Bronkiektasis Case

30
PENDAHULUAN ANATOMI Cabang utama bronkus kanan dan kiri akan bercabang menjadi bronkus lobaris dan bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus-menerus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu bronkiolus yang tidak mengandung alveoli. Bronkiolus terminalis mempunyai diameter kurang lebih 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh kartilago tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara sampai pada tingkat ini disebut saluran penghantar udara karena fungsinya menghantarkan udara ke tempat pertukaran gas terjadi. Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional dari paru. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakkus alveolaris terminalis. Asinus atau kadang disebut lobulus primer memiliki diameter 0,5 sampai 1 cm. Terdapat sekitar 23 percabangan mulai dari trakea sampai sakkus alveolaris terminalis. Alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh septum. Lubang pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn yang memungkinkan komunikasi antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel saja, namun jika seluruh alveolus yang berjumlah sekitar 300 juta itu dibentangkan akan seluas satu lapangan tenis. ( Wilson LM, 2006).

Transcript of Bronkiektasis Case

Page 1: Bronkiektasis Case

PENDAHULUAN

ANATOMI

Cabang utama bronkus kanan dan kiri akan bercabang menjadi bronkus lobaris dan bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus-menerus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu bronkiolus yang tidak mengandung alveoli. Bronkiolus terminalis mempunyai diameter kurang lebih 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh kartilago tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara sampai pada tingkat ini disebut saluran penghantar udara karena fungsinya menghantarkan udara ke tempat pertukaran gas terjadi. Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional dari paru. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakkus alveolaris terminalis. Asinus atau kadang disebut lobulus primer memiliki diameter 0,5 sampai 1 cm. Terdapat sekitar 23 percabangan mulai dari trakea sampai sakkus alveolaris terminalis. Alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh septum. Lubang pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn yang memungkinkan komunikasi antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel saja, namun jika seluruh alveolus yang berjumlah sekitar 300 juta itu dibentangkan akan seluas satu lapangan tenis. ( Wilson LM, 2006).

Alveolus pada hakikatnya merupakan gelembung yang dikelilingi oleh kapiler-kapiler darah. Batas antara cairan dengan gas akan membentuk suatu tegangan permukaan yang cenderung mencegah ekspansi pada saat inspirasi dan cenderung kolaps saat ekspirasi. Di sinilah letak peranan surfaktan sebagai lipoprotein yang mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi saat inspirasi sekaligus mencegah kolaps saat ekspirasi. Pembentukan surfaktan oleh sel pembatas alveolus dipengaruhi oleh kematangan sel-sel alveolus, enzim biosintetik utamanya alfa anti tripsin, kecepatan regenerasi, ventilasi yang adekuat serta perfusi ke dinding alveolus. Defisiensi surfaktan, enzim biosintesis serta mekanisme inflamasi yang berjung pada pelepasan produk yang mempengaruhi elastisitas paru menjadi dasar patogenesis emphysema, dan penyakit lainnya. ( Wilson LM, 2006)

Page 2: Bronkiektasis Case

Bronkus merupakan percabangan dari trachea. Terdiri dari bronkus dextra dan bronchus sinistra:

Bronkus dextra, mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih pendek dan letaknya lebih vertikal daripada bronkus sinistra. Hal ini disebabkan oleh desakan dari arcus aortae pada ujung caudal trachea ke arah kanan, sehingga benda-benda asing mudah masuk ke dalam bronkus dextra. Panjangnya kira-kira 2,5 cm dan masuk kedalam hilus pulmonis setinggi vertebra thoracalis VI. Vena Azygos melengkung di sebelah cranialnya. Ateria pulmonalis pada mulanya berada di sebelah inferior, kemudian berada di sebelah ventralnya. Membentuk tiga cabang (bronkus sekunder), masing-masing menuju ke lobus superior, lobus medius, dan lobus inferior. Bronkus sekunder yang menuju ke ke lobus superior letaknya di sebelah cranial a.pulmonalis dan disebut bronkusepar ter ialis. Cabang bronkus yang menuju ke lobus medius dan lobus inferior berada di sebelah caudal a.pulmonalis disebut bronkushyparterialis. Selanjutnya bronkus sekunder tersebut mempercabangkan bronkus tertier yang menuju ke segmen pulmo.( Luhulima JW, 2004)

Bronkus sinistra, mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi bentuknya lebih panjang daripada bronkus dextra. Berada di sebelah caudal arcus aortae, menyilang di sebelah ventral oesophagus, ductus thoracicus, dan aorta thoracalis. Pada mulanya berada di sebelah superior arteri pulmonalis, lalu di sebelah dorsalnya dan akhirnya berada di sebelah inferiornya sebelum bronkus bercabang menuju ke lobus superior dan lobus inferior, disebut letak bronkus hyparterialis. Pada tepi lateral batas trachea dan bronkus terdapat lymphonodus tracheobronchialis superior dan pada bifurcatio trachea (di sebelah caudal) terdapat lymphonodus tracheobronchialis inferior. Bronkus memperoleh vascularisasi dari a.thyroidea inferior. Innervasinya berasal dari N.vagus, n. Recurrens, dan truncus sympathicus. ( Luhulima JW, 2004).

DEFINISI

Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi bronkus yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten atau irrevesibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen elastis, otot polos brokus, tulang rawan dan pembuluh-pembuluh darah. (Aru W. Sudoyo et al, 2006)

INSIDENSI DAN EPIDEMIOLOGI

Di negara-negara Barat, insidensi bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3% di antara populasi. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti mengenai penyakit ini, penyakit ini dapat diderita mulai sejak anak-anak. P r e v a l e n s i  bronkiektasis lebih tinggi pada penduduk dengan golongan sosioekonomi yang rendah.

Page 3: Bronkiektasis Case

ETIOLOGI

Bronkiektasis sampai sekarang masih belum jelas. Namun diduga bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat. (Aru W. Sudoyo et al, 2006)

1. Kelainan kongenital

Bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan. Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan memegang peranan penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital biasanya mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua bronkus. Selain itu, bronkiektasis kongenital biasanya menyertai penyakit-penyakit kongenital seperti Fibrosis kistik, Kertagener Syndrome, William Campbell syndrome, Mounier-Kuhn Syndrome, dll. (Aru W. Sudoyo et al, 2006).

2. Kelainan didapat

Bronkietasis yang didapat sering berkaitan dengan obstruksi bronkus. Dilatasi bronkus mungkin disebabkan karena kelainan didapat dan kebanyakan merupakan akibat dari proses berikut:

a. Infeksi

Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa anak, tuberkulosis paru, dan sebagainya. (Aru W. Sudoyo et al, 2006)

Imunisasi pada masa kanak-kanak yang efektif ditandai dengan penurunan insidensi bronkiektasis yang disebabkan oleh pertusis atau batuk rejan. Infeksi saluran pernapasan pada anak-anak lainnya dapat menyebabkan kerusakan permanen pada saluran pernapasan. Kehadiran Staphylococcus aureus dikaitkan dengan fibrosis kistik atau aspergillosis bronkopulmonalis alergi. Aspergillus fumigatus merupakan organisme komensal. Aspergillosis bronkopulmonalis alergi adalah suatu keadaan yang mempengaruhi pasien asma dan melibatkan kerusakan saluran napas yang disebabkan oleh beberapa faktor.

b. Obstruksi bronkus

Obstruksi bronkus dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab seperti korpus alienum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar lainnya terhadap bronkus. Menurut penelitian para ahli diketahui bahwa infeksi ataupun obstruksi bronkus tidak selalu nyata (automatis) menimbulkan bronkiektasis. Diduga mungkin masih ada faktor instrinsik (yang sampai sekarang belum diketahui) ikut berperan dalam timbulnya bronkiektasis. (Sudoyo Aru W et al, 2006)

Page 4: Bronkiektasis Case

Berdasarkan lokasinya, bronkiektasis dibagi menjadi:

Setempat (localized), yaitu di lobus bawah, lobus tengah kanan atau lingula, biasanya sebagai komplikasi dari pneumonia berat, dapat juga karena penyumbatan oleh benda asing, tumor atau penekanan dari luar (kompresi oleh tuberkulosis kelenjar limfa). Bronkiektasis di lobus atas biasanya disebabkan oleh tuberkulosis atau aspergilosis bronkopulmonar.

Menyeluruh (generalized), biasanya karena infeksi sistem pernapasan yang berulang disertai kelainan imunitas ataupun kelainan mucocilliary clearance. Penyebab lainnya adalah vaskulitis, defisiensi α-1-antitripsin, AIDS, sindrom merfan, SLE, sindrom syorgen dan sarkoidosis.

Tingkatan penyakit bervariasi dari ringan sampai berat. Brewis membagi tingkatan beratnya bronkiektasis menjadi 3 derajat, yaitu:

Bronkiektasis ringan

Ciri klinis: batuk-batuk dan sputum warna hijau hanya terjadi sesudah demam (ada infeksi sekunder), produksi sputum terjadi dengan perubahan posisi tubuh, biasanya terdapat hemoptisis sangat ringan, pasien tampak sehat, fungsi paru normal dan foto dada normal. (Sudoyo Aru W et al, 2006)

Bronkiektasis sedang

Ciri klinis: batuk-batuk produktif terjadi setiap saat, sputum timbul setiap saat (umumnya hijau dan jarang mukoid, serta bau mulut busuk), sering ada hemoptisis. Pada pemeriksaan fisik paru sering ditemukan ronki basah kasar pada daerah paru yang terkena, gambaran foto dada boleh dikatakan masih normal. (Sudoyo Aru W et al, 2006)

Bronkiektasis berat

Ciri klinis: batuk-batuk produktif dengan sputum banyak berwarna kotor dan berbau. Sering ditemukan adanya pneumonia dengan hemoptisis dan nyeri pleura. Sering ditemukan jari tabuh. Bila ada obstruksi saluran napas akan dapat ditemukan adanya dispnea, sianosis atau tanda kegagalan paru. Umumnya pasien mempunyai keadaan umum kurang baik. Sering ditemukan infeksi piogenik pada kulit, infeksi mata dan sebagainya. Pasien mudah timbul pneumonia, septikemia, abses metastasis, kadang-kadang terjadi amiloidosis. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ronki basah kasar pada daerah terkena. Pada gambaran foto dada ditemukan kelainan : 1). Penambahan bronkovaskular marking, 2). Multiple cysts containing fluid levels (honey comb appearance). (Sudoyo Aru W et al, 2006)

Page 5: Bronkiektasis Case

PATOGENESIS

Belum diketahui secara sempurna, namun diperkirakan yang menjadi penyebab utama adalah peradangan dengan destruksi otot, jaringan elastik dan tulang rawan dinding bronkus, oleh mukopus yang terinfeksi yang kontak lama dan erat dengan dinding bronkus. Mekanisme mukus klirens yang efektif adalah sesuatu yang esensial untuk paru yang sehat, dan kelainan saluran napas disebabkan oleh buruknya mekanisme klirens mukus. Mukus yang sehat dalah sutau lendir dengan viskositas rendah dan elastis sehingga dapat dengan mudah diangkut oleh silia. Sedangkan mukus yang tidak sehat ditandai dengan viskositas yang tinggi dan keelastisan sehingga sulit untuk dibersihkan. Akumulasi dari mukus yang dihasilkan dari beberapa kombinasi seperti peningkatan produksinya dan penurunan klirens, dan akumulasi persisten dapat memicu infeksi dan peradangan dengan tersedianya lingkungan untuk pertumbuhan mikrobakteri. (Fahy JV&Dickey BF, 2010) Mukopus mengandung produk-produk neutrofil yang bisa merusak jaringan paru (protease serin, elastase, kolagenase), oksida nitrit, sitokininflamasi (IL8) dan substansi yang menghambat gerakan silia dan mucociliary clearance. Terjadi mukokel yang terinfeksi setelah dilatasi mekanik bronkus yang telah lunak oleh pengaruh proteolitik. Inflammatory insult yang pertama akan diikuti oleh kolonisasi bakteri yang akan menyebabkan kerusakan bronkus lebih lanjut dan predisposisi untuk kolonisasi lagi dan ini merupakan lingkaran yang tidak terputus. Pada akhirnya terjadi fibrosis dinding bronkus dan jaringan paru sekitarnya menyebabkan penarikan dinding bronkus yang sudah lemah sehingga terjadi distorsi. Distensi juga bisa diperberat oleh atelektasis paru sekitar bronkus yang menyebabkan bronkus mendapatkan tekanan intratorakal yang lebih besar.(Benditt, JO, 2008; Barker AF, 2002).

Gambaran makroskopis

Makroskopis paru bronkiektasis tampak dilatasi permanen dari jalan napas subsegmental yang mengalami inflamasi, berliku-liku, dan sebagian atau seluruhnya dipenuhi mukus.

Page 6: Bronkiektasis Case

Proses ini meliputi bronkiolus, dan bagian akhir jalan napas yang ditandai dengan fibrosis jalan napas kecil. Klasifikasi menurut Reid (atas dasar hubungan patologi dan bronkografi):

Bronkiektasis silindris, merupakan bronkiektasis yang paling ringan. Bentuk ini sering dijumpai pada bronkiektasis yang menyertai bronkitis kronik. Bronkus tampak seperti bentukan pipa berdilatasi, jalan napas yang lebih kecil dipenuhi mukus.

Bronkiektasis varikosa, merupakan bentuk intermediet, istilah ini digunakan karena perubahan bentuk bronkus yang menyerupai varises vena.

Bronkiektasis sakuler atau kistik, merupakan bentuk bronkiektasis yang klasik, ditamdai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat ireguler. Bentuk ini kadang-kadang berbentuk kista.(Aru W. Sudoyo et al, 2006)

Gambaran mikroskopis

Seluruh lapang pandang tampak inflamasi kronik pada dinding bronkus dengan sel inflamasi dan mukus di dalam lumen. Terdapat destruksi pada lapisan elastin pada dinding bronkus dengan fibrosis. Netrofil merupakan populasi sel terbanyak dalam lumen bronkus, sedangkan sel yang terbanyak pada dinding bronkus adalah mononuklear.

DIAGNOSIS

Gambaran klinis

Manifestasi klasik dari bronkiektasis adalah batuk dan produksi sputum harian yang mukopurulen sering berlangsung bulanan sampai tahunan. Batuk kronik yang produktif merupakan gejala yang menonjol. Terjadi hampir 90% pasien. (Barker AF, 2002; Aru W. Sudoyo et al, 2006).

Sputum yang bercampur darah atau hemoptisis dapat menjadi akibat dari kerusakan jalan napas dengan infeksi akut. Sputum yang dihasilkan dapat berbagai macam, tergantung berat ringannya penyakit dan ada tidaknya infeksi sekunder. Sputum dapat berupa mukoid, mukopurulen, kental dan purulen. Jika terjadi infeksi berulang, sputum menjadi purulen dengan bau yang tidak sedap. Dahulu, jumlah total sputum harian digunakan untuk membagi karakteristik berat ringannya bronkiektasis. Sputum yang kurang dari 10 ml digolongkan sebagai bronkiektasis ringan, sputum dengan jumlah 10-150 ml perhari digolongkan sebagai bronkiektasis moderat dan sputum lebih dari 150 ml digolongkan sebagai bronkiektasis berat. Namun sekarang, berat ringannya bronkiektasis dikalsifikasikan berdasarkan temuan radiologis. Pada pasien fibrosis kistik, volume sputum pada umumnya lebih banyak dibanding penyakit penyebab bronkiektasis lainnya. Dispnea dan mengi terjadi pada 75 % pasien. Nyeri dada pleuritis terjadi pada 50 % pasien dan mencerminkan adanya distensi saluran napas perifer atau pneumonitis distal yang berdekatan dengan permukaan pleura viseral. (Barker AF, 2002)

Page 7: Bronkiektasis Case

Pemeriksaan fisik

Ditemukannya suara napas tambahan pada pemeriksaan fisik dada, termasuk crackles (70 %), wheezing (34 %), dan ronki (44 %) adalah petunjuk untuk diagnosis. Dahulu, clubbing finger atau jari tabuh adalah gambaran yang sering ditemukan, tapi saat ini prevalensi gambaran tersebut hanya 3 %. Penyakit utama yang mengaburkan bronkiektasis adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Spirometri

Pada spirometri sering menunjukkan keterbatasan aliran udara, dengan rasio penurunan volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1) untuk memaksa volume kapasitas paksa (FVC), FVC normal atau sedikit berkurang dan FEV1 menurun (Barker AF, 2002).

Gambaran radiologis

Rontgen thoraks

Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis dapat ditemukan gambaran seperti dibawah ini:

a.Ring shadow

Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran (dapat mencapai diameter 1 cm). Dengan jumlah satu atau lebih bayangan cincin sehingga membentuk gambaran ‘honeycomb appearance’ atau ‘bounches of grapes’. Bayangan cincin tersebut menunjukkan kelainan yang terjadi pada bronkus. (Sutton D, 2003)

b.Tramline shadow

Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru. Bayangan ini terlihat terdiri atas dua garis paralel yang putih dan tebal yang dipisahkan oleh daerah berwarna hitam. Gambaran seperti ini sebenarnya normal ditemukan pada daerah parahilus. Tramline shadow yang sebenarnya terlihat lebih tebal dan bukan pada daerah parahilus.( Sutton D, 2003; Pattel PR, 2005)

c.Tubular shadow

Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal. Lebarnya dapat mencapai 8 mm. Gambaran ini sebenarnya menunjukkan bronkus yang penuh dengan sekret. Gambaran ini jarang ditemukan, namun gambaran ini khas untuk bronkiektasis (gambar 6B). (Sutton D, 2003)

Page 8: Bronkiektasis Case

Bronkografi

Merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian media kontras ke dalam sistem saluran bronkus pada berbagai posisi (AP, Lateral, Oblik). Pemeriksaan ini selain dapat menentukan adanya bronkiektasis, juga dapat menentukan bentuk-bentuk bronkiektasis yang dibedakan dalam bentuk silindris (tubulus, fusiformis), sakuler (kistik) dan varikosis. (Sutton D, 2003) Pada gambar 7, didapatkan gambaran glove finger shadow yang menunjukkan bayangan sekelompok tubulus yang terlihat seperti jari-jari pada sarung tangan. (Sutton D, 2003)

Page 9: Bronkiektasis Case

CT-Scan thorax

CT-Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan penunjang terbaik untuk mendiagnosis bronkiektasis, mengklarifikasi temuan dari foto thorax dan melihat letak kelainan jalan napas yang tidak dapat terlihat pada foto polos thorax. CT-Scan resolusi tinggi mempunyai sensitivitas sebesar 97% dan spesifisitas sebesar 93%. CT-Scan resolusi tinggi akan memperlihatkan dilatasi bronkus dan penebalan dinding bronkus. Modalitas ini juga mampu mengetahui lobus mana yang terkena, terutama penting untuk menentukan apakah diperlukan pembedahan. (Patel PR, 2005) CT-Scan, terutama resolusi tinggi dapat menghasilkan gambar yang menunjukan dilatasi saluran napas dengan ketebalan dengan ketebalan 1,0-1,55 mm (Gambar 9 dan 10). Sebagai konsekuensinya, saat ini pemeriksaan ini adalah teknik standar atau untuk mengkonfirmasi diagnosis bronkiektasis. (Fauci et al, 2008)

DIAGNOSIS BANDING

Beberapa penyakit yang perlu diingat atau dipertimbangkan kalau berhadapan dengan bronkiektasis :

Bronkitis kronik

Tuberkulosis paru (penyakit ini dapat disertai kelainan anatomis paru berupa bronkiektasis)

Abses paru (terutama bila telah ada hubungan dengan bronkus besar)

Penyakit paru penyebab hemoptisis, misalnya: karsinoma paru. (Sudoyo Aru W et al, 2006)

Page 10: Bronkiektasis Case

KOMPLIKASI

Ada beberapa komplikasi yang dapat dijumpai pada pasien bronkiektasis antara lain:

Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis. Bronkiektasis sering mengalami infeksi berulang, biasanya sekunder terhadap infeksi saluran napas bagian atas. Hal ini sering terjadi pada pasien dengan drainase sputum kurang baik.

Pleuritis, komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia. Umumnya merupakan pleuritis sicca pada daerah yang terkena.

Hemoptisis, terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena (arteri pulmonalis), cabang arteri (arteri bronkial) atau anastomosis pembuluh darah. Hemoptisis hebat dan tidak terkendali merupakan tindakan bedah gawat darurat.

Korpulmonale, sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasis yang berat dan lanjut.

Kegagalan pernapasan, merupakan komplikasi paling akhir yang timbul pada bronkiektasis lanjut dan luas.

PENATALAKSANAAN

11.1. Konservatif

11.1.1. Pengelolaan umum

Pengelolaan ini ditujukan terhadap semua pasien bronkiektasis, meliputi:

11.1.1.1. Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien

Contohnya membuat ruangan hangat, udara ruangan kering, mencegah atau menghentikan merokok, mencegah atau menghindari debu, asap dan sebagainya. (Sudoyo Aru W et al, 2006)

11.1.1.1. Memperbaiki drainase sekret bronkus

Melakukan drainase portural tindakan ini merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi gejala, tetapi harus terjadi secara terus-menerus. Pasien diletakkan dengan posisi tubuh sedemikaian rupa sehingga dapat dicapai drainase sputum secara maksimal. Tiap kali melakukan drainase postural dikerjakan selama 10-20 menit samapi sputum tidak keluar lagi dan tiap hari dikerjakan 2 sampai 4 kali. Prinsip drainase postural ini adalah usaha mengeluarkan sputum dengan bantuan gravitasi. Untuk keperluan tersebut, posisi tubuh saat dilakukan drainase postural harus disesuaikan dengan letak bronkiektasisnya. Tujuannya adalah untuk menggerakkan sputum dengan pertolongan gaya gravitasi agar menuju ke hilus paru bahkan mengalir sampai tenggorokan sehingga mudah dibatukkan keluar. Apabila dengan mengatur posisi tubuh pasien seperti tersebut diatas belum diperoleh drainase sputum

Page 11: Bronkiektasis Case

secara maksimal dapat dibantu dengan tindakan memberikan ketukan dengan jari pada punggung pasien (tabotage). (Sudoyo Aru W et al, 2006)

11.1.2. Pengelolaan khusus

11.1.2.1. Kemoterapi

Kemoterapi pada bronkiektasis dapat digunakan:1). Secara kontinyu untuk mengontrol infeksi bronkus (ISPA), 2). Untuk pengobatan eksaserbasi infeksi akut pada bronkus/paru, atau 3). Keduanya. Kemoterapi disini mengunakan obat antibiotik tertentu. Pemilihan antibiotik mana yang harus dipakai sebaiknya berdasarkan hasil uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik. Antibiotik hanya diberikan kalau diperlukan saja, yaitu apabila terdapat eksaserbasi infeksi akut. Antibiotik diberikan selama 7-10 hari, terapi tunggal atau kombinasi beberapa antibiotik, samapai kuman penyebab infeksi terbasmi atau sampai terjadi konversi warna sputum yang semula berwarna kuning/hijau menjadi mukoid (putih jernih). Selanjutnya ada dosis pemeliharaan. Ada yang berpendapat bahwa kemoterapi dengan antibiotik ini apabila berhasil akan dapat mengurangi gejala batuk, jumlah sputum dan gejala lainnya terutama pada saat ada eksaserbasi akut, tetapi keadaan ini hanya bersifat sementara. (Sudoyo Aru W et al, 2006)

11.1.2.2. Drainase sekret dengan bronkoskop

Cara ini penting dikerjakan terutama pada permulaan perawatan pasien. Keperluannya antara lain adalah untuk 1). Menentukan darimana asal sekret, 2). Mengidentifikasi lokali stenosis atau obstruksi bronkus, dan 3). Menghilangkan obstruksi bronkus dengan sustion drainage daerah obstruksi tadi (misalnya pada pengobatan atelektasis paru). (Sudoyo Aru W

et al, 2006)

11.1.3. Pengobatan simtomatik

Pengobatan ini hanya diberikan jika timbul gejala yang mungkin menganggu atau membahayakan pasien.

11.1.3.1. Pengobatan obstruksi bronkus

Apabila ditemukan tanda obstruksi bronkus yang diketahui dari hasil uji faal paru (% VEP1 < 70%) dapat diberikan obat bronkodilator. Sebaiknya sewaktu dilakukan uji faal paru dan diketahui adanya tanda obstruksi saluran napas sekaligus dilakukan tes terhadap obat bronkodilator. Apabila hasil tes bronkodilator positif, pasien perlu diberikan obat bronkodilator tersebut. (Sudoyo Aru W et al, 2006)

11.1.3.2. Pengobatan hipoksia

Pada pasien yang mengalami hipoksia (terutama pada waktu terjadinya eksaserbasi akut) perlu diberikan oksigen. Apabila pada pasien telah terdapat komplikasi bronkitis kronik, pemberian oksigen harus hati-hati, harus dengan aliran rendah (cukup 1 liter/menit). (Sudoyo Aru W et al, 2006)

Page 12: Bronkiektasis Case

11.1.3.3. Pengobatan hemoptisis

Apabila perdarahan cukup banyak (masif), mungkin merupakan perdarahan arterial yang memerlukan tidakan operatif segera untuk menghentikan perdarahannya, dan sementara harus diberikan transfusi darah untuk menggantikan darah yang hilang. (Sudoyo Aru W et al, 2006) Hemoptisis yang mengancam kehidupan (lebih dari 600 ml darah per hari) dapat terjadi pada pasien dengan bronkiektasis. Setelah jalan napas telah dilindungi dengan pasien berbaring di sisi tempat perdarahan yang dicurigai atau dengan intubasi endotrakeal, bronkoskopi atau CT dari thoraks diyakinkan membantu menentukan lobus atau sisi yang mengalami perdarahan. Jika intervensi radiologi tersedia, aortography dan kanulasi dari arteri bronkial untuk memgambarkan lokasi ekstravasasi darah atau neovaskularisasi sehingga embolisasi yang dapat ditunjukan. Pembedahan mungkin masih diperlukan untuk direseksi daerah yang dicurigai mengalami perdarahan. (Barker AF, 2002)

11.1.3.3. Pengobatan demam

Pada psein dengan eksaserbasi akut sering terdapat demam, terlebih jika terjadi septikemia. Pada keadaan ini selain perlu diberikan antibiotik yang sesuai, dosis cukup, perlu ditambahkan abat antipiretik lainnya. (Aru W. Sudoyo et al, 2006)

11.2. Pembedahan

Peran pembedahan untuk bronkiektasis telah menurun tetapi tidak menghilang. Tujuan dari operasi pengangkatan tumor termasuk menghilangkan tumor obstruktif atau residu dari benda asing, pengangkatan segmen atau lobus yang paling rusak dan diduga berkontribusi terhadap eksaserbasi akut, sekret yang sangat kental, impaksi lendir. Pengambilan daerah yang memiliki perdarahan abnormal yang tidak terkontrol, dan pengambilan dari paru rusak yang dicurigai menyembunyikan organisme seperti M. MDR-TB atau avium M. complex. Tiga pusat bedah telah menggambarkan pengalaman mereka dengan operasi tersebut selama dekade terakhir, dengan rata-rata tindak lanjut empat sampai enam tahun. Mereka telah mencatat perbaikan dalam gejala di lebih dari 90 % pasien, dengan mortalitas perioperatif kurang dari 3 %. (Barker AF, 2002) Reseksi komplit dilaporkan pada 118 dari 143 pasien bronkiektasis (rata-rata usia 23,4 tahun) dengan angka morbiditas 23% dan angka mortilitas 1,3%. Bronkiektasis stadium berhasil diterapi dengan transplantasi paru. Beime et al melaporkan 86% pasien yang menerima satu atau dua transplantasi paru memiliki angka kelangsungan hidup 1 tahun. (O’Donnel, 2008).

Indikasi pembedahan berupa pasien bronkiektasis yang terbatas dan resektabel yang tidak berespon terhadap tindakan konservatif yang adekuat, dan pasien bronkiektasis yang terbatas tetapi sering mengalami infeksi berulang atau hemoptisis masif. Kontraindikasi pembedahan berupa pasien bronkiektasis dengan PPOK, pasien bronkiektasis berat dan pasien dengan komplikasi korpulmonum kronik dekompensata. (Aru W. Sudoyo et al, 2006)

KASUS

Page 13: Bronkiektasis Case

Anamnesis:

Tn. Nining., 45 tahun, datang ke poli dengan keluhan batuk

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum: Sakit sedang

Keadaan Gizi: Normal

Tekanan darah: 130/100 mmHg

Respirasi: 33x/menit

Nadi: 115x/menit

Suhu: 35,7 celcius

Foto Thorax

Ekspertise:

Trachea normal. Aorta normal.

Costae, Clavikula, dan jaringan lunak dinding dada normal.

Page 14: Bronkiektasis Case

Cor tampak tidak membesar. Sinuses dengan sudut melebar dan kedua diafragma mendatar.

Pulmo: Hili kasar

Corakan bronkovaskular bertambah

Tampak gambaran honey comb di lapang bawah kanan

Kesan: Gambaran bronkiektasis lapang bawah kanan

Page 15: Bronkiektasis Case
Page 16: Bronkiektasis Case

 Gambar 4. Tampak dilatasi bronkus yang ditunjukkan oleh anak panah (dikutip dari kepustakaan 1)a bagian bawah paru yang menandakan adanya dilatasi bonkus (dikutip dari kepustakaan 13)adow y  ang menandakan adanya dilatasi bonkus (dikutip dari kepustakaan 13)Tramline shadowGambaran   i n i   dapa t   t e r l i ha t   pada  bag i an  pe r i f e r   pa ru -pa ru . Bayangan ini terlihat terdiri atas dua garis paralel yang putih dan tebalyang dipisahkan oleh daerah berwarna hitam. Gambaran seperti inis e b e n a r n y a   n o r m a l   d i t e m u k a n   p a d a   d a e r a h   p a r a h i l u s .Tramline shadowyang sebenarnya terlihat lebih tebal dan bukan pada daerah  parahilus.

Page 17: Bronkiektasis Case

Tubular shadowI n i   m e r u p a k a n   b a y a n g a n   y a n g   p u t i h   d a n t e b a l .   L e b ar n y a   d a p a t mencapai 8 mm. gambaranini sebenarnya menunjukkan bronkus yang penuh dengan sekret.Gambaran ini jarang ditemukan, namun gambaran ini khas untuk  bronkiektasis.11,13Glove finger shadowGambaran   i n i  menun jukkan  bayangan   s eke lompok   t ubu lus yang terlihat seperti jari-jari pada sarung tangan

BronkografiBronkografi merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian mediakon t r a s   ke  da l am   s i s t em   sa lu r an  b ronkus  pada  be rbaga i   pos i s i   (AP ,L a t e r a l ,   O b l i k ) .   P e m e r i k s a a n   i n i   s e l a i n   d a p a t   m e n e n t u k a n   a d a n ya  bronkiektasis, juga dapat menentukan bentuk-bentuk bronkiektasis yangdibedakan dalam bentuk silindris (tubulus, fusiformis), sakuler (kistik) danvarikosis

DAFTAR PUSTAKA1 . E m m o n s   E E .   B r o n c h i e c t a s i s . www.emedicine.com last update Januari 2007.2 .O’Regan AW, Be rman JS . Baum’s Tex tbook o f Pu lmona ry D i sea se 7th

Page 18: Bronkiektasis Case

Edition .Editor James D. Crapo, MD. Lippincott Williams & Walkins. Philadelphia. 2004.hal 255-274. 

 3 . B e n d i t t , J O . L u n g a n d   A i r w a y D i s o r d e r : B r o n c h i e c t a s i s .   www.merck.com   lastupdate Januari 2008.4 . A n o n y m o u s.Bronkiektasis.  http://medicastore.com/med/detail_pyk.php , 20045 . H a s s a n   I .   B r o n c h i e c t a s i s . www.emedicine.com . Last update December,8 20066 . R a h m a t u l l a h   P . B r o n k i e k t a s i s ,   B u k u   A j a r I l m u   P e n y a k i t D a l a m   J i l i d   I I E d i s i Ketiga. Editor Slamet Suyono. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001. hal 861-871.7.Alsagaff H, Mukty A. Bronkiektasis, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru, AirlanggaUniversity Press. Surabaya. 2006. hal 256-2618 . B a r k e r   A F .   T h e   N e w   E n g l i s h   J o u r n a l   o f   M e d i c i n e   :   B ro n k i e k t a s i s .   2 0 0 2 ; 346:1383-1393.9 . W i l s o n   L M . Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi enam. Editor HartantoHuriawati, dkk. EGC. Jakarta 2006. hal 737-74010 .Luhu l ima   JW. T rachea  dan  Bronchus .  D ik t a t Ana tomi  Sys t ema  Resp i r a to r i u s . Bagian Anatomi FKUH. Makassar. 2004. hal 13-14.11 .Meschan   I . Obs t r i c t i ve Pu lmona ry  D i sea se .Synopsis of Analysis of   RoentgenSigns in General Radiology. Philadelphia. 1975. hal 55-5612 .Kusumawid j a j a  K .  Rad io log i  D iagnos t i k  Ed i s i  Kedua .  Ed i t o r Iwan  Ekayuda . Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2006. hal 108-115.13.Sutton D. Textbook of Radiology and Imaging volume 1. Churchill livingstone. Tottenham. 2003. hal 45, 163, 164 & 168.14.Patel PR. Lecture Notes Radiologi Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta. 2005. hal 40-4115.Eng P, Cheah FK. Interpreting Chest X-rays. Cambridge Univesrsity Press. NewYork. 2005. hal 67-68.1 6 . G r e i f   J .   M e d i c a l   I m a g i n g   i n   P a t ie n t s   w i t h   C y s t i c   F i b r o s i s . www.eradimaging.com . Last update Februari 2008.1 7 . K e t a i   L H .   I n f e c t i o u s   L u n g   D i s e a s e .   F u n d a m e n t a l   o f   C h e s t  R a d i o l o g y ,   2ndEdition, Loren H. Ketai Richard Lofgren, Andrew J. Meholic, Elseiver Inc. hal21

 18.Wicaksono H. Anatomi Dasar Sistem Pernapasan,www. ilmusehat.com

Page 19: Bronkiektasis Case
Page 20: Bronkiektasis Case
Page 21: Bronkiektasis Case
Page 22: Bronkiektasis Case

E m m o n s   E E .   B r o n c h i e c t a s i s . www.emedicine.com last update Januari 2007.

B e n d i t t , J O . L u n g a n d A i r w a y D i s o r d e r : B r o n c h i e c t a s i s . www.merck.com lastupdate Januari 2008

L u h u l i m a J W . T r a c h e a d a n B r o n c h u s . D i k t a t A n a t o m i S y s t e m a R e s p i r a t o r i u s . Bagian Anatomi FKUH. Makassar. 2004. hal 13-14.

W i l s o n   L M . Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi enam

. Editor HartantoHuriawati, dkk. EGC. Jakarta 2006. hal 737-740

R a h m a t u l l a h P . B r o n k i e k t a s i s , B u k u A j a r I l m u P e n y a k i t D a l a m J i l i d I I E d i s i Ketiga. Editor Slamet Suyono. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001.

hal 861-871

B a r k e r A F . T h e N e w E n g l i s h J o u r n a l o f M e d i c i n e : B r o n k i ek t a s i s . 2 0 0 2 ; 346:1383-1393