulis
dan dipublikasikan.
Tanpa publikasi, pengetahuan baru
dari sebuah riset akan terpendam dalam
perjalanan waktu. Pengetahuan itu tidak
akan tumbuh menjadi pengetahuan yang
sesungguhnya, yaitu pengetahuan yang
diketahui dan (yang lebih penting lagi) yang
dapat dikritisi, didiskusikan, disebarkan dan
dimanfaatkan bagi kesejahteraan
masyarakat.
Warta DRPM kali ini mengetengahkan
isu utama mengenai penulisan hasil riset
dalam beberapa artikel dengan
mengaitkannya pada analisis mengenai
Hibah Riset UI 2011, evaluasi dosen inti,
dan aktivitas pusat-pusat riset.
Semoga edisi kali ini dapat
menumbuhkan semangat sivitas akademika
UI untuk selalu produktif menuliskan
pengetahuan-pengetahuan baru.
Selamat membaca!
Citra Wardhani
Warta DRPM UI
Michael Faraday1791 – 1867
vo
l. 0
4 N
o. 0
2 a
pril
11
War
ta D
RPM
1
vol. 04 No. 03 juli 11
Gedung DRPM UIKampus UI, Depok 16424T : 021-7270152/78849118F : 021-78849119E : drpm@ui.ac.id
www.research.ui.ac.idDIREKTORAT RISET DAN PENGABDIAN MASYARAKAT UNIVERSITAS INDONESIA
EditorialJangan Sampai Periset UI Menulis Hanya Sepertiga Artikel Hasil Riset Seumur Hidupnya
Bahasan Utama
Agustino Zulys mengangkat isu mengenai publikasi Indonesia yang rendah dan
bagaimana UI berupaya melakukan upaya untuk menciptakan budaya riset yang dapat
meningkatkan publikasi internasional Indonesia.
Tiga aktivitas yang diungkapkan
oleh Michael Faraday merupakan bentuk
tanggung jawab seorang periset dalam
upaya mengembangkan ilmu pengetahuan.
Upaya perluasan ilmu pengetahuan ini
harus mencakup pada kegiatan observasi
yang sistemik dengan menggunakan
metode uji yang dapat diulang
(reproducible) dan hasil riset yang terekam
dengan baik dalam bentuk dokumentasi
ilmiah sehingga hasil temuan tersebut tidak
terputus begitu saja tanpa pengembangkan
dari periset berikutnya.
Bagaimana jadinya jika hasil riset
tidak didokumentasikan secara ilmiah?
Sejarah mencatat, hampir saja kita tidak
akan mengenal siapa Phytagoras (550
SM) bapak Geometri, yang berhutang budi
pada ilmuwan geometri lain Euclid (330
SM). Euclid berhasil menyempurnakan
teori-teoril temuan Phytagoras (yang tidak
didokumentasikan) dalam bentuk buku
“Elements of Geometry” yang menjadi
sumber rujukan utama teori geometri.
Begitu pula Leonardo da Vinci yang
mungkin sebagian kita mengenalnya hanya
sebagai seniman ulung saja padahal ia
juga seorang ilmuwan dengan kemampuan
analisis yang brillian. Sayangnya catatan
ilmiah beliau hanya berupa catatan pribadi
yang dituliskan secara terbalik agar tidak
secara mudah dibaca orang lain. Hal
yang sangat disayangkan jika seorang
periset tidak mempublikasikan hasil-hasil
risetnya adalah pertama, temuannya tidak
akan dikenal orang dan kedua, ia telah
“Work, Finish, and Publish“ Michael Faraday
membiarkan orang lain membuang waktu bekerja pada
subjek yang sama.
UI sebagai lembaga akademis yang memiliki visi
sebagai universitas riset berskala internasional memiliki
kewajiban untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi sebagai bentuk pengejewantahan tridarma
perguruan tinggi. Salah satu bentuk sumbangan terhadap
pengembangan iptek adalah dengan mendokumentasikan
hasil riset secara formal pada media publikasi ilmiah
melalui seminar ilmiah, workshop, jurnal ilmiah, HKI, buku,
dan pembuatan modul. Dekade belakangan ini publikasi
pada jurnal ilmiah bertaraf internasional menjadi hal yang
sangat penting tidak hanya sebagai persyaratan akademis
bagi kelulusan mahasiswa program doktor di Indonesia
dan persyaratan promosi seorang menjadi professor juga
sebagai indikator daya saing suatu bangsa.
Beberapa hal yang perlu diperbaiki oleh institusi
pendidikan atau riset di Indonesia dalam upaya
meningkatkan kuantitas dan kualitas publikasi ilmiah adalah
pertama, peningkatan budaya menulis kepada semua staf
akademik atau staf risetnya. Momentum pencapaian UI
selama kurun waktu 2004-2008 dalam membudayakan
riset seharusnya tidak berhenti sampai disitu saja. Budaya
meriset harus dilanjutkan dengan budaya menulis seperti
yang diungkapkan Faraday: budaya bekerja (meriset),
budaya menyelesaikan, kemudian budaya menulis (to
publish) harus terus beriringan.
Namun kenyataan yang kita hadapi, budaya menulis
di kalangan akademisi (dosen) masih tergolong rendah.
Sebagai contoh, dari 2500 staf dosen tetap di UI hanya
sekitar 700-an dosen saja atau sekitar 25% yang produktif
membuat tulisan baik melalui artikel ilmiah atau buku.
Padahal sedikit banyak UI telah mendorong pengembangan
budaya menulis ini. Melalui DRPM, UI sejak tahun 2008
telah membuat program insentif untuk para penulis artikel
ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional dan
penulis buku nasional maupun internasional. Untuk lebih
meningkatkan budaya menulis, saat ini penerima hibah
riset internal dan eksternal UI juga telah disyaratkan untuk
menghasilkan luaran hasil riset berupa publikasi ilmiah.
Kedua, perlunya perbaikan infrastruktur riset. Kualitas
publikasi ilmiah apalagi pada jurnal internasional ber-
impact factor tinggi pada hakekatnya dihasilkan dari riset
yang berkualitas tinggi. Namun sayangnya riset dengan
hasil kualitas tinggi hanya dapat dicapai dengan dukungan
fasilitas peralatan laboratorium dan instrumen riset yang
memadai termasuk didalamnya infrastruktur pendukung
proses riset yaitu kemudahan akses referensi mutakhir dari
jurnal-jurnal ber-impact factor tinggi baik secara online
maupun printed. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah
dukungan “funding” yang memadai untuk operasional riset.
Berdasarkan laporan Menristek pada seminar Radar
Nasional di gedung Bidakara di Jakarta 21 April 2011 lalu,
anggaran riset Indonesia tahun 2011 baru mencapai Rp.
10 triliun dari Rp. 63 triliun yang seharusnya dibutuhkan
(William, 2011). Anggaran riset ini hanya sekitar 0,15%
dari Produk Domestik Bruto. Nilai tersebut sangat ironis bila
dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura
mencapai 2,1%, Malaysia 0,6% dan Thailand 0,3%.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika publikasi
internasional riset di Indonesia dibanding sejumlah
negara tetangga terhitung rendah. Buktinya, per 30 Mei
2011 jumlah publikasi Indonesia yang terekam dalam
data SCOPUS hanya sebanyak 11.946 publikasi dengan
9.118 publikasi dari perguruan tinggi yang tersebar di
49 universitas. Sementara Malaysia mencapai sekitar
64.182 publikasi (perguruan tinggi dan non-perguruan
tinggi; Universitas Kebangsaan Malaysia 7.933 publikasi),
Thailand 69.904 publikasi dan Singapura lebih dari 134.739
publikasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa rasio publikasi
internasional Indonesia sebesar 0,35, yang dihitung dari
publikasi internasional sebanyak 11.946 buah dibagi jumlah
periset sebanyak 34.216 orang. Jadi dapat dikatakan bahwa
100 periset Indonesia hanya mempublikasikan 35 artikel
pada jurnal internasional. Artinya rata-rata setiap periset di
Indonesia pernah mempublikasikan sepertiga artikel pada
jurnal internasional seumur hidupnya.
Melalui Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat,
UI berupaya untuk meningkatkan budaya riset dan
menulisnya melalui penetapan roadmap riset 2004–2020,
pemberian skema dosen inti, program-program hibah riset
internal dan berbagai program lainnya yang merangsang
para periset dapat melaksanakan riset bermutu dan mudah
mempublikasikan hasil risetnya (misalnya pelatihan
penulisan artikel untuk jurnal bertaraf internasional).
Dengan jumlah 171 dosen inti, pendanaan riset internal
yang rata-rata 13,7 M per tahun (rata-rata 5 tahun terakhir
sejak 2007) dan riset eksternal rata-rata 13,25 M per
tahun (termasuk pendanaan internasional) seharusnya UI
bisa menyumbangkan sekitar 500 publikasi per tahunnya
vo
l. 0
4 N
o. 0
3 ju
li 1
1W
arta
DR
PM2
Elements of Geometry Sumber: http://www.library.usyd.edu.au
untuk Indonesia dengan beberapa asumsi. Asumsi pertama
adalah jika para dosen pembimbing dapat menulis bersama
mahasiswanya dalam mempublikasikan hasil-hasil riset
yang dilakukan. Jika setengah saja dari 2500 dosen di UI
menulis dan setengah dari jumlah tersebut menulis di
jurnal internasional, maka dengan asumsi rejection rate
pada jurnal internasional rata-rata sebesar 0,75, UI akan
dapat mempublikasikan tambahan 156 naskah di jurnal
internasional dari rata-rata publikasi sebanyak 160 artikel
per tahun yang tercatat di SCOPUS. Jumlah ini belum
termasuk jumlah publikasi UI yang tercatat di database
yang tidak terbaca oleh SCOPUS. Asumsi kedua, para dosen
inti berhasil mempublikasikan masing-masing minimal
satu artikel setahun. Dengan dukungan skema hibah riset
untuk riset berkualitas dan pengembangan budaya menulis
untuk peningkatan publikasikan hasil riset, diharapkan
UI dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagai penutup, masih besarnya gap antara harapan
dan kenyataan ini tentu menjadi masukan UI (DRPM) dalam
melihat efektivitas program-program hibah riset internal dan
eksternal juga efektivitas skema dosen inti. Jika program-
program tersebut berjalan dengan baik dan mendapatkan
respon positif dari seluruh periset UI, maka UI mulai 2012
ini bukan hanya dapat bersaing di tingkat regional ASEAN,
namun juga di tingkat Asia dan dunia.
Sumber:
William, A. (2011). "Menristek: Kebutuhan Dana Penelitian Rp. 63 Triliun". Jumat, 22 April 2011. Diunduh dari www.tempointeraktif.com/hg/iptek/2011/04/22/brk,20110422-329366.id.html pada 21 Juni 2011
_
Agustino Zulys, doktor di bidang kimia anorganik, adalah Kepala
Subdit Pelayanan dan Pengabdian Masyarakat DRPM UI
vo
l. 0
4 N
o. 0
3 ju
li 1
1W
arta
DR
PM3