dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

159
i TESIS PERBEDAAN SKOR EKSPRESI MATRIKS METALOPROTEINASE 9 PADA KARSINOMA TIROID PAPILER VARIAN KLASIK DAN VARIAN FOLIKULER DENGAN INFILTRASI INTRAKOMPARTEMEN DAN EKSTRAKOMPARTEMEN dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI NIM 1114098102 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Transcript of dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

Page 1: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

i

TESIS

PERBEDAAN SKOR EKSPRESI MATRIKS

METALOPROTEINASE 9 PADA KARSINOMA TIROID

PAPILER VARIAN KLASIK DAN VARIAN FOLIKULER

DENGAN INFILTRASI INTRAKOMPARTEMEN DAN

EKSTRAKOMPARTEMEN

dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

NIM 1114098102

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2015

Page 2: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

ii

PERBEDAAN SKOR EKSPRESI MATRIKS

METALOPROTEINASE 9 PADA KARSINOMA TIROID

PAPILER VARIAN KLASIK DAN VARIAN FOLIKULER

DENGAN INFILTRASI INTRAKOMPARTEMEN DAN

EKSTRAKOMPARTEMEN

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI WAYAN ARMERINAYANTI

NIM 1114098102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 3: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 16 Maret 2015

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. I Ketut Mulyadi, SpPA (K) dr. Luh Putu Iin Indrayani Maker, SpPA (K)

NIP. 130 327 316 NIP. 197511042008012013

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Pendidikan Dokter Spesialis-1 Patologi Anatomi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

Dr. dr. I Gusti Ayu Sri Mahendra Dewi, SpPA (K)

NIP. 196502011996012001

Page 4: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

iv

Lembar Penetapan Panitia Penguji

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 26 Maret 2015

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,

Nomor: 727 Tanggal 12 Maret 2015

Ketua : dr. I Ketut Mulyadi, SpPA (K)

Anggota :

1. Dr. Luh Putu Iin Indrayani Maker, SpPA (K)

2. Prof. dr. I Gusti Alit Artha, MS., SpPA (K), MIAC

3. Dr. Herman Saputra, SpPA (K)

4. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, SpPD-KGH

Page 5: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : dr. Ni Wayan Armerinayanti

NIM : 1114098102

Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine-Degree)

Judul : Perbedaan Skor Ekspresi Matriks Metaloproteinase 9 pada

Karsinoma Tiroid Papiler Varian Klasik dan Varian

Folikuler dengan Infiltrasi Intrakompartemen dan

Ekstrakompartemen

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka

saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010

dan peraturan peundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 26 Maret 2015

Yang membuat pernyataan,

(dr. Ni Wayan Armerinayanti)

Page 6: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Om Swastiastu,

Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi

Wasa-Tuhan Yang Maha Esa, atas asung wara nugraha-Nya, sehingga tesis

dengan judul Perbedaan Skor Ekspresi Matriks Metaloproteinase 9 pada

Karsinoma Tiroid Papiler Varian Klasik dan Varian Folikuler dengan

Infiltrasi Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen, dapat penulis

selesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai

tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, izinkan penulis dengan

sepenuh hati menghaturkan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada yang

terhormat: dr. I Ketut Mulyadi, SpPA (K), selaku pembimbing I, yang telah

membantu mengembangkan dan merealisasikan ide, memberikan pengarahan,

koreksi dan bimbingan serta dukungan dari awal penyusunan usulan penelitian

hingga selesainya penulisan tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga

penulis ucapkan kepada dr. Luh Putu Iin Indrayani M., SpPA(K), selaku

pembimbing II dan Kepala Instalasi Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum Pusat

Sanglah Denpasar, yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, masukan,

koreksi dan dukungan dari awal penyusunan usulan penelitian hingga selesainya

tesis ini, serta memberikan ijin peminjaman blok dan preparat histopatologi

selama proses penelitian. Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih

kepada:

Page 7: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

vii

1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD,

FINASIM dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr.

dr. Putu Astawa, SpOT (K), M.Kes yang memberikan kesempatan dan

fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister

Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas

Udayana.

2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A.

Raka Sudewi, SpS (K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk

menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.

3. Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS selaku Ketua

Program Studi Ilmu Biomedik (Combined Degree) Program Pascasarjana

Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan mengikuti

program pendidikan Combined Degree.

4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di

Bagian Ilmu Patologi Anatomi dan melakukan penelitian di RSUP

Sanglah Denpasar.

5. Dr. dr. I Gusti Ayu Sri Mahendra Dewi, SpPA (K) sebagai Ketua Program

Studi Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

dan selaku pembimbing, yang telah memberikan kesempatan mengikuti

program pendidikan spesialisasi, memberikan petunjuk, nasehat serta

bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi.

Page 8: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

viii

6. dr. A.A.A.N. Susraini, SpPA (K), sebagai Kepala Bagian/ SMF Patologi

Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah

memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi dan

memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi.

7. Prof. dr. I Gusti Alit Artha, MS.,SpPA (K), MIAC, dr. Herman Saputra,

SpPA (K), Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, SpPD-KGH, selaku

penguji, atas semua saran, koreksi, sanggahan, petunjuk dan masukan

dalam penyusunan tesis ini.

8. Seluruh staf dosen/pengajar PPDS-1 Patologi Anatomi Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, dan semua

dosen Pascasarjana Program Magister Ilmu Biomedik Combined Degree,

yang telah membimbing, memberikan masukan, dan bekal pendidikan

kepada penulis, sehingga membantu menyelesaikan tesis ini.

9. Keluarga besar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Warmadewa yang telah memberikan dukungan, semangat, dan

kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi.

10. Seluruh teman sejawat residen di bagian Patologi Anatomi dan pegawai di

bagian/SMF Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar atas

bantuan dan kerjasamanya selama ini.

Rasa syukur ini dan sujud penulis persembahkan kepada Ayahanda dan

Ibunda tercinta, Ir. I Made Artha dan Ni Wayan Metri, BA, yang telah

memberikan bekal pendidikan yang cukup, perhatian, pengertian, dukungan,

semangat dan kasih sayang yang sangat tulus kepada penulis. Ayahanda dan

Page 9: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

ix

ibunda mertua, I Nyoman Arka Suteja, SE, Ak. dan Ni Made Sawitri, terima kasih

atas pengertian, perhatian, dukungan, dan semangat yang begitu besar selama

penulis menjalani masa pendidikan. Akhirnya kepada suami tercinta, dr. I Gede

Bagus Gita Pranata Putra dan ananda terkasih, I Putu Bagus Ngurah Nararya

Wibawa Pranata, kalian adalah keberuntungan dalam hidupku, terima kasih atas

semangat, perhatian, pengorbanan, pengertian dan cinta kasih yang tulus dan tak

terhingga selama penulis menjalani masa pendidikan dan menyelesaikan tesis ini.

Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi

perkembangan pelayanan di Laboratorium Patologi Anatomi dan bidang Ilmu

patologi Anatomi. Terakhir, semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa-Tuhan Yang

Maha Esa, selalu melimpahkan rahmatnya kepada kita semua.

Om Santih, Santih, Santih, Om

Denpasar, Maret 2015

Penulis

Page 10: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

x

PERBEDAAN SKOR EKSPRESI MATRIKS METALOPROTEINASE 9

PADA KARSINOMA TIROID PAPILER VARIAN KLASIK DAN VARIAN

FOLIKULER DENGAN INFILTRASI INTRAKOMPARTEMEN DAN

EKSTRAKOMPARTEMEN

ABSTRAK

Karsinoma tiroid papiler (KTP) merupakan 80% dari seluruh karsinoma tiroid

berdiferensiasi baik dengan 2 tipe tersering yaitu KTP varian klasik dan KTP

varian folikuler.(KTPVF) Agresivitas antara kedua tipe karsinoma tiroid ini masih

kontroversi, selain itu agresivitas juga sering dikaitkan dengan luas infiltrasi

tumor. Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9) merupakan marka relevan dalam

memprediksi agresivitas tumor karena mempengaruhi proses invasi dan metastasis

tumor. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri mekanisme molekuler

keterlibatan MMP-9 dalam menentukan agresivitas KTP dengan membuktikan

perbedaan skor ekspresi MMP-9 pada KTP klasik dan KTPVF baik yang

menunjukkan infiltrasi intrakompartemen maupun ekstrakompartemen

Penelitian analitik potong lintang ini menggunakan sampel sebesar 40 sampel

yang dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing terdiri dari 10 KTP klasik

intrakompartemen, 10 KTP klasik ekstrakompartemen, 10 KTPVF

intrakompartemen dan 10 KTPVF ekstrakompartemen. Sampel diambil dari arsip

blok parafin Laboratorium Patologi Anatomi FK Universitas Udayana/RSUP

Sanglah, Denpasar sepanjang tahun 2011 sampai Juni 2014. Kemudian dilakukan

pulasan imunohistokimia MMP-9 untuk melihat perbedaan skor ekspresi MMP-9

antar seluruh kelompok, yang dianalisis melalui uji One Way Anova sedangkan

pengaruh seluruh variabel independen terhadap skor ekspresi MMP-9 dinilai

dengan uji regresi berganda ANCOVA dengan tingkat kemaknaan (α) pada

p<0,05.

Terdapat perbedaan rerata skor ekspresi MMP-9 antar keempat kelompok,

dimana ditemukan nilai perbedaan yang sangat bermakna antara KTP

intrakompartemen dengan KTP ekstrakompartemen (p<0,001). Uji regresi

berganda menunjukkan tidak terdapat pengaruh faktor usia, jenis kelamin dan

ukuran tumor terhadap skor ekspresi MMP-9 (p>0,05).

Agresivitas karsinoma tiroid papiler ditentukan oleh luas infiltrasi tumor,

sedangkan perbedaan tipe histologis (klasik dan varian folikuler), maupun faktor

usia, jenis kelamin dan ukuran tumor tidak mempengaruhi agresivitasnya.

Kata kunci: Matriks metaloproteinase 9, Karsinoma tiroid papiler klasik,

Karsinoma tiroid papiler varian folikuler, Intrakompartemen, Ekstrakompartemen

Page 11: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

xi

DIFFERENCE OF MATRIX METALLOPROTEINASE 9 EXPRESSION

SCORE IN CLASSIC AND FOLLICULAR VARIANT OF PAPILLARY

THYROID CARCINOMA WITH INTRA COMPARTMENT AND EXTRA

COMPARTMENT INFILTRATION

ABSTRACT

Papillary Thyroid Carcinoma (PTC) was 80% of well differentiated thyroid

tumors constitutes two frequently types included classic PTC and follicular

variant of PTC (FVPTC). Aggressiveness between those distinct types was still

controversies, although aggressiveness also associated with extent of tumor

infiltration. Matrix Metalloproteinases 9 (MMP-9) was relevance marker

predicting tumor aggressiveness because its role of invasive and metastatic

process. The aim of this study was to explore molecular mechanism of MMP-9 in

aggressiveness of PTC by proofed difference of MMP-9 expression score in

classic PTC and follicular variant of PTC with intra compartment and extra

compartment infiltration.

This cross-sectional study was performed on 40 samples that divided into 4

groups which consists of 10 classic PTC intra compartment, 10 classic PTC extra

compartment, 10 FVPTC intra compartment and 10 FVPTC extra compartment,

taken from paraffin block archive from Pathology Anatomy Departement Faculty

of Medicine Udayana University/Sanglah General Hospital Denpasar during 2011

until June 2014. Immunostaining was performed to determined the difference of

MMP-9 score expression between four group. Result was analyzed by One Way

Anova, while impact of all independent variables on MMP-9 expression was

analyzed by multiple regression test ANCOVA, with confidence level (α)<0,05.

There was difference of MMP-9 expression score between four group, which

showed very significant difference between intra compartment and extra

compartment PTC (p<0,001). Multiple regression test showed no impact of age,

sex and size of tumor on MMP-9 expression score.

It was concluded that PTC aggressiveness was determined by extent of tumor

infiltration, while histological type (classic and follicular variant), age, sex and

tumor size were not impacting aggressiveness.

Key word: Matrix Metalloproteinase 9, Classic Papillary Thyroid Carcinoma,

Follicular Variant of Papillary Thyroid Carcinoma, Intra compartment, Extra

Compartment.

Page 12: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

xii

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ………………………………………………...................... i

PRASYARAT GELAR ....................................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI .................................................. iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .................................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................ vi

ABSTRAK ........................................................................................................... x

ABSTRACT ......................................................................................................... xi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvii

DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xx

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xxiii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 5

1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 5

1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................. 5

1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................ 5

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 6

1.4.1 Manfaat Akademik ..................................................................... 6

Page 13: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

xiii

1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................................... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 7

2.1 Definisi Karsinoma Tiroid Papiler ........................................................ 7

2.2 Klasifikasi Karsinoma Tiroid Papiler ................................................... 7

2.3 Epidemiologi ......................................................................................... 9

2.4 Faktor risiko ........................................................................................... 15

2.5 Patogenesis Karsinoma Tiroid Papiler Klasik dan Varian Folikuler ..... 20

2.6 Gejala Klinis dan Makroskopis ............................................................ 28

2.7 Mikroskopis Karsinoma Papiler Tiroid Klasik dan Varian Folikuler .... 30

2.8 Sistem Stadium dan Pola Perluasan Karsinoma Tiroid Papiler ........... 35

2.9 Penanganan Karsinoma Tiroid Papiler ................................................. 40

2.10 Struktur, Jenis dan Fungsi Umum Matriks Metalloproteinase

(MMP)…. .................................................................................. …….. 44

2.11 Fungsi Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9/Gelatinase………..…..50

2.12 Peranan Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9)/Gelatinase B pada

Karsinoma Tiroid Papiler .................................................................... 55

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

PENELITIAN.... ................................................................................................... 59

3.1 Kerangka Berpikir ................................................................................. 59

3.2 Konsep Penelitian ................................................................................. 63

3.3 Hipotesis Penelitian .............................................................................. 63

BAB IV METODE PENELITIAN ...................................................................... 64

4.1 Rancangan Penelitian ............................................................................ 64

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 64

Page 14: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

xiv

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................ 64

4.3.1 Populasi Target ........................................................................... 64

4.3.2 Populasi Terjangkau .................................................................... 64

4.3.3 Sampel ......................................................................................... 65

4.3.4 Perhitungan dan Cara Pengambilan Sampel ............................... 65

4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................................ 66

4.4.1 Kriteria Inklusi ........................................................................... 66

4.4.2 Kriteria Eksklusi ......................................................................... 66

4.5 Identifikasi Variabel Penelitian ........................................................... 68

4.6 Definisi Operasional Variabel .............................................................. 69

4.7 Prosedur Penelitian .............................................................................. 70

4.8 Skema Alur Penelitian ......................................................................... 75

4.9 Analisis Data ........................................................................................ 76

BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 77

5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Data Klinis Pasien ......... 77

5.2 Perbedaan Skor Ekspresi MMP-9 antara kelompok KTP Klasik

Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF

Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen ............................ 81

5.3 Hubungan Antar Variabel ...................................................................... 87

BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 89

6.1 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Usia Pasien ......................... 89

6.2 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Jenis Kelamin Pasien.......... 92

6.3 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Ukuran Tumor .................... 95

6.4 Ekspresi MMP-9 pada KTP Klasik dan KTPVF dengan Infiltrasi

Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen .......................................... 97

Page 15: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

xv

6.5 Pengaruh Antar Seluruh Variabel dengan Skor Ekspresi MMP-9 ........ 109

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 112

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 114

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... 122

Page 16: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Klasifikasi histologik tumor tiroid berdasarkan WHO ............................... 8

2.2 Tipe histopatologis karsinoma sel folikel tiroid berdasarkan

AJCC…………………………………………………………………….. . 9

2.3 Tabel temuan beberapa studi di Malaysia dan Myanmar tentang hubungan

antara karsinoma tiroid dan goiter ............................................................... 13

2.4 Prevalensi kasus karsinoma tiroid selama 3 tahun (2008-2010) di Indonesia

berdasarkan kelompok usia ......................................................................... 14

2.5 Sistem TNM brdasarkan AJCC .................................................................... 36

2.6 Jenis matriks metaloproteinase ..................................................................... 48

5.1 Karakteristik Subyek Penelitian .................................................................... 79

5.2 Distribusi rerata ukuran tumor pada kelompok KTP Klasik

Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF

Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen .................................. 80

5.3 Perbedaan skor ekspresi MMP-9 antara kelompok KTP Klasik

Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF

Intrakompartemen, dan KTPVF Ekstrakompartemen .............................. 82

5.4 Pengaruh Variabel Independen dan Variabel Kontrol terhadap Skor Ekspresi

MMP-9 ......................................................................................................... 87

Page 17: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Grafik prevalensi kasus karsinoma tiroid di Denpasar tahun 2008-2010

berdasarkan data registrasi kanker Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi

Anatomi Indonesia………………………………………………............... 11

2.2 Mekanisme nodul goiter sebagai faktor risiko KTP…………… ................ 17

2.3 Mekanisme beberapa faktor risiko seperti radiasi dalam memicu karsinoma

tiroid ............................................................................................................ 18

2.4 Kaskade karsinogenesis neoplasma tiroid.................................................... 21

2.5 Jalur sinyal sel pada neoplasma sel folikuler….. ......................................... 22

2.6 Tata ulang gen RET/PTC ............................................................................ 24

2.7 Interaksi antar sel dengan sel dan sel dengan ECM pada karsinoma tiroid.. 27

2.8 Makroskopis karsinoma tiroid papiler …………………………………….29

2.9 Karakteristik inti KTP .................................................................................. 32

2.10 Mikroskopis KTP Klasik ............................................................................ 32

2.11 KTPVF yang encapsulated .......................................................................... 34

2.12 Gambaran Skematik Interpretasi Invasi Kapsel ........................................... 38

2.13 Struktur matriks metalloproteinase (MMP) ................................................ 46

2.14 Fungsi seluler MMP dalam perkembangan dan fisiologi normal ............. .. 47

2.15 Struktur MMP (Gelatinase B) ..................................................................... 51

2.16 Peranan MMP-9 yang bebas TIMP yang berasal dari sel radang PMN, sel

tumor maupun stroma dalam inisiasi dan promosi instabilitas genetik ....... 52

Page 18: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

xviii

2.17 Transisi epithelial menjadi mesenkimal (EMT) yang dipicu MMP-9. ....... 5

2.18 Peranan MMP-9 dalam mengaktifkan angiogenesis ............................... … 54

2.19 Kaitan MMP-9 dengan kemampuan metastasis tumor ................................ 55

2.20 Pulasan MMP-9 pada KTP ......................................................................... 58

3.1 Bagan Kerangka Berpikir ............................................................................. 62

3.2 Bagan Konsep Penelitian ............................................................................. 63

5.1 Grafik Distribusi Kasus KTP Klasik dan KTPVF dengan Infiltrasi

Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen berdasarkan Jenis Kelamin

Pasien ........................................................................................................... 80

5.2 Grafik Beda Rerata Skor Ekspresi MMP-9 kasus KTP Klasik dan KTPVF

dengan infiltrasi intrakompartemen dan

ekstrakompartemen……………………. ..................................................... 83

5.3 Kasus sampel 1 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTP Klasik

intrakompartemen ........................................................................................ 84

5.4 Kasus sampel 4 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTP Klasik

intrakompartemen ........................................................................................ 84

5.5 Kasus sampel 13 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTP Klasik

ekstrakompartemen ...................................................................................... 85

5.6 Kasus sampel 22 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTPVF

intrakompartemen ........................................................................................ 85

5.7 Kasus sampel 36 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTPVF

ekstrakompartemen ...................................................................................... 86

Page 19: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

xix

5.8 Kasus sampel 34 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTPVF

ekstrakompartemen .................................................................................... 86

6.1 Bagan jalur patogenesis keterlibatan MMP-9 dalam proses infiltrasi tumor

pada penelitian…………………………………………………................. 99

6.2 Pola Distribusi Ekspresi MMP-9 ................................................................. 102

6.3 Pola Ekspresi MMP-9 pada Stroma sekitar Tumor dan pada Makrofag ..... 105

6.4 Bagan Jalur Transkripsi MMP-9 yang dilibatkan oleh beberapa Jalur

Karsinogenesis KTP……………………………………………………... .. 109

Page 20: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

xx

DAFTAR SINGKATAN

AJCC : American Joint Commission on Cancer

AKAP9 : A-kinase anchor protein 9

APC : Adenomatous Polyposis Coli

ATA : American Thyroid Association

BRAF : V-raf murine sarcoma viral oncogene homolog B1

cAMP : cyclic Adenosine Mono Phosphate

DNA : Deoxyribonucleic Acid

ECM : Extra Cellular Matrix

EMT : Epithelial Mesenchymal Transition

ERK : Extracellular-signal-Regulated Kinase

ERα : Estrogen Receptor alpha

ERβ : Estrogen Receptor beta

FGF : Fibroblast growth factor

FGFR : Fibroblast growth factor receptor

FNA : fine needle aspiration

GNAS1 : Guanine Nucleotide-binding α Subunit 1

GTP : Guanosine Tri Phosphate

HGF : Hepatocyte Growth Factor

IUCC : International Union Against Cancer

KTA/U : Karsinoma Tiroid Anaplastik/ Undifferentated

KTF : Karsinoma Tiroid Folikuler

Page 21: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

xxi

KTM : Karsinoma Tiroid Meduler

KTP : Karsinoma Tiroid Papiler

KTPVF : Karsinoma Tiroid Varian Folikuler

LOH : Loss of Heterozygosity

LT4 : Levotiroxin

MAPK : Mitogen Activated Protein Kinase

MMP-9 : Matriks Metaloproteinase 9

NCCN : National Comprehensive Cancer Network

NTCTCS : National Thyroid Cancer Treatment Cooperative Study

NTRK : Neurotropic thyrosine kinase receptor

PARP : Poly-ADP-ribose-polymerase

PTEN : Phosphatase with Tensin Homology Gene

RAI : Radioactive Iodine

RAS : Rat sarcoma oncogen

RET : Rearranged during transfection

RLN : Recurrent Laryngeal Nerve

RND ; Radical Neck Dissection

SEER : Surveillance, Epidemiology, and End Results

TIMP : Tissue Inhibitors of Matrix Metalloproteinases

TNM : Tumor, Nodes, Metastazes

TRK : Tyrosine Receptor Kinase

TSH : Thyroid Stimulating Hormone

TSHR : Thyroid Stimulating Hormone Receptor

TTF-1 : Thyroid Transcription Factor-1

USG : Ultrasonografi

Page 22: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

xxii

VEGF : Vascular endothelial growth factor

WHO : World Health Organization

TAM : Tumor Associated Macrophage

Page 23: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Ethical Clearance……………………………………………… 122

Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian…………………………..………………... 123

Lampiran 3 Data Subyek Penelitian…………………………..……………. 124

Lampiran 4a Uji Normalitas Data Usia…………………………..………….. 125

Lampiran 4b Data Deskriptif Usia pada Seluruh Kelompok KTP…………... 125

Lampiran 4c Statistik Deskriptif Usia secara Keseluruhan…………………. 126

Lampiran 4d Analisis Beda Rerata Usia antar Seluruh Kelompok KTP…… 126

Lampiran 4e Analisis Beda Rerata Usia Kelompok KTP Intrakompartemen vs

KTP Ekstrakompartemen……………………………………… 126

Lampiran 4f Analisis Beda Rerata Usia Kelompok KTP Klasik vs KTPVF.. 126

Lampiran 5a Data Deskriptif Perbandingan Jenis Kelamin antar seluruh

Kelompok KTP ……………………………………………….. 127

Lampiran 5b Analisis Statistik Perbandingan Jenis Kelamin antar seluruh

kelompok KTP………………………………………………… 127

Lampiran 6a Uji Normalitas data Ukuran Tumor…………………………… 128

Lampiran 6b Data Deskriptif Ukuran Tumor secara Keseluruhan………….. 128

Lampiran 6c Data Deskriptif Ukuran Tumor Pada Seluruh Kelompok KTP.. 129

Lampiran 6d Analisis Statistik Beda Rerata Ukuran Tumor Pada Seluruh

Kelompok KTP……………………………………………… 130

Lampiran 6e Analisis Statistik Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik

dan KTPVF………………………………………………….. 130

Page 24: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

Lampiran 6f Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP

Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen………………… 130

Lampiran 6g Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik

Intrakompartemen dan KTPVF Intrakompartemen…………. 130

Lampiran 6h Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik

Intrakompartemen dan KTP Klasik Ekstrakompartemen…… 131

Lampiran 6i Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik

Ekstrakompartemen dan KTPVF Intrakompartemen………… 131

Lampiran 6j Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTPVF

Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen…………. 131

Lampiran 6k Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik

Ekstrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen………. 131

Lampiran 7a Data Deskriptif Perbandingan Skor Ekspresi MMP-9 antar seluruh

Kelompok KTP ………………………………………………. 132

Lampiran 7b Uji Homogenitas Skor Ekspresi MMP-9 antar Kelompok

KTP…………………………………………………………… 132

Lampiran 7c Uji Analisis Perbedaan Skor MMP-9 Antar Seluruh Kelompok

KTP…………………………………………………………… 132

Lampiran 7d Uji Komparasi Multipel antar Seluruh Kelompok KTP………. 133

Lampiran 8 Analisis Statistik (Uji ANCOVA) Pengaruh Antar Seluruh

Variabel terhadap Perbedaan Skor Ekspresi MMP-9………… 134

Page 25: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia dan di Bali khususnya insiden karsinoma tiroid sangat tinggi sejalan

dengan tingginya insiden goiter. Goiter merupakan faktor predisposisi karsinoma

tiroid yang dapat mempengaruhi perangai biologis karsinoma tiroid. Hal ini

sangat berbeda dengan insiden karsinoma tiroid di dunia barat yang lebih sering

berkaitan dengan efek radiasi. Sedangkan penelitian yang menelusuri agresivitas

karsinoma tiroid khususnya karsinoma tiroid papiler (KTP) di wilayah dengan

insiden goiter yang tinggi masih terbatas.

Insiden karsinoma tiroid meningkat lebih cepat dibandingkan keganasan

lainnya yaitu 3,8% per tahun pada periode 1992-2001 berdasarkan lokasi dan jenis

kelamin. Di Amerika Serikat pada tahun 2008, insiden karsinoma tiroid

berdasarkan umur sekitar 6,47 per 100,000 laki-laki dan 19,39 per 100,000

perempuan (Nikiforov, 2009). Dari perhitungan data registrasi kanker di

Indonesia pada tahun 2010 karsinoma tiroid menduduki peringkat ke 5 terbanyak

setelah karsinoma payudara, serviks, kulit, dan rektum. Sedangkan di Denpasar,

pada tahun yang sama karsinoma tiroid menduduki peringkat ke 3 terbanyak

setelah karsinoma payudara dan serviks dengan insiden relatif 24/100.000

penduduk (Ditjen Yan Med, 2008-2010; Anonim, 2010).

Page 26: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

2

Sekitar 90% karsinoma tiroid tergolong berdiferensiasi baik dan 80%

diklasifikasikan sebagai KTP sedangkan 10% merupakan karsinoma tiroid folikuler

(KTF). Diantara kedua tipe tersebut terdapat tipe campuran yang dahulu dikenal

sebagai mixed papillary and follicular carcinoma karena karakteristik intinya sesuai

KTP sedangkan polanya histologisnya menyerupai karsinoma folikuler dan saat ini

istilah tersebut diganti dengan KTP varian folikuler (KTPVF) (Chang et al., 2006).

KTPVF merupakan varian KTP kedua terbanyak setelah KTP varian klasik (Gupta et

al., 2012). Di Laboratorium Patologi Anatomi FK Unud/ RSUP Sanglah selama

periode 2011-2013 tercatat 96,86% kasus KTP dengan 63,32% kasus diantaranya

merupakan KTPVF dan 36,68% kasus merupakan KTP klasik, namun setelah

diagnosis ulang ditetapkan 57,67% kasus merupakan KTP klasik dan 42,33% kasus

KTPVF. Temuan ini menjadi landasan yang kuat untuk pentingnya pemeriksaan

marka tambahan yang dapat menentukan perangai biologis kedua varian KTP ini.

Kejadian metastasis pada KTP umumnya melalui kelenjar getah bening (KGB),

sedangkan metastasis jauh dapat terjadi pada 1,73-8,4% kasus KTP terutama pada

KTPVF dan lokasi tersering adalah paru (Chrisoulidou et al., 2011). Penelitian lain

menyatakan bahwa pola metastasis KTPVF bervariasi tergantung latar belakang

molekuler maupun variannya. Metastasis ke KGB didapatkan pada 65% kasus

KTPVF non encapsulated sehingga memiliki perangai menyerupai KTP klasik.

Sedangkan pada KTPVF encapsulated dan diffuse diketahui memiliki pola molekuler

yang serupa dengan KTF ditandai oleh tingginya frekuensi point mutasi Ras (36%)

Page 27: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

3

sehingga cenderung bermetastasis jauh dengan ataupun tanpa disertai metastasis ke

KGB (Gupta et al., 2012).

Adanya variasi latar belakang molekuler pada KTPVF menyebabkan perangai

biologis KTPVF masih sulit diprediksi, beberapa laporan morfologi dan studi

longitudinal menyebutkan bahwa area berdiferensiasi buruk, lesi bilateral/multipel,

invasi intravasa, invasi perineural maupun infiltrasi ekstrakompartemen meliputi

invasi kapsel, perluasan ekstratiroid dan metastasis jauh lebih banyak dijumpai pada

KTPVF dibandingkan dengan KTP klasik tetapi risiko metastasis ke limfonodi lebih

rendah dibandingkan KTP klasik (Chang et al., 2006; Chrisoulidou et al., 2011; Chen

et al., 2012; Gupta et al., 2012). Penelitian lainya justru melaporkan bahwa KTPVF

memiliki perangai klinis maupun patologis yang sebanding dengan KTP klasik

(Gonzalez et al., 2011; Der Lin et al., 2010; Salajegheh et al., 2008; De Lellis et al.,

2004). Beberapa kasus KTPVF berkembang secara lambat selama bertahun-tahun

sehingga dianggap memiliki perangai yang serupa dengan tumor jinak tiroid. Faktor

kliniko-patologis lain juga dipercaya mempengaruhi agresivitas KTP, seperti usia dan

jenis kelamin pasien, ukuran tumor primer, adanya invasi kapsel, multisentrisitas

tumor, serta adanya lesi jinak tiroid sebelumnya (Rosai et al., 2011). Dengan

demikian agresivitas KTPVF masih menimbulkan perdebatan tetapi penelitian yang

membandingkan agresivitas KTPVF dengan KTP klasik masih sangat terbatas.

Hingga saat ini diyakini bahwa belum ada terapi yang efektif dalam penanganan

KTP. Seringkali timbul keraguan diantara ahli bedah dalam menentukan perlunya

Page 28: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

4

terapi tambahan maupun monitoring lanjutan terutama pada kasus KTP yang belum

menunjukkan perluasan ekstrakompartemen (Ito et al., 2007; Haigh et al., 2005).

Pemahaman tentang mekanisme molekuler yang berkaitan dengan agresivitas KTP

sangat penting untuk menemukan strategi terbaru dalam deteksi dini, pencegahan,

diagnosis, penentuan terapi dan monitoring KTP. Mekanisme molekuler tersebut

sifatnya sangat kompleks dan melibatkan komponen intraseluler dan ekstraseluler.

Komponen molekuler yang telah ditemukan perubahannya pada karsinoma tiroid

antara lain CK19, Tiroglobulin, Ki67, MMP, Kalsitonin, TTF-1, BRAF, RET,

HBME-1, SERPINA1, TfR1/CD71, galectin-3, dan E-cadherin (Ito, 2012).

Pada proses invasi tumor akan dilibatkan salah satu komponen ekstraseluler yang

berperan utama dalam degradasi matriks ekstraseluler (Extracellular Matrix/ ECM)

melalui efek proteolitik yang dimilikinya yaitu matriks metaloproteinase (MMP)

(Farina et al., 2014; Kondo et al., 2006 ). Terdapat berbagai jenis MMP, salah satu

yang mendapatkan perhatian khusus yaitu MMP-9 karena merupakan kelompok

gelatinase yang berperan utama dalam degradasi kolagen IV yang merupakan

komponen utama membran basalis epitel, interstisial dan vaskuler. MMP-9 memiliki

level ekspresi basal yang rendah, berbeda dengan level ekspresi pada kondisi kanker.

Selain itu MMP-9 mempengaruhi transformasi neoplastik dengan menjadi inisiator

instabilitas genetik, mengaktifkan proses angiogenesis dan memicu ekspansi tumor.

Hal ini menunjukkan peranan penting MMP-9 pada proses invasi dan metastasis

sehingga dapat menjadi parameter agresivitas tumor. Telah dilaporkan bahwa

Page 29: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

5

ekspresi MMP-9 tinggi pada KTP, peningkatan ekspresinya berkorelasi signifikan

dengan stadium, ukuran tumor dan adanya metastasis ke limfonodi (Meng et al.,

2012; Bouchet et al., 2014). Namun belum ada penelitian yang melaporkan

perbedaan skor ekspresi MMP-9 pada KTP klasik dan KTPVF untuk membedakan

sifat agresifnya.

Penelitian ini dibuat untuk memahami mekanisme molekular MMP-9 sebagai

marka agresivitas dengan menilai perbedaan skor ekspresi MMP-9 pada KTP klasik

dan KTPVF baik yang menunjukkan infiltrasi intrakompartemen maupun

ekstrakompartemen.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat perbedaan skor ekspresi MMP-9 pada KTP klasik infiltrasi

intrakompartemen, KTP klasik infiltrasi ekstrakompartemen, KTPVF infiltrasi

intrakompartemen dan KTPVF infiltrasi ekstrakompartemen?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk memahami agresivitas KTP terkait varian (KTP klasik dan KTPVF) maupun

luasnya infiltrasi tumor (intrakompartemen dan ekstrakompartemen) dengan

menelusuri mekanisme molekuler yang didasari oleh ekspresi MMP-9.

Page 30: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

6

1.3.2 Tujuan Khusus

Membuktikan adanya perbedaan skor ekspresi MMP-9 pada KTP klasik infiltrasi

intrakompartemen, KTP klasik infiltrasi ekstrakompartemen, KTPVF infiltrasi

intrakompartemen dan KTPVF infiltrasi ekstrakompartemen.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

1. Penelitian ini diharapkan dapat menentukan hubungan antara varian KTP

(KTP klasik dan KTPVF) pada berbagai luas infiltrasi tumor

(intrakompartemen dan ekstrakompartemen) dengan skor ekspresi MMP-9.

2. Mengetahui peranan MMP-9 sebagai marka biologi prediktif agresivitas KTP.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Penentuan perbedaan skor ekspresi MMP-9 antara KTP Klasik dan KTPVF

pada berbagai luas infiltrasi tumor (intrakompartemen dan

ekstrakompartemen) dapat dipakai sebagai rujukan penentuan terapi maupun

tindakan monitoring lanjutan.

2. Parameter prognostik biologik (MMP-9) dan patologik (luasnya infiltrasi

tumor) ini diharapkan dapat dipakai sebagai pegangan oleh klinisi untuk dapat

memberikan penjelasan ke pasien KTP klasik maupun KTPVF tentang

prognosis, kekambuhan dan kemungkinan metastasis.

Page 31: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Karsinoma Tiroid Papiler

Karsinoma tiroid papiler (KTP) merupakan neoplasma ganas sel epitel folikel tiroid

yang membentuk pola pertumbuhan papiler atau disertai dengan pola folikuler dan

utamanya ditandai oleh karakteristik inti khas KTP. Gambaran inti yang khas KTP

meliputi ukuran inti membesar, berbentuk oval, mengalami elongasi, saling tumpang

tindih dengan gambaran clearing atau ground glass appearance atau dengan kontur

inti yang ireguler mencakup adanya groove dan inklusi sitoplasma intranuklear. KTP

tergolong tumor ganas tiroid yang berdiferensiasi baik (De Lellis et al., 2004).

2.2 Klasifikasi Karsinoma Tiroid

Berdasarkan WHO, tumor primer tiroid diklasifikasikan menjadi epitelial dan

nonepitelial, jinak atau ganas, dengan kategori yang terpisah untuk limfoma dan

keganasan lainnya (tabel 2.1) (De Lellis et al., 2004). Klasifikasi karsinoma tiroid

berdasarkan garis besar diferensiasinya dijabarkan menurut American Joint

Commission on Cancer (AJCC) sesuai yang dijabarkan tabel 2.2 (Rubin et al., 2012).

Penelitian ini mengacu pada sistem klasifikasi WHO dan AJCC.

Page 32: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

8

Tabel 2.1

Klasifikasi histologik tumor tiroid berdasarkan WHO (Rubin et al., 2012)

I. Tumor epitelial

A. Jinak

1. Adenoma Folikuler

2. Lainnya

B. Ganas

1. Karsinoma Folikuler

2. Karsinoma Papiler

3. Karsinoma Meduler*

4. Karsinoma Undifferentiated (anaplastik)

5. Lainnya

II. Tumor Non-epitelial

A. Jinak

B. Ganas

III. Limfoma maligna

IV. Lainnya

V. Tumor sekunder

VI. Tumor yang tidak dapat diklasifikasikan

VII. Lesi yang menyerupai tumor

*Karsinoma sel non epitelial folikel

Page 33: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

9

Tabel 2.2

Tipe Histopatologis Karsinoma Sel Folikel Tiroid (Rubin et al., 2012)

A. Karsinoma papiler (mencakup KTPVF)

B. Karsinoma folikuler (mencakup karsinoma sel hurtle)

C. Karsinoma poorly differentiated

D. Karsinoma undifferentiated (anaplastic)

2.3 Epidemiologi

Karsinoma tiroid merupakan keganasan tersering dari organ endokrin. Karsinoma ini

merupakan 3% dari insiden terbaru seluruh kanker yang terdiagnosis di Amerika

Serikat dan 1,7% dari insiden terbaru seluruh kasus kanker di dunia. Insiden dan

prevalen karsinoma tiroid mengalami peningkatan yang tetap selama tiga dekade

terakhir, terutama sejak pertengahan tahun 1990-an di berbagai negara di dunia. Saat

ini insiden karsinoma tiroid diperkirakan antara 5 hingga 8 kasus per 105 penduduk

per tahun di negara-negara berkembang (Frasca et al., 2008). Data lain menyebutkan

telah ditemukan lebih dari 213.000 kasus baru karsinoma tiroid di seluruh dunia pada

tahun 2008, dengan angka insiden kasar 3,1/100.000 (Cossu et al., 2013). Temuan

kasus baru meningkat lagi pada tahun 2010 berdasarkan penelitian terbaru yang

didukung oleh WHO yaitu ditemukan sekitar 44.670 kasus baru (De Matos et al.,

2012). Berdasarkan data SEER (Surveillance, Epidemiology, and End Results) di

Amerika Serikat, insiden karsinoma tiroid meningkat tiga kali lipat sejak tahun 1973,

Page 34: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

10

dengan kecepatan pertumbuhan 2,4% per tahun antara tahun 1980 hingga 1997 dan

6,5% per tahun sejak tahun 1997 serta saat ini menduduki lima besar karsinoma yang

mengalami peningkatan insiden tercepat, baik pada pria maupun wanita. Insiden

karsinoma tiroid di seluruh dunia bervariasi pada masing-masing daerah geografis

dan secara keseluruhan lebih tinggi pada negara ekonomi berkembang (Nikiforov,

2009).

Peningkatan insiden karsinoma tiroid terutama terjadi pada KTP, sedangkan tipe

lain seperti folikuler, meduler, maupun anaplastik tidak menunjukkan perubahan

yang signifikan. KTP berjumlah sekitar 83% dari keseluruhan keganasan tiroid dan

80% dari keseluruhan tumor ganas tiroid yang berdiferensiasi baik (Nikiforov, 2009;

Meng et al., 2012; Zidan et al., 2003). Peningkatan insiden KTP mencakup KTP

klasik dan KTPVF, baik pada tumor yang berukuran <1 cm maupun >1 cm atau

bahkan >4 cm hingga 5 cm. Peningkatan temuan insiden KTP kemungkinan terkait

dengan semakin maraknya metode deteksi dini melalui pemeriksaan ultrasonografi

maupun biopsi jarum halus (FNA/ fine needle aspiration). Alasan lainnya yaitu

karena telah dikenalnya perubahan inti yang khas menjadi kriteria morfologi KTP

(Nikiforov, 2009; Kondo et al,. 2006).

Di Indonesia tidak ditemukan data khusus tentang insiden KTP, data yang

dilaporkan adalah keseluruhan kasus kanker tiroid. Menurut Registrasi Perhimpunan

Dokter Spesialis Patologi Indonesia, dari tahun 2008-2010 kanker tiroid menempati

urutan ke 5 dari 10 kanker terbanyak dan urutan ke 4 dari 10 kanker terbanyak pada

Page 35: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

11

perempuan. Di Denpasar pada rentang tahun yang sama kanker tiroid menduduki

urutan ke 3 dari 10 kanker terbanyak dengan prevalensi secara berurutan yaitu

155/2000 kasus, 84/865 kasus, 118/1124 kasus. Diantara keseluruhan kasus tersebut,

diperkirakan sekitar 80% merupakan kasus KTP, dengan varian klasik (KTP Klasik)

sebagai subtipe KTP terbanyak (80%) dan diikuti oleh KTPVF sebagai subtipe kedua

terbanyak (9-22,5% kasus KTP) (Ditjen Yan Med, 2008-2010; Gupta et al., 2012).

0

2

4

6

8

10

2008 2009 2010

Denpasar

Gambar 2.1

Grafik prevalensi kasus karsinoma tiroid di Denpasar tahun 2008-2010

berdasarkan data registrasi kanker Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi

Anatomi Indonesia (Ditjen Yan Med, 2008-2010).

Hingga saat ini epidemiologi KTP masih sangat menarik untuk ditelusuri.

Penelitian berbagai negara di dunia telah membandingkan insiden tumor ini pada

populasi yang tinggal di area dataran tinggi (pegunungan) dengan populasi yang

tinggal di sekitar pantai membuktikan bahwa konsentrasi asupan iodium

mempengaruhi insiden KTP bahkan pada beberapa kasus berkaitan dengan morfologi

Prev

alen

si kasu

s

Tahun

Page 36: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

12

KTP (LiVolsi., 2011). Dilaporkan bahwa insiden KTP lebih sering pada daerah

dengan asupan iodium yang cukup, sedangkan insiden KTF berkaitan dengan

defisiensi iodium (Knobel et al., 2007).

Kasus goiter baik endemik maupun non endemik (sporadik) diyakini merupakan

prekursor perkembangan kanker tiroid. Prevalensi goiter di seluruh dunia pada

populasi umum sekitar 4-7%, dan insiden keganasan terjadi pada 10% kasus tiroid

goiter. Dilaporkan bahwa insiden karsinoma tiroid tercatat meningkat pada daerah

goiter endemik seperti Kolumbia dan Austria serta daerah non endemik seperti

Jerman. Peningkatan insiden karsinoma tiroid terkait goiter juga menjadi

permasalahan di negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. WHO mencatat sekitar

655 juta jiwa di dunia mengalami goiter dan 27% diantaranya berada di Asia

Tenggara (Htwe, 2012). Adapun perbandingan hasil studi epidemiologi karsinoma

tiroid terkait goiter di beberapa Negara Asia Tenggara sesuai tabel 2.3.

Di RSUP Sanglah Denpasar sekitar 70% kasus KTP berasal dari nodul goiter

baik nodul soliter tunggal maupun multipel. Pada kasus tersebut umumnya secara

mikroskopis akan ditemukan adanya latar belakang gambaran goiter di sekitar area

neoplastik. Hal ini menunjukkan bahwa kasus KTP di RSUP Sanglah Denpasar juga

berkaitan dengan kasus goiter.

Page 37: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

13

Tabel 2.3

Tabel temuan beberapa studi di Malaysia dan Myanmar tentang hubungan antara

karsinoma tiroid dan goiter (Htwe, 2012)

Studi; tahun

Sarawak;

2000–2004

Kelantan;

1994–2004

Perak;

2004–2007

Myanmar;

1996–1998

Kesimpulan dan diskusi

•Insiden secara signifikan lebih tinggi

pada pria (p=0,01)

•Prevalensi tertinggi pada rentang usia

21-40 tahun

•Tipe histologis tersering: KTP

•28,1% dari 1.480 lesi tiroid merupakan

lesi neoplastik

•Tersering adalah KTP (76,6%)

•Mayoritas kasus (59.9%) terjadi dengan

latar belakang hiperplasia noduler

•Studi menunjukkan karsinoma tiroid

yang berkembang dari MNT terbanyak

pada area defisiensi iodium

•Bukan merupakan area endemik ,

sampel sedikit tetapi Karsinoma tiroid

lebih tinggi dari daerah lain (11%) dan

KTP (57,5%)

•Rentang usia 21-60 tahun, tertinggi pada

ras malay, diikuti india kemudian china.

•Kejadian karsinoma tiroid diantara

keseluuhan kasus lebih tinggi secara

signifikan; p< 0,0001

•Frekuensi secara signifikan lebih tinggi

pada pasien usia 21-60 tahun; p < 0,008

•KTP dan adenoma folikuler secara

signifikan lebih tinggi dari tipe lainnya; p

= 0,003

•Peningkatan insiden tiap tahun;p > 0.034

Page 38: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

14

Studi epidemiologis lain telah melaporkan kaitan KTP dengan radiasi. Pada

pertengahan abad yang lalu, karsinoma tiroid seringkali terdiagnosis pada individu

yang sebelumnya pernah menjalani terapi radiasi dosis rendah pada bagian kepala

leher untuk penyakit jinak seperti hemangioma, limfangioma, pembesaran kelenjar

tymus, pembesaran tonsil dan adenoid. Laporan selanjutnya menyebutkan KTP

dijumpai pada korban serangan bom atom di Jepang pada akhir perang dunia II

(LiVolsi., 2011). Terakhir diketahui terjadi peningkatan tajam KTP pada anak-anak

usia di bawah 15 tahun akibat bencana Chernobyl di Belarusia pada bulan april 1986

yang dikenal sebagai epidemik KTP (LiVolsi., 2011; De Lellis et al., 2004).

Tabel 2.4

Prevalensi kasus karsinoma tiroid selama 3 tahun (2008-2010) di Indonesia

berdasarkan kelompok usia

Kelompok Prevalensi (%)

Usia 2008 2009 2010

<15 1,34 1,17 1,45

15-24 10,96 8,73 7,79

25-34 20,96 18,18 18,55

35-44 22,11 23,22 23,61

45-54 20,86 23,85 24,73

55-64 12,40 13,50 12,69

65-74 7,59 6,12 8,51

≥75 1,53 2,07 1,12

Berdasarkan kelompok usia, KTP bermanifestasi pada usia dewasa antara 20-50

tahun (median usia 43 tahun) dengan rasio perbandinganan antara perempuan dan

laki-laki yaitu 4:1. Jika terjadi diatas usia 50 tahun, dominasi perempuan berkurang.

Sedangkan median usia untuk kasus KTPVF sama dengan KTP pada umumnya yaitu

Page 39: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

15

44 tahun dengan rasio perbandingan perempuan terhadap laki-laki yaitu 6:1 (De

Lellis et al., 2004; Gupta et al., 2012; Chen et al., 2012). Sesuai tabel 2.4 di

Indonesia, selama tahun 2008-2010 lebih dari 75% kasus karsinoma tiroid terjadi

pada rentang usia 25-64 tahun, median usia yaitu 49 tahun, dengan rasio

perbandingan antara kelompok perempuan terhadap laki-laki yaitu 4:1.

Tingkat mortalitas akibat karsinoma tiroid masih rendah, namun kejadiannya

telah mengalami peningkatan sejak tahun 1992 dengan kecepatan 0,6% per tahun.

Pada tahun 2010, data terbaru WHO menyebutkan insiden mortalitas karsinoma tiroid

sebanyak 3,78%. Sedangkan untuk karsinoma berdiferensiasi baik seperti KTP, angka

harapan hidup tergolong tinggi yaitu sekitar 82-86% dan sebanding antara KTP klasik

maupun KTPVF (De Matos et al., 2012)

2.4 Faktor risiko

Terdapat beberapa faktor risiko terkait karsinoma tiroid terutama KTP, diantaranya

goiter, paparan radiasi, tiroiditis limfositik, faktor hormonal dan faktor herediter

(genetik). Goiter merupakan proliferasi kelenjar tiroid yang dapat terkait kondisi

eutiroid, hipo- maupun hipertiroid akibat penyakit primer pada tiroid maupun

rangsangan sekunder oleh faktor hormonal maupun faktor lain (Kondo et al., 2006).

Di Indonesia, beberapa wilayah masih tercatat sebagai daerah endemis goiter akibat

rendahnya asupan iodium. Adapula kasus goiter dengan etiologi yang belum jelas

diketahui, dikenal sebagai goiter sporadik diyakini berkaitan dengan faktor biologis

Page 40: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

16

intrinsik (prevalensi goiter lima hingga sepuluh kali lipat lebih sering terjadi pada

wanita daripada laki-laki), goitrogen alami, merokok, defisiensi zinc atau selenium

dan stress emosional (Fuhrer et al., 2012).

Goiter dapat menimbulkan hiperplasia yang bersifat difusa maupun noduler

(nodul tunggal dan multipel) dan dipercaya mempengaruhi peningkatan insiden KTP.

Analisis klonal telah dimanfaatkan dalam membedakan hiperplasia dengan neoplasia,

dimana hiperplasia digolongkan sebagai proliferasi yang bersifat poliklonal

sedangkan neoplasia merupakan proliferasi monoklonal dari sel yang mengalami

transformasi genetik. Pada tiroid, ditemukan perubahan pola monoklonal pada

kelompok nodul yang sebelumnya merupakan nodul hiperplastik (Kondo et al.,

2006). Mekanisme bagaimana perubahan poliklonal menjadi monoklonal ini

merupakan interaksi antara faktor risiko goiter dan adanya predisposisi genetik yang

selanjutnya menciptakan lingkungan mutagenik yang ditandai oleh peningkatan

proliferasi sel disertai pembentukan radikal bebas yang memicu adanya mutasi

somatik tirosit. Klonal tumor terbentuk jika defek genetik tidak dapat diperbaiki.

Pada kondisi ini, mutasi merupakan pencetus proliferasi sel (Fuhrer et al., 2012).

Goiter meningkatkan risiko karsinoma tiroid sebanyak dua setengah kali lipat (Cossu

et al., 2013)

Ditemukan bahwa insiden KTF lebih tinggi terjadi pada area goiter endemik yang

berkaitan dengan rendahnya asupan iodium. Sedangkan insiden KTP lebih sering

berkaitan dengan goiter sporadik pada area dengan asupan iodium yang cukup.

Page 41: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

17

Sebuah penelitian eksperimental pada hewan coba yang sebelumnya dengan asupan

iodium rendah kemudian diberikan suplementasi iodium didapatkan terjadinya

perubahan morfologi folikuler menjadi papiler. Hal ini menunjukkan peranan kadar

iodium lebih penting dalam memodulasi morfologi tumor daripada inisiator pada

karsinogenesis tiroid. Jika propilaksis iodium diberikan, maka terjadi penurunan rata-

rata TSH (Thyroid Stimulating Hormone) serum dan peningkatan perbandingan rasio

struktur papiler : folikuler (Kondo et al., 2006). Selain itu peningkatan iodium juga

berkaitan dengan frekuensi mutasi BRAFV600E dengan mekanisme yang belum

diketahui dan baru dibuktikan melalui beberapa studi epidemiologi (Pellegriti et al.,

2013)

Gambar 2.2

Mekanisme nodul goiter sebagai faktor risiko KTP (Fuhrer et al., 2012)

Radiasi meningkatkan risiko karsinoma tiroid hingga enam kali lipat (DeLellis et

al., 2004) Paparan radiasi menyebabkan terjadinya tata ulang kromosom yang

menghidupkan aktivitas gen secara berlebih, memicu instabilitas genomik melalui

mekanisme langsung maupun tak langsung, menyebabkan perubahan awal genetik

Page 42: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

18

yang melibatkan jalur sinyal mitogen activated protein kinase (MAPK). Aktivasi

onkogenik sinyal MAPK selanjutnya meningkatkan instabilitas genomik, memicu

perubahan lanjut genetik yang melibatkan jalur sinyal lainnya, regulator siklus sel dan

berbagai molekul adesi. Instabilitas genomik dan perubahan genetik secara bersama-

sama memicu progresi karsinoma tiroid (Kondo et al., 2006)

Gambar 2.3

Mekanisme beberapa faktor risiko seperti radiasi dalam memicu karsinoma tiroid

(Kondo et al., 2006)

Infiltrat limfosit seringkali dijumpai pada KTP, mengindikasikan faktor

imunologis yang terlibat dalam progresi KTP. Limfositik tiroiditis seperti pada

tiroiditis Hashimoto maupun autoimun memicu KTP tidak hanya melalui peningkatan

level TSH tetapi juga dengan memproduksi berbagai sitokin proinflamasi dan tekanan

oksidatif yang meningkatkan tumorigenesis tiroid (Kondo et al., 2006). Risiko

Page 43: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

19

terjadinya KTP akibat pengaruh imunologis sekitar satu sepertiga kali lipat

dibandingkan populasi normal (Baloch et al., 2010).

Terjadinya kasus KTP yang dua hingga empat kali lebih sering pada wanita

menunjukkan bahwa hormon pada wanita mengatur karsinogenesis tiroid. Beberapa

penelitian melaporkan bahwa reseptor estrogen diekspresikan oleh sel-sel epitel

folikel, sehingga pada pasien pemakai kontrasepsi oral maupun yang menjalani terapi

estrogen rentan mengalami karsinoma tiroid karena estrogen dapat memicu

proliferasi sel epitel folikel. Faktor lain seperti pada kehamilan terjadi peningkatan

hormon tiroid serum dan estrogen yang mendukung peranan estrogen dalam

karsinogenesis tiroid. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa estrogen dapat

meningkatkan ekspresi reseptor estrogen α (ERα) pada sel KTP non anaplastik,

meningkatkan proliferasi sel dan menghambat ekspresi protein pro-apoptosis. Sinyal

estrogen berkaitan dengan KTP yang tidak agresif, dengan diferensiasi dan prognosis

yang baik. Hal ini terjadi karena pada mayoritas KTP, efek proliferasi ERα akan

dihambat oleh ekspresi dominan reseptor estrogen β (ERβ) (Kondo et al., 2006;

Kavanagh et al., 2010)

Risiko karsinoma tiroid meningkat hingga enam kali lipat jika orang tua atau

saudara mengalami karsinoma tiroid, hal ini menunjukkan adanya peranan faktor

herediter. Bentuk idiopatik familial non-medullary thyroid carcinoma ditemukan

pada 3,5-6,2% kasus karsinoma tiroid. Karsinoma tiroid familial berkaitan dengan

beberapa sindrom tumor seperti gen adenomatous polyposis coli (APC), Cowden

Page 44: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

20

disease (terkait mutasi gen PTEN/ Phosphatase with tensin homology gene), sindrom

Werner (terkait mutasi gen WRN) serta karsinoma sel renal papiler (terjadi

kerentanan pada lokus 1q21) dan goiter multinoduler familial (kerentanan pada lokus

19p13.2) (Kondo et al., 2006)

2.5 Patogenesis Karsinoma Tiroid Papiler Klasik dan Varian Folikuler

Karsinoma tiroid terjadi akibat akumulasi dari sejumlah perubahan di tingkat

genomik (mutasi) yang dikenal sebagai instabilitas genomik. Berbeda dengan KTF,

pada KTP kromosom masih diploid atau mendekati diploid dengan frekuensi Loss of

Heterozygosity (LOH) yang lebih jarang. Perbedaan pola instabilitas kromosom ini

menunjukkan bahwa kedua tipe karsinoma tiroid ini melalui jalur molekuler yang

berbeda. Selanjutnya, instabilitas genomik memicu progresi neoplasma tiroid melalui

peningkatan aktivasi onkogenik hingga terhindar dari apoptosis. Serupa dengan

karsinoma di berbagai organ, proses karsinogenesis pada tiroid terjadi melalui

berbagai tahapan (multi-step) sehingga menimbulkan berbagai perubahan yang dapat

diamati secara histologik (Viglietto et al., 2012).

Page 45: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

21

Gambar 2.4

Kaskade karsinogenesis neoplasma tiroid (Viglietto et al., 2012).

Terdapat tiga jalur utama perubahan biologi molekuler pada tumor-tumor yang

berasal dari sel epitel folikel tiroid yaitu TSH/cAMP, MAP kinase (MAPK) dan

P13K/AKT. Jalur mitogenik dan diferensiasi TSH/cAMP terlibat pada

hipertiroidisme sedangkan jalur mitogenik MAPK terlibat dalam perkembangan

karsinoma tiroid dan jalur P13K/AKT mempengaruhi perkembangan karsinoma yang

masih berdiferensiasi maupun yang berdiferensiasi buruk. Mutasi reseptor TSH

(TSHR) maupun Guanine nucleotide-binding α subunit 1 (GNAS1) memicu

proliferasi sel pada nodul hiperfungsi tiroid maupun adenoma melalui aktivasi GSα-

adnylyl cyclase-cAMP. Mutasi TSHR dan GNAS1 jarang ditemukan pada keganasan

Page 46: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

22

tiroid, meskipun beberapa laporan kasus pernah menunjukkan adanya mutasi GNAS1

pada karsinoma tiroid berdiferensiasi baik (Kondo et al., 2006).

Gambar 2.5

Jalur sinyal sel pada neoplasia sel folikuler (Kondo et al., 2006).

Secara umum, karsinogenesis KTP terjadi melalui jalur kaskade RAS-BRAF-

MAPK. Tata ulang RET dan TRK merupakan karakteristik KTP yang berkaitan

dengan pecahnya rangkaian DNA. Sedangkan penelitian lain menemukan rendahnya

tata ulang kedua gen ini pada KTP dengan mutasi BRAF. Sehingga diketahui adanya

dua mekanisme utama pada KTP dalam aktivasi kaskade ini yaitu tata ulang RET

atau NTRK1 (Neurotrophic tyrosine kinase receptor1) dan aktivasi point mutation

pada BRAF, hanya diperlukan salah satu dari kedua mekanisme ini. Tata ulang RET

Page 47: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

23

atau NTRK selanjutnya menyandi reseptor tirosin kinase (TRK) transmembran

(Chien et al, 2012). Sedangkan aktivasi point mutation pada BRAF, akan menjadi

komponen signaling intermediet dari jalur MAPK, hal ini terjadi terutama pada tumor

yang bersifat sporadik (Chien et al, 2012; Fuhrer et al., 2006; Viglietto et al., 2012)

Tata ulang gen RET/PTC diketahui sebagai alterasi genetik spesifik pertama pada

karsinogenesis tiroid. Gen RET mengkode reseptor tirosin kinase dari glial cell-

derived nervous growth factor dan secara endogen terekspresi pada sel

neuroendokrin. Terjadi ekspresi yang salah dari potongan gen RET pada melalui fusi

promotor pada regio N-terminal dari gen terkait (disebut PTC-1,2 dan seterusnya) dan

regio C-terminal fungsional dari gen RET (mengandung tirosin kinase). Hasilnya

adalah aktivasi RAS-RAF-MAPK signaling. Saat ini teridentifikasi lebih dari 8

protein chimera RET/PTC pada karsinoma tiroid, dimana RET/PTC-1

(inv(10)(q11.2;q21) dan RET/PTC-3 atau ELE1-RET (inv(10)(q11.2;q10) terhitung

kira-kira 80% dan merupakan fusi gen yang tersering (Chien et al, 2012). Keduanya

melibatkan inversi pada lengan panjang kromosom 10, menghasilkan perpaduan

antara RET dengan gen Histone H4 (histone protein nucleosome) pada RET/PTC-1

atau RET dengan nuclear receptor coactivator 4 (NCOA4) pada RET/PTC-3 (Chien

et al., 2012; Santoro et al., 2006).

Tata ulang gen RET/PTC spesifik untuk tumor yang memiliki arsitektur klasik

dan mikrokarsinoma dan prevalennya ditemukan lebih tinggi (30% sampai 65%) pada

keganasan yang disebabkan oleh radiasi (Chernobyl-tumor) dan lebih jarang (5%

Page 48: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

24

sampai 15%) pada kanker yang sporadis. KTP varian klasik berkaitan dengan

RET/PTC1 (Chien et al., 2012).

Gambar 2.6

Tata ulang gen RET/PTC. A.Skema tampilan mekanisme molekuler terbentuknya

onkogen PTC. B.Perbandingan antara protoonkogen RET dan onkogen RET/PTC

(Viglietto et al., 2012)

Tata ulang gen lainnya pada KTP adalah inversi kromosom 7q menghasilkan fusi

antara BRAF dan AKAP 9 (A-kinase anchor protein 9 gene). Fusi protein ini

meningkatkan aktivitas kinase. Sepertiga sampai setengah dari kasus KTP ditemukan

gain-of-function mutation pada gen BRAF (Chien et al, 2012; Constantine et al,

2007). BRAF berlokasi pada kromosom 7q32, dan terjadi transversi thymine ke

adenine yang menyebabkan perubahan valine menjadi glutamate pada kodon 600

(BRAF V600E) (Constantine et al., 2007; Salajegheh et al., 2008). Mutasi pada BRAF

V600E dapat menyebabkan aktivasi RAF kinase dan secara in vitro dapat

menyebabkan transformasi sel dengan efikasi yang lebih tinggi daripada wild-type

A B

Page 49: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

25

BRAF. Mutasi BRAF V600E dilaporkan sebagai defek molekular yang sering terjadi

pada KTP yang sporadis (berkisar antara 36% sampai 69%) dan pada KTP klasik

(antara 29-69%). Sementara tata ulang gen AKAP9/BRAF (inv(7)(q21-22q34) terjadi

pada radiation-induced karsinoma tiroid. Mutasi BRAF berkaitan dengan tumor yang

lebih agresif, sehingga memiliki prognosis yang buruk (Chien et al., 2012).

Seperti halnya yang sering dijumpai pada KTF, 13% KTPVF mengalami

translokasi kromosom t(2;3)(q13;p25) yang menggabungkan faktor transkripsi

khusus tiroid PAX8 ke PPARɤ , reseptor hormon inti yang secara normal terlibat

dalam diferensiasi sel berbagai jaringan. Selanjutnya ditemukan bahwa terdapat

hubungan antara adanya translokasi PAX8-PPARɤ dengan KTPVF yang multifokal

dan dengan invasi vaskuler. Sehingga tata ulangnya ini kemungkinan berperan

memicu proses metastasis (Chien et al., 2012; Salajegheh et al., 2008).

Translokasi PAX8-PPARɤ juga disertai mutasi BRAF non konvensional (K601E)

yang menimbulkan penggantian lisin oleh glutamat pada kodon 601 (BRAF K601E),

akibatnya terjadi peningkatan aktivitas kinase seperti yang terjadi pada mutasi BRAF

V600E pada KTP klasik. Namun aktivitas kinase BRAF V600E 2,5 kali lebih besar

daripada aktivitas kinase oleh BRAF K601E. Penelitian Trovisco dkk meyakinkan

bahwa mutasi BRAF K601E spesifik untuk KTPVF (Chien et al., 2012; Salajegheh et

al., 2008).

Berikutnya juga dilaporkan bahwa pola mutasi Ras pada KTF serupa dengan yang

terjadi pada sekitar 21% KTP terutama KTPVF. Hal ini menunjukkan kemungkinan

Page 50: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

26

korelasi yang sangat kuat antara mutasi Ras dengan diferensiasi folikuler pada

karsinogenesis tiroid. Terdapat tiga protoonkogen Ras, diantaranya HRAS (pada

kromosom 11p11), KRAS (pada kromosom 12p12), dan NRAS (pada kromosom

1p13) merupakan kelompok famili besar protein yang berikatan dengan guanosin

triposfat (GTP) (Salajegheh et al., 2008). Mutasi pada karsinoma tiroid ini melibatkan

kodon 61 dari HRAS dan NRAS. Diketahui bahwa insiden mutasi Ras lebih jarang

dijumpai pada karsinoma tiroid yang berdiferensiasi baik dibandingkan dengan yang

berdiferensiasi buruk maupun yang anaplastik. Hal ini membuktikan bahwa mutasi

Ras berhubungan dengan progresi tumor (Kondo et al., 2006).

Selain keseluruhan proses intraseluler tersebut, progresi KTP berkaitan dengan

berbagai proses ekstraseluler seperti interaksi antar sel maupun interaksi sel dengan

ECM yang pada akhirnya juga mempengaruhi kondisi intraseluler (gambar 2.7).

Fibroblast growth factor (FGF) dan reseptornya (FGFR) merupakan regulator

penting dalam proses tomorigenesis maupun angiogenesis pada KTP. Pada berbagai

karsinoma tiroid akan terekspresi FGFR1, FGFR3 maupun FGFR4, sedangkan

FGFR2 hanya terekspresi pada tiroid normal dewasa. FGFR4 akan terekspresi pada

fenotip yang agresif mempengaruhi proliferasi, migrasi maupun diferensiasi sel.

Selain itu reseptor tirosin kinase MET yang merupakan reseptor untuk hepatocyte

growth factor (HGF) diketahui terekspresi kuat pada KTP (77-93%) dan berkaitan

dengan motilitas, kemampuan invasif dan memicu angiogenesis (Kondo et al., 2006).

Page 51: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

27

Gambar 2.7

Interaksi antar sel dengan sel dan sel dengan ECM pada karsinoma tiroid (Kondo

et al., 2006).

Ligan Vascular endothelial growth factor (VEGF) seperti VEGFA, VEGFB,

VEGFC dan VEGFD berikatan dengan reseptornya dan memicu proliferasi sel

endotel dan limfatik. Ditemukan bahwa overekspresi VEGFC dan VEGFD pada KTP

berkaitan dengan densitas metastasis limfatik maupun KGB. Keseluruhan interaksi

ini juga dapat meningkatkan regulasi fibronektin pada KTP yang tidak invasif.

Fibronektin merupakan protein matriks ekstraseluler yang mengatur adesi, migrasi,

invasi tumor dan metastasis. Molekul adesi ini secara umum menghubungkan sel ke

kolagen atau substrat proteoglikan ECM lainnya. Pada kasus KTP yang invasif terjadi

penurunan ekspresi fibronektin dan kemampuan adesinya didegradasi oleh MMP

(Kondo et al., 2006).

Page 52: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

28

2.6 Gejala klinis dan Makroskopis

Secara umum, KTP tampak sebagai massa tiroid atau cold nodule pada scan

radioaktif iodium atau seperti limfadenopati regio servikal. Pada area dengan

defisiensi iodium, KTP dapat berkembang dan tampak sebagai nodul yang berbeda

diantara goiter multinoduler. Sedangkan pada populasi dengan asupan iodium yang

cukup, KTP tampak sebagai nodul soliter yang teraba diantara kelenjar tiroid normal.

KTP seringkali ditemukan secara insidental pada nodul tiroid yang tidak teraba,

misalnya pada kasus trauma atau penyakit lainnya saat pemeriksaan imaging seperti

USG (Ultrasonografi). Nodul preklinis yang berupa fokus kecil atau fokus

mikroskopik KTP juga kadang ditemukan pada saat otopsi. Pentingnya arti klinis

karsinoma papiler yang tidak teraba tidak terlalu diperdebatkan sejak diketahui bahwa

karsinoma papiler dengan ukuran yang besar dan teraba pada pasien usia muda

memiliki harapan hidup 20 tahun sebanyak lebih dari 98% (De Lellis et al., 2004).

KTP klasik dapat menunjukkan berbagai pola makroskopis, lesi umumnya

berupa massa padat putih keabu-abuan dengan tepi yang ireguler atau kadang tampak

infiltrasi secara makroskopis ke parenkim tiroid sekitarnya. Beberapa kasus dapat

menunjukkan gambaran papil, perubahan kistik, kalsifikasi distrofik atau bahkan

pembentukan tulang. Ukuran tumor bervariasi, dari terkecil (<1 mm) hingga beberapa

sentimeter, ukuran rata-rata sekitar 2-3 cm. Tumor yang multisentrik juga sering

terjadi. Pada kasus lainnya tumor primer tampak solid meskipun metastasis ke KGB

menunjukkan gambaran kistik.

Page 53: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

29

Gambar 2.8

Makroskopis karsinoma tiroid papiler. A. Irisan KTP klasik menunjukkan lesi dapat

bersifat multifokal, lesi terbesar berupa area kistik dengan tonjolan papiler di

dalamnya. (foto dari John Nicholls, MD, Hong Kong University) B. Lesi soliter dan

berkapsel pada KTPVF menyerupai adenoma folikuler (Baloch et al., 2011).

Karsinoma papiler juga dapat berkembang dari kista duktus tiroglosus dan dapat

menunjukkan perluasan langsung ke lemak peritiroid, otot skeletal, esofagus, larynx

dan trakea. Karsinoma papiler memiliki kemampuan menginvasi sistem limfatik

dalam kelenjar tiroid sehingga metastasis ke kelenjar getah bening sering terjadi.

Untuk KTPVF, secara makroskopis sering menyerupai adenoma folikuler

encapsulated yaitu berupa tumor cenderung soliter berbentuk bulat hingga ovoid,

dan berkapsel (De Lellis et al., 2004). Pada irisan akan tampak berwarna kuning

kecoklatan, mengkilat (glassy) karena kandungan koloid yang dimilikinya (Baloch et

al., 2010).

A B

Page 54: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

30

2.7 Mikroskopis Karsinoma Papiler Tiroid Klasik dan Varian Folikuler

Terdapat berbagai varian/ subtipe KTP, diantaranya varian terbanyak yaitu varian

klasik yang didominasi pola pertumbuhan papiler dan varian terbanyak berikutnya

yaitu varian folikuler (KTPVF) yang didominasi dengan pola pertumbuhan folikuler.

Selain itu terdapat pula varian lain yang lebih agresif dilihat dari pola pertumbuhan,

tipe sel dan reaksi stroma seperti tall cell, columnar cell, diffuse sclerosing, clear cell

dan varian onkositik (Salajegheh et al., 2008). Secara umum, kriteria diagnosis KTP

awalnya didasarkan pada pola pertumbuhan papiler, namun saat ini sesuai ketetapan

WHO, hallmark diagnosis KTP didasarkan pada karakteristik inti (LiVolsi, 2011).

Gambaran histologi karakteristik inti KTP yaitu inti sel yang jernih, kosong, atau

Orphan Annie eye. Inti jernih ini berukuran lebih besar dengan bentuk yang lebih

ireguler dibandingkan inti sel folikel normal dan mengandung kromatin yang

hipodens. Gambaran inti yang jernih berkaitan dengan area tengah inti yang

eukromatin sedangkan area heterokromatin mayoritas terpusat di tepi inti. Anak inti

juga membenam di bagian tepi inti sehingga anak inti menjadi tidak terlihat. Inti pada

KTP ini tersusun saling tumpang tindih (overlapping) terkait dengan sitoplasma sel

epitelial folikel ganas yang terpusat di bagian apikal maupun basal sehingga inti sel

yang berdekatan tampak ramai dan saling tumpang tindih (LiVolsi, 2011). Sayangnya

gambaran inti yang jernih tidak hanya dijumpai pada KTP, tetapi juga dapat timbul

pada kasus tiroiditis autoimun khususnya tiroiditis hashimoto. Tetapi pada kasus non

neoplastik seperti tiroiditis, gambaran inti jernih bersifat fokal. Karakteristik inti

Page 55: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

31

lainnya yaitu adanya nuclear groove yaitu gambaran inti yang terbelah seperti biji

kopi (LiVolsi, 2011; Gonzalez et al., 2011).

Pada KTP klasik, susunan sel didominasi oleh struktur papiler namun dapat

bervariasi dan bercampur dengan struktur folikuler (Gonzalez et al., 2011). Struktur

papiler umumnya kompleks dan bercabang, pada beberapa kasus papil bisa sangat

edematous. Struktur papiler ini dilapisi oleh epitel dengan polaritas yang terganggu

dan sitoplasma yang eosinofilik. Pola arsitektur lain seperti folikuler maupun solid

umumnya bersamaan dengan struktur papiler dan sangat jarang menemukan pola

petumbuhan papiler murni (Livolsi, 2011).

Papiler pada KTP harus dibedakan dengan struktur papiler yang terkadang

ditemukan pada goiter noduler atau adenoma folikuler dengan papil, dan dari lipatan

papiler pendek hiperplasia difus. Pada kondisi tersebut, inti sel epitelnya umumnya

bulat, terletak di basal dan yang terpenting tidak menunjukkan gambaran inti

karsinoma papiler atau kalaupun ada hanya dalam jumlah yang sangat sedikit (De

Lellis et al., 2004).

Page 56: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

32

Gambar 2.9

Karakteristik inti KTP

A.Inti menggambarkan ground glass appearance (tanda panah). B.Karakeristik lain

inti KTP yaitu nuclear groove (tanda panah) (Livolsi, 2011; DeLellis et al., 2004)

Gambar 2.10

Mikroskopis KTP klasik

A. KTP dengan struktur papiler yang dominan. B. Fibrovascular core pada KTP

klasik (Gonzales et al., 2011)

A B

A B

Page 57: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

33

Varian KTP lainnya yang sering yaitu KTPVF. Deskripsi histologik KTPVF

pertama kali diperkenalkan oleh Lindsay pada tahun 1960, diikuti oleh Chen dan

Rosai tahun 1977 dan Rosai et al tahun 1983. Sesuai dengan namanya, KTPFV

ditandai oleh gambaran inti KTP yang khas (inti jernih, groove dan pseudoinklusi)

disertai pola pertumbuhan folikuler. Pola pertumbuhan folikuler dapat dijumpai pada

KTP dengan beragam proporsi dan istilah KTPVF awalnya dipakai untuk karsinoma

invasif yang menunjukkan arsitektur histologis folikuler yang dominan. Ini berarti

bahwa KTPVF merupakan KTP dengan komponen folikuler yang dominan, dan

adanya proporsi minor dari komponen papiler masih dapat diterima. Namun

gambaran komponen papiler merupakan papiler abortif yaitu berupa tonjolan papiler

yang pendek tanpa tangkai (stalk) yang jelas, menyerupai komponen papiler pada

goiter hiperplastik (Koseoglu et al., 2006). Pada beberapa laporan, masih adanya

komponen papiler pada sekitar 20% atau bahkan 30% masih diterima sebagai KTPVF

(Kakudo et al., 2012).

Page 58: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

34

Gambar 2.11

KTPVF yang encapsulated. KTP tersusun membentuk struktur folikuler pada

seluruh area tumor dengan inti menunjukkan karakteristik KTP (Gonzalez et al.,

2011).

KTPVF memiliki beberapa varian, diantaranya varian encapsulated,

nonencapsulated, dan difus (Gupta et al., 2012). KTPVF varian encapsulated

seringkali dikelirukan dengan adenoma folikular. Sehingga untuk menegaskan

diagnosis KTPFV pada kasus lesi tiroid berkapsel, LiVolsi and Baloch menetapkan

kriteria ditemukannya karakteristik sitologi KTP baik multifokal maupun difus pada

KTPFV yang berkapsel (Chen et al., 2012). Chan mengajukan kriteria yang lebih

ketat meliputi evaluasi gambaran mayor dan minor. Terdapat empat gambaran mayor,

antara lain: (1) inti oval hingga bulat, (2) inti yang tumpang tindih dengan polaritas

terganggu, (3) pola kromatin inti yang jernih atau pucat pada hampir seluruh lesi atau

gambaran groove yang jelas, dan (4) adanya psammoma bodies. Jika hanya ada satu

gambaran yang teridentifikasi, seluruh kriteria minor diperlukan untuk

Page 59: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

35

menyimpulkan diagnosis. Kriteria minor tersebut mencakup: (1) adanya papil abortif,

(2) didominasi oleh folikel yang memanjang atau ireguler, (3) koloid berwarna gelap,

(4) adanya pseudoinklusi inti, dan (5) histiosit berinti banyak pada lumen folikel

(Chen et al., 2012). Selain itu, folikel neoplastik pada KTPVF umumnya dengan

bentuk yang ireguler dan ukuran yang lebih bervariasi daripada karsinoma maupun

adenoma folikuler (Baloch et al., 2011).

Gambaran psammoma bodies, kalsifikasi dan respon desmoplastik dapat

ditemukan pada KTPVF tapi cenderung lebih jarang jika dibandingkan dengan KTP

klasik. Psammoma bodies tampak sebagai “bayangan” papil yang telah mati

merupakan diferensiasi kalsifikasi distrofik terbentuk dari area infark fokal pada

ujung papil yang menarik kalsium. Infark yang terus menerus disertai deposit kalsium

menimbulkan lamelasi. Psammoma bodies biasanya tampak pada bagian sentral

tangkai, pada stroma tumor, atau pembuluh limfatik, namun tidak pernah berada di

dalam folikel neoplastik (koloid) (Livolsi 2011; De Lellis et al., 2004).

2.8 Sistem Stadium dan Pola Perluasan Karsinoma Tiroid Papiler

Klasifikasi stadium tumor tiroid sesuai sistem TNM yang didasarkan pada ukuran

tumor (T), penyebaran limfatik (N), dan metastasis jauh (M). Sistem TNM ini

disahkan oleh International Union Against Cancer (IUCC) dan American Joint

Commission on Cancer (AJCC). Berikut penjabaran klasifikasi sistem TNM

berdasarkan AJCC dalam menentukan stadium karsinoma tiroid (Rubin et al., 2012).

Page 60: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

36

Tabel 2.5

Sistem TNM berdasarkan AJCC (Rubin et al., 2012)

Definisi TNM

Kelompok stadium

T1

Dimensi terbesar tumor ≤2

cm, terbatas pada tiroid

N0

Tanpa metastasis KGB

regional

Stadium I

T1 N0 M0

T2

Dimensi terbesar tumor >2cm tetapi ≤ 4 cm

N0

Tanpa metastasis KGB regional

Stadium II

T2N0M0

T3

Dimensi terbesar tumor >4

cm atau tumor dengan berbagai ukuran dengan

perluasan ekstratiroid

minimal (contoh: ke otot sternotiroid)

N1a

Metastasis ke level VI (KGB Pretrakea, paratrakea

dan Delphian/ Prelaringeal)

Stadium III

T3N0M0

T1N1aM0

T2N1aM0

T3N1aM0

T4a

Tumor berbagai ukuran melewati kapsel,

kejaringan subkutan, laring, trakea, esophagus

dan recurrent laryngeal

nerve.

N1b

Metastasis ke KGB

servikal unilateral, bilateral, kontralateral atau

superior mediastinum.

Stadium IVa

T4aN0M0

T4aN1aM0

T1N1bM0

T2N1bM0

T3N1bM0

T4N1bM0

T4b

Tumor menginvasi fascia

prevertebra atau menyelubungi arteri karotis

atau pembuluh darah

mediastinal

Stadium IVb

T4b berbagai N

M0

M1

Metastasis jauh

Stadum IVc Berbagai T

Berbagai N M1

Page 61: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

37

Invasi kapsel maupun invasi intravasa merupakan faktor prediktif terjadinya

metastasis pada KTP. Selanjutnya adanya metastasis baik ke KGB maupun metastasis

jauh mempengaruhi tingginya angka kekambuhan dan mortalitas pada pasien KTP

(Gupta et al., 2012). Secara morfologi, KTPVF cenderung lebih sering berkapsel

dibandingkan KTP klasik sehingga gambaran invasi kapsel lebih sering dijumpai

pada kasus KTPVF, seperti halnya pada KTF maupun adenoma folikuler. Frekuensi

invasi kapsel pada KTPVF encapsulated lebih tinggi dibandingkan KTP klasik yaitu

65% berbanding 38% (Gupta et al., 2012; Chen et al., 2012). Pada KTPVF

encapsulated, kaskade perluasan tumor diawali dengan invasi tumor melewati

kapselnya, baik tanpa atau disertai adanya invasi vasa intra kapsuler maupun ekstra

kapsuler. Seiring dengan peningkatan ukuran tumor dan kemampuan invasifnya,

akhirnya terjadi kaskade lanjutan berupa perluasan tumor ke jaringan ekstra tiroid.

Namun proses lanjutan ini jarang terjadi pada KTPVF encapsulated, perluasan ekstra

tiroid lebih sering dijumpai pada KTPVF nonencapsulated dalam frekuensi yang

sebanding dengan KTP klasik (Chen et al., 2012; Chrisoulidou et al., 2011; Ghossein

et al., 2009). Penentuan kriteria adanya invasi kapsel pada KTPVF sama seperti

penentuan invasi kapsel pada KTF (Ghossein et al., 2009).

Page 62: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

38

Gambar 2.12

Gambaran Skematik Interpretasi Invasi Kapsel (Ghossein et al., 2009)

Gambar 2.12 menunjukkan bahwa follicular neoplasm (oranye) yang dikelilingi oleh

kapsel fibrous (hijau). A dan B menggambarkan bagian tumor belum melewati

kapsel, C. Tumor secara total melewati kapsel, D. Tumor diliputi oleh kapsel fibrous

tipis, namun sudah meluas melampaui garis imajiner yang ditarik melalui kontur luar

kapsel, E. Satellite tumor nodule dengan arsitektur dan sitomorfologi yang sama

dengan tumor utama berada di luar kapsel, F. Folikel terletak tegak lurus pada kapsel

memberi kesan adanya invasi, G. Folikel terletak sejajar pada kapsel, H. Tumor

menyerupai gambaran mushroom, secara total melewati kapsel, I. Tumor menyerupai

gambaran mushroom, namun belum melampaui kapsel, J. Folikel neoplastik pada

kapsel fibrous disertai adanya sel limfosit dan siderofag, berkaitan dengan ruptur

kapsel karena tusukan jarum saat pemeriksaan FNAB sebelumnya. Yang digolongkan

Page 63: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

39

telah mengalami invasi kapsel adalah C, D, E dan H sedangkan A, B, F, G, I dan J

belum dinyatakan mengalami invasi kapsel (Ghossein et al., 2009).

KTPVF merupakan varian KTP yang unik karena pola invasinya beragam, selain

menembus kapsel dan menimbulkan perluasan ke jaringan ekstratiroid, KTPVF dapat

meluas melalui vaskuler sehingga menimbulkan metastasis ke organ jauh dan dapat

pula serupa dengan KTP klasik yang melalui jalur limfonodi dan akhirnya

bermatastasis di KGB. Hal ini berkaitan dengan latar belakang molekuler KTPVF

yang dapat mengikuti pola molekuler KTP klasik maupun KTF (Chen et al., 2012;

Chrisoulidou et al., 2011; Ghossein et al., 2009).

Penentuan adanya invasi vaskuler pada KTPVF maupun KTP klasik berdasarkan

kriteria 1) adanya sel tumor pada ruang vaskuler, 2) adanya sel tumor yang menempel

di endotel vaskuler, 3) adanya sel tumor yang invasif melalui dinding pembuluh

darah dan endotel dan 4) adanya trombus yang menempel pada tumor intravaskuler

(Mete et al., 2011). Frekuensi invasi vaskuler pada KTPVF juga lebih tinggi daripada

KTP klasik yaitu 25% berbanding 5%. Pada berbagai penelitian, frekuensi terjadinya

metastasis jauh pada KTP berkisar antara 1,73-8,4% kasus yang umumnya terjadi

pada KTPVF. Dari hasil review 13 penelitian dilaporkan bahwa frekuensi metastasis

jauh tersering yaitu pada paru (49%), diikuti tulang (25%) dan pada tulang maupun

paru (5%). Sedangkan metastasis ke KGB dijumpai pada sekitar 35% keseluruhan

kasus KTP dan 70% diantaranya terjadi pada KTP klasik. Kecenderungan KTP klasik

untuk menimbulkan metastasis melalui KGB berkaitan juga dengan dasar biologi

Page 64: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

40

molekulernya yaitu adanya perubahan genetik akibat mutasi BRAF dan tata ulang

RET/PTC (Chen et al., 2012; Chrisoulidou et al., 2011; Ghossein et al., 2009;

NCNN, 2012).

2.9 Penanganan Karsinoma Tiroid Papiler

Penanganan pasien dengan KTP secara umum terdiri dari empat komponen utama

diantaranya ekstirpasi pembedahan yang adekuat, ablasi RAI (Radioactive Iodine)

tambahan pada kasus tertentu, supresi TSH, dan surveillance. Keseluruhan strategi

terapi tergantung pada temuan preoperatif dan intraoperatif sesuai klasifikasi TNM

serta evaluasi postoperatif yang berkaitan dengan perangai biologis tumor (Cooper et

al., 2006; NCCN, 2012). Penelitan sebelumnya menunjukkan perangai KTPVF

varian encapsulated berbeda dengan KTP klasik, terkait tingkat mutasi BRAF V600E

dan metastasis KGB yang lebih rendah. Berbeda dengan KTPVF non encapsulated

yang perangai biologisnya menyerupai KTP klasik, dengan tingkat mutasi BRAF

V600E dan metastasis KGB yang secara signifikan lebih tinggi. Namun penelitian

terbaru menemukan bahwa perangai kedua varian KTPVF ini tidak menunjukkan

perbedaan yang bermakna, sehingga penentuan agresivitas kasus KTPVF dari

berbagai aspek sangat penting untuk ketegasan penentuan terapi karena kasus yang

agresif memerlukan tiroidektomi total, radical neck dissection (RND) dan ablasi RAI

(Constantine et al., 2007; Chang et al., 2006; Xing et al., 2005)

Page 65: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

41

Pilihan terapi untuk reseksi tumor primer tiroid sering diperdebatkan, apakah

harus memilih lobektomi atau tiroidektomi total atau near-total (mendekati total).

Hingga saat ini masih diperdebatkan luas tiroidektomi yang harus dilakukan,

terutama untuk KTP yang berukuran kecil, intratiroid, berisiko rendah dan

berdiferensiasi baik. Beberapa memaparkan bahwa terapi lobektomi tidak

memberikan keuntungan harapan hidup dibandingkan tiroidektomi yang lebih luas

namun bisa mengurangi risiko terjadinya komplikasi cedera RLN (Recurrent

Laryngeal Nerve) dan hipoparatiroidisme permanen (Cooper et al., 2006; Bilimoria et

al., 2007)

Pendapat yang mendukung tiroidektomi total meliputi laporan bahwa tiroidektomi

yang lebih luas mengurangi risiko kekambuhan dan memberikan keuntungan untuk

harapan hidup dibandingkan lobektomi. Demikian pula di tangan ahli bedah endokrin

yang berpengalaman, tingkat komplikasi antara tiroidektomi total sebanding dengan

lobektomi. KTP bersifat multifokal pada 80% kasus dan bilateral pada 60% kasus,

dan pilihan untuk menghilangkan seluruh kelenjar tiroid memfasilitasi kegunaan RAI

postoperatif untuk menangani sisa tumor yang tampak secara mikroskopik atau lesi

metastatik, serta mendukung kegunaan tiroglobulin (Tg) postoperatif sebagai marker

sensitif dalam mengetahui kekambuhan. Pedoman konsensus menganjurkan

tiroidektomi total atau yang mendekati total sebagai pilihan terapi awal pada pasien

KTP dengan indikasi absolut meliputi riwayat paparan radiasi, kanker tiroid familial,

tumor ukuran lebih dari 4 cm, adanya perluasan ekstratiroid, adanya metastasis

Page 66: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

42

limfonodi atau metastasis jauh, atau varian histologis KTP bersifat agresif (Toniato et

al., 2008; Haigh et al., 2005)

Metastasis KGB pada kasus KTP sering ditemukan, melalui tindakan diseksi

leher propilaktik didapatkan prevalensi 33-63% untuk metastasis KGB leher sentral

(pre-atau paratrakea/ level VI), dan prevalensi 57-64% untuk metastasis KGB leher

lateral (level II, III, dan IV) yang sebelumnya tidak terdeteksi melalui pemeriksaan

ultrasonografi preoperatif. Diseksi limfonodi yang berorientasi pada terapeutik

kompartemen diindikasikan bagi metastasis limfonodi servikal yang sudah diketahui.

Meskipun jumlah ini tinggi, namun arti pentingnya metastasis limfonodi masih belum

jelas karena beberapa studi menunjukkan bahwa metastasis limfonodi tidak

berpengaruh pada keseluruhan harapan hidup, terutama pada pasien yang berusia

dibawah 45 tahun (Shindo et al., 2006; Ito et al., 2006; Pereira et al., 2005)

Kegunaan limfadenektomi propilaktik dalam terapi kasus KTP masih kontroversi.

Kelompok pendukung RND berpendapat bahwa metastasis limfonodi regional sering

terjadi dan berkaitan dengan tingginya tingkat kekambuhan dan kematian. Sedangkan

kelompok yang menetang berpendapat bahwa metastasis limfonodi tidak berpengaruh

pada keseluruhan harapan hidup, dan prosedur ini justru meningkatkan risiko

komplikasi dengan dilaporkannya 2-7% kasus paralisis vocal cord sementara, 14-

60% hipoparatiroidisme sementara dan 2-5% hipoparatiroidisme permanen. American

Thyroid Association Guidelines (ATA) 2009 memberi rekomendasi untuk tindakan

elektif (propilaksis) diseksi kompartemen sentral leher pada pasien dengan tumor

Page 67: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

43

primer bersifat lanjut (T3 atau T4) meskipun secara klinis tidak ditemukan

keterlibatan limfonodi sentral leher (Ito et al., 2012). Disisi lainnya, pedoman NCCN

(National Comprehensive Cancer Network) tidak menganjurkan tindakan diseksi

leher sentral rutin, kecuali jika pada pemeriksaan palpasi atau biopsi limfonodi positif

menunjukkan lesi metastasis (Ito et al., 2012; Pereira et al., 2005).

Komponen kedua pada strategi penanganan global pasien KTP adalah ablasi RAI

yang diberikan pada 4-12 minggu setelah tindakan pembedahan, bertujuan untuk

menghancurkan sisa jaringan tiroid setelah tiroidektomi dan menangani lesi

metastasis yang masih tersembunyi ataupun telah diketahui. Kontroversi tindakan

ablasi RAI timbul karena meskipun dapat mengurangi tingkat kekambuhan dan

mortalitas, beberapa studi justru menunjukkan tidak ada keuntungan, terutama bagi

pasien yang masuk dalam kelompok risiko rendah. Baik pedoman ATA maupun

NCCN menganjurkan ablasi RAI untuk seluruh pasien KTP kecuali pasien stadium 1

yang memiliki risiko kekambuhan sangat rendah (pasien dengan diferensiasi baik,

unifokal, tumor berukuran lebih kecil dari 1 cm, tanpa perluasan ekstratirod atau

invasi vaskuler, dan tanpa metastasis limfonodi maupun jauh (Sawka et al., 2004).

Komponen ketiga untuk strategi penanganan global kasus KTP adalah pemberian

hormon tiroid dosis suprafisiologis dalam bentuk levotiroksin (LT4) dengan harapan

dapat menekan TSH yang diketahui menjadi stimulator proliferasi sel tiroid.

Penelitian retrospektif maupun prospektif menunjukkan bahwa pasien dengan terapi

LT4 mengalami penurunan risiko efek samping klinis mayor terutama pada kelompok

Page 68: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

44

pasien risiko tinggi. Pedoman ATA menganjurkan penekanan TSH dibawah 0.1

mIU/mL untuk kelompok risiko tinggi dan antara 0.1-0.5 mIU/mL untuk kelompok

risiko rendah (McGriff et al., 2004).

Komponen terakhir pada strategi penanganan global kasus KTP adalah surveilens.

Lonjakan terjadinya tumor dipantau secara periodik oleh klinisi yang berpengalaman.

Pengukuran TSH, Tg dan anti-TG serum, USG servikal dan scan RAI sensitif untuk

adanya lesi sisa atau kekambuhan (Cooper et al., 2006).

Terapi terbaru untuk pasien dengan KTP lanjut dan metastatik meliputi pemberian

agen rediferensiasi, dimana agen tersebut memiliki target pada jalur RAS, BRAF,

VEGF dan reseptornya, jalur reseptor EGF dan jalur angiogenik lain dengan agen

seperti thalidomide dan proteasome (Xing et al., 2005; Ito et al., 2007).

2.10 Struktur, Jenis dan Fungsi Umum Matriks Metalloproteinase (MMP)

MMP merupakan famili endopeptida yang tergantung pada zinc. MMP sering disebut

sebagai kelompok protease metzincin karena selalu menyediakan corak pengikat zinc

yang tersimpan ada bagian katalitik aktifnya. MMP pertama kali ditemukan oleh

Jerome Gross dan Charles Lapiere pada tahun 1962 ketika mengetahui adnya

aktivitas enzimatik selama metamorfosis ekor kecebong. Mereka menemukan bahwa

triple helix kolagen didegradasi jika ekor kecebong ditempatkan pada matriks

kolagen kecebong yang bermetamorfosis (Ansari et al., 2013; Loffek et al., 2011).

Page 69: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

45

MMP dilepaskan sebagai proenzim yang tidak aktif, tetapi selanjutnya diaktifkan

oleh berbagai faktor yang dikendalikan oleh TIMP (tissue inhibitors of matrix

metalloproteinases). Kelompok/ famili TIMP dibentuk oleh empat enzim. Kondisi

patologis akan timbul jika terjadi ketidakseimbangan tingkat MMP dan TIMP.

Berbagai penelitian juga melaporkan bahwa peningkatan ekspresi MMP memicu

berbagai penyakit inflamasi, keganasan dan degeneratif. Disinilah pentingnya

aktivitas penghambat MMP dalam terapi (Ansari et al., 2013). Seperti yang tampak

pada gambar 2.13, MMP memiliki tiga domain utama, yaitu:

1) Pro-peptida yang berperan menjaga enzim dalam bentuk tidak aktif. Domain

ini mengandung “Cystein switch” yakni residu cystein unik dan selalu terjaga,

yang berinteraksi dengan zinc pada bagian aktif. Saat aktivasi enzim, bagian

ini akan dipecah secara proteolitik oleh furin secara intraseluler atau MMP

lainnya dan protease serin secara ekstraseluler.

2) Domain katalitik yang menjadi penanda struktural corak pengikat zinc. Ion

Zn2+, diikat oleh tiga residu histidin membentuk area aktif. Area aktif ini

berjalan secara horizontal melewati molekul sebagai celah dangkal dan

berikatan dengan substrat.

3) Bagian penghubung (hinge region) merupakan sebuah jembatan lentur atau

bagian penghubung yang terbuat dari 75 rantai asam amino berfungsi untuk

menghubungkan domain katalitik dengan domain terminal-C. Bagian ini

sangat penting untuk menjaga stabilitas enzim.

Page 70: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

46

4) Domain terminal-C yang menyerupai hemopexin merupakan domain yang

rangkaiannya menyerupai protein serum hemopexin. Rantai polipeptida

domain ini tersusun dalam empat lembaran β yang simetris. Permukaan datar

yang disediakan oleh struktur ini dipercaya terlibat dalam interaksi antar

protein dan merupakan penentu spesifisitas substrat, contohnya: TIMP

berinteraksi pada area ini.

Gambar 2.13

Struktur Matriks Metaloproteinase (MMP) (Ansari et al., 2013)

Kemampuan MMP dalam menghancurkan berbagai komponen matriks

ekstraseluler (ECM) menunjukkan bahwa berperan utama dalam remodeling ECM

yang signifikan selama perkembangan embryogenik karena remodeling ECM

merupakan bagian penting dalam pertumbuhan dan morfogenesis jaringan. Ini juga

didukung oleh penelitian terbaru yang menunjukkan peranan penting MMP sebagai

jaringan sinyal pengatur komponen ekstraseluler yang mempengaruhi kondisi seluler

Page 71: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

47

(Loffek et al., 2011). Secara sistematis, beberapa fungsi seluler MMP selama

perkembangan dan fisiologis normal, yaitu (sesuai gambar 2.15) (Ansari et al., 2013):

1) Membantu migrasi sel melalui degradasi molekul ECM

2) Mengubah perangai seluler dengan mengubah lingkungan mikro ECM

3) Membantu aktivitas molekul aktif secara biologis dengan pemecahan

langsung, pelepasan dari simpanan, atau memodulasi aktivitas

penghambatnya.

Gambar 2.14

Fungsi seluler MMP selama perkembangan dan fisiologis normal.

Berdasarkan spesifisitas MMP terhadap komponen ECM, MMP dibagi menjadi

kelompok kolagenase, gelatinase, stromelysin dan matrilysin. Sedangkan diantara

Page 72: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

48

delapan kelas struktural MMP, 5 disekresikan dan 3 lainnya merupakan MMP tipe

membran (MT-MMP) (Ansari et al., 2013).

Tabel 2.6

Jenis Matriks Metaloproteinase (Ansari et al., 2013)

Jenis MMP Kelas struktural Nama umum MMP-1 Simple hemopexin domain Kolagenase-1, interstitial Kolagenase, fibroblast

kolagenase, tissue kolagenase

MMP-2 Gelatin-binding Gelatinase A, 72-kDa gelatinase, 72-kDa typeIV

kolagenase, neutrophil gelatinase

MMP-3 Simple hemopexin domain Stromelysin-1, transin-1, proteoglikanase, protein

pengaktivasi prokolagenase

MMP-7 Minimal domain Matrilysin, matrin, PUMP1, small uterine

metalloproteinase

MMP-8 Simple hemopexin domain Kolagenase-2, kolagenase neutrophil, kolagenase

PMN, kolagenase granulosit

MMP-9 Gelatin-binding Gelatinase B, gelatinase 92-kDa, kolagenase 92-

kDa tipe IV

MMP-10 Simple hemopexin domain Stromelysin-2, transin-2 MMP-11 Furin-activated

dan Stromelysin-3

MMP-12 Simple hemopexin domain Metalloelastase, elastase makrofag, metalloelastase

makrofag

MMP-13 Simple hemopexin domain Kolagenase-3

MMP-14 Transmembrane MT1-MMP, MT-MMP1

MMP-15 Transmembrane MT2-MMP, MT-MMP2

MMP-16 Transmembrane MT3-MMP, MT-MMP3

MMP-17 GPI-linked MT4-MMP, MT-MMP4

MMP-18 Simple hemopexin domain Kolagenase-4 (Xenopus)

MMP-19 Simple hemopexin domain RASI-1, MMP-18

MMP-20 Simple hemopexin domain Enamelysin

MMP-21 Vitronectin-like insert Homolog dari Xenopus XMMP

MMP-22 Simple hemopexin domain CMMP (pada ayam)

MMP-23 Type II transmembrane Cysteine array MMP (CA-MMP), femalysin,

MIFR,MMP-21/MMP-22

MMP-24 Transmembrane MT5-MMP, MT-MMP5

MMP-25 GPI-linked MT6-MMP, MT-MMP6, leukolysin

MMP-26 Minimal domain Endometase, matrilysin-2

MMP-27 Simple hemopexin domain

MMP-28 Furin-activated and secreted Epilysin

Tanpa nama Simple hemopexin domain Mcol-A (pada tikus)

Tanpa nama Simple hemopexin domain Mcol-B (pada tikus)

Tanpa nama Gelatin-binding Gelatinase 75-kDa (pada ayam)

Page 73: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

49

Dalam proses keganasan, peranan MMP juga menyerupai yang terjadi dalam

proses fisiologis namun terjadi ketidakseimbangan dengan aktivitas penghambatnya.

Terjadi degradasi komponen ECM pada membran basalis dan jaringan ikat interstisial

yang tersusun atas kolagen, glikoprotein dan proteoglikan. Suatu karsinoma pertama-

tama harus menembus membran basalis dibawahnya, kemudian melintasi jaringan

ikat, dan secara cepat mencapai sirkulasi dengan cara menembus membran basalis

pembuluh darah. Proses ini berulang lagi jika emboli sel tumor mengalami

ekstravasasi ke tempat jauh. Invasi melalui ECM mengawali kaskade metastasis dan

merupakan proses aktif yang melibatkan beberapa tahap, diantaranya perubahan

interaksi antara sel tumor dengan sel, degradasi ECM, perlekatan ke komponen

terbaru ECM dan migrasi sel tumor (Kumar et al., 2010).

MMP terlibat dalam tahap kedua proses invasi yaitu degradasi lokal membran

basalis dan jaringan ikat interstisial. Sekresi MMP tersebut dapat berasal langsung

dari sel tumor atau dari induksi terhadap sel stroma (seperti fibroblast dan sel

inflamasi). Protease lain yang juga disekresikan yaitu cathepsin D dan urokinase

plasminogen activator. MMP mengatur invasi tumor tidak hanya dengan cara

mengubah komponen yang tidak larut pada membran basalis dan matriks interstisial,

tetapi juga dengan pelepasan growth factor yang disimpan ECM (Kumar et al., 2010;

Bouchet et al., 2014).

Page 74: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

50

2.11 Fungsi Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9/Gelatinase)

Diantara seluruh MMP, salah satu kelompok gelatinase yaitu MMP-9 (gelatinase B)

mendapat perhatian pada beberapa penelitian dalam memahami sifat invasif dan

metastatik tumor terkait kemampuannya dalam mendegradasi kolagen IV, komponen

utama dari membran basalis epitel dan vaskuler. Hubungan antara komponen radang,

stroma dan tumor mempengaruhi aktivasi dan produksi MMP-9/ gelatinase B. Gen

MMP-9/ gelatinase B berlokasi pada kromosom 20q11.2-q13.1, terdiri dari 7.654

basa dan ditranskripsikan sebagai 2.4 kb mRNA tunggal (Bouchet et al., 2014;

Marecko et al., 2014).

Protein MMP-9 merupakan enzim metallo-multidomain, dengan catalytic site

tersusun atas domain pengikat logam yang dipisahkan dari active site oleh ulangan

tiga fibronektin yang memfasilitasi degradasi substrat besar seperti elastin dan

penghancuran kolagen. Dalam regio ini, asam amino Asp309, Asn319, Asp232,

Tyr320 dan Arg3076 penting untuk pengikat gelatin. Catalytic site tetap

dipertahankan dalam bentuk tidak aktif oleh amino-terminal pro-peptide PRCGXPD,

dengan koordinasi cysteine bersama katalitik Zn2+. Ujung terminal COOH dari

MMP-9 mengandung domain hemopexin yang mengatur ikatan dengan substrat,

berinteraksi dengan inhibitor dan membantu ikatan ke permukaan sel. Domain O-

glycosylated sentral memberikan fleksibilitas molekuler, mengatur spesifisitas

substrat MMP-9 invasi yang bergantung MMP-9, interaksi dengan TIMP dan

lokalisasi permukaan sel. Domain ini membantu pergerakan MMP-9 sepanjang

Page 75: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

51

substrat makromolekuler dan melepaskan ikatan kolagen sebelum dipecahkan oleh

enzim lainnya (Farina et al., 2014; Loffek et al., 2011).

Keterangan:

Gambar 2.15

Struktur MMP-9 (Gelatinase B) (Loffek et al., 2011)

MMP-9 dihasilkan oleh sel tubuh manusia, seperti sel fibroblast stroma, sel

endotelial, sel polimorfonuklear (PMN), keratinosit, makrofag dan beberapa sel

epitel. Aktivitas enzimatik MMP-9 dihambat oleh inhibitor protease sistemik α2-

makrogloblin, anggota famili TIMP dan antagonis terhadap domain hemopexinnya

sendiri. MMP-9 mendapat perhatian khusus karena ekspresi basalnya rendah secara

normal, sedangkan pada kondisi kanker MMP-9 terekspresi kuat akibat respon

terhadap berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin. Melalui penelitian eksperimental

terhadap tikus dengan defisiensi MMP-9 menunjukkan kegagalan metastasis dan

pertumbuhan tumor (Farina et al., 2014).

Peranan proonkogenik MMP-9 telah dilaporkan, diantaranya berkaitan dengan

transformasi neoplastik, inisiasi dan promosi tumor dan instabilitas genetik. MMP-9

Page 76: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

52

dapat menempati inti sel, meskipun memiliki sinyal lokalisasi inti klasik yang rendah

dan aktivitas gelatinase inti menyatu dengan peningkatan fragmentasi DNA.

Gelatinase inti ini mendegradasi matriks protein inti yaitu PARP (poly-ADP-ribose-

polymerase), menghindarkannya dari proses perbaikan DNA (Farina et al., 2014).

Gambar 2.16

Peranan MMP-9 yang bebas TIMP yang berasal dari sel radang PMN sel tumor

maupun stroma dalam inisiasi tumor dan promosi instabilitas genetik. Melalui

degradasi matriks ekstraseluler (ECM), dan aktivitas kemokin, sitokin dan growth

factor (Farina et al., 2014).

Peningkatan aktivitas MMP-9 yang ditunjang oleh PMN neutrofil selanjutnya

juga meningkatkan penarikan neutrofil melalui degradasi yang dimediasi MMP-9 dan

superaktivasi IL-8, meningkatkan istabilitas genetik. Selanjutnya MMP-9 terlibat

dalam ekspansi klonal yang merupakan tahap penting pada progresi tumor dengan

melibatkan keseimbangan antara proliferasi, apoptosis dan angiogenesis. Transisi

epitelial menjadi mesenkimal (EMT) merupakan kemampuan perubahan sel epitel

yang awalnya tidak dapat bergerak menjadi sel progenitor mesenkimal yang dapat

Page 77: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

53

bergerak. Mekanisme ini penting untuk perkembangan (tipe 1), proses penyembuhan

normal atau fibrosis patologis (tipe 2) dan transformasi metastatik sel kanker (tipe 3).

EMT tipe 3 sangat fundamental pada progresi tumor untuk bermetastasis, dan baik sel

kanker yang mengalami reaktivasi ataupun dediferensiasi atau teraktivasi ini akan

terinduksi menjadi fenotip yang invasif dan memiliki kemampuan motilitas. MMP-9

merupakan protein penting yang berkaitan dan bahkan penyebab EMT (Antonietta et

al, 2014).

Gambar 2.17

Transisi epitelial menjadi mesenkimal (EMT) yang dipicu MMP-9 (Farina et al.,

2014)

Neovaskularisasi tumor merupakan proses penting untuk ekspansi tumor primer,

progresi metastatik dan pertumbuhan metastatik, terjadi melalui beberapa proses

meliputi permulaan angiogenesis, vaskulogenesis, gabungan intersusepsi dan/atau

menyerupai vaskuler. Tidak seperti pembuluh darah normal, pembuluh darah pada

tumor bersifat abnormal dan imatur. MMP-9/ gelatinase B merupakan molekul

proangiogenik dan memicu aktivasi angiogenik pada pembuluh darah tua dengan cara

Page 78: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

54

mengatur proliferasi perisit, apoptosis dan penarikan perisit selama angiogenesis serta

memobilisasi perekrutan prekursor angiogenik sumsum tulang ke stroma tumor untuk

meningkatkan proses angiogenik dan vaskulogenik tumor. MMP-9 juga memicu

aktivasi angiogenik dengan memobilisasi mitogen angiogenik seperti FGF and

VEGF. Selain itu hipoksia karena tumor merupakan stimulus angiogenesis dan

berperan meningkatkan ekspresi MMP-9 vaskuler (Farina et al., 2014).

Gambar 2.18

Peranan MMP-9 bebas TIMP dari sel radang PMN, MMP-9 tumor/ stroma onkogen

dan hipoksia dalam mengaktifkan angiogenesis (Farina et al., 2014)

Sedangkan keterlibatan MMP-9 dengan proses metastasis merupakan kolaborasi

proses ekspansi, EMT dan angiogenesis. Khusus mengenai invasi ke limfonodi

dikaitkan dengan keterlibatan interaksi antara kemokin dengan reseptor kemokin

Page 79: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

55

CCR7 yang sebelumnya berfungsi meningkatkan ekspresi MMP-9 (Farina et al.,

2014).

Gambar 2.19

Kaitan MMP-9 dengan kemampuan metastasis tumor (Farina et al., 2014)

2.12 Peranan Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9)/Gelatinase B pada

Karsinoma Tiroid Papiler

Berbagai landasan teoritis telah memaparkan bahwa MMP-9 mempengaruhi sifat

invasif, kemampuan progresi dan kemampuan bermetastasis tumor sehingga dapat

menjadi acuan bahwa MMP-9 layak menjadi salah satu marka atau penanda

agresivitas tumor. Sebuah penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara ekspresi MMP-9 dengan stadium IUCC dan metastasis ke

limfonodi. Penelitian lainnya membuktikan perbedaan ekspresi MMP-9 yang sangat

bermakna antara karsinoma tiroid, adenoma tiroid dan goiter multinoduler. Hal ini

Page 80: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

56

menunjukkan bahwa MMP-9 memiliki peranan kunci dalam transformasi onkogenik

tumor tiroid. Adapula penelitian yang menyebutkan bahwa ekspresi MMP-9 secara

bermakna berkaitan dengan ukuran tumor selain stadium UICC dan adanya

metastasis ke limfonodi maupun metastasis jauh. Namun ekspresi MMP-9 tidak

berkorelasi dengan jenis kelamin dan usia pasien. Hasil penelitian ini mendukung

teori mengenai kaitan MMP-9 dengan progresi, kemampuan invasi dan metastasis

tumor. Temuan ini kemudian menjadi landasan bahwa tingginya ekspresi MMP-9

dapat menjadi marker diagnostik yang berguna dan mungkin juga merupakan target

yang potensial pada terapi karsinoma tiroid (Marecko et al., 2008).

Bahkan temuan terbaru membuktikan BRAFV600E yang merupakan marka spesifik

penentu agresivitas KTP terlebih dahulu perlu menginduksi MMP untuk memunculan

sifat invasif dan kemampuan metastasis tumor. Hal ini tampak setelah dilakukan

pemeriksaan imunohistokimia pada enam puluh kasus KTP klasik baik antibodi anti

MMP-2 maupun MMP-9, didapatkan MMP-2 terdeteksi pada 32 spesimen (53.3%),

sedangkan MMP-9 pada 52 spesimen (86.7%). Pada analisis univariat, terdapat

korelasi yang signifikan antara positivitas BRAFV600E dengan hasil IHK MMP-2 atau

MMP-9 atau keduanya (PZ 0.028). Adanya ekspresi MMP-2 maupun MMP-9 secara

signifikan juga berkaitan dengan perluasan ekstratiroid (PZ 0.030). Temuan ini

menegaskan bahwa ekspresi MMP-9 merupakan marka atau penanda yang sinergis

dengan ekspresi BRAFV600E Akhirnya disimpulkan bahwa MMP merupakan mediator

efek BRAF pada sifat invasif tumor (Frasca et al., 2008).

Page 81: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

57

Diketahui pula bahwa P53 yang merupakan guardian of genome dapat mengatur

ekspresi MMP secara kompleks, dengan memicu peningkatan ekspresi MMP-2 dan

DDR1 namun menghambat ekspresi MMP-1 dan MMP-9. Sehingga adanya mutasi

P53 secara tidak langsung akan meningkatkan ekspresi MMP-9. Mutasi P53

berkaitan dengan sifat agresivitas tumor dan penanda prognosis yang buruk.

Mengingat keterkaitan mutasi P53 dengan peningkatan ekspresi MMP-9 maka

ekspresi MMP-9 merupakan marker yang relevan dalam menentukan agresivitas

tumor, khususnya pada KTP (Powell et al., 2014).

Penelitian terbaru lainnya membuktikan bahwa imunoekspresi MMP-9 aktif

berkorelasi positif dengan usia pasien, adanya metastasis ke limfonodi, adanya invasi

ekstratiroid dan derajat infiltrasi tumor. Penelitian ini agak berbeda dengan penelitian

sebelumnya karena menemukan bahwa ukuran tumor tidak terkait dengan tingkat

ekspresi MMP-9 aktif. Hasil yang masih serupa yaitu memaparkan bahwa jenis

kelamin juga tidak berhubungan dengan ekspresi MMP-9. Temuan ini kembali

memaparkan bahwa MMP-9 bersifat aktif pada sel tumor dan hal ini mempengaruhi

perangai agresif pada KTP (Ansari et al., 2013).

Sel yang mengekspresikan MMP-9 akan tampak berwarna coklat pada sitoplasma

sel epitel ganas maupun stroma. Penilaian ekspresi MMP-9 dibuat berdasarkan

analisis persentase sel tumor yang positif dan intensitas pewarnaannya (Meng et al.,

2012; Marecko et al., 2014).

Page 82: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

58

Gambar 2.20

Pulasan MMP-9 pada KTP. A.Hasil pulasan IHK MMP-9 total pada kasus KTP

encapsulated yang menunjukkan gambaran difus sedang. B. Hasil IHK MMP-9 aktif

dengan gambaran negatif pada sampel yang sama. C. Pulasan MMP-9 yang positif

kuat dan difus pada kasus KTP dengan invasi ekstratiroid. D. Pulasan MMP-9 yang

juga positif kuat pada KTP dengan invasi ekstratiroid (Marecko et al., 2014).

Page 83: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

59

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Agresivitas KTP sangat penting dipahami untuk penentuan terapi yang adekuat

sehingga mengurangi risiko morbiditas maupun mortalitasnya. KTP klasik dan

KTPVF merupakan dua varian KTP yang paling sering dengan pola arsitektur yang

berbeda karena memiliki latar belakang molekuler maupun faktor risiko yang

berbeda. Tidak seperti KTP klasik yang mekanisme karsinogenesisnya hanya melalui

tata ulang RET atau mutasi BRAF, pada KTPVF juga melalui jalur mutasi Ras yang

serupa dengan KTF. Faktor lain yang diketahui mempengaruhi pola arsitektur pada

karsinoma tiroid yaitu asupan iodium. Asupan iodium yang cukup dikatakan

mempengaruhi terbentuknya struktur papiler yang dominan pada KTP, berbeda

dengan kasus karsinoma tiroid di daerah goiter endemik yang mayoritas merupakan

KTF. Hal tersebut diyakini mempengaruhi sifat agresif kedua varian ini, meskipun

beberapa literatur menyebutkan bahwa KTP klasik dan KTPVF memiliki perangai

klinis maupun patologis yang sebanding.

KTPVF dianggap menjadi tipe campuran antara KTP dan KTF dengan perangai

yang dapat menyerupai KTP klasik maupun menyerupai KTF. Terbukti dengan

Page 84: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

60

ditemukannya kasus KTPVF yang mekanisme perluasannya mengikuti jalur limfatik

dan menimbulkan metastasis KGB regional, beberapa kasus lainnya invasif melewati

kapsel tumor maupun kapsel organ dan menempel ke jaringan ekstratiroid sekitarnya,

dan adapula KTPVF yang invasif melalui pembuluh darah dan akhirnya

menimbulkan metastasis jauh. Sedangkan pada KTP klasik, mekanisme perluasan

tumor umumnya melalui jalur limfonodi sehingga seringkali terjadi metastasis KGB

pada kasus KTP klasik. Semakin luas infiltrasi tumor berkaitan dengan meningkatnya

agresivitas tumor. Adanya perluasan ekstrakompartemen berhubungan dengan

kekuatan motilitas sel tumor dan kemampuan invasif sel tumor dalam melewati

matriks ekstraseluler (ECM) membran basalis epitel, jaringan intersisial dan vaskuler.

Proses degradasi ECM melibatkan suatu protease utama yaitu matriks

metaloproteinase (MMP), salah satunya adalah MMP-9 yang memiliki struktur unik

dan berbeda dengan MMP lainnya. MMP-9 yang juga dikenal sebagai gelatinase B

merupakan famili endopeptida metallo-multidomain, berfungsi utama dalam

degradasi kolagen IV yang menjadi komponen utama membran basalis. Struktur unik

fibronectin repeat pada MMP-9 juga memfasilitasi kemampuan enzim dalam

mendegradasi substrat besar lainnya seperti elastin.

Selain terlibat dalam fungsi degradasi ECM, MMP-9 juga dapat membangkitkan

aktivitas protoonkogenik dengan menghambat perbaikan DNA di inti dan memicu

sinyal GF yang selanjutnya dapat mengaktifkan jalur MAPK sehingga terjadi aktivasi

faktor transkripsi inti. Proliferasi dan diferensiasi sel ganas secara terus menerus

Page 85: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

61

tanpa disertai aktivitas perbaikan DNA akan memicu terjadinya ekspansi klonal

tumor dan instabilitas genetik yang terus menerus. Proses ini bagaikan lingkaran

setan karena klonal tumor tersebut kembali menghasilkan MMP-9 yang bersifat

monoklonal dan tidak mampu dihambat oleh inhibitornya. Selanjutnya MMP-9 juga

memicu transisi epitelial menjadi mesenkimal (EMT) yang merupakan proses induksi

dediferensiasi menjadi fenotip yang invasif dan memiliki motilitas lebih tinggi.

MMP-9 juga meningkatkan kemampuan angiogenesis maupun vaskulogenesis tumor

dengan memicu aktivasi angiogenik pada pembuluh darah tua dan mengatur

penarikan perisit selama angiogenesis serta memobilisasi perekrutan prekursor

angiogenik sumsum tulang dan mitogen angiogenik seperti FGF dan VEGF.

Keseluruhan proses ini menggambarkan bahwa MMP-9 merupakan komponen

ekstraseluler yang sangat terlibat dalam progresi tumor, kemampuan invasif maupun

metastatik tumor, sehingga dapat menjadi marka penentu agresivitas KTP. Ekspresi

MMP-9 kemungkinan berkaitan dengan luasnya infiltrasi tumor dan varian KTP yang

akan ditelusuri pada penelitian ini. Berdasarkan pada kerangka pikir di atas, dibuatlah

bagan kerangka pikir (Gambar 3.1)

Page 86: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

62

Gambar 3.1

Bagan Kerangka Berpikir

JARINGAN

Komponen Intraseluler

Komponen ekstraseluler

Adesi Sel Matriks Ekstraseluler (ECM)

Matriks Metalloproteinase 9 (MMP-9)

Meningkatkan sinyal

Growth Factor (GF)

Degradasi matriks

protein inti Poly-ADP-

ribose-polymerase

(PARP)

Memblok perbaikan DNA

Epithelial to

Mesenchimal Transition

(EMT)

Mobilisasi Fibroblast Growth Factor

(FGF ) dan Vascular Endothelial

Growth Factor (VEGF)

Varian Karsinoma

Tiroid Papiler

Ekspansi instabilitas genomik

Luas infiltrasi tumor

Akumulasi mutasi somatik

Meningkatkan motolitas

tumor

Angiogenesis Peningkatan interaksi

dengan reseptor integrin

Peningkatan

proliferasi

sel

Klasik Folikuler Columnar Tall Cell Onkositik Clear cell

Degradasi

ECM

Intrakompartemen Ekstrakompartemen

Page 87: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

63

3.2 Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka konsep penelitian dijabarkan seperti bagan

berikut:

`

Gambar 3.2

Bagan Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan skor ekspresi MMP-9 antara KTP klasik dengan infiltrasi

intrakompartemen, KTP klasik dengan infiltrasi ekstrakompartemen, KTPVF dengan

infiltrasi intrakompartemen dan KTPVF dengan infiltrasi ekstrakompartemen.

Matriks Metaloproteinase

9

Karsinoma Tiroid Papiler

Klasik

Karsinoma Tiroid Papiler

Varian Folikuler

Intra

Kompartemen

Ekstra

Kompartemen

Intra

Kompartemen

Ekstra

Kompartemen

Page 88: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

64

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode analitik

observasional potong lintang, dengan bagan rancangan penelitian sesuai gambar 4.1.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah

Denpasar dari 30 September 2014 -31 Desember 2014.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi Target

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien karsinoma tiroid papiler di Bali.

4.3.2 Populasi Terjangkau

Populasi penelitian adalah semua sediaan dari blok parafin pasien dengan diagnosis

karsinoma tiroid papiler dari operasi hemitiroidektomi, tiroidektomi total maupun

Radical Neck Dissection (RND) yang diperiksa secara histopatologi pada

Laboratorium Patologi Anatomi FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar.

Page 89: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

65

4.3.3 Sampel

Sampel penelitian adalah semua sediaan blok parafin pasien dengan diagnosis

KTPVF dan KTP klasik yang diperiksa secara histopatologi pada Laboratorium

Patologi Anatomi FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar dari tahun 2011 sampai Juni

tahun 2014 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan peneliti.

Sampel dipilih dengan cara consecutive sampling.

4.3.4 Perhitungan dan Cara Pengambilan Sampel

Besar sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini dihitung berdasarkan

rumus beda rerata dua kelompok independent (Rumus Pocock):

2

21221

XX

SZZnn

Keterangan:

n = Besar sampel pada masing-masing kelompok.

Zα = nilai Z untuk nilai α tertentu (α = 0,05, Zα = 1,96 )

Zβ = nilai Z untuk power (1-ß ) ( ß = 0,10, Zß = 1,28)

S

X1

X2

=

=

=

Standar deviasi ditentukan 0,2 (Marecko et al., 2014)

KTP dengan infiltrasi ekstratiroid dan metastasis KGB: 0,6

KTP intratiroid tanpa metastasis KGB: 0,2

X1-X2 = Perbedaan yang diinginkan (clinical judgement) 0.4

Page 90: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

66

Berdasarkan perhitungan sampel di atas maka dalam penelitian ini digunakan

sampel pada masing-masing kelompok sebanyak 6 sediaan dan untuk menghindari

adanya drop out/data blank maka ditambahkan 20%, sehingga sampel untuk masing-

masing kelompok adalah 7,2 sediaan yang dibulatkan menjadi 8 sediaan. Jadi total

besar sampel minimal adalah 32 sediaan, tetapi pada penelitian ini dipergunakan

sebanyak 40 sampel yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu kelompok KTP

klasik dengan infiltrasi intrakompartemen, KTP klasik dengan infiltrasi

ekstrakompartemen, KTPVF dengan infiltrasi intrakompartemen dan KTPVF dengan

infiltrasi ekstrakompartemen.

4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

4.4.1 Kriteria Inklusi

Sampel yang didiagnosis sebagai KTP Klasik dan KTPVF

4.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Kasus KTP yang setelah dilakukan pengamatan ulang bukan merupakan

varian klasik dan KTPVF.

2. Kasus KTP yang multifokal karena dapat menimbulkan bias dalam

penentuan ukuran tumor.

3. Blok parafin rusak atau berjamur.

Page 91: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

67

Gambar 4.1

Bagan Rancangan Penelitian

Seleksi Populasi karsinoma

tiroid papiler tahun 2011-

pertengahan 2014

Partial/Hemitiroidektomi

160 Kasus

Radical Neck Dissection

(RND)

16 kasus

kasus

Total tiroidektomi

97 kasus

KTP Klasik

135 kasus

kasus

KTPVF

102 kasus

Faktor penanda agresivitas

MMP-9

-Fisiologis

-Penyembuhan Luka

-Kondisi patologis lain: aterosklerosis,

gagal jantung

Non-

neoplastik

16 kasus

Neoplastik

144 kasus

Neoplastik

16 kasus

Neoplastik

82 kasus

KTP

237 kasus

KTF 2 kasus

KTM

1 kasus

KTA/U

2 kasus

Non-

neoplsastik 18 kasus

Intrakompartemen

123 kasus

Ekstrakompartemen

10 kasus

Intrakompartemen

92 kasus

Ekstrakompartemen

12 kasus

Page 92: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

68

4.5 Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu:

I. Varibel bebas : KTP klasik dengan infiltrasi intra kompartemen, KTP

klasik dengan infiltrasi ekstra kompartemen, KTPVF dengan infiltrasi intra

kompartemen dan KTPVF dengan infiltrasi ekstra kompartemen.

II. Varibel tergantung : Matriks Metaloproteinase-9 (MMP-9).

4.6 Definisi Operasional Variabel

1. KTP Klasik merupakan neoplasma ganas sel folikel tiroid yang didominasi

pola pertumbuhan papiler kompleks bercabang, namun dapat bercampur

dengan struktur folikuler, secara histologi ditandai oleh adanya gambaran inti

karsinoma papiler yang khas yaitu inti yang jernih (ground glass atau orphan

annie eyes), berbentuk bulat dan membesar, saling tumpang tindih, membran

inti ireguler dapat disertai inklusi sitoplasma intranuklear serta nuclear groove

(Livolsi, 2012).

2. KTPVF merupakan neoplasma ganas epitel folikel tiroid yang hampir

seluruhnya membentuk struktur folikuler, dilapisi oleh satu atau beberapa

lapis sel epitel folikel tiroid berbentuk kuboid atau kolumnar, serta

menunjukkan gambaran inti karsinoma papiler yang khas dan tampak tersebar

merata di seluruh area tumor, meliputi inti yang jernih (ground glass atau

Page 93: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

69

orphan annie eyes berbentuk bulat dan membesar, saling tumpang tindih,

membran inti ireguler dapat disertai inklusi sitoplasma intranuklear serta

nuclear groove. Komponen minor papiler masih dapat diterima namun berupa

struktur papiler yang abortif yaitu tonjolan papiler pendek tanpa tangkai

(stalk) yang jelas, menyerupai struktur papiler goiter hiperplastik (Rosai et al.,

2011; Koseoglu et al., 2006).

3. Infiltrasi Intrakompartemen yaitu invasi intratiroid pada tumor yang tidak

memiliki kapsel murni atau invasi intrakapsuler jika tumor berkapsel murni

(Marecko et al., 2014).

4. Infiltrasi Ekstrakompartemen yaitu adanya invasi ke kapsel murni tumor, atau

ke kapsel organ tiroid, invasi ke jaringan ekstratiroid sekitar, invasi vaskuler,

metastasis ke KGB maupun metastasis jauh. Invasi vaskuler meliputi adanya

sel tumor pada ruang vaskuler, adanya sel tumor yang menempel di endotel

vaskuler, adanya sel tumor yang invasif melalui dinding endotel dan adanya

thrombus yang menempel pada tumor intravaskuler (Mete et al., 2011)

5. Ekspresi MMP-9

Penilaian protein MMP-9 secara imunohistokimia menggunakan Monoclonal

Rabbit Anti-Human MMP-9 Antigen, Abcam. Secara semikuantitatif, diamati

dengan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX21 mulai dari

pembesaran lemah (40x) sampai pembesaran kuat (400x). Penghitungan

dilakukan pada seluruh sel tumor dimulai dari bagian tumor dengan ekspresi

Page 94: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

70

MMP-9 terkuat ke bagian pembesaran yang lebih lemah. Pemeriksaan

imunohistokimia MMP-9 dikerjakan di laboratorium Bagian Patologi

Anatomi FK Universitas Udayana. Interpretasi ekspresi MMP-9 dilakukan

oleh peneliti dan 2 orang dosen pembimbing tanpa mengetahui data kliniko-

patologi pasien.

Sel yang mengekspresikan MMP-9 akan tampak berwarna coklat pada

sitoplasma sel epitel ganas maupun stroma. Penilaian ekspresi MMP-9 dibuat

berdasarkan analisis persentase sel tumor yang positif dan intensitas

pewarnaan (Meng et al, 2012). Berdasarkan persentase sel ganas yang

menunjukkan overekspresi MMP-9 maka dibagi menjadi 3 skor (0-3) yaitu 0

(tidak terwarnai), 1+ (<25% sel dari seluruh sel tumor), 2+ (25-75% sel dari

seluruh sel tumor) dan 3+ (>75% sel dari seluruh sel tumor). Berdasarkan

intensitas warna coklat sel-sel ganas yang menunjukkan overekspresi MMP-9

maka dibagi menjadi 3 skala (0-3) yaitu: 0 (negatif), 1 (lemah), 2 (sedang) dan

3 (kuat). Skor persentase dari sel tumor yang immunoreaktif kemudian

dikalikan dengan skor intensitasnya.

4.7 Prosedur Penelitian

1. Peneliti mencari sediaan pasien KTP klasik dan KTPVF dari bahan operasi

hemotiroidektomi, tiroidektomi total, dan Radical Neck Dissection (RND)

Page 95: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

71

yang melakukan pemeriksaan histopatologi dari tahun 2011 sampai

pertengahan tahun 2014 di RSUP Sanglah Denpasar.

2. Preparat hasil pulasan HE sesuai nomor-nomor diatas dikumpulkan,

dievaluasi ulang dan dilakukan diagnosis ulang, supaya memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi sehingga didapat dua kelompok data yaitu KTP klasik

dan KTPVF.

3. Apabila dalam proses penilaian ternyata ada slide yang tidak dapat dinilai,

misalnya karena warna mulai kabur (dilakukan proses pewarnaan kembali).

Apabila slide berjamur atau rusak maka dilakukan pemotongan ulang blok

parafin.

4. Peneliti menentukan slide mana yang akan dipakai untuk pemeriksaan

imuno-histokimia (IHK)

5. Peneliti mencari blok parafin sesuai preparat yang dipilih dan memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi.

6. Blok parafin dipotong setebal 4 mikrometer dengan mikrotom untuk pulasan

IHK MMP-9.

7. Prosedur pulasan Hematoksilin-Eosin yang rutin dikerjakan di Bagian/SMF

Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar :

a. Dipotong blok parafin mengunakan mikrotom Leica 2125 RM dengan

ketebalan 4 μm, kemudian ditempelkan pada gelas obyek merk Sail

Brand dengan ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm.

Page 96: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

72

b. Deparafinisasi dengan dicelupkan pada xilol sebanyak 4 kali masing-

masing celupan selama 5 menit.

c. Dehidrasi dengan akohol bertingkat dengan konsentrasi menurun

mengunakan alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 75%, dan alkohol

50% masing-masing celupan selama 2 menit.

d. Dimasukkan ke air selama 10 menit.

e. Dicelupkan ke cat utama yaitu Harris’s hematoksilin selama 10 menit.

f. Dicuci dengan air selama 10 menit.

g. Dilihat dibawah mikroskop, inti sel akan terlihat biru terang sedangkan

sitoplasma tidak berwarna.

h. Dicelupkan pada cat pembanding eosin 1% selama 0,5-1 menit.

i. Didehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan konsentrasi meningkat

mengunakan alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 95% dan alkohol

absolute, masing-masing celupan selama 2 menit.

j. Dijernihan dengan xilol sebanyak 4 kali celupan, lama masing-masing

celupan selama 5 menit.

k. Ditutup dengan cover glass.

8. Prosedur Pulasan IHK MMP-9 menggunakan antibodi monoklonal MMP-9

Abcam:

a. Dipotong blok parafin menggunakan mikrotom Leica 2125 RM

dengan ketebalam 3 μm, kemudian direkatkan pada gelas obyek yang

Page 97: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

73

telah dilapisi dengan poly-L-lysine, merk Sigma, dengan ukuran lebar

1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm.

b. Diinkubasi dalam incubator dengan suhu 37o C selama 1 malam.

c. Dideparafinisasi dengan xylol, preparat dicelupkan ke dalam xylol

sebanyak 3 kali, masing-masing celupan selama 3 menit.

d. Direhidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol absolut 2

kali, alkohol 95%, alkohol 80%, dan alkohol 70%, masing-masing

selama 3 menit.

e. Dicuci dengan aquadest selama 10 menit.

f. Diteteskan H2O2 dalam metanol 3% sampai menutupi seluruh

permukaan jaringan selama 15 menit.

g. Dicuci dengan aquadest selama 10 menit.

h. Dicuci dengan PBS (phosphate buffer saline) sebanyak 2 kali, masing-

masing selama 10 menit.

i. Direndam dengan buffer sitrat 0,01 M, pH 6,0. Kemudian panaskan di

dalam oven microwave selama 15 menit, mula-mula dengan

pemanasan tinggi (80oC) sampai tepat mendidih kemudian dengan

pemanasan sedang (50oC) selama 5 menit.

j. Dinginkan pada suhu kamar.

k. Dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.

Page 98: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

74

l. Teteskan 40 μl antibodi primer menggunakan antibody monoclonal

MMP-9 dari Abcam yang telah diencerkan (pengenceran 1:100)

selama 30 menit pada suhu kamar atau semalam pada suhu 40C.

m. Dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.

n. Diteteskan Biotinylated Anti Polyvalent selama 10 menit.

o. Dicuci dengan BS sebanyak 2 kali, masing-masing 10 menit.

p. Diteteskan Streptavidin Peroxidase selama 10 menit.

q. Dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.

r. Diteteskan dengan reagen DAB selama 10 menit.

s. Dicuci dengan air mengalir.

t. Dipulas dengan Mayer Hematoksilin selama 2 menit.

u. Dicuci dengan air mengalir.

v. Didehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol 70%,

alkohol 80%, alkohol 95%, dan alkohol absolut 2 kali, masing-masing

selama 3 menit.

w. Dicelupkan ke dalam xylol sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3

menit.

x. Ditutup dengan cover glass.

9. Dibuatkan pula pengecatan IHK untuk kontrol positif dan negatif.

10. Pemeriksaan immunohistokimia MMP-9 dikerjakan di laboratorium IHK

bagian Patologi Anatomi FK Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar.

Page 99: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

75

11. Pencatatan dan pengumpulan data.

12. Analisis data

4.8 Skema Alur Penelitian

Gambar 4.2

Skema Alur Penelitian

Mencari nomor sediaan KTP klasik dan KTPVF dari bahan operasi tiroidektomi

dan RND dari tahun 2011 sampai pertengahan 2014 yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi

Pengumpulan sediaan pulasan HE

Seleksi, restaining bila warna pudar, rediagnosis sediaan mikroskopis: usia

pasien, jenis kelamin, ukuran tumor, luasnya infiltrasi tumor (intra-atau ekstra

kompartemen)

Memilih preparat sebagai dasar memilih blok parafin untuk pulasan MMP-9

Mencari dan mengumpulkan blok parafin

Blok parafin dipotong 4 μm

Pengecatan imunohistokimia MMP-9

Pemeriksaan hasil pulasan MMP-9

Pencatatan dan pengumpulan data

Analisis statistik

Simpulan

Page 100: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

76

4.9 Analisis Data

Analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan karakteristik sampel. Data

berskala kontinyu yang berdistribusi normal diekspresikan dengan nilai rerata

(simpangan baku). Data kontinyu yang tidak berdistribusi normal diekspresikan

dengan nilai median (kisaran inter kuartil). Data berskala katagorikal diekspresikan

dengan nilai proporsi.

Untuk melakukan komparasi antar kelompok dilakukan analisis One Way Anova

untuk melihat beda rerata antar seluruh (empat) kelompok. Beda rerata antara 2

kelompok independen dilakukan uji komparasi multipel (multiple comparison test).

Sedangkan untuk menilai pengaruh variabel kontrol (karakteristik penelitian meliputi

usia, jenis kelamin dan ukuran tumor) terhadap hubungan skor MMP-9 antara

masing-masing kelompok penelitian maka dilakukan analisis ANCOVA. Uji

kemaknaan ditentukan pada p < 0,05. Presisi data ditentukan dengan nilai Confident

Interval (CI) 95%.

Page 101: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

77

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan dari periode bulan November sampai Desember 2014 di

Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Sanglah. Data dan sampel dikumpulkan

sejumlah 40 kasus Karsinoma Tiroid Papiler Klasik (KTP Klasik) dan Karsinoma

Tiroid Papiler Varian Folikuler (KTPVF) dari operasi hemitiroidektomi,

tiroidektomi total maupun Radical Neck Dissection (RND) yang diperoleh dari

Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Sanglah. Pencatatan data klinis pasien

diambil dari data rekam medis pasien dan diagnosis ulang preparat dilakukan

untuk menilai varian KTP, dan luasnya infiltrasi tumor apakah terbatas

intrakompartemen atau sudah mencapai ekstrakompartemen, kemudian dilakukan

pengecatan IHK MMP-9.

5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Data Klinis Pasien

Sampel penelitian KTP Klasik dan KTPVF menunjukkan rentang usia pasien

yang cukup bervariasi yaitu berkisar dari usia 20–82 tahun, dengan rerata usia

46,17±14,98 tahun. Lebih dari 75% kasus terjadi pada pasien dengan rentang usia

25-64 tahun. Rerata usia pada 20 kasus KTP Klasik yaitu 45,30±13,66 tahun,

sedangkan rerata usia untuk 20 kasus KTPVF adalah 47,05±16,50 tahun, kedua

tipe KTP ini menunjukkan perbedaan rerata usia yang tidak bermakna (p= 0,534;

p>0,05). Rerata usia pada kasus KTP infiltrasi ekstrakompartemen yaitu

47,85±16,17 tahun dan pada KTP infiltrasi intrakompartemen yaitu 44,5±13,91

77

Page 102: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

78

tahun, rerata usia pada kedua kelompok ini juga cenderung bermakna, namun

secara statistik menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p=0,081; p>0,05).

Secara khusus, rerata usia pada 10 pasien KTP klasik dengan infiltrasi

ekstrakompartemen yaitu 46,30±14,81 tahun, rerata usia 10 pasien KTPVF

dengan infiltrasi ekstrakompartemen adalah 49,30±18,09 tahun, sedangkan rerata

10 pasien KTP klasik yang hanya dengan infiltrasi intrakompartemen yaitu

44,30±13,14 tahun dan 10 pasien KTPVF dengan infiltrasi intrakompartemen

yaitu 44,70±15,34 tahun. Melalui analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova,

didapatkan beda rerata antar keempat kelompok tidak bermakna (p=0,430;

p>0,05)

Berdasarkan jenis kelamin subyek penelitian, 70% kasus KTP berjenis

kelamin perempuan sehingga proporsi perbandingan kasus antara perempuan

dibandingkan dengan laki-laki yaitu 7:3. Mayoritas kasus KTP dengan infiltrasi

ekstrakompartemen juga didominasi oleh perempuan dengan proporsi perempuan

berbanding laki-laki yaitu 4:1. Antar seluruh kelompok KTP menunjukkan

distribusi jenis kelamin yang tidak berbeda (p=0,414; p>0,05).

Berdasarkan deskripsi makroskopis pada 20 kasus KTP Klasik dan KTPVF

dengan infiltrasi intrakompartemen dan ekstrakompartemen didapatkan tumor

yang berukuran ≤ 2 cm berjumlah 13 (32,5%), tumor yang berukuran >2 cm-

≤4cm berjumlah 14 (35%) dan tumor yang berukuran >4cm berjumlah 13

(32,5%). Rerata ukuran tumor secara keseluruhan adalah 3,48±2,10 cm.

Perbedaan rerata ukuran tumor antara kelompok KTP klasik vs KTPVF tidak

bermakna yaitu 2,92±1,75 cm vs 4,05±2,31 cm (p=0,292; p>0,05). Sedangkan

Page 103: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

79

rerata ukuran tumor antara kelompok KTP infiltrasi ekstrakompartemen vs KTP

intrakompartemen yaitu 3,81±2,42 cm vs 3,16±1,72 cm, keduanya juga

menunjukkan beda rerata yang tidak bermakna (p=0,258; p>0,05). Secara khusus

rerata ukuran tumor antar seluruh (empat) kelompok sesuai tabel 5.2.

Tabel 5.1

Karakteristik Subyek Penelitian (n= 40)

Karakteristik Rerata ±Standar Deviasi n(%)

Usia (tahun) 46,17±14,98

<25 2 (5%)

25-64 33 (82,5%)

>64 5 (12,5%)

Jenis Kelamin

Perempuan 28 (70%)

Laki-laki 12 (30%)

Ukuran Tumor (cm) 3,48±2,10

≤2 13 (32,5)

>2-≤4 14 (35)

>4 13 (32,5)

Kelompok KTP

1) KTP Klasik Intrakompartemen 10 (25)

2) KTP Klasik Ekstrakompartemen 10 (25)

3) KTPVF Intrakompartemen 10 (25)

4) KTPVF Ekstrakompartemen 10 (25)

Page 104: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

80

0123456789

Laki-laki

Perempuan

Gambar 5.1

Grafik Distribusi Kasus KTP Klasik dan KTPVF dengan Infiltrasi

Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen berdasarkan Jenis Kelamin Pasien

Tabel 5.2

Distribusi rerata ukuran tumor pada kelompok KTP Klasik Intrakompartemen,

KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF Intrakompartemen dan KTPVF

Ekstrakompartemen

Kelompok Rerata ±SD Nilai p

KTP Klasik Intrakompartemen

KTP Klasik Ekstrakompartemen

KTPVF Intrakompartemen

KTPVF Ekstrakompartemen

2,18±1,45*

3,67±1,76**

4,15±1,41*

3,95±3,04**

0,075

0,669

0,260

Keterangan:

Beda rerata ukuran tumor diantara seluruh kelompok KTP tidak bermakna (p=0,067)

*KTP Klasik Intrakompartemen vs KTPVF Intrakompartemen tidak berbeda bermakna (p= 0,075)

**KTP Klasik Ekstrakompartemen vs KTPVF Ekstrakompartemen tidak berbeda bermakna (p=0,246)

Page 105: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

81

5.2 Perbedaan Skor Ekspresi MMP-9 antara kelompok KTP Klasik

Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF

Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen

Untuk mengetahui perbedaan ekspresi MMP-9 pada kelompok KTP Klasik

intrakompartemen, KTP Klasik ekstrakompartemen, KTPVF intrakompartemen

dan KTPVF ekstrakompartemen dilakukan analisis One Way Anova dengan hasil

analisis kemaknaan sesuai tabel 5.3.

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa rerata skor ekspresi MMP-9 pada

kelompok KTP Klasik ekstrakompartemen berbeda secara bermakna

dibandingkan kelompok KTP Klasik intrakompartemen dengan skor 7,80±1,54 vs

2,60±1,77 (p<0,001). Antara KTP Klasik ekstrakompartemen dengan KTPVF

intrakompartemen juga menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna dengan

skor 7,80±1,54 vs 3,70±1,76 (p<0,001). Demikian pula halnya antar kelompok

KTPVF dimana ekspresi KTPVF ekstrakompartemen lebih tinggi secara

bermakna dibandingkan KTPVF intrakompartemen dengan skor 7,00±1,82 vs

3,70±1,76 (p<0,001).

Sedangkan antar varian KTP yaitu antara KTP Klasik dengan KTPVF

memiliki nilai rerata yang berbeda namun tidak bermakna, dimana antara KTP

Klasik intrakompartemen dan KTPVF intrakompartemen memiliki nilai rerata

2,60±1,77 vs 3,70±1,76 (p=0,164; p>0,05) dan antara KTP Klasik

ekstrakompartemen dengan KTPVF ekstrakompartemen memiliki beda rerata

7,80±1,54 vs 7,00±1,82, (p=0,309; p>0,05). Secara sederhana perbedaan rerata

Page 106: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

82

skor pada keempat kelompok subyek penelitian digambarkan sesuai grafik pada

Gambar 5.2

Tabel 5.3 Perbedaan skor ekspresi MMP-9 antara kelompok KTP Klasik

Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF Intrakompartemen,

dan KTPVF Ekstrakompartemen

Kelompok Rerata ±SD Min-Max Beda

rerata±

SE

CI beda rerata Nilai p

KTP Klasik IK

KTP Klasik EK

KTPVF IK

KTPVF EK

2,60±1,77*

7,80±1,54**

3,70±1,76*

7,00±1,82**

1,0 6,0

6,0 9,0

2,0 6,0

4,0 9,0

-5,2±0,7

4,1±0,7

-3,3±0,7

-7,28 sd -3,11

2,01 sd 6,18

-5,38 sd -1,21

<0,001

<0,001

<0,001

Keterangan: IK= Intrakompartemen, EK= Ekstrakompartemen *KTP Klasik IK vs KTPVF IK berbeda tidak bermakna (p=0,164)

**KTP Klasik EK vs KTPVF EK berbeda tidak bermakna (p=0,309)

Tabel 5.3 juga menunjukkan nilai skor minimum dan maksimum dari hasil

pulasan MMP-9 pada keempat kelompok subyek penelitian. Kasus KTP Klasik

intrakompartemen memiliki nilai skor ekspresi minimum 1 dan maksimum 6.

Skor 1 didapatkan pada 4 dari 10 sampel kasus dengan mengalikan persentase

pulasan 1 (<25% sel terpulas) dengan intensitasnya 1 (lemah), seperti pada sampel

1 (Gambar 5.3). Terdapat sebuah kasus (sampel 4) (Gambar 5.4) yang memiliki

skor 6, didapatkan dengan mengalikan persentase pulasan yaitu 2 (25-75% sel

yang terpulas) dengan intensitasnya 3 (kuat). Pada kasus KTP Klasik

Page 107: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

83

ekstrakompartemen didapatkan skor minimum 6 dan maksimum 9. Skor 9

didapatkan pada 5 dari 10 sampel kasus, salah satunya pada sampel 13 (Gambar

5.5) dengan mengalikan persentase pulasan 3 (>75% sel terpulas) dengan

intensitas pulasan 3 (kuat).

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

KTP KlasikIntrakompartemen

KTP KlasikEkstrakompartemen

KTPVF Intrakompartemen

KTPVF Ekstrakompartemen

Gambar 5.2

Grafik Beda Rerata Skor Ekspresi MMP-9 kasus KTP Klasik dan KTPVF dengan

Infiltrasi Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen

Sedangkan pada KTPVF intrakompartemen, skor minimum yang didapatkan

yaitu 2 dan skor maksimumnya 6. Skor 6 ditemukan pada 3 kasus, salah satunya

pada sampel 22 (Gambar 5.6) yang didapat dengan mengalikan persentase pulasan

3 (>75% sel terpulas) dengan intensitas pulasan 2 (sedang). Untuk KTPVF

ekstrakompartemen diperoleh skor minimum 4 (sampel 36, gambar 5.7) dan skor

maksimum 9. Skor 9 ditemukan pada 4 dari 10 sampel kasus, salah satunya pada

sampel 34 (Gambar 5.8) yang didapat dengan mengalikan persentase pulasan 3

(>75% sel terpulas) dengan intensitas pulasan 3 (kuat).

Page 108: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

84

Gambar 5.3

Kasus sampel 1 pulasan MMP-9 pada KTP Klasik intrakompartemen

MMP-9 terpulas pada <25% sel ganas dengan intensitas lemah (inset)

Gambar 5.4

Kasus sampel 4 pulasan MMP-9 pada KTP Klasik intrakompartemen

MMP-9 terpulas pada 25-75% sel ganas dengan intensitas kuat (inset)

Page 109: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

85

Gambar 5.5

Kasus sampel 13 pulasan MMP-9 pada KTP Klasik ekstrakompartemen

Skor ekspresi 9, MMP-9 terpulas pada >75% sel ganas dengan intensitas kuat

(inset)

Gambar 5.6

Sampel 24 pulasan MMP-9 pada KTPVF Intrakompartemen

Skor ekspresi 6, MMP-9 terpulas pada >75% sel ganas dengan intensitas sedang

(inset)

Page 110: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

86

Gambar 5.7

Kasus sampel 36 pulasan MMP-9 pada KTPVF ekstrakompartemen

Skor ekspresi 4, MMP-9 terpulas pada sekitar 25% area tumor dengan intensitas

sedang (inset)

Gambar 5.8

Kasus sampel 34 pulasan MMP-9 pada KTPVF ekstrakompartemen

Skor 9, MMP-9 terpulas pada >75% area tumor dengan intensitas kuat (inset)

Page 111: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

87

5.3 Hubungan Antara Variabel

Untuk menilai pengaruh variabel kontrol (karakteristik penelitian meliputi usia,

jenis kelamin dan ukuran tumor) terhadap hubungan skor MMP-9 antara masing-

masing kelompok penelitian maka dilakukan analisis ANCOVA.

Tabel 5.4

Pengaruh Variabel Independen dan Variabel Kontrol terhadap Skor Ekspresi

MMP-9

Parameter B Kemaknaan Interval Kepercayaan (CI) 95%

Batas Atas Batas Bawah

Usia -0,023 0,233 -0,062 0,016

Jenis Kelamin 0,532 0,405 -0,750 1,813

Ukuran 0,017 0,909 -0,278 0,311

KTP Klasik IK -4,329 <0,001 -6,045 -2,612

KTP Klasik EK 0,839 0,299 -0,778 2,457

KTPVF IK -3,252 <0,001 -4,905 -1,600

KTPVF EK (ref) - . .

R Squared= 0,661 (Adjusted R Squared=0,600)

Melalui analisis ANCOVA diketahui pula nilai pengaruh variabel independen

dan variabel kontrol secara simultan terhadap ekspresi MMP-9 adalah sebesar

66%, dengan faktor kelompok KTP sebagai variabel yang paling dominan

mempengaruhi skor ekspresi MMP-9. Tabel 5.4 menunjukkan bahwa variabel

usia pasien tidak mempengaruhi perbedaan skor ekspresi MMP-9 dengan nilai p

yang tidak bermakna yaitu sebesar 0,233. Uji regresi berganda antara jenis

kelamin dan ekspresi MMP-9 juga menunjukkan nilai yang tidak bermakna

(p=0,405; p>0,05). Demikian pula dengan uji regresi berganda antara ukuran

tumor dan ekspresi MMP-9 (p=0,909; p>0,05). Sedangkan uji regresi berganda

Page 112: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

88

antara kelompok KTP dan ekspresi MMP-9 menunjukkan nilai yang bermakna

(p<0,001). Sehingga melalui analisis ini diketahui bahwa variabel kontrol

(karakteristik penelitian meliputi usia, jenis kelamin dan ukuran tumor) tidak

mempengaruhi hubungan skor MMP-9 antara masing-masing kelompok

penelitian.

Page 113: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

89

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Usia Pasien

Rerata usia pasien untuk keseluruhan kasus KTP pada penelitian ini adalah

46,17±14,98 tahun dengan median usia 43,50 tahun. Hal ini sesuai dengan data

WHO yang menyebutkan bahwa rerata usia pasien saat terdiagnosis KTP adalah

pertengahan 40 hingga awal 50-an, berbeda dengan tipe folikuler, meduler,

berdiferensiasi buruk dan undifferentiated yang ditemukan pada usia lebih tua.

Median usia kasus pada penelitan ini juga sesuai dengan temuan median usia

pasien KTP pada beberapa penelitian sebelumnya yaitu 43 tahun (De Lellis et al.,

2004; Gupta et al., 2012; Chen et al., 2012).

Namun rentang usia kasus KTP pada penelitian ini sangat bervariasi antara

20-82 tahun dan lebih dari 75% kasus terjadi pada pasien dengan rentang usia 25-

64 tahun. Temuan ini agak berbeda dengan laporan WHO yang menyebutkan

bahwa KTP umumnya bermanifestasi pada rentang usia 20-50 tahun (De Lellis et

al., 2004; LiVolsi, 2011). Adanya cukup banyak kasus pada pasien diatas usia 50

tahun kemungkinan berkaitan dengan latar belakang faktor predisposisi KTP di

Bali yang berbeda dengan faktor radiasi yang ditemukan di negara barat,

peningkatan insiden KTP di Bali sejalan dengan peningkatan kasus goiter.

Kemungkinan pada kasus-kasus tersebut diawali oleh lesi jinak goiter, yang

memerlukan waktu lebih panjang untuk menimbulkan transformasi ganas.

Akumulasi mutasi somatik selama proses penuaan juga memudahkan terjadinya

89

Page 114: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

90

transformasi ganas setelah usia tua. Dikatakan bahwa sekitar 80% dari

keseluruhan kanker dapat baru terdeteksi saat usia diatas 50 tahun dan dikaitkan

dengan proses penuaan. Selama proses penuaan terjadi akumulasi perubahan

genetik maupun epigenetik, akumulasi radikal bebas akibat tekanan oksidatif serta

kerusakan progresif mekanisme perbaikan DNA, kontrol siklus sel dan

perbaharuan stem cell. Mekanisme disfungsi seluler ini rupanya ditemukan terlibat

dalam karsinogenesis (Bassi et al., 2009; Anisimov, 2009; Gunduz et al., 2014).

Beberapa pasien usia tua juga terlambat melakukan deteksi nodul tiroid, pasien

memeriksakan dirinya setelah nodul terlihat jelas dan menimbulkan gangguan.

Sedangkan untuk perbandingan pada kedua varian didapatkan bahwa rerata

usia pada 20 kasus KTP Klasik adalah 45,30±13,66 tahun, hampir serupa dengan

rerata usia 20 kasus KTPVF yaitu 47,05±16,50 tahun. Berbagai literatur

menyebutkan bahwa memang tidak terdapat perbedaan yang bermakna untuk

rerata maupun median usia antara kasus KTP Klasik maupun KTPVF (Chen et al.,

2012, Ito et al., 2012, Ito et al., 2014 ). Terkecuali KTP varian tall cell maupun

diffuse sclerosing yang umumnya terjadi diatas usia 60 tahun, hampir seluruh tipe

KTP memiliki distribusi usia yang sebanding. Baik KTP klasik maupun KTPVF

tergolong karsinoma dengan diferensiasi baik sehingga cenderung ditemukan pada

usia yang relatif lebih muda dibandingkan tipe diferensiasi buruk maupun

undifferentiated (Chen et al, 2012; LiVolsi et al., 2011).

Rerata dan median usia kasus KTP infiltrasi ekstrakompartemen relatif lebih

tua dibandingkan KTP dengan infiltrasi terbatas intrakompartemen yaitu rerata

usia 47,85±16,17 vs 44,5±13,91 tahun dan median 48 tahun vs 40 tahun. Dari

Page 115: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

91

angka absolutnya, perbedaan rerata usia antara kedua KTP cenderung bermakna,

namun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p= 0,081; p>

0,05). Kecenderungan perbedaan rerata usia yang bermakna dikaitkan dengan

pengaruh usia terhadap prognosis pasien. Pada karsinoma tiroid dikatakan bahwa

usia yang lebih tua (diatas 45 tahun) cenderung memiliki prognosis yang lebih

buruk dan sering menunjukkan infiltrasi ke jaringan sekitar maupun metastasis

dibandingkan usia 45 tahun atau kurang (Gupta et al., 2012; De Lellis et al., 2004;

LiVolsi et al., 2011; Leboulleux et al., 2006).

Sebuah studi eksperimental juga pernah melaporkan pengaruh usia terhadap

progresivitas KTP, studi tersebut mendeteksi adanya tiroglobulin (Tg) serum yang

merupakan marka kekambuhan dan Tg-doubling time yang lebih tinggi pada

kelompok usia tua (>60 tahun) dibandingkan kelompok usia muda antara 20-40

tahun setelah dilakukan tiroidektomi total dan supresi terhadap TSH (Ito et al.,

2014). Temuan mengenai tingkat agresivitas tumor yang lebih tinggi pada usia tua

seringkali dikaitkan dengan proses penuaan yang menyebabkan penurunan

berbagai fungsi tubuh (Bassi et al., 2009; Anisimov, 2009; Gunduz et al., 2014).

Seiring proses penuaan, sel-sel akan mengalami akumulasi mutasi DNA termasuk

DNA mitokondria yang dapat meningkatkan produksi radikal bebas (ROS). Siklus

kerusakan oksidatif yang dipengaruhi ROS ini akan berperan langsung dalam

inisiasi karsinogenesis serta meningkatkan potensi metastatik tumor (Gunduz et

al., 2014).

Namun beberapa laporan membantah konsep ini dan melaporkan bahwa

seiring peningkatan usia, tumor cenderung mengalami penurunan tingkat

Page 116: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

92

agresivitas dan tumbuh lebih lambat. Pada usia tua terjadi perubahan mekanisme

angiogenesis, perubahan fisiologis matriks ekstraseluler, sel-sel efektor imun,

hormon, faktor pertumbuhan/ sitokin, maupun nutrisi. Faktor terlarut yang

memicu angiogenesis berubah seiring peningkatan usia, terjadi pula penurunan

sensitivitas terhadap faktor angiogenik yang berkontribusi untuk menurunnya

kemampuan ekspansi maupun pertumbuhan tumor pada usia tua (Okada et al.,

2012; Gunduz et al., 2014).

6.2 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Jenis Kelamin Pasien

Berbagai penelitian melaporkan bahwa KTP cenderung lebih banyak ditemukan

pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio yang bervariasi. Demikian

pula pada penelitian ini, didapatkan bahwa untuk keseluruhan kasus KTP rasio

perbandingan antara perempuan dibandingkan laki-laki yaitu 7:3. Sebuah data

epidemiologi menyebutkan bahwa untuk karsinoma tiroid yang berdiferensiasi

baik termasuk KTP memang didominasi oleh kelompok perempuan pada usia

postpubertas dan premenopause (DeLellis et al., 2004; Nikiforov, 2009; LiVolsi

et al., 2011).

Lebih tingginya kasus KTP yang dijumpai pada perempuan dibandingkan

laki-laki sering dikaitkan dengan peranan faktor hormon seks perempuan dalam

karsinogenesis KTP, meskipun hingga saat ini melalui studi epidemiologi hal

tersebut belum dapat dibuktikan. Peran hormon seks perempuan yang telah

banyak diteliti yaitu peran estrogen terhadap karsinogenesis karsinoma tiroid yang

berdiferensiasi baik. Estrogen memiliki efek proliferatif terhadap KTP secara in

Page 117: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

93

vitro, namun dimana terjadi proliferasi sel yang diperantarai oleh reseptor

estrogen α (ERα), maka disana akan timbul efek penghambatan oleh reseptor

estrogen β (ERβ). Temuan ini juga membuktikan bahwa estrogen terlibat dalam

proses diferensiasi karsinoma tiroid (Schonfeld et al., 2012). Peranan faktor

hormonal dalam karsinogenesis tiroid semakin nyata setelah diketahui bahwa

kehamilan meningkatkan risiko karsinoma tiroid sebanyak dua kali lipat karena

berkaitan dengan peningkatan hormon tiroid maupun level estrogen serum

(Kavanagh et al., 2010).

Peran hormon seks seperti estrogen rupanya tidak mempengaruhi varian KTP.

Hal ini dibuktikan melalui penelitian ini dimana baik pada KTP Klasik maupun

KTPVF rasio perbandingan jenis kelamin perempuan tetap lebih banyak

dibandingkan laki-laki. Diketahui bahwa terdapat perbedaan basis molekuler

antara KTP klasik dan KTPVF namun tidak ditemukan adanya dominasi efek

estrogen terhadap salah satu basis molekuler tersebut dalam mempengaruhi

proliferasi tirosit. Serupa dengan faktor pertumbuhan lainnya, estrogen akan

bekerja mengaktifkan jalur NTRK yang selanjutnya mengaktifkan kaskade RAS-

BRAF-MAPK (Schonfeld et al., 2012).

Sedangkan untuk rasio perempuan berbanding laki-laki pada KTP dengan

infiltrasi ekstrakompartemen juga menunjukkan nilai yang tinggi yaitu 4:1.

Pendapat mengenai kaitan jenis kelamin dengan sifat agresif tumor maupun

kemungkinan prognosis cukup beragam dan kontroversial. Beberapa studi

mengenai faktor prognostik menyebutkan bahwa jenis kelamin laki-laki berkaitan

dengan prognosis tumor yang lebih buruk, adapula yang mengkaitkannya dengan

Page 118: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

94

frekuensi kekambuhan yang lebih besar (Gonzalez et al., 2011; Cho et al., 2012).

Namun studi lainnya berpendapat bahwa untuk menilai peranan jenis kelamin

dalam menentukan tingkat agresivitas maupun prognosis, faktor jenis kelamin

setidaknya harus dipadukan lagi dengan faktor lain seperti usia (Ito et al., 2012).

Lebih tingginya rasio perempuan berbanding laki-laki pada kasus KTP

dengan infiltrasi ekstrakompartemen dalam penelitian ini menunjukkan

kemungkinan jenis kelamin perempuan juga dapat berpengaruh terhadap

agresivitas tumor. Hal ini juga dapat berkaitan dengan faktor estrogen, dimana

untuk meningkatkan efek kerjanya dalam proliferasi sel, reseptor estrogen dapat

melibatkan beberapa koaktivatornya yang mengandung aktivitas asetilasi histon

sehingga memudahkan ekspresi gen reseptor tersebut, diantaranya p160 (160 kD)

dan SRC-1. Diketahui bahwa ekspresi berlebih dari kedua koaktivator tersebut

berkaitan dengan tingginya kemungkinan metastasis, kekambuhan maupun

resistensi terhadap terapi endokrin (Kavanagh et al., 2010; Schonfeld et al., 2012).

Alasan lainnya bahwa tingginya rasio ini juga kemungkinan berkaitan dengan

tingginya rasio populasi perempuan berbanding laki-laki secara keseluruhan,

sehingga memberikan kesan bahwa kasus KTP dengan infiltrasi

ekstrakompartemen cenderung terjadi pada kelompok perempuan.

6.3 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Ukuran Tumor

Ukuran merupakan salah satu parameter dalam sistem penentuan staging berbagai

tumor termasuk tumor-tumor tiroid. Bahkan berbagai literatur menjadikan

komponen ukuran sebagai determinan faktor prognostik karsinoma tiroid,

Page 119: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

95

khususnya KTP dengan ketentuan cutoff point yang berbeda-beda karena ukuran

tumor pada KTP sangat bervariasi dari tumor yang terbatas dalam hitungan

mikroskopis hingga sangat besar (Chrisoulidou et al., 2011; Cho et al., 2012;

Chen et al., 2012). Pada penelitian ini didapatkan bahwa rerata ukuran tumor

untuk keseluruhan kasus KTP adalah 3,48±2,10 cm. Nilai rerata ini sebanding

dengan yang ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya (Chen et al., 2012;

Meng et al., 2012; Marecko et al., 2014).

Berdasarkan tipenya, pada penelitian ini kelompok KTP klasik memiliki

rerata ukuran 2,92±1,75 cm, sedangkan kelompok KTPVF memiliki ukuran rerata

4,05±2,31 cm. Pada laporan penelitian sebelumnya, dinyatakan bahwa KTPVF

memiliki ukuran tumor yang lebih besar dibandingkan dengan KTP klasik

(Salajegheh et al., 2008). Sedangkan penelitian lain menyatakan bahwa kedua tipe

ini memiliki ukuran yang sebanding (Chrisoulidou et al., 2011). Pada penelitian

ini, perbedaan rerata diantara kedua kelompok tersebut menunjukkan nilai yang

tidak bermakna (p= 0,292; p>0,05), sehingga ukuran rerata keduanya dianggap

sebanding. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan varian KTP tidak

mempengaruhi ukuran tumor. Ukuran tumor sangat dipengaruhi oleh kemampuan

proliferasi sel-sel tumor (Nowak et al., 2008; Pallegriti et al., 2013). Baik KTP

klasik maupun KTPVF tergolong karsinoma tiroid yang berdiferensiasi baik

dengan kemampuan proliferasi yang tidak sepesat karsinoma tiroid berdiferensiasi

buruk maupun anaplastik, sehingga kedua varian ini memiliki ukuran yang relatif

sama.

Page 120: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

96

Sedangkan berdasarkan luas infiltrasinya, rerata ukuran tumor pada kelompok

KTP infiltrasi ekstrakompartemen yaitu 3,81±2,42 cm dan pada KTP infiltrasi

intrakompartemen yaitu 3,16±1,72 cm. Beberapa penelitian pernah melaporkan

bahwa ukuran tumor yang besar (>4 cm) cenderung lebih mudah menimbulkan

infiltrasi ke organ sekitar dan invasi vasa atau angiolimfatik (Mete et al., 2011;

Shironen, 2005). Penelitian ini menepis pendapat beberapa penelitian sebelumnya

karena ditemukan rerata ukuran tumor yang sebanding antara kelompok KTP

ekstrakompartemen dan kelompok KTP intrakompartemen (p= 0,258; p>0,05).

Namun hal ini didukung oleh beberapa penelitian yang menyatakan bahwa ukuran

tidak mempengaruhi kemampuan invasif tumor (Koseoglu et al., 2006; Cho et al.,

2012). Beberapa kasus KTP ekstrakompartemen yang berukuran kurang dari 2 cm

pada penelitian ini berlokasi dekat kapsel organ, sehingga sangat memungkinkan

jika lokasi yang berdekatan dengan kapsel maupun area limfovaskuler

memudahkan proses invasi tumor ke jaringan sekitar maupun proses metastasis.

Hal ini didukung oleh beberapa studi kohort maupun laporan kasus yang

menemukan adanya metastasis KGB maupun metastasis jauh pada kasus-kasus

KTP yang sebelumnya tergolong mikrokarsinoma (Boucek et al., 2009; Cho et

al., 2012).

Page 121: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

97

6.4 Ekspresi MMP-9 Pada KTP Klasik dan KTPVF dengan Infiltrasi

Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen

Penelitian ini menggunakan 40 sampel yang dibagi menjadi 4 kelompok yaitu 10

sampel dari kelompok KTP Klasik infiltrasi intrakompartemen, 10 sampel

kelompok KTP Klasik ekstrakompartemen, 10 sampel kelompok KTPVF

intrakompartemen dan 10 sampel kelompok KTPVF ekstrakompartemen. Setelah

dilakukan pemeriksaan immunohistokimia dengan MMP-9 dan uji statistik

didapatkan bahwa terdapat perbedaan rerata skor ekspresi MMP-9 yang sangat

bermakna antara kelompok KTP intrakompartemen dengan ekstrakompartemen

(p<0,001). Dari data diketahui bahwa terjadi peningkatan rerata skor ekspresi dari

KTP Klasik intrakompartemen ke KTP Klasik ekstrakompartemen, dari KTP

Klasik intrakompartemen ke KTPVF ekstrakompartemen, dari KTPVF

intrakompartemen ke KTP Klasik ekstrakompartemen, dan dari KTPVF

intrakompartemen ke KTPVF ekstrakompartemen, meskipun antar varian (antara

KTP Klasik dengan KTPVF) tidak menunjukkan perbedaan secara bermakna.

Rerata skor ekspresi MMP-9 pada KTP infiltrasi ekstrakompartemen yang

lebih besar secara sangat bermakna dibandingkan KTP intrakompartemen pada

penelitian ini membuktikan bahwa proses invasi yang lebih dalam dan metastasis

akan menarik aktivitas MMP-9 secara lebih banyak. Namun hasil ini tidak sejalan

dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa ekspresi

MMP-9 pada kanker tiroid tidak dapat menggambarkan agresivitas KTP (Korem

et al., 2004; Buergy et al., 2009; Delektorskaia et al., 2010). Pada penelitian

tersebut dikatakan bahwa ekspresi MMP-9 juga tinggi pada karsinoma tiroid yang

Page 122: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

98

belum menunjukkan gambaran metastasis KGB maupun metastasis jauh, hal ini

disebabkan karena sebelum terjadinya penetrasi sel ganas melewati membran

basalis limfovaskuler, sel ganas harus berpenetrasi diantara sel stroma sehingga

aktivitas MMP-9 menjadi cukup kuat pada area stroma sehingga memberikan skor

ekspresi yang relatif tinggi dalam pulasan imunohistokimia MMP-9. Beberapa

penelitian tersebut juga lebih membuktikan peranan MMP-9 dalam diagnostik,

dimana terdapat perbedaan ekspresi MMP-9 yang sangat bermakna antara

kelompok karsinoma tiroid dan adenoma tiroid. Sedangkan penilaian peranan

MMP-9 dalam menentukan kemampuan invasi dan metastasis tumor hanya

dilakukan dengan melihat hubungan antar variabel tanpa menyeimbangkan

perbandingan besar sampel karsinoma tiroid yang dengan dan tanpa metastasis.

Meskipun beberapa penelitian menunjukkan hasil yang bertentangan,

beberapa penelitian lanjutan lainnya sejalan dengan penelitian ini dan menemukan

bahwa ekspresi MMP-9 berhubungan secara bermakna dengan perluasan

ekstratiroid, adanya metastasis ke limfonodi dan metastasis jauh serta derajat

infiltrasi tumor (Marecko et al., 2008; Frasca et al., 2008; Wang et al., 2009;

Liang et al., 2010; Ansari et al., 2013). Persamaan hasil yang didapat pada

penelitian ini berkaitan dengan fakta bahwa MMP-9 terlibat dalam berbagai tahap

proses invasi yang lebih jauh maupun metastasis tumor seperti yang terangkum

dalam bagan pada gambar 6.1.

Page 123: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

99

Keterangan:

= Faktor yang mempengaruhi ekspresi MMP-9

= Faktor yang tidak mempengaruhi ekspresi MMP-9

Gambar 6.1

Bagan jalur patogenesis keterlibatan MMP-9 dalam proses infiltrasi tumor

pada penelitian

MMP-9 mendapat perhatian dalam berbagai studi karena protein ini

diperlukan dalam memunculkan sifat invasif maupun metastasik melalui peran

utamanya dalam mendegradasi kolagen IV yang merupakan komponen utama

Lingkungan sekitar sel

tumor

Stroma Sel radang

(neutrofil

makrofag)

Sitokin dan

kemokin sekitar

seperti TNFα,

TGFß, EGF, HGF

Sel Tumor

MMP-9 Usia Jenis Kelamin Ukuran Tumor

EMT Degradasi ECM Mobilisasi FGF, VEGF

dan faktor angiogenik

lain

Degradasi reseptor α IL-2 dan SP-D

Membran basalis epitel

Stroma Membran basalis vaskuler

Angiogenesis

Kemokin dalam proses intravasasi seperti; CCR7

Penekanan aktivitas innate immunity dan

limfosit

Motilitas sel tumor Intravasasi

KTP Intrakompartemen

KTP Ekstrakompartemen

Page 124: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

100

membran basalis. Selain berperan dalam degradasi komponen ECM, MMP-9 juga

mampu memicu transisi epitelial menjadi progenitor mesenkimal (EMT) sehingga

memiliki kemampuan motilitas tinggi. Selama terbentuknya proses metastasis,

sel-sel epitelial ganas akan terlepas dari tumor primer dan mengalami transisi

mesenkimal, menginvasi jaringan stroma, memasuki sirkulasi, diam sementara

pada area perifer vaskuler, ekstravasasi, menginvasi interstisium dan parenkim

organ target, dan membentuk koloni metastatik (Stuelten et al., 2005; Deryugina

et al., 2006; Marecko et al., 2008; Loffek et al., 2011; Ansari et al., 2013).

MMP-9 selanjutnya berperan pula dalam proses angiogenesis, invasi menuju

jalur angiolimfatik (intravasasi), ekstravasasi dan pertahanan koloni metastatik

dari respon imun. Untuk proses angiogenesis, MMP-9 dapat berperan sebagai

molekul proangogenik yang dapat memicu aktivasi angiogenik dengan cara

mengatur proliferasi perisit, apoptosis dan penarikan perisit serta memobilisasi

perekrutan prekursor angiogenik sumsum tulang ke stroma tumor dan beberapa

mitogen angiogenik seperti FGF dan VEGF (Nowak et al., 2008; Yang et al.,

2011; Ansari et al., 2013). Sedangkan peran dalam proses intravasasi, melibatkan

neutrofil yang direkrut MMP-9, dimana neutrofil ini terlebih dahulu akan ditarik

menuju permukaan sel endotel kemudian menjadi teraktivasi sehingga kembali

mampu menghasilkan MMP-9 yang terbebas dari pengaruh TIMP. Aktivasi

MMP-9 yang dihasilkan neutrofil ini selanjutnya kembali melepaskan faktor

angiogenik yang tersimpan dalam matriks ekstraseluler dan sekaligus membantu

intravasasi dan penyebaran sel tumor. Aktivitas beberapa kemokin seperti CCR7

yang sebelumnya ditargetkan untuk meningkatkan ekspresi MMP-9 juga berimbas

Page 125: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

101

pada fasilitasi penyebaran sel tumor melalui jalur limfonodi (Stuelten et al., 2005;

Marecko et al., 2008; Nowak et al., 2008; Ansari et al., 2013). Studi in vivo

menunjukkan bahwa MMP-9 terlibat dalam proses intravasasi dengan cara

mempengaruhi fenotip tumor sehingga memiliki potensi metastatik dengan

membentuk sel tumor yang memiliki aktivitas protrusi terorientasi dan

terpolarisasi menuju vaskuler sekitar tumor (Deryugina et al., 2006). Gambar 6.2

A merupakan gambaran adanya ekspresi MMP-9 yang kuat di sekitar vaskuler

tumor, kemungkinan berkaitan dengan adanya proses intravasasi yang dipengaruhi

oleh aktivitas MMP-9.

Diketahui pula bahwa beberapa sel radang seperti neutrofil dapat

menghasilkan MMP-9 bahkan MMP-9 yang terbebas dari aktivitas TIMP, dan

sebaliknya MMP-9 juga kembali dapat menarik aktivitas sel radang. Peran

neutrofil terkait tumor masih belum jelas, tetapi diduga neutrofil memiliki

kemampuan pro- sekaligus anti tumor tergantung fenotifnya dan jumlah infiltrat

neutrofil di lingkungan tumor. Ditemukan bahwa infiltrat masif neutrofil dapat

menimbulkan efek sitotoksik terhadap tumor sehingga tumor akhirnya mengalami

regresi sedangkan infiltrat ringan neutrofil justru menunjukkan sifat progresif

tumor (Leifler et al., 2014). Pada penelitian ini, ditemukan fokus infiltrat ringan

neutrofil pada beberapa kasus KTP ekstrakompartemen seperti pada sampel 13

(Gambar 6.1 B).

Page 126: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

102

Gambar 6.2

Pola Distribusi Ekspresi MMP-9 dan Sel Radang Penyerta di sekitarnya

(A Pola distribusi ekspresi MMP-9 tampak dengan intensitas yang lebih kuat di

area perivaskuler {inset}. B. Di sekitar sel dan stroma yang terpulas MMP-9

tampak fokus sel radang PMN neutrofil)

Proses metastasis selanjutnya yang diperankan MMP-9 yaitu dalam

ekstravasasi sel-sel ganas ke jaringan target yang juga diperantarai sel-sel

inflamasi yang ditarik oleh MMP-9. Kerja VEGF sirkulasi pada reseptornya

dalam pembentukan kelompok sel endotel dalam jaringan target metastatik juga

mampu menghasilkan lebih banyak MMP-9 yang nantinya berperan mendegradasi

membran basalis vaskuler. Berikutnya pada jaringan target, sel-sel ganas akan

membentuk koloni metastatik dan kembali lagi MMP-9 ikut mengambil peranan

terutama dalam dalam mempengaruhi pertahanan tumor maupun koloni metastatik

terhadap respon imun, MMP-9 dapat menekan penarikan berbagai jenis sel-sel

radang (Stuelten et al., 2005; Marecko et al., 2008; Nowak et al., 2008; Loffek et

al, 2011; Ansari et al., 2013). Penelitian yang dilakukan pada kasus karsinoma

serviks menunjukkan kemampuan MMP-9 dalam mendegradasi reseptor α IL-2

A B

Page 127: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

103

sehingga menekan aktivasi dan proliferasi Tumor Infiltrating Lymphocyte (TIL).

MMP-9 juga mendegradasi Surfactant protein D (SP-D), komponen penting

dalam respon innate immune. Hilangnya fungsi innate immune ini juga

menyebabkan pasien onkologi rentan terhadap berbagai infeksi (Ansari et al.,

2013). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa peningkatan aktivitas MMP-9

pada kasus karsinoma dengan metastasis juga mempengaruhi tingginya MMP-9

serum yang dapat diamati melalui tes zymografi (Quaranta et al., 2007; Daniele et

al., 2010). Namun pada penelitian ini tidak dilakukan penelusuran lebih jauh

terhadap aktivitas MMP-9 serum.

Rerata skor ekspresi MMP-9 pada KTP ekstrakompartemen yang lebih besar

secara sangat bermakna dibandingkan KTP intrakompartemen pada penelitian ini

menunjukkan bahwa terjadinya proses invasi yang lebih jauh melewati kapsel

organ dan metastasis merupakan proses yang lebih kompleks dan tentunya agak

berbeda dengan proses invasif yang terbatas dalam organ itu sendiri. Sehingga

diasumsikan bahwa luasnya invasi mempengaruhi agresivitas KTP karena

sebanding dengan peningkatan skor ekspresi MMP-9 yang merupakan marka

agresivitas tumor. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menelusuri

perbandingan ekspresi MMP-9 antara KTP ekstrakompartemen dengan KTP

intrakompartemen.

Adanya skor ekspresi MMP-9 yang lebih rendah dibandingkan skor maksimal

kasus-kasus KTP ekstrakompartemen seperti pada sampel 36 yaitu dengan skor 4

dapat berkaitan dengan berbagai faktor yang terlibat dalam proses ekspresi MMP-

9, diantaranya keseimbangan antara jumlah enzim dan penghambatnya (TIMP-1),

Page 128: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

104

lokalisasi periseluler dan perubahan bentuk laten MMP-9 menjadi bentuk

aktifnya. Sebuah studi telah membuktikan bahwa bentuk aktif MMP-9 tidak dapat

menggambarkan keseluruhan aktivitas MMP-9, pada studi tersebut didapatkan

bahwa ekspresi MMP-9 aktif tidak berkorelasi dengan beberapa faktor

klinikopatologik seperti luasnya invasi dan metastasis, yang berkorelasi secara

signifikan adalah ekspresi MMP-9 total (Daniele et al., 2010; Marecko et al.,

2014). Sedangkan rasio aktivitas MMP-9/TIMP-1 dan proses lokalisasi

periselulernya hingga saat ini sulit untuk diamati dan belum ada penelitian yang

melaporkan. Penelitian ini hanya mengamati aktivitas MMP-9 aktif, sehingga skor

rendah pada kasus KTP ekstrakompartemen ini belum tentu menunjukkan nilai

total MMP-9 yang rendah. Mengingat dominan kasus KTP ekstrakompartemen

menunjukkan skor ekspresi yang tinggi maka pada kasus seperti ini mungkin

perlu penilaian ekspresi MMP-9 laten sehingga nantinya didapatkan nilai ekpresi

MMP-9 total.

Salah satu kasus KTPVF ekstrakompartemen dengan skor ekspresi yang lebih

rendah dibandingkan kelompok KTPVF ekstrakompartemen lainnya

menunjukkan diferensiasi solid yang cukup luas dengan sedikit sisa komponen

folikuler. Tidak diketahui apakah peningkatan diferensiasi solid berpengaruh

terhadap sekresi MMP-9 sel tumor karena beberapa studi justru melaporkan

bahwa sepertiga kasus KTP dengan diferensiasi solid akan menunjukkan

perluasan ekstratiroid dan invasi vasa, namun belum ada penelitian yang

menelusuri apakah proses ini tidak secara dominan dilatarbelakangi oleh peran

MMP-9 sehingga pada kasus ini didapatkan skor imunohistokimia yang relatif

Page 129: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

105

lebih rendah. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu komponen stroma kasus ini

lebih sedikit akibat adanya diferensiasi solid yang cukup luas, sedangkan beberapa

studi melaporkan bahwa MMP-9 dominan dihasilkan oleh sel stroma fibroblas.

Distribusi MMP-9 pada stroma juga menjadi kriteria penilaian ekspresi MMP-9

pada penelitian ini dimana ekspresinya diinduksi oleh berbagai mediator klasik

seperti TNF-α, TGF-β, EGF atau HGF (Stuelten et al., 2005; Loffek et al., 2011;

Ansari et al., 2013). Pada penelitian ini, beberapa kasus KTP menunjukkan

distribusi ekspresi kuat MMP-9 diantara area stroma (Gambar 6.3 A).

Gambar 6.3

Pola Ekspresi MMP-9 pada Stroma sekitar Tumor dan pada Makrofag

A. Ekspresi MMP-9 yang kuat pada area stroma. B Ekspresi MMP-9 pada sel

makrofag yang bergranul (tanda panah)

Beberapa kasus KTP Klasik maupun KTPVF Intrakompartemen dan

Ekstrakompartemen pada penelitian ini menunjukkan ekspresi MMP-9 pada

sitoplasma sel makrofag sehingga mendukung beberapa penelitian sebelumnya

yang membuktikan keterlibatan Tumor Associated Macrophage (TAM) dalam

menghasilkan MMP-9, namun efeknya terhadap progresivitas tumor tergantung

pada fenotifnya yang ditentukan oleh sitokin yang dihasilkannya. Makrofag

A B

Page 130: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

106

dipolarisasikan dalam dua fenotif yaitu M1 dan M2. Makrofag M1 mensekresikan

arginase-1 dan IL-10 dalam jumlah sedikit serta IL-1b, IL-6, TNF-a, dan IL-12

dalam jumlah banyak, sedangkan makrofag M2 arginase-1, IL-10, dan IL-1Ra

dalam jumlah yang lebih banyak serta IL-12, IL-1b, IL-6, and TNF-a dalam

jumlah sedikit. Sitokin makrofag M1 cenderung memicu progresifitas tumor. Hal

ini dibuktikan melalui efek IL-1b yang dapat meningkatkan kemampuan

angiogenesis dan metastasis. Sedangkan sitokin makrofag M2 seperti IL-1Ra

bersifat antagonis terhadap IL-1b sehingga cenderung berperan dalam regresi

tumor. Penelitian ini tidak menelusuri lebih jauh fenotif makrofag yang terdapat

pada beberapa sampel kasus karena diperlukan teknik microdyalisate dalam

menilai aktivitas sitokin yang dihasilkan makrofag. Seperti halnya yang terjadi

pada neutrofil, MMP-9 yang dihasilkan oleh makrofag dapat sebaliknya kembali

mengaktivasi makrofag dengan bekerja pada reseptor PAR-1 dan PAR-2 (Ansari

et al., 2013; Leifler et al., 2014).

Berbagai penelitian telah berhasil membuktikan peran MMP-9 sebagai marka

agresivitas tumor melalui keterlibatannya dalam proses invasi maupun metastasis.

Agresivitas antara KTP Klasik dan KTPVF masih kontroversial, beberapa laporan

morfologi dan studi longitudinal menyebutkan bahwa area berdiferensiasi buruk,

lesi bilateral/multipel, invasi intravasa, invasi perineural maupun infiltrasi

ekstrakompartemen meliputi invasi kapsel, perluasan ekstratiroid dan metastasis

jauh lebih banyak dijumpai pada KTPVF dibandingkan dengan KTP klasik tetapi

risiko metastasis ke limfonodi lebih rendah dibandingkan KTP klasik (Chang et

al., 2006; Chrisoulidou et al., 2011; Chen et al., 2012; Gupta et al., 2012).

Page 131: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

107

Penelitian lainya justru melaporkan bahwa KTPVF memiliki perangai klinis

maupun patologis yang sebanding dengan KTP klasik (Gonzalez et al., 2011; Der

Lin et al., 2010; Salajegheh et al., 2008; De Lellis et al., 2004). Penilaian

agresivitas kedua tipe KTP melalui ekspresi MMP-9 pada penelitian ini

membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan rerata skor ekspresi MMP-9 yang

bermakna antara KTP Klasik dengan KTPVF, dimana perbedaan antara KTP

Klasik Intrakompartemen dengan KTPVF Intrakompartemen memiliki nilai

(p=0,496; p>0,005) dan antara KTP Klasik Ekstrakompartemen dengan KTPVF

Ekstrakompartemen memiliki nilai (p= 0,309; p>0,005).

Secara molekuler, jalur karsinogenesis KTP Klasik memang berbeda dengan

KTPVF. KTP Klasik melibatkan tata ulang RET atau NTRK dan point mutasi

BRAFV600E sedangkan KTPVF selain melibatkan tata ulang RET atau NTRK dan

mutasi BRAFK601E, 13% melibatkan translokasi t(2;3)(q13p;p25) yang

menggabungkan PAX8-PPARɤ dan 21% mutasi RAS (Kondo et al., 2006;

Santoro et al., 2006; Salajegheh et al., 2008; Viglieto et al., 2012; Chien et al.,

2012). Tidak pernah terdapat laporan bahwa MMP-9 dapat mempengaruhi proses

karsinogenesis pada kedua tipe KTP ini sehingga secara teoritis MMP-9 memang

tidak terlibat dalam penentuan karakteristik molekuler maupun morfologi pada

KTP Klasik maupun KTPVF. Keterlibatan MMP-9 pada inti sel yang diawali oleh

degradasi matriks protein inti yaitu PARP hanya mempengaruhi peningkatan

fragmentasi DNA dan pencegahan proses perbaikan DNA (Ansari et al., 2013).

Proses ini terjadi setelah terjadinya proses karsinogenesis, sehingga pulasan

Page 132: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

108

MMP-9 di inti yang ditemukan pada beberapa kasus penelitian ini tidak

menggambarkan bahwa MMP-9 terlibat dalam proses karsinogenesis KTP.

Berdasarkan berbagai literatur mengenai MMP-9, aktivitas transkripsi dan

translasi MMP-9 yang dipicu oleh berbagai faktor pertumbuhan, sitokin dan

promotor tumor dapat melalui berbagai jalur (gambar 6.3), diantaranya jalur

inhibitor-kappa binding (IκB) yang mengaktifkan faktor transkripsi nuclear

factor- kappa binding (NFκB), JUN activated kinase (JAK) yang mengaktifkan

signal transducer and activator of transcription (STAT) serta jalur yang terlibat

dalam karsinogenesis KTP maupun KTPVF seperti RAS-MAPK, RAS-BRAF-

MAPK dan PAX8-PPARɤ yang menginduksi transkripsi MMP-9 dengan

meningkatkan regulasi gen Snail yang juga merupakan penekan aktivitas E-

cadherin (Palma et al., 2014; Di Maro et al., 2014). Namun belum terdapat

penelitian yang membandingkan jalur mana yang dominan berkontribusi terhadap

peningkatan aktivitas MMP-9 dan apakah MMP-9 yang dihasilkan pada kedua

tipe KTP akan berbeda sehingga dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan

perangai biologisnya. Tidak didapatkannya perbedaan rerata skor ekspresi MMP-9

yang bermakna antara KTP Klasik dengan KTPVF membuktikan bahwa jalur

karsinogenesis kedua tipe KTP kemungkinan dilibatkan secara imbang dalam

pembentukan aktivitas MMP-9. Alasan lainnya adalah kemungkinan ada faktor

lain namun tidak dinilai dalam penelitian ini, yang kemungkinan dapat menjadi

prediktor agresivitas kedua varian selain ekspresi MMP-9 seperti keterlibatan

kemampuan proliferasi tumor yang dinilai melalui Ki-67 hingga aktivitas

Page 133: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

109

microRNA yang mampu memodifikasi protein penting dalam progresi karsinoma

tiroid.

Gambar 6.4

Bagan Jalur Transkripsi MMP-9 yang dilibatkan oleh beberapa Jalur

Karsinogenesis KTP

6.5 Pengaruh Antar Seluruh Variabel dengan Skor Ekspresi MMP-9

Pada penelitian ini juga dinilai pengaruh antar seluruh variabel baik variabel

bebas yang meliputi empat kelompok KTP maupun variabel kontrol meliputi usia,

jenis kelamin dan ukuran tumor terhadap skor ekspresi MMP-9. Peneliti

mendapatkan bahwa secara simultan keseluruhan variabel ini memiliki pengaruh

yang besar terhadap skor ekspresi MMP-9 dengan nilai persentase sebesar 66%.

Diantara keseluruhan variabel tersebut variabel kelompok KTP merupakan

variabel yang paling berkontribusi terhadap skor ekspresi MMP-9 dengan nilai

p<0,001. Sedangkan variabel kontrol yang meliputi usia pasien, jenis kelamin dan

Diaktivasi oleh Faktor Pertumbuhan seperti

TGFß, EGF, HGF maupun FGF

Page 134: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

110

ukuran tumor tidak mempengaruhi perbedaan skor ekspresi MMP-9 karena

memiliki nilai p>0,05, dimana variabel usia pasien memiliki nilai p=0,233,

variabel jenis kelamin dengan p=0,405 dan ukuran tumor dengan nilai p=0,909.

Temuan ini agak berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang

menemukan bahwa selain berkorelasi positif dengan derajat infiltrasi dan

metastasis, ekspresi MMP-9 juga berkorelasi positif dengan ukuran tumor dan

usia pasien (Merecko et al., 2008; Ansari et al., 2013; Meng et al., 2012). Namun

pada beberapa penelitian lain dikatakan bahwa faktor usia, jenis kelamin maupun

ukuran tumor tidak memiliki pengaruh terhadap ekspresi MMP-9 (Yu et al., 2012;

Gonzalez et al., 2008). Belum ada penelitian yang membahas secara mendalam

mengenai kaitan ekspresi MMP-9 dengan ukuran tumor, usia pasien dan jenis

kelamin.

Meskipun insiden kanker meningkat seiring peningkatan usia, tetapi insiden

metastasis akan berkurang karena perubahan usia cenderung mengurangi sifat

agresif proliferasi tumor maupun metastasisnya. Pada pasien usia tua yang

meninggal karena kanker, gejala antemortem maupun temuan otopsi

menyimpulkan bahwa tumor tersebut bersifat tidak agresif, tumbuh sangat lambat

dan jarang bergejala. Beberapa faktor kemungkinan berkaitan dengan hal ini

diantaranya adanya perubahan mekanisme angiogenesis, perubahan fisiologis

matriks ekstraseluler, sel-sel efektor imun, hormon, faktor pertumbuhan/ sitokin,

maupun nutrisi. Faktor terlarut yang memicu angiogenesis berubah seiring

peningkatan usia, terjadi pula penurunan sensitivitas terhadap faktor angiogenik

yang berkontribusi untuk menurunnya kemampuan ekspansi maupun

Page 135: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

111

pertumbuhan tumor pada usia tua. Usia juga mempengaruhi biosintesis dan

fisiologi matriks ekstraseluler, dikatakan bahwa kolagen IV meningkat sekitar

empat kali lipat pada usia tua, sehingga mempengaruhi kemampuan kerja MMP-9

dan menyebabkan aktivitas MMP-9 menjadi relatif tidak adekuat (Okada et al.,

2012; Gunduz et al., 2014). Namun belum ada penelitian yang menelusuri

seberapa kuat faktor ini mempengaruhi sintesis dan ekspresi MMP-9 pada pasien

kanker usia tua. Penelitian ini juga tidak menelusuri faktor manakah yang lebih

berperan terhadap skor ekspresi MMP-9 pada pasien KTP usia tua.

Ekspresi MMP-9 dikatakan berkaitan dengan ukuran tumor karena jika

ukuran tumor lebih besar maka sel-sel tumor yang akan menghasilkan MMP-9

cenderung akan lebih banyak (Meng et al., 2012). Tetapi pada penelitian ini

adanya latar belakang goiter pada sebagian besar sampel mempengaruhi

berkurangnya proporsi sel ganas penghasil MMP-9. Hal tersebut kemungkinan

menyebabkan tidak berpengaruhnya ukuran tumor terhadap skor ekspresi MMP-9

pada penelitian ini. Sedangkan pada berbagai penelitian maupun pada penelitian

ini, faktor jenis kelamin tidak mempengaruhi skor ekspresi MMP-9. Hal ini

mungkin disebabkan oleh tidak adanya hubungan faktor hormonal seks terhadap

ekspresi MMP-9.

Pada penelitian ini dibuktikan bahwa perbedaan skor ekspresi MMP-9 sangat

dipengaruhi oleh variabel kelompok penelitian yaitu antara kelompok KTP

intrakompartemen dengan KTP ekstrakompartemen dengan nilai kemaknaan

<0,001. Akan tetapi faktor usia, jenis kelamin dan ukuran tumor tidak

mempengaruhi perbedaan skor ekspresi MMP-9.

Page 136: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

112

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Terdapat perbedaan rerata skor ekspresi MMP-9 pada KTP Klasik infiltrasi

intrakompartemen, KTP Klasik infiltrasi ekstrakompartemen, KTPVF infiltrasi

intrakompartemen dan KTPVF infiltrasi ekstrakompartemen, dimana perbedaan

yang bermakna dijumpai antar KTP infiltrasi intrakompartemen dengan KTP

infiltrasi ekstrakompartemen. Tidak terdapat pengaruh faktor usia, jenis kelamin

dan ukuran tumor terhadap perbedaan skor ekspresi MMP-9. Sehingga

disimpulkan bahwa agresivitas KTP dipengaruhi oleh luas infiltrasi tumor

sedangkan varian KTP (klasik dan folikuler), usia, jenis kelamin pasien maupun

ukuran tumor tidak terbukti mempengaruhi agresivitas KTP.

7.2 Saran

1. Pada penelitian ini belum ditentukan cut off point tinggi rendahnya skor

ekspresi MMP-9, sehingga sangat penting dibuat kesepakatan mengenai

cut off point skor ekspresi MMP-9 pada penelitian berikutnya untuk

keseragaman pelaporan tingkat ekspresinya.

2. Untuk mengatasi kemungkinan bias skor ekspresi MMP-9 akibat hanya

menilai skor MMP-9 aktif, maka selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk

dilakukan pula penilaian skor MMP-9 laten sehingga skor yang didapat

nantinya merupakan skor MMP-9 total.

112

Page 137: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

113

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kaitan ekspresi MMP-9

pada jaringan KTP ekstrakompartemen dengan kadar MMP-9 di serum,

sehingga dapat dikembangkan kemungkinan MMP-9 sebagai marka

penanda agresivitas tumor secara serologi.

4. Keterlibatan MMP-9 dalam proses invasi tumor dapat menjadi landasan

penelitian lanjutan untuk membuktikan bahwa MMP-9 juga dapat

dimanfaatkan sebagai salah satu panel pemeriksaan imunohistokimia

dalam membedakan KTP dengan berbagai lesi tiroid jinak

5. Untuk kasus KTP yang dicurigai telah mengalami perluasan ekstratiroid

maupun metastasis namun secara klinis maupun pencitraan masih

meragukan dapat dipertimbangkan pemeriksaan MMP-9 sehingga klinisi

dapat menentukan pilihan jenis operasi yang tepat pada pasien.

6. Keterlibatan MMP-9 terhadap luas infiltrasi tumor pada KTP dapat

menjadi dasar pengembangan terapi target yang potensial khususnya

sebagai target penghambat progresivitas tumor dalam penanganan

karsinoma tiroid. Peneliti berharap agar terdapat studi lanjutan dalam

menelusuri kegunaan dan efektivitas agen-agen penghambat ekspresi

MMP-9 dalam penanganan karsinoma tiroid.

Page 138: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

114

DAFTAR PUSTAKA

Anisimov, V.N. 2009. Carcinogenesis and aging 20 years after: escaping

horizon. Mech Ageing Dev, 130: 105–121.

Anonim. 2010. Bali dalam angka 2010. Denpasar: Badan Pusat Statistik

Provinsi Bali.

Anonim. 2012. NCCN Guidelines Carcinoma Thyroid. USA: National

Comprehensive Cancer Network.

Ansari, M.A., Shaikh, S., Muteeb, G., Rizvi, D., Shakil, S., Alam, A.,et al.

2013. Role of Matrix Metalloproteinases in Cancer. In: Advances

in Protein Chemistry. USA: OMICS group ebook. p. 4-8.

Baloch, Z.W., Livolsi, V.A. 2010. Pathology of Thyroid and Parathyroid

Disease. In: Stancey E. Mills, editors. Sternberg’s Diagnostic

Surgical Pathology, 5th

. Ed. Philadelphia: Wolters Kluwer

Lippincott Williams and Wilkins. p. 500-503.

Bassi, P.F., Sacco, E. 2009. Cancer and aging: the molecular pathways. Urol

Oncol; 27: 620–627.

Bilimoria, K.Y., Bentrem D.J., Ko, C.Y. 2007. Extent of surgery affects

survival for papillary thyroid cancer. Ann Surg; 246 (Suppl. 3):

375-381.

Boucek, J., Kastner, J., Skrivan, J., Grosso, E., Gibelli, B., Gaugliano, G.,

Betka, J. 2009. Occult Thyroid Carcinoma. Acta

Otorhinolaryngologica Italica; 29:296-304.

Bouchet, S., Bauvois, B. 2014. Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin

(NGAL), Pro-Matrix Metalloproteinase-9 (pro-MMP-9) and Their

Complex Pro-MMP-9/NGAL in Leukaemias. Cancers, 6: 796-

812.

Bras, L.E.C., Toba, H., BAicu, C.F., Zile, M.R., Weintraub, S.T., Lindsey,

M.L., Bradshaw, A.D. 2014. Age and SPARC Change the

Extracellular Matrix Composition of the Left Ventricle. Biomed

Research International; 2014: 1-7.

Page 139: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

115

Brito, J.P., Hay, D.I., Morris J.C. 2014. Low risk papillary thyroid cancer.

British Medical Journal, 348: 1-8.

Page 140: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

116

Buergy,D., Weber, T., Maurer, G.D., Mudduluru, G., Medved, F., Leupold,

J.H. 2009. Urokinase receptor, MMP-1 and MMP-9 are markers to

differentiate prognosis, adenoma and carcinoma in thyroid

malignancies. Int J Cancer, 125:894-901.

Chang, H.Y., Lin, J.D., Chou, S.C. 2006. Clinical presentations and outcomes

of surgical treatment of follicular variant of the papillary thyroid

carcinomas. Jpn J Clin Oncol; 2006 (Suppl. 36): 688–93.

Chen, H., Izevbaye, I., Chen, F., Weinstein, B. 2012. Recent Advances in

Follicular Variant of Papillary Thyroid Carcinoma. North

American Journal of Medicine and Science; 5 (Suppl. 4): 212-5.

Chien, W., Koeffler P. 2012. Molecular Biology of Thyroid Cancer. Springer

Endocrine Updates, 30: 35-43.

Cho, J.K., Kim, J.Y., Jeong, C.Y., Jung, E.J., Park, S.T., Jeong, S.H., Ju, Y.T.,

Lee, Y.J., Hong, S.C., Ha, W.S., Choi, S.K. 2012. Clinical features

and prognostic factors in papillary thyroid microcarcinoma

depends on age. Journal of the Korean Surgical Society; 82 (Suppl.

5): 281-7.

Chrisoulidou, H., Boudina, M., Tzemailas, A., Doumala, E., Iliadou, P.K.,

Patakiouta, F., Panayiotou, K.P.,2011. Histological subtype is the

most important determinant of survival in metastatic papillary

thyroid cancer. BioMed Central Thyroid Research; 4 (Suppl. 12):

1-5.

Constantine, S., Mitsiades., Negri, J., McMullan C. 2007. Targeting BRAF

V600E in thyroid carcinoma: therapeutic implications. American

Association for Cancer Research, 6: 1070-1078.

Cooper, D.S., Doherty, G.M., Haugen, B.R. 2006. Management guidelines for

patients with thyroid nodules and differentiated thyroid cancer.

Thyroid; 16 (2):109-142.

Cossu, A., Budroni, M., Paliogiannis, P., Palmieri, G., Scognamillo, F.,

Cesaraccio, R., Attene, F., Trignano, M., Tanda, F. 2013.

Epidemiology of Thyroid Cancer in an Area of Epidemic Thyroid

Goiter. Hindawi, 2013: 1-4.

Dedock, J., Paridaens, R.,Ye, S. 2008. Genetic Polymorphism of Matrix

Metalloproteinase in Lung, Breast and Colorectal Cancer. Clin

Genet,733: 197-221.

Page 141: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

117

Delektorskaia, V.V., Smirnova, E.A., Ponomareva, M.V., Pavlova, T.V.,

Pavlov, I.A. 2010. Expression of matrix metalloproteinases 2 and 9

and their tissue inhibitors 1 and 2 in papillary thyroid cancer: an

association with the clinical, morphological and ultrastructural

characteristics of a tumor. Arkh Patol, 72: 3-6.

DeLellis, R.A., Williams, E.D. 2004. Thyroid and Parathyroid Tumours:

Introduction. In: DeLellis, R.A., Lioyd, R.V., Heitz, P.U., Eng, C.,

editors. World Health Organization Classification of Tumours,

Pathology & Genetics Tumours of Endocrine Organs. Lyon: IARC

Press. p. 51-6.

Der Lin, J., Hsueh, C.,Hyu Huang, B. 2011. Papillary Thyroid Carcinoma with

Different Histological Patterns. Chang Gung Med J; 34 (Suppl.1):

23-34.

Deryugina, E.I., Quigley, J.P. 2006. Matrix Metalloproteinases and Tumor

Metastases. Cancer Metastase Rev, 25: 9-34.

Di Maro, G., Salemo, P., Unger, K., Orlandella, F.M., Manaco, M.,

Chiappetta, G., Thomas, G., Wojciechowska, M.O., Masullo, M.,

Jarzab, B., Santoro, M., Salvatore, G. 2014. Anterior Gradient

Protein 2 Promotes Survival Migration and Invasion of Papillary

Thyroid Carcinoma Cells. BioMed Central; 13 (Suppl.160): 1-11.

Dirjen Yanmed. 2008-2010. Kanker di Indonesia. Dirjen Yanmed Departemen

Kesehatan RI.

Ershler, W.B., Longo, D.L. 2014. Aging and Cancer: Issues of Basic and

Clinical Science. J Natl Cancer Inst, 89:1489–97

Farina, A.R., Mackay, A.R. 2014. Gelatinase B/MMP-9 in Tumour

Pathogenesis and Progression. Cancers, 6: 240-296.

Frasca, F., Nucera, C., Pellegriti, G., Gangemi, P., Attard, M., Stella, M.,

Loda, M., Vella, V., Giordano, V.C., Trimarchi, R., Mazzon, E.,

Belfiore, A., Vigneri, E. 2008. BRAF(V600E) mutation and the

biology of papillary thyroid cancer. Endocrine-Related Cancer, 15:

191–205.

Fuhrer, D. 2006. Genetics of Benign and Malignant Tumours. Thyroid

International, 2: 1-10.

Führer, D., Bockisch, A., Schmid, K.W. 2012. Euthyroid Goiter With and

Without Nodules—Diagnosis and Treatment. Medicine; 109

(Suppl 29–30): 506–516.

Page 142: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

118

Ghossein, R. 2009. Update to the College of American Pathologists Reporting

on Thyroid Carcinomas. Head and Neck Pathol Humana Press;

2009 (Suppl. 3): 86-93.

Gonzalez, R.G., Molina, R.B., Carreon-Burciaga, R.G., Gastelum, M.G.,

Frechero, N.M., Rodrıguez, S.S. 2011. Papillary Thyroid

Carcinoma: Differential Diagnosis and Prognostic Values of Its

Different Variants. International Scholarly Research Network

ISRN Oncology, 2011: 1-9.

Gunduz, G., Fiskin, K. 2014. Aging and cancer: molecular facts and

awareness for Turkey. Turk J Biol; 38: 708-719.

Gupta, S., Ajise, O., Dultz, L., Wang, B., Nonaka, D., Ogilvie, J., Heller, K.S.,

Patel, K.N. 2012. Follicular Variant of Papillary Thyroid Cancer.

American Medical Association; 138 (Suppl. 3): 227-233.

Haigh, P.I, Urbach, D.R., Rotstein, L.E. 2005. Extent of thyroidectomy is not

a major determinant of survival in low- or high-risk papillary

thyroid cancer. Ann Surg Oncol; 12 (Suppl. 1): 81-80.

Htwe, T.T. 2012. Thyroid malignancy among goitrous thyroid lesions: a

review of hospital-based studies in Malaysia and Myanmar.

Singapore Medical Journal; 53 (Suppl. 3): 159–163.

Ito, Y., Higashiyama, T., Takamura, Y. 2007. Risk factors for recurrence to

the lymph node in papillary thyroid carcinoma patients without

preoperatively detectable lateral node metastasis: validity of

prophylactic modified radical neck dissection. World J Surg;

31(Suppl. 11): 2085-2091.

Ito, Y., Jikuzono, T., Higashiyama, T. 2006. Clinical significance of lymph

node metastasis of thyroid papillary carcinoma located in one lobe.

World J Surg; 30 (Suppl. 10): 1821-28.

Ito, Y., Miyauchi, A. 2012. Prognostic Factors of Papillary and Follicular

Carcinomas in Japan Based on Data of Kuma Hospital. Journal of

thyroid research, 2012: 1-18.

Ito, Y., Miyauchi, A., Kihara, M., Higashiyama, M., Kobayashi, K., Miya, A.

2014. Patient Age Is Significantly Related to the Progression of

Papillary Microcarcinoma of the Thyroid Under Observation.

Thyroid; 24 (Suppl 1): 27-33.

Page 143: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

119

Kakudo, K., Bai, Y., Liu, Z., Ozaki, T. 2012. Encapsulated papillary thyroid

carcinoma, follicular variant: A misnomer. Pathology International, 62: 155–160

Kavanagh, D.O., Mcllroy, M., Myers, E., Bane, F., Crotty, T.B., McDermott,

E., Hill, A.D., Young, L.S. 2010. The role of oestrogen receptor a

in human thyroid cancer: contributions from coregulatory proteins

and the tyrosine kinase receptor HER2. Endocrine-Related Cancer,

17: 255-264.

Knobel, M., Neto, G.M. 2007. Relevance of Iodine Intake as a Reputed

Predisposing Factor of Thyroid Cancer. Arq Bras Endocrinol

Metab; 5 (Suppl. 5): 701-712.

Kondo, T., Ezzat, S., Asa, S.L. 2006. Pathogenetic mechanisms in thyroid

follicular-cell neoplasia. Nature Reviews; 6 (Suppl. 4): 292–306.

Koseoglu, R.D., Filiz, N.O., Aladas, I., Eyibisen, A., Guven, M. 2006.

Problems Encountered in the Diagnosis of Encapsulated Follicular

Variant of Papillary Thyroid Carcinoma and the Morphological

Diagnosis Criteria. Turk J Med Sci; 36 (Suppl. 2006): 17-22.

Korem, S., Kraiem, Z., Shiloni, E., Yehezkel, O., Sadeh, O., Resnick, M.B.

2004. Increased expression of matrix metalloproteinase-2: a

diagnostic marker but not prognostic marker of papillary thyroid

carcinoma. Isr Med Assoc J, 4:247-51.

Kumar., Abas., Fausto., Aster. 2010. Neoplasm. In: Robbins Cotran

Pathologic Basis of Desease Eight Edition. Kumar Vinay.

Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 62-70.

Leboulleux, S., Rubino, C., Baudin, E., Caillou, B., Hartl, D.M., Bidart, J.M.,

Travagli, J.P., Schlumberger, M. 2006. Prognostic Factors for

Persistent or Recurrent Disease of Papillary Thyroid Carcinoma

with Neck Lymph Node Metastases and/or Tumor Extension

beyond the Thyroid Capsule at Initial Diagnosis. The Journal of

Clinical Endocrinology & Metabolism; 90 (Suppl. 10): 5723–5729.

Leifler, K.S., Svensson, S., Abrahamsson, A., Bendrik, C., Robertson, J.,

Gauldie, J., Olsson, A.K., Dabrosin, C. 2013. Inflammation

Induced by MMP-9 Enhances Tumor Regression of Experimental

Breast Cancer. J Immunol, 190:4420-4430

Liang, H., Zhong, Y., Luo, Z., Huang, Y., Lin, H., Luo, M., et al. 2010.

Assessment of biomarkers for clinical diagnosis of papillary

Page 144: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

120

thyroid carcinoma with distant metastasis. Medline Int J Biol

Markers,25:38-45.

LiVolsi, V.A. 2011. Papillary thyroid carcinoma: an update.Modern

Pathology. 24: 1-9.

Loffek, S., Schilling, O., Franzke, C-W. 2011. Biological role of matrix

metalloproteinases: a critical balance. Eur Respir J, 38: 191–208.

Marečko, I., Cvejić, J., Šelemetjev, S., Paskaš, S., Tatić, S., Paunović, I.,

Savin, S. 2014. Enhanced activation of matrix metalloproteinase-9

correlates with the degree of papillary thyroid carcinoma

infiltration. Croat Med J, 55: 128-37.

Meng, X., Hua, T., Zhang, Q., Pang, R., Zheng, G., Song, D. 2012.

Expression and clinical significance of matrix metalloproteinase 9

(MMP9) papillary thyroid carcinomas. African Journal of

Pharmacy and Pharmacology; 6 (Suppl. 44): 3075-9.

Mete, O.,Asa, S.L. 2011. Pathological definition and clinical significance of

vascular invasion in thyroid carcinomas of follicular epithelial

derivation. Modern Pathology; 2011 (Suppl. 24): 1545–1552.

Nikiforov, Y.E. 2009. Thyroid Tumors: Classification, Staging, and General

Considerations. In: Hubbard J.G.H., Inabnet, W.B., Yau Lo, C.,

editors. Endocrine surgery. London: Springer. P. 108-112.

Nowak, M., Madej, J.A., Okolow, M.P., Dziegiel, P. 2008. Expression of

Extracellular Matrix Metalloproteinase (MMP-9), E-Cadherin and

Proliferation-associated Antigen Ki-67 and their Reciprocal

Correlation in Canine Mammary Adenocarcinomas. In vivo; 22:

463-470

Okada, F., Kobayashi, H. 2012. The influence of aging and cellular

senescence on metastasis. In: Lyden D, Welch DR, Psaila B,

editors. Cancer Metastasis: Biological Basis and Therapeutics.

Cambridge, UK: Cambridge University Press. P. 105–116.

Palma, T.D., Lucci, V., Cristofaro, T., Fillipone, M.G., Zannini, M. 2014. A

Role for PAX8 in Tumorigenic Phenotype of Ovarian Cancer

Cells. Biomed Central;14(Suppl.292): 1-8.

Page 145: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

121

Pellegriti, G., Frasca, F., Regalbuto, C., Squatrito, S.,Vigneri, R. 2013.

Worldwide Increasing Incidence of Thyroid Cancer: Update on

Epidemiology and Risk Factors. Hindawi, 2013: 1-7.

Pereira, J.A., Jimeno, J., Miquel, J. 2005. Nodal yield, morbidity, and

recurrence after central neck dissection for papillary thyroid

carcinoma. Surgery; 138 (Suppl. 6): 1095-1100.

Powell, E., Piwnica-Worms, D., Piwnica-Worms, H. 2014. Contribution of

P53 to Metastases. American Association of Cancer Research, 4:

405-414.

Quaranta, M., Daniele, A., Coviello, M., Venner, M.T., Abbate, I., Caringella,

M.E., Di Tardo, S., Divella, R., Trerotoli, P., Di Gennaro. M.,

Schitulli, F., Fransvea, E., Giannelli, G. 2007. MMP-2, MMP-9,

VEGF and CA 15.3 in Breast Cancer. Anticancer Research, 27:

3593-3600.

Rosai, J., Tallini, G. 2011. Thyroid Gland. In: Rosai, Ackerman, editors.

Surgical Pathology. 10th

. Ed. British: Elsevier. p. 487-513.

Rubin, P., Hansen, J.T. 2012. TNM staging Atlas with Oncoanatomy. Second

Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Lippincott Williams and

Wilkins. p. 114-121.

Salajegheh, A., Petcu, E.B., Smith, R.A., Lam, A.K. 2008. Follicular variant

of papillary thyroid carcinoma: a. diagnostic challenge for

clinicians and pathologist. Postgrad. Med. J, 84: 78-82.

Santoro, M., Melillo, R.M., Fusco, A. 2006. RET/PTC activation in papillary

thyroid carcinoma: European Journal of Endocrinology Prize

Lecture. European Journal of Endocrinology, 155: 645–653.

Sawka, A.M., Thephamongkhol, K., Brouwers, M. 2004. Clinical review 170:

a systematic review and metaanalysis of the effectiveness of

radioactive iodine remnant ablation for well-differentiated thyroid

cancer. J Clin Endocrinol Metab; 89 (Suppl. 8): 3668-3676.

Schonfeld, S.J., Neta, G., Sturgis, E.M., Pfeiffer, R.M., Hutchinson,A.A., Xu,

L., Wheeler, W., Gue´nel, P., Rajaraman, P., Vathaire, F., Ron, E.,

Tucker, M.A., Chanock, S.J., Sigurdson, A,J., Brenner, A.V. 2012.

Common Genetic Variants in Sex Hormone Pathway Genes and

Papillary Thyroid Cancer Risk. Thyroid; 22 (Suppl 2): 151-155.

Shindo, M., Wu, J.C., Park, E.E., Tanzella, F. 2006. The importance of central

compartment elective lymph node excision in the staging and

Page 146: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

122

treatment of papillary thyroid cancer. Arch Otolaryngol Head Neck

Surg; 132 (Suppl. 6): 650-654.

Shironen, P. 2005. “Prognosis of Papillary Thyroid Cancer” (dissertation).

Helsinki.

Stuelten, C.H., Byfield, S.D., Arany, P.R., Karpova, T.S., Stevenson, W.G.S.,

Roberts, A.B. 2005. Breast cancer cells induce stromal fibroblasts

toexpress MMP-9 via secretion of TNF-α and TGF-β. Journal of

Cell Science; 118 (Suppl.10): 2143-2152

Toniato, A., Boschin, I., Casara, D. 2008. Papillary thyroid carcinoma: factors

influencing recurrence and survival. Ann Surg Oncol; 15 (Suppl.

5): 1518-1522.

Viglietto, G., Marco, C.D. 2012. Molecular Biology of Thyroid Cancer.

Springer Endocrine Updates, 30: 35-43.

Wang, T., Jiang, C.X., Li, Y., Liu, X. 2009. Pathologic study of expression

and significance of matrix metalloproteinases-9, tissue inhibitor of

metalloproteinase-1, vascular endothelial growth factor and

transforming growth factor beta-1 in papillary carcinoma and

follicular carcinoma of thyroid. Medline, 38:824-8.

Xing, M., Westra, W.H., Tufano, R.P. 2005. BRAF mutation predicts a poorer

clinical prognosis for papillary thyroid cancer. J Clin Endocrinol

Metab; 90 (Suppl. 12): 6373-6379.

Yang. S., Zhao, Z., Wu, R., Lu, H., Zhang, X., Huan, C. 2011. Expression and

biological relationship of vascular endothelial growth factor-A and

matrix metalloproteinase-9 in gastric carcinoma. J Int Med Res, 39:

2076-85.

Yu, F., Jiang, Q., Zhou, Y., Yang, Z., Yu, X., Wang, H., Liu, Z., Wang, L.,

Fang, W., Guo, S. 2012. Abnormal Expression of Matrix

Metalloproteinase-9 (MMP-9) correlates with clinical course in

Chinese patiens with endometrial cancer. Dis markers; 32

(Suppl.5): 321-3

Page 147: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

122

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Ethical Clearance

Page 148: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

124

Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian

Page 149: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

125

No Umur JK Blok Persentase Intensitas Skor

1. 52 P II 1+ 1 1

2. 35 P UM I 1+ 1 1

3. 42 L II 2+ 2 4

4. 32 P II 2+ 3 6

5. 33 P VI 2+ 1 2

6. 65 L I 1+ 1 1

7. 56 P IV 2+ 2 4

8. 58 L V 2+ 1 2

9. 45 L II 1+ 1 1

10. 25 P III 2+ 2 4

11. 61 L I 3+ 2 6

12. 50 P IV 3+ 3 9

13. 41 P II 3+ 3 9

14. 57 P IV 3+ 3 9

15. 57 P III 3+ 3 9

16. 31 P II 2+ 3 6

17. 20 L IV 3+ 3 9

18. 35 P III 3+ 3 9

19. 44 P UM III 2+ 3 6

20. 67 L VI 2+ 3 6

21. 40 L II 2+ 1 2

22. 36 P I 3+ 2 6

23. 58 P II 2+ 1 2

24. 50 P IV 2+ 3 6

25. 37 P II 2+ 2 4

26. 40 P I 2+ 2 4

27. 82 P II 2+ 1 2

28. 40 L I 2+ 3 6

29. 32 L II 2+ 1 2

30. 32 L II 3+ 1 3

31. 63 P I 3+ 2 6

32. 52 P I 3+ 3 9

33. 43 P IV 2+ 3 6

34. 78 P IV 3+ 3 9

35. 31 P IV 2+ 3 6

36 68 P II 2+ 2 4

37. 22 P I 3+ 3 9

38. 60 L III 3+ 3 9

39. 31 P I 3+ 2 6

40. 46 P UL II 2+ 3 6

Lampiran 3 Data Subyek Penelitian

Page 150: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

126

Lampiran 4 Statistik Perbandingan Usia Pada Kelompok KTP Klasik

Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF Intrakompartemen

dan KTPVF Ekstrakompartemen

Lampiran 4a. Uji Normalitas Data Usia

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Usia .085 40 .200* .969 40 .335

Lampiran 4b. Data Deskriptif Usia pada Seluruh Kelompok KTP

KTP Statistic Std. Error

Usia KTP Klasik Intrakompartemen Mean 44.300 4.1581

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 34.894

Upper Bound 53.706

Median 43.500

Std. Deviation 13.1491

Minimum 25.0

Maximum 65.0

KTP Klasik Ekstrakompartemen Mean 46.300 4.6834

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 35.705

Upper Bound 56.895

Median 47.000

Std. Deviation 14.8103

Minimum 20.0

Maximum 67.0

KTPVF Intrakompartemen Mean 44.700 4.8535

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 33.721

Upper Bound 55.679

Median 40.000

Std. Deviation 15.3482

Minimum 32.0

Maximum 82.0

KTPVF Ekstrakompartemen Mean 49.400 5.7236

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 36.452

Upper Bound 62.348

Median 49.000

Std. Deviation 18.0997

Minimum 22.0

Maximum 78.0

Page 151: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

127

Lampiran 4c. Statistik Deskriptif Usia secara Keseluruhan

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Usia 40 20.0 82.0 46.175 14.9870

Valid N (listwise) 40

Lampiran 4d. Analisis Beda Rerata Usia antar Seluruh Kelompok KTP

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 37.167 28 1.327 1.138 .430

Within Groups 12.833 11 1.167

Total 50.000 39

Lampiran 4e. Analisis Beda Rerata Usia Kelompok KTP Intrakompartemen vs

KTP Ekstrakompartemen

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 8.500 28 .304 2.226 .081

Within Groups 1.500 11 .136

Total 10.000 39

Lampiran 4f. Analisis Beda Rerata Usia Kelompok KTP Klasik vs KTPVF

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 7.167 28 .256 .994 .534

Within Groups 2.833 11 .258

Total 10.000 39

Page 152: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

128

Lampiran 5. Statistik Perbandingan Jenis Kelamin Pada Kelompok KTP Klasik

Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF Intrakompartemen

dan KTPVF Ekstrakompartemen

Lampiran 5a. Data Deskriptif Perbandingan Jenis Kelamin antar seluruh

Kelompok KTP

Sex

Total Laki-laki Perempuan

KTP KTP Klasik

Intrakompartemen

4 6 10

KTP Klasik

Ekstrakompartemen

3 7 10

KTPVF Intrakompartemen 4 6 10

KTPVF Ekstrakompartemen 1 9 10

Total 12 28 40

Lampiran 5b. Analisis Statistik Perbandingan Jenis Kelamin antar seluruh

kelompok KTP

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Pearson Chi-Square 2.857a 3 .414

Likelihood Ratio 3.230 3 .358

Linear-by-Linear Association 1.486 1 .223

McNemar-Bowker Test . . .b

N of Valid Cases 40

a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.00.

b. Computed only for a PxP table, where P must be greater than 1.

Page 153: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

129

Lampiran 6 Statistik Perbandingan Ukuran Tumor Pada Kelompok KTP Klasik

Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF Intrakompartemen

dan KTPVF Ekstrakompartemen

Lampiran 6a. Uji Normalitas data Ukuran Tumor

KTP

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Ukuran KTP Klasik

Intrakompartemen

.213 10 .200* .905 10 .247

KTP Klasik

Ekstrakompartemen

.248 10 .082 .924 10 .395

KTPVF Intrakompartemen .177 10 .200* .960 10 .788

KTPVF Ekstrakompartemen .190 10 .200* .873 10 .107

Lampiran 6b. Data Deskriptif Ukuran Tumor secara Keseluruhan

Statistic Std. Error

Ukuran Mean 3.4875 .33236

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 2.8152

Upper Bound 4.1598

Median 3.0000

Std. Deviation 2.10204

Minimum .50

Maximum 8.00

Page 154: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

130

Lampiran 6c. Data Deskriptif Ukuran Tumor Pada Seluruh Kelompok KTP

KTP Statistic Std. Error

Ukuran KTP Klasik Intrakompartemen

Mean 2.1800 .46087

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 1.1374

Upper Bound 3.2226

Median 2.0000

Std. Deviation 1.45739

Minimum .50

Maximum 5.00

KTP Klasik Ekstrakompartemen

Mean 3.6700 .55778

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 2.4082

Upper Bound 4.9318

Median 3.0000

Std. Deviation 1.76387

Minimum 1.20

Maximum 7.00

KTPVF Intrakompartemen Mean 4.1500 .44752

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 3.1376

Upper Bound 5.1624

Median 4.0000

Std. Deviation 1.41520

Minimum 2.00

Maximum 6.50

KTPVF Ekstrakompartemen Mean 3.9500 .96162

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 1.7747

Upper Bound 6.1253

Median 3.2500

Std. Deviation 3.04092

Minimum .50

Maximum 8.00

Page 155: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

131

Lampiran 6d. Analisis Statistik Beda Rerata Ukuran Tumor Pada Seluruh

Kelompok KTP

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 26.252 14 1.875 1.974 .067

Within Groups 23.748 25 .950

Total 50.000 39

Lampiran 6e. Analisis Statistik Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik

dan KTPVF

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 4.152 14 .297 1.268 .292

Within Groups 5.848 25 .234

Total 10.000 39

Lampiran 6f. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Intrakompartemen

dan Ekstrakompartemen

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 4.271 14 .305 1.331 .258

Within Groups 5.729 25 .229

Total 10.000 39

Lampiran 6g. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik

Intrakompartemen dan KTPVF Intrakompartemen

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 3.750 10 .375 2.700 .075

Within Groups 1.250 9 .139

Total 5.000 19

Page 156: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

132

Lampiran 6h. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik

Intrakompartemen dan KTP Klasik Ekstrakompartemen

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 3.750 10 .375 2.700 .075

Within Groups 1.250 9 .139

Total 5.000 19

Lampiran 6i. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik

Ekstrakompartemen dan KTPVF Intrakompartemen

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 2.000 9 .222 .741 .669

Within Groups 3.000 10 .300

Total 5.000 19

Lampiran 6j. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP VF

Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 3.167 10 .317 1.555 .260

Within Groups 1.833 9 .204

Total 5.000 19

Lampiran 6k. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik

Ekstrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 3.200 10 .320 1.600 .246

Within Groups 1.800 9 .200

Total 5.000 19

Page 157: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

133

Lampiran 7 Statistik Perbandingan Skor Ekspresi MMP-9 Pada Kelompok KTP

Klasik Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF

Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen Deskriptif Skor MMP-9 pada

Seluruh Kelompok KTP

Lampiran 7a. Data Deskriptif Perbandingan Skor Ekspresi MMP-9 antar seluruh Kelompok

KTP

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence

Interval for Mean

Minimum Maximum

Lower

Bound

Upper

Bound

KTP Klasik

Intrakompartemen

10 2.6000 1.77639 .56174 1.3292 3.8708 1.00 6.00

KTP Klasik

Ekstrakompartemen

10 7.8000 1.54919 .48990 6.6918 8.9082 6.00 9.00

KTPVF Intrakompartemen 10 3.7000 1.76698 .55877 2.4360 4.9640 2.00 6.00

KTPVF Ekstrakompartemen 10 7.0000 1.82574 .57735 5.6939 8.3061 4.00 9.00

Total 40 5.2750 2.76412 .43705 4.3910 6.1590 1.00 9.00

Lampiran 7b. Uji Homogenitas Skor Ekspresi MMP-9 antar Kelompok KTP

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.097 3 36 .961

Lampiran 7c. Uji Analisis Perbedaan Skor MMP-9 Antar Seluruh Kelompok KTP

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 189.875 3 63.292 21.078 .000

Within Groups 108.100 36 3.003

Total 297.975 39

Page 158: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

134

Lampiran 7d. Uji Komparasi Multipel antar Seluruh Kelompok KTP Dependent Variable:SkorMMP9

(I) KTP (J) KTP

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

Tukey HSD

KTP Klasik Intrakompartemen

KTP Klasik Ekstrakompartemen -5.20000* .77496 .000 -7.2871 -3.1129

KTPVF Intrakompartemen -1.10000 .77496 .496 -3.1871 .9871

KTPVF Ekstrakompartemen -4.40000* .77496 .000 -6.4871 -2.3129

KTP Klasik Ekstrakompartemen

KTP Klasik Intrakompartemen 5.20000* .77496 .000 3.1129 7.2871

KTPVF Intrakompartemen 4.10000* .77496 .000 2.0129 6.1871

KTPVF Ekstrakompartemen .80000 .77496 .732 -1.2871 2.8871

KTPVF Intrakompartemen

KTP Klasik Intrakompartemen 1.10000 .77496 .496 -.9871 3.1871

KTP Klasik Ekstrakompartemen -4.10000* .77496 .000 -6.1871 -2.0129

KTPVF Ekstrakompartemen -3.30000* .77496 .001 -5.3871 -1.2129

KTPVF Ekstrakompartemen

KTP Klasik Intrakompartemen 4.40000* .77496 .000 2.3129 6.4871

KTP Klasik Ekstrakompartemen -.80000 .77496 .732 -2.8871 1.2871

KTPVF Intrakompartemen 3.30000* .77496 .001 1.2129 5.3871

LSD KTP Klasik Intrakompartemen

KTP Klasik Ekstrakompartemen -5.20000* .77496 .000 -6.7717 -3.6283

KTPVF Intrakompartemen -1.10000 .77496 .164 -2.6717 .4717

KTPVF Ekstrakompartemen -4.40000* .77496 .000 -5.9717 -2.8283

KTP Klasik Ekstrakompartemen

KTP Klasik Intrakompartemen 5.20000* .77496 .000 3.6283 6.7717

KTPVF Intrakompartemen 4.10000* .77496 .000 2.5283 5.6717

KTPVF Ekstrakompartemen .80000 .77496 .309 -.7717 2.3717

KTPVF Intrakompartemen

KTP Klasik Intrakompartemen 1.10000 .77496 .164 -.4717 2.6717

KTP Klasik Ekstrakompartemen -4.10000* .77496 .000 -5.6717 -2.5283

KTPVF Ekstrakompartemen -3.30000* .77496 .000 -4.8717 -1.7283

KTPVF Ekstrakompartemen

KTP Klasik Intrakompartemen 4.40000* .77496 .000 2.8283 5.9717

KTP Klasik Ekstrakompartemen -.80000 .77496 .309 -2.3717 .7717

KTPVF Intrakompartemen 3.30000* .77496 .000 1.7283 4.8717

Tamhane

KTP Klasik Intrakompartemen

KTP Klasik Ekstrakompartemen -5.20000* .74536 .000 -7.4059 -2.9941

KTPVF Intrakompartemen -1.10000 .79232 .700 -3.4397 1.2397

KTPVF Ekstrakompartemen -4.40000* .80554 .000 -6.7789 -2.0211

KTP Klasik Ekstrakompartemen

KTP Klasik Intrakompartemen 5.20000* .74536 .000 2.9941 7.4059

KTPVF Intrakompartemen 4.10000* .74312 .000 1.9011 6.2989

KTPVF Ekstrakompartemen .80000 .75719 .887 -1.4431 3.0431

KTPVF Intrakompartemen

KTP Klasik Intrakompartemen 1.10000 .79232 .700 -1.2397 3.4397

KTP Klasik Ekstrakompartemen -4.10000* .74312 .000 -6.2989 -1.9011

KTPVF Ekstrakompartemen -3.30000* .80346 .004 -5.6729 -.9271

KTPVF Ekstrakompartemen

KTP Klasik Intrakompartemen 4.40000* .80554 .000 2.0211 6.7789

KTP Klasik Ekstrakompartemen -.80000 .75719 .887 -3.0431 1.4431

KTPVF Intrakompartemen 3.30000* .80346 .004 .9271 5.6729

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Page 159: dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI

135

Lampiran 8 Analisis Statistik (Uji ANCOVA) Pengaruh Antar Seluruh Variabel

terhadap Perbedaan Skor Ekspresi MMP-9

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:SkorMMP9

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Partial Eta

Squared

Corrected Model 197.101a 6 32.850 10.747 .000 .661

Intercept 39.932 1 39.932 13.063 .001 .284

Usia 4.513 1 4.513 1.476 .233 .043

Sex 2.176 1 2.176 .712 .405 .021

Ukuran .040 1 .040 .013 .909 .000

KTP 171.988 3 57.329 18.755 .000 .630

Error 100.874 33 3.057

Total 1411.000 40

Corrected Total 297.975 39

a. R Squared = .661 (Adjusted R Squared = .600)

Parameter Estimates

Dependent Variable:SkorMMP9

Parameter B

Std.

Error t Sig.

95% Confidence Interval Partial Eta

Squared Lower Bound Upper Bound

Intercept 7.063 1.702 4.149 .000 3.600 10.527 .343

Usia -.023 .019 -1.215 .233 -.062 .016 .043

Sex .532 .630 .844 .405 -.750 1.813 .021

Ukuran .017 .145 .115 .909 -.278 .311 .000

[KTP=1] -4.329 .844 -5.131 .000 -6.045 -2.612 .444

[KTP=2] .839 .795 1.056 .299 -.778 2.457 .033

[KTP=3] -3.252 .812 -4.004 .000 -4.905 -1.600 .327

[KTP=4] 0a . . . . . .

a. This parameter is set to zero because it is redundant.