Post on 12-Jun-2015
COGNITIVE NEUROSCIENCE DAN IMPLEMENTASINYADALAM PEMBELAJARAN
Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Persyaratan Mata KuliahOrientasi Baru Psikologi Pendidikan Oleh Dr. Awaluddin Tjala, M.Pd
MAKALAH
Disusun Oleh :
LARAS RATIH MAHESWARI (NO. REG. 7616120905)
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKANKONSENTRASI KEPENGAWASAN
PASCASARJANAUNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2013
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah-Nya tugas Mata Kuliah Orientasi Baru
Psikologi Pendidikan dapat diselesaikan selesaikan tepat pada waktunya. Tugas ini berupa
Makalah yang diberi judul: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam
Pembelajaran.
Neurosains Kognitif, bisa dibilang merupakan ilmu yang terus berkembang.
Penemuan ilmiah baru setiap tahun selalu dirilis, untuk menguatkan atau membantah teori
yang sudah ada sebelumnya, maupun menyatakan teori baru. Neurosains Kognitif ini
merupakan suatu ilmu yang luas cakupannya, di mana kemudian membawahi lagi berbagai
teori, multiple intelegence, pembelajaran berbasis otak, berbagai teori dan metode
pembelajaran, dan lain sebagainya. Dalam makalah ini, kami berusaha memberikan
gambaran, yang walaupun sedikit, namun mengena, mengenai neurosains kognitif ini. Dari
berbagai jurnal dan e-book yang kami dapat, kami juga berusaha menyajikan hasil penelitian
terbaru serta bagaimana menerapkan ilmu inidalam pembelajaran.
Makalah ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian, semoga dapat menjadi
berguna bagi semua pihak.
Jakarta, 17 Januari 2013
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Tujuan ..................................................................................................................... 3
C. Lingkup Kajian .......................................................................................................... 3
BAB II COGNITIVE NEUROSCIENCE DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN ..... 4
A. Pengertian Neurosains ........................................................................................ 4
B. Neurosains Kognitif .............................................................................................. 4
C. Sejarah Neurosains Kognitif ................................................................................. 6
D. Metode dalam Mempelajari Otak Manusia .......................................................... 8
E. Struktur dan Fungsi Otak .................................................................................... 10
F. Sistem Saraf ........................................................................................................ 18
G. Gangguan pada Otak .......................................................................................... 20
H. Perkembangan Otak dan Kaitannya dengan Saat Memulai Pembelajaran ....... 23
I. Program Belajar Berbasis Kemampuan Otak: Penafsiran yang Salah ................ 25
J. Prinsip dan Kerangka Belajar dalam Konsep Neurosains Kognitif ..................... 28
K. Implementasi Cognitive Neuroscience dalam Pembelajaran ............................. 32
BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 35
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 35
B. Rekomendasi ...................................................................................................... 36
DARTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 38
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara sederhana, neurosains adalah ilmu yang secara khusus mempelajari
neuron (sel saraf). Sel-sel saraf ini yang menyusun sistem saraf, baik susunan saraf
pusat (otak dan saraf tulang belakang) maupun saraf tepi (31 pasang saraf spinal dan
12 pasang saraf kepala). Umumnya, para neurosaintis memfokuskan pada sel saraf
yang ada di otak.1 Tujuan utama analisis tentang otak dewasa ini adalah mempelajari
lokalisasi fungsi, terutama fungsi kognitif. Lokalisasi ini mengacu pada wilayah-wilayah
spesifik otak yang mengontrol perilaku-perilaku yang juga spesifik yang dominan
mengarah pada kemampuan individu dalam ranah kognitifnya.2
Pemahaman tentang bagaimana otak belajar akan mendorong seluruh
komponen terkait dalam sistem pendidikan untuk menempatkan diri secara bijaksana.
UU RI No 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, sistem pendidikan didefinisikan sebagai
keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai
tujuan pendidikan. Pada Bab II Pasal 3 dikatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Banyak penelitian menemukan bahwa manusia belum maksimal dalam
memakai otaknya baik untuk memecahkan masalah maupun menciptakan ide-ide baru.
Hal ini tidak lepas dari sistem pendidikan yang berlaku saat ini yang hanya berfokus
1 Taufik Pasiak, Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup,(Bandung: Mizan, 2006), h. 47.
2 Diana S. Mandar, “Peranan Cognitive Neuroscience dalam Bidang Pendidikan”, Prosiding SnaPP2011Sains, Teknologi, dan Kesehatan,Vol 2 No 1 tahun 2011, h. 369.
1
2
pada otak luar bagian kiri. Otak ini berperan dalam pemrosesan logika, kata-kata,
matematika, dan urutan yang dominan untuk pembelajaran akademis. Otak kanan yang
berurusan dengan irama musik, gambar, dan imajinasi kreatif belum mendapat bagian
secara proporsional untuk dikembangkan. Demikian juga dengan sistem limbik sebagai
pusat emosi yang belum dilibatkan dalam pembelajaran, padahal pusat emosi ini
berhubungan erat dengan sistem penyimpanan memori jangka panjang. Lebih dari itu
pemanfaatan seluruh bagian otak (whole brain) secara terpadu belum diaplikasikan
dengan efektif dalam sistem pendidikan. Dalam dasawarsa terakhir ini, otak berhasil
dieksplorasi secara besar-besaran dan menghasilkan kesimpulan bahwa sungguh otak
merupakan pusat berpikir, berkreasi, berperadaban, dan beragama.
Sistem pendidikan saat ini cenderung mengarahkan peserta didik untuk hanya
menerima satu jawaban dari permasalahan. Jawaban itulah yang kemudian diajarkan
oleh dosen/guru untuk kemudian diulangi oleh peserta didik dengan baik pada saat
ujian. Secara tak sadar kita sebagai guru maupun orangtua telah banyak memasung
potensi berpikir anak-anak dan menghambat pengembangan otaknya. Sistem
pendidikan berperadaban harus memungkinkan peserta didik untuk mencampur-
memisah, mengeraskan-melunakkan, menebalkan-menipiskan, menutup-membuka,
memotong-menyambung sesuatu sehingga menjadi sesuatu yang baru.
Pada dasarnya suatu ide baru merupakan kombinasi dari ide-ide lama, dan tak
ada sesuatu yang betul-betul baru. Telah terbukti bahwa selain memiliki kemampuan
hebat untuk menyimpan informasi, otak juga memiliki kemampuan yang sama hebat
untuk menyusun ulang informasi tersebut dengan cara baru, sehingga tercipta ide baru.
Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menerapkan sistem pendidikan yang
memungkinkan optimalisasi seluruh otak sehingga penerimaan, pengolahan,
penyimpanan dan penggunaan informasi terjadi secara efisien. Sangat inspiratif definisi
Pendidikan yang tercantum dalam Sisdiknas yaitu usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
3
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
B. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini antara lain:
1. Pemahaman tentang neurosience kognitif.
2. Mengetahui sejarah neurosience kognitif.
3. Mengetahui metode dalam mempelajari otak manusia.
4. Mengetahui dan memahami Struktur dan fungsi otak dan sistem saraf
5. Mengetahui gangguan pada otak
6. Perkembangan Otak dan Kaitannya dengan Saat Memulai Pembelajaran
7. Program Belajar Berbasis Kemampuan Otak: Penafsiran yang Salah
8. Prinsip dan Kerangka Belajar dalam Konsep Neurosains Kognitif
9. Implementasi Cognitive Neuroscience dalam Pembelajaran
C. Lingkup Kajian
Kajian yang dibahas dalam makalah ini berhubungan dengan Neurosience
Kognitif, yang meliputi:
1. Pengertian Neurosience
2. Pengertian Neurosience Kognitif
3. Sejarah Neurosience Kognitif
4. Metode dalam mempelajari otak manusia
5. Struktur dan fungsi otak dan Sistem Saraf
6. Gangguan pada otak
7. Perkembangan Otak dan Kaitannya dengan Saat Memulai Pembelajaran
8. Program Belajar Berbasis Kemampuan Otak: Penafsiran yang Salah
9. Prinsip dan Kerangka Belajar dalam Konsep Neurosains Kognitif
10. Implementasi Cognitive Neuroscience dalam Pembelajaran
4
BAB II
COGNITIVE NEUROSCIENCE DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN
A. Pengertian Neurosains
Neurosains mengkaji diri manusia sebagai proses yang berlangsung hingga
tingkat sel saraf. Berbagai penemuan neurosains sangat berguna tidak hanya dalam
bidang kedokteran, seperti pengobatan pada penyakit-penyakit otak (misalnya:
parkinson, schizophrenia, autisme, dan lain-lain), tetapi juga dalam bidang manajemen
dan bisnis, psikologi, filsafat, dan bidang pendidikan.
Secara sederhana, neurosains adalah ilmu yang secara khusus mempelajari
neuron (sel saraf). Sel-sel saraf ini yang menyusun sistem saraf, baik susunan saraf
pusat (otak dan saraf tulang belakang) maupun saraf tepi (31 pasang saraf spinal dan
12 pasang saraf kepala). Umumnya, para neurosaintis memfokuskan pada sel saraf
yang ada di otak.3 Tujuan utama analisis tentang otak dewasa ini adalah mempelajari
lokalisasi fungsi, terutama fungsi kognitif. Lokalisasi ini mengacu pada wilayah-wilayah
spesifik otak yang mengontrol perilaku-perilaku yang juga spesifik yang dominan
mengarah pada kemampuan individu dalam ranah kognitifnya.4
B. Neurosains Kognitif
Jika dikaitkan dengan pengungkapan hakikat diri manusia, salah satu ilmu yang
mengalami perkembangan sangat pesat adalah neurosains, yang secara harfiah berarti
ilmu tentang otak, terutama neurosains kognitif5. Neurosains kognitif mempelajari otak
manusia hingga tahap molekular. Neurosains kognitif ini merupakan bidang studi yang
3 Taufik Pasiak, Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup,(Bandung: Mizan, 2006), h. 47.
4 Diana S. Mandar, “Peranan Cognitive Neuroscience dalam Bidang Pendidikan”, Prosiding SnaPP2011Sains, Teknologi, dan Kesehatan,Vol 2 No 1 tahun 2011, h. 369.
5 Taufik Pasiak, op.cit, h. 45.
4
5
menghubungkan otak dan aspek-aspek lain sistem syaraf, khususnya otak dengan
pemrosesan kognitif, dan akhirnya dengan perilaku.6
Otak merupakan organ dalam tubuh manusia yang mengontrol langsung
pikiran, emosi, dan motivasi manusia. Otak bersifat direktif sekaligus reaktif terhadap
organ-organ tubuh yang lain. Sementara sistem saraf, merupakan dasar bagi
kemampuan manusia untuk memahami, beradaptasi, dan berinteraksi dengan dunia
sekitar. Melalui sistem ini, manusia menerima, memroses, dan merespon informasi dari
lingkungan.
Cognitive Neuroscience ini sebenarnya merupakan penerapan neurosains
dalam psikologi kognitif. Studi ini mengkaji otak sekaligus mempelajari mental. Bisa
dibilang merupakan cara baru dalam mempelajarai psikologi kognitif. Studi ini
memetakan wilayah-wilayah spesifik di otak beserta fungsinya, dan mengkaitkannya
dengan proses kognitif. Merupakan sebuah bidang akademis yang mempelajari secara
ilmiah substrat biologis dibalik kognisi, dengan fokus khusus pada substrat syaraf dari
proses mental7. Ia membahas pertanyaan bagaimana fungsi psikologis/kognitif
dihasilkan oleh otak. Neurosains kognitif adalah cabang psikologi maupun neurosains,
bertindihan dengan disiplin seperti psikologi fisiologis, psikologi kognitif dan
neuropsikologi. Neurosains kognitif bertopang pada teori-teori dalam sains kognitif
diselaraskan dengan bukti dari neuropsikologi dan pemodelan komputasional.
Berbagai cara telah dilakukan olah para ahli terdahulu yang menyadari adanya
hubungan antara kognisi dan otak sebagai usaha dalam menemukan fungsi kortikal
pada otak manusia. Banyak cara yang ditempuh, di antaranya: Frenologi,
Psychosurgery, Lobotomi, Teori medan agregat. Meskipun di antara metode-metode
tersebut ada yang runtuh dan dianggap sebagai pseudosains. Para ahli terus melakukan
berbagai eksperimen. Hingga didapat beberapa contoh hasil penelitian eksperiemen
dan klinis terhadap struktur dan proses-proses di otak.
6 Lusi Nur Ardhiani, Psikologi Kognitif, (Jakarta: Pusat Pengembangan Bahan Ajar UniversitasMercubuana, 2011), h.12.
7 Gazzaniga, et.al, Cognitive Neuroscience: The Biology of the Mind, (New York: Norton, 2002), h. xv.
6
1. Sebagian besar fungsi mental terlokalisasi di region khusus dan gabungan
beberapa region di otak, seperti: region motorik dan terminal-terminal sensoris,
meski pemrosesan lebih lanjut terjadi di daerah-daerah lain.
2. Sebagian besar fungsi mental (kognisi) melibatkan sebuah area yang bebeda di
korteks serebral. Biasanya bersifat redundant (berlebuhan), artinya
pendistribusian diproses secara paralel ke berbagai lokasi.
3. Letak kognisi pada otak adalah pada bagian korteks otak besar yang membentuk
lapisan terluar dari dua bagian otak, yaitu hemisfer otak kanan dan hemisfer otak
kiri. Masing-masing hemisfer otak memiliki spesifikasi tugas yang berbeda.
4. Kerusakan tidak selalu menyebabkan penurunan kinerja kognitif.
Neurosains kognitif merupakan disiplin ilmu yang bertugas membongkar ulang
otak, membedah arsitektur komputasinya menjadi unit-unit pemrosesan informasi
yang terisolasi dan kemudian menentukan bagaimana unit-unit tersebut bekerja secara
komputasi maupun fisik (cosmides tooby).
Meskipun demikian neurosains kognitif lahir dengan kontribusi-kontribusi dari
penelitian awal tentang lobotomi, frenologi, dan lokalisasi fungsi sebagai pendahulu
neuronsains kognitif modern. Karena sifatnya yang multidisiplin, para ilmuan
neurosains kognitif dapat memiliki bermacam latar belakang. Selain disiplin yang
berkaitan di atas, ilmuan neurosains kognitif dapat berasal dari latar belakang
neurobiologi, rekayasa biologi, psikiatri, neurologi, fisika, sains komputer, linguistik,
filsafat dan matematika.
C. Sejarah Neurosains Kognitif
Pusat neurosains kognitif adalah pandangan jika fungsi kognitif tertentu
berkaitan dengan daerah tertentu di otak. Gerakan frenologis gagal memasok landasan
ilmiah untuk teori mereka dan telah ditolak. Walau begitu, asumsi utama frenologis
kalau daerah tertentu di otak berkaitan dengan fungsi tertentu masih berlaku, walau
pengukuran tengkorak masa kini dilakukan secara elektrofisiologi dan apa yang diukur
lebih berhubungan dengan otak dari pada penampakan tengkorak luar.
7
Akar pertama neurosains kognitif berada pada frenologi, yang merupakan
pendekatan pseudo ilmiah yang mengklaim kalau perilaku dapat ditentukan oleh
bentuk tulang. Pada awal abad ke-19, Franz Joseph Gall dan J. G. Spurzheim percaya
kalau otak manusia terlokalisasi dalam sekitar 35 bagian. Dalam bukunya, The Anatomy
and Physiology of the Nervous System in General, and of the Brain in Particular, Gall
mengklaim bahwa tonjolan besar di salah satu bagian ini berarti daerah otak tersebut
lebih sering digunakan oleh orang tersebut. Teori ini mendapat perhatian publik,
membawa pada publikasi jurnal frenologi dan penciptaan frenometer, yang mengukur
tonjolan di kepala subjek manusia.
Tanggal 11 September 1956, sebuah pertemuan ahli kognitif yang besar terjadi
di MIT. George A Miller menyajikan papernya yang berjudul “The Magical Number
Seven, Plus or Minus Two” sementara Noam Chomsky dan Newell dan Simon
menyajikan temuan mereka dalam sains komputer. Ulrich Neisser memberi komentar
pada banyak penemuan dalam pertemuan ini dalam bukunya Tauhn 1967 berjudul
Cognitive Psychology. Istilah “psikologi” telah memudar Tahun 1950an dan 1960an, dan
membuat bidang ini lebih dikenal sebagai “sains kognitif”.
Pada akhir abad ke-20 teknologi baru berkembang yang sekarang menjadi
metodologi utama dalam neurosains kognitif, termasuk TMS (1985) dan fMRI (1991).
Metode sebelumnya yang dipakai dalam neurosains kognitif adalah EEG (EEG manusia
1920) dan MEG (1968). Neurosaintis kognitif sering juga memakai metode pencitraan
otak lainnya seperti PET dan SPECT.
Pada beberapa hewan, perekaman unit tunggal dapat dipakai. Metode lain
termasuk mikroneurografi, EMG wajah, dan pelacak mata. Neurosains integratif
berusaha mengkonsolidasikan data dalam database, dan membentuk model deskriptif
terpadu dari beragam bidang dan skala: biologi, psikologi, anatomi dan praktek klinis.
8
D. Metode dalam Mempelajari Otak Manusia
Terdapat beberapa metode dalam mempelajari otak manusia. Sternberg
menjelaskan lima metode, yakni: (1) studi post mortem, (2) studi terhadap hewan, (3)
rekaman-rekaman listrik, (4) teknik pencitraan statis, dan (5) Pencitraan metabolis.8
1. Studi-studi Post-Mortem
Dalam metode ini, peneliti mempelajari dengan hati-hati perilaku manusia
yang menunjukkan tanda-tanda kerusakan otak ketika mereka masih hidup.
Mereka mendokumentasikan perilaku pasien sedetail mungkin dalam studi kasus
sebelum pasien meninggal. Selanjutnya, setelah pasien meninggal peneliti menguji
otak pasien untuk mencari lokasi terjadinya lesi (area-area jaringan tubuh yang
mengalami kerusakan seperti karena luka benturan atau penyakit). Peneliti
kemudian mengambil kesimpulan dan melacak kaitan antara tipe perilaku yang
diamati dengan anomaly yang terdapat di lokasi tertentu pada otak.
Contoh kasus yang terjadi misalnya, pasien Paul Broca (1824-1880) yang
diberi nama Tan (dinamai demikian karena hanya suku kata itu yang keluar jika ia
berkata-kata). Tan mengalami gangguan berat dalam kemampuan bicaranya.
Masalah ini berkaitan dengan les di area lobus bagian depan yang sekarang
dinamakan area Broca. Contoh lainnya adalah penelitian yang dilakukanYoung,
Holcomb, Yazdani, Hicks, yang menemukan bahwa depresi disebabkan oleh lebih
banyaknya jumlah sel saraf di thalamus yang digunakan untuk pertukaran emosi.
Kelemahan metode ini adalah, tidak dapat dilakukan kepada makhluk yang
masih hidup. Selain itu, metode ini kurang memberi pendalaman terhadap proses
psikologi yang terjadi dalam otak.
2. Studi terhadap hewan
Studi ini merupakan studi in vivo (dilakukan terhadap makhluk yang masih
hidup), dan oleh karenanya lebih banyak dilakukan terhadap hewan. Langkah yang
dilakukan adalah, Elektroda mikro dimasukkan ke dalam otak hewan (biasanya
8 Robert J. Sternberg, Cognitive Psychologi, 4th Edition, (Belmont: Wadsworth, Cengage Learning,2008), hh. 48-84
9
kera atau kucing). Dari sini, didapati rekaman sel tunggal tentang aktivitas sebuah
neuron di otak. Dengan cara ini ilmuan dapat mengukur efek dari jenis-jenis stimuli
tertentu. Termasuk dalam jenis penelitian terhadap hewan adalah dengan
melakukan pelesian selektif (penghilangan atau perusakan bagian otak tertentu
lewat pembedahan) untuk mengamati cacat fungsional yang diakibatkannya.
Contoh penelitian dengan metode ini dilakukan oleh Disterhoft &
Matthew pada tahun 2003 dengan membandingkan antara Hippocampal
pyramidal neuron pada kelinci tua dan kelinci muda. Ditemukan bahwa kelinci
yang sudah tua tidak dapat mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Setelah
diinjeksikan Metrifonate, galanthamine, and CI-1017 pada kelinci tua, mereka
dapat belajar secepat kelinci muda.
3. Rekaman-rekaman listrik
Metode ini dimungkinkan dilakukan pada manusia yang masih hidup.
Elektroencephalogram (EEG) adalah rekaman-rekaman tentang frekuensi dan
intensitas listrik otak yang hidup, biasanya direkam di sebuah periode yang relatif
lama. melalui EEG dimungkinkan untuk mempelajari aktivitas gelombang otak
yang menindikasikan perubahan konsisi-kondisi mental, seperti tidur lelap atau
bermimpi. Metode ini dilakukan dengan memasangkan elektroda di beberapa titik
kulit kepala. Aktivitas listrik di otak kemudian direkam.
Contohnya rekaman-rekaman EEG yang diambil selama tidur
menyingkapkan pola-pola perubahan aktivitas listrik yang melibatkan seluruh
bagian otak. Pola-pola yang muncul ketika sesorang bermimpi sangat berbeda
ketika dia tertidur lelap. Contoh penelitian lain dilakukan oleh Dehaene-Lambertz,
Pena, M., Christophe, & Landrieu pada tahun 2004 untuk memeriksa kemampuan
berbahasa bayi.
4. Teknik-teknik Pencitraan Statis
Teknik-teknik ini mencakup angiogram, pemindaian tomografi aksial
dengan menggunakan komputer (CAT, computerized axial tomography) dan
pemindaian dengan pencitraan resonansi magnetis (MRI) .Teknik yang berbasis
10
sinar X (CAT) memungkinkan pengamatan yag lebih mendetail tentang
abnormalitas otak skala besar seperti kerusakan yang diakibatkan benturan atau
tumor, namun terbatas dalam resolusi sehingga tidak bisa menyediakan banyak
informasi tentang lesi-lesi dan penyimpangan yang lebih kecil.
Pemindaian MRI memberikan gambar dengan resolusi tinggi tentang
struktur otak hidup dengan mengomputasi dan menganalisi perubahan-perubahan
magnetis didalam energi dari orbit-orbit partikel didalam molekul-molekul tubuh.
Namun MRI relatif mahal dan tidak menyediakan banyak informasi mengenai
proses-proses fisiologis.
5. Pencitraan metabolis
Teknik ini mengandalkan perubahan-perubahan yang berlangsung di
dalam otak sebagai hasil dari peningkatan konsumsi glukosa dan oksigen di area-
area aktif dantidak aktif. Ide dasarnya adalah area-area aktif didalam otak
mengonsumsi lebih banyak glukosa dan oksigen ketimbang area-area yang tidak
aktif. Dua teknik dengan metode ini di antaranya adalah PET (Positron Emission
Tomography ) dan fMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging).
Pemindaian PET mengukur peningkatan di dalam konsumsi glukosa di
area-area aktif otak selama menjalankan pemrosesan informasi tertentu.
Pencitraan melalui resonansi magnetis secara fungsional (fMRI) adalah teknik
penggambaran neuron yang menggunakan medan-medan magnetis untuk
mengonstruksikan gambar detil tiga dimensi tenntang aktivitas di beragam bagian
otak pada satu momen tertentu. Teknik ini disusun berdasarkan MRI, namun ia
menggunakan peningkatan di dalam pengonsumsian oksigen untuk
mengonstruksikan gambaran-gambaran aktivitas otak.
E. Struktur dan Fungsi Otak
Otak adalah sebuah jaringan yang sangat vital dalam tubuh manusia. Otak tidak
hanya berfungsi untuk berpikir, tetapi juga menunjang kehidupan itu sendiri. sebuah
11
penelitian menunjukkan bahwa, seseorang yang sudah meninggal dunia beberapa saat
yang lalu, menunjukkan otaknya secara fisiologis masih hidup.
Secara struktural, seluruh otak manusia adalah sama. Kelainan pada struktur
otak, akan mengakibatkan kelainan pada perilaku atau menunjukkan perilaku-perilaku
yang abnormal. Contoh perilaku-perilaku yang ditengarai di sebabkan oleh kelainan
pada struktur otak adalah epilepsi, skizofrenia, pembunuh berantai, autisme pada anak
dan lain-lain.
Pada orang normal yang dewasa, berat otak berkisar 1,5 kg dengan perbedaan
volume pada laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki dewasa, volume otak berkisar
1.130 cm3 dan pada wanita berkisar 1260 cm3. Jumlah sel neuron pada otak
diperkirakan sekitar 100 juta sel saraf. Tetapi dalam populasi di dapatkan bahwa, variasi
berat otak dan volumenya sangat besar. Kemungkinan inilah yang menyebabkan variasi
kemampuan berpikir dalam populasi. Di sinyalir bahwa, orang dengan volume dan
berat otak yang besar, mempunyai kemampan berpikir yang lebih tinggi. Tetapi asumsi
ini belum banyak dibuktikan dalam sebuah penelitian ilmiah.
Otak manusia dapat dibagi menjadi beberapa bagian berdasarkan struktur dan
fungsinya. Pembagian yang paling populer adalah berdasarkan lobus. Ada empat
macam lobus yaitu lobus frontalis, lobus parientalis, lobus oksiptalis dan lobus
temporalis. Otak juga dapat dikelompokkan berdarkan letak dan fungsinya, menjadi
serebrum, serebellum, braistem, dan sistem limbik.
Gambar 1: Bagian Otak berdasarkan Letak
Sumber: Robert J. Sternberg, Cognitive Psychologi, 4th Edition, ppt
12
Seperti terlihat pada gambar di atas, otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Cerebrum (Otak Besar)
2. Cerebellum (Otak Kecil)
3. Brainstem (Batang Otak)
4. Limbic System (Sistem Limbik)
1. Cerebrum (Otak Besar)
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut
dengan nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan
bagian otak yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat
manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran,
perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual seseorang
juga ditentukan oleh kualitas bagian ini.
Cerebrum terbagi menjadi empat bagian lobus, yakni: Lobus Frontal, Lobus
Parietal, Lobus Occipital, dan Lobus Temporal.
a. Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak
Besar. Bagian anterior (depan atas) mempunyai peran dalam tingkah laku
tidak sadar. Misalnya: kepribadian, tingkah laku social, memberi alasan,
memberi pendapat dan aktifitas itelektual, kreativitas, kontrol perasaan,
kontrol perilaku seksual, dan kemampuan bahasa secara umum. Bagian
sentral posterior (depan belakang) mengatur fungsi motorik.
b. Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor
perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
c. Lobus Temporal menerima input dari tiga indera perasa, yaitu: pendengaran,
pengecap, dan penciuman dan mempunyai peran dalam proses memori.
d. Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan
rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan
interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata. Misalnya
penglihatan, menerima informasi dan menafsirkan warna, juga berperan
13
dalam refleks visual untuk menentukan mata pada sebuah objek yang diam
dan bergerak.
Gambar 2: Cerebrum dan Bagian-bagiannya
Cerebrum (otak besar) juga bisa dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan
otak kanan dan belahan otak kiri. Kedua belahan itu terhubung oleh kabel-kabel
saraf di bagian bawahnya. Secara umum, belahan otak kanan mengontrol sisi kiri
tubuh, dan belahan otak kiri mengontrol sisi kanan tubuh. Otak kanan terlibat
dalam kreativitas dan kemampuan artistik. Sedangkan otak kiri untuk logika dan
berpikir rasional.
Laterisasi / Belahan Otak
Salah satu riset yang mengawali pembedaan otak kiri dan kanan adalah
penelitian Gazaninga dan kawan-kawan, yang berusaha mengatasi kejang epilepsy
dengan memotong serabut saraf – korpus kalosum – yang menjembatani kedua
belahan otak, dan mendapati bahwa serangan kejang menghilang.9 Selanjutnya,
berbagai penelitian mendapati bahwa otak kiri dan kanan berperilaku secara
terpisah. Belakangan, Damasio (1994) dan mitranya menemukan bukti yang
mendukung bahwa kedua belahan otak tidak simetris dalam cara memproses
emosi.
9 Barbara K. Given, Brain-Based Teaching: Merancang Kegiatan Belajar-Mengajar yang MelibatkanOtak Emosional, Sosial, Kognitif, Kinestetis, dan Reflektif, cet. 2, Penj. Lala Herawati Dharma,(Bandung: Mizan Pustaka, 2007), h. 49.
14
Secara anatomis, otak manusia dibedakan antara hemisfer kiri (belahan
otak kiri) dan hemisfer kanan (belahan otak kanan). Setiap belahan pada otak
berfungsi mengendalikan bagian tubuh secara berlawanan. Otak belahan kanan
mengendalikan fungsi tubuh bagian kiri. Sedangkan otak belajan kiri
mengendalikan fungsi tubuh bagian kanan.
Gambar 3: Lateralisasi Otak
Kedua belahan otak kiri dan kanan di hubungkan oleh bundel saraf yang
sangat besar yang disebut dengan corpus callosum. yang melintasi garis tengah di
atas tingkat thalamus. Di samping itu ada juga penghubung antara belahan kiri dan
belahan kanan, tetapi ukurannya kecil tetapi banyak yanitu commisure anterior
dan commisure hippocampus serta penghubung subkrtikal juga banyak yang
melintasi garis tengah otak.
Corpus callosum adalah jalan utama komunikasi antara dua belahan,
meskipun. Ini menghubungkan setiap titik pada korteks ke titik bayangan cermin di
belahan hemisfer sebaliknya, dan juga menghubungkan ke titik fungsional terkait
di daerah kortikal berbeda.
Secara struktur, belahan otak kanan dan otak kiri berbentuk simetris.
Tetapi beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa fungsi antara belahan
otak kiri dan belahan otak kanan berbeda. Misalnya otak kiri lebih dominan pada
pembentukan bahasa (kerusakan pada otak kiri, bisa menyebabkan orang tidak
15
bisa berbicara dan mengerti pembicaraan). Sedangkan pada otak kanan lebih
dominan pada perkembangan emosi, seni ataupun intuitif.
2. Cerebellum (Otak Kecil)
Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat
dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis
otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan,
koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak Kecil juga menyimpan dan melaksanakan
serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil,
gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada
sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya
orang tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak
mampu mengancingkan baju.
3. Brainstem (Batang Otak)
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga
kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum
tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk
pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan,
dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari)
saat datangnya bahaya.
Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh
karena itu, batang otak sering juga disebut dengan otak reptil. Otak reptil
mengatur “perasaan teritorial” sebagai insting primitif. Contohnya anda akan
merasa tidak nyaman atau terancam ketika orang yang tidak Anda kenal terlalu
dekat dengan anda.
Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil.
16
Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan
mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
b. Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri
badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla
mengontrol fungsi otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah,
pernafasan, dan pencernaan.
c. Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak
bersama dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga
atau tertidur.
4. Limbic System (Sistem Limbik)
Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak
ibarat kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak
ini sama dimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak
mamalia. Komponen limbik antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala,
hipocampus dan korteks limbik.
Gambar 4: Sistem Limbik
Secara umum, sistem limbik berfungsi menghasilkan emosi, motivasi,
berperan dalam menyimpan memori dan pembelajaran. Secara khusus, sistem
limbik mengontrol perasaan dan sikap. Selain itu, juga menyimpan memori
emosional, mengontrol nafsu makan dan siklus tidur.Sistem limbik juga
memungkinkan kita untuk fleksibel dalam bersikap dan merespon perubahan
lingkungan.
17
Anatomi Sistem Limbik
Gambar 5: Anatomi Sistem Limbik dan Fungsinya
Sumber: Cognitive Psychology, 4th Ed, Robert J. Sternberg.
Beberapa bagian sistem limbik yang penting adalah sebagai berikut.
1. Amygdala: terlibat dalam rasa marah dan keinginan untuk menyerang.
2. Septum: terlibat dalam rasa marah dan ketakutan
3. Hippocampus penting dalam pembentukan memori, gangguan pada bagian ini
menyebabkan hilangnya memori deklaratif, namun memori prosedural tidak
terganggu. Kedua memori ini termasuk memori jangka panjang. Memori
deklaratif termasuk pada kemampuan menyebutkan pengetahuan dan fakta,
sementara memori prosedural merupakan memori yang diperoleh dari
pengulangan terus menerus, dan merupakan memori jangka panjang.
Kerusakan pada bagian hippocampus juga dapat menyebabkan Korsakoff’s
syndrome, yakni hilangnya fungsi memori akibat malnutrisi ataupun perilaku
alkoholik parah.10
4. Thalamus: menghantarkan informasi ke cerebral cortex, juga memiliki kontrol
terhadap tidur dan berjalan.
5. Hypothalamus: penting dalam perilaku metabolisme, makan dan minum,
perilaku seksual, dan mengatur emosi.
10 http://en.wikipedia.org/wiki/Korsakoff%27s_syndrome, diakses 15 Januari 2013.
18
F. Sistem Saraf
Central Nervous System/Sistem Saraf Pusat (CNS/SSP) terdiri dari otak dan
sumsum tulang belakang.
1. Otak : merupakan CNS (central nervous system) yang berfungsi untuk menerima,
memproses, menginterpretasikan dan menyimpan informasi sensoris yang datang,
seperti rasa, suara, bau, warna, tekanan pada kulit, dll.
2. Saraf tulang belakang kumpulan neuron dan jaringan pendukung yang dimulai dari
dasar otak sebagai perpanjangan otak yang menjulur di sepanjang punggung
bagian tengah dan dilindungi oleh tulang belakang.
Gambar 5: Saraf Tulang Belakang
Sumber: Pustekkom Depdiknas
Neuron
Neuron adalah unsur dasar pembentuk CNS (Central Nervous System), yakni sel
khusus yang mengirimkan informasi sepanjang sistem syaraf, berjumlah sangat padat.
Otak manusia tersusun dari massa neuron yang sangat padat, berfungsi menerima &
mengirimkan impuls neural ke ribuan neuron lain. Neuron memiliki ukuran dan bentuk
yang berlainan tergantung dari lokasi dan fungsinya, di antarannya Syaraf tulang
belakang, Talamus, Serebelum, dan Korteks.
19
Gambar 6: Neuron dan Bagian-bagiannya
Bagian utama dalam neuron adalah sebagai berikut:
1. Dendrit, yang menerima impuls neural dari neuron lain, dendrit berbentuk seperti
pohon (arborized), lengkap dengan cabang dan ranting.
2. Tubuh sel, yang bertanggung jawab menjaga kondisi dasar neuron. Tubuh sel
(menerima) nutrisi dan melenyapkan limbah organik dan menyerang limbah
tersebut melalui dinding sel yang permeabel
3. Akson, serabut perluasan yang membawa dan menghantarkan impuls dari tubuh
sel ke neuron lain.
4. Terminal prasinaptik, terminal-terminal tempat berakhirnya akson terletak dekat
permukaan dendrit pada neuron lain (yang bersifat reseptif) meskipun tidak
berhubungna langusng, terminal prasinaptik dan dendrit bersama-sama
membentuk sinapsis.
Sinapsis memiliki tugas penting yaitu berperan menukarkan informasi kimia
yang disebut neurotransmitter dari satu neuron ke neuron lain. Muatan listrik mengalir
sepanjang akson, dan ketika muatan listrik mencapai dendrit, neurotransmitter
dilepaskan. Neorutransmitter kimiawi ini mengubah polaritas/potensi elektrik pada
dendrit penerima.
Neurotransmitter adalah pesan kimiawi yang diaktifkan yang memiliki efek
inhibitoris dan efek eksitetoris. Dan terdapat senyawa-senyawa lain disebut
20
acetylcholine. Kecepatan perjalanan impuls pada akson bergantung pada panjang
akson tersebut. Neurotransmiter membawa informasi antara neuron dan
memungkinkan pesan kimia untuk dikirim dari satu bagian tubuh ke otak,dan
sebaliknya. Ada berbagai neurotransmiter yang mempengaruhi tubuh dalam berbagai
cara. Misalnya, dopamin neurotransmitter yang terlibat dalam gerakan dan belajar.
Jumlah dopamine yang berlebihan telah dikaitkan dengan gangguan psikologis seperti
skizofrenia, sedangkan terlalu sedikit dopamin diasosiasikan dengan penyakit
Parkinson.
Bagian penting lainnya dari sistem saraf adalah Peripheral Nervous System,
yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Somatik Nervous System: mengendalikan tindakan otot rangka.
b. Sistem saraf otonom: mengatur proses otomatis seperti detak jantung, bernapas,
dan tekanan darah. Ada dua bagian dari sistem saraf otonom:
a. Sistem saraf simpatis: mengontrol fight or flight "reflex”. Refleks ini
mempersiapkan tubuh untuk merespon bahaya dalam lingkungan.
b. Sistem saraf parasimpatis: sistem ini berfungsi untuk membawa tubuh Anda
kembali ke keadaan normal setelah melawan atau penerbangan refleks.
G. Gangguan pada Otak
Gazzaniga dan kawan-kawan (dalam Sternberg) melakukan penelitian tentang
gangguan otak, yang pada akhirnya mempengaruhi kognisi manusia. Beberapa contoh
gangguan pada otak adalah stroke, tumor otak, dan luka pada kepala11.
Lebih lanjut seperti dijelaskan berikut ini:
1. Stroke
Stroke terjadi ketika aliran darak ke otak mengalami hambatan. Orang-
orang yang mengalami stroke biasanya menunjukkan hilangnya fungsi-fungsi
kognitif. Bentuk hilangnya fungsi-fungsi ini bergantung kepada area otak mana
11 Robert .J. Sternberg, op.cit, hh. 64-84.
21
yang dipengaruhi stroke. Simptom stroke biasanya Iangsung terjadi setelah stroke
terjadi, berikut simptom stroke yang paling umum:
a. Mati rasa atau kelelahan diwajah, lengah atau kaki
b. Rasa bingun, kesulitan bicara atau memahami ucapan
c. Gangguan pada penglihatan
d. Pusing, mual-mual, sulit berjalan, hilang keseimbangan atau koordinasi
anggota tubuh.
e. Sakit kepala berat tanpa diketahui penyebabnya
2. Tumor otak
Tumor otak disebut juga neoplasma, dapat memengaruhi fungsi kognitif
dengan cara yang sangat serius. Ada dua jenis tumor otak:
a. tumor yang dimulai dari otak. Kebanyakan anak yang mengalami tumorjenis
ini.
b. tumor otak yang merupakan efek dari pertumbuhan tumor di bagian tubuh
lain Tumor (notcancerous), misalnya paru-paru, or malignant (cancerous).
Tumor otak ada yang lunak dan ada ganas ganas. Tumor lunak tidak
mengandung sel-sel kanker, biasanya tumor ini bisa dihilangkan dan tidak akan
tumbuh kembali. Sel-sel tumor lunak tidak menyerang sel-sel sel sekitarnya atau
menyebar kebagian tubuh yang lain, namun jika akhirnya ia menekan area-area
sensitif otak, tumor akan mengakibatkan gangguan kognitif yang serius.
3. Luka pada kepala
Luka-luka pada kepala bisa diakibatkan oleh berbagai macam faktor
seperti kecelakaan kendaraan, kontak dengan benda keras, dan terkena peluru.
Luka-luka ini memiliki 2 jenis; luka dalam dan luka luar. Pada luka dalam, tengkorak
masih utuh namun terjadi kerusakan pada otak, biasanya dari daya mekanis suatu
hantaman pada kepala. Pada luka luar, tengkorak tidak lagi utuh karena sudah
terjadi rembesan darah yang keluar dari kepala, luka terkena peluru salah satu
contohnya.
22
Jika dikaitkan dengan dunia pendidikan, terdapat beberapa kelainan pada
otak, yang mempengaruhi proses kognisi seseorang. Tiga kelainan yang banyak
ditelaah saat ini adalah: disleksia, diskalkulia, dan ADHD.12
1. Disleksia
Kemampuan membaca pada orang dewasa, melibatkan penggunaan otak kiri,
termasuk posterior superior temporal cortex. Area otak ini penting dalam
kemampuan memisahkan kata-kata dalam komponen berdasarkan
pelafaannya. Pada anak dengan disleksia, area otak ini menunjukkan
penurunan aktivitas, yang mengakibatkan kesulitan mengeja, mambaca, dan
mengenali huruf atau angka.
2. Diskalkulia
Diskalkulia merupakan kesulitan dalam mengenali konsep angka, baik secara
sederhana, ataupun penggunaan angka. Aktivitas pada area penghitung dan
pengenalan bahasa mengalami penurunan pada kelainan ini.
3. ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
Anak dengan kelainan ini, menampilkan perilaku cenderung impulsive, tidak
perhatian, dan banyak bertingkah. Penelitian mengenai ADHD ini belum
mencapai kata sepakat. Namun, penelitian terkini menunjukkan bahwa anak
dengan dugaan ADHD mengalami kelainan pada the anterior cingulate dan
prefrontal cortex.
Ketiga kelainan ini mempengaruhi kemampuan anak dalam belajar, dank
arena penelitian untuk penyembuhannya masih terus dilakukan, peran guru dalam
menggunakan metode pembelajaran sangat penting untuk membantu mengatasi
kelainan ini.
12 Paul Howard-Jones, et.al, Neuroscience and Education: Research and Opportunities, (London: TLRP& ESRC, 2012), hh. 12-14.
23
H. Perkembangan Otak dan Kaitannya dengan Saat Memulai Pembelajaran
Saat yang tepat untuk memulai pembelajaran, terutama melalui jalur
pendidikan formal, dapat dikaitkan dengan proses perkembangan otak. Secara umum,
otak mengalami restrukturisasi pada usia dini, usia remaja, dan dewasa. Di bawah ini
adalah gambaran perkembangan otak pada tiga fase tersebut, yang dikaitkan dengan
kemampuan otak untuk belajar.
1. Perkembangan Otak pada Usia Dini
Sekalipun pendidikan formal pada usia dini semakin populer, sebenarnya
tidak ada bukti meyakinkan di bidang neurosains untuk memulai pendidikan
formal lebih awal.13 Tiga pendapat menjadi dasar bagi pemikiran ini, namun
dengan bukti yang masih sedikit, dengan interpretasi yang berlebihan. Pendapat
pertama, bahwa synaptogenesis, pembuat sinapsis yang menghubungkan antar
neuron, terbentuk pada tingkat yang lebih tinggi pada anak-anak dibandingkat
orang dewasa. Penelitian ini sebenarnya didasarkan pada penelitian primata selain
manusia. Rakic (dalam Jones) menyebutkan bahwa proses pembentukan
synaptogenesis pada monyet terjadi paling banyak di tiga tahun pertama14. Hal ini
menjadikan asumsi bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang lebih baik untuk
belajar. Bagaimanapun juga, penelitian selanjutnya tentang perkembangan otak
membuktikan bahwa perubahan struktur pada otak, termasuk pembentukan
synaptogenesis, berlangsung dengan baik hingga masa pubertas, bahkan hingga
dewasa.
Pendapat kedua, berkaitan dengan argumen pertama, tentang adanya
“jendela emas” perkembangan anak, yang penting untuk pembelajaran berbagai
kemampuan dan keterampilan. Bagaimanpun juga, ilmuwan saat ini lebih
mempercayai bahwa masa tersebut adalah masa sensitif, yang mana tidak selalu
sama dan tidak pasti. Masa tersebut lebih berupa perbedaan halus pada
kemampuan otak untuk dapat dibentuk oleh lingkungan. Masa ini lebih terutama
13 Paul Howard-Jones, et.al, op.cit, h. 714 Ibid, h. 8.
24
melibatkan fungsi visual, motorik, dan memori yang dipelajari secara alami pada
lingkungan normal. Jones et.al berpendapat bahwa, sekalipun masa sensitif ini
sangat menarik untuk dikaji, belumlah cukup untuk memberi kontribusi pada
pendidikan formal.15
Pendapat ketiga, menunjuk pada efek pengkayaan lingkungan kepada
pengembangan sinapsis. Bagaimanapun juga, sperti yang disebutkan Diamond
et.al dalam Jones, penelitian ini dilakukan pada tikus laboraturium. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa lingkungan seadanya dapat menghambat
perkembangan neural, namun, tidak ada bukti bahwa lingkungan yang diperkaya,
akan meningkatkan perkembangan neural tersebut.
2. Perkembangan Otak Saat Remaja
Neurosains menunjukkan bahwa, di saat remaja pun, otak tetap
mengalami perkembangan. Namun demikian,berbagai penelitian menunjukkan
bahwa otak remaja berusia belasan tahun, tidak lebih siap dari otak dewasa untuk
mengerjakan berbagai proses. Beberapa proses ini, misalnya, mengarahkan
perhatian, merencanakan masa depan, mencegah perilaku tidak pantas,
multitasking, dan tugas-tugas yang membutuhkan keterampilan sosial. Dapat
disimpulkan bahwa reorganisasi otak tahap kedua, setelah masa kanak-kanak,
terjadi pada masa remaja. Pada masa remaja ini, otak masih dapat dipertajam dan
dibentuk. Oleh karenanya, kurikulum yang tepat dalam pendidikan formal dapat
membantu pengembangan otak remaja.
3. Perkembangan Otak Saat Dewasa
Walaupun perubahan tidak lebih radikal seperti yang terjadi pada masa
remaja, otak terus berubah dan berkembang pada masa dewasa. Dengan
meningkatnya usia, otak menjadi lebih sedikit dapat ditempa, dan neuron mulai
hilang dalam tingkat yang lebih besar, walaupun efek pendidikan terhadap
hilangnya neuron ini masih belum dapat dijelaskan.16 Sekalipun demikian, ternyata
15 Ibid.16 Ibid, h.9.
25
neuron baru lahir di satu bagian otak: hippocampus, satu bagian di otak yang
memegang peranan penting dalam belajar dan mengingat.
Kondisi ini menunjukkan otak sangat fleksibel dan memungkinkan
penggunanya untuk belajar sepanjang hayat, terus beradaptasi terhadap keadaan
baru dan pengalaman baru. Penelitian bahkan menunjukkan bahwa pendidikan
dapat mempengaruhi struktur otak, termasuk pada orang dewasa.
Penelitian Dragansky dan kawan-kawan (dalam Jones) menunjukkan
bahwa bagian otak tertentu membesar setelah dilakukan pendidikan dan
pelatihan selama tiga bulan. Tiga bulan setelah pelatihan tersebut usai, volume
otak kembali menyusut ke asalnya17. Penelitian juga menunjukkan bahwa
kemungkinan untuk menderita alzheimers menurun dengan adanya pencapaian
pendidikan, atau dengan peningkatan tantangan dalam pekerjaan. 18
Dengan melihat pemaparan di atas, jelaslah bahwa sesungguhnya, otak
manusia dapat melakukan pembelajaran sepanjang hayat. Sekalipun pentingnya
pendidikan formal yang dimulai di usia dini masih menjadi pertentangan,
pendidikan formal hingga usia remaja adalah hal yang penting. Otak juga dapat
terus memperbaharui neuronnya, sehingga melanjutkan pendidikan hingga usia
dewasa, bahkan tua, bukanlah permasalahan. Pembelajaran terus menerus
bahkan ditengarai dapat mengurangi terjadinya gangguan otak.
I. Program Belajar Berbasis Kemampuan Otak : Penafsiran yang Salah
Paradigma program belajar dengan berbasis kemampuan otak ini, mulai
diperkenalkan sejaktahun 1990, dan mulai bermunculan berbagai program dengan
tema “brain-based”. Sekalipun demikian, tampaknya bercampur antara ekliktik dan
neurosains, sehingga tidak seluruh program berbasis kemampuan otak yang umumnya
diketahui guru dan masyarakat awam, benar-benar berdasarkan neurosains kognitif.
Berikut ini adalah beberapa contoh.
17 Ibid, h. 21.18 Wilson, R.S., “Mental Challange in the Workplace and Risk of Dementia in Old Age: Is There a
Connection?”, Occupational and Environmental Medicine vol 62, h. 72-73.
26
1. Senam Otak (Brain Gym).
Program ini mengajukan ide bahwa mekanisme kerja otak dapat
ditingkatkan dengan latihan-latihan tertentu. 19 Termasuk dalam senam otak ini,
misalnya, gerakan cross crawl, pergerakan bagian kanan dan kiri tubuh bergantian
yang diklaim dapat mengaktifkan otak kiri dan kanan. Sekalipun penjelasan dan
argumentasi yang diajukan tampak logis, sebenarnya konsep ini tidak dikenal
dalam neurosains. Senam otak menekankan sinergi dan keseimbangan antara otak
kiri dan kanan, sehingga menciptakan “jalan” baru antara otak kiri dan kanan. Pada
kenyataannya, antara otak bagian kiri dan kanan, memang sudah terhubung
secara permanen, yang dapat dilihat dengan jelas melalui corpus callosum.
Menciptakan jalan jalan atau rangkaian hubungan baru antara kedua otak, hingga
saat ini belum dapat dibuktikan.20
2. Learning Style Preferences
Konsep Learning Style Preferences, atau pilihan gaya belajar, cukup
populer digunakan di bidang pendidikan. Umumnya, gaya belajar siswa dibedakan
menjadi tiga: visual, auditori, atau kinestetik. Konsep yang banyak digunakan
adalah, penggunaan salah satu gaya belajar yang cocok dengan seorang individu,
akan meningkatkan pembelajaran. Namun, terdapat kekurangan dalam hal
metode penentuan gaya belajar yang sesuai dengan tiap individu. Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa menyajikan pembelajaran secara khusus yang cocok
dengan satu jenis gaya belajar saja, adalah membuang-buang waktu.21 Sekalipun
demikian, guru yang menggunakan berbagai jenis media yang menjangkau semua
murid apapun gaya belajarnya, tetap memiliki nilai tambah. Penelitian yang ada,
tidak mendukung keharusan memberi label pada siswa berdasarkan gaya belajar
tertentu.
19 S.J. Pickering dan Joward-Jones, “Educator’s View of the Role of Neuroscience InEducation: A Studyof UK and International Perspective, Mind, Brain and Education, Vol 1, h.3.
20 Paul Howard-Jones, et.al, op.cit, h. 1521 Coffield, Moseley, Hall, E., & Ecclestone, K. Learning styles and pedagogy in post-16 learning: A
systematic and critical review, (Report No. 041543). (London: Learning and Skills Research Centre,2004).
27
3. Kecenderungan Pembedaan Otak Kiri atau Otak Kanan
Beberapa buku teks menyarankan guru mengetahui apakah siswa mereka
termasuk pengguna otak kanan atau otak kiri. Penelitian lama memang
menganjurkan pengkhususan tersebut. Jerre Levy dan Sperry (dalam Given)
misalnya, menegaskan perbedaan antara kedua belahan otak dengan menyatakan
bahwa belahan kanan khusus untuk proses holistic, dan belahan kiri untuk proses
analitik.22 Laporan ini menimbulkan kegairahan guru untuk menerapkan konsep ini
dalam bidang pendidikan.
Namun penelitian yang lebih baru, seperti yang dilakukan oleh Gazaninga,
mendapati bahwa pada beberapa individu, kedua belahan otak sama-sama
mampu merespon input visual dan tugas menggambar. Demikian pula interpretasi
bahasa, ada di kedua belahan otak ini.23
Berbagai penelitian lanjutan yang berupaya mengaburkan perbedaan
global dan analitik tentang kedua belahan otak, tampaknya belum dihiraukan.
Bagaimanapun juga, kedua belahan otak ini secara normal memang selalu aktif.
Selain itu, kebanyakan tugas belajar sehari-hari, mensyaratkan kedua belahan otak
untuk bekerja sama dalam sistem yang kompleks.24 Tidak terdapat bukti yang kuat
bahwa kategorisasi siswa menjadi kecenderungan otak kanan atau kiri, dapat
membantu proses pembelajaran.
Walaupun secara konsep, belum terdapat bukti yang jelas mengenai
kaitan maksimalisasi kemampuan otak dalam proses pembelajaran, beberapa
pendapat di atas bisa jadi berguna. Senam otak, misalnya, walaupun tidak terbukti
menciptakan keseimbangan otak kiri dan kanan, namun dapat meningkatkan
respon dan kesiagaan. Oleh karenanya, penelitian lebih lanjut amat diperlukan
mengenai konsep “brain-based”, dalam rangka menjembatani penerapan
neurosains kognitif dalam pendidikan.
22 Barbara K. Given, op.cit, h. 48.23 Ibid, h. 50.24 Paul Howard-Jones, et.al, op.cit, h. 16.
28
J. Prinsip dan Kerangka Belajar dalam Konsep Neurosains Kognitif
Prinsip utama yang melatar belakangi terlaksananya pembelajaran berbasis
otak menurut Caine dan Caine menjelaskan 12 prinsip pembelajaran secara alami25.
Prinsip ini menjadi dasar bagi brain-based learning yang banyak berkembang kini.
Kedua belas prinsip tersebut disajikan sebagai berikut.
1. Otak merupakan processor parallel. Pikiran, perasaan, sifat bawaan, dan emosi
saling berhubungan satu sama lain dan berinteraksi dengan berbagai macam
model informasi yang diterima otak.
2. Belajar melibatkan seluruh fisiologi tubuh. Hal ini berarti bahwa kesehatan fisik
seseorang, seperti jumlah waktu tidur, nutrisi yang dikonsumsi, kondisi lelah,
mempengaruhi otak.
3. Pencarian makna dilakukan secara innate. Kita secara alamiah terprogram untuk
mencari makna dalam segala hal. Kebutuhan otak untuk selalu mencari makna
juga beberapa hal familiar yang akan terdaftar secara otomatis saat melakukan
pencarian dan merespon makna secara terus-menerus untuk menambah stimulus.
Kelengkapan pembelajaran harus dibuat untuk memuaskan semangat siswa untuk
membuat karangan baru, penemuan terbaru, juga untuk meraih kesempatan baru.
Di saat yang sama, tugas-tugas yang diberikan pun harus bermakna dan semenarik
mungkin, juga menawarkan banyak pilihan pada siswanya. Dalam pendidikan, satu
hal yang diizinkan bagi siswa adalah ketika siswa diberikan banyak pengalaman
belajar, lalu mereka diberikan waktu untuk merasakan pengalaman yang mereka
lakukan. Mereka berhak diberikan kesempatan untuk menanggapi segala
sesuatunya, untuk melihat keterkaitan yang satu dengan yang lain.
4. Pencarian makna terjadi dengan "berpola." Berpola disini lebih dimaksudkan pada
pengorganisasian dan pengkategorian dari informasi. Otak menolak pola
mengagumkan dari sesuatu yang tanpa makna. Saat kemampuan alamiah otak
mengintegrasikan informasi lalu diingatkan dalam pembelajaran, aktivitas dan
25 http://www.cainelearning.com/files/Learning.html, An understanding of learning based on theCaines' renowned 12 brain/mind learning principles, (diakses 15 Januari 2013).
29
informasi yang terjadi secara acak dapat ditampilkan dan diasimilasi. Otak
mencoba untuk membuat pengertian dari informasi dengan mengurangi kata-kata
acak yang tidak berhubungan dengan suatu pola yang lebih familiar.
5. Emosi merupakan salah satu bagian penting dalam pembentukan pola. Dalam
otak, kita tidak bisa memisahkan emosi dengan kemampuan otak dalam berpikir
secara kognitif, karena kedua hal tersebut merupakan faktor yang saling
berhubungan. Emosi merupakan sesuatu hal yang membuat kita lebih
bersemangat untuk belajar, untuk membuat sesuatu.
6. Setiap otak, secara simultan mengamati dan membangun suatu informasi mulai
dari bagian-bagian terkecil, hingga keseluruhan bagian. Dalam pembelajaran,
penting untuk melibatkan kedua belahan hemisfer pada otak secara bersamaan.
7. Belajar melibatkan perhatian yang dipusatkan dan persepsi sekitar. Setiap anak
belajar dari segala hal. Oleh karena itu, keadaan sekeliling menjadi sangat penting.
Jika mereka mempelajari sesuatu di dalam kelas dan tidak pernah
menggunakannya di luar kelas, lalu proses belajar yang mereka lakukan, setiap
hubungan yang terjalin dalam otak mereka, akan berhenti di kondisi tersebut.
8. Belajar selalu melibatkan proses yang terjadi secara langsung dan tidak langsung.
Kita belajar lebih banyak dari segala sesuatu yang secara langsung dapat kita
pahami. Banyak komponen-komponen belajar yang diterima dari lingkungan
sekeliling kita dan langsung masuk ke dalam otak kita tanpa kita sadari dan
langsung berinteraksi dengan level proses belajar secara tidak langsung. Proses
pembelajaran yang aktif mengizinkan siswa untuk meninjau bagaimana dan hal
apa saja yang telah mereka serap, jadi mereka dapat memulai untuk memberi
petunjuk mengenai pembelajaran yang mereka lakukan dan perkembangan
tentang hal-hal apa saja yang telah mereka pahami.
9. Kita memiliki paling sedikit dua tipe memori sistem memori spatial dan satu
pasang sistem untuk pembelajaran hafalan. Sistem memori spatial/sistem
autobiografi tidak membutuhkan latihan dan izin untuk melakukan percobaan dari
memory instan. Pada tingkatan dari sistem memori, segala sesuatu dipelajari
30
dengan cara dihafal. Kita mengingat segala informasi, tetapi bukan berarti kita
dapat menggunakan segala informasi yang kita terima. Saat kita melakukan
percobaan baru yang menstimulus otak siswa untuk mencari makna dari
pembelajaran yang sedang dilakukan, maka akan tumbuh hubungan baru pada sel-
sel otak. Pada proses belajar berarti informasi-informasi yang didapat saling
berhubungan dan dihubungkan dengan si pembelajar. Saat belajar, informasi-
informasi yang diterima perlu diulang dan lebih mudah jika kita mulai dari
gambaran keseluruhan lalu menyusun bagian-bagian kecil konsep agar seluruh
bagiannya dapat dipelajari dengan baik.
10. Otak mengerti dan mengingat dengan sangat baik saat fakta/kenyataan
ditanamkan pada sistem memory spatial. Solusinya adalah menanam tingkatan
pembelajaran dengan menempatkan si pembelajar pada lingkungan belajar seperti
dunia sungguhan/nyata, meminimalkan ancaman, dan memberikan banyak
kesempatan.
11. Dalam proses pembelajaran, perlu diperbanyak kesempatan dan dilarang adanya
ancaman. Belajar akan terjadi secara optimum, saat otak dikondisikan pada
keadaan "waspada yang rileks." Selain itu, ritme/pola hidup kita juga ikut
berpengaruh pada cara belajar yang kita lakukan.
12. Setiap otak itu unik. Hal ini terlihat dari gaya belajar dan cara seseorang
menyimpan informasi dalam sebuah pola. Setiap individu mungkin saja memiliki
banyak kesamaan, tapi sebenarnya mereka sungguh berbeda.
Selain prinsip yang diajukan oleh Caine dan Caine di atas, riset menunjukkan
bahwa otak mengembangkan lima sistem pembelajaran. Given menjelaskan kelima
kerangka ini sebagai berikut.26
1. Sistem Pembelajaran emosional
Guru perlu menciptakan iklim kelas yang nyaman dan kondusif bagi keamanan
emosional dan hubungan pribadi siswa. Guru berfungsi sebagai mentor yang
membantu siswa menemukan hasrat untuk belajar. Ini harus didukung dengan
26 Barbara K. Given, op.cit, hh. 59 - 69
31
membuat pembelajaran yang menarik, relevan, berkaitan, dan bisa dicapai, yakni
mampu menyelesaikan tugas secara mandiri ataupun dibantu guru dan rekan.
2. Sistem Pembelajaran Sosial
Ini merupakan kecenderuangan alamiah untuk menjadi bagian dari kelompok.
Guru perlu menerima perbedaan sebagai kelebihan siswa, memberi penghargaan
dan perhatian kepada siswa. Guru berkolaborasi dengan siswa sebagai mitra
setara, alih-alih sebagai gudang informasi yang menyimpan dan membagi
jawaban.
3. Sistem Pembelajaran Kognitif
Sistem ini berhubungan dengan membaca, menulis, berhitung, dan semua aspek
lain dalam pengembangan kecakapan akademis. Menurut pandangan neurosains
kognitif, guru lebih berperan sebagai fasilitator pembelajaran, sementara siswa
berperan sebagai pemecah masalah dan pengambil keputusan nyata. Konsep
menghapal informasi, juga tidak sesuai dengan neurosains, terutama jika tidak
terdapat keterkaitan antara informasi baru dengan apa yang sudah diketahui
siswa.
4. Sistem Pembelajaran Fisik
Pembelajaran memiliki kecenderungan siswa untuk terlibat aktif dalam banyak hal.
Sistem pembelajaran fisik tugas akademis yang menantang mirip olahraga, dengan
guru melatih, emngilhami, dam mendukung partisipasi aktif siswa.
5. Sistem Pembelajaran Reflektif
Sistem ini melibatkan pertimbangan pribadi terhadap pembelajarannya sendiri. Ia
menimbang-nimbang prestasi dan kegagalannya, mana yang berhasil atau tidak,
dan mana yang perlu ditingkatkan. Ketika guru merencanakan pembelajaran dan
mengajarkannya, mereka harus mempertimbangan semua sistem pembelajaran,
karena setiap sistem sangat penting bagi keseluruhan dan tidak dapat diabaikan
tanpa mengganggu lainnya.
32
K. Implementasi Cognitive Neuroscience dalam Pembelajaran
Cognitive Neuroscience mulai diperkenalkan dalam bidang pendidikan dengan
adanya paradigma brain-based learning (PBL – Pembelajaran Berbasis Otak). Dalam
pembelajaran berbasis kemampuan otak ini, melibatkan pembelajar secara penuh, di
mana pola pembelajaran diubah dari rileks menjadi pola pembelajaran aktif sehingga
setiap simpul-simpul dalam otak dapat memainkan perannya secara utuh.27 Model
pembelajaran ini diyakini juga secara langsung berperan terhadap proses pengkayaan
(enrichment) otak. Adanya pengalaman-pengalaman baru mampu merangsang
pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak.
Lima kunci dalam proses pengkayaan otak ini adalah:
1. Memberikan stimulus baru.
2. Stimulus yang diberikan harus bersifat menantang.
3. Stimulus yang diberikan harus koheren dan bermakna.
4. Pembelajaran terjadi sepanjang waktu.
5. Harus ada sebuah cara bagi otak untuk belajar dari stimuli baru yang menantang
dan menimbulkan umpan balik.
Oleh karenanya, dalam pembelajaran berbasis kemampuan otak ini, perlu
dilaksanakan tahapan kemampuan sebagai berikut: (1) Pra-perencanaan, (2) Persiapan,
(3) Inisiasi dan akuisisi, (4) Elaborasi, (5) Memasukkan memori, (6) Verivikasi dan
pengecekan keyakinan, dan (7) Pengkayaan dan integrasi.
Tiga hal penting dalam belajar menurut Susan (dalam Kushartanti) adalah: 1)
Bagaimana mengambil dan menyimpan informasi dengan cepat, menyeluruh, dan
efisien; 2) Bagaimana menggunakannya untuk menyelesaikan masalah, dan 3)
Bagaimana menggunakannya untuk menciptakan ide. 28
Optimalisasi otak pada dasarnya adalah menggunakan seluruh bagian otak
secara bersama-sama dengan melibatkan sebanyak mungkin indra secara serentak.
27 Diana S. Mandar, op.cit, h. 374.28 Wara Kushartanti, “Perkembangan Aplikasi Neurosains dalam Pembelajaran di TK”, disampaikan
dalam dies natalis UNY ke 40, (Yogyakarta: UNY), hh. 18-21.
33
Berbagai cara yang dapat ditempuh untuk mengoptimalisasi otak dalam kegiatan
pembelajaran adalah sebagai berikut:29
1. Penggunaan berbagai media pembelajaran. Media pembelajaran yang berbeda
merupakan salah satu usaha membelajarkan seluruh bagian otak, baik kiri maupun
kanan, rasional maupun emosional, atau bahkan spiritual. Permainan warna,
bentuk, tekstur, dan suara sangat dianjurkan.
2. Menciptakan suasana gembira karena rasa gembira akan merangsang keluarnya
endorfin dari kelenjar di otak, dan selanjutnya mengaktifkan asetilkoloin di sinaps.
Seperti diketahui sinaps yang merupakan penghubung antar sel saraf
menggunakan zat kimia terutama asetilkolin sebagai neurotransmiternya. Dengan
aktifnya asetilkolin maka memori akan tersimpan dengan lebih baik. Lebih jauh
suasana gembira akan mempengaruhi cara ota dalam memproses, menyimpan,
dan mengambil kembali informasi.
3. Mengkondisikan otak untuk waspada sekaligus relaks. Hal ini dapat dilakukan
dengan musik yang menenangkan dan latihan pernapasan yang dapat
menghilangkan pikiran yang mengganggu. Musik juga dapat mengaktifkan otak
kanan untuk siaga menerima informasi dan membantu memindahkan informasi
tersebut ke dalam bank memori jangka panjang. Kondisi relaks dan waspada
merupakan pintu masuk bawah sadar. Jika informasi dibacakan dengan dibarengi
musik, maka akan mengambang dibawah sadar dan ditransmisikan dengan lebih
cepat serta disimpan dalam “file” yang benar.
4. Menyimpan informasi dengan pola asosiatif dan tidak linier merupakan langkah
pertama menuju pengembangan kemampuan otak yang belum dikembangkan.
5. Asupan oksigen yang cukup. Berhentinya pasokan oksigen akan merusak sel-sel
saraf di otak. Ruang kelas dengan penyediaan oksigen yang berlimpah sangat
kondusif untuk belajar. Pohon dengan daun rimbun di luar kelas dapat menjadi
sumber oksigen.
29 Wara Kushartanti, op.cit, hh. 18-21.
34
6. Belajar melalui praktik, sehingga melibatkan banyak indra sehingga memori akan
lebih mantap. Selain itu, karena tiap orang memiliki dominasi indra yang berbeda,
melibatkan banyak indra akan menyentuh dominasi tersebut dan meningkatkan
optimalisasi otak.
Di Indonesia sendiri, para guru telah disarankan menggunakan berbagai
metode yang dapat memaksimalkan kemampuan otak anak. Bisa dibilang, guru di
Indonesia telah menerapkan neurosains kognitif dalam pembelajaran yang dilakukan,
sekalipun paradigm yang melatarbelakanginya belumlah diketahui jelas oleh guru yang
bersangkutan. Contohnya penerapannya adalah sebagai berikut:
1. Dalam pembuatan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), guru diminta untuk
melaksanakan tahapan pembelajaran di kelas dengan adanya kegiatan-kegiatan
pendahuluan, inti, dan penutup. Di mana di dalam ketiga tahapan ini terdapat pula
kegiatan elaborasi dan refleksi.
2. Guru semakin menyadari pentingnya penggunaan berbagai metode pembelajaran
dan penggunaan media yang berbeda dalam setiap pertemuan. Termasuk model
pembelajaran berkelompok yang mementingkan keaktifan siswa.
3. Paradigma guru yang kini ditanamkan bukanlah sebagai satu-satunya sumber
kebenaran. SIswa justru diharapkan aktif mencari berbagai sumber belajar,
sehingga membutuhkan pemikiran yang lebih.
4. Pentingnya pembentukan suasana belajar yang menyenangkan semakin disadari,
sehingga pelaksanaan pembelajaran di kelas tidaklah menakutkan atau
membosankan, namun dibentuk agar relaks dan menyenangkan. Dengan semakin
banyaknya penelitian mengenai neurosains kognitif, semakin penting pula
penerapannya dalam pendidikan, sehingga meningkatkan proses dan hasil
pembelajaran.
35
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Neurosains kognitif ini merupakan bidang studi yang menghubungkan otak dan
aspek-aspek lain sistem syaraf, khususnya otak dengan pemrosesan kognitif, dan
akhirnya dengan perilaku.
Otak merupakan organ dalam tubuh manusia yang mengontrol langsung
pikiran, emosi, dan motivasi manusia. Otak bersifat direktif sekaligus reaktif terhadap
organ-organ tubuh yang lain. Sementara sistem saraf, merupakan dasar bagi
kemampuan manusia untuk memahami, beradaptasi, dan berinteraksi dengan dunia
sekitar. Melalui sistem ini, manusia menerima, memroses, dan merespon informasi dari
lingkungan. Terdapat beberapa metode dalam mempelajari otak manusia. Sternberg
menjelaskan lima metode, yakni: (1) studi post mortem, (2) studi terhadap hewan, (3)
rekaman-rekaman listrik, (4) teknik pencitraan statis, dan (5) Pencitraan metabolis.
Cognitive Neuroscience ini sebenarnya merupakan penerapan neurosains
dalam psikologi kognitif. Studi ini mengkaji otak sekaligus mempelajari mental. Bisa
dibilang merupakan cara baru dalam mempelajarai psikologi kognitif. Studi ini
memetakan wilayah-wilayah spesifik di otak beserta fungsinya, dan mengkaitkannya
dengan proses kognitif. Merupakan sebuah bidang akademis yang mempelajari secara
ilmiah substrat biologis dibalik kognisi, dengan fokus khusus pada substrat syaraf dari
proses mental.
Prinsip utama yang melatar belakangi terlaksananya pembelajaran berbasis
otak menurut Caine dan Caine menjelaskan 12 prinsip pembelajaran secara alami.
Prinsip ini menjadi dasar bagi brain-based learning yang banyak berkembang kini.
Kedua belas prinsip tersebut disajikan sebagai berikut: (1) Otak merupakan processor
parallel, (2) Belajar melibatkan seluruh fisiologi tubuh, (3) Pencarian makna dilakukan
secara innate, (4) Pencarian makna terjadi dengan "berpola.", (5) Emosi merupakan
35
36
salah satu bagian penting dalam pembentukan pola, (6) Setiap otak, secara simultan
mengamati dan membangun suatu informasi mulai dari bagian-bagian terkecil, hingga
keseluruhan bagian, (7) Belajar melibatkan perhatian yang dipusatkan dan persepsi
sekitar, (8) Belajar selalu melibatkan proses yang terjadi secara langsung dan tidak
langsung, (9) Kita memiliki paling sedikit dua tipe memori sistem memori spatial dan
satu pasang sistem untuk pembelajaran hafalan, (10) Otak mengerti dan mengingat
dengan sangat baik saat fakta/kenyataan ditanamkan pada sistem memory spatial, (11)
Dalam proses pembelajaran, perlu diperbanyak kesempatan dan dilarang adanya
ancaman, dan (12) Setiap otak itu unik.
Cognitive Neuroscience mulai diperkenalkan dalam bidang pendidikan dengan
adanya paradigma brain-based learning (PBL – Pembelajaran Berbasis Otak). Dalam
pembelajaran berbasis kemampuan otak ini, melibatkan pembelajar secara penuh, di
mana pola pembelajaran diubah dari rileks menjadi pola pembelajaran aktif sehingga
setiap simpul-simpul dalam otak dapat memainkan perannya secara utuh.
Adanya pengalaman-pengalaman baru mampu merangsang pertumbuhan dan
perkembangan sel-sel otak. Lima kunci dalam proses pengkayaan otak ini adalah: (1)
Memberikan stimulus baru, (2) Stimulus yang diberikan harus bersifat menantang, (3)
Stimulus yang diberikan harus koheren dan bermakna, (4) Pembelajaran terjadi
sepanjang waktu, dan (5) Harus ada sebuah cara bagi otak untuk belajar dari stimuli
baru yang menantang dan menimbulkan umpan balik.
B. Rekomendasi
Optimalisasi otak pada dasarnya adalah menggunakan seluruh bagian otak
secara bersama-sama dengan melibatkan sebanyak mungkin indra secara serentak.
Berbagai cara yang dapat ditempuh untuk mengoptimalisasi otak dalam kegiatan
pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan berbagai media pembelajaran. Media pembelajaran yang berbeda
merupakan salah satu usaha membelajarkan seluruh bagian otak, baik kiri maupun
37
kanan, rasional maupun emosional, atau bahkan spiritual. Permainan warna,
bentuk, tekstur, dan suara sangat dianjurkan.
2. Menciptakan suasana gembira karena rasa gembira akan merangsang keluarnya
endorfin dari kelenjar di otak, dan selanjutnya mengaktifkan asetilkoloin di sinaps.
Seperti diketahui sinaps yang merupakan penghubung antar sel saraf
menggunakan zat kimia terutama asetilkolin sebagai neurotransmiternya. Dengan
aktifnya asetilkolin maka memori akan tersimpan dengan lebih baik. Lebih jauh
suasana gembira akan mempengaruhi cara ota dalam memproses, menyimpan,
dan mengambil kembali informasi.
3. Mengkondisikan otak untuk waspada sekaligus relaks. Hal ini dapat dilakukan
dengan musik yang menenangkan dan latihan pernapasan yang dapat
menghilangkan pikiran yang mengganggu. Musik juga dapat mengaktifkan otak
kanan untuk siaga menerima informasi dan membantu memindahkan informasi
tersebut ke dalam bank memori jangka panjang. Kondisi relaks dan waspada
merupakan pintu masuk bawah sadar. Jika informasi dibacakan dengan dibarengi
musik, maka akan mengambang dibawah sadar dan ditransmisikan dengan lebih
cepat serta disimpan dalam “file” yang benar.
4. Menyimpan informasi dengan pola asosiatif dan tidak linier merupakan langkah
pertama menuju pengembangan kemampuan otak yang belum dikembangkan.
5. Asupan oksigen yang cukup. Berhentinya pasokan oksigen akan merusak sel-sel
saraf di otak. Ruang kelas dengan penyediaan oksigen yang berlimpah sangat
kondusif untuk belajar. Pohon dengan daun rimbun di luar kelas dapat menjadi
sumber oksigen.
6. Belajar melalui praktik, sehingga melibatkan banyak indra sehingga memori akan
lebih mantap. Selain itu, karena tiap orang memiliki dominasi indra yang berbeda,
melibatkan banyak indra akan menyentuh dominasi tersebut dan meningkatkan
optimalisasi otak.
38
DAFTAR PUSTAKA
Barbara K. Given. Brain-Based Teaching: Merancang Kegiatan Belajar-Mengajar yangMelibatkan Otak Emosional, Sosial, Kognitif, Kinestetis, dan Reflektif, cet. 2. Penj.Lala Herawati Dharma. Bandung: Mizan Pustaka. 2007.
Coffield, Moseley, Hall, E., & Ecclestone, K. “Learning Styles and Pedagogy In Post-16Learning: A Systematic And Critical Review”, (Report No. 041543). London: Learningand Skills Research Centre. 2004.
Diana S. Mandar. “Peranan Cognitive Neuroscience dalam Bidang Pendidikan”. ProsidingSnaPP2011 Sains, Teknologi, dan Kesehatan.Vol 2 No 1 tahun 2011.
Gazzaniga, et.al. Cognitive Neuroscience: The Biology of the Mind. New York: Norton, 2002.
http://www.cainelearning.com/files/Learning.html. An understanding of learning based onthe Caines' renowned 12 brain/mind learning principles. (diakses 15 Januari 2013).
http://en.wikipedia.org/wiki/Korsakoff%27s_syndrome. (diakses 15 Januari 2013).
Lusi Nur Ardhiani. Psikologi Kognitif. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahan Ajar UniversitasMercubuana. 2011,
Paul Howard-Jones, et.al. Neuroscience and Education: Research and Opportunities.London: TLRP & ESRC. 2012.
Robert J. Sternberg. Cognitive Psychologi, 4th Edition. Belmont: Wadsworth, CengageLearning. 2008.
S.J. Pickering dan Joward-Jones. “Educator’s View of the Role of Neuroscience InEducation:A Study of UK and International Perspective”. Mind, Brain and Education, Vol 1.
Taufik Pasiak. Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk KesuksesanHidup. Bandung: Mizan. 2006.
Wara Kushartanti. “Perkembangan Aplikasi Neurosains dalam Pembelajaran di TK”,disampaikan dalam dies natalis UNY ke 40. Yogyakarta: UNY.
Wilson, R.S. “Mental Challange in the Workplace and Risk of Dementia in Old Age: Is There aConnection?”. Occupational and Environmental Medicine vol 62.