Post on 10-Dec-2015
description
Terapi Cairan Dan Mikrosirkulasi Hipovolemik
G. Gruartmonera, J. Mesquidaa, dan Can Inceb
Tujuan kajian
Dalam kondisi syok, mengoptimalkan volume intravaskular sangat penting untuk
memastikan pengiriman oksigen yang cukup ke jaringan. Praktek kami dalam
manajemen cairan saat ini berporos pada hukum jantung Frank-Starling, dan efek
dari pemberian cairan yang diukur sesuai dengan perubahan stroke volume yang
diinduksi. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengevaluasi batas-batas dari
pendekatan makro hemodinamik untuk pemberian cairan saat ini, dan untuk
memperkenalkan integrasi mikrosirkulatorik sebagai bagian fundamental dari
pemantauan perfusi jaringan.
Temuan Terbaru
Perubahan makrosirkulasi disebabkan oleh ekspansi volume yang tidak selalu
dibarengi dengan perubahan proporsional dalam perfusi mikrosirkulasi. Hilangnya
koherensi hemodinamik membatasi nilai dari pemberian terapi cairan yang sesuai
dengan makro hemodinamik, dan menyoroti pentingnya untuk mengevaluasi target
akhir dari pemberian sejumlah volume cairan, yaitu mikrosirkulasi.
Ringkasan
Pendekatan saat ini untuk mengoptimalkan volume intravaskular terbuat dari
perspektif makro hemodinamik. Namun, beberapa situasi dimana terjadinya
kehilangan koherensi antara makrosirkulasi dan mikrosirkulasi telah dijelaskan. Uji
klinis masa depan harus mengeksplorasi kegunaan dalam mengintegrasikan evaluasi
mikrosirkulasi dalam optimalisasi cairan.
Kata kunci
Terapi cairan, terapi yang mengarah pada tujuan, hipovolemia, mikrosirkulasi, syok
PENGANTAR
Syok diakui sebagai salah satu kondisi mengancam jiwa yang paling umum pada
pasien dengan perawatan kritis, yang mempengaruhi sekitar sepertiga dari populasi
[1]. Hal ini biasanya didefinisikan sebagai ekspresi klinis dari kegagalan sistem
kardiovaskular dalam mendukung perfusi jaringan. Situasi ini dapat menyebabkan
hipoksia jaringan yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk mempertahankan
respirasi sel yang penting untuk mendukung fungsi organ, dan terjadi aktivasi jalur
seluler metabolisme anaerobik. Jika kondisi ini dipertahankan dari waktu ke waktu,
metabolisme anaerob ini dapat mengakibatkan disfungsi seluler, disfungsi organ dan
kegagalan multi organ yang akhirnya dapat mengakibatkan kematian [1,2].
Selama beberapa tahun terakhir, telah ada peningkatan minat dalam bidang
literatur mengenai mikrosirkulasi, karena hal ini dianggap sebagai tujuan akhir dari
sistem kardiovaskular yang bertanggung jawab untuk mengirimkan oksigen ke
jaringan melalui transportasi sel darah merah. Selanjutnya, mikrosirkulasi diyakini
bertanggung jawab untuk kesehatan jaringan, karena merupakan faktor pembatas
untuk transportasi oksigen ke jaringan [3].
Perubahan mikrosirkulasi, baik yang disebabkan oleh faktor patogen primer
dan / atau sebagai konsekuensi dari kekacauan hemodinamik global, sangat terlibat
dalam efek syok pada fungsi organ [4]. Keterbatasan transportasi oksigen ke sel-sel
terjadi, menyusul gangguan dalam konveksi (aliran darah) dan / atau difusi
(meningkatnya jarak antara sel dan sel darah merah pembawa oksigen yang mengatur
kapiler) [5]. Perubahan mikrosirkulasi seluler mungkin juga hadir dalam bentuk
disfungsi endotel, gangguan rheologi sel darah merah, dan perubahan sel otot polos
pembuluh darah yang antara lain menghasilkan disfungsi mekanisme autoregulasi.
Selain itu, peluruhan endotel glikokaliks juga merupakan penyebab utama dari
persamaan ini, karena bertanggung jawab untuk kompromi penghalang endotel
vaskular, yang mengakibatkan terbentuknya edema jaringan [6].
Meskipun dihargai dari sudut pandang teoritis, mikrosirkulasi baru diakses
secara klinis selama 15 tahun terakhir setelah pengenalan mikroskop genggam.
Teknologi ini telah memungkinkan studi langsung stasiun akhir yang penting dari
sistem kardiovaskular ini [7]. Perkembangan teknologi ini telah mendorong
penelitian untuk menyertakan evaluasi dari mikrosirkulasi rutin untuk deteksi syok
dan manajemennya di samping tempat tidur pasien.
KOHERENSI HEMODINAMIK: HUBUNGAN ANTARA HEMODINAMIK
GLOBAL DAN MIKROSIRKULASI
Dari perspektif hemodinamik, syok dapat menjadi konsekuensi akhir umum dari
mekanisme patofisiologis yang berbeda, seperti yang didefinisikan secara klasik oleh
Weil [4]: Kegagalan kardiogenik (kegagalan pompa primer), hipovolemia
(penurunan preload akibat hilangnya cairan internal atau eksternal), dan obstruksi
jantung (peningkatan afterload, misalnya, emboli paru akut atau tamponade jantung).
Setiap mekanisme ini umumnya dapat menyebabkan situasi curah jantung yang tidak
cukup, dan, lebih jauh lagi, biasanya berhubungan dengan koherensi hemodinamik
(penghubungan) antara makro dan mikrosirkulasi. Restorasi dari penyakit yang
mendasari menyebabkan pemulihan pada aliran darah global dan koreksi perfusi
jaringan. Namun, empat keadaan syok yang disebut sebagai syok distributif (terjadi
di keadaan-keadaan di mana ada peradangan / infeksi) dan dapat terjadi dengan
adanya curah jantung yang normal atau bahkan tinggi. Hipoksia jaringan di banyak
keadaan syok distributif tidak disebabkan oleh curah jantung yang tidak cukup
melainkan oleh kecacatan distribusi (mikro) vaskular yang menyebabkan
heterogenitas aliran oksigen dan mengakibatkan adanya daerah hipoksia di landasan
jaringan organ. Hilangnya koherensi antara makro dan mikro seperti ini
menghasilkan tubrukan fungsional dari daerah-daerah hipoksia dan
memanifestasikan dirinya secara klinis sebagai pengurangan ekstraksi oksigen.
Keadaan syok ini juga yang paling resisten terhadap terapi cairan dan hanya dapat
dilancarkan dengan pengamatan mikrosirkulasi [8]. Perubahan mikrosirkulasi terjadi
di keadaan-keadaan seperti syok maldistribusi yang disebabkan oleh beberapa
mekanisme, termasuk sejumlah perubahan seluler seperti perubahan rheologi sel
darah merah dan disfungsi sel endotel [9].
HEMODINAMIK SISTEMIK DAN PROFIL MIKROSIRKULAR DARI
HIPOVOLEMIA
Hipovolemia dapat didefinisikan sebagai penurunan volume darah yang disebabkan
oleh hilangnya darah, plasma dan / atau air plasma, yang menyebabkan hilangnya
konten intravaskular dan mengakibatkan keterbatasan potensi perfusi jaringan.
Namun, dampak hemodinamik fenomena ini mungkin bersifat variabel dan kompleks
untuk dievaluasi. Tergantung pada derajat hipovolemia, beberapa skenario klinis
yang berbeda dengan status hemodinamik tertentu dapat diamati: Pada tahap
pertama, volume darah yang hilang dikompensasi oleh penurunan yang setara dari
volume tanpa tekanan (darah disimpan di pembuluh darah kapasitansi besar yang
tidak berkontribusi untuk aliran balik vena), dan dengan demikian mempertahankan
aliran balik vena dan akhirnya, output jantung. Situasi ini, yang dikenal sebagai
hipovolemia kompensasi, mungkin tidak terkait dengan tanda-tanda hipoperfusi
jaringan. Saat volume darah yang hilang meningkat, mekanisme kompensasi yang
telah dijelaskan menjadi tidak cukup, yang mengakibatkan penurunan aliran balik
vena dan akibatnya penurunan curah jantung. Situasi ini telah disebut sebagai
hipovolemia terkompensasi, dan biasanya akan secara klinis dinyatakan dengan
parameter hipoperfusi jaringan seperti hipotensi. Selanjutnya, vasodilatasi sekunder
untuk kondisi-kondisi inflamasi atau sepsis mengarah pada situasi hemodinamik
khusus dimana pergeseran volume darah terjadi dari kompartemen bertekanan ke
kompartemen tanpa tekanan, yang disebut sebagai hipovolemia relatif. Akhirnya,
tahap akhir dari penurunan preload dan curah jantung yang menyusul hipovolemia
tak terkompensasi dan / atau hipovolemia relatif juga dapat diperparah dengan
penurunan aliran balik vena sebagai akibat dari peningkatan tekanan intratoraks pada
pasien yang menjalani ventilasi tekanan positif. Situasi ini telah disebut sebagai
hipovolemia sentral, dan dianggap sebagai salah satu penyebab utama syok pada
pasien sakit kritis dan pasien anestesi [10].
Seperti disebutkan sebelumnya, mikrosirkulasi adalah tujuan akhir dari aliran
darah ke jaringan, untuk memberikan oksigen melalui transportasi sel darah merah
kesel parenkim untuk tuntutan metabolisme mereka. Pada syok hipovolemik, oksigen
yang dikirim ke sel-sel dapat dikompromikan, terutama karena penurunan aliran
darah mikrosirkulatorik daripada keterbatasan dalam kapasitas pembawa oksigen
(yang hanya menjadi masalah di kondisi-kondisi hemoragik yang benar-benar parah)
[11]. Selanjutnya, pada syok hipovolemik, perubahan di mikrovaskuler perfusi ini
tampaknya bersifat homogen berbeda dengan syok distributif dimana inti masalah
adalah kesalahan distribusi aliran mikrovaskular, dan adanya konsekuensi tubrukan
mikrosirkulatorik 12].
Ketika hipovolemia disertai dengan penurunan perfusi jaringan, resusitasi
intervensi harus segera dilakukan. Dalam hal ini, terapi cairan dianggap salah satu
intervensi kunci untuk memperbaiki kondisi ini. Tapi bagaimana cara memandu
terapi cairan?
MANAJEMEN HIPOVOLEMIA: TERAPI CAIRAN
Tujuan dari terapi cairan selama resusitasi hemodinamik adalah untuk meningkatkan
aliran darah global, dan dengan melakukannya, dapat meningkatkan perfusi jaringan
dan juga ketersediaan oksigen untuk respirasi sel [13]. Karena sebagian besar
penyebab umum syok memiliki beberapa derajat hipovolemia, ekspansi volume
dengan cairan diakui sebagai langkah pertama dari resusitasi. Namun, mengelola
pemberian cairan untuk mengoptimalkan pengisian intravaskular nampak sangat
kompleks, karena baik kekurangan maupun kelebihan cairan harus dihindari, karena
kedua situasi ini berbahaya dan mungkin membahayakan hasil akhir pasien. Oleh
karena itupenilaian yang akurat dari terapi cairan adalah wajib, bertujuan mengoreksi
perfusi jaringan tanpa menyebabkan kerusakan.
Pemicu untuk terapi cairan
Terpisah dari penyakit yang mendasari, pada pasien sakit kritis, skenario klinis dari
hipoperfusi jaringan harus dinilai. Untuk mengkonfirmasi situasi dysoxia jaringan di
samping tempat tidur pasien, pemantauan parameter global secara tidak langsung
terhada perfusi jaringan, seperti oksimetri vena dan / atau laktat, adalah dianjurkan
[2,13]. Meskipun masing-masing parameter global ini memiliki keterbatasan sendiri,
penggabungannya dalam strategi resusitasi kuantitatif telah menunjukkan efek yang
menguntungkan dalam menunjang kelangsungan hidup [14]. Namun, selama dekade
terakhir, dengan pengenalan teknologi baru yang mampu mengevaluasi perfusi
jaringan dan oksigenasi pada tingkat lokal atau mikrosirkulasi, parameter baru yang
berhubungan dengan perfusi jaringan telah muncul. Yang penting, banyak parameter
yang telah berulang kali menunjukkan nilai prognostik, terpisah dari penanda
hipoperfusi global yang konvensional [15-19]. Evaluasi dan manajemen syok
sekarang berkembang dari titik akhir global ke titik regional dan / atau
microcirculatory, tetapi proses ini masih berlangsung, dan masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut. Untuk saat ini, kurangnya studi prospektif yang menilai efek
strategi berbasis titik akhir mikrosirkulatorik pada hasil akhir pasien adalah faktor
pembatas utama untuk penggabungan parameter ini untuk praktek klinis.
Praktek saat ini: pendekatan makrohemodinamik
Terpisah dari pemicu yang telah ada sebelumnya, ketika dicurigai ada hipoperfusi
jaringan, dokter harus memutuskan apakah pemberian cairan akan dapat
mengembalikan kesehatan jaringan. Saat ini, ekspansi volume bertujuan untuk
meningkatkan aliran darah global, dengan harapan bahwa kenaikan tersebut juga
akan meningkatkan aliran ke mikrosirkulasi dan, dengan demikian, meningkatkan
ketersediaan oksigen ke jaringan. Di samping tempat tidur, ketika memutuskan
apakah memberikan cairan akan meningkatkan aliran global, keputusan dibuat sesuai
dengan prinsip kinerja jantung Frank-Starling [20]. Singkatnya, mengingat bahwa
ada hubungan positif antara preload dan stroke volume, dan hubungan ini mengikuti
bentuk lengkung, untuk setiap peningkatan dalam preload yang diberikan,
peningkatan pada stroke volume yang lebih besar secara signifikan akan diamati
pada bagian kurva yang naik curam, mendefinisikan daerah yang bergantung pada
preload. Pada bagian datar berlawanan dari kurva, dapat didefinisikan sebagai daerah
preload-independent, di mana ekspansi volume tidak akan menghasilkan perubahan
yang signifikan pada stroke volume (Gbr. 1) [11]. Dalam praktek sehari-hari, dokter
mengevaluasi beberapa variabel hemodinamik yang menunjukkan apakah pasien
berada di daerah ketergantungan preload atau di daerah preload-independen dari
kurva Frank-Starling. Alat-alat ini memungkinkan prediksi efek makrohemodinamik
dari ekspansi volume. Ketika prediksi rumit, tantangan cairan atau manuver
pengangkatan kaki secara pasif dilakukan, dan dampaknya pada output jantung
dievaluasi. Respon terhadap cairan didefinisikan sebagai peningkatan curah jantung
sebesar 15% atau lebih tinggi dalam menanggapi masalah cairan, dan pasien
kemudian dibagi menjadi responden dan non responden. Pasien yang dianggap
sebagai non responder, baik diprediksi atau langsung mengukur perubahan curah
jantung setelah tantangan cairan, seharusnya tidak menerima cairan melainkan
memerlukan intervensi hemodinamik lain jika resusitasi lebih lanjut diperlukan [20].
Meskipun pendekatan makrosirkulatorik berbasis Frank-Starling ini
direkomendasikan dalam beberapa panduan internasional dan panel ahli, juga
diketahui bahwa dalam praktek nyata pemberian cairan tetap sangat empiris, dan
sebagian besar dokter tidak mempraktekkan penilaian preload atau pemantauan
curah jantung.
GAMBAR 1. Pendekatan Frank-Starling. Praktek klinis saat ini memporoskan pada evaluasi
perubahan volume stroke, baik yang diperkirakan atau diamati, terkait dengan perubahan preload.
Dengan demikian, daerah preload-dependent dan daerah preload-independent digambarkan seperti di
atas, dan infus volume cairan hanya diindikasikan dalam bagian preload-dependent dari kurva kinerja
jantung.
Mengintegrasikan mikrosirkulasi
Mengingat tujuan akhir dari resusitasi hemodinamik adalah untuk mengembalikan
perfusi jaringan, pengenalan teknologi yang bertujuan untuk mengeksplorasi dan
mengukur status perfusi mikrosirkulasi telah melahirkan kemungkinan untuk
menggunakan parameter mikrosirkulasi sebagai alat untuk memilih dan
mengevaluasi efek dari intervensi cairan langsung pada mikrosirkulasi. Tapi,
bagaimana cara menggunakan parameter ini? Apakah metode ini lebih unggul dari
pendekatan makrohemodinamik? Atau haruskah kombinasi kedua pendekatan ini
digunakan? Seperti telah ditunjukkan sebelumnya, pandangan saat ini terhadap
pemberian cairan difokuskan pada kondisi dimana pemberian cairan diharapkan
menghasilkan kenaikan output jantung. Ketika respon terhadap carian tidak dapat
diprediksi, efek pemberian cairan pada curah jantung dipantau dengan erat sampai
cardiac output tidak meningkat. Pandangan makrosirkulasi ini berporos pada
hipotesis bahwa efek mikrosirkulatorik dari ekspansi volume akan paralel terhadap
perubahan curah jantung. Dengan kata lain, diasumsikan bahwa peningkatan
transportasi oksigen global (aliran global) akan benar-benar berarti bahwa
pengiriman oksigen pada tingkat sel meningkat (aliran lokal). Namun, beberapa
penulis telah menunjukkan bahwa efek mikrosirkulatorik dari ekspansi volume
mungkin relatif independen dari efek makrosirkulatorik mereka. Pada pasien
preload-responsif, Pottecher dkk [21] mengamati bahwa perubahan output jantung
dan variabel mikrovaskuler setelah ekspansi volume tidaklah proporsional,
menunjukkan bahwa mekanisme yang terlibat dalam regulasi perfusi mikrovaskuler
dan perubahan output jantung mungkin tidak sama. Bahkan lebih relevan daripada
perbedaan-perbedaan yang diamati pada besarnya respon terhadap pemberian cairan,
beberapa penulis telah menunjukkan bahwa efek makrosirkulatorik dari volume
mungkin tidak terkait dengan efek paralel di tingkat mikrosirkulasi. Menggunakan
teknik videomicroscopic, Ospina dkk [22] dan Pranskunas dkk [23 ] melaporkan
hasil yang sama, ketika menganalisis makrosirkulatorik simultan dan efek
mikrosirkulatorik dari pemberian cairan. Kedua studi menunjukkan bahwa
peningkatan indeks mikrosirkulasi perfusi tidak terkait dengan peningkatan output
jantung, dan ini bisa terjadi bukan hanya karena besarnya perubahan yang diamati,
tetapi juga arahnya. Pengamatan serupa juga dilaporkan oleh Silva dkk [24] saat
menggunakan pengganti dari perfusi jaringan, seperti pCO2 mukosa lambung.
Menariknya, efek ekspansi volume pada variabel mikrosirkulasi tidak dapat
diprediksi dengan cara variabel makrosirkulasi, tetapi hanya dengan nilai-nilai dasar
dari parameter mikrosirkulasi itu sendiri. Ketika menganalisis apakah perbedaan-
perbedaan yang diamati mungkin berdampak pada evolusi pasien, Pranskunas dkk
menunjukkan bahwa hanya pemberian cairan yang mengakibatkan peningkatan
aliran mikrosirkultorik yang menghasilkan penurunan parameter klinis hipovolemia
- seperti takikardia, oliguria, laktat tinggi atau ScvO2 rendah, sedangkan pemberian
cairan yang tidak mempengaruhi arus mikrosirkulatorik tidak efektif dalam
mengoreksi parameter klinis hipovolemia, terpisah dari perubaha-perubahan dalam
indeks jantung [23]. Secara keseluruhan, pengamatan ini bertabrakan dengan strategi
pemberian cairan saat ini, berdasarkan pendekatan makrosirkulasi Frank-Starling.
Singkatnya, dapat disimpulkan bahwa pemberian cairan dalam kondisi
dimana perfusi mikrosirkulatorik sudah dikembalikan tidak akan menghasilkan
peningkatan tambahan dalam kinerja mikrosirkulasi dan pentingnya, hal ini juga bisa
berlaku untuk pasien preload-responsive. Namun, ketika mikrosirkulasi terganggu,
efek ekspansi volume pada perfusi mikrovaskular tidak selalu ber-koherensi dengan
mikrosirkulasi yang mempengaruhi. Ini berarti bahwa mengejar pengiriman oksigen
secara global tidak menjamin perbaikan mikrosirkulasi. Sebagai catatan, pada pasien
yang berespon terhadap volume, di samping mencapai peningkatan aliran global, dan
dengan demikian, dalam komponen konvektif pengiriman oksigen ke sistemik,
volume overload benar-benar bisa mengakibatkan penurunan ketersediaan oksigen di
tingkat sel yang disebabkan oleh beberapa mekanisme. Pertama, pengurangan
penting dalam kapasitas pembawa oksigen darah karena hemodilusi mungkin
bertanggung jawab atas penurunan ketersediaan oksigen. Efek seperti ini tidak akan
diidentifikasi ketika mempertimbangkan pasien sebagai responder terhadap cairan,
dan menyoroti perbedaan antara peningkatan 'pengiriman' oksigen global dan
oksigen yang sebenarnya dikirim ke jaringan. Kondisi kedua dimana dalam optimasi
dari indikator sistemik pengiriman oksigen tidak menjamin oksigenasi jaringan yang
cukup terjadi di kondisi -kondisi dimana terjadi kebocoran kapiler. Edema jaringan
terkait dengan kebocoran kapiler dapat memburuk saat cairan diinfus, dapat secara
dramatis memperburuk komponen difusi dari jejak oksigen di tingkat jaringan.
Kondisi ini dapat terjadi misalnya pada malaria [25], dan dapat menjelaskan efek
buruk dari pemberian cairan dalam uji coba Feast [26]. Kondisi ketiga dimana terjadi
kurangnya koherensi antara optimasi sistemik dan pengiriman oksigen
mikrosirkulatorik adalah kondisi dimana pemberian cairan menargetkan peningkatan
tekanan vena sentral yang dapat menyebabkan aliran darah mikrosirkulasi terganggu,
berasal dari kemacetan karena peningkatan tekanan arus keluar [27]. Efek yang
merugikan ini mungkin menguat ketika menggunakan strategi yang bertujuan untuk
mencapai tekanan vena yang telah ditentukan, seperti yang saat ini direkomendasikan
dalam pedoman internasional [28]. Kondisi keempat dimana peningkatan perfusi
sistemik mungkin tidak menjamin transportasi oksigen yang cukup ke daerah-daerah
mikrosirkulatorik yang rentan dapat disebabkan oleh pengaturan aliran darah
mikrosirkulasi yang terganggu dan menyebabkan hilangnya daerah pasokan oksigen
yang dibutuhkan, sehingga shunting dari unit mikrosirkulasi menjadi lemah, dan
bermanifestasi secara klinis sebagai defisit ekstraksi oksigen [12,29]. Kondisi ini
disebut sebagai syok distributif [4] di mana hilangnya regulasi (mikro) vaskular
dapat disebabkan oleh aksi mediator inflamasi dan / atau agen infeksi seperti terjadi
pada sepsis.
Secara global, data yang ada menunjukkan bahwa efek dari pemberian cairan
adalah kompleks, dan efek mikrosirkulasi tidak selalu dapat diprediksi dari
pendekatan makrosirkulasi. Integrasi parameter mikrosirkulasi akan memberikan
pelengkap hemodinamik sistemik yang membantu untuk mengoptimalkan perfusi
jaringan untuk dapat mengidentifikasi kondisi di mana ada hilangnya koherensi
hemodinamik antara penentu sistemik dan mikrosirkulatorik dari pengiriman
oksigen. Oleh karena itu, pendekatan mikrosirkulatorik fungsional telah diusulkan
[11], dan konsep responsif- cairan mikrosirkulatorik tampaknya diinginkan saat efek
dari ekspansi volume dinilai. Sebuah kerangka konseptual hemodinamik
mikrosirkulasi fungsional digambarkan pada Gambar. 2. Representasi ini berusaha
untuk mengintegrasikan konsep hipovolemia dan kelebihan cairan dengan
mikrosirkulasi yang sepadan, dan secara terpisah; keterbatasan konveksi dan batasan
difusi. Perkembangan terbaru dari mikroskop video genggam generasi baru dapat
secara otomatis menganalisis parameter mikrosirkulasi fungsional yang diharapkan
berkontribusi pada diagnosis hipovolemia dan menerapkan prosedur yang terkait
dengan terapi panduan cairan mikrosirkulatorik di samping tempat tidur [30].
Memilih jumlah cairan resusitasi yang tepat
Perlu ditekankan bahwa jumlah total volume yang diberikan selama resusitasi cairan
diyakini menjadi penentu utama hasil akhir dari pasien syok yang kritis [31].
Keseimbangan cairan akan tergantung pada pemicu yang dipilih untuk terapi cairan
(yang akan tergantung pada bagaimana hipoperfusi jaringan sedang dinilai), dan titik
akhir resusitasi yang dipilih (titik ahir yang keliru seperti CVP telah terbukti
berhubungan dengan keseimbangan cairan yang berlebihan dan hasil akhir yang
buruk). Apakah keseimbangan cairan secara independen mempengaruhi hasil atau
hanya sebuah perancu adalah hal yang masih belum jelas, namun memperparah
keseimbangan cairan dengan menggunakan alat yang salah dan titik akhir yang salah
tidak harus dilakukan dalam konteks pengetahuan saat ini. Titik akhir resusitasi yang
lebih fisiologis, mungkin termasuk parameter-parameter mikrosirkulatorik, harus
dikembangkan untuk memungkinkan pendekatan yang lebih individual mengenai
jumlah volume cairan resusitasi.
Memilih waktu pemberian cairan yang tepat
Waktu pemberian terapi cairan juga merupakan titik kunci yang relevan. Ketika
menganalisis beberapa studi mengarah pada tujuan yang gagal, tercatat bahwa
intervensi resusitasi tidak menghasilkan perbaikan hasil bila terlambat dimulai sesuai
dengan perjalanan waktu dari penyakit [32,33], setelah kerusakan jaringan telah
diperkirakan hadir. Studi EGDT yang dilakukan oleh Rivers dkk [34] menyoroti
pentingnya waktu pemberian cairan. Strategi pemberian cairan awal telah diadopsi
dalam pedoman manajemen sepsis, dengan hasil yang tampaknya menguntungkan
[14]. Namun, sesuai dengan rekomendasi pemberian sejumlah volume cairan saat ini
belum secara independen terkait dengan peningkatan tingkat kelangsungan hidup
[35]. Bukti-bukti kelihatan lebih konsisten saat mengevaluasi dampak dari cairan
yang diberikan di akhir perjalanan waktu penyakit. Berdasarkan ini, beberapa penulis
telah melaporkan efek negatif pada hasil yang diperoleh dari balance cairan positif
[31,34,36]. Makna penting dari pemberian cairan telah disahkan oleh pengamatan di
tingkat mikrosirkulasi, di mana respon terhadap pemberian cairan telah terbukti
berbeda sesuai dengan waktu yang telah berlalu sejak timbulnya penyakit.
Menggunakan videomicroscopy sublingual, Ospina-Tascon dkk [22]
mendeteksiperbaikan perfusi pembuluh darah kecil dalam menanggapi ekspansi
volume hanya ketika cairan diberikan di awal tepat setelah diagnosis syok septik.
GAMBAR 2. Kerangka konseptual hemodinamik fungsional mikrosirkulatorik. Pengiriman oksigen
yang tidak memadai ke jaringan dapat diamati baik di kondisi-kondisi aliran konvektif rendah atau di
kondisi-kondisi dengan gangguan difusi. Kedua situasi akan mewakili keterbatasan pengiriman
oksigen ke metabolisme sel, yang menghasilkan disfungsi organ dan tingkat komplikasi yang lebih
tinggi. Evaluasi langsung dari mikrosirkulasi akan memungkinkan pendefinisian status volume
sebenarnya dari jaringan kapiler, dan dengan melakukannya, akan memberikan informasi yang
mendasar untuk memandu terapi cairan. Diadaptasi dari [11].
Memilih jenis cairan resusitasi yang tepat
Dalam perawatan kritis dan pengaturan anestesi, memilih jenis cairan untuk
menyadarkan pasien telah menjadi keputusan yang sulit. Bukti yang kuat untuk
pilihan cairan adalah kurang [37], dan pemilihan cairan resusitasi biasanya
ditentukan oleh pola praktik local lainnya [38]. Pada tahun-tahun terakhir,
perdebatan sengit antara koloid dan kristaloid untuk resusitasi cairan telah muncul
dalam literatur [39,40].
Bukti saat ini yang mendukung penggunaan koloid, terutama dengan
hydroxyethyl starches (HES) berat molekul rendah, yang didasarkan terutama dalam
studi titik akhir mekanistik dan fisiologis jangka pendek. Beberapa studi klinis dan
eksperimental menunjukkan bahwa menggunakan resusitasi cairan dengan koloid,
titik akhir hemodinamik yang telah ditetapkan (apa pun yang dipilih) dicapai lebih
awal dan dengan kuantitas volume yang diinfus lebih kurang dibandingkan dengan
kristaloid [41-44]. Selanjutnya, temuan ini dipertahankan ketika titik akhir
mikrosirkulasi dievaluasi [45]. Bukti ini mendorong penggunaan ekstensif HES
sebagai ekspander intravascular yang lebih efisien daripada solusi kristaloid pada
pasien yang sakit kritis. Namun, serangkaian penelitian dengan koloid semisintetik
mulai melaporkan beberapa efek merusak yang tampaknya berhubungan dengan
dosis pemberian, seperti koagulopati, akumulasi dalam kulit dan hati, peradangan
dan induksi stres oksidatif, dan munculnya cedera ginjal akut [46,47] . Meskipun
mekanisme yang tepat untuk keracunan ginjal ini masih harus dijelaskan, studi in-
vitro menunjukkan bahwa HES dan gelatin mengurangi viabilitas sel tubular
proksimal manusia [48]. Dengan catatan bahwa hasil hemodinamik yang
menguntungkan dengan koloid semi sintetik ini belum diterjemahkan ke dalam hasil
akhir pasien yang lebih baik di uji acak klinis terkontrol / randomized controlled
clinical trials (RCT) yang dikembangkan di beberapa tahun terakhir, di mana
kecenderungan lebih untuk kematian, gagal ginjal akut, dan perlunya terapi
penggantian ginjal telah dilaporkan [49,50]. Alasan apa yang dapat menjelaskan
ketidaksinambungan antara hasil dari studi mekanistik dan fisiologis yang
bertentangan dengan RCT yang berpusat pada hasil klinis akhir? Kuncinya
tampaknya ada dalam pendekatan fisiologis lagi. Salah satu 'kekurangan' yang paling
dikritik dari RCT skala besar ini adalah fakta bahwa pasien yang dilibatkan dalam
penelitian tersebut tidak selalu dengan kondisi syok (yang membutuhkan terapi
resusitasi cairan) dan, lebih jauh lagi, pemberian cairan (baik menggunakan koloid
atau kristaloid) tidak dipandu oleh algoritma hemodinamik yang mengarah pada
tujuan yang telah ditetapkan [37]. Hal ini mungkin merupakan salah satu penyebab
utama, seperti yang dibahas sebelumnya dalam ulasan ini, yang bisa menjelaskan
ketidaksinambungan penggunaan koloid melawan kristaloid untuk resusitasi cairan
ini dari kondisi 'bangku ke tempat tidur'. Selain itu, dalam RCT internasional
multisennter baru-baru ini dimana cairan (koloid vs kristaloid) diberikan hanya
kepada pasien dengan syok hipovolemik yang membutuhkan resusitasi cairan,
penggunaan koloid (mayoritas HES) memberikan manfaat dalam hal kematian
dibandingkan dengan larutan kristaloid [51]. Namun demikian, kontroversi tentang
penggunaan koloid berlanjut dengan ketidakpastian tentang bagaimana melakukan
ekspansi volume dapat dilakukan pada populasi yang sakit kritis [52,53,54]. Tampak
jelas bahwa RCT masa depan menyelidiki lebih lanjut dampak dari berbagai jenis
cairan resusitasi pada hasil akhir pasien harus dilakukan dengan lebih fokus pada
kriteria yang tepat untuk memilih populasi yang tepat yang dapat mengambil manfaat
dari intervensi (pasien syok membutuhkan resusitasi cairan) dan mencakup algoritma
resusitasi berbasis titik akhir fisiologi untuk terapi cairan [55].
Menyusul kelemahan terakhir dari koloid sebagai cairan resusitasi, minat saat
ini berubah kembali ke kristaloid. Saline (0,9% NaCl) masih merupakan cairan
paling umum yang digunakan untuk resusitasi, cairan ini memiliki harga terendah
dari semua cairan, cairan ini relatif ditoleransi dengan baik, dan dokter memiliki
pengalaman panjang untuk penggunaannya di samping tempat tidur [56]. Sayangnya,
semakin banyak bukti tentang efek saline yang merusak mulai muncul dalam
beberapa dekade terakhir. Salah satu isu yang paling penting adalah karena
kandungan klorida yang relatif tinggi dari solusi kristaloid yang dapat menyebabkan
asidosis metabolic hiperkloremik [57]. Efek samping seperti disfungsi kekebalan
tubuh dan ginjal telah dikaitkan dengan fenomena ini, meskipun konsekuensi klinis
ini masih belum jelas [56-58]. Atas dasar ini, solusi kristaloid dengan kadar klorida
yang lebih kurang (dengan asetat, laktat atau glukonat) dan dengan komposisi kimia
yang mendekati cairan ekstraseluler telah dikembangkan dalam dekade terakhir.
Solusi ini telah disebut larutan garam 'seimbang'. Namun, cairan ini juga memiliki
efek samping sendiri seperti hiperlaktatemia, alkalosis metabolik, peradangan dan
stres oksidatif, hipotonisitas, dan toksisitas jantung [39]. Namun, penggunaan larutan
garam seimbang dalam preferensi untuk garam 0,9% hanya didukung oleh tidak
kesalahan dalam studi observasional besar. Dengan demikian, pengembangan
penelitian yang meneliti keamanan dan kemanjuran larutan garam seimbang
dibandingkan dengan saline tampaknya menjadi salah satu langkah berikutnya pada
perdebatan cairan skala besar [38].
Saat ini, dokter harus menghadapi kenyataan bahwa cairan resusitasi yang
ideal tidak ada. Yang jelas adalah bahwa setiap jenis cairan memiliki masalah, dan
bahwa penelitian masa depan mengenai cairan generasi baru harus dikembangkan
atas dasar pemahaman tentang fisiologi hipovolemia. Ada kebutuhan untuk
memfokuskan penelitian cairan ini untuk meningkatkan kapasitas pembawa oksigen
[59], dengan menggunakan, misalnya, operator oksigen berbasis Hb [60], dan lebih
lagi membatasi efek pro-inflamasi cairan [61].
KESIMPULAN
Singkatnya, tujuan satu-satunya dari terapi cairan dapat didefinisikan sebagai
peningkatan output jantung dengan tujuan memajukan oksigenasi dan perfusi
jaringan. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan menargetkan variabel sistemik dari
pengiriman oksigen di bawah kondisi dimana koherensi antara hemodinamik global
dan mikrosirkulasi dipertahankan. Namun, seperti yang diamati di kejadian-kejadian
syok distributif, masalah mendasar mungkin mengasosiasikan hilangnya koherensi
hemodinamik, dan karena itu, membimbing terapi cairan sesuai dengan efek
makrosirkulasi yang mungkin tidak hanya tidak efektif, tetapi juga menyebabkan
kerusakan. Dalam kondisi seperti itu, pemantauan respon cairan dari perspektif
Frank-Starling tidak akan menghasilkan pemberian volume yang optimal,
mengakibatkan baik hipoperfusi mikrosirkulatorik atau kelebihan cairan.