Post on 04-Dec-2015
description
CASE I
CKD, Hipertensi dan Anemia e.c DM II dan Kanker Serviks
Oleh:
Oryza Sativa, S.Ked
Pembimbing:
dr. I Wayan Mertha, Sp. PD
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD DR HARDJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
1
CASE REPORT I
CKD dan Hipertensi Anemia e.c DM II dan Kanker Serviks
Yang diajukan oleh :Oryza Sativa, S.Ked
J510155020
Telah disetujui dan disahkanoleh bagian Program Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta, Pada hari Sabtu, tanggal Juni 2015
Pembimbing :dr. I Wayan Mertha, Sp. PD (………………….)
Dipresentasikan dihadapan :dr. I Wayan Mertha, Sp. PD (………………….)
Disahkan Ka. Program Profesi :dr. D. Dewi Nilawati (………………….)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA2015
2
BAB I
STATUS PENDERITA
I. ANAMNESA
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. S
Umur : 63tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Siman, Ponorogo
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status Pernikahan : Menikah
Masuk RS : 7 Juni 2015
Pemeriksaan : 16Juni 2015
B. Keluhan Utama : Mual dan muntah.
C. Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang pasien datang ke IGD RSUD Dr. Harjono Ponorogo tanggal 7 juni 2015
diantarkan oleh keluarga dengan keluhan mual dan muntah sejak 1 hari SMRS. Pasien
mengeluh mual dan muntah setiap kali deberi makandan membuat nafsu makannya
menurun. Muntah 1-2x sehari yang didahului dengan rasa mual, volume setiap kali
muntah kurang lebih setengah gelas aqua, berisi makanan yang sebelumnya dimakan.
Keluhan lain seperti pusing, batuk, pilek dan sesak nafas tidak dirasakan.
Pasien mengaku sejak 2 bulan yang lalu di diagnosa dengan kanker serviks di
RSUD Dr. Moewardi Solo dengan keluhan keluar darah dari vagina secara terus menerus.
Didapatkan pula pasien memiliki riwayat hipertensi dan berobat rutin ke puskesmas dan
pasien juga memiliki riwayat DM sejak 5 tahun yang lalu dan tidak berobat rutin.
3
D. Riwayat Penyakit Dahulu :
a. Riwayat Komorbid lain : Riwayat tekanan darah tinggi(+), jantung(-), DM
(+), liver (-), asma (-), ginjal (-).
b. Riwayat opname : disangkal
c. Riwayat alergi : disangkal
d. Riwayat operasi : disangkal
e. Riwayat trauma : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat Keluarga sakit Serupa : disangkal
2. Riwayat Keluarga : HT (-), DM (-), jantung (-), Liver (-)
3. Riwayat atopi : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat Merokok : disangkal
b. Riwayat Minum alkohol : disangkal
c. Makan pedas : diakui (freq. jarang)
d. Minum kopi : disangkal
e. Minum Teh : diakui (freq. jarang)
f. Minum Jamu : disangkal
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum
KU : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis ( GCS E4 V5 M6)
Gizi : Kesan cukup
4
B. Vital Sign
TD : 160/90 mmHg
Nadi :85x/menit regular
RR :22x/menit
S : 36,8o C
C. Status Generalis1. Kepala : simetris (+), deformitas (-), konjungtiva anemis (+/+),
sclera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil isokor (+)2. Leher : simetris (+), deviasi trakea (-), peningkatan JVP (-),pembesaran limfe (-)3.Kulit : dalam batas normal4. Thoraks
Inspeksi Statis : Normo chest, simetris
Dinamis : Pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
Palpasi Statis : Dada kanan dan kiri simetris.
Dinamis : Pergerakan dada kanan sama dengan dada kiri,
fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri.
Perkusi Kanan : Sonor
Kiri : sonor, mulai redup sesuai pada batas jantung, batas paru
lambung di Spatium Inter Costale (SIC) V linea
medioclavicularis sinistra.
Auskultasi Kanan : suara dasar vesikulernormal, suara tambahan ronchi basah
kasar (-), ronchi basah halus (-), wheezing (-).
Kiri : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan ronchi basah
kasar (-), ronchi basah halus (-), wheezing (-).
5. Jantung
1) Inspeksi : Ictus cordis tampak
2) Palpasi : Ictus cordis kuat angkat
5
3) Perkusi
Batasjantung :
Batas jantung kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah : SIC Vlineamedioklavicularis sinistra
4) Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, reguler, bising jantung (-)
6. Abdomen
Inspeksi: Dinding dadasimetris dengan dinding perut, distended (-),
sikatrik (-), stria (-), caput medusa (-).
Auskultasi: Peristaltik (+) normal
Perkusi: Tympani
Palpasi: Supel, nyeri tekan (-) daerah suprapubik dan punggung bawah,Hepar,
lien dan ren tidak teraba, balotement ginjal (-)
7. Ekstremitas
Ekstremitas Akral dingin Odem
_ _
_ _
_ _
+ +
Pitting udem
Sianotik Clubbing fingger
_ _
_ _
_ _
_ _
Palmar eritem (-)
6
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium
(12-06-2015)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit 8,7 µL 4.0-10.0
Lymph# 1,3 µL 0.8-4
Mid# 1.0 µL 0.1-0.9
Gran# 6,4 µL 2-7
Lymph% 15,3 % 20-40
Mid% 11,4 % 3-9
Gran% 73,3 % 50-70
Hb 6,0 g/dl 11-16
Rbc 2,43 µL 3.5-5.5
Hct 18,2 % 37.0-50.0
Plt 337 g/dl 150-400
MCV 75,1 fL 82.0-95.0
MCH 24,7 Pg 27.0-31.0
MCHC 32,9 g/dl 32.0 – 36.0
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
TBIL 0,3 Mg/dl 0-0,35
DBIL 0,69 Mg/dl 0,2-1,2
SGOT 36,8 µL 0 – 38
SGPT 27,1 µL 0 – 40
Urea 183,96 mg/dl 10 – 50
Creat 16,57 mg/dl 0.7 – 1.4
UA 9,8 mg/dl 3.4 – 7.0
Chol 138 mg/dl 140 – 200
TG 138 mg/dl 36 – 165
HDL 31 mg/dl 35-150
LDL 79 mg/dl 0 – 190
7
ALP 184 mmol/L 135 – 148
Gamma GT 14 mmol/L 3.5 – 5.3
Alb 2,8 mmol/L 9.8 – 10,7
Glob 3,7 mg/dl 8.1 – 10.4
HbsAG test (-)
GDA Tanggal
176 mg/dl 7 Juni 2015
143 mg/dl8 Juni 2015
111 mg/dl9 Juni 2015
150 mg/dl 11 Juni 2015
8
B. Pemeriksaan EKG
9
C. Pemeriksaan USG Abdomen
10
IV. Resume
S : Ny. S mengeluh mual dan muntah setiap kali diberi makan dan membuat nafsu
makannya menurun. Muntah 1-2x sehari yang didahului dengan rasa mual,
volume setiap kali muntah kurang lebih setengah gelas aqua, berisi makanan
yang sebelumnya dimakan. Keluhan lain seperti pusing, batuk, pilek dan sesak
nafas tidak dirasakan. Pasien juga mengeluh kakinya bengkak sejak 1 bulan yang
lalu dan pada vagina selalu keluar darah segar sehingga membuat pasien terlihat
lemah.
O : Sedang, Compos mentis, TD :160/90 mmHg, N : 85x/menit, RR : 22x/menit, S:
36,8o C. Pmx fisik Konjungtiva tampak anemis (+/+) dan pitting oedem pada
ekstremitas bawah (+/+). Pmx Lab didapatkan HB 6, RBC 2.43 HCT 18.2 MCV
75.1 MCH 24.7. GDA 150. SGOT 36.8 ALB 2.8 UREA 183.96 CREAT 16.57 UA
9.8 CHOL 138. Pmx USG : Hidronefrosis Grade II bilateral ok obstruksi post
renal.
A : CKD, hipertensi dan Anemia e.c DM II dan Kanker Serviks
P : - infuse PZ + 2 meylon 10 tts
- Irbersartan tab 150 mg 1dd1
- Hemodialisa
- Furosemid amp 3dd1
- Batasi Cairan
- Diet TKRP : protein 36 g/hari, lemak : 1800kkal/hari
- Lanzoprazol caps 30 mg 0-0-1
- Metoclopramide amp 3x10 mg
- Antasida syr fl 3 dd c 1
- Epoetin β inj 3x20IU/kg/minggu ( jika ST ≥ 20%)
- Zat Besi tab 200 mg 3dd1
- Asam Folat tab 5 mg 3dd1
- Irbersartan 150 mg 1dd1
- Amilodipin inj 10 mg 1dd1
11
- Glicuidon tab 30 mg 3dd1
VI. PROBLEM ORIENTED MEDICAL RECORD (POMR)
Abnormalitas Problem Assessment IP Dx IP Tx IP Mx
Mual dan
muntah
Nafsu makan
↓
Kaki bengkak
UREA
183.96
CREAT
16.57
LFG = 2,7
CKD CKD Grade V DL Kimia
darah USG
abdomen
Diet TKRP : protein 0,6-0,8/kgBB/hari, jumlah kalori yg diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari
Batasi Cairan Lanzoprazol
caps 30 mg 0-0-1
Metoclopramide amp 3x10 mg
Antasida syr fl 3 dd c 1
Hemodialisa
Klinis
dan
kimia
darah
Keluar darah
pada Vagina
secara terus
menerus
Perdarahan Kanker Serviks Histo
patol
ogi
Endo
skopi
(sisto
skopi
dan
rekto
skopi
)
Kemoterapi Konsul Obsgyn
Klinis
Anemia
Hb: 6Anemia
Anemia
Hipokromik Hapusan darah tepi
Epoetin β inj
3x20IU/kg/mingg
Klinis
dan DL
12
MCV 75.1
MCH 24.7
Mikrositer u ( jika ST ≥ 20)
Zat Besi tab
200 mg 3dd1
Asam Folat tab
5 mg 3dd1
Riwayat Ht
(+)
TD : 160/90
Hipertensi Hipertensi Stage
II
Funduskopi Irbersartan tab 150 mg 1dd1
Furosemid amp 3dd1
Klinis
dan vital
sign
Riwayat DM
(+)
GDA 150
Diabetes Melitus Diabetes Melitus
Tipe II
HbA1c
GDA
Glicuidon tab 30 mg 3dd1
Klinis,
HbA1c
dan
GDA
BAB II
13
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus Tipe IIa. Definisi
Diabetes melitus tipe II didefinisikan sebagai kumpulan dari gejala yang timbul
karena peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal yang umumnya didapat
setelah dewasa, yang ditandai dengan rasa haus yang berlebih (polidipsi), sering kencing
(poliuri) terutama malam hari, sering lapar (poliphagi), berat badan yang turun secara
drastis, lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan kabur,
impotensi, luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan
kulit, dan pada ibu-ibu yang menderita dapat melahirkan bayi dengan berat badan ≥ 4
kg.13
b. Faktor Risiko
Orang tua yang menderita diabetes kemungkinan untuk anak-anaknya menderita
diabetes juga ikut berpeluang, tetapi bukan hanya faktor keturunan diperlukan faktor lain
yang disebut sebagai faktor risiko seperti, kegemukan, pola makan yang salah,
mengkonsumsi obat yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah, penuaan, stres dan
lain-lain.15
c. Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis DM dapat ditegakkan jika memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut
:
1) Kadar glukosa darah puasa ≥ 7,0 mmol/L (≥ 126 mg/dL). Puasa dengan tanpa
asupan kalori minimal selama 8 jam.
2) Ditemukannya gejala klinis berupa poliuri, polidipsi, polifagi, berat badan
menurun, dan kadar gula darah sewaktu >200mg/dL (11,1 mmol/L)
3) Pada penderita yang asimptomatis didapatkan kadar glukosa darah sewaktu >200
mg/dL atau tingginya kadar glukosa darah puasa lebih dari normal berdasarkan hasil tes
toleransi glukosa yang terganggu lebih dari satu kali pemeriksaan4,15
d. Penatalaksanaan
1. Terapi Tanpa Obat
Pengaturan Diet
14
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
- Karbohidrat : 60-70%
- Protein : 10-15%
- Lemak : 20-25%
Jumlah kalori yang disesuaikan dengan pertumbahan, status gizi,umur stress akut dan
kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat
badan ideal.
Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per
hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang
tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap
dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih.
Olah Raga
2. Farmakoterapi
Terapi Insulin
Indikasi terapi insulin
- Mutlak : Diabetes mellitus tipe 1
- Relatif :
Gagal mencapai target dengan penggunaan kombinasi OHO dosis
optimal (3-6 bulan)
Diabetes mellitus tipe 2 rawat jalan dengan :
o Kehamilan
o Infeksi paru (tuberculosis)
o Kaki diabetik terinfeksi
o Fluktuasi glukosa darah yang tinggi (brittle)
o Riwayat ketoasidosis berulang
o Riwayat Pankreatomi
Selain indikasi di atas, terdapat beberapa kondisi tertentu yang
memerlukan pemakaian insulin, seperti penyakit hati kronis, gangguan
fungsi ginjal, dan terapi steroid dosis tinggi.
15
Obat hipoglikemikn oral (OHO)2,3,10
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat
dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik
oral golongan sulfonylurea dan glinida (meglitinida dan turunan
fenilalanin).
Sensittiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel
terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanid dan
tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin
secara lebih efektif.
Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase
yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk
mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia)
disebut juga “starch-blocker”.
16
17
e. Komplikasi
3. Retinopati Diabetes
Konsentrasi glukosa darah yang tinggi dapat menyebabkan
perdarahan dalam retina, yang dapat menyebabkan gangguan
penglihatan hingga kebutaan.
4. Nefropati diabetes
Komplikasi yang ditimbulkan dari diabetes melitus terhadap ginjal
adalah berupa nefropati, dengan gejala pertama yang muncul ialah
pengeluaran protein bersama urin (proteinuria), selanjutnya dapat
terjadi gagal ginjal yang akhirnya memerlukan hemodialisa. Kondisi
ini juga dapat meningkatkan tekanan darah tinggi yang juga
merupakan komplikasi dari diabetes. tekanan darah yang tinggi dapat
menyebabkan kerusakan ginjal yang lebih cepat.
5. Neuropati diabetes
Salah satu komplikasi diabetes yang menyebabkan kerusakan saraf
dengan gejala tidak dapat membedakan suhu panas, dingin serta
memiliki ambang rasa sakit yang berkurang. Kaki pasien diabetes yang
mengalami komplikasi terancam bahaya 2 kali lipat dibandingkan
dengan individu tanpa menderita diabetes.4,,10,14
B. Kanker Serviks
a. Definisi
Kanker serviks merupakan kanker primer dari servik (kanalis servikalis dan/ atau
porsio). Perjalanan penyakit karsinoma sel skuamosa serviks merupakan salah satu
model karsinogenesis yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga
tumbuh menjadi kanker invasive. 12,17
18
b. Klasifikasi
Jenis histopatolik kanker serviks menurut WHO dibagi menjadi sebagai
berikut.11,12
Tabel 4 Klasifikasi Histopatologik Kanker Serviks
Epitelial
Karsinoma sel skuamosa
Keratin, karsinoma sel skuamosa yang mengandung mutiara keratin
Nonkeratin, tidak mengandung mutiara keratin;
Veruka
Kandilomatosa
Papilaria
Lymphoepithelioma-like karsinoma
Adenokarsinoma
Adenokarsinoma musinosum
Endoserviks
Intestinal
Adenokarsinoma endometroid
Adenokarsinoma sel jernih (clear cell)
Adenokarsinoma serosum
Adenokarsinoma mesonefroid
Karsinoma adenoskuamosa
Glassy cell carcinoma
Karsinoma Kistik Adenoid
Karsinoma Basal Adenoid
Karsinoid tumor
Karsinoma sel kecil
Karsinoma undiferensiasi
Mesenkimal
Leiomiosarkoma
19
Sarkoma Stroma Endoserviks
Sarcoma Botryoides
Sarkoma Stroma Endometroid
Alveolar soft-part sarcoma
c. Diagnosis
Diagnosis kanker serviks ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan
fisik serta pemeriksaan histopatologis yang kemudian ditunjang dengan
pemeriksaan laboratorium (termasuk pemeriksaan fungsi hati dan ginjal),
pemeriksaanradiologi (foto rontgen torak, foto polos abdomen, pielografi
intravena), serta pemeriksaan sistokopi vesika urinaria dan endoskopi rectum.12
Prosedur diagnosis adalah
1. Klinik
Anamnesis termasuk keluhan dan tanda-tanda, seperti perdarahan, leukore,
dan yang berhubungan dengan penyebaran, pemeriksaan fisik dan ginekologik.
2. Pemeriksaan Fisik
- Umum
- Pemeriksaan Ginekologis
3. Histologi
Diagnosis harus dikonfirmasikan dengan pemeriksaan histoogi
- Biopsy diambil dari tumor primer pada jam 9dan jam 3, diambil
jaringan segar kemudian dimasukkan ke dalam buffer formalin
- Sediaan operasi, yaitu uterus dengan atau tanpa adneksa, KGB
paraaorta, iliaka komunis, iliaka eksterna, interna dan obturatoria
4. Radiologic
5. Endoskopi (sistokopi dan rektoskopi)
6. laboratorium
d. Gejala dan Tanda Penyakit
1. Keputihan
20
2. Pendaraahan
Akan terjadi bila sel-sel rahim telah berubah sifat menjadi kanker dan menyerang
jaringan-jaringan di sekitarnya.
3. Pendarahan hebat diluar siklus menstruasi, dan setelah berhubungan seks sifatnya
bisa intermenstruil, atau erdarahan kontak. Perdarahan kontak adalah peradarahan
yang di alami setelah berhubungan seksual. Perdarahan yang timbul akibat
terbukanya pembuluh darah makin lama akan lebih sering terjadi, juga di luar
senggama. Perdarahan ini merupakan gejala karsinoma serviks (75-80%).
4. Rasa nyeri saat berkemih
Ini disebabkan karena terjadinya kerentanan pada vesika urinaria (bladder
irriabillty) dan perangsangan rectum (recta discomfort). Kemudian bisa timbul
fistel vesico vaginal. Ureter bisa tersumbat dan penderita meninggal karena
uremia.
5. Siklus menstruasi tidak teratur
6. Nyeri selama berhubungan seks
7. Pendarahan pada masa pra atau paska menopause
8. Bila kanker sudah mencapai stadium tinggi, akan terjadi pembengkakan
diberbagai anggota tubuh seperti betis, paha, tangan dsb.12,17
C. Hubungan Kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal
Obstruksi ureter merupakan komplikasi yang sering terjadi pada kanker
serviks karena metastasis ke atas mengikuti alur KGB. Penyebab utamanya
adalah factor letak anatomi ureter yang pada jarak 2,5 cm dari uretro-pelvic-
junction berjalan di samping serviks dengan jarak kurang dari 1 cm. obstruksi
dapat terjadi baik akibat penekanan massa maupun akibat dari terapi radiasi pada
serviks. Lokasi obstruksi yang kedua adalah pada tulang pelvis tepatnya di ureter
yang melewati vasa iliaka dapat terkena metastasis limfatik.
Terjadi gangguan fungsi ginjal yaitu berupa nefropati obstruktif yang merupakan
perubahan struktur dari anatomi ginjal disertai penurunan faal ginjal dengan
perjalanan penyakit akut atau kronis dan memperlihatkan adanya ginjal
kontralateral yang mengalami pengisutan yang disertai penurunan faal ginjal.
Obstruksi yang terjadi akibat metastase ke atas mengikuti alur KGB akibatnya
21
karsinoma yang terbentuk menekan ureter atau berkas jaringan parut akibat
abses atau inflamasi dekat ureter dan menjepit saluran tersebut, kemudian terjadi
akumulasi urine di piala ginjal yang akan menyebabkan distensi piala dan
kaliks.ginjal. Pada saat ini, atrofi ginjal terjadi. Ketika salah satu ginjal sedang
mengalami kerusakan bertahap, ginjal yang lain akan membesar secara bertahap
(hipertrofi kompensatori) akhirnya fungsi renal menjadi terganggu.11,12,17
D. Gagal ginjal Kronis
a. Definisi
Cronic kidney Disease (CKD) merupakan salah satu dari penyakit
renal tahap terminal. CKD merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversible, dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan elektrolit yang
menyebabkan uremia atau retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah.
Dengan Kriteria Penyakit Ginjal Kronik :
1. Kerusakan ginjal (renal demage) yang terjadi lebih dari 3 bulan,
berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelelahan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2
selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan
LFG sama atau lebih dari 60ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk criteria
penyakit ginjal kronik.6,16
22
b. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, dasar
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi dan dibuat atas
dasar LFG, yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-
Gault sebagai berikut :
LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140-umur) X Berat Badan
72 X kreatinin plasma (md/dl)
*pada perempuan dikalikan 0,86.6
Tabel 1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG
1
2
3
4
5
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat
Gagal ginjal
≥ 90
60-89
30-59
15-29
< 15 atau dialysis
Tabel 2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non
diabetes
- Penyakit glomerular (penyakit autoimun,
infeksi sistemik, obat, neoplasma)
- Panyakit vascular (penyakit pembuluh darah
besar, hipertensi, minroangiopati)
- Penyakit tubulointestinal (pielonefritis kronik,
23
batu, obstruksi, keracunan obat)
- Penyakit kistik (ginjal polikistik
Penyakit pada
transplantasi
- Rejeksi kronik
- Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
- Penyakit recurrent (glomerular)
- Transplantasi glomerulopathy
c. Patofisiologi
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional
nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang
diperentarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan dengan penurunan fungsi nefron yang progressif, walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis rennin –
angiostensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis
rennin-angiostensin-aldosteron intrarenal, sebagian diperantarai oleh growth factor
seperti transforming growth factor β(TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap
berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiprglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointestinal.
Pada stadium paling dini penyakit ginjl kronik, terjadi kehilangan daya cadang
ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkaat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 60% , pasien masih belum merasakan keluhan
(asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturi, badan
24
lemah, mual, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG
di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti,
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi
saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15%
akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan
terapi pengganti ginjal 9renal replacement therapy) antara lain dialysis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal
ginjal.5,6
d. Pendekatan diagnosis
1. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
- Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti diabetes
mellitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemi, lupus eritromatosus sistemik (SLE) dan lain-lain
- Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload),
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma
- Gejala komplikasi antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolic, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, khlorida)
2. Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
- Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
- Penurunan fungsi ginjal beupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum
saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal
25
- Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolic
- Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria
3. Gambaran radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit GGK meliputi :
- Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
- Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak
bisamelewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadapginjal yang sudah
mengalami kerusakan
- Pielografi antegrad atau retrogard dilakukan sesuai indikasi
- Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista,
massa, kalsifikasi
- Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi.5,6
26
e. Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit GGk sesuai dengan derajatnya
1. Pengaturan asupan protein
27
Tabel 3. Rencana Tatalaksanaan Penyakit GGK sesuai dengan derajatnya
Derajat LFG(ml/mnt/1,73m2) Rencana tatalaksana
1 >90 Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi pemburukan
(progession) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat pemburukan
(progession) fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti
ginjal
5 <15 Terapi pengganti ginjal
Tabel 3. Pembatasan Asupan Protein pada Penyakit GGK
LFG ml/menit Asupan protein g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan
25-60 0,6-0,8/kg/hari
5-25 0,6-0,8/kg/hari atau tambahan 0,3 g asam amino
esensial atau asam keton
<60 0,8/kg/hari ( = 1 gr protein /g proteinuria atau
0,3 g/kg tambahan asam amin0 esensial atau
asam keton
2. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari
3. Pengaturan asupan lemak; 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang
sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
4. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
5. Garam (NaCl): 2-3 ram/hari
6. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
7. Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD: 17 mg/hari
8. Kalsium: 1400-1600 mg/hari
9. Asam folat pasien HD: 5 mg
10. Air: jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss)
Terapi farmakologis
1. kontrol tekanan darah
- penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiostensin II
evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan
kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan
- penghambat kalsium
- diuretic
2. pada pasien DM, kontrol gula darah hindari pemakaian metformin
3. obat-obat sulfonylurea dengan masa kerja panjang. Target hbA1C untuk DM tipe 1
0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
4. koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
5. kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), kalsitrol
6. koreksi asidosis metabolic dengan target HCO3 20-22 mEq/l
7. koreksi hiperkalemia
8. kontrol dislipidemia dengan target LDL 100 mg/dl dianjurkan golongan statin
9. terapi ginjal pengganti.5,6,16
28
E. Hipertensi
a. Definisi
Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah yang sama atau melebihi 140
mmHg systole dan/atau sama atau melebihi 90 mmHg diastole pada seseorang yang tidak
sedang menggunakan obat anti hipertensi.8
b. Epidemiologi
Data epidemiologi menunjukkan bahwa dengan makin meningkatnya populasi usia
lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah,
dimana baik hipertensi sistolik dan diastolic sering timbul pada lebih dari separuh orang
yang berusia > 65 tahun.8
c. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 golongan antara lain yaitu :
Hipertensi esensial / primer : hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik.
Hipertensi sekunder :merupakan akibat dari obat atau faktor eksogen,
berhubungan dengan kelainan endokrin, kelainan ginjal, kehamilan, dan kelainan
saraf.8
d. Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko pada pasien hipertensi antara lain yaitu :
Merokok
Obesitas (BMI ≥ 30)
Kurangnya aktivitas fisik
Usia (pria > 55 tahun, wanita >65 tahun)
Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler dini
29
Mikroalbuminuria (GFR < 60 ml/menit)
Dislipidemia
Diabetes mellitus
e. Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi hipertensi menurut JNC VII 8
KLASIFIKASI
TD
SISTOLE
(mmHg)
DIASTOLE
(mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Pre Hipertensi 120 – 139 atau 80 – 89
Hipertensi derajat 1 140 – 159 atau 90 – 99
Hipertensi derajat 2 ≥ 160 atau ≥ 100
f. Patofisiologi
Hipertensi Primer / esensial
Beberapa teori patogénesis hipertensi primer meliputi :
Aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf simpatik
Aktivitas yang berlebihan dari sistem RAA
Retensi Na dan air oleh ginjal
Inhibisi hormonal pada transport Na dan K melewati dinding sel pada ginjal dan
pembuluh darah
Interaksi kompleks yang melibatkan resistensi insulin dan fungsi endotel
Sebab – sebab yang mendasari hipertensi esensial masih belum diketahui. Namun
sebagian besar disebabkan oleh resistensi yang semakin tinggi (kekakuan atau
kekurangan elastisitas) pada arteri – arteri yang kecil yang paling jauh dari jantung
(arteri periferal atau arterioles), hal ini seringkali berkaitan dengan faktor-faktor genetik,
obesitas, kurang olahraga, asupan garam berlebih, bertambahnya usia, dll.8,9
30
Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder disebabkan oleh suatu proses penyakit sistemik yang
meningkatkan tahanan pembuluh darah perifer atau cardiac output, contohnya adalah
renal vaskular atau parenchymal disease, adrenocortical tumor,feokromositoma dan obat-
obatan. Bila penyebabnya diketahui dan dapat disembuhkan sebelum terjadi perubahan
struktural yang menetap, tekanan darah dapat kembali normal.8
g. Manifestasi Klinis
Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala walaupun secara
tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan
tekanan darah tinggi. Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung,
pusing, wajah kemerahan, dan kelelahan yang bisa saja terjadi baik pada penderita
hipertensi maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal.
Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala berikut:
Sakit kepala
Kelelahan
Mual-muntah
Sesak napas
Gelisah
Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata,
jantung, dan ginjal
Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma
karena terjadi pembengkakan otak disebut ensefalopati hipertensif yang memerlukan
penanganan segera.8
h. Diagnosis
i. Anamnesis
Anamnesis yang perlu ditanyakan kepada seorang penderita hipertensi meliputi:
a. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
b. Indikasi adanya hipertensi sekunder
Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
31
Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih hematuri, pemakaian oba-
obatan analgesic dan obat/ bahan lain.
Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan palpitasi (feokromositoma).
c. Faktor-faktor resiko (riwayat hipertensi/ kardiovaskular pada pasien atau keluarga
pasien, riwayat hiperlipidemia, riwayat diabetes mellitus, kebiasaan merokok,
pola makan, kegemukan, insentitas olahraga)
d. Gejala kerusakan organ
Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischemic
attacks, defisit neurologis
Jantung: Palpitasi,nyeri dada, sesak, bengkak di kaki
Ginjal: Poliuria, nokturia, hematuria
e. Riwayat pengobatan antihipertensi sebelumnya.8
ii. Pemeriksaan Fisik
Memeriksa tekanan darah
Pengukuran rutin di kamar periksa
- Pasien diminta duduk dikursi setelah beristirahat selam 5 menit, kaki di
lantai dan lengan setinggi jantung
- Pemilihan manset sesuai ukuran lengan pasien (dewasa: panjang 12-13,
lebar 35 cm)
- Stetoskop diletakkan di tempat yang tepat (fossa cubiti tepat diatas arteri
brachialis)
- Lakukan penngukuran sistolik dan diastolic dengan menggunakan suara
Korotkoff fase I dan V
- Pengukuran dilakukan 2x dengan jarak 1-5 menit, boleh diulang kalau
pemeriksaan pertama dan kedua bedanya terlalu jauh.
Pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM)
- Hipertensi borderline atau yang bersifat episodic
- Hipertensi office atau white coat
- Hipertensi sekunder
32
- Sebagai pedoman dalam pemilihan jenis obat antihipertensi
- Gejala hipotensi yang berhubungan dengan pengobatan antihipertensi
Pengukuran sendiri oleh pasien
iii. Evaluasi penyakit penyerta kerusakan organ target serta kemungkinan hipertensi
sekunder. Umumnya untuk penegakkan diagnosis hipertensi diperlukan pengukuran
tekanan darah minimal 2 kali dengan jarak 1 minggu bila tekanan darah < 160/100
mmHg.
iv. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari:
Tes darah rutin (hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit)
Urinalisis terutama untuk deteksi adanya darah, protein, gula
Profil lipid (total kolesterol (kolesterol total serum, HDL serum, LDL serum,
trigliserida serum)
Elektrolit (kalium)
Fungsi ginjal (Ureum dan kreatinin)
Asam urat (serum)
Gula darah (sewaktu/ puasa dengan 2 jam PP)
Elektrokardiografi (EKG)
Beberapa anjurantest lainnya seperti:
Ekokardiografi jika diduga adanya kerusakan organ sasaran seperti adanya LVH
Plasma rennin activity (PRA), aldosteron, katekolamin urin
Ultrasonografi pembuluh darah besar (karotis dan femoral)
Ultrasonografi ginjal jika diduga adanya kelainan ginjal
Pemeriksaaan neurologis untuk mengetahui kerusakan pada otak
Funduskopi untuk mengetahui kerusakan pada mata
Mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin
Foto thorax.8,9
i. Tatalaksana
33
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
1. Target tekanan darah < 140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi (diabetes,
gagal ginjal proteinuria) < 130/80 mmHg
2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
3. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria
Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor risiko atau kondisi penyerta
lainnya seperti diabetes mellitus atau dislipidemia juga harus dilaksanakan hingga
mencapai target terapi masing-msaing kondisi.
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan terapi farmakologis.
i. Terapi Non Farmakologis terdiri dari :
- Menghentikan merokok
- Menurunkan berat badan berlebih
- Menurunkan konsumsi alcohol yang berlebih
- Latihan fisik
- Menurunkan asupan garam
- Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak
ii. Jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis :
- Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone Antagonis (Aldo
Ant) : Hidrochlorotiazid, furosemide, torsemide, spironolaktone, triamteren.
- Beta Blocker : Propanolol, atenolol, bisoprolol, metoprolol
- Calcium Channel Blocker (CCB) atau Calcium Antagonist : Diltiazem,
verapamil, amlodipine, felodipine, nifedipine, dan nicardipine.
- Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) : Captopril, enapril,
lisinopril, ramipril, quinapril, imidapril.
- Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/blocker (ARB) :
Losartan, valsartan, candesatran, irbesatran, telmisartan, olmesartan.8,9
F. Anemia
a. Definisi
34
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.1
b. Etiologi
Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti pada
infeksi kronis, tetapi lebih sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit
kolagen dan arthritis rheumatoid merupakan penyebab terbanyak. Enteritis
regional, colitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya juga dapat disertai
anemia pada penyakit kronis. Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah
kanker, walaupun masih dalam stadium dini dan asimtomatik, seperti pada
sarcoma dan limfoma. 1
c. Patofisiologi
1. Pemendekan Masa Hidup Eritrosit
Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stress
hematologic, di mana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena
kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut dapat
menyebabkan sekuesteri makrofag sehingga mengikat lebih banyak zatbesi,
meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi eritropoetin oleh
ginjal, serta menyebabkan perangsangan yang inadekuat pada eritropoesis di
sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat menyebabkan
penurunan transformasi T4 (tetraiodothyronine) menjadi T3 (tri-
iodothyronine), menyebabkan hipotiroid fungsional di mana terjadi penurunan
kebutuhan Hb yang mengangkut O2 sehingga sintesis eritropoetin-pun
akhirnya berkurang.9
d. Gambaran Klinis
Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering
kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar
7-11 gr/dL umumnya asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau
debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas transport O2 jaringan akan
memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya.
35
Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat
tanpa kelainan yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya
tergantung dari hasil pemeriksaan laboratorium.9
e. Pengobatan
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit
dasarnya. Terdapat beberapa pilihan dalam mengobati anemia jenis ini,
antara lain:
1. Transfusi
Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai gangguan
hemodinamik. Tidak ada batasan yang pasti pada kadar hemoglobin
berapa kita harus member transfusi, beberapa literature menyebutkan
bahwa pasien anemia penyakit kronik yang terkena infark miokard,
transfuse dapat menurunkan angka kematian secara bermakna. Demikian
juga pada pasien anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb
dipertahankan 10-11 gr/dL.
2. Preparat Besi
Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronis masih terus dalam
perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat besi dengan
alasan besi dapat mencegah pembentukan TNF-α. Alasan lain, pada
penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti dapat
meningkatkan kadar hemoglobin. Terlepas dari adanya pro dan kontra,
sampai saat ini pemberian preparat besi masih belum direkomendasikan
untuk diberikan pada anemia pada penyakit kronis.
3. Eritropoetin
Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoetin bermanfaat
dan sudah disepakati untuk diberikan pada pasien anemia akibat kanker,
gagal ginjal, myeloma multiple, arthritis rheumatoid dan pasien HIV.
Selain dapat menghindari transfusi beserta efek sampingnya, pemberian
eritropoetin mempunyai beberapa keuntungan, yakni: mempunyai efek
anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNF-α dan interferon-γ.
Dilain pihak, pemberian eritropoetin akan menambah proliferasi sel-sel
36
kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan
leher.1,9
BAB III
PEMBAHASAN
37
Seorang wanita usia 63 tahun di rawat di RSUD DR.Harjono dengan diagnosis
kerja CKD stage 5, hipertensi dn anemia e.c DM II dan kanker serviks. Berdasarkan
keluhan pasien yaitu mual dan muntah sejak 1 hari SMRS. Pasien mengeluh mual dan
muntah setiap kali deberi makan dan membuat nafsu makannya menurun. Muntah 1-2x
sehari yang didahului dengan rasa mual, volume setiap kali muntah kurang lebih setengah
gelas aqua, berisi makanan yang sebelumnya dimakan. Kemudian pasien juga mengeluh
bahwa kakinya bengkak sejak 1 bulan yang lalu dan pada vagina selalu keluar darah segar
sehingga membuat pasien terlihat lemah. Didapatkan nilai LFG adalah 2,7
ml/menit/1.73m3 dan pasien juga memilik riwayat diabetes mellitus tipe II dan hipertensi
stage II dan di diagnose memiliki kanker serviks sejak 2 bulan yang lalu di RSUD
Moewardi Solo dan menolak untuk dilakukan kemoterapi.
Sampai saat ini pasien telah menjalani HD sebanyak 3 kali dan di dapatkan
pemeriksaan laboratorium terakhir adalah HB 6, RBC 2.43 HCT 18.2 MCV 75.1 MCH
24.7. GDA 150. SGOT 36.8 ALB 2.8 UREA 183.96 CREAT 16.57 UA 9.8 CHOL 138
dan pemeriksaan USG : Hidronefrosis Grade II bilateral ok obstruksi post renal.
Berdasarkan kelainan patologis yang di dapat diagnosis penyakit ginjal kronis ditegakkan
dengan nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1.73m2 karena adanya
komplikasi diabetes mellitus tipe II yaitu nefropati diabetic dan komplikasi dari kanker
serviks yaitu berupa nefropati obstruktif.
Daftar Masalah :
1. Edema Tungkai
Edema terjadi pada kondisi dimana tekanan hidrostatik kapiler meningkat,
peningkatan permeabilitas kapiler, peningkatan tekanan osmotic
interstitial, atau penurunan tekanan osmotic plasma. Ginjal memiliki peran
sentral dalam mempertahankan homeostasis cairan melalui kontrol
ekskresi natrium dan air. Penurunan aliran darah ke ginjal akan di
kompensasi dengan menahan natrium dan air melalui mekanisme
peningkatan reabsorbsi garam dan air di tubulus proksimal dan tubulus
38
distal. Cairan yang teretensi di dalam tubuh ini akan menyebabkan edema
terutama pada tungkai karena pengaruh gravitasi.
2. Mual dan muntah
Peningkatan ureum dalam darah dapat menimbulkan gejala seperti lemah,
letargi, anoreksia, mual dan muntah.
3. Anemia
Pada pasien di dapatkan Hb : 6 g/dl kemungkinan anemia pada pasien bisa
disebabkan oleh adanya perdarahan kanker serviks dank arena penyakit
ginjalnya sendiri. Pada CKD produksi eritropoetin tidak adekuat oleh
ginjal yang menyebabkan kadar Hb menurun.
4. Hipertensi grade II
Hipertensi merupakan factor risiko yang menyebabkan gagal ginjal
kronik, hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peningkatan
tekanan glomerular yang mengakibatkan reduksi jumlah nefron, yang
selanjutnya menyebabkan kerusakan sel glomerular sehingga terjadi
perubahan permeabilitas kapiler. Selanjutnya yang terjadi Adalah
hiperfiltrasi glomerular. Pengurangan massa ginjal menyebabkan
hipertrofi sisa nefron secara struktural dan fungsional sebagai upaya
kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang
diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Adamson JW (ed). Iron Deficiency and Another Hipoproliferative Anemia in Harrison’s Principles of Internal Medicine 16 th edition vol. I. McGraw-Hill Companies: 2005;586-92
2. American Diabetes Association: Standards of medical care in diabetes-2008 (position statement). Diabetes Care 2008;31 (Suppl.1):S12-54
3. Arifin, Augusta., 2010. Panduan Terapi Diabetes Melitus Tipe 2 Terkini. Bandung: Sub Bagian Endokrinologi & Metabolisme Bagian / UPF Ilmu Penyakit Dalam.
4. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi 13. Jakarta:EGC, 2000.1435-1443
5. Mansjoer A, et al. Gagal ginjal kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2002
6. Mudjaddid, E., Putranto, R., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Interna Publishing : Jakarta Pusat. pp. 1035-1040
7. Mudjaddid, E., Putranto, R., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Interna Publishing : Jakarta Pusat. pp. 1079-1100
8. Mudjaddid, E., Putranto, R., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Interna Publishing : Jakarta Pusat. pp. 1079-1083
9. Mudjaddid, E., Putranto, R., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Interna Publishing : Jakarta Pusat. pp. 1086-1100
10. Mudjaddid, E., Putranto, R., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Interna Publishing : Jakarta Pusat. pp. 2159-2160
11. MMWR, Quadrivalent Human Papilomavirus Vaccine Recommendation of the Advisory Committee on Immunization Practices. 2007. Dept. of Health & Human Services. Center for Disease Control & Prevention
12. Rasjidi, Imam., Panduan Pelayanan Medik Model Interdisiplin Penatalaksanaan. Balai Penerbit:EGC, 2010. Pp 8-33.
13. Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
14. Soegondo, S., 2008. Hidup Secara Mandiri dengan Diabetes Melitus Kencing Manis Sakit Gula. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.pp.129-130
40
15. Syahbudin, S., 2007. Pedoman Diet Diabetes Melitus. Edisi III. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.pp. 3-4.
16. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Depertemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. P.581-584.
17. Visser, O., Coebergh, JWW., Otter.R. Gynecologic Tumors in Netherland.1997.
41