Case Dr Yudi

57
KOMPLIKASI INFEKSI DARI TRAUMA KEPALA POST CRANIOPLASTY Oleh: Disusun oleh: Kent Chandra Pembimbing: dr. Yudi Yuwono Wiwoho, Sp.BS UNIVERSITAS TRISAKTI KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RS PAU dr. ESNAWAN ANTARIKSA JAKARTA 2011 1

Transcript of Case Dr Yudi

Page 1: Case Dr Yudi

KOMPLIKASI INFEKSI DARI TRAUMA KEPALA POST CRANIOPLASTY

Oleh:

Disusun oleh:

Kent Chandra

Pembimbing: dr. Yudi Yuwono Wiwoho, Sp.BS

UNIVERSITAS TRISAKTI

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RS PAU dr. ESNAWAN ANTARIKSA

JAKARTA

2011

STATUS

1

Page 2: Case Dr Yudi

I. Identitas pasien

Nama : An R

Umur : 15 Tahun

Jenis kelamin : Laki - laki

Alamat : Halim

Agama : Islam

Tinggi badan : 160 cm

Berat badan : 53 kg

Dirawat : Ruang Merak 1, Ruang Cendawasih 15

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis

II.     Keluhan Utama

Keluar nanah dari tempurung kepala sebelah kiri 7 hari SMRS

III.     Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan keluar nanah dari tempurung kepala sebelah kiri

dan demam sejak 7 hari SMRS. Pasien mengalami gangguan berbicara, Gangguan

penglihatan tidak dikeluhkan , gangguan pendengaran (-), Mual (+), Muntah (+).

1 Tahun SMRS pasien pernah datang ke UGD RS Harapan Bunda dengan

trauma kepala akibat kecelakaan motor, kepala kiri pasien terbentur keras tembok dan

terdapat perdarahan di otak Hasil CT scan menunjukkan pada perdarahan yang

cukup banyak diantara otak dan durameter. , lalu pasien menjalani operasi

cranioplasty oleh dr. Syaiful Sp. Bs di tempurung kepala sebelah kiri. Setelah

dilakukan cranioplasty pasien belum bisa bicara.

9 bulan SMRS pasien melakukan operasi penutupan tempurung di RSCM,

setelah dilakukan operasi keadaan pasien masih sama , lalu 4 bulan setelah nya,

pasien baru dapat berbicara, tetapi ada gangguan berbicara pada pasien.

1 minggu SMRS datang ke RSPAU Dr Esnawan Antariksa dengan keluhan

keluar nanah dari tempurung kepala sebelah kiri, diduga komplikasi infeksi, karena

pasien sering menggaruk- garuk bagian kepala yang di cranioplasti. Kemudian oleh

2

Page 3: Case Dr Yudi

dr Syaiful Sp Bs, dianjurkan untuk operasi tempurung kepala lagi, karena di duga

infeksi, lalu dilakukan konsul dan dilakukan pemeriksaan, ahirnya pasien diharuskan

untuk di rawat dan kemudian dilakukan operasi.

IV.       Riwayat Penyakit Dahulu

Asthma ( -), Trauma Kepala ( +) 1 tahun yang lalu, TBC ( -)

V.     Riwayat Penyakit Keluarga

Pada keluarga riwayat keganasan (-)

penyakit Diabetes melitus (-)

riwayat hipertensi (-)

penyakit menular (-)

 

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tidak tampak sakit

Kesadaran : Compos Mentis

Nadi : 100 x/menit, reguler, equal, cukup

Suhu : 38,80 celcius

Pernapasan : 24x/ menit, reguler, teratur

STATUS GENERALIS

Kepala : Normosefali

Rambut : (+), distribusi merata, tidak mudah dicabut

Mata : CA -/-, SI -/-, RCL +/+, RCTL +/+, pupil isokor

Hidung : Simetris, sekret (-), deviasi septum (-)

Telinga : Serumen (-), tidak ada kelainan bentuk pada telinga

Mulut : Simetris, sianosis (-), tidak kering,lidah tidak kotor,

tonsil T1/T1 tenang, tidak hiperemis

Leher : Tidak ada pembesaran KGB, tiroid dalam batas

normal

Thoraks : Paru    : Sn. Vesikuler, rh +/+, wh -/-

3

Page 4: Case Dr Yudi

Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Supel, datar, timpani, BU (+) NT(-)

Ekstremitas : Akral hangat pada kedua ekstremitas, tidak ada oedem

STATUS NEUROLOGIS

Kesadaran : Compos Mentis

Pupil

o isokor/anisokor : Isokor

o posisi : Sentral

 

STATUS LOKALIS

Inspeksi : Normosefali

Palpasi : Ubun-ubun keras karena sudah menutup

Perkusi : -

Transluminasi : -

TANDA RANGSANGAN MENINGEAL

Kaku kuduk : negatif

Brudzinski I : negatif

Brudzinski II : negatif

Laseque : negatif

Kernig : negatif

NERVI CRANIAL

N I

Daya penghidu : tidak dilakukan

N II

Ketajaman penglihatan (hitung jari) : tidak dilakukan

4

Page 5: Case Dr Yudi

Pengenalan warna : tidak dilakukan

Lapang pandang (konfrontasi) : tidak dilakukan

Funduskopi : tidak dilakukan

N III, N IV, N VI

Ptosis : negatif

Strabismus : negatif

Nistagmus : negatif

Exoptalmus : negatif

Enoptalmus : negatif

Gerakan bola mata

o Lateral : dapat dilakukan

o Medial : dapat dilakukan

o Atas lateral : dapat dilakukan

o Atas medial : dapat dilakukan

o Bawah medial : dapat dilakukan

o Bawah lateral : dapat dilakukan

o Atas : dapat dilakukan

o Bawah : dapat dilakukan

N. V

Mengigit (M.messeter,M temporalis) : dapat dilakukan

Membuka mulut : dapat dilakukan

Sensibilitas

o Atas : dapat dilakukan

o Tengah : dapat dilakukan

o Bawah : dapat dilakukan

Refleks masseter : dapat dilakukan

N. VII

Pasif

Kerutan kulit dahi : dapat dilakukan

Kedipan mata : dapat dilakukan

Aktif

5

Page 6: Case Dr Yudi

Mengerutkan dahi : dapat dilakukan

Mengerutkan alis : dapat dilakukan

Menutup mata dengan kuat : dapat dilakukan

Meringis/menyeringai : dapat dilakukan

Menggembungkan pipi : tidak dilakukan

Gerakan bersiul : tidak dilakukan

Daya pengecapan lidah 2/3 : tidak dilakukan

lidah depan

N. VIII

Mendengarkan detik arloji : tidak dilakukan

Tes schwabach : tidak dilakukan

Tes rinne : tidak dilakukan

Tes weber : tidak dilakukan

N. IX

Arcus pharynx : tidak dilakukan

Posisi uvula : tidak dilakukan

Daya pengecapan lidah 1/3 belakang : tidak dilakukan

Refleks muntah : dapat dilakukan

N. X

Arcus pharynx : tidak dilakukan

Bersuara : dapat dilakukan

Menelan : dapat dilakukan

N. XI

Memalingkan kepala : dapat dilakukan

Sikap bahu : tidak dilakukan

Mengangkat bahu : tidak dilakukan

N. XII

Menjulurkan lidah : dapat dilakukan

Atrofi lidah artikulari : tidak dilakukan

Tremor lidah : tidak dilakukan

6

Page 7: Case Dr Yudi

Fasikulasi : tidak dilakukan

MOTORIK

Gerakan : Normal

Kekuatan otot : Normal

Tonus otot : Normal

trofi : Eutrofi

REFLEKS FISOLOGIS

Refleks tendon

o Refleks biceps : +/+

o Refleks triseps : +/+

o Refleks patella : +/+

o Refleks achilles : +/+

REFLEKS PATOLOGIS

Hoffman trommer : -/-

Babinski : -/-

Chaddock : -/-

Openheim : -/-

Gordon : -/-

Schaefer : -/-

SENSIBILITAS

Eksteroseptif

o Nyeri : dapat dilakukan

o Suhu : dapat dilakukan

o Taktil : dapat dilakukan

Propioseptif

o Vibrasi : tidak dilakukan

o Posisi : tidak dilakukan

o Tekan dalam : tidak dilakukan

7

Page 8: Case Dr Yudi

KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN

Tes telunjuk hidung : dapat dilakukan

Test telunjuk telunjuk : dapat dilakukan

Tes tumit lutut : dapat dilakukan

Tes romberg : tidak dilakukan

Tes fukuda : tidak dilakukan

Disdiadokinesis : tidak dilakukan

FUNGSI OTONOM

Miksi : tidak dilakukan

Defekasi : tidak dilakukan

FUNGSI LUHUR

Fungsi bahasa : gangguan bicara afasia broca

(tidak mampu memproduksi kata kata)

Fungsi orientasi : tidak dilakukan

Fungsi memori : tidak dilakukan

Fungsi emosi : tidak dilakukan

Fungsi kognisi : tidak dilakukan

PEMERIKSAAN PENUNJANG :

Pemeriksaan laboratorium : 9- 1 - 2012

Hb : 15,4 g/dl

Trombosit : 142.000 /mm3

Ht : 46%

Leukosit : 11.600/mm3

Bleeding time : 3’ (1-3 menit)

Clotting time : 6’ (4-7 menit)

 Ureum : 21 mg/dl

Creatinin : 0,53 mg/dl

8

Page 9: Case Dr Yudi

Pemeriksaan laboratorium elektrolit :

K+ : 3,34 mmol/L

Na+ : 134,8mmol/L

Cl++ : 113,3 mmol/L

RESUME

Pasien datang dengan keluhan keluar pus dari kepala sebelah kiri, pasien

sebelumnya pernah mengalami cedera kepala dan sempat di operasi cranioplasti

1 tahun yang lalu, diduga infeksi disebabkan oleh karena pasien sering

menggaruk-garuk kepalanya. Tidankan yang dilakukan terhadap pasien adalah

di konsul dr. Yudi Yuwono, Sp. BS ,dr. Syaiful sp. Bs untuk dilakukan

debridement luka,dan konsul ke dokter anestesi, untuk segera mempersiapkan

operasi.

DIAGNOSA KERJA INFEKSI KEPALA POST CRANIOPLASTY

PENATALAKSANAAN:

Konsul dr. Yudi Yuwono, Sp. BS

Antibiotik

Analgetik

Neurotropik

Anti kejang

Kortikosteroid

Instruksi Persiapan operasi Cranioplasty:

Surat ijin operasi

Lab rutin BT/CT

Thorax foto

Cukur gundul

Puasa 8 jam pre op

Hubungi / dijadwalkan ke OK

Sedia darah PRC 300 cc

Konsul anestesi

Antibiotik pre op injeksi ceftizoxime 500 mg IV

Pasang infus RL 1100 cc/24 jam

9

Page 10: Case Dr Yudi

Pemeriksaan laboratorium hematologi :

o Hb : 15,4 g/dl

o Trombosit : 142.000 /mm3

o Ht : 46%

o Leukosit : 11.600/mm3

o Bleeding time : 3’ (1-3 menit)

o Clotting time : 6’ (4-7 menit)

o  Ureum : 21 mg/dl

o Creatinin : 0,53 mg/dl

o Hitung jenis :

o eos : 2% (2-4%)

o Baso : - (0-1%)

o Batang : - (3-5 %)

o Segment : 26 (50-70%)

o Limpo : 70 (25-40%)

o Mono : 2 (2-8%)

Penemuan Pembedahan (9 Januari 2012) :

Laporan Bedah tindakan

Setelah pasien dilakukan tindakan nakose umum, pasien diposisikan

sedemikian mungkin hingga fraktur depres berada dalam posisi

sehorisontal mungkin.Desinfeksi lapangan pembedahan dengan

larutan antiseptik, kemudian dipersempit dengan linen steril.

Insisi kulit mengikuti luka lama dengan bentuk huruf S supaya

daerah operasi dapat diekspose. Jika fraktur terdapat di daerah

frontal, dianjurkan untuk meninggalkan luka lama dan membuat flap

kulit baru full coroner untuk alasan kosmetik.

10

Page 11: Case Dr Yudi

Setelah insisi kulit, pasang retraktor otomatis untuk menghindari

perdarahan yang banyak dan agar daerah operasi ekspose. Biasanya

banyak terdapat kotoran rambut dan bekuan darah.

Perikranium disekitarnya disisihkan dengan disektor periostel yang

tajam, bekuan darah dan kotoran rambut dibersihkan dengan suction.

Tindakan ini membuat daerah operasi ekspose.

Dilakukan burrhole pada sisi luar fragmen tulang yang masih stabil

atau sehat.

Duramater dipisahkan dari tulang dengan menggunakan disektor

periosteal, kemudian dilakukan pemotongan tulang dengan bone

ronger yang kecil sepanjang sisi fraktur depres.

Pemotongan tulang terus dilakukan hingga duramater ekspose dan

fragmen fraktur depres bebas. Pematahan dari fragmen fraktur

depres sangat tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan

perdarahan dari pembuluh darah kortikal, yang dalam hal ini sulit

dikontrol karena sumber perdarahan tidak terekspose.

Bila fragmen tulang sudah bebas dan terekspos lalu dilakukan

pengangkatan fragmen tersebut secara perlahan.

Duramater dibersihkan dari bekuan darah dan kotoran lain, dan bila

ada pembuluh darah yang pecah bisa dilakukan koagulasi.

Bila ada robekan duramater, maka tepi dari duramater tersebut harus

diidentifikasi. Bebaskan duramater dari korteks dan retraksi secara

halus.

Mungkin duramater perlu diperlebar untuk mengekspose korteks

yang terkena, korteks yang sudah hancur serta bekuan darah

11

Page 12: Case Dr Yudi

dibersihkan dengan suction. Perdarahan yang berasal dari pembuluh

darah kortikal dapat diatasi dengan koagulasi.

Korteks ditutupi surgicell dan dilakukan penjahitan water tight

dengan silk 3.0. Bila terdapat defek duramater yang luas mungkin

diperlukan graft untuk menutupnya.

Setelah dibersihkan dengan peroksida dan antibiotika topikal,

fragmen tulang dapat dipasang kembali, lalu lapisan periosteum

ditutup untuk memfiksasinya.

Luka operasi dijahit lapis demi lapis.

Instruksi post op :

Awasi KU, TTV, kesadaran

Elevasi kepala 30 derajat

Puasa sampai bising usus (+) normal

Infus RL 6 jam per botol

Cek DPL, elektrolit, AGD Ada hasil lapor dokter

Pemeriksaan laboratorium hematologi :

o Hb : 11,3 g/dl

o Lekosit : 14.800/mm3

o Bleeding Time 3’

o Clotting time : 6’

o Trombosit : 339.000/mm3

o Hematokrit : 37%

Hasil pemeriksaan laboratorium elektrolit :

o K+ : 3,68 mmol/L

o Na+ : 121,7 mmol/L

o Cl++ : 105,2 mmol/L

12

Page 13: Case Dr Yudi

Pemeriksaan analisa gas darah :

o Hb : 10,8

o Suhu : 390C

o Ph : 7,371 (n : 7,37-7,43)

o PCO2 : 32,9 (n : 38-42 mm Hg)

o O2 : 211,3 (n : 70-99 mm Hg)

o Saturasi O2 : 99,5

o Konsentrasi O2 : 9,1

o Base Excess / BE : - 6,1 mmol/L

o Buffer Base / BB : -4,7 mmol/L

o HCO3 : 18,9 mmol/L

o HCO2 : 19,8 mmol/L

Balance cairan/6 jam, upayakan balance cairan untuk cegah dehidrasi

Terapi :

o Inj. Ceftizoxime 2 x 2 g IV

o Inj. Kloramfenikol 4x 1 g IV

o Inj. Metronidazol 3 x 500 mg IV

o Inj. Transamin 3 x 250 mg IV

o Inj. Vit K  3 x 1 ampul IV

o Inj. Vit  C  3 x 500 mg IV

o Inj. ketorolac 3 x 30 mg IV

o Inj. ranitidin 2 x 1 ampul IV

FOLLOW UP

11-1-2012

S : KU Baik , Compos Mentis, Afebris

O : Status generalis : TD : 140/80 mm hg , S: 36,5 C , RR: 24 x/ menit

Keadaan umum: baik

Kesadaran: Compos mentis

Status Neurologis: Tidak ada perburukan

Status Lokalis : balutan lubang operasi tudak ada rembesan

13

Page 14: Case Dr Yudi

A : Post Op Cranioplasti hari ke I

P : GV, minum bebas, imobilisasi duduk, berdiri biasa

 

12-1-2012

S : Demam (-), keluhan ( -)

O : Status generalis : TD: 120/80 mmhg , S: 36,8 C, RR: 24x per menit

Keadaan umum: baik

Kesadaran: Compos mentis

Status Neurologis: Tidak ada perburukan

Status Lokalis : Tidak ada rembesan

A : Post Op Cranioplasti hari ke 2

P : Terapi teruskan, ganti balutan dirapikan

 14-1-2012

S : Demam (-), Pusing ( +)

O : Status generalis : TD : 120/ 70 mmhg, S: 36,6 C, RR: 24x / menit

Keadaan umum: baik

Kesadaran: Compos mentis

Status Neurologis: Tidak ada perburukan

Status Lokalis : Tidak ada rembesan

A : Post Op. Cranioplasty hari ke 4

P : Terapi teruskan

16-1-2012

S : Demam (+), Rembesan balutan ( +), kejang (+), mata melotot ke atas, kaki

kaku, muntah 2X seblum kejang.

O : Status generalis : N: 150/90 mmhg, S: 40,5 C, N 88 x / menit

Keadaan umum: buruk

Kesadaran: apatis

Status Neurologis: Tidak ada perburukan

Status Lokalis : Luka bekas operasi kering

Lab:

14

Page 15: Case Dr Yudi

Hb : 10,8

Leukosit : 7300

Trombosit : 50.000

Ht :36 %

AGD

PCO2: 32,9

PO2 : 211,3

Saturasi O2 : 99,5

A : Post Op. Cranioplasty hari ke 6

P :

Oksigen sungkup 8 liter/ menit

Stesolid 10 mg diencerkan dalam 20 cc IV

Kompres badan dengan handuk dan ketiak

Novalgen 3 x 1 ampul drip bila Tdsistole > 100 mmhg

Pasang NGT bilas lambung

Cek Elektrolit, DPL, AGD

Pro 1cc

17-1-2011

S : , NGT hijau (OS dipuasakan )

O : Status generalis : N: 100, S: 38,2, RR: 20

Keadaan umum: baik

Kesadaran: Compos mentis

Status Neurologis: Tidak ada perburukan

Status Lokalis : Luka bekas operasi kering

A : Post Op. ETV hari ke 7

P : Tranfusi FFP 500 cc

Tranfusi TC 10 unit

O2 nasal 1 Liter per menit

Fenitoin 3 x 100 g

Terapi lain teruskan

15

Page 16: Case Dr Yudi

18-1-2011

S : Taki kardi, urin pekat, NGT hijau (OS dipuasakan )

O : Status generalis : N: 1100, S: 36,9, RR: 20

Keadaan umum: baik

Kesadaran: Compos mentis

Status Neurologis: Tidak ada perburukan

Status Lokalis : Luka bekas operasi kering

A : Post Op. Cranioplasty hari ke 8

P :

NGT masih hitam

stop puasa,

Takut pasien kekurang cairan: beri susu 4 x 100 gr , diet cair, air putih, teh

manis.

Framadol 3 x 500 mg, bila suhu diatas 38 derajat

Ganti NGT

Mobilisasi kepala 45 – 60 derajat

Dekubitus ganti perban

Cek H2tl, albumin, elektrolit

TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

16

Page 17: Case Dr Yudi

Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu melindungi otak.

Tetapi meskipun memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai

jenis cedera. Cedera kepala telah menyebabkan kematian dan cacat pada usia

kurang dari 50 tahun, dan luka tembak pada kepala merupakan penyebab

kematian nomor 2 pada usisa dibawah 35 tahun. Hampir separuh penderita

yang mengalami cedera kepala meninggal. Otak bisa terluka meskipun tidak

terdapat luka yang menembus tengkorak. Berbagai cedera bisa disebabkan oleh

percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena

perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak

bergerak. Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi

yang berlawanan. Cedera percepatan-perlambatan kadang disebut coup

contrecoup (bahasa Perancis untuk hit-counterhit).Cedera kepala yang berat

dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf, pembuluh darah dan

jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur

saraf, perdarahan atau pembengkakan. Perdarahan, pembengkakan dan

penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh

pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat

bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan

jaringan otak. Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung

mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang

yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut herniasi.

Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui

lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis.

Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital

17

Page 18: Case Dr Yudi

(denyut jantung dan pernafasan).

Klasifikasi cedera kepala :

1. Cedera kepala ringan (GCS : 13 – 15 )

2. Cedera kepala sedang (GCS : 9 - 12 )

3. Cedera kepala berat (GCS : =< 8 )

Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan

otak. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk

mencegah pembekuan darah), sangat peka terhadap terjadinya perdarahan

disekeliling otak (hematom subdural).

Kerusakan otak seringkali menyebabkan kelainan fungsi yang

menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi,

apakah terbatas (terlokalisir)atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi

yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena. Gejala

yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi,

berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa

mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan

kebingungan dan koma.

18

Page 19: Case Dr Yudi

DEFINISI

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.

Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal

memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya

arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak.

Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya

vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu

merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit

kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan

darah.

19

Page 20: Case Dr Yudi

Gb. Hematoma Subdural

ETIOLOGI

Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan

kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan

subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:

• Trauma kapitis

• Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau

putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh

terduduk.

• Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah

terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada

orangtua dan juga pada anak - anak.

• Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan

subdura.

• Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan

subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor

intrakranial.

• Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

20

Page 21: Case Dr Yudi

Gg. Perdarahan pada subdural

PATOFISIOLOGI

Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi

akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di

permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya

araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak,

sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang

terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana

mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-

gejala akut menyerupai hematoma epidural.

Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh

jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan

menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor

serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat

21

Page 22: Case Dr Yudi

Gb. Lapisan pelindung otak

Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena

jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil

sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan

pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem

vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar

sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi

perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan

terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.

Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang

peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh

sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural

kronik.

Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan

perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh

efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada

fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena

22

Page 23: Case Dr Yudi

komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.

Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu

akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut.

Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya

peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral

berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi

transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat

terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial

oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural

kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih

terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu

teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan

mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam

kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan

onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang

meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.

Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari

penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata

hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua

mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya

perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat

meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi

bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau

kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim

23

Page 24: Case Dr Yudi

fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan

terjadinya perdarahan subdural kronik.

Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya

gejala- gejala klinis yaitu:

1.Perdarahan akut Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah

trauma.

Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat

mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah

terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm

tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan

lesi hiperdens.

2.Perdarahan subakut Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2

- 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran

dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi

belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening

tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan

karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.

3.Perdarahan kronik Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma

bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul

dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang

ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja

bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami

24

Page 25: Case Dr Yudi

gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural

kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa

menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan

penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat

terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum

terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada

araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung

pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena

dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan

meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan

menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya

hematoma.

Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap

cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan

menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma

subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada

gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.

Pembagian Subdural kronik:

Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan

subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :

1. Tipe homogen ( homogenous)

2. Tipe laminar

25

Page 26: Case Dr Yudi

3. Tipe terpisah ( seperated)

4. Tipe trabekular (trabecular)

Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang

trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa

pada awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi

bentuk laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh

stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama

penyerapan.

Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan

subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:

1. Tipe konveksiti ( convexity).

2. Tipe basis cranial ( cranial base ).

3. Tipe interhemisferik

Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi,

sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan

perdarahan subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra

kranial ini berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca

operatif.

26

Page 27: Case Dr Yudi

GEJALA KLINIS

1.Hematoma Subdural Akut Hematoma subdural akut menimbulkan gejala

neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan

trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada

jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang

selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat

menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi

dan tekanan darah.

2.Hematoma Subdural Subakut Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik

dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera.

Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh

perdarahan vena dalam ruangan subdural.

Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala

yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status

neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita

memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat

kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan

meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita

mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap

rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan

intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi

unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang

27

Page 28: Case Dr Yudi

otak.

3.Hematoma Subdural Kronik Timbulnya gejala pada umumnya tertunda

beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera

pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan

subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7

sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane

fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke

dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.

Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut

dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah

ukuran dan tekanan hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi

pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua

keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak

dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya

genangan darah.

Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar

karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.

Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.

Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis

biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran

perdarahan ini adalah:

28

Page 29: Case Dr Yudi

• sakit kepala yang menetap

• rasa mengantuk yang hilang-timbul

• linglung

• perubahan ingatan

• kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

KERUSAKAN PADA BAGIAN OTAK TERTENTU

Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan

mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah

tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi

29

Page 30: Case Dr Yudi

yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.

Kerusakan Lobus Frontalis

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik

30

Page 31: Case Dr Yudi

(misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus

frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu

pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi

tubuh yang berlawanan.

Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan

lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu

sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun

kadang menyebabkan kejang.

Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa

menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas

yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan

perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka

menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat

perilakunya.

Kerusakan Lobus Parietalis Lobus parietalis pada korteks serebri

menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi

umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah

ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan

merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus

parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang

agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian

pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan.

Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali

bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan

31

Page 32: Case Dr Yudi

akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam

dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian

maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya. Kerusakan Lobus Temporalis

Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan

mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami

suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta

menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan

menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus

temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari

luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan

bahasanya.

Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan

mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat

kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

PENATALAKSANAAN

Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang ) dilakukan

tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi

penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat

mengalami pengapuran.Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan

adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk

melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk

dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing

dan circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole

32

Page 33: Case Dr Yudi

craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima

untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik

ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural

kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada

pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis,

reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang

kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah

yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan teknik ini

sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai

berkurang.

Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang

bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.Pada pasien

trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan

refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya

penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh

adanya massa extra aksial.

Indikasi Operasi

• Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata

• Adanya tanda herniasi/ lateralisasi

• Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan

Kepala tidak bisa dilakukan.

33

Page 34: Case Dr Yudi

Perawatan PascabedahMonitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan

seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan

fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu

kemudian.

Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasien dapat

terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh - pembuluh darah yang baru

terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-

tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang

kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural.. Maka dalam hal ini

hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan.

Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan Markam .

Follow-up

CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk

menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

PEN-KES UNTUK KELUARGA keluarga diberikan penkes tentang perawatan

pasien dengan masalah cedera kepala, diantara yaitu :

• Penjelasan tentang pengertian, penyebab, pengobatan dan komplikasi cidera

kepala termasuk gangguan fungsi luhur dari pasien, oleh karena itu perlu

control dan berobat secara teratur dan lanjut.

• Mengajarkan bagaimana cara pemenuhan nutrisi dan cairan selama dirawat dan

dirumah nantinya

34

Page 35: Case Dr Yudi

• Mengajarkan pada keluarga dan melibatkan keluarga dalam pemenuhan

kebutuhan sehari-hari pasien

• Mengajarkan melatih mobilisasi fisik secara bertahap dan terencana agar tidak

terjadi cidera pada neuromuskuler elevasi kepala .

• Mempersiapkan keluarga untuk perawatan pasien dirumah bila saatnya pulang,

kapan harus istirahat, aktifitas dan kontrol selama kondisi masih belum optimal

terhadap dampak dari cidera kepala pasien dan sering pasien akan mengalami

gangguan memori maka mengajarkan pada keluarga bagaimana mengorientasikan

kembali pada realita pasien.

REHABILITASI

• Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi gerakan seperti

kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi, trombophlebitis, infeksi saluran

kencing.

• Goal jangka pendek

1) Meningkatkan spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM, balans, dan posture

untuk mobilitas dan keamanan.

2) Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan kardiopulmoner, fungsi

musculoskletal, defisit neurologi

Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari komplikasi seperti

35

Page 36: Case Dr Yudi

kontraktur dengan terapi fisik pengaturan posis, melakukan gerakan ROM

(pergerakan sendi) dan mobilisasi dini

Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan home program terapi yang melibatkan

lingkungan dirumah

Pada pasien tidak sadar dilakukan dengan strategi terapi coma management

dan program sensory stimulation

Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan terorganisis :

dokter ,terapis, ahli gizi, perawat, pasien dan keluarga.

Melakukan mobilisasi dini, rehabilitasi termasuk stimulasi, suport nutrisi yang

adekuat, edukasi keluarga.

PROGNOSIS

Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik,

karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural

yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi

dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.

DIAGNOSA BANDING

Dementia, stroke, TIA, encephalitis, abses otak, adverse drugs reactions, gangguan

36

Page 37: Case Dr Yudi

kejiwaan, Tumor otak, perdarahan subarachnoid, Parkinson, hydrocephalusdengan

tekanan normal.

ASUHAN KEPERAWATAN PENGKAJIAN.

1. Hal penting yang harus diperhatikan :

• Saat kejadian

• Tempat

• Bagaimana posisi saat kejadian

• Serangannya

• Lamanya

• Faktor pencetus

• Adanya fraktur dan status kesadaran

2. Status neurologi

• Perubahan kesadaran

37

Page 38: Case Dr Yudi

• Pusing kepala

• Vertigo

• Menurunnya reflex

• Malaise

• Kejang

• Iritabel

• Kegelisahan atau agitasi

• Pupil; ukuran, refleks terhadap cahaya.

• Hemiparesis

• Letargi

• Koma

3. Status gastrointestinal

• Mual- muntah

4. Status kardiopulmonal

• Kesukaran bernafas atau sesak

• Depresi nafas

• Nafas lambat

• Hipotensi

• Bradikardi

5. Glascow Coma Scale

38

Page 39: Case Dr Yudi

Menggunakan 3 area pengkajian, yaitu :

Eyes (E)

Verbal response (V)

Motor response (M)

Normal = 15 dan ≤ 8 indikasi koma

Gb. Contoh Glasgow Coma Scale

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Risiko tidak efektif bersihan jalan nafas dan tidak efektif pola nafas berhubungan

dengan, gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, meningkatnya

tekanan intrakranial, penurunan kesadaran.

39

Page 40: Case Dr Yudi

2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral,

peningkatan tekanan intracranial

3. Kurangnya perawatan din berhubungan dengan tirah baring,menurunnya kesadaran.

4. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.

5. Risiko injury berhubungan dengan menurunnya kesadaran meningkatnya tekanan

intrakranial

6.Nyeri berhubungan dengan trauma kepala

7.Risiko infeksi berhubungan dengan adanya injury

8. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma

kepala

9. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi

40

Page 41: Case Dr Yudi

DAFTAR PUSTAKA

Donna D. Ignatavicius, dkk. (1999). Medical Surgical Nursing : 

Across the Health Care Continum. (Edisi III). Philadelphia: Wb

Sounders Company.

Black and matasarin Jacobs. (1997). Medical Surgical Nursing : 

Clinical management for continuity of care. (Edisi V). 

Philadelphia: Wb Sounders Company.

Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan holistic.

(Edisi VI). Jakarta: EGC 

Doenges Marilyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan:

Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian 

perawatan pasien. (Edisi III). Jakarta: EGC

41

Page 42: Case Dr Yudi

Kumpulan Makalah Kursus Keperawatan Neurologi, 1997. 

Jakarta

42