Post on 13-Feb-2016
BRONKIEKTASIS
PEMBIMBING:
dr. Nurhayati, Sp. P
PENULIS:
Lathiifa Herly Hendy
030.11.164
1
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Daerah Karawang
Periode 14 September – 17 Oktober 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................................i
Daftar Isi.....................................................................................................................ii
Bab I. Pendahuluan..................................................................................................1
Bab II. Tinjauan pustaka........................................................................................2
2.1.1 Definisi.......................................................................................................2
2.1.2 Epidemiologi..............................................................................................2
2.1.3 Etiologi dan faktor resiko...........................................................................2
2.1.4 Perubahan morfologi bronkus yang terkena..............................................3
2.1.5 Variasi kelainan natomis bonkiektasis.......................................................4
2.1.6 Patofisiologi................................................................................................5
2.1.7 Manifestasi..................................................................................................6
2.1.8 Pemeriksaan fisik........................................................................................8
2
2.1.9 Pemeriksaan laboratorium...........................................................................8
2.1.10 Kelainan radiologis...................................................................................8
2.1.10.1 Foto thoraks............................................................................................8
2.1.10.2 Bronkografi............................................................................................9
2.1.10.3 CT scan...................................................................................................9
2.1.11 Diagnosis banding.....................................................................................11
2.1.12 Penatalaksanaan........................................................................................11
2.1.13 Pencegahan................................................................................................13
2.1.14 Komplikasi................................................................................................13
2.1.15 Prognosis...................................................................................................14
Bab III. Kesimpulan.................................................................................................15
Daftar Pustaka..........................................................................................................45
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
(ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten
atau irrevesibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan
dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen elastis, otot polos brokus, tulang rawan
dan pembuluh-pembuluh darah. Brokus yang terkena umumnya adalah bronkus ukuran
sedang (medium size), sedangkan bronkus besar umumnya jarang.(1)
Bronkiektasis pertama kali dijelaskan oleh Leannec pada 1819, adalah suatu
keadaan dilatasi abnormal dari bronkus dan bronkiolus yang berkaitan dengan infeksi
dan inflamasi saluran napas yang berulang. (2)
Bronkiektasis merupakan penyebab utama kematian pada negara yang kurang
berkembang. Terutama pada negara yang sarana medis dan terapi antibiotika terbatas.
Bronkiektasis umumnya terjadi pada penderita dengan umur rata-rata 39 tahun,
terbanyak pada usia 60 – 80 tahun. Sebab kematian yang terbanyak pada bronkiektasis
adalah karena gagal napas. Lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki, dan
yang bukan perokok. Penelitian baru- baru ini didapatkan sekitar 110.000 pasien dengan
bronkiektasis di Amerika serikat dimana penyakit ini sering terjadi pada usia tua dengan
duapertiga adalah wanita. Weycker et al melaporkan prevalensi bronkiektasis di
Amerika Serikat 4,2 per 100.000 orang dengan usia 18-34 tahun dan 272 per 100.000
orang dengan usia 75 tahun. Tsang dan Tipoe, melaporkan prevalensi bronkiektasis 1
per 6.000 orang di Auckland, New Zealand. Didapatkan peningkatan frekuensi
bronkiektasis dikarenakan penggunaan CT-Scan resolusi tinggi. (1-2)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
1.2 Bronkiektasis
1.2.1 Definisi
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
(ektasis) dan distorsi bronkus local yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten
dan ireversibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam
dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis, otot-otot polos bronkus, tulang
rawan dan pembuluh-pembuluh darah. Bronkus yang terkena umumnya adalah bronkus
kecil (medium size), sedangkan bronkus besar umumnya jarang. (1)
Bronkiektasis bukan merupakan penyakit primer, tetapi lebih merupakan akibat
obstruksi atau infeksi persisten yang ditimbulkan oleh berbagai penyebab. Jika sudah
terbentuk, bronkiektasis akan menimbulkan kompleks gejala yang didominasi oleh
batuk dan pengeluaran sputum purulent dalam jumlah yang besar. (3)
1.2.2 Epidemiologi
Bronkiektasis merupakan penyebab utama kematian pada negara yang kurang
berkembang. Terutama pada negara yang sarana medis dan terapi antibiotika terbatas.
Bronkiektasis umumnya terjadi pada penderita dengan umur rata-rata 39 tahun,
terbanyak pada usia 60 – 80 tahun. Sebab kematian yang terbanyak pada bronkiektasis
adalah karena gagal napas. Lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki, dan
yang bukan perokok. (2)
1.2.3 Etiologi dan Faktor Resiko
- Kelainan kongenital
Dalam hal ini bronkiektasi terjadi sejak individu masih dalam kandungan. Faktor
genetik atau factor pertumbuhan dan perkembangan fetus memegang peran penting.
Bronkiektasis yang timbul kongenital memiliki ciri sebagai berikut. Pertama,
bronkiektasis mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua paru.
Kedua, bronkiektasis kongenital sering menyertai penyakit-penyakit kongenital lainnya,
misalnya : Mucoviscidosis (cystic pulmonary fibrosis), sindrom kartagener
(bronkiektasis kongenital, sinusitis, paranasal dan situs inversus), hipo atau
agamaglobulinemia, bronkiektasis pada anak kembar satu telur (anak yang satu dengan
bronkiektasis, ternyata saudara kembarnya juga menderita bronkiektasis), bronkiektasis
5
sering bersamaan dengan kelainan kongenital berikut : tidak ada tulang rawan brokus,
penyakit jantung bawaan, kifoskoliosis kongenital. (4)
- Kelainan didapat
1. Infeksi
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita pneumonia yang
sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia ini umumnya merupakan komplikasi
pertusis maupun influenza yang diderita semasa anak, tuberculosis paru dan sebagainya. (4)
2. Obstruksi bronkus
Obstruksi bronkus yang dimaksud disini dapat disebabkan oleh berbagai macam
sebab : korpus alienum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar lainnya terhadap
bronkus. Menurut penelitian para ahli diketahui bahwa adanya infeksi ataupun obstruksi
bronkus tidak selalu secara nyata (automatis) menimbulkan bronkiektasis. Oleh
karenanya diduga mungkin masih ada faktor intrinsic (yang sampai sekarang belum
diketahui) ikut berperan terhadap timbulnya bronkiektasis). (4)
1.2.4 Perubahan morfologi bronkus yang terkena
- Dinding Bronkus
Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan berupa proses inflamasi
yang sifatnya destruktif dan reversibel. Pada pemeriksaan patologi anatomi sring
ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses inflamasi serta terdapat proses fibrosis.
Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga
elemen-elemen elastis, pembuluh-pembuluh darah dan tulang rawan bronkus. (5)
- Mukosa bronkus
Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel menghilang,
terjadi perubahan metaplasia skuamosa, dan terjadi sebukan hebat sel-sel inflamasi.
Apabila terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan,
ulserasi dan pernanahan. (5)
- Jaringan Paru Peribronkial
Pada parenkim paru peribronkial dapat ditemukan kelainan antara lain berupa
pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis apabila prosesnya dekat pleura. Pada keadaan
6
yang berat, jaringan paru distal bronkietasis akan diganti oleh jaringan fibrotik
dengan kista-kista berisi nanah. (5)
Gambar 1. Gambaran bronkus pada bronkiektasis
1.2.5 Variasi Kelainan Anatomis Bronkiektasis
Telah dikenal ada 3 variasi bentuk kelainan anatomis bronkiektasis, yaitu :
Bentuk tabung (Tubular, Cylincdrical, Fusiform bronchiectasis). Variasi ini
merupakan bronkiektasis yang paling ringan, dan sering ditemukan pada
bronkiektasis yang menyertai bronkitis kronik.
Bentuk kantong (saccular bronchiectasis). Bentuk ini merupakan bentuk
bronkiektasis yang klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan
bronkus yang bersifat ireguler. Bentuk ini kadang-kadang berbentuk kista (cystic
bronchiectasis).
Varicose bronchiectasis. Bentuknya merupakan bentuk antara diantara bentuk
tabung dan kantong. Istilah ini digunakan karena perubahan bentuk bronkus
menyerupai varises pembuluh vena. (2)
7
Gambar 2 a) Bronkiektasis tubular. Digambarkan dengan dilatasi halus pada
bronkus. Gambaran CT menunjukkan gambaran yang tidak lancip pada bronkus. Ini
merupakan bentuk yang paling sering ditemukan b) Bronkiektasis varikosa.
Digambarkan dengan daerah yang menyempit pada bronkus yang berdilatasi c)
Bronkiektasis kistik. Digambarkan dengan dilatasi progresif dari brokus berakhir
menjadi kista atau kantong (4)
Adanya variasi bentuk-bentuk anatomi bronkus tadi secara klinis tidak begitu
penting, karena kelainan-kelainan yang berbeda tadi dapat berasal dari etiologi yang
sama dan tidak mempengaruhi gejala klinis, dan manajemen pengobatannya sama saja,
bahkan beberapa bentuk kelainan tadi bisa terdapat pada satu pasien.
1.2.6 Patofisiologi
Patogenesis pada kebanyakan bronkiektasis yang dapat, diduga melalui dua
mekanisme dasar.
- Permulaannya didahului adanya faktor infeksi bakterial
Mula-mula karena adanya infeksi pada bronkus atau paru, kemudian timbul
bronkiektasis. Mekanisme kejadiannya sangat rumit. Belum diketahui secara sempurna,
tetapi nampaknya yang menjadi penyebab utama adalah keradangan dengan destruksi
otot, jaringan elastik dan tulang rawan dinding bronkus, oleh mukopus yang terinfeksi
yang kontak lama dan erat dengan dinding bronkus. Mukopus mengandung produk-
8
produk neutrofil yang bisa merusak jaringan paru (protease serin, elastase, kolagenase),
oksida nitrit, sitokin inflamasi (IL8) dan substansi yang menghambat gerakan silia dan
mucociliary clearance. Terjadi mukokel yang terinfeksi setelah dilatasi mekanik
bronkus yang telah lunak oleh pengaruh proteolitik. Inflammatory insult yang pertama
akan diikuti oleh kolonisasi bakteri yang akan menyebabkan kerusakan bronkus lebih
lanjut dan predisposisi untuk kolonisasi lagi dan ini merupakan lingkaran yang tidak
terputus. Pada akhirnya terjadi fibrosis dinding bronkus dan jaringan paru sekitarnya
menyebabkan penarikan dinding bronkus yang sudah lemah sehingga terjadi distorsi.
Distensi juga bisa diperberat oleh atelektasis paru sekitar bronkus yang menyebabkan
bronkus mendapatkan tekanan intratorakal yang lebih besar. (4)
- Permulaannya didahului adanya obstruksi bronkus
Adanya obstruksi bronkus oleh beberapa penyebab (misalnya tuberculosis kelenjar
limfe pada anak; karsinoma bronkus, korpus alienum dalam bronkus) akan dikuti
terbentuknya bronkietasis. Pada bagian distal obstruksi biasanya akan terjadi infeksi dan
destruksi bronkus, kemudian terjadi bronkiektasis. Pada bronkiektasis didapat, pada
keadaan yang amat jarang, dapat terjadi atau timbul sesudah masuknya bahan kimia
korosif (biasanya bahan hidrokarbon) ke dalam saluran napas, dan karena terjadinya
aspirasi berulang bahan/cairan lambung ke dalam paru. (1)
Pada bronkiektasis, keluhan-keluhan timbul umumnya sebagai akibat adanya
beberapa hal berikut : 1) adanya kerusakan dinding bronkus, 2) adanya kerusakan fungsi
bronkus, dan 3) adanya akibat lanjut bronkiektasis atau komplikasi dan sebagainya.
Kerusakan dinding bronkus berupa dilatasi dan distorsi dinding bronkus, kerusakan
elemen elastis, tulang rawan, otot-otot polos, mukosa dan silia, kerusakan tersebut akan
menimbulkan stasis sputum, gangguan ekspektorasi, gangguan refleks batuk dan sesak
napas. (1)
1.2.7 Manifestasi
- Batuk
Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung
kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronchitis kronik, jumlah sputum bervariasi,
umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi
tidur atau bangun tidur. Kalau tidak ada infeksi sekunder sputumnya purulent, dapat
9
memberikan bau mulut yang tidak sedap (fetor ex ore). Apabila terjadi infeksi sekunder
oleh kuman anaerob, akan menimbulkan sputum sangat berbau busuk. Pada kasus yang
ringan, pasien dapat tanpa batuk atau hanya timbul batuk apabila ada infeksi sekunder.
Pada kasus yang sudah berat, misalnya pada saccular type bronchiectasis, sputum
jumlahnya banyak sekali, purulent dan apabila ditampung beberapa lama tampak
terpisah mejadi 3 lapisan : 1) lapisan teratas agak keruh, terdiri atas mucus, b) lapisan
tengah jernih, terdiri atas saliva (ludah), dan c) lapisan terbawak keruh, terdiri atas
nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak (cellular debris). (6)
- Hemoptisis
Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis. Kelainan
ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah
(pecah) dan timbul perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi, mulai yang yang
paling ringan (streaks of blood) sampai perdarahan yang massif yaitu apabila nekrosis
yang mengenai mukosa amat hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri
bronkialis ( daerah berasal dari peredaran darah sistemik). (6)
Pada dry bronchiectasis, hemoptysis justru merupakan gejala satu-satunya, karena
bronkiektasis jenis ini letaknya di lobus atas paru, drainasenya baik, sputum tidak
pernah menumpuk dan kurang menimbulkan refleks batuk. Pasien tanpa batuk atau
batuknya minimal. Dapat diambil pelajaran, bahwa apabila ditemukan kasus hemoptysis
hebat tanpa danya gejala-gejala batuk sebelumnya atau tanpa kelainan fisis yang jelas
hendaknya diingat dry-bronchiectasis ini. Hemoptisis pada bronkiektasis walaupun
kadang-kadang hebat jarang fatal. Pada tuberculosis paru, bronkiektasi (sekunder) ini
merupaka penyebab utama komplikasi hemoptisis. (6)
- Sesak Napas (Dispnea)
Pada sebagian besar pasien (50% kasus) ditemukan keluhan sesak napas. Timbul
dan beratnya sesak napas tergantung pada seberapa luasnya bronchitis kronik yang
terjadi serta sebarapa jauh timbulnya kolaps paru dan destruksi jaringan paru yang
terjadi sebagai akibat infeksi berulang (ISPA), yang biasanya menimbulkan fibrosis
paru dan emfisema yang menimbulkan sesak napas tadi. Kadang-kadang ditemukan
pula suara mengi (wheezing), akibat adanya obstruksi bronkus. Wheezing dapat local
atau tersebar tergantung pada distribusi kelainannya. (1)
10
- Demam Berulang
Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami infeksi
berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering timbul demam (demam
berulang). (1)
1.2.8 Pemeriksaan Fisik
Pada saat pemeriksaan fisik mungkin pasien sedang mengalami batuk-batuk
dengan pengeluaran sputum, sesak napas, demam atau sedang batuk darah. Tanda-tanda
fisis umum yang dapat ditemukan meliputi sianosis, jari tabuh, manifestasi klinis
komplikasi bronkiektasis. Pada kasus berat dan lanjut dapat ditemukan tanda-tanda kor
pulmonal kronik maupun payah jantung kanan. (1)
Kelainan paru yang timbul tergantung pada beratnya serta tempat kelainan
bronkiektasis terjadi, dan kelainannya apakah local atau difus. Pada pemeriksaan fisis
paru kelainannya harus dicari pada tempat-tempat predisposisi. Pada bronkiektasis
biasanya ditemukan ronki basah yang jelas pada lobus bawah paru yang terkena dan
keadaanya menetap dari waktu ke waktu, atau ronki basah ini hilang sesudah pasien
mengalami drainase postural dan timbul lagi di waktu yang lain. Apabila bagian paru
yang diserang amat luas serta kerusakannya hebat, dapat menimbulkan kelainan
berikut : terjadi retraksi dinding dada dan berkurangnya gerakan dada daerah yang
terkena serta dapat terjadi penggeseran mediastinum ke daerah paru yang terkena. Bila
terdapat komplikasi pneumonia akan ditemukan kelainan fisis sesuai dengan
pneumonia. Wheezing sering ditemukan apabila terjadi obstruksi bronkus. (7)
1.2.9 Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada pasien ini umumnya tidak khas. Pada keadaan lanjut
dan sudah mulai ada insufisiensi paru dapat ditemukan polisitemia sekunder. Bila
penyakitnya ringan gambaran darahnya normal. Sering-sering ditemukan anemia, yang
menunjukkan adanya infeksi kronik atau ditemukannya leukositosis yang menunjukkan
adanya infeksi supuratif. (1)
Urin umumnya normal, kecuali bila sudah ada komplikasi amyloidosis akan
ditemukan proteinuria. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan langsung dapat
dilakukan untuk menentukan kuman apa yang terdapat dalam sputum. Pemeriksaan
11
kultur sputum dan uji sensitivitas terhadap antibiotic perlu dilakukan, apabila ada
kecurigaan adanya infeksi sekunder. Perlu segera dicurigai adanya infeksi sekunder
apabila misalnya dijumpai sputum pada hari-hari sebelumnya warnanya putih jernih,
yang berubah menjadi warna kuning atau hijau. (1)
1.2.10 Kelainan radiologis
2.1.10.1 Foto thoraks
Gambaran foto dada (plain film) pasien bronkiektasis posisi berdiri sangat
bervariasi, tergantung berat ringannya kelainan serta letak kelainannya. Dengan
gambaran foto dada tersebut kadang-kadang dapat ditentukan kelainannya, tetapi
kadang-kadang sukar. Gambaran radiologi khas untuk bronkiektasis biasanya
menunjukaan kista-kista kecil dengan fluid level, mirip seperti gambaran sarang tawon
(honey comb appearance) pada daerah yang terkena. Gambaran seperti ini hanya dapat
ditemukan pada 13% kasus. Kadang-kadang gambaran radiologis paru pada
bronkiektasis menunjukkan adanya bercak-bercak pneumonia, fibrosis atau kolaps
(atelectasis), bahkan kadang-kadang gambaran seperti pada paru normal (pada 7%
kasus). Gambaran bronkiektasis akan jelas pada bronkogram. (8)
Gambar 3. Gambaran honeycomb appearance
12
1.2.10.2 Bronkografi
Bronkografi merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian media kontras ke
dalam sistem saluran bronkus pada berbagai posisi (AP, Lateral, Oblik). Pemeriksaan
ini selain dapat menentukan adanya bronkiektasis, juga dapat menentukan bentuk-
bentuk bronkiektasis yang dibedakan dalam bentuk silindris (tubulus, fusiformis),
sakuler (kistik) dan varikosis. Pemeriksaan bronkografi juga dilakukan pada penderita
bronkiektasis yang akan di lakukan pembedahan pengangkatan untuk menentukan
luasnya paru yang mengalami bronkiektasis yang akan diangkat. (9-10)
Pemeriksaan bronkografi saat ini mulai jarang dilakukan oleh karena
prosedurnya yang kurang menyenangkan terutama bagi pasien dengan gangguan
ventilasi, alergi dan reaksi tubuh terhadap kontras media. (1)
Gambar 4. Bronkografi menunjukkan bronkiektasis silindris disertai dilatasi bronkus
lobus bawah
1.2.10.3 CT-Scan thorax
CT-Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan penunjang terbaik untuk
mendiagnosis bronkiektasis, mengklarifikasi temuan dari foto thorax dan melihat letak
kelainan jalan nafas yang tidak dapat terlihat pada foto polos thorax. CT-Scan resolusi
tinggi mempunyai sensitivitas sebesar 97% dan spesifisitas sebesar 93%. CT-Scan
resolusi tinggi akan memperlihatkan dilatasi bronkus dan penebalan dinding bronkus.
Modalitas ini juga mampu mengetahui lobus mana yang terkena, terutama penting untuk
menentukan apakah diperlukan pembedahan. (11)
13
Gambar 5. CT scan thoraks menunjukkan adanya dilatasi bronkus
pada lobus inferior kiri
1.2.11 Diagnosis banding
Bronkitis kronik
Tuberkulosis paru (penyakit ini dapatr disertai kelainan anatomis paru
berupa bronkiektasis)
Abses paru (terutama bila telah ada hubungannya dengan bronkus besar)
Penyakit paru penyebab hemoptisis, misalnya : karsinoma paru, adenoma
paru dan sebagainya
Fistula bronkopleural dengan empyema. (1)
1.2.12 Penatalaksanaan
Pengobatan pasien bronkiektasis terdiri dari 2 kelompok yaitu: (1)
1. Pengobatan konservatif
- Pengelolaan umum.
Pengelolaan umum ini ditujukan terhadap semua pasien bronkiektasis, meliputi :
Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien
Memperbaiki drainase secret bronkus.
Cara yang baik dikerjakan sebagai berikut :
14
- Melakukan drainase postural.
- Mencairkan sputum yang kental
- Mengatur posisi tempat tidur pasien.
- Mengontrol infeksi saluran napas.
- Adanya infeksi saluran napas akut (ISPA) harus diperkecil dengan jalan
mencegah pemajanan kuman. Apabila telah ada infeksi (ISPA) harus
diberantas dengan antibiotik yang sesuai agar infeksi tidak berkelanjutan.
- Pengelolaan Khusus
Mengontrol infeksi
Pemberian antibiotik berdasarkan pemeriksaan bakteri dari sputum dan
resistensinya. Sementara menunggu hasil biakan kuman, dapat diberikan antibiotik
spektrum luas sperti amoksisilin, trimetoprim-sulfametoksazol, atau levofloxasin.
Antibiotik diberikan hingga produksi sputum minimal dan tidak purulen.
Walaupun kemoterapi jelas kegunaannya pada pengelolaan bronkiektasis, tidak
setiap pasien harus diberikan antibiotik. Antibiotik hanya diberikan kalau diperlukan
saja, yaitu apabila terdapat eksaserbasi infeksi akut. Antibiotik diberikan selama 7-10
hari, terapi tunggal atau kombinasi beberapa antibiotik, sampai kuman penyebab infeksi
terbasmi atau sampai terjadi konversi warna sputum yang semua berwarna kuning/hijau
menjadi mukoid (putih jernih). Selanjutnya ada yang memberikan dosis pemeliharaan.
- Pengobatan simtomatik.
Pengobatan ini hanya diberikan kalau timbul simtom yang mungkin mengganggu
atau membahayakan pasien.
Pengobatan obstruksi bronkus dengan obat bronkodilator.
Pengobatan hipoksia. Pada pasien yang mengalami hipoksia perlu diberikan
oksigen.
Pengobatan hemoptisis. Apabila terjadi hemoptisis tindakan yang perlu segera
diberikan adalah upaya menghentikan perdarahan tersebut. Telah banyak
dilaporkan oleh para peneliti hasil pengobatan hemoptisis ini dengan obat-obat
hemostatik.
15
2. Pengobatan Pembedahan
Tujuan pembedahan : mengangkat (reseksi) segmen/lobus paru yang terkena
(terdapat bronkiektasis)
Indikasi pembedahan :
Pasien bronkiektasis yang terbatas dan resektabel, yang tidak berespon terhadap
tindakan-tindakan konservatif yang adekuat. Pasien perlu dipertimbangkan
untuk operasi.
Pasien bronkiektasis yang terbatas, tetapi sering mengalami infeksi berulang
atau hemoptisis yang berasal dari daerah tersebut. Pasien dengan hemoptisis
massif seperti ini mutlak perlu tindakan operasi.
1.2.13 Pencegahan
Timbulnya bronkiektasis sebenarnya dapat dicegah, kecuali pada bentuk
kongenital tidak dapat dicegah. Menurut kepustakaan dicatat beberapa usaha
pencegahan antara lain :
- Pengobatan dengan antibiotik atau cara-cara lain secara tepat terhadap semua
bentuk pneumonia yang timbul pada anak, akan dapat mencegah
(mengurangi) timbulnya bronkiektasis.
- Tindakan vaksinasi terhadap pertussis dan lain-lain (influenza, pneumonia)
pada anak dapat pula diartikan sebagai tindakan preventif terhadap
timbulnya bronkiektasis. (1)
1.2.14 Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditemui pada pasien bronkiektasis antara lain :
- Kegagalan pernafasan
Merupakan komplikasi paling akhir yang timbul pada bronkiektasis berat
dan luas.
- Abses otak
Akibat dari penyebaran infeksi secara hematogen
- Kor pulmonal kronik (KPK)
16
Sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasis berat dan lanjut atau
mengenai beberapa bagian paru. Jika terjadi anastomosis cabang-cabang arteri dan vena
pulmonalis pada dinding bronkus akan terjadi arterio-venous shunt sehingga dapat
terjadi gangguan oksigenasi darah, timbul sianosis sentral yang selanjutnya akan terjadi
hipoksemia. Selanjutnya akan terjadi hipetensi pulmonal, kor pulmonal kronik, dan bila
berlanjut akan menyebabkan gagal jantung kanan.
1.2.15 Prognosis
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat ringannya serta luasnya
penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat
(konservatif ataupun pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit. Pada kasus-
kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek, survivalnya tidak akan lebih dari
5-15 tahun. Kematian pasien tersebut biasanya karena pneumonia, empiema, payah
jantung kanan, hemoptisis danlain-lain. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi bronkitis
kronik berat dan difus biasanya disabilitasnya ringan.
Kelainan pada bronkiektasis biasanya mengenai bronkus dengan ukuran sedang.
Adanya peradangan dapat menyebabkan destruksi lapisan muskular dan elastik dari
bronkus serta dapat pula menyebabkan kerusakan daerah peri bronchial. Kerusakan ini
biasanya akan menyebabkan timbulnya daerah fibrosis terutama pada daerah
peribronkial. (1)
17
BAB III
Kesimpulan
Bronkiektasis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
(ektasis) dan distorsi bronkus local yang bersifat patologis dan berjalan kronik,
persisten, ireversibel dan disebabkan oleh perubahan pada dinding bronkus.
Bronkiektasis dapat menyebabkan komplikasi gagal nafas yang merupakan penyebab
kematian pada negara berkembang. Bronkiektasis merupakan penyakit yang sampai
sekarang belum diketahui secara jelas, bisa berupa kongenital ataupun didapat.
Manifestasi klinis tersering adalah batuk, hemoptisis, dispnea, dan demam berulang. CT
scan resolusi tinggi merupakan golden standard untuk membantu menegakkan diagnosis
bronkiektasis. Perbaikan drainase dan pengontrolan infeksi dengan pengunaan antibiotik
merupakan terapi umum yang diberikan kepada penderitsa bronkiektasis, selain
setelahnya dilakukan juga terapi simptomatik dan pembedahan.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahmatullah, P. (2009). Bronkiektasis. In E. :. Suyono, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi Ketiga (pp. 861-871). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Rademacher, J., & Welte, T. (2011). Bronchiectasis-Diagnosis and Treatment.
Deutsches Ärzteblatt International.
3. Maitra, A., & Kumar, V. (2007). Paru dan Saluran Napas Atas. In V. Kumar, R.
Cotran, & S. Robbins, Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
4. Daviskas, E. (2010). Pathogenesis and Diagnosis of Bronchiectasis. Melbourne:
Dept of Respiratory and Sleep Medicine, Monash Medical Centre.
5. Damnajov, I. (2010). Buku Teks dan Atlas Berwarna Histopatologi. Jakarta:
EGC.
6. O' Regan, A., & Berman, J. (2004). Baum's Textbook of Pulmonary Disease 7th
Edition. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins.
7. Alsagaff, H., & Mukty, A. (2006). Bronkiektasis, Dasar-dasar Ilmu Penyakit
Paru. Surabaya: Airlangga.
8. Eng, P., & Cheah, F. (2005). Interpreting Chest X-rays. New York: Cambridge
University Press.
9. Amelinda, I., Djamal, A., & Usman, E. (2014). Pola Sensitivitas Bakteri
Penyebab Infeksi Saluran Napas Bawah Terhadap Kotrimoksazol di
Laboratorium Mikrobiologi RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode 1 Januari
2012-31 Desember 2012. Jurnal Kesehatan Andalas, 389-398.
10. Sutton, D. (2003). Textbook of Radiology and Imaging Volume 1. Tottenham:
Churcill livingstone.
11. Barker, A. (2002). Bronchiectasis. The New English Journal of Medicine , 1383-
1393.
19