bronkiektasis kasus

50
BAB I STATUS PENDERITA I. ANAMNESIS A. IDENTITAS PENDERITA Nama : Tn.S Umur : 64 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Pekerjaan : Swasta Alamat : Tegal Arum RT 1 RW 31 Jebres Surakarta No. RM : 01 01 46 16 Masuk RS : 7 Februari 2014 Tanggal pemeriksaan : 12 Februari 2014 B. Keluhan Utama : Sesak napas C. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak ± 7 hari SMRS dan semakin memberat dengan aktivitas sejak 2 hari yang lalu. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan tidak memiliki riwayat asma. Kebiasaan

description

laporan kasus tentang bronkiektasis

Transcript of bronkiektasis kasus

Page 1: bronkiektasis kasus

BAB I

STATUS PENDERITA

I. ANAMNESIS

A. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn.S

Umur : 64 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Swasta

Alamat : Tegal Arum RT 1 RW 31 Jebres Surakarta

No. RM : 01 01 46 16

Masuk RS : 7 Februari 2014

Tanggal pemeriksaan : 12 Februari 2014

B. Keluhan Utama :

Sesak napas

C. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak ± 7 hari SMRS dan

semakin memberat dengan aktivitas sejak 2 hari yang lalu. Sesak tidak

dipengaruhi oleh cuaca dan tidak memiliki riwayat asma. Kebiasaan pasien

saat tidur hanya menggunakan 1 bantal. Sesak disertai batuk memberat sejak 2

hari SMRS, batuk berdahak (+), sehari sebanyak 2 gelas belimbing, warna

kekuningan, kental, darah (+) satu kali, pada waktu malam 1 hari SMRS

berupa bercak berwarna merah. Pasien belum meminum obat batuk.

Nafsu makan pasien menurun sehingga badan menjadi lemas disertai

penurunan berat badan, nyeri dada (-), mual (+), muntah (-). Pasien juga

mengalami demam (+) tinggi 2 hari SMRS. Belum dibawa berobat

Page 2: bronkiektasis kasus

sebelumnya. Pasien juga mengeluh tidak BAB sejak 2 yang lalu, flatus (+),

BAK 4-5 x/ hari , warna kuning jernih, kira-kira sebanyak 0,5-1 gelas

belimbing tiap BAK.

D. Riwayat Penyakit Dahulu :

1. Riwayat hipertensi : disangkal

2. Riwayat pengobatan OAT : (+) sejak 10 Oktober 2013 sampai sekarang

3. Riwayat DM : disangkal

4. Riwayat asma : disangkal

5. Riwayat sakit jantung : disangkal

6. Riwayat mondok :(+) terakhir November 2013 di RSDM

diagnose Bronkiektasis terinfeksi TB paru BTA (+)

7. Riwayat alergi : disangkal

E. Riwayat Kebiasaan

1. Riwayat olah raga teratur : disangkal

2. Riwayat rutin minum obat bebas :disangkal

3. Riwayat merokok : (+) sejak berusia 20 tahun,

berhenti 5 tahun yang lalu. Habis ± 1 bungkus/ hari. Index brinkman 468

(perokok sedang)

F. Riwayat Penyakit pada Anggota Keluarga

1. Riwayat hipertensi : disangkal

2. Riwayat DM : disangkal

3. Riwayat asma/alergi : disangkal

4. Riwayat sakit jantung : disangkal

5. Riwayat TB : disangkal

Page 3: bronkiektasis kasus

G. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah seorang laki-laki berusia 64 tahun bekerja swasta.

Pasien tinggal bersama seorang istri dengan rumah berlantai semen, sebagian

tanah, minim ventilasi. Pasien merupakan pasien BPJS.

H. Riwayat Gizi

Sehari –hari pasien makan dengan nasi sayur tiga kali sehari dengan

lauk tahu tempe, telur, atau ikan.

II. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umam : Lemah, composmentis

Berat badan : 45 kg

Tinggi badan : 165 cm

Vital Sign : Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 98 x/menit, teraba lemah, reguler

Pernapasan : 24 x/menit, teratur

SiO2 : 99 % dalam O2 2 lpm

Suhu : 38,3o C peraksila

Mata : Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

Hidung : Napas cuping hidung (-/-), secret (-/-)

Telinga : Sekret (-/-)

Mulut : Sianosis (-), mukosa basah (+)

Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak membesar

Thoraks : retraksi (-), normochest, simetris

Jantung : I : ictus cordis tidak tampak

P: ictus cordis tidak kuat angkat, thrill (-)

P: batas jantung kesan tidak melebar

Page 4: bronkiektasis kasus

A:bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bunyi

tambahan (-)

Pulmo : Anterior

I: pengembangan dada kiri=kanan, sela iga tidak melebar,

retraksi (-)

P: pengembangan dada kiri=kanan, fremitus raba kiri = kanan

P: sonor/sonor

A: SDV (+/+), RBK (+/+) di dada kanan kiri bawah

Posterior

I: pengembangan dada kiri=kanan

P: pengembangan dada kiri=kanan, fremitus raba kiri = kanan

P: sonor/sonor

A: SDV (+/+), RBK (+/+) di dada kanan kiri bawah

Abdomen : I: dinding perut // dinding dada, benjolan (-), sikatrik (-)

A: BU (+) N

P: tympani

P: Supel, NT (-), hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas : Akral dingin Oedem

- - - -

- - - -

III.PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium Darah

PEMERIKSAAN

7 Februari 2014 SATUAN RUJUKAN

HEMATOLOGIRUTIN

Hb 11,4 g/dl 13,5-17,5HCT 36 33-45

Page 5: bronkiektasis kasus

AL 12,8 103/l 4,5-11,0AT 270 103/l 150-450AE 4,03 106/l 4.50-5.90

Gol.darah BINDEX

ERITROSIT

MCV 88,9 /um 80-96.0

MCH 38,2 Pg 28.0-33.0

MCHC 31,8 g/dl 33.0-36.0RDW 13,2 % 11.6-14.6MPV 7,1 Fl 7.2-11.1PDW 15 % 25-65

HITUNG JENISGranulosit 82,40 % 56,00-78,00

Limfosit 9,10 % 22,00-44,00

Mono, Eos, Bas 8,50 % 0,00-12,00

KIMIA KLINIKGDS 147 mg/dL 80-140

Kreatinin 0.7 mg/dL 0,7-1,3

Ureum 29 mg/dL <50

SGOT 25 u/l 0-35

SGPT 20 u/l 0-43

Albumin 3,6 g/dl 3.2-4.6

ELEKTROLIT

Na 134 mmol/ L 136-145K 2.6 mmol/ L 3,3-5,1Cl 102 mmol/ L 98-106

Serologi

HbsAg Non reaktif Non reaktif

ANALISA GAS DARAH

Ph 7.467 7.301-7.420

BE -1,0 mmol/L -2 - +1

Page 6: bronkiektasis kasus

PCO2 30,8 mmHg 27.0-41.0

PO2 154,8 mmHg 80-100

HCO3 23,5 mmol/L 21-28

Total CO2 19,3 mmol/L 19-24

O2 saturasi 99,4 % 94-98

Pembacaan Analisis Gas Darah:

PaO2 : (713 x 0.24) – (1.25 x 30,8)

: 132,62

PaO2 target : 132,62x 90 / 154,8

: 77,1

FiO2 koreksi : 77,1 + (1.25 x 30,8)/713

: 0,16 ~ O2 ruangan

AaDO2 : 132,62 – 154,8 =-22,18

HS : 154,8 / 0,24

: 645

Kesan: alkalosis respiratorik tidak terkompensasi

Page 7: bronkiektasis kasus

2. Foto thorax PA

Pembacaan:

Foto Thorak proyeksi PA/lateral Tn.S umur 64 tahun diambil tanggal 7 Februari

2014 di RSUD Moewardi Solo.

Kekerasan cukup, inspirasi cukup, simetris, trakea di tengah

Cor : Besar dan bentuk normal, tampak kalsifikasi aortic knob

Pulmo :Tampak honey comb appearance di paracardial kanan kiri dengan

infiltrat di sekitarnya

Sinus costophrenicus kanan anterior posterior tajam,kiri anterior poterior tumpul

Retrosternal dan retrocardiac space dalam batas normal

Hemidiafragma kanan normal, bentuk kubah, licin, kiri tertutup perselubungan

Trachea di tengah

Sistema tulang baik

Page 8: bronkiektasis kasus

Kesan :

Suspect infected bronchiektasis

Efusi pleura kiri

Aortasclerosis

3. Elektrokardiografi

Kesan: sinus rhytm, HR 95 x/menit, normoaksis

IV. DIAGNOSIS KERJA

Bronkiektasis terinfeksi

TB paru BTA (?) lesi luas kasus baru dalam terapi OAT kategori I bulan V

Page 9: bronkiektasis kasus

V. TERAPI

1. Oksigen 2 lpm

2. InfusNaCl 0,9% 20 tpm

3. Inj Ceftriaxone 2gram/24jam

4. Rifampicin/INH 450gr/300 gr

5. Injeksi Ranitidin 500 gram/12 jam

6. Paracetamol 3x500mg

7. NAsetyl cysteine 3x200gr

VI. PLANNING

1. Pemeriksaan sputum BTA 3x

2. Laboratorium darah rutin, SGOT/SGPT, Ureum/Creatinin, elektrolit

3. KUVS/ 8 jam

Page 10: bronkiektasis kasus

BAB II

PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien didiagnosis sebagai Bronkiektasis terinfeksi dan TB

paru BTA (?) lesi luas kasus baru dalam terapi OAT kategori I bulan V. Didapatkan

dari anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik, foto toraks, dan laboratorium

Diagnosa bronkiektasis terinfeksi didapatkan dari anamnesis yaitu batuk

kronis yang produktif (sputum mukoid, purulent dan bercak darah), dispnea sejak ± 7

hari SMRS dan semakin memberat dengan aktivitas sejak 2 hari yang lalu. Sesak

tidak dipengaruhi oleh cuaca dan tidak memiliki riwayat asma. Pasien juga

mengalami demam (+) tinggi 2 hari SMRS. Riwayat penyakit dahulu, pasien

menyangkal adanya riwayat DM, hipertensi, dan penyakit jantung. Riwayat

pengobatan OAT (+) sejak 10 Oktober 2013 sampai sekarang, riwayat mondok (+)

terakhir November 2013 di RSDM diagnose Bronkiektasis terinfeksi TB paru BTA

(+). Riwayat kebiasaan merokok (+) sejak berusia 20 tahun, berhenti 5 tahun yang

lalu. Habis ± 1 bungkus/ hari. Index brinkman 468 (perokok sedang).

Pemeriksaan fisik : pasien terlihat lemas disertai penurunan berat badan. Suhu

tubuh pasien 38.3oC per aksila, pernafasan 24 x per menit. Pada auskultasi ditemukan

ronki basah kasar pada dada kanan kiri bawah.

Pemeriksaan penunjang foto thorax PA/lateral : Tampak honey comb

appearance di paracardial kanan kiri dengan infiltrat di sekitarnya.

Pasien diterapi dengan pemberian O22 lpm, IVFD NaCl 20 tpm, injeksi

ceftriaxone 2 gr/24 jam, N asetyl cysteine 3 x 200 mg peroral, dan paracetamol 3 x

500 mg peroral. Menurut PDPI penderita rawat inap diterapi dengan pemberian terapi

oksigen; pemasangan infus untuk rehidrasi dan elektrolit; pemberian obat

simptomatik antara lain antipiretik dan mukolitik; dan pemberian antibiotik.

Page 11: bronkiektasis kasus

1. Oksigen 2 lpm.Pemberian O2 sesuai dengan hasil AGD nya, didapatkan FiO2

koreksinya 0.16 atau setara dengan udara ruangan

2. Infus NaCl 0,9% 20 tpm

3. Inj Ceftriaxone,adalah golongan sefalosporin generasi 3 yang merupakan

antibiotik empiric, direncanakan untuk melakukan pemeriksaan sputum dan

sensitivitas antibiotik agar terapi empirik bisa diganti dengan terapi spesifik

berdasarkan sensitivitas antibiotiknya.

4. Rifampicin/INH 450gr/300 gr pasien dalam terapi OAT kategori I bulan V

5. Injeksi Ranitidin 500 gram/12 jam, pasien dengan keluhan mual dan ranitidin

merupakan terapi simptomatik

6. Paracetamol 500mg 3x1tab pasien dengan keluhan demam dan paracetamol

merupakan terapi simptomatik

7. NAsetyl Cystein 3x200gr, merupakan mukoprotective. Bekerja sebagai

mukolitik dan anti inflamasi

Page 12: bronkiektasis kasus

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Histologi Sistem Respirasi

Trakea terdiri dari 16 sampai 20 cincin tulang rawan yang berbentuk

setengah lingkaran atau bulan sabit (cresent-shaped). Tulang rawan yang bersifat

elastis kuat ini, bersama-sama membentuk trakea dalam arah anterolateral

sehingga trakea menjadi kaku. Bagian posterior trakea dibentuk oleh jaringan

elastis bersama-sama dengan otot polos. Kedua jaringan ini membentuk suatu

lapisan yang disebut pars membranasea dari trakea. Otot di daerah ini akan aktif

berkontraksi pada saat ekspirasi dalam atau batuk sehingga lumen trakea

menyempit. Pada bagian dalam lapisan otot dan tulang rawan ini didapatkan suatu

lapisan jaringan ikat yang mengandung serabut saraf dan kelenjar mukus. Lebih

dalam lagi ke arah lumen terdapat membran mukosa yang mengandung sel goblet,

sel bersilia, dan terakhir sel-sel epitel. Bronkus dimulai dari bagian distal trakea

yang membagi dua menjadi bronkus utama kanan dan kiri. Selanjutnya bronkus

utama ini membagi diri menjadi bronkus generasi kedua yang disebut bronkus

lobar dengan penampang 0,7 cm, setelah itu terbentuk pula bronkus segmental

dengan penampang 0,5 cm. Generasi keempat merupakan bronkus terakhir diberi

nama bronchus subsegmental, generasi kelima hingga kesepuluh disebut bronkus

kecil dengan penampang 0,1 sampai 0,4 cm. Seperti halnya dengan trakea, tulang

rawan pada bronki besar berbentuk ladam kuda dengan otot polos

menghubungkan kedua ujungnya. Pada bronki yang lebih kecil tulang rawan

berbentuk lempengan kecil, semakin kecil, bentuk tulang rawan juga berubah

membentuk lempeng atau batang kecil, dan pada bronkiolus bentuk tulang rawan

ini hilang sama sekali. Di bagian dalam setiap bronki dijumpai suatu jaringan

yang terbentuk dari jaringan elastis, jaringan retikuler, otot polos, kapiler,

jaringan limfatik, serta serabut saraf. Diantara jaringan tadi dapat dijumpai sel-sel

radang PMN, sel limfosit dan sel mast. Lapisan lebih dalam lagi diapatkan

Page 13: bronkiektasis kasus

membrane basalis dan lapisan epitel, yang terdiri dari sel bersilia dan sel goblet.

Jumlah sel goblet paling banyak ditrakea dan bronki utama, jumlahnya makin

menurun sesuai dengan makin kecilnya bronki. (Mukty, et.al., 2005)

Bronkioli(-us), merupakan generasi ke-11 dengan penampang 0,15

sampai 0,1 cm. Dinding bronkioli mengandung jaringan elastis yang berjalan

secara longitudinal dan menutup serabut-serabut otot polos. Bronkioli yang lebih

kecil membagi diri menjadi bronkioli terminalis dengan penampang alveolaris.

Perubahan yang dilihat pada bronkioli antara lain tulang rawan tidak ada, epitel

berbentuk kuboid dan tidak mempunyai silia. Makin ke perifer, jumlah sel goblet

dan kelenjar mukus makin berkurang. Sekret mukus yang dihasilkan oleh sel

goblet dan kelenjar mukus melapisi bagian luar sel silia. Otot polos merupakan

suatu komponen yang penting di dalam saluran pernapasan. Otot polos terletak di

bagian posterior dan menghubungkan kedua ujung tulang trakea dan bronkus

utama. Pada bronki kecil, bronkioli generasi ke-5 dan seterusnya, serabut otot

polos ini menyusun diri dalam bentuk spiral dan double helical. Bentuk spiral

otot polos ini dapat dijumpai sampai ke alveoli(-us). Duktus alveolaris dan

alveolus merupakan perluasan bronkioli respiratorius. Alveoli yang merupakan

kantung-kantung berdinding tipis tersusun berkelompok pada duktus alveolaris

sehingga struktur yang membentuk keduanya juga serupa. Pada seorang laki-laki

dewasa diperkirakan terdapat 300x106 alveoli dan alveoli ini mengambil tempat

55 sampai 60% dari seluruh volume paru. Dinding alveoli yang disebut juga

alveolar-capillary membrane berperane berperan dalam pertukaran gas dari udara

ke darah. Orang dewasa diperkirakan mempunyai luas alveoli sekitar 80 m2,

begitu pula luas permukaan kapiler sama besarnya. Permukaan alveoli merupakan

tempat biosintesis bahan surfaktan dan terdapat pula sel histiosit dan makrofag

yang bersifat fagositosis. Tebal alveolar-capillary membrane 0,2 sampai 2,5

mikron dan merupakan tempat pertukaran gas secara pasif. Lapisan alveolus dan

endotel kapiler mempunyai hubungan yang sangat erat. Keduanya dihubungkan

oleh jaringan interstitial yang terdiri dari jaringan elastis, retikuler dan kolagen.

Page 14: bronkiektasis kasus

Serabut yang membentuk jaringan intersititial ini dapat mencegah terjadinya

perluasan yang berlebihan dari alveoli serta memberi sifat elastis pada paru.

Alveoli mempunyai ukuran 200 hingga 300 mikron, dan pada dinding alveolus

terdapat suatu lubang yang berhubungan dengan alveolus lain, lubang ini disebut

Porus dari Khon. Lobus paru terdiri dari primary lobules (asini) dan secondary

lobules dari Miller yang terdiri dari 5 sampai 10 asini dengan diameter 1-2 cm.

Terminal respiratory unit merupakan struktur paru yang terletak distal dari

bronkioli terminalis atau disebut juga asinus. Sedangkan secondary lobules

merupakan gabungan dari beberapa terminal respiratory unit. (Mukty, et.al.,

2005)

Selain hal-hal di atas, akan dibahas juga mengenai alveolar-capillary

plexus secara lebih dalam. Arteri pulmonalis merupakan pembuluh darah yang

menyertai saluran pernapasan dan berfungsi membawa darah vena dari ventrikel

kanan ke paru. Setiap arteri pulmonalis memberi cabang kecil ke bronkioli

respiratorius dan berakhir di sakus alveolaris dengan membentuk plexus

capillary. Dengan adanya pleksus ini darah akan lebih efektif memperoleh udara

(oksigen) dari alveoli. Selanjutnya darah yang meninggalkan alveolar- capillary

plexus yang kaya oksigen menuju system vena pulmonalis dan berakhir di atrium

kiri jantung. Pembuluh darah bronkial memberi vaskularisasi untuk paru. Arteri

bronkial yang kaya oksigen juga menyertai saluran pernapasan. Arteri ini

membawa makanan untuk saluran pernapasan sampai ke bronkioli terminalis.

Darah yang berasal dari arteri bronkial ini mengalir ke kapiler dan selanjutnya

menuju sistem pembuluh darah pulmonal atau sistem vena bronkial. Sistem saraf

saluran napas dan paru dilakukan oleh sistem saraf otonom. Ada tiga tipe jalur

yang ditempuh, yaitu aferen otonomik, eferen parasimpatik, eferen simpatik.

Serabut aferen otonomik seperti serabut aferen lain ysng berasal dari stretch

receptor di dalam alveol dan sama dengan reseptor iritan yang berada di bronki

dan bronkioli bersama-sama menuju ke nervus vagus setelah melalui pleksus

pulmonalis. Serabut saraf yang berasal dari reseptor iritan lain, seperti di trakea

Page 15: bronkiektasis kasus

dan reseptor batuk yang berada di laring akan mencapai system saraf pusat

melalui nervus vagus. Kemoreseptor yang berada di sinus karotikus dan arkus

aorta juga akan bergabung dengan serabut aferen. Serabut saraf yang berasal dari

sinus karotikus dan badan karotis melalui nervus glossopharyngeus, sedangkan

reseptor lain yang terdapat di hidung dan sinus paranasalis, serabut aferennya

bergabung di dalam n. trigeminus dan n. glossopharynge us. Semua serabut saraf

eferan parasimpatis yang menuju ke saluran pernapasan bergabung di dalam n.

vagus dan pleksus pulmonalis. Serabut eferen ini akan membawa semua impuls

yang menuju otot polos dan kelenjar yang berada di saluran pernapasan. Impuls

yang bersifat kolinergik menyebabkan kontraksi otot polos bronkial, pengeluaran

sekresi kelenjar dan dilatasi pembuluh darah. Serabut saraf eferen

postganglionikyang bersifat simpatik berasal dari trunkus simpatis langsung

masuk ke toraks melalui ganglia toraksis. Serabut saraf ini, semuanya bersifat

adrenergik dan akan mencapai paru setelah melalui pleksus pulmonalis.

Rangsangan simpatis akan menyebabkan relaksasi otot polos bronkial,

menghambat pengeluaran sekresi dari kelenjar serta menimbulkan vasokonstriksi

pada pembuluh darah. (Mukty, et.al., 2005)

Otot-otot skelet yang membungkus dinding toraks berfungsi untuk

inspirasi dan ekspirasi. Otot inspirasi utama seperti m. intercostalis externus,

yang mempunyai fungsi mengangkat iga (fungsi elevasi). Otot intercartilagineus

parasternalis, merupakan otot elevasi yang menghubungkan bagian antar tulang

rawan iga. Otot pernapasan yang paling penting ialah diafragma, berfungsi

melebarkan rongga dada dalam dimensi longitudinal serta menyebabkan elevasi

tulang iga bagian bawah. Otot inspirasi tambahan ialah m.

sternocleidomastoideus mengangkat sternum ke bagian depan dan atas,

sedangkan m. scalenus anterior, medius, dan posterior, mempunyai fungsi

elevasi serta memfiksir tulang iga bagian atas. Pada saat bernapas biasa,

bernapas normal atau quiet breahing, ekspirasi merupakan gerakan pasif sebagai

hasil dari rekoil paru. Jika ekspirasi dilaksanakan secara pasif, maka otot-otot

Page 16: bronkiektasis kasus

yang berperan adalah m. intercostalis internus kecuali m. intercartilagineus

parasternalis. Kelompok otot ini berfungsi menekan iga ke arah dalam. Otot

abdomen seperti m. rectus abdominis, m. abdominis externa obliqua, m. internal

obliqua dan m. transversus abdominis akan melakukan penekanan pada iga

bagian bawah serta kompresi isi perut. (Mukty, et.al., 2005).

B. Fisiologi Sistem Respirasi

Proses fisiologi pernapasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke

dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi

menjasi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya

campuran gas-gas ke dalam dan keluar paru. Stadium kedua, transportasi, yang

harus ditinjau dari beberapa aspek: (1) difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler

paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan; (2)

distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan distribusi

udara dalam alveoli; dan (3) reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan

darah. Respirasi sel atau respirasi interna, merupakan stadium akhir respirasi,

yaitu saat zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk

sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru. (Wilson,

2007)

Proses ventilasi adalah proses udara bergerak masuk dan keluar paru

karena ada selisih tekanan yang tedapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja

mekanik otot-otot. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena

diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Otot

sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus

dan interkostalis eksternus mengankat iga-iga. Toraks membesar ke tiga arah:

anteroposterior, lateral, dan vertikal. Peningkatan volume ini menybabkan

penurunan tekanan intrapleura, dari sekitar -4 mmHg (relatif terhadap tekanan

atmosfer) menjadi sekitar -8 mmHg bila paru mengembang pada waktu inspirasi.

Pada saat yang sama tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan napas menurun

Page 17: bronkiektasis kasus

sampai sekitar -2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) dari 0 mmHg pada

waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer

menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai tekanan jalan napas pada

akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer. Dan ekspirasi dapat terjadi ketika

rongga toraks berkurang volumenya dan hal ini akan meningkatkan tekanan

intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang

meningkat dan mencapai sekitar 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer.

Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara

mengalir keluar dari paru sampai tekanan jalan napas dan tekanan atmosfer

menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi. Dan perlu diingat bahwa tekanan

intrapleura selalu di bawah tekanan atmosfer selama siklus pernapasan. (Wilson,

2007)

Proses transportasi erat hubungannya dengan proses difusi dan perfusi.

Proses difusi adalah suatu proses di mana gas-gas dalam udara pernapasan

melintasi dinding alveolus. Adanya perpindahan gas ini dapat terjadi oleh karena

adanya kekuatan pendorong untuk pemindahan ini yang berupa tekanan parsial

antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer pada

permukaan laut besarnya sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun,

pada waktu oksigen sampai di trakea, tekanan parsial ini akan mengalami

penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan dilembabkan oleh

jalan napas (760-47 x 0,21) mmHg atau sekitar 149 mmHg. Tekanan uap air

pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan oksigen kapiler (40 mmHg) lebih

rendah daripada tekanan oksigen dalam alveolus (103 mmHg) sehingga oksigen

lebih mudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan tekanan antara CO2 di

kapiler darah (46 mmHg) dan tekanan CO2 di alveolus (40 mmHg) yang jauh

lebih rendah (6 mmHg) menyebabkan CO2 berdifusi je dalam alveolus. Dalam

keadaan istirahat normal, difusi dan keseimbangan antara oksigen di kapiler

darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak

selama 0,75 detik. Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler

Page 18: bronkiektasis kasus

paru membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran

darah) dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi unit pulmonar

harus sesuai. Sirkulasi pulmonar dengan tekanan dan resistensi rendah

mengakibatkan aliran darah di basis paru lebih besar daripada di apeks paru, hal

ini disebabkan oleh karena gaya tarik bumi. Pada orang normal dengan posisi

tegak dan dalam keadaan istirahat, ventilasi dan perfusi hampir seimbang kecuali

pada apeks paru. Rasio antara ventilasi dan perfusi dinilai sebesar V/Q = 0,8.

Angka ini didapatkan dari rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal

(4L/menit) dibagi dengan curah jantung normal (5L/menit). Menurut konsep

V/Q, ada 3 macam kelainan akan ventilasi dan perfusi, yaitu suatu unit ruang

mati, unit pirau, dan unit diam. Dikatakan sebagai unit ruang mati jika rasio V/Q

tidak terhingga karena laju ventilasi normal tetapi laju perfusi tidak ada. Unit

pirau adalah jika rasio V/Q adalah nol (0) karena laju ventilasi tidak tetapi

perfusi normal sehingga perfusi terbuang sia-sia. Dan terdapat unit diam yaitu

suatu keadaan saaat tidak terdapat ventilasi maupun perfusi. Hal tersebut

merupakan kasus ekstrim, ada suatu gabungan dari kasus-kasus tersebut

sehingga memberikan suatu keadaan ruang mati dengan rasio V/Q lebih dari 0,8

dan suatu keadaan pirau dengan rasio V/Q kurang dari 0,8. (Wilson, 2007)

Selain adanya ventilasi dan perfusi, penting diketahui pula adanya

transpor oksigen dalam darah. Oksigen diangkut dari paru ke jaringan-jaringan

melalui 2 cara, yaitu secara fisik larut dalam plasma atau secara kimia berikatan

dengan Hb sebagai oksiHb (HbO2). Ikatan Hb dengan oksigen inilah

memberikan kontribusi sebesar 99% dalam proses transportasi. Ikatan antara Hb

dengan O2 bersifat reversibel dan jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam

HbO2 memiliki hubungan nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah

arteri (PaO2), yang ditentukan oleh jumlah O2 yang secara fisik larut dalam

plasma darah. Selanjutnya jumlah O2 yang larut dalam plasma mempunyai

hubungan langsung dengan tekanan parsial oksigen dalam alveolus (PAO2).

Jumlah O2 juga ditentukan oleh daya larutnya dalam plasma. Hanya sekitar 1%

Page 19: bronkiektasis kasus

dari jumlah O2 total yang diangkut ke jaringan-jaringan ditranspor dengan cara

ini. Satu gram Hb dapat mengikat 1,34 mL O2. Konsentrasi Hb rata-rata dalam

darah laki-laki dewasa sekitar 15 g per 100 mL sehingga 100 mL darah dapat

mengangkut (15 x 1,34) atau sekitar 20,1 mL O2 bila O2 jenuh (SaO2) adalah

100%. Tetapi sedikit darah vena campuran dari sirkulasi bronkial ditambahkan

ke darah yang meninggalkan kapiler paru dan sudah teroksigenasi. Proses

pengenceran ini menjelaskan mengapa hanya kira-kira 97% darah yang

meninggalkan paru menjadi jenuh sehingga hanya 19,5(0,97 x 20,1) vol% yang

diangkut ke jaringan. Pada tingkat jaringan, oksigen akan melepaskan diri dari

Hb ke dalam plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk

memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan

bervariasi, namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan oksigen pada waktu

Hb kembali paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25% O2

dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hb yang telah

melepaskan O2 pada tingkat jaringan disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi ini

berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, seperti yang

kita lihat pada vena superfisial, misalnya pada tangan, sedangkan HbO2

berwarna merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada darah

arteri. (Wilson, 2007).

C. Tanda dan Gejala Umum Penyakit pada Sistem Respirasi

Tanda dan gejala yang paling umum yang terdapat pada penyakit-

penyakit dalam sistem respirasi adalah batuk, pengeluaran sputum, hemoptisis,

dispnea, dan nyeri dada. Walaupun masih ada banyak tanda khas lainnya pada

penyakit system respirasi tetapi tanda-tanda tersebut merupakan tanda-tanda

yang paling khas. Berikut akan sedikit dibicarakan mengenai tanda-tanda

tersebut. Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi

percabangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme

yang penting untuk membersihkan saluran napas bagian bawah, dan banyak

Page 20: bronkiektasis kasus

orang dewasa normal yang batuk beberapa kali setelah bangun tidur pada pagi

hari untuk membersihkan trakea dan faring dari sekret yang terkumpul selama

tidur. Batuk juga merupakan gejala tersering penyakit pernapasan. Segala jenis

batuk yang berlangsung lebih dari tiga minggu harus diselidiki untuk

memastikan penyebabnya. Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk

adalah rangsangan mekanik, kimia, dan peradangan. Inhalasi asap, debu, dan

benda-benda asing kecil merupakan penyebab batuk yang paling sering. Perokok

seringkali menderita batuk kronik karena terus menerus mengisap benda asing

(asap), dan saluran napasnya sering mengalami peradangan kronik. Rangsangan

mekanik dari tumor (ekstrinsik maupun intrinsik) terhadap saluran napas

merupakan penyebab lain yang dapat menimbulkan batuk (tumor yang paling

sering menimbulkan batuk adalah karsinoma bronkogenik). Setiap proses

peradangan saluran napas dengan atau tanpa eksudat dapat mengakibatkan batuk.

Bronkitis kronik, asma, tuberkulosis, dan pneumonia merupakan penyakit yang

secara tipikal memiliki batuk sebagai gejala yang mencolok. Batuk dapat bersifat

produktif, pendek, dan tidak produktif, keras dan parau (seperti ada tekanan pada

trakea), sering, jarang, atau paroksismal (serangan batuk yang intermiten).

(Wilson, 2007)

Orang dewasa normal menghasilkan mukus sekitar 100 mL dalam

saluran napas setiap hari. Mukus ini diangkut menuju faring dengan gerakan

pembersihan normal silia yang melapisi saluran pernapasan. Kalau terbentuk

mukus yang berlebihan, proses normal pembersihan mungkin tidak efektif lagi

sehingga akhirnya mucus tertimbun. Bila hal ini terjadi, membran mukosa akan

terangsang dan mukus dibatukkan keluar sebagai sputum. Pembentukan mukus

yang berlebihan mungkin disebabkan oleh gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi

pada membran mukosa. Kapan saja seorang pasien membentuk sputum, perlu

dievaluasi sumber, warna, volume, dan konsistensinya. Sputum yang dihasilkan

sewaktu membersihkan tenggorokan kemungkinan besar berasal dari sinus atau

saluran hidung, dan bukan dari saluran napas bagian bawah. Sputum yang

Page 21: bronkiektasis kasus

banyak sekali dan purulen menyatakan adanya proses supuratif, seperti abses

paru, sedangkan pembentukan sputum yang terus meningkat perlahan dalam

waktu bertahun-tahun merupakan tanda bronkitis kronik atau bronkiektasis.

Warna sputum juga penting. Sputum yang berwarna kekuning-kuningan

menunjukkan infeksi. Sputum yang berwarna hijau merupakan petunjuk adanya

penimbunan nanah. Warna hijau timbul karena adanya verdoperoksidase yang

dihasilkan oleh leukosit polimorfonuklear (PMN) dalam sputum. Sputum yang

berwarna hijau sering ditemukan pada bronkiektasis karena penimbunan sputum

dalam bronkiolus yang melebar dan terinfeksi. Banyak penderita infeksi pada

saluran napas bagian bawah mengeluarkan sputum berwarna hijau pada pagi hari

tetapi semakin siang semakin menjadi kuning. Fenomena ini mungkin

disebabkan karena penimbunan sputum yang purulen di malam hari, disertai

pengeluaran verdoperoksidase. Sifat dan konsistensi sputum juga dapat

memberikan informasi yang berguna. Sputum yang berwarna merah muda dan

berbusa merupakan tanda edema paru akut. Sputum yang berlendir, pekat dan

berwana abu-abu atau putih merupakan tanda bronkitis kronik. Sedangkan

sputum yang berbau busuk merupakan anda abses paru akut atau bronkiektasis.

(Wilson, 2007).

Sputum dapat bercampur dengan darah atau dapat juga seluruh cairan

yang dikeluarkan dari paru berupa darah. Hemoptisis adalah istilah yang

digunakan untuk menyatakan batuk darah atau sputum yang berdarah. Setiap

proses yang mengganggu kesinambungan pembuluh darah paru dapat

mengakibatkan perdarahan. Batuk darah merupakan suatu gejala yang serius dan

dapat merupakan manifestasi pertama dari tuberculosis aktif. Penyebab

hemoptisis lain yang sering adalah karsinoma bronkogenik, infark paru,

bronkiektasis, dan abses paru. Sputum yang mengandung darah (sehingga

berwarna seperti karat) merupakan cirri khas yang dapat ditemukan pada

pneumonia pneumokokus. Sputum yang terlihat seperti jelly buah kismis (merah

bata) terdapat pada pneumonia Klebsiella. Jika darah atau sputum yang

Page 22: bronkiektasis kasus

mengandung darah dibatukkan, perlu ditentukan apakah memang sumbernya

berasal dari saluran napas bagian bawah dan bukan dari saluran hidung atau

saluran cerna. Darah yang berasal dari saluran cerna (hematemesis) biasanya

berwarna gelap (seperti warna kopi) dan disertai mual, muntah, dan anemia.

Darah yang berasal dari saluran napas bawah (di bawah glotis) biasanya

berwarna merah cerah, berbusa, dan terdapat riwayat batuk dengan atau tanpa

anemia. Darah yang berasal dari saluran napas atas (misalnya, darah dari hidung

setelah tonsilektomi) bila sering ditelan, dapat terlihat seperti darah dari bagian

pencernaan ketika dimuntahkan. (Wilson, 2007).

Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan

gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Seorang yang mengalami dispnea

sering mengeluh napasnya menjadi pendek atau merasa tercekik. Gejala objektif

sesak napas termasuk juga penggunaan otot-otot pernapasan tambahan

(sternokleidomastoideus, scalenus, trapezius, pectoralis mayor), pernapasan

cuping hidung, takipnea, dan hiperventilasi. Sesak napas tidak selalu

menunjukkan adanya penyakit; orang normal akan mengalami hal yang sama

setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat-tingkat yang berbeda. Pemeriksa

harus dapat membedakan sesak napas dari gejala dan tanda lain yang mungkin

memiliki perbedaan klinis yang mencolok. Takipnea adalah frekuensi

pernapasan yang cepat, lebih cepat dari pernapasan normal (12 hingga 20 kali

per menit) yang dapat muncul dengan atau tanpa dispnea. Hiperventilasi adalah

ventilasi yang lebih besar daripada jumlah yang dibutuhkan untuk

mempertahankan pengeluaran CO2 normal, hal ini dapat diidentifikasi dengan

memantau tekanan parsial CO2 arteri, atau tegangannya (PaCO2), yaitu lebih

rendah dari angka normal (40 mmHg). Dispnea sering dikeluhkan pada sindrom

hiperventilasi yang sebenarnya merupakan seseorang yang sehat dengan stres

emosional. Selanjutnya, gejala lelah yang berlebihan juga harus dibedakan

dengan dispnea. Seseorang yang sehat mengalami lelah yang berlebihan setelah

melakukan kegiatan fisik dalam tingkat yang berbeda-beda, dan gejala ini juga

Page 23: bronkiektasis kasus

dapat dialami pada penyakit kardiovaskular, neuromuskular, dan penyakit lain

selain paru. Sumber penyebab dispnea bisa bermacam-macam, misalnya: (1)

reseptor-reseptor mekanik pada otot- otot pernapasan, paru, dan dinding dada;

dalam teori tegangan panjang, elemen-elemen sensoris, gelondong otot pada

khususnya, berperan penting dalam membandingkan tegangan dalam otot dengan

derajat elastisitasnya; dispnea terjadi jika tegangan yang ada tidak cukup besar

untuk satu panjang otot (volume napas tercapai); (2) kemoreseptor untuk

tegangan CO2 dan O2 (PCO2 dan PO2) (teori hutang oksigen); (3) peningkatan

kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkatnya rasa sesak napas;

dan (4) ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi.

Mekanisme tegangan panjang yang tidak sesuai adalah teori yang paling banyak

diterima karena teori tersebut menjelaskan paling banyak kasus klinis dispnea.

Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan dispnea bergantung

pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat, jenis latihan fisik, dan terlibatnya

emosi dalam melakukan hal tersebut. Selain itu, terdapat beberapa variasi gejala

umum dispnea. Ortopnea adalah sesak napas pendek yang terjadi pada posisi

berbaring dan biasanya keadaan diperjelas dengan penambahan sejumlah bantal

atau penambahan elevasi sudut untuk mencegah perasaan tersebut. Penyebab

tersering ortopnea adalah gagal jantung kongestif akibat peningkatan volume

darah di vaskularisasi sentral pada posisi berbaring. Ortopnea juga merupakan

gejala yang sering muncul pada banyak gangguan pernapasan. Ada juga bentuk

lain berupa dispnea nokturnal paroksismal menyatakan timbulnya dispnea pada

malam hari dan memerlukan posisi duduk dengan segera untuk bernapas.

Membedakan dispnea nokturna paroksismal dengan ortopnea adalah aktu

timbulnya gejala setelah beberapa jam dalam posisi tidur. Penyebabnya sama

dengan penyebab ortopnea yaitu gagal jantung kongestif, dan waktu timbulnya

yang terlambat itu karena mobilisasi cairan edema perifer dan penambahan

volume intravascular pusat. Pasien dengan gejala utama dispnea biasanya

memiliki satu dari keadaan ini, yaitu penyakit kardiovaskular, emboli paru,

Page 24: bronkiektasis kasus

penyakit paru interstitial atau alveolar, gangguan dinding dada dan otot-otot,

penyakit obstruktif paru, atau kecemasan. Dispnea adalah gejala utama edema

paru, gagal jantung kongestif, dan penyakit katup jantung. Emboli paru ditandai

dengan dispnea mendadak. Dispnea merupakan gejala paling nyata pada

penyakit yang menyerang percabangan trakeobronkial, parenkim paru, dan

rongga pleura. Dispnea biasanya dikaitkan dengan penyakit restriktif yaitu

terdapat peningkatan kerja pernapasan akibat meningkatnya resistensi elastic

paru (pneumonia, atelektasis, kongesti) atau dinding dada (obesitas,

kifoskoliosis) atau pada penyakit jalan napas obstruktif dengan meningkatnya

resistensi nonelastik bronchial (emfisema, bronkitis, asma). Tetapi jika beban

kerja pernapasan meningkat secara kronik maka pasien yang bersangkutan dapat

menyesuaikan diri dan tidak mengalami dispnea. Dispnea juga bisa terjadi jika

otot pernapasan lemah, misalnya pada miastenia gravis, selain itu juga pada

lumpuh (pada poliomielitis, sindrom Guillain-Barre), letih akibat meningkatnya

kerja pernapasan, atau otot pernapasan kurang mampu melakukan kerja mekanis

(contohnya, emfisema yang berat atau pada obesitas). (Wilson, 2007).

Ada berbagai penyebab nyeri dada tetapi nyeri dada yang paling khas

pada penyakit paru adalah nyeri akibat radang pleura (pleuritis). Hanya lapisan

parietalis pleura yang merupakan sumber nyeri karena pleura viseralis dan

parenkim paru dianggap sebagai organ yang tidak peka. Umumnya pleuritis

terjadi mendadak tetapi juga dapat timbul secara bertahap. Nyeri terjadi pada

tempat yang mengalami peradangan dan biasanya tempat peradangan dapat

diketahui dengan tepat. Nyeri itu bagaikan teriris-iris dan tajam, diperberat

dengan batuk, bersin dan napas yang dalam sehingga pasien sering bernapas

cepat dan dangkal serta menghindri gerakan-gerakan yang tidak diperlukan.

Nyeri dapat sedikit diredakan dengan menekan daerah yang terkena peradangan

tersebut. Penyebab utama nyeri pleuritik ini adalah infeksi paru atau infark

meskipun keadaan seperti itu juga dapat diderita tanpa timbulnya nyeri. Pasien

dengan pneumotoraks atau ateletaksis yang berat kadang-kadang dapat

Page 25: bronkiektasis kasus

mengalami nyeri dada yang diduga akibat tarikan pada pleura parietalis karena

adanya perlekatan dengan pleura viseralis. Nyeri pleura harus dibedakan dari

penyebab nyeri dada yang lain, seperti iskemia miokardial, perikarditis,

kostokondrosis, dan herpes zoster (disebabkan terkenanya nervus interkostalis).

(Wilson, 2007)

D. Bronkhiektasis

Bronkiektasis adalah pelebaran (dilatasi) yang ireversibel dari bagian

saluran jalan nafas (bronkus) akibat kerusakan dari dinding jalan nafas.

Penyebab tersering adalah infeksi saluran nafas berulang yang berat. Beberapa

orang akan menunjukkan batuk kronik, dan beberapa biasanya muncul batuk

berdarah dan memiliki nyeri dada, dan berulangnya episode pneumonia. Foto

thorax biasanya akan selalu dilakukan untuk mencari kelainan yang ada dan

beratnya kelainan. Biasanya banyak orang akan menggunakan antibiotik dan

obat-obatan lain untuk menekan mucus (Hay, 2004)

Bronkiektasis akan terjadi apabila kondisi kerusakan baik secara langsung

maupun tidak langsung dari dinding bronkus tidak dapat dipertahankan secara

normal. Pertahanan normal antara lain adalah cilia sepanjang dinding saluran

nafas. Cilia ini akan bergerak dan menghalau balik kemudian menggerakkan

cairan mukus yang dihasilkan secara normal dari saluran nafas. Mukus ini akan

membawa partikel berbahaya dan bakteri yang terperangkap di dalam mukus

dari dalam menuju keluar tenggorokkan dan akan dibatukkan ataupun

dibersinkan (Bradley dan Nelson, 2004).

Baik kerusakan jalan nafas langsung maupun tidak langsung, area bronkus

telah terjadi kerusakan dan mengalami inflamasi kronik. Inflamasi ini akan

menyebabkan bronkus menjadi tidak elastik, yang menyebabkan jalan nafas

menjadi lebar dan dan menghasilkan kantong kecil seperti balon kecil.

Peradangan juga menghasilkan sekresi mukus yang banyak. Karena sel-sel yang

mengandung silia tersebut mengalami kerusakan atau hancur, sekresi mucus ini

Page 26: bronkiektasis kasus

akan terkumulasi pada jalan nafas yang melebar dan menjadi tempat

berkembangnya kuman-kuman bakteri (Bradley dan Nelson, 2004).

Bakteri juga mengakibatkan kerusakan dinding bronkus yang lebih parah

dan menyebabkan suatu lingkaran setan berupa infeksi berulang dan berlanjutnya

kerusakan jalan nafas (Bradley dan Nelson, 2004).

E. Etiologi

Bronkiektasis sering mulai terjadi pada anak-anak namun dapat juga terjadi

pada awal kehidupan dewasa. Yang paling sering menyebabkan kerusakan

cabang-cabang bronkhial adalah kejadian pasca infeksi seperti tuberkulosis,

pneumonia bakteri ataupun virus, komplikasi gondongan ataupun pertusis

Bronkiektasis juga berhubungan dengan beberapa kelainan congenital-for

instance, sindrom Kartagener (kondisi dextrokardia dan sinusitis) Sindrom

Williams-Camnbell dan kelainan segmen paru. Obstruksi berupa karsinoma,

stenosis tuberculus, inhalasi benda asing akan menyebabkan pulmo menjadi

kolaps dan infeksi sekunder menyebabkan terjadi bronkiektasis. Infeksi sinus

berulang juga bisa menyebabkan hal tersebut (Kadarac, 2004).

Bronkiektasis dapat menyebabkan komplikasi yang lebih parah berupa

fibrosis kistik atau defisiensi imun yang berat seperti hipo-gammaglobulinemia.

Bronkiektasis yang terjadi pada bronkus proximal biasanya diakibatkan oleh

penyakit alergi pada bronkopulmonari aspergilosis (Hay, 2003).

F. Gejala dan Tanda

Gejala bronkiektasis adalah batuk disertai produksi dahak. Kadang berupa

hemoptisis dan gejala umum seperti bronchitis berupa wheezing dan dyspnoe.

Kondisi umum pasien lemah dan memiliki jari tabuh. Biasanya terdengar

krepitasi di atas area sekresi (Hay, 2003)

Pada gambaran foto thorak akan tampak pada posisi posterior-anterior dan

lateral berupa bayangan tubulus atau cincin, atau corakan bronkovaskular yang

Page 27: bronkiektasis kasus

abnormal. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan bronkography, namun hal

tersebut tidak nyaman dilakukan, sehingga hanya dilakukan pada pasien yang

akan diterapi bedah saja (Kadarac, 2004).

G. Tatalaksana

Penatalaksanaan dapat dengan pengobatan maupun pembedahan. Bila

pasien memiliki gejala sedang atau berat, dimana kondisi tubuh bagus,masih

memiliki fungsi paru yang bagus dan hasil bronkografi jelas menyebutkan

lokasi kelainannya maka pasien dapat dilakukan pembedahan untuk mereseksi

lobus paru yang terkena. Jika fungsi paru pasien tersebut masih memungkinkan

maka hanya disisakan satu lobus, lobus paru kiri dan lingula atau lobus kanan

bawah dan lobus tengah.

Pada kasus yang dipilih dengan hati-hati akan memberikan hasil yang

baik, dan pengobatan secara medis seumur hidup dapat dihindarkan. Semua

pasien ini harus mendapatakan pengobatan intensif sebelum dilakukan operasi

(Kadarac, 2004).

Beberapa kasus bronkiektasis tidak dapat dilakukan terapi pembedahan

karena fungsi parunya sangat buruk atau bisa juga karena infeksi yang telah

menyebar luas. Aspek penting dari pengobatan medis adalah drainase postural

secara rutin pada segmen atau lobus paru yang terkena. Untuk mendrainase

bronkus basal pasien harus meninggikan kaki di tempat tidur, tempat tidur

khusus sangat membantu pada terapi ini. Di rumah pasien disarankan untuk

menggunakan bantal yang tipis (Kadarac, 2004).

Lobus tengah dan lingula didrainase dengan cara berbeda, yaitu pasien

tiduran terlentang, kaki ditinggikan dan bantal diletakkan di bawah lapang paru

yang terkena. Pasien harus mempertahankan posisi tersebut selama 10-15 menit

malam dan pagi dan selama waktu itu pasien harus mengambil nafas dalam dan

batuk untuk mengeluarkan dahak.

Page 28: bronkiektasis kasus

Jika memungkinkan, meminta bantuan orang lain untuk menepuk-nepuk

dada supaya membantu melegakan dada. Drainase postural membutuhkan

waktu lebih dan kesabaran pasien, kadang dia perlu ketekunan dengan rutinitas

tersebut. Selama fisioterapi bila mendapatkan kondisi eksaserbasi akut maka

terapi perlu ditingkatkan menjadi empat kali sehari (Kadarac, 2004)

Tabel 1. Bagan Pemberian Antibiotik Berdasarkan Organisme Penyebab

(menurut Hay, 2003)

Bakteri Penyebab Obat Pilihan Obat Alternatif

Haemophilus

influenzae (banyak

yang resisten terhadap

Kotrimoksazole)

Amoxycillin 500 mg 4

kali sehari selama 10 hari

Tetracyclin 500 mg 4 kali

sehari

Staphilococcus aureus Cloxacillin 500 mg 4 kali

sehari

Bakteri anaerob

patogen

Metronidazole 800 mg 3

kali sehari

Flora normal traktus

respiratori dan

Pseudomonas

aeroginosa

Antibiotik general secara

intermiten

Pasien di rumah

dengan bronchiectasis

Amoxycillin selama 10

hari

Kebanyakan kuman patogen di dalam sputum pasien dengan bronkiektasis

adalah Haemophilus influenza, Staphylococcus aureus dan Streptococcus

pneumonia. Organisme anaerobik juga perlu diperhatikan. Semua pasien dengan

bronkiektasis sebaiknya rutin melakukan pemeriksaan kultur sputum baik bakteri

Page 29: bronkiektasis kasus

aerob maupun anaerob. Jika bakteri patogen ditemukan dalam kultur sputum

maka antibiotik yang sesuai harus diberikan (Karadac et al, 2004)

Pasien dengan volume sputum yang besar dimana terapi sederhana di

rumah gagal, maka perlu dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan

intensif. Mereka akan mendapatkan terpai yang intensif berupa fisioterapi dan

antibiotic lain selama 4 hinga 6 kali perhari. Antibiotik yang diberikan adalah

Benzylpenicillin 600 mg 4 kali per hari dan Streptomycin 0-5 gram dua kali per

hari secara intra muscular untuk 10 hingga 14 hari, atau kloramfenikol 500 mg 4

kali per hari selama 10 hari (Hay, 2003)

Beberapa pasien yang terinfeksi Pseudomonas aeroginosa akan sangat

membantu bila diberi Gentamicin 2 mg/kgBB 3 kali sehari dalam waktu sepuluh

hari dan Carbenicillin 5 gram 4 kali sehari. Sputum akan banyak berkurang dan

keadaan umum pasien akan meningkat, namun demikian organism di dalam

sputum tidak semuanya tereliminasi (Bradley dan Nelson, 2004).

Beberapa pasien dengan keadaan yang berat akan lebih menunjukkan

perkembangan yang lebih baik dengan penggunaan kemoterapi jangka panjang.

Tetracycline di sisi lain, yaitu 250 mg atau 500 mg 4 kali per hari untuk dua hari

dapat juga diberikan. Pengobatan ini boleh diteruskan bila keadaan pasien benar-

benar membaik. Pasien dengan penyakit alergi bronkopulmonari aspergilosis

perlu diberikan steroid untuk mencegah kerusakan dinding bronchial di masa

yang akan datang. Dan pada pasien dengan hipogamaglobulinemia bisa diberikan

gamaglobulin (Hay, 2003)

Semua pasien bronkiektasi harus disarankan untuk tidak merokok. Sepsis

pada paranasal sinus dan gigi harus segera dieliminasi. Semua pasien juga harus

diperiksa volume FEV1 (forced expiratory volume in one second) dan FVC

(forced vital capacity) sebelum dan sesudah mendapat Salbutamol untuk melihat

apakah mereka memiliki obstruksi jalan nafas yang reversible (Hay, 2003)

Jika mereka menunjukkan peningkatan maka mereka harus mendapatkan

terapi inhalasi salbutamol sebelum melakukan darinase postural. Mereka juga

Page 30: bronkiektasis kasus

harus mendapatkan imunisasi Influenza pada musim gugur, dan mereka harus

memiliki standar umum nutrisi dan perawatan di rumah yang adekuat.

H. Komplikasi

Komplikasi dari bronkiektasis meliputi gejala eksaserbasi akut dan

pneumonia. Sinusitis kadang sering menyertai dan hal itu harus segera diobati.

Hemoptisis juga biasanya terjadi dan dapat mengancam. Biasanya keadaan

tersebut sangatlah berat dan biasanya dapat hilang hanya dengan pemberian

antibiotik bagi penyakit infeksi yang mendasari, jika tidak dapat diatasi maka

perlu dilakukan pembedahan (Karadac et al, 2004)

Komplikasi yang jarang terjadi adalah empiema, abses otak, dan

amiloidosis. Banyak pasien yang mengalami cor-pulmonale setelah beberapa

tahun menderita sepsis dan hipoksemia arterial.

I. Pencegahan

Semua episode dari infeksi pulmo dan kolapnya pulmo harus segera

diobati secara adekuat, terutama pada anak-anak. Anak-anak harus diberi

imunisasi seperti pertusis. Seseorang yang dicurigai menghisap benda asing harus

dilakukan bronkoskopi. Pasien dengan penyakit alergi bronkopulmonari

aspergilosis harus dikoreksi secara rutin dan diobati secepatnya (Hodson, 1978;

Hay, 2003)

Page 31: bronkiektasis kasus

DAFTAR PUSTAKA

Karadag, B., Karakoc aF., Ersu aR., Kut aA., Bakac bS., & Dagli, aE. 2004. Non-

Cystic-Fibrosis Bronchiektasis in Children : A Persisting Problem in Developing

Countries. Respiration Edisi 72, dipublikasikan 22 April 2004. Istanbul : Divisi of

Pediatric, Mamara University and Division of Pediatric Pulmonology; 233-8.

Hodson, M.E. 1978. Bronchiectasis and Cystic Fibrosis. Disease of the Respiratory

System. London : British Medical Journal 1; 971-8.

Hay, W.W., Myron J., Lewis J.M. & Sondheimer R.R.D. 2003. Bronchiectasis.

Curent Diagnosis & Treatment in Pedriatics 8th Edition. New York : Lange; 509-

10.

Bradley, J.S & Nelson, J.D. 2005. Nelson’s Packet Book of Pedriatic Antimikrobial

Therapy. New York : Lippincot Williams & Wilkins.

Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H.

Hartanto, et.al.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi

11.Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Maitra, A., V. Kumar. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. Dalam: Kumar, V., R. S.

Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan

B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 509-70.

McFadden, E. R. 2007. Penyakit Asma. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J.

D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-

Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et.

al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1311-8.

Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology.

Edisi 11.New York: Harper&Row, Publishers.