Post on 01-Nov-2020
BERDAMAIDENGAN SALIBMembedah loanes Rakhmatdan Menyapa Umat
Joas Adiprasetya
Adipraset ya. Ioas
Berdamal dengan Salib: Membedah Ioanes Rakhrnat dan Menyapa Umat /
oleh Joas Adiprasetya.
-Cet. I-Jakarta: Grafika Kreaslndo & UPI-STT Jakarta, 2010.
loas Ad iprasetya
BERDAMAIDENGAN SALIB
xv + 175 hal.; 5.5xB inch
I. Soteriologi Salib 2. Pendamaian
I. Iudul.232.3
3. Kekerasan 4.loanes Rakhmat
Membedah ioanes Rakhmatdan Menyapa Umat
ISBN 978-602-97012-0-3
BEI1DAMAT DENGAN SALIS
Membedah Ioanes Rakhmat dan Menyapa Umat
Diterbitka n oleh:
Grafika Kreaslndo
grafika.kreasindo@gmail.com
dan
UPI-STT Jakarta
u pi@sttjakarta.ac.id
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang
Cetakan pertarna: 2010
Hancangan sampul: Disti Anindita ~ Grafika Kreaslndo •
Jakarta, 2010
Prakata
SATU Pendahuluan 5
Karakter Buku Ini: Generous Critique 5
Bagaimana Buku Ini Dirancang? 8
D U A Membedah Soterlologi Salib:
Sebuah Rangkuman 12
Sekilas tentang Si Pembedah 12
Sebuah Rangkuman 14
TI GA Survel atas Model-Model Pendamalan Klasik 26
Tiga Model Pendamaian 27
Kristus Pemenang 28
Pengembalian 33
Pengaruh Moral 39
Masih Adakah Alternatif Lain? 42
Irenaeus: Karya Kristus sebagai
Rekapitulasi 44
Julian dari Norwich: Hamba yang Jatuh
dan Than yang Muran Hati 46
IX
EM PAT Salib dan Kekerasan:
Diskusi Kontemporer 49
Solidaritas Yesus sebagai Korban/Kurban
Christus Victor Naratif 60
Salib, Kekerasan dan Tritunggal 63
APENDIKS ResponsSingkatAtasEdisiKedua 129
SATU51
Salib, Kekerasan dan Teologi Feminis 68
TUJ U H Menyapa Umat:
Berdamai dengan Salib 139
Wajah Ganda Salib 139
Koherensi: Teologi Salib 143
Menuju Galilea: An Inconclusive Conclusion 1<17
JoAnne Marie Terrell: Dimensi Sakramental Salib 69
Deanne A. Thompson: Teologi Sa lib Feminis 71
LIMA Membedah Ioanes Rakhmat (1):
Penilaian Umum 75
Generalisasi Terburu-Buru 75
Quid est Veritas? 83
PerspektifPragmatis: Kekerasan 85
Perspektif Korespondensi: Yesus Sejaran dan Rasio 86
Perspektif Koherensi: Dua Sis tern Berbeda 90
Kesimpulan Sementara Bagian lni 93
Soteriologi Alternatif? 97
APENDIKS
DUASaat Kebangkitan Yesus Dipertanyakan
Dikoromi Metafora vs. Scjarah 158
Pembuktian Sejarah 158
Metafora 160
Demonstrasi Historis atau Keputusan Iman?
Menujut sebuali Konuergensi 162
Dikotomi Objektif vs. Subjektif 164
Dikotomi Tubuh dan Roh 168
Penutup 17J
152
Daftar Pustaka 1742
ENAM Membedah Ioanes Rakhmat (2):
Sisa-Slsa Operasi Bedah 99
Isu-IsuyangMunculBabdemi Bab 100
Surga dan Neraka 100
[arurn lam: Sejarah dan Kekekalari 106
DosaAsal 108
Pendamaian Salib dan Moralitas 112
Yesus yang Gagal dan Tak Ingin Mati 115
Disonansi Kognitif 123
X XI
SATU
Pendahuluan
Memang pedih dan perih! Tubuh itu terpecah-pecah.
Darah itu tertumpah. Eloi, eloi, lama sabakhtani! Tetapi
mesti terus! Mesti bertahan terus! Sebab di dalam
persekutuan dengan Tuhan, jerih lelah kita, ratap tangis
kita, keluh kesah kita, peluh dan darah kita, tidak akan sia-
sia. Dijamin! (Eka Darmaputera)
Jiirgen Moltrnann, penulis buku The Crucified God, suankali bercerita tentang sebuah surat yang diterimanya dar
seorang teolog bernama Robert McAfee Brown. Surat itu berissebuah kisah yang terjadi di San Salvador, terkait dengan buki
Moltmann di atas:
Pad a t~nggal 16 November 1989, enam orang imam Jesuit
yang terkemuka, bersama dengan penjaga rumah dan anak
perempuannya, dibantai secara brutal di universitas di sana
oleh sekelompok tentara. Rektor universitas itu, Romo Ignacio
Ellacuria, merupakan salah satu dari mereka. Jon Sobrino luput
dari pembantaian itu karen a ia tengah berada di luar negeri pada
2 I BERDAMAI DENGAN SALIBI
PENDAI-IULUAN I
sa at itu. Surat itu pun berlanjut: "Para pembunuh menyeret tubuh-
tubuh itu kembali ke dalam gedung. Sementara mereka menyeret
tubuh Ramon Moreno ke dalam kamar Jon, mereka membentur
sebuah rak buku dan menjatuhkan sebuah buku ke lantai, yang
segera terkotori oleh darah martir itu. Pad a pagi harinya, ketika
orang-orang memungut buku itu, mereka menemukan bahwa
buku itu berjudul The Crucified God." Dua tahun kemudian saya
[Molt mann) mengadakan ziarah ke makam para martir itu dan
menemukan buku saya, Il Dio Crucificado, tergeletak di sana,
di bawah kaca, sebagai sebuah tanda dan simbol dari apa yang
sesungguhnya terjadi di tempat ini. (Moltmann 2006b, 134)
buku tandingan atas karyanya tersebut. Tantangan inidiulanginya lagi dalam situs Facebook-nya. Ia menulis denganlantang,
... ya. di dalam buku MSS [Membedah Soteriologi Salibj itu saya
juga sudah menantang orang yang berkeberatan terhadap buku
itu untuk menulis sebuah buku tandingan. Tampaknya tantangan
saya ini mustahil dijawab oleh para birokrat gereja yang sudah
tidak pernah membaca buku-buku teologi mutakhir. (Rakhmat
2010d)
Kisah yang menyedihkan dan sekaligus mengesankan inimampu berbicara banyak tentang makna salib yang di atasnyaAllah di dalam Yesus Kristus tersalibkan. Sudah sejak awalkehadiran kekristenan di muka bumi ini, salib Yesus menjadibagian dari identitas kekristenan. Dengan mengakui kepahitansa lib itu, orang-orang Kristen segala abad dan temp at sekaligusingin mengakui bahwa peristiwa itu tak memalukan bagi imanmereka. Sebaliknya, mereka menegaskan bahwa keselamatanyang mereka terima melalui kebangkitan Yesus berlangsungsetelah penderitaan dan kematian Yesus di atas kayu salib.Dan justru karena salib Kristus itu, penyaliban-penyal'banlainnya tak seharusr.ya terulang lagi. Salib lantas bermaknasoteriologis setelah awan pekat Golgota itu sirna dan bergantidengan fajar baru di subuh Hari Minggu itu. Dalam pengakuandan semangatyang sarna buku ini ditulis.
Buku ini memiliki dua tujuan utama. Pertarna, ia inginmenjawab undangan Ioanes Rakhmat dalam bukunya,Membedah Soteriologi Sa lib (Rakhmat 201Ob,139). Undanganitu ditujukan kepada siapa saja yang bersedia menulis sebuah
Sungguh penuh penghinaan dan tanpa sikap generous sarnasekali. Di halaman-halaman berikut, saya akan menunjukkaryang sebaliknyalah yang terjadi, yaitu bahwa IoanesRakhmatlah yang justru tidak mampu meletakkan argumentasi-argumentasinya dalam buku tersebut dalam bingkai perkembangan teologi yang mutakhir.
Kedua, lebih dari sekadar sebuah respons kritis ata:pandangan Ioanes Rakhmat, buku ini juga bertujuarmemperlengkapi warga gereja pada umurnnya, baik yan~membaca buku Ioanes Rakhmat atau pun yang tidak. Sangamungkin para pembaca terse but memunculkan reaksi beragarrterhadap buku Ioanes Rakhrnat: marah, terguncang, bingungatau juga terinspirasi dan gembira. Bukankah sudah menjadsebuah kewajaran, jika sebuah buku yang menukik pad:persoalan inti iman-seperti keselamatan dan salib Yesus-menghasilkan beragam reaksi pro dan kontra? Maka, saya purperlu mengantisipasi munculnya beragam reaksi serupa yanj
mungkin juga muncul ketika Anda membaca buku ini.Iadi, tujuan yang kedua dan yang lebih penting dari buku in
adalah untuk memperlengkapi warga gereja. Tujuan ini perh
4 I BERDAMAf DENGAN SALIB PENDAHULUAN I
dipahami sebagai sebuah usaha untuk menghadirkan wacana
yang beragam dan berimbang, agar para pembaca buku Ioanes
Rakhmat dan buku ini dapat mengambil keputusan dan
posisinya masing-rnasing, dalam kedewasaan dan kematanganberpikir.
Tidak berlebihan juga jika saya harus mengakui adanya
harapan lain dari penulisan buku ini, sekalipun tidak lebih
penting dari kedua tujuan di atas, yaitu agar pembaca dapat
menyadari bahwa pandangan Ioanes Rakhmat, yang adalah
seorang pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI) dan mantan
dosen STT Jakarta, tidaklah mewakili kedua lembaga terse but.
Itulah sebabnya, perbedaan pandangan antara IoanesRakhmat dan saya, yang juga adalah seorang pendeta GKI dan
dosen penuh waktu STT Jakarta, kiranya dapat dilihat sebagai
sebentuk kekayaan dan keterbukaan di dua lembaga tersebut.Konteks kerja yang sama antara Ioanes Rakhmat dan saya
(STT Jakarta dulu dan GKI) tentu saja tidak berarti bahwa saya
perlu mengurangi kadar kritis dari buku ini. Dan saya pun
sangat yakin bahwa Ioanes Rakhmat tidak menghendaki hal
yang sama. Apalagi, mengingat beberapa waktu belakangan
ini, ia lebih suka menyebut diri sebagai "a freethinker, a freely
wandering soul, a homeless mind,'" sebagaimana ditulisnya
dalam salah satu blog yang dikelolanya.
Apa perlunya sebuah buku semacam ini ditulis untuk
merespons secara kritis pandangan Ioanes Rakhmat? Sebagian
besar dari kita tentu ingat tulisan Ioanes Rakhmat di harian
Kompas (5 April 2007), yang berjudul, "Kontroversi Temuan
Makam Keluarga Yesus" (Rakhmat 2007). Saat itu saya masihberada di Boston, USA, untuk menyelesaikan studio Namun,
gaung dari kegelisahan dan prates, selain tentu juga sedikit
dukungan dan persetujuan, atas tulisan terse but terdengar
keras dan jelas hingga ke komunitas Kristen Indonesia yang
berada di belahan dunia yang lain itu. Kehebohan tersebut bisa
dimaklumi, mengingat apa yang diulas oleh Joanes Rakhmat,
tiga hari menjelang Paskah 2007 itu, menukik langsung ke
salah satu titik sentral iman Kristen, yaitu kebangkitan. Nah,
dibandingkan dengan buku Membedah Soteriologi Salib,
artikel di surat kabar tersebut ternyata hanyalah seperti angin
kecil. Sebaliknya, buku ini "terkesan" bagai sebuah tornado
yang daya hancurnya berkali-kali lipat ganda. Iika didukung
oleh publikasi yang memadai, ia tentu bakal memunculkan
respons yang jauh lebih dahsyat, karen a lebih banyak lagidoktrin utama Kristen yang digugat dan dicemoohnya, seperti
anugerah, Alkitab, salib dan tentu keselamatan itu sendiri.Karenanya, respons yang sewajarnya patut diajukan. Untuk
itulah buku ini ditulis.
KARAKTER BUKU INI: GENEROUS CRITIQUE
Di dalam Bab 2, saya akan menyajikan sebuah rangkuman
singkat atas buku Membedah Soteriologi Salib. Melaluinya, para
pembaca diharapkan dapat melihat struktur berpikir yang telah
dibangun oleh Joanes Rakhmat demi membuktikan gugatannya
at as soteriologi salib. Namun, rangkuman yang saya sampaikar:
nanti tentu saja tidak dapat secara utuh menampilkan karaktei
dari retorika Joanes Rakhmat yang sangat agitatif (merangsanj
kemarahan), agresif dan apologetis.Karakter-karakter semacam itu menampilkan sosok seoranj
penulis yang tak mampu bersikap cukup murah hati (generous
terhadap objek yang dikritiknya, yaitu soteriologi salib (dar
kekristenan pada umumnya), yang seakan-akan sudal
6 I BERDAMAI DEIVGAN SALIB PENDAHULUAN I
sedemikian buruk di matanya dan tak memiliki nilai positif
apa pun. Bersamaan dengan itu pula, tidak tampil di dalam
tulisan Ioanes Rakhmat sebuah sikap rendah hati (humble)untuk mengakui keterbatasan pandangannya sendiri. Dua
karakter yang raib terse but membuat buku ini tampil seperti
sebuah hantaman tanpa ampun terhadap tradisi Kristenberabad-abad yang, setidaknya, pernah menjadi bagian
dari hidup dan pergumulan kristianinya sendiri. Padahal,
sebagaimana akan saya tunjukkan nanti, apa yang disebutnya
sebagai soteriologi salib terse but ternyata perlu dipaharni
dalam seluruh arus kekristenan yang panjang dan kompleks,yang sungguh menuntut ketekunan dan keeermatan untuk
mampu membedahnya dengan baik. Dan Ioanes Rakhmat
gagal. Maka dari itu, seandainya klaim Ioanes Rakhmat benar,
,bahwa soteriologi salib terse but bermasalah, "pembedahan
besar-besaran" yang dilakukan Ioanes Rakhmat bukanlah
merupakan sebuah pembedahan yang bersifat therapeutic(bertujuan menyembuhkan) namun justru lebih sebagaisebuah pembunuhan.
Oleh sebab itu, agar buku yang saya tulis ini tidak terjebak
ke dalam kedangkalan yang sarna, saya akan berusaha untuk
sedapat mungkin menampilkan apresiasi terhadap beberapa
pokok pikiran Ioanes Rakhmat, yang memang patut menjadi
perenungan kita semua. Sekaligus, saya akan berusaha untuk
menunjukkan bahwa memang terdapat persoalan di dalamteologi Kristen, khususnya di dalam paham soteriologisnya,
yang karena itu harus selalu dimaknai ulang seeara baru.
Singkatnya, saya akan berusaha memberlakukan sebuah
strategi yang oleh Daniel Boyarin disebut sebagai "kritik yangmurah hati" (generous critique). Dengan istilah ini yang Boyarin
maksud adalah "sebuah cara analisis yang tidak apologetis
dan sebaliknya memaksimalisasi pemaharnan-pemaharnan
kit a atas kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan yang
memotivasi satu kelompok manusia tertentu dalam membuat
'keputusan-keputusan' kultural mereka" (Boyarin 1993,
229-230). Di bagian lain, Boyarin bahkan menandaskan bahwa
sikap rnurah-hati dalam mengajukan kritik terse but lebih
dibutuhkan lagi, jika kita sendiri menjadi bagian dari komunitas
dengan masa lalunya itu (Boyarin 1993, 21).
"Satu kelompok manusia" yang ada di benak saya tersebut
tentu adalah komunitas Kristiani, tempat saya (dan Ioanes
Rakhmat) terlibat dan yang telah mengasuh kami selama ini,
yaitu gereja! Dan komunitas tempat saya (dan Ioanes Rakhmat)
mengakar itu memiliki sejarah masa silamnya.
Komunitas tersebut memiliki identitas yang terbentuk dalam
rangkaian sejarah dan tradisi iman tertentu, termasuk tradisi
soteriologis yang menempatkan salib sebagai simbol yang
sangat penting. Di dalam liku-liku tradisi dan sejarah Kristen
terse but telah muneul banyak hal yang sungguh paradoksal:
mengeeewakan dan mengagumkan, menyedihkan dan meng-gembirakan.
Sejarah dan tradisi tersebut melahirkan Perang-perang Salib,
sekaligus gerakan-gerakan perdamaian yang non-kekerasan.
Ia juga sedikit-banyak berperan dalam hadirnya seorang Adolf
Hitler atau Jerry Farwell, namun sekaligus seorang OscarRomero, Ibu Theresa atau Martin Luther King, Ir., Ia telah
memotivasi gerakan the Christian Right di Amerika Serikat,yang sangat fundamentalistis, namun juga gerakan damai
non-kekerasan seperti gereja-gereja Mennonite, misalnya.
Sayangnya, raibnya generous critique dalam buku Ioanes
Rakhmat tampak telah mex;afikan seluruh sejarah kekristenan
yang kompleks dan beragam wajah itu. Dan dengan eara itu,
8 I BERDAMAJ DENGAN SALIB PENDAHULUAN I
BAGAIMANA BUKU INI DIRANCANG?
hasilnya muram dan buram. Muram, karen a ia mengambilsatu angle saja (kekerasan ilahi) dan karena itu menolaknyamentah-mentah. Buram, karena ternyata hasil potretIoanes Rakhmat tidak memadai dalam menyajikan seluruhkompleksitas soteriologi salib. Untuk itu, Bab 3 saya sajikanguna memperlihatkan bagaimana kemajemukan soteriologisalib sudah hadir di sepanjang sejarah kekristenan sejak awalkemunculannya. Saya akan memperlihatkan bahwa hasi!pemotretan saya akan tampi! lebih jernih dan jelas daripadapemotretan buram dan muram Ioanes Rakhmat.
Lantas, Bab 4 akan melanjutkan apa yang sudahdimulai di dalam bab sebelumnya, namun kini denganmempertimbangkan refleksi-refleksi kontemporer di seputarisu salib dan pendamaian. Tujuannya jelas: Membuktikanbahwa penerimaan salib bagi keyakinan akan keselamatanKristiani sangat dimungkinkan, tanpa terjebak ke dalamkekerasan dan malah menyibak serta melawan kekerasan itu.
Bab 5 akan memperlihatkan beberapa persoalan utama,termasuk persoalan metodologis, yang muncul jelas didalam buku Ioanes Rakhmat. Juga, di bab yang sarna, sayaakan menunjukkan cara berpikir Ioanes Rakhmat terkaitdengan pertanyaan, "Apakah kebenaran itu?" Bagian inisangat penting, mengingat Ioanes Rakhmat berulang kalimengajukan klaim bahwa pandangannya sungguh benar,setelah ia memperlihatkan ketidakbenaran soteriologi salib.Juga, tak jarang Ioanes Rakhmat membangun argumen-argumennya dengan mengklaim begitu saja bahwa apa yangdikritiknya tidak sesuai dengan kenyataan atau tidak faktual,dan apa yang diusulkannya sesuai dengan kenyataan ataufaktual. Apa sesungguhnya yang kita maksud dengan "benar"di sini? Bagaimana sesungguhnya kebenaran religius (religious
Ioanes Rakhmat tampil seperti seorang asing yang tengahmenghabisi sebuah komunitas lain, yang tak pernah menjadibagian dari hidup dan pergumulannya. ltu sebabnya, sub-judulbuku Joanes Rahmat-Sebuah Pergulatan Orang Dalam-terkesan seperti sebuah retorika kosong belaka, karena sipenulis ternyata tidak sungguh-sungguh memperlihatkanketerlibatan dan keterkaitannya dengan tradisi yangdikritiknya secara frontal itu.
Iadi, sementara saya akan berusaha mengajukan analisiskritis terhadap gugatan Ioanes Rakhmat atas soteriologi salib,saya juga akan berusaha bersikap seadil mungkin dalammenghargai sisi-sisi positif dari kritiknya tersebut, sekaligusbersikap kritis terhadap tradisi iman Kristen yang hendak sayabela tersebut. Dengan cara itu, semoga saya dapat terhindardari kesalahan yang sarna yang telah dilakukan oleh IoanesRakhmat, tanpa terjatuh ke dalam jebakan sikap membabi-buta dalam membela iman Kristen. Tentu semua ini tidak akanjuga mengurangi tinjauan kritis saya atas pandangan IoanesRakhmat itu sendiri.
Berdasarkan pendekatan yang saya pilih ini, dirancanglahseluruh struktur buku di tangan Anda ini. Di dalam Bab 1 inisaya memaparkan rujuan, karakter serta struktur buku ini.Kemudian, Bab 2 akan memuat profil singkat Ioanes Rakhmatdan rangkuman isi bukunya, Membedah Soteriologi Salib.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan soteriologi salib?Ioanes Rakhmat mengaku telah berhasil memotretnya;
10 I BERDAMAI DENGAN SALlt3 PENDAHULUAN
truth) harus dipahami secara tepat? Apakah hubungan antarakebenaran religius dengan "kenyataan"? Tidak ketinggalantentu saya harus memberi respons atas beberapa soteriologialternatif yang ditawarkan oleh Ioanes Rakhmat. Saya akanmemberikan argumen, karen a soteriologi salib masih bisadipertahankan, maka alternatif-alternatif yang diberikan olehIoanes Rakhmat tidak diperlukan atau dapat sekadar menjadipenambah luas wacana kita.
Setelah itu, di dalam Bab 6, saya akan membereskan sisa-sisa operasi bedah yang dilakukan Ioanes Rakhmat, yaitumerespons isu-isu khusus yang dibahasnya bab demi bab.Isu-isu tersebut mencakup masalah surga dan neraka, dosaasal, moralitas dan sebagainya. Kemudian, saya akan mening-galkan Ioanes Rakhmat di dalam Bah 7 dan menyapa parapembaca yang sekaligus adalah umat. Dengan menyadaribahwa salib senantiasa berwajah ganda-kekerasan dan anti-kekerasan-saya akan menawarkan sebuah undangan agar kitaberdamai dengan salib Kristus itu. Genderang perang melawansalib Kristus yang ditabuh oleh Ioanes Rakhmat sebenarnyatidak harus terjadi, karena "lawan" yang dimisrepresentasidalam seluruh buku Membedah Soterio!ogi Salib itu justrumenawarkan obat bagi pergumulan orang-orang Kristen dalammelawan kekerasan. Bab ini sekaligus akan menutup seluruhbukuini.
Akan tetapi, dua buah apendiks akan disisipkan juga. Satusetelah Bab 6, yang berisi tanggapan sekilas saya atas edisike-2, yang diperluas, dari buku Ioanes Rakhmat, yang terbitdua bulan setelah edisi ke-l. Munculnya edisi kedua ini cukupmengejutkan karena tidak lazim dalam diskursus teologisselama ini. Fakta ini malah menunjukkan ketergesa-gesaanIoanes Rakhmat ketika menerbitkan edisi ke-I bukunya. Lantas
apendiks kedua merupakan tulisan saya yang pernah terbidi buletin internal GKI, yang berisi tanggapan kritis saya ata:tulisan Ioanes Rakhmat mengenai kebangkitan Yesus di hariarKompas, pada tahun 2007 yang lalu.
Harus ditegaskan sejak awal bahwa buku di tangan And,ini sarna sekali tidak menawarkan soteriologi salib alternatifSarna sekali tidak. Ia sekadar menjadi sebuah respons kritis
atas tulisan Ioanes Rakhmat yang, menurut hem at penulistidak dapat dibiarkan begitu saja, karena telah menyajikar.secara keliru citra salib yang menjadi bagian penting dar.integral dari iman Kristen. Kalau pun pembaca mengingin:pandangan saya pribadi tentang pendamaian salib, tentuharuslah menantikan buku yang lain, yang memang telah sejaklama saya rencanakan.
penegasan yang jelas, demikian Wright, bahwa Yesus memangbenar-benar bangkit. Ia bangkit dengan tubuh spiritual.Apa yang Wright maksud dengan spiritual di sini bukanlahnon-material, namun menunjuk pada apa yang membuattubuh itu hidup, yaitu Allah dalam kuasa Roh Kudus. Iadi,pemaknaan "tubuh spiritual" Wright ini berbeda secara radikaldengan pemaknaan "tubuh rohaniah" yang dianut oleh IoanesRakhmat. Dengan argumen ini, Wright menegaskan bahwapemakaian teori Disonansi Kognitif tidak memiliki dasar yangcukup kuat untuk menjelaskan apa yang diyakini oleh gerejamula-mula.
APENDIKS SATU
Respons atas Edisi Kedua
Membedah 'Soteriologi Salib
Saya menyelesaikan draft akhir buku ini tepat padahari saya juga menerima SMS dari Ioanes Rakhmat,
memberitakan bahwa edisi kedua buku Membedah SoteriologiSa lib telah terbit. Ia menawarkan kepada saya untukmembelinya; dan saya membelinya. Agak mengherankanmemang. Dalam jangka waktu dua bulan saja buku ini telahmengalami edisi perbaikan, dengan tambahan beberapa puluhhalaman. Seolah-olah, edisi yang pertama terbit terburu-buru, tanpa pemikiran yang cukup matang. Akan tetapi, sayamencoba untuk berdamai dengan seorang Ioanes Rakhmatyang memang sangat mudah berubah-semoga ini dilihat
secara positif tentunya.
130 1 BERDAMAI DENGAN SALIB
Secara substansial, edisi kedua ini tidak menunjukkanperubahan pandangan sarna sekali. Sebagaimana yang iasendiri akui, n••• dalam setiap babnya saya telah melakukanperluasan di sana sini guna memberi landasan-Iandasanyang lebih solid pada semua argumen yang saya kembangkan... Meskipun isinya mengalami perluasan, tesis utama bukuini tetap sarna, bahwa soteriologi sa lib mengandung banyakpersoalan sehingga tidak dapat dipertahankan lagi" (Rakhmat20l0c, 9-10). Dalam sehari saya tuntas membaca beberapatambahan dan perubahan yang dilakukannya; lalu, memberitanda di sana-sini; setelah itu, berusaha men cerna secara seriusapa saja gagasan-gagasan yang baru di sana. Dan ternyatamemang tak ada yang baru secara radikal.
Beberapa bagian memang diperdalam secara argumentatif,sekalipun tidak mengubah tesis utamanya. Di beberapa bagianlain muncul tambahan penekanan, sehingga kalimat aslinya(pada edisi pertama) berubah menjadi lebih menggigit dansarkastik. Seakan-akan Ioanes Rakhmat memang belum puasmelampiaskan kebenciannya pada soteriologi salib di edisipertama bukunya itu. Bagian lain masih mempertontonkankegemarannya dalam melakukan generalisasi terburu-buru.Bahkan, kini ia lebih berani lagi. Misalnya,
Tentu saja masih ada orang Kristen yang tetap sabar dan lemah
lembut ketika warta keselamatan yang mereka beritakan
[soteriologi salib] ditolak dunia; tetapi jumlah mereka sedikit dan
kesabaran mereka muncul lebih dikarenakan sifat penyabar
yang sudah ada dalam diri mereka, ketimbang dikarenakan
kemujaraban soteriologi salib. (Rakhmat 2010c, 40; penekanan JA)
APENDIKS SATU 1131
... soteriologi ini tak pelak lagi telah ikut menghasilkan lebih
banyak orang Kristen yang suka memakai kekerasan ketimbang
orang Kristen yang menolak jalan kekerasan dalam berbagai
macam perkara kehidupan. (Rakhmat 2010c, 40; penekanan JA)
Di halaman-halaman lain, klaim generalisasi ini jugabertaburan, "kebanyakan orang Kristen tradisional." atau,"hampir semua mukmin Kristen tradisional mematikan rasiomereka ..."dan sebagainya (Rakhmat 201Oc,82, 84-85, dll.). Akantetapi, pada saat bersamaan, semakin terlihat juga keberanianIoanes Rakhmat menamai sasatan tembaknya. Ia berusahamengecam orang-orang Kristen Injili dan fundamentalis,khususnya di Amerika Serikat (Rakhmat 2010c, 35, 40-43, 61,62). la juga secara tersurat menunjuk pada gereja rradisional,baik Protestan maupun Katolik, melalui berbagai ntualnya,yang menurutnya telah menjunjung tinggi soteriologi salib(Rakhmat 20l0c, 38,163,189-191).
Selain itu, kebiasan "buruk" dalam memakai appeal tomental stability masih terjadi juga di sini, misalnya ketika iamemulai kalimatnya dengan klaim, "Tentu pikiran kita tidaksehat jika ..." Cara mengolah kalimat semacam ini, seperti yangsudah saja jelaskan di dalam Bab 6, merupakan sebuah cacatlogika yang harus dihindari oleh penulis mana pun.
Hal menarik lain berkaitan dengan cara beragumentasiadalah ide untuk memakai teks 1 Korintus 1:23 (bacalahjuga ayat 20-23) bahwa pemberitaan mengenai Kristus yangtersalib adalah sebuah batu sandungan bagi orang Yahudi dankebodohan bagi orang Yunani (Rakhmat 2010c,23, 120).loanesRakhmat, tanpa menjelaskan makna dari kedua sebutan ataucemoohan itu, memanfaatkan dan menyetujui keduanya demimenolak pendamaian salib. Bukankah hal ini justru makin
132 , BERDAMAI DENGAN SALIS
memperjelas kesimpulan yang saya ambil sebelumnya, bahwamemang Ioanes Rakhmat telah menghadirkan pandangannyasecara sengaja sebagai sebuah sistem koheren yang secarakhas berdiri sendiri, yang berbeda secara sistemik dengankekristenan tradisional, kanonis dan ekumenis? Sarna sepertidulu kekristenan perdana kanonis berhadapan denganYudaisme dan filsafat Yunani?
Di dalam edisi kedua ini muncul juga penambahan satukata yang sangat me narik, ketika ia menegaskan bagairnanaseseorang bisa berjumpa dengan yang transenden. Iamenulis, "...setiap sanggahan terhadap isi buku ini akanpasti saya sanggah lagi dengan autentik dan rasional. Sayapercaya, dengan autentisitas, rasio dan kejujuran, orang bisaberjumpa dengan yang transenden, jauh melampaui apa yangdapat diberikan oleh dogma keagamaan apa pun yang tidakboleh dipertanyakan keabsahannya" (Rakhmat 2010c, 176;penekanan JA). Ia menambahkan klausa "dan kejujuran" dan"yang tidak boleh dipertanyakan keabsahannya." Soal yangkedua, entah Ioanes Rakhmat hidup pada zaman apa ketikaia menuliskan klaim ini. Kekristenan tradisional kontemporersudah sangat gamblang menunjukkan kemajemukan yangmelimpah tentang dogma apa pun. Asal para pembacamemiliki sedikit kesabaran dan ketahanan, Anda pasti akanmenemukan kemajemukan yang tak habis-habisnya itu didalarn kekristenan. Hal ini sesungguhnya menunjukkanbahwa sikap kritis terhadap ajaran gereja sudah menjadibagian inheren dan internal dari kekristenan itu sendiri.
Soal "kejujuran" yang ditambahkan juga menarik untukdibahas, khususnya karena kata ini dipergunakan untukmenyertai dua elemen lain (autentisitas dan rasio) untukmenjumpai Allah yang transenden itu. Mengapa ini menarik?
APENDIKS SATU \133
Sebab, hampir seluruh, jika tidak semua, klaim dan argumenIoanes Rakhmat dalam buku ini ternyata tidak benar-benarautentik. Hampir semua dipinjamnya dari penulis lain,kebanyakan dari lingkaran Yesus Sejarah. Dan hampir semuajuga diklaimnya sebagai argumen milik Ioanes Rakhmatsendiri; tanpa kredit sarna sekali pada penggagas ide aslinya.Saya lantas tidak lagi bisa tahu apa yang dimaksudkannya
dengan "autentik"?Dan saya juga tak lagi bisa tahu apa yang dimaksudkannya
dengan "kejujuran"? Para akademisi pastilah terbiasadengan kehati-hatian untuk tidak melakukan apa yangdilakukan oleh Ioanes Rakhmat. Mereka pastilah terbiasauntuk bekerja secermat mungkin untuk tidak tergelincir kedalam plagiarisme, yaitu sebuah pencurian ide dari oranglain tanpa memberi kredit sarna sekali. Dan "hukurn Taurat"para akademisi ini telah dilanggar secara vulgar oleh IoanesRakhmat. Maka, tidak akan mengherankan jika banyakpembaca awam akan terpesona dengan "fakta" betapa cerdasdan autentiknya gagasan-gagasan Ioanes Rakhmat.
Tentulah semua yang saya paparkan di paragraf di atasterkait dengan kode etik seorang ilmuwan. Ada satu isu etis lainyang tentulah tidak ken a-men gena dengan isi buku ini, namunbakal memunculkan pertanyaan di benak para pembaca yangkritis, yaitu perihal komitmen Ioanes Rakhmat pada komunitasKristen tradisional yang memberikan jabatan kependetaankepadanya. Sekali pun ia sekarang adalah seorang pendeta'emeritus sebuah gereja, namun ia tetap adalah pendeta di gerejatersebut. Dan jabatan ini diperolehnya dengan mengucapkanjanji-janji yang sangat spesifik menyangkut tugas pastoralatau kependetaannya, termasuk tentunya kesediaannya untukmemelihara ajaran yang sesuai dengan Alkitab dan yang dianut
134 , SERDAMAI DENGAN SALIS
oleh gereja terse but. Status emeritasi tidak membebaskannyadari tanggung jawab tersebut, malah sebenarnya menjadisebuah "penghargaan" gerejawi bagi seseorang yang telahemereri (kata Latin untuk "dibebastugaskan karena prestasipelayanan").
Pot ret yang sangat menawan tampil dalam acara pemberianstatus emeritusnya, memperlihatkan sosoknya sebagai seorangpendeta, dengan mengenakan toga, lengkap dengan atributkalung salib besar berwarna emas tanda kemuliaan menempeldi dadanya; ditambah dengan stoIa merah dengan sirnbol AllahTritunggal di kedua sisinya (manus Dei atau tangan Allah,salib Kristus dan burung merpati). Entah, bagaimana IoanesRakhmat memaknai penganugerahan status itu secara teologis,sebagai seorang yang dengan sarkastik rnenolak begitu banyaksimbol yang dikenakannya malam itu, di tengah ibadah darisebuah komunitas Kristen kanonis yang dicaci-makinya, yangternyata memercayai soteriologi salib Kristus itu. Apakah iasecara autentik dan jujur menikmati semuanya? Sungguh,pot ret terse but lebih banyak bercerita tentang sebuah ironiketimbang buku yang saya tulis ini.
Di dalam komunitas gerejawi yang memberinya jabatanpendeta dan pengakuan pendeta emeritus itulah, ia selamalebih dari dua puluh tahun seharusnya mengerjakan tanggungjawab pastoralnya sesuai dengan janji yang keluar darimulutnya sendiri (tentu tak seorang pun tahu isi harinya).Dan ajaran-ajaran gereja yang sarna pulalah yang sekarangdigugatnya habis-habisan di buku ini tanpa sikap generoussarna sekali.
Gereja yang sarna tentulah bukan sebuah gereja yangkonservatif. Saya, yang kebetulan berasal dari gereja yangsarna, dapat memastikan bahwa gereja terse but sejauh ini telah
APENDIKS SATU 1135
mampu menghadirkan diri sebagai sebuah gereja yang maubersikap kritis (dan dalam beberapa hal bahkan progresif) atasajaran-ajaran yang diwarisinya sejak dulu, tanpa meninggalkantanggung jawabnya dalam mengasuh iman umat. Gereja yangsarna, sejauh saya menjadi anggota di dalamnya (saya menjadianggota di gereja itu "sejak di dalam kandungan") tak pernahjuga cocok dengan banyak sekali tuduhan Ioanes Rakhmatterhadap "sernua orang Kristen," sebagaimana dibeberkannyadi dalam buku ini.
Pada saat bersamaan, kecintaan Ioanes Rakhmat padakornunitas Kristen Yahudi rnakin mengental dan terlihatgamblang di dalam buku ini; komunitas yang amat dipujinya.Dan saya menduga bahwa Ioanes Rakhmat akhirnyamenemukan karakter dari komunitas Kristen Yahudi inihidup kembali Iewat Gereja Kemah Abraham pimpinan"Abuna" Iusufroni, Di situlah ia menemukan "keunikan yangmenggetarkan" dari ritual-ritualnya (Rakhmat 2009, xvii).Pujian yang melimpah kepada gereja Ini juga bermunculansecara generous di dalam "Pendahuluan" buku MenguakKekristenan Perdana (2009).Kekristenan Yahudi itu, bagi IoanesRakhmat, "kini dicoba dihidupkan dan dirayakan" di dalamgereja tersebut. Bahkan, dengan sangat generous dan promotiveia mengikiankan gereja tersebut, "Iika Anda tertantang untukikut serta, bergabunglah dalam gereja Iuar biasa ini" (Rakhmat2009, xxvi).
Maka, tampillah sebuah ironi yang menarik untuk disimak.Tentu saja tak ada saIahnya jika seorang pendeta dari gerejaekumenis seperti gereja (asal) Ioanes Rakhmat memberikanpujian kepada gereja lain. Bukankah itu tanda sebuahketerbukaan dan persahabatan ekumenis? Narnun, kisahnyamenjadi sedikit janggaI, setidaknya secara etis, ketika pendeta
." \.
136 1 BERDAMAI DENGAN SALIB
dari gereja X tersebut menaikkan pujian melambung terhadapgereja Y dan, pada saat bersarnaan, mencaci-maki apa yangdiajarkan oleh gereja X, namun tetap mempertahankankependetaannya di gereja X tersebut, Tidak ada kode etikprofesi mana pun yang menghalalkan itu, jika tidak malahmengharamkannya. Saya sungguh berharap bahwa fakta inisungguh tidak menunjuk pada sikap "autentik, rasional danjujur," yang dengan gagah disodorkannya.
Kembali ke edisi kedua buku ini. Di dalam beberapa babmemang Ioanes Rakhmat memberikan imbuhan yang cukuppanjang. Narnun, secara umum, seluruh imbuhan terse buttidak memberi tambahan material dan argumentatif yangsignifikan untuk bab-bab terkait. Apa yang secara khususmenarik adalah tambahan yang diberikannya pada bag ian"Penutup" buku tersebut, yaitu ketika ia mengusulkan sebuahcara pandang baru dalam memaknai perjamuan kudus atauekaristi (Rakhmat 201Oc, 189-191). Proposal ini harus jugadibaca dalam kaitannya dengan kalimat-kalimat tambahannyaperihal isu ini, di dalam Bab 6 (Rakhmat 201Oc,96-97) dan Bab7, yaitu bahwa "... sangat mungkin Yesus tidak mengadakan'perjarnuan terakhir' sebelum dia ditangkap. Teks-teks dalamPerjanjian Baru yang melaporkan acara perjamuan terakhirini lebih merupakan teks-teks teologis ekaristi gereja perdana... ketimbang sebagai teks-teks yang melaporkan ritualperjamuan terakhir yang dilaksanakan oleh Yesus sendiri"(Rakhmat 201Oc, 117). Gagasan ini juga bukan barang barudalam studi-studi Yesus Sejarah. Marcus J. Borg, misalnya,yang bukunya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesiaoleh Ioanes Rakhrnat, memberikan pandangan yang nyarissarna, yaitu bahwa perjamuan kudus "boleh jadi dihasilkanoleh persekutuan Kristen perdana ketika mereka meritualisasi
APENDIKS SATU 1137
tradisi perjamuan pada tahap pembenihan daripada sebagaisuatu kenang-kenangan atas suatu peristiwa sejarah ketikaYesus mengadakan makan malam bersama di malam terakhirhidup-Nya" (Borg 2003, 67). Narnun, segera setelah itu, Borgmenegaskan bahwa kesimpulan akhirnya: "Kita tidak tahu."
Ioanes Rakhmat menggugat praktik perjamuan kudus yangdipraktikkan oleh gereja-gereja tradisional, sebagai sebuahperjamuan yang eksklusif dan mengasingkan orang lain. Maka,proposal yang diajukannya adalah bahwa perjamuan kudussemustinya dilandasi bukan oleh soteriologi salib, namun olehteologi kerajaan Allah dan Eksodus. Dengan cara demikianperjamuan kudus dapat mencerminkan perjamuan-perjamuanyang diikuti atau diselenggarakan Yesus, yang sungguh-sungguh berwatak inklusif dan ega liter. Ioanes Rakhmat benarketika ia mengeluhkan karakter eksklusif dari perjamuankudus. Saya pun menyayangkan hal yang sarna. Narnun, sepertibiasa, ia mengenakannya pad a gereja Kristen kebanyakan,tanpa kualifikasi apa pun, sehingga ia luput mengemukakanbahwa kerinduan dan usaha untuk merancangbangun sebuahperjamuan kudus yang inklusif sudah sangat banyak dansangat lama diperjuangkan oleh banyak teolog kanonis (mis.Antone 2010) atau badan-badan ekumenis seperti eeA, wee
dan sebagainya.Usulan Ioanes Rakhmat untuk mendasari perjamuan kudus
dengan peringatan Eksodus juga menarik (Rakhmat 2010c,191;bdk. 90). Yang mengherankan, di satu sisi, Ioanes Rakhmatsangat sensitif dengan wajah kekerasan dari soteriologisalib, bahkan mengklaim wajah kekerasan itu sebagai wajahsatu-satunya dari soteriologi salib, tanpa mengindahkanwajah pembebasan dari salib, sebagaimana yang sudah sayacontohkan di bab-bab sebelumnya. Di sisi lain, Ioanes Rakhmat
138 I BERDAMAI DENGAN SALIB
sendiri ternyata tidak cukup kritis melihat bahwa teks-teksEksodus dan Tanah Perjanjian itu sendiri menyimpan banyakperistiwa kekerasan. Allah Eksodus yang membebaskanternyata sekaligus adalah Allah Tanah Perjanjian yangsangat violent dan memerintahkan orang-orang Israel untukmembasmi bangsa lain, sebagaimana dikritik oleh teo logIndian Amerika Robert Warrior dan teolog Palestina NairnS. Ateek (Ateek 2009; Warrior 1991). Iadi, klaimnya bahwa"dalarn Perjanjian Baru tidak ada suatu contoh lain apa puntentang kekerasan ilahi, selain peristiwa penyaliban Yesus ... /1
(Rakhmat 20lOc, 4~~ terasa kurang berimbang. Bagaimanadengan Perjanjian Lama yang dipertahankan secara umumoleh Ioanes Rakhmat, akibat kekagumannya pada kekristenanYahudi? Bukankah ia juga menyimpan terlalu banyak kisahtentang kekerasan ilahi? Dan di titik ini kita tidak menemukansikap apa pun dari Ioanes Rakhmat. Ia diam membisu.
Kiranya saya bisa menutup respons atas edisi kedua bukuMembedah Soteriologi Salib, dengan menyatakan bahwaimbuhan-imbuhan di dalam edisi kedua ini tidak memberitambahan signifikan terhadap argumen utama loanesRakhmat. Beberapa hal menarik yang muncul di sana sudahsaya respons sekadarnya dalam apendiks ini.
TUJUH
Menyapa Umat:
Berdamai dengan Salib
Jalan Yesus adalah jalan salib. Mati, untuk hidup. Buangsemua yang lama, kubur semua yang lama, baru bisa mulai
dengan yang baru. Roti itu mesti dipecah-pecah, anggur
itu mesti tertumpah. (Eka Darmaputera)
WAJAH GANDA SALIB
HamPir bersamaan waktunya dengan hadirnya bukuMembedah Soteriologi Salib, seorang teolog Asia yang
bernama Andrew Sung Park menerbitkan juga sebuah bukudengan tern a yang sarna, Triune Atonement (Park 2009). Lewatbuku ini, Park menghadirkan isu salib dan pendamaian lewatkacamata trinitarian. 1a mengingatkan para pembacanyauntuk lebih serius dan seimbang dalam memberikan penilaianterhadap soteriologi salib,
140 I BERDAMAI DENGAN $ALlB Ij
II11
Pada saru sisi, beberapa tcolog ingin menghindari percakapan
mengenai darah Ycsus bagi penyelamatan umat rnanusia
karena salib Yesus telah d ipakai unruk menindas orang lain dan
mempromosikan kekerasan di dunia. Oi sisi lain, bagi juraan
manusia, salib Yesus memberikan makna mendalarn ten tang
anugerah dan keselamatan. Kedua posisi ini sarna-sama memiliki
nilai. Salib kekristenan dapar menjadi sebuah tanda penindasan
arau sebuah tanda penyelamaran. Tni bergantu ng pada bagaimana
kita melihar salib itu. Namun demikian, tidaklah panras untuk
menyingkirkan sirnbol salib Yesus karena beber apa orang telah
menyalahgunakannya. Hal ini sama seperti "rnernbuang bayi
dari ember mandinya" (throwing out the baby ioitn the batiuuateri.
Kita perlu memandang saJib itu dalarn konteks keseluruhan karya
pendamaian Yesus bagi umar manusia dan pemulihan seluruh
ciptaan. (Park 2009, x)
Park sangat menyadari persoalan moral di balik pemakaian
salib sebagai simbol keselamatan Kristiani. Namun,
menyingkirkan salib menurutnya tidak akan menyelesaikan
persoalan, selain bahwa justru sikap ini akan memiskinkan
kekayaan spiritual Kristen.
Sikap yang serupa ditunjukkan juga oleh James Cone, seorang
teolog kulit hitam. Dalam proyek penulisan buku terakhirnya
yang masih terus berjalan, ia berusaha menyandingkan salib
Yesus dan pohon gantungan (lynching tree) tempat orang-orangkulit hitam dalam sejarah kelam mereka di Amerika Serikatdihukum mali tanpa proses peradilan yang sah (Cone 2007).
Keduanya saling membutuhkan dan saling menafsir, kat a
Cone. Salib membebaskan pohon gantungan dengan memberi
makna pada tubuh-tubuh orang kulit hitam yang tergantung;
MENYAPA (}MAT 1141
sebaliknya, pohon gantungan dapat membebaskan salib dari
kesalehan Kristiani yang palsu.Singkatnya, kita tak pernah bisa lepas dari wajah ganda
salib. Salib bukan saja menunjuk pad a kekerasan yang dialami
oleh Yesus, namun juga berulang kali dipergunakan sebagai
alat untuk mengesahkan kekerasan atas orang lain. Namun,
ternyata, kekristenan kanonis juga sekaligus menegaskan
bahwa salib memiliki makna keselamatan yang menjadi inti
dari iman Kristen itu. Persoalannya mernang kemudian adalah,
bagaimana kita bisa terbebas dari wajah negatif salib sembari
tetap mempertahankan wajah positifnya.Simon Maimela, seorang teolog pembebasan dari Afrika
Selatan, mengusulkan sebuah pendekatan yang menarik(Maimela 1994, 37). Agar kita sungguh dapat mempertahan-
kan wajah pembebasan dari salib, kita harus mengajukan
setidaknya tiga pertanyaan: Siapa yang berbicara tentang
salib dalam situasi tertentu? Kepada siapa yang pembicaraantentang salib itu dialamatkan? Kepentingan siapa yang dilayani
saat itu? Dengan menjawab tiga pertanyaan ini secara jujur
dan serius, maka kit a akan dimampukan untuk tetap bersikap
kritis terhadap kemungkinan penyalahgunaan salib untuk
kekerasan, sekaligus tetap memeroleh ruang kreatif untuk
mewartakan berita Injil, berita pendamaian, melalui salib
Kristus itu.Selain itu, kita juga sudah menelusuri tiga (atau empat) teori
klasik tentang salib dan pendamaian: Pengembalian danPengganlian, Christus Victor dan Pengaruh Moral. Keliganyamemang tidak terbebas dari beban kekerasan, namun sekaligus
ketiganya memiliki manfaat dan kelebihan yang sama uniknya.
Harus diakui, dari sernua pili han klasik tersebut, Teori
Pengembalian (Anselmus) dan Teori Penggantian (Calvin)
142 1 BERDAMAI DENGAN SALIB
berada pada titik tembak kritis yang paling rawan. Di dalam
keduanya kekerasan disematkan pada diri Allah. Narnun,kedua teori klasik lainnya ternyata juga tak bisa sepenuhnya
bebas dari aura kekerasan. Terhadap kenyataan ini, kita perlu
menegaskan bahwa kekerasan, sebagaimana yang kita pahami
pada masa kini, belumlah menjadi isu dan keprihatinan yang
sama besarnya pad a masa ketiga teori itu dirumuskan. Kita
hid up dalam sebuah dunia dan era dengan sensibilitas yangsangat tinggi terhadap kekerasan.
Kita juga menyaksikan banyak teolog kontemporer yang
sudah berusaha merehabilitasi ketiga teori klasik tersebut,khususnya Christus Victor dan Pengaruh Moral. Saya sungguh
tergoda untuk membahas lebih banyak contoh lagi. Narnun,
beberapa pandangan yang sudah tersaji di dalam Bab 4 cukup
untuk menunjukkan bahwa soteriologi salib masih bisa
dipertahankan tanpa harus membius orang-orang Kristen
dengan racun kekerasan. Sebaliknya, rnalah, soteriologi salibyang secara kreatif dan setia dikembangkan justru dapat
melawan kekerasan yang terus berlangsung sampai detik ini.Iadi, bersamaan dengan wajah ganda salib ini kita juga
menyaksikan wajah ganda kekristenan: agama kekerasan
dan agama pembawa damai. Keduanya tidak harus dan
malah tidak boleh dipertahankan bersamaan. Kita harus
memilih wajah salib dan wajah kekristenan yang mana untuk
mewakili visi kita tentang Allah, diri kita sendiri dan dunia ini.
Banyak orang Kristen merasa sangat resah dengan kenyataanbahwa salib dan kekristenan memiliki dua sejarah atau dua
wajah terse but. Sebagian dari mereka menentukan pilihan
mereka untuk berdarnai dengan salib dan memperjuangkan
kehidupan sambil terus mengenang salib Yesus dan meraya-kan kebangkitan Kristus. Sebagian lagi tak mampu bersabar I
~
MENYAPA UMAT 1143
dalam menghadapi dan mengatasi ketegangan ini-apakah
ini sebuah disonansi kognitif?-dan memilih mernbuang jauh-
jauh salib dari khasanah spiritual mereka. loanes Rakhrnat
adalah salah satu contohnya. Dan contoh yang terbaik, bahkan.
lronisnya, bersamaan dengan itu, mereka juga kehilangan
harta berharga dalam spiritualitas Kristen yang sudah secara
kreatif memberdayakan orang-orang seperti Martin Luther
King, Ir., Ibu Theresa dari Kalkuta, Eka Darrnaputera, Oscar
Romero, Desmond Tutu dan masih banyaklainnya.
KOHERENSI: TEOLOGI SALIS
Keputusan untuk bersikap kritis terhadap warisan
iman kita sekaligus keputusan untuk tetap memercayai
daya pembebasan salib dan kebangkitan yang bebas dari
kekerasan seharusnya juga dibarengi oleh kesediaan untuk
merekonstruksi pemahaman kita tentang seluruh teologi
Gereja. Dan rekonstruksi ini harus menyangkut doktrin,
ibadah, dan praktik hidup sesehari yang koheren dan konsisten.Memercayai tugas gereja sebagai pembawa damai sekaligus
memercayai bahwa Allah Bapa memang memaksa Yesus untukmati, misalnya, dapat menjadi sebuah bentuk inkoherensi,
ketidakmenyatuan dua ajaran, yang justru bisa membuktikan
bahwa gugatan loanes Rakhmat benar.Kita tidak perlu rnerasa kuatir telah meninggalkan ajaran
Alkitab, karena sesungguhnya kita sendirilah yang harus
memberi makna dan tafsiran atas teks-teks Kitab Suci kita.
Bab demi bab yang ada dalam buku ini sebenarnya ingin
mengatakan dua hal yang sama pentingnya. Pertarna, tidak
144 1 BERDAMAJ DENGAN SAUB
ada satu pandangan Kristen pun yang bebas dari konteks sosial
pad a masanya. Pengalaman kekristenan perdana yang ditekan
oleh empire Roma membuat mereka tetap menjadi sebuah
komunitas yang cinta damai sekaligus kriris pad a penguasa,
sehingga lahirlah model Christus Victor. Pengalaman konkret
Perang-perang Salib ikut membentuk cara berpikir Anselmus.
Pengalaman ketertindasan para perempuan memberi mereka
alasan untuk menggugat teori-teori lama pendamaian salib.
Sebagian dari mereka membentukpandangan yang cenderung
menjadi "teologi tanpa salib," dan sebagian lagi merumuskanulang "teologi sa lib" yang justru memberdayakan mereka
untuk memperjuangkan kernanusiaan mereka.
Kekristenan tetap hidup dan berrnakna bagi pergumulan
dunia justru ke.ika ia bersedia untuk terus mernbaca Alkitab
dengan mata baru, mempertautkan warisan tradisinya yang
panjang dan kebutuhan serta pengalaman konkret masa kini,
dengan tetap diasuh oleh daya rasional dan kritis kita. Keempat
sumber berteologi di atas-Alkitab, tradisi, pengalaman
dan akal budi-sering disebut oleh para teolog Wesleyan
sebagai "segi-ernpat teologis" (theological quadrilateraL). Pada
kenyataannya, tidak ada seorang teolog pun yang bisa lepas
dari keempat sumber itu. Perbedaan antara satu teolog dengan
teo log lain ada pad a penekanan dan bobot yang berlainan yang
diletakkan pada masing-masing sumber itu.
Kita sudah melihat, misalnya, bagaimana pengalaman kaum
perempuan yang pahit melahirkan kritik yang serius terhadap
teori-teori pendamaian salib. Ioanes Rakhmat meminjamkritik teolog-teolog feminis tersebut, tanpa memberi bobot
lebih pada pengalamannya sendiri: sebaliknya, ia menggeserpenekanan pada rasionalitas, karen a menurutnya iman adalah
pikiran. Itu sebabnya, ketika membaca kritik para feminis kita
MENYAPA UMAT 11
bisa merasakan aura autentisitas yang kental, yang ternyata
raib ketika kita membaca kritik yang sama yang muncul dari
buku Ioanes Rakhmat.Saya berkarya sebagai seorang pendeta di sebuah gereja (GKI)
yang sudah memutuskan, setidaknya dalam Tata Gereja-nya,
untuk menjadi sebuah gereja yang merniliki visi Kerajaan Allah
yang terwujud dalam keutuhan ciptaan, keadilan, perdamaian
dan pembebasan. Singkatnya: sebuah gereja yang mencintai
dan memperjuangkan kehidupan. Maka, sudah menjadi tugas
saya dan semua warga gereja saya untuk mengevaluasi terus-menerus setiap elemen ajaran gereja saya, setiap nyanyian yang
dipakai dalam ibadah-ibadah, setiap kurikulum pendidikan
Kristiani yang ditawarkan bagi warga jemaat, agar semuanyaitu secara konsisten dan koheren sejalan dengan visi dan
komitmen di atas. Hal yang serupa perlu terjadi di dalam gereja
Anda masing-masing juga. Kita berterima kasih atas bantuan
loanes Rakhmat yang sudah menunjukkan kemungkinanbahwa teologi kita dapat saja secara inkonsisten mewartakan
Allah yang penuh belas-kasih. Ucapan terirna kasih kita
kepadanya tidak harus berarti mengikuti jalan keluar yang
ditawarkannya yang ternyata justru membawa kita kepada
sebuah jalan buntu. Sebuah cul-de-sac!
Karena itu, sikap kritis sekaligus penuh penghargaan
terhadap warisan tradisi yang mengasuh kita sejauh ini,
termasuk salib, perlu menjadi dua karakter utama keputusan
kita untuk berdamai dengan salib. Biarlah kata-kata James H.
Cone menjadi peringatan bagi kita semua, kerika ia menu lis
dengan benderangnya,
Sekalipun saya setuju dengan para feminis dan woma nis bahwa
teori-teori pendamaian yang ortodoks merupaka n sebuah
146 1 BERDAMAI DENGAN SALIB
pengingkaran terhadap marta bat kemanusiaan, saya tidak dapat
berhenti pada kritik mereka dan mengabaikan salib. Kita harus
ingat bahwa setiap pemikiran teologis atau tindakan etis yang
baik selalu dikotori oleh dosa, yaitu, pementingan diri kita; dan
karenanya para teolog dan pengkotbah hams selalu berbicara
secara hati-hati dan dengan kerendahhatian dan kritik-diri
dan tak pernah dengan dogmatisme. Sebagai teolog, tanggung
jawab kita adalah untuk menunjukkan bagaimana pernuliaan-
diri merusak pelayanan dan refleksi teologis Kristen ... Semua
orang Kristen perlu menginternalisasikan kritik-atas-salib ini
setiap hari. Dengan demikian, kita tidak boleh mengabaikan
sa lib, karena banyak orang memakainya untuk kejahatan. Salib
merupakan simbol yang paling memberdayakan dari solidaritas
Allah yang penuh kasih kepada "mereka yang paling hina,"
yang tertolak dalam masyarakat yang setiap hari menderita
dari ketidakadilan yang luar biasa. Kita harus menghadapi
salib ini sebagai tragedi yang mengerikan dan menemukan di
dalamnya, melalui iman dan pertobatan, solidaritas Allah melalui
penderitaan kepada orang-orang yang tersalibkan pada mas a
kini, yang memberikan kepada mereka kekuatan untuk menolak
salib-salib ketidakadilan dalam kehidupan mereka sesehari.
(Cone 2007, 52)
Cone tampak bersikap kritis terhadap dogmatisme salibyang menurutnya dapat memberi sumbangan bagi manipulasiatas makna salib. Ioanes Rakhmat pun tampil sebagai seorangyang sangat kritis terhadap dogmatisme, bahkan hersikapanti-dogmatis. Al.an tetapi, berbeda dengannya, Cone tampaktidak ingin mempertentangkan dogmatisme dengan anti-dogmatisme. Bagi Cone, dogma salib bisa tetap membebaskan,tanpa terjerat ke dalam dogmatisme. Sikap serupa pernah
MENYAPA UMAT 114
disampaikan juga empu Yesus Sejarah, John D. Crossan. Iaberkata bahwa satu-satunya hal "yang lebih menyedihkandari pada pencarian dogma tis" bagi Yesus Sejarah adalah"pencarian yang antidogmatic" (Crossan 1994, 153).Kekuatiransaya dengan Ioanes Rakhmat adalah ketika ia memaknai sikapkritisnya terhadap dogma sebagai sebuah antidogmatisme.
MENUJU GAll LEA:AN INCONCLUSIVE CONCLUSION
Saya harus mengakui bahwa buku ini tidak menyediakansebuah model pendamaian salib yang saya konstruksi sendiri.Sebagaimana yang saya paparkan di awal, tujuan utama bukuini adalah untuk merespons secara kritis buku Ioanes Rakhmat,Membedah Soteriologi Salib, dan menyatakan kepada umatsikap semacam apa yang bisa kita pilih terhadap salib. Tugasmerekonstruksi teologi salib masih menjadi hutang saya, danhutang semua orang yang tetap memercayai bahwa salib dankebangkitan Kristus sungguh bermakna sotertologts. Semuausaha berteologi salib adalah suruhan untuk beriman secarakritis dan kontekstual.
Tradisi-tradisi Kristen, sebagaimana muncul dalampengakuan-pengakuan iman ekumenis, misalnya, tidakmenyediakan teori mendetil tentang salib Kristus. Merekasekadar memproklamasikan sebuah keyakinan mendasarbahwa Kristus yang tersalib dan bangkit menghadirkankeselamatan Allah kepada manusia. Kita masih perlumembubuhkan "daging" kontekstualkepada "roh" pendamaiansalib itu. Bagaimana kita memahami secara doktrinal danteoretis salib dan kebangkitan Kristus terkait erat dengan
1481 BERDAMAI DENGAN SALIB
bagaimana kita mengizinkan salib Kristus itu mewarnai
cara kita menghidupi hidup kita di dunia yang penuh dengan
kekerasan ini.
Kini, izinkan saya untuk mengakhiri buku kecil ini dengan
memberikan sebuah komentar singkat atas ending lnjil Markus.
Manuskrip Injil Markus yang tertua ternyata berhenti di 16:8a.
Beberapa versi Alkitab berbahasa Inggris, misalnya NIV danNRSV, memberi catatan yang mengakui kemungkinan besar
ditutupnya lnjil Markus dengan ayat 8a, dengan mengacu
pad a ditemukannya manuskrip-rnanuskrip yang lebih tua.Selengkapnya saya akan kutip mulai ayat 6,
6 tetapi orang mud a itu berkata kepada mereka: "Iangan takut!
Kamu mencari Yesus orang Nazaret, yang disalibkan itu. Ia
telah bangkit. Ia tidak ada di sini. Lihat! IniJah tempat mereka
membaringkan Dia. 7 Tetapi sekarang pergilah, katakanlah
kepada murid-murid-Nya dan kepada Petrus: Ia mendahului
kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia, seperti yang
sudah dikatakan-Nya kepada karnu." 8a Lalu mereka keluar dan
lari meninggalkan kubur itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa
mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapapun juga
karen a takut.
Dan selesailah Injil Markus, ditutup dengan sebuah kata yang
menggetarkan dan menggelisahkan: takut! Injil (baca: kabar
baik) macam apa yang menutup pewartaannya dengan sebuah
situasi ketakutan? Tetapi penulis Injil Markus melakukannya.
Bahkan, dengan sengaja. Kenyataan yang menggelisahkan
inilah yang mungkin membuat komunitas Markus kemudian
menambah injil ini dengan sebuah ending yang dirasa lebihpatut (Mrk. 16:8b-20). Sebuah injil atau kabar baik-demikian
MENYAPA UMAT 1149
mungkin pemahaman mereka-tak boleh berakhir begitu saja.
Ia harus berakhir indah, seperti injil-injillainnya.
Padahal, karakter open-ending itulah yang menjadikan
injil ini sungguh menawan. Kabar baiknya justru ditemukan
dalam paradoks kebangkitan Yesus dan ketakutan manusiawi.
Dan justru ketakutan tersebut kini diletakkan dalam sebuah
konteks pewartaan si orang muda tentang kebangkitan
Yesus, yang belum terlihat namun tetap memberi harap.
"Ia mendahului kamu ke Galilea!" Dengan menjadi lokasi
kepastian kebangkitan, Galilela dikukuhkan sebagai sumberpengharapan bagi orang-orang kecil yang hidup dalamketakutan itu. Dengan demikian, Injil Markus adalah Injil yang
bermula dan berakhir di Galilea, bukan Yerusalem.
Yerusalem adalah pusat politik. Di sanalah seluruh intrikpolitik penguasa Romawi dan 'politik kerakyatan Israel
yang tertindas saling-terjang. Yerusalem juga adalah pusatagama, dengan Bait Allah sebagai simbol termegahnya.Sedang Galilea? Menjadi seorang Yahudi Galilea berarti
menjadi seorang yang tersingkir karena berbagai sebab-
secara geografis, sosial, kultural, linguistik dan religius.
Galilea adalah wilayah di mana hidup rakyat dari berbagai
asal-muasal: sebuah wilayah yang secara ekonomis terre-
pikan; sebuah daerah dengan rakyat yang disibukkan dengan
perjuangan melanjutkan hidup dan karenanya tak bisa punyawaktu untuk mengurusi seribu satu kewajiban agama (dan
karenanya kerap disebut "orang-orang berdosa").Kelahiran Yesus-atau, inkarnasi Anak Allah-di daerah
Galilea membuat skandal kerajaan Allah memeroleh jalan
curamnya yang membahayakan. Dan salib menjadi titik
ekstrimnya.
150 1 SERDAMAI DENGAN SALIS
Komitmen Yesus untuk hidup dalam solidaritas dengan
rakyat Galilea itu sekaligus merupakan komitmen untuk
sudi bersikap kritis terhadap Yerusalem sebagai pusat politis
dan religius. Itu sebabnya, penulis Ibrani mengekspresikan
keyakinannya begini, "Itu jugalah sebabnya Yesus telah
menderita di luar pintu gerbang untuk menguduskan urnat-Nya dengan darah-Nya sendiri. Karena itu marilah kita pergi
kepada-Nya di luar perkemahan dan menanggung kehinaan-
Nya" (Ibr. 13:12-13).
Dengan cara menutup injilnya dengan beragam
kemungkinan tanpa kepastian, bahkan dengan kata "takut,"
penulis Injil Markus sesungguhnya ingin berkata bahwa, jika
keselamatan memang bermula dan berakhir di Galilea, makatak ada jalan lain bagi kita selain menyusul Dia yang bangkit
ke Galilea, serta menemukan Dia yang tersalib dan bangkit itu
di kerumunan orang-orang kecil di sana. Dengan menemukan
"galilea" kita sendiri, maka-c-percayalabl=-kita pun bakal
menemukan Dia yang tersalib dan bangkit itu.
Di tepian "galilea" hidup kita itulah kita berdamai dengan
sa lib, merayakan kehidupan akibat kebangkitan, dan
mengasuh kemanusiaan yang menderita, yang dikasihi Allah.
Sungguh, keselamatan bermula dari tepian!
Salib bisa mewartakan sebuah kekerasan ilahi (divinehostility) atau sebuah keramahtamahan ilahi (divine hospitality).
Keselamatan atau kutuk. Kitalah yang menentukannya.Injil Markus yang menyajikan sebuah penutup yang terbuka
mengisyaratkan kebebasan bagi para pembacanya, Anda
dan saya, untuk menentukan pilihan. Tersedia cukup ruang
kebebasan bagi kita untuk menentukan respons eksistensialkita terhadap salib Kristus. Ioanes Rakhmat sudah menentukan
MENYAPA UMAT 1151
pilihannya. Dan Anda pun harus menentukan pilihan Anda
sendiri. Saya sudah memperlihatkan bahwa masih sangat
banyak alternatif yang tersedia di dalam kekristenan kanonis
dan bahwa alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh ioanesRakhmat tidaklah memadai.
Iika Anda akhirnya mengambil sebuah keputusan imanAnda sendiri, dan semoga sebuah keputusan yang tak sarna
dengan Ioanes Rakhrnat, setidaknya tujuan buku ini tercapaisudah.
APENDIKS DUA
Saat Kebangkitan Yesus
Dipertanyakan: Sebuah Respons
atas Tulisan loanes Rakhmat
TUlisan ini merupakan sebuah respons atas tulisan Ioanes
Rakhmat, kolega saya di STT Jakarta dan GKI, yang
dimuat di harian Kompas pad a tanggal 5 April 2007. Momen
pemunculan artikel berjudul "Kontroversi Temuan Makam
Keluarga Yesus" (Rakhmat 2007) ini sendiri cukup problernatis:
terbit pada hari Kamis Putih, tiga hari sebelum umat Kristen
sedunia merayakan kebangkitan Yesus Kristus.
Di satu sisi, minggu yang menandai puncak perayaan iman
Kristen itu memang saat yang paling pas untuk berbicara
tentang tema kebangkitan. Surat-surat kabar di seluruh
Nusantara menghadirkan artikel dan renungan dari banyak
penulis Kristen. Termasuk artikel Ioanes Rakhmat. Bahkan,
j!
APENDIKS DUA 115
ia mendapat kesempatan khusus untuk menampilkan
artikelnya di kolom "Bentara" dari sebuah harian nasional yang
terkemuka, dengan pembaca yang mungkin paling banyak
dan paling beragam latar. Namun, di sisi lain, artikel Ioanes
Rakhmat ternyata mengambil sebuah rute yang berbeda dari
para penulis lainnya, rute yang ternyata rnalah berujung
pada klaim yang berseberangan dengan yang tulisan-tulisan
lainnya: "Kebangkitan dan kenaikan Yesus ke surga tidak
bisa lagi dipahami sebagai kejadian-kejadian sejarah objektif,
melainkan sebagai metafora." Dan segera saja trihari suci yang
menjadi puncak perayaan iman Kristen sepanjang tahun ituramai diisi dengan reaksi atas tulisan Ioanes Rakhmat.
Reaksi yang muncul tentu saja beragam. Akan tetapi, bisa
dibayangkan bahwa jauh lebih banyak reaksi negatif yang
muncul (marah, bingung, dan kecewa) ketimbang reaksi
positif (mendukung dan gembira). Setidaknya, itulah yang
saya amati dari banyak mailing list yang saya ikuti dan surat-
surat elektronik pribadi yang saya terima. Iadi, apakah
tindakan Ioanes Rakhmat meluncurkan tulisan semacam
ini di tengah momen Paskah bisa dikatakan bijaksana? Tak
mudah menilainya. Tentu saja kita perlu menghargai Ioanes
Rakhmat yang amat mungkin berusaha memaknai Paskah
dengan caranya sendiri. Sarna seperti para penulis Kristenlain yang berusaha berpartisipasi meramaikan Paskah dengantulisannya masing-masing. Apa pun isinya.
Akan tetapi, di sisi lain, saya tentu saja juga memahami danbersimpati dengan kegalauan banyak pembaca yang merasa
tak siap mengunyah artikel Ioanes Rakhmat justru di saat-
sa at imannya tengah dirayakan. Kritik saya terhadap Ioanes
Rakhmat justru di sini, yaitu ketidakarifannya melempar
ke tengah-tengah publik, sebuah artikel ilmiah yang. sesuai
154 1 BERDAMAI DENGAN SALIB
dengan judul yang dipakai Ioanes Rakhmat sendiri, ternyatamasih merupakan sebuah kontroversi di kalangan para ahli.
Apa masalahnya? Di sini masalahnya: Berdasarkan sebuahisu yang secara ekstrim masih begitu kontroversial seperti ini,Ioanes Rakhmat menyodorkan kesimpulan yang berdampakbesar bagi perumusan iman Kristen. Tentu, kehadirannya disaat-saat Paskah hanya menambah sengit reaksi yang muncul.Bagai menuang bensin ke tengah-tengah api.
lsi seluruh artikel itu sendiri sebenarnya bias a-bias a saja.Ioanes Rakhmat sebenarnya sekadar melakukan report-ase perkembangan mutakhir seputar isu penemuan makamkeluarga Yesus di Talpiot. Ioanes Rakhmat tidak memberi andilsarna sekali terhadap proses penelitian yang menu rut hematsaya merupakan sebuah kemewahan intelektual itu. Memangada bagian di mana, menu rut saya, Ioanes Rakhmat tergodamembuat kesimpulan premature atas penelitian yang masihsangat immature.
Iika pengujian DNA diizinkan oleh OK! untuk dilakukan pada
human residue Yakobus (hingga kini OK! rnasih belum memberi
izin), dan jika terbukti bahwa DNA Yakobus match dengan DNA
Yesus (yang sudah diketahui). maka akan tidak terbantahkan lagi
bahwa makam keluarga di Talpiot itu adalah makam keluarga
Yesus dari Nazareth, Yesus yang punya saudara satu ayah, yang
bernama Yakobus, sebagaimana dicatat baik oleh tradisi Kristen
(Galatia 1:19; Markus 6:3) maupun oleh Flavius Yosefus, sejarawan
Yahudi.
Di luar godaan ini, tidak ada yang baru yang disurnbangkanoleh Ioanes Rakhmat. Kecuali rnungkin bagian "Sanggahan"
f11I
IiI
APENDIKS DUA 1155
yang memang lebih menunjukkan peran Ioanes Rakhmatdalam menganalisis peta perdebatan.
Narnun, yang sangat berrnasalah justru adalah bagian"Penutup." Alih-alih berfungsi untuk menutup reportase sangpenulis, bagian ini justru menjadi pintu yang terbuka lebar-lebar untuk seribu satu masalah. Karena di bag ian inilah IoanesRakhmat menelikung, dan melakukan sebuah maneuver: Darireportase historis-arkeologis ke dampak teologis-irnani yangditimbulkan dari penelitian Talpiot. Tanpa penjelasan lebihlanjut. Tanpa penalaranlebih dalam.
Iika di bagian sebelumnya Ioanes Rakhmat tarnpil sebagaiseorang sejarawan (atau: "wartawan yang rnelaporkan temuansejarah"), di bagian Penutup ia mernakai jubah larnanyasebagai seorang teolog, atau rnalah seorang pendeta. Maka, jikabagian sebelurnnya amat panjang, narnun tanpa sumbanganpernikiran sarna sekali, bagian terakhir amat singkat, dipadatidengan klaim-klairn teologis berat narnun tanpa penjelasan.Selesai! Dan pernbaca pun ditinggalkan dalam kebingungan.
Inilah lebih kurang cara saya rnembaca tulisan IoanesRakhmat. Kasus Talpiot hingga kini rnasih menjadi sebuah isukontroversial di kalangan ilmuwan, baik sejarawan rnau punarkeolog, apalagi teolog. Saya rnendapat kesan kuat bahwaIoanes Rakhmat hanya rnelontarkan gagasan-gagasan yang"berkenan" baginya, dalarn hal ini pandangan Tabor, Jacobivicidan lainnya. Padahal, masih banyak i1muwan lain yangrnenyatakan pendapat ilmiahnya, yang berlawanan denganpandangan Tabor dan kawan-kawan. Dalarn hal ini, IoanesRakhmat kurang rnemperhitungkan mereka, jika tidak malahrnengabaikan sarna sekali.
Maka, rnerupakan sebuah sikap tak bertanggung jawabjika diskusi yang rnasih immature itu dilontarkan begitu saja
156 1 BERDAMAI DENGAN SALIB
kepada publik, bahkan dengan imbuhan implikasi yang begituserius bagi pokok keyakinan Kristiani yang dipandang ultimate:
Kebangkitan Yesus. Yang lahir kemudian adalah sebuah teologiyang premature. Da n itu yang saya temukan, setidaknya padabagian "Penutup" tulisan Ioanes Rakhmat. Dan semua teologiyang prematur akan membawa lebih banyak persoalan takperlu, ketimbang pemerkayaan publik.
Bahkan, pembacaan yang teliti atas tulisan-tulisan IoanesRakhmat membuat saya berkesimpulan bahwa Ioanes Rakhmatsama sekali tidak membutuhkan Tabor dan hasil penelitianTalpiot. Artinya, pemahaman teologis Ioanes Rakhmat agaknyasudah settled sebelum tuntasnya penelitian makam keluarga"Yesus." Menggabungkan telaah arkeologis-historis dantelaah teologis, menurut hernai saya, merupakan kekeliruanfatal Ioanes Rakhmat. Sekalipun saya membayangkan bahwastrategi ini dibutuhkan Ioanes Rakhmat agar pemahamanteologisnya "tarnpak" terdukung oleh temuan mutakhir yangbisa diandalkan keilmiahannya. Tampak canggih.
Namun, perhitungan Ioanes Rakhmat agaknya meleset.Pertama, pengandalan berlebihan pad a Tabor sesungguhnyatidak menguntungkan Ioanes Rakhmat, karena surveisingkat yang saya lakukan terhadap jurnal-jurnal ilmiah(yang peer-reviewed, artinya, yang direview oleh komunitasakademis) di bidang ini menunjukkan banyaknya penolakanterhadap keilmiahan karya Tabor. Iadi, seandainya saja IoanesRakhmat hanya berbicara pada ranah teologis, sesuai dengankompetensinya sebagai seorang teolog, maka beban tanggungjawabnya tak akan seberat sekarang. Kedua, sebaliknya, bebanyang harus dipikulnya juga tak akan memberatkannya, jikaia hanya berbicara tentang situasi terkini penelitian Talpiot,dari perspektif historis-arkeologis, tanpa terburu-buru
APENDIKS DUA 1157
merumuskan implikasi teologisnya. Toh, hanya laporan terkini.Sayangnya, Ioanes Rakhmat menggabungkan keduanya, itupun dengan memihak secara berlebihan pada teori Tabortanpa mempertimbangkan pandangan dari ilmuwan lain, lalumenutupnya dengan gong teologis yang begitu sumir, tanpaelaborasi lebih jauh.
Itu sebabnya, saya cenderung untuk membahas bagian"Penutup" tulisan Ioanes Rakhmat saja, yaitu wilayahteologis yang sedikit dibahasnya. Secara umum saya inginmengajukan tiga keberatan utama saya, yang bisa dirangkumsebagai berikut. Ioanes Rakhmat agaknya terjatuh ke dalamtiga macam dikotomi yang keliru: dikotomi antara metaforadan sejarah: dikotomi antara objektlvitas dan subjektivitas,serta; dikotomi antara tubuh dan roh. Hasil tinjauan saya akanberujung pada sebuah kesimpulan, bahwa apa yang disebutkontroversi oleh Ioanes Rakhmat sesungguhnya merupakansebuah kontroversi yang semu. Saya akan berusaha semampusaya untuk membahasakan kritik saya secara sederhana,sekalipun harus diakui bahwa isu yang tengah dipertaruhkandi sini sama sekali tak sederhana. Penyederhanaan yang sangatberlebihan, seperti yang tampil dalam tulisan Ioanes Rakhmat,justru akan memunculkan lebih banyak permasalahan baru,ketimbang penyelesaia n masalah y-angsudah ada sebelumnya.
158 1 BEROAMAJ O[NGAN SALIB
DIKOTOMI METAFORA VS. SEJARAH
Pembuktian Sejarah
Apakah memang kebangkitan Yesus bisa dibuktikan
secara historis dan ilmiah? Ini pertanyaan yang selalu
terus menghantui teologi Kristen sepanjang zaman. Kasus
Talpiot mengangkat isu ini Ice level berikutnya: Apakah
ketidakbangkitan Yesus bisa dibuktikan secara historis dan
ilrniah? Ioanes Rakhmat mengambiJ jalur ini dan menjawab:
Ya, bisa! Pertanyaannya adalah: Apakah memang pembuktianhistoris dan ilmiah merupakan prasyarat diteguhkannya
keyakinan Kristiani akan kebangkitan Kristus?
Ketika tulisan Ioanes Rakhmat muncul, segera saja amat
banyak orang Kristen di banyak milis Kristen yang berusaha
melakukan pembuktian bahwa kebangkitan Yesus sungguh
terjadi dalam sejarah. Sementara Ioanes Rakhmat menyim-
pulkan bahwa kebangkitan Yesus bukanlah "kejadiansejarah objektif," berdasarkan pembuktian makam Talpiot,
para lawannya hendak membuktikan bahwa kebangkitan
Yesus merupakan kejadian sejarah yang objektif. Keduanya
berseberangan. Narnun, uniknya, keduanya memiliki
pola pikir yang sama persis, yaitu bahwa kebangkitan atau
ketidakbangkitan Yesus harus bisa dibuktikan sebagai sebuah
peristiwa sejarah. Artinya: kebangkitan Yesus Kristus yang
menjadi pilar iman Kristen itu bergantung pad a pembuktiansejarah,
Cara pikir semacam ini menggelisahkan saya. Karena akibat
yang muncul adalah ditetapkannya ilmu sejarah dan arkeologi
sebagai pemasok dan bahkan penentu kebenaran iman Kristen.
Padahal, harus ditegaskan sejak semula bahwa yang terlibat
APENOJKS OUA 1159
dalam persoalan ini sebenarnya bukan saja ilmu pengetahuan
(sejarah dan arkeologi) namun juga iman Kristiani. Keduanya
berada pada wilayah atau domain yang berlainan, dan
karenanya tidak bisa salah satu domain dengan mudah dipakai
untuk menentukan kebenaran domain lainnya.
Ilmu sejarah dan arkeologi, sama seperti bidang ilmupengetahuan lainnya, bekerja tanpa asumsi religius di
belakangnya. Sebaliknya, iman Kristen berangkat dari iman
menuju iman (from faith tofaith), yang muncul d~ri pengalaman
umat percaya akan peristiwa sejarah tertentu yang rnereka
simpulkan sebagai karya agung Allah bagi manusia. Dalam hal iniada dua hal yang saling terkait.
Pertama, kita tak perlu merasa gundah jika dari sudut
pandang ilmu sejarah dan arkeologi memang tidak bisa
dibuktikan secara memuaskan fakta kebangkitan Yesus. Ini
kenyataan yang harus diterima. Bahkan, jika kit a jujur dengan
Kitab Suci kita, memang tidak ada catatan yang membuktikan
peristiwa kebangkitan Yesus, detik-detik dari jasad yang matimenjadi hidup kembali. Tidak ada. Yang ada adalab: kisah-
kisah penampakan Yesus yang sudah bangkit kepada banyak
orang dan kubur yang kosong. Para penulis Perjanjian Baru
mengambil sebuah keputusan iman, disertai penalaran yang
induktif, bahwa dari semua peristiwa terse but, disimpulkanlah
bahwa Yesus memang sungguh-sungguh bangkit dari antaraorang lain. Mereka meyakini bahwa kebangkitan Yesus
memang berlangsung dalam sejarah. Tapi, sekali lagi, ini
keputusan iman. Ini bukan kesimpulan dari hasil penelitiansejarah atau arkeologi.
Kedua, kita pun juga harus menyadari karakter dari ilmu
sejarah dan arkeologi yang selalu tentatif dan tak pernah final.
Apalagi saya berkeyakinan bahwa peristiwa kebangkitan
160 I BERDAMAI DENGAN SALIS APENDIKS DUA 1161
Yesus, sama seperti peristiwa-peristiwa masa silam, bersifat
irrecoverable, tak bisa ditemukan ulang. Inilah yang membuat
kesimpulan dari ilmu sejarah selalu bersifat tentatif dantak pernah final. Bisa diharapkan untuk selalu mendengar
hipotesis dan teori baru berdasarkan temuan baru. Namun
tidak akan pernah bisa tuntas. Iika dernikian, maka kekeliruan
Ioanes Rakhmat menjadi jelas. Ia mengambil kesimpulan final
pada domain iman berdasarkan temuan pada domain ilmu
sejarah dan arkeologi yang tak pernah final.
dunia teologi sudah bersentuhkan dengan ilmu semiotika pada
level yang amat kompleks.Bagi mereka yang mendalami, isu ini, kalirnat loanes
Rakhmat di atas terdengar sebagai sebuah penyederhanaan
yang membahayakan. Berbahaya, karena istilah metafora
sudah terlanjur dimaknai oleh non-teolog sebagai yang
sesuatu yang bukan faktual, "tak sungguh-sungguh terjadi,"
at au malah diasosiasikan dengan "khayalan." Yang menarik,
pandangan popular ini rupanya tercermin juga dalam kalimat
loanes Rakhmat di atas. Kenyataan sejarah dilawankan dengan
metafora. [ika kebangkitan bukan peristiwa sejarah objektif,
maka itu merupakan sebuah metafora.Padahal, di dalam dunia teologi, metafora bisa dipahami
bermacam-macam. Dan karena terlalu banyaknya pemaknaan
atas kat a teknis ini, alangkah bijaksananya untuklebih berhati-
hati dalam memakainya. Atau, jika memang mau tak mauistilah ini harus dipergunakan, tentulah penjelasan yang
memadai dibutuhkan. Hal ini yang tak muncul sarna sekali di
tulisan Ioanes Rakhmat tatkala ia memakai kat a "metafora,"
bahkan pemakaian kata ini malah membawa lebih banyak
persoalan baru.Salah satu penjelasan tentang metafora, yang menurut saya
memuaskan, adalah dengan mengatakan bahwa metafora
merupakan sebuah cara pembahasaan atas realitas adiluhurdi mana Sang Ilahi bertindak di dalam sejarah manusia. Yang
metahistoris memasuki yang historis. Dan pembahasaan
terse but dikerjakan lewat kosakata manusiawi yang terbatas,yang dengan gagap namun penuh keyakinan dimaklumatkan
sebagai kenyataan yang sungguh-sungguh berlangsung.
Maka, sejauh tindakan ilahi itu dialami secara nyata oleh umatberiman, apa yang mampu tertuturkan adalah bahasa iman,
Metafora
Kekeliruan Ioanes Rakhmat di atas diperparah oleh dikotomiatau pemisahan tajam antara sejarah dan metafora. Dalam
hal ini pun kekeliruan yang sarna banyak dilakukan oleh para
lawan Ioanes Rakhmat, hanya dengan arah yang berlawanan.
Iika Ioanes Rakhmat berkata, "kebangkitan dan kenaikan
Yesus ke surga tidak bisa lagi dipahami sebagai kejadian-kejadian sejarah objektif, melainkan sebagai metafora," maka
lawan Ioanes Rakhmat lebih-kurang berkata, "kebangkitan
Yesus adalah peristiwa sejarah objektif dan bukan metafora."Keduanya sarna-sarna terjatuh ke dalam kekeliruan memahami
dengan terlalu sempit makna sejarah dan metafora.
Semenjak dunia teologi berkenalan dengan ilmu semiotika,
istilah metafora acap kali digunakan untuk mengistilahkanbahasa iman umat. Masalahnya, perkembangan studi
semiotika berkembang begitu pesat dan menghasilkan teori
yang luar biasa majemuk tentang apa itu bahasa simbol, mitos
dan meta fora. Perkembangan studi ini tentu di luar daya cakup
tulisan ini. Namun, yang hendak saya katakan adalah b.ihwa
162 I BERDAMAI DENGAN SALIB
yang melampaui deskripsi dan pembedahan ilmu sejarah.
Pada gilirannya, meta fora juga berakar pada realitas sejarah
di mana ia muncu!. Ia bukan khayalan. Ia merupakan satu-satunya cara umat percaya mengalimatkan keyakinan mereka
atas karya ilahi yang meLampaui bahasa manusia namuntetap harus dibahasakan oLeh manusia. Ia bukan berada pada
kategori "rnasuk akal" atau pun "tidak masuk akal," melainkan
"melampaui akal."
Iika demikian, dikotomi antara meta fora dan sejarah tidak
perlu terjadi dan malah bisa jadi memiskinkan keduanya.
Sebuah pernyataan religius bersifat metaforis (misalnya:
"Kristus bangkit dari antara orang mati") justru karena dalam
lokasi sejarah tertentu, sekumpulan orang yang percaya
mengalami karya adiluhur Allah yang terbuka kepada manusia
melalui penampakan Yesus dan kubur kosong. Maka, meta fora
religius sungguh berakar pada sejarah dan pada gilirannyamengundang iman itu untuk menyejarah.
Singkatnya, mengatakan bahwa kebangkitan Yesus itu
bukan peristiwa sejarah namun hanyalah sebuah metafora(Ioanes Rakhmat) sarna kelirunya dengan mengatakan bahwa
kebangkitan Yesus bukanlah meta fora namun hanyalahsekedar sebuah peristiwa sejarah -(para penentang Ioanes
Rakhmat).
Demonstrasi Historis atau Keputusan Iman?Menuju sebuah Konvergensi
Francis Schussler Fiorenza memberikan pengamatan
yang menarik ten tang perkembangan teologi belakangan dikalangan Katolik dan Protest an (Fiorenza 1997). Ia menga-
takan bahwa teologi Katolik, yang selama ini selalu berusaha
APENDIKS DUA 1163
menyuguhkan bukti historis akan kebangkitan Kristus sebagai
prasyarat iman Kristen, kini mengalami pergeseran cara
pandang. Para pemikir Katolik, misalnya, akan mampu berkata
bahwa kebangkitan Yesus merupakan sebuah fakta yang tak
dapat dibuktikan secara historis; sebaliknya, ia merupakan
sebuah realitas (mysterium) yang dapat diakses hanya melaJui
iman. Sebaliknya, kalangan Protestan justru mengambil
alih posisi yang ditinggalkan oleh teologi Katolik, dengan
menegaskan bahwa kebangkitan Kristus seharusnya dapat
dibuktikan secara historis, jika memang ingin menjadi dasar
iman. Padahal sebelumnya teologi Protestan didominasi oleh
cara berpikir neo-orthodoks a LaKarl Barth, yang seJalu dikritik
karena seakan melupakan dan meniadakan pentingnyasejarah. Sikap baru dalam lingkungan Protestan ini muncul,
misalnya, dalam tulisan-tulisan Wolfhart Pannenberg danWilliam Lane Craig.
Iadi mana yang kita pilih dalam mengusahakan keabsahan
iman Kristen akan kebangkitan Yesus? Dernonstrasi dan
pembuktian historis at au keputusan iman? Dua-duanya
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Iika demonstrasi historis dipakai, maka teologi bisa bercakap-
cakap dengan ternuan-temuan dalam ilmu sejarah dan
arkeologi (dan ilmu-ilmu lainnya). Ini sisi positifnya. Namun
sisi negatifnya, teologi lantas bergantung dan mengandaikanstudi his tor is dan ilmiah lain. Ia tak lagi mandiri dan unikdalam mendekati realitas hidup.
Sebaliknya, jika keputusan iman menjadi pintu masuk
menegaskan keabsahan kebangkitan maka, positifnya, apa
pun hasil temuan historis tidak memengaruhi keabsahan
kesimpulan iman kita. Apalagi dengan kenyataan bahwa
ilmu pengetahuan selalu bersifat tentatif dan tak pernah
--.itt
164 I BERDAMAI DENGAN SALIB APENDIKS DUA \165
final. Namun kekurangan cara ini juga tampak jelas. Teologi
membuat kekristenan menjadi tak peka pada dimensi
historisnya. Iman jadi tak lagi menyejarah.
Solusi yang saya tawarkan sebenarnya telah diusulkan
oleh Gerald O'Collins dalam bukunya, 'The Resurrection of
Jesus Christ: Some Contemporary Issues (O'Collins 1993).Ia berpendapat bahwa pertanyaan yang selalu hadir, di
tengah menumpuknya usaha para teolog memberikan bukti
historis kebangkitan Yesus, adalah: "Bagaimana kesirnpulan-
kesimpulan yang mungkin at au bahkan sangat mungkin
tentang penelitian historis semacam itu dapat mengesahkankeputusan iman yang tanpa syarat dan pasti?" Dan ia
menjawab: Iika kita hanya mengandalkan demonstrasi historisatas kebangkitan Yesus, maka seluruh usaha pernbuktian itu
tidak bisa memberi kepastian bagi iman Kristen. Sebaliknya,
yang dibutuhkan adalah "tanda-tanda yang menyatu
(convergent signs) yang mengesahkan iman Paskah." Apa yang
hendak disatukan? Pertarna, argumen eksternal dan argumen
internal. Sementara argumen eksternal diperoleh dari bukti-
bukti historis, seberapa pun terbatasnya, argumen internal
didapati pada perayaan kehidupan di hadapan kefanaan yang
diperoleh karena berita Paskah. Konvergensi at au penyatuan
kedua sumber eksternal dan internal itu menunjuk pada
peristiwa kebangkitan Yesus.
DIKOTOMI OBJEKTIF VS. SUBJEKTIF
dari kalimat Ioanes Rakhmat berikut ini, "Dalarn metafora
sebuah kejadian hanya ada di dalam pengalaman subyektifbukan dalam realitas obyektif" Kalimat ini hendak mengatakan
dengan cara berbeda, bahwa kebangkitan Yesus tidak benar-
benar terjadi di sebuah saat tertentu dan di sebuah lokasi
tertentu. Karena suatu peristiwa dikatakan objektif jika ia
terjadi pada ruang dan waktu tertentu dan dapat diakses oleh
siapa pun, terlepas orang itu percaya atau tidak pada peristiwa
terse but. Sebaliknya, suatu peristiwa disebut subjektif jika ia
tidak terjadi pada objek bersangkutan (dalam hal ini tubuh
Yesus) dan hanya terjadi di dalam pikiran atau perasaan
seseorang atau beberapa orang.
Dikotomi objektif-subjektif ini sudah memunculkankekacauan yang tak perlu. Secara popular orang memakai kata
subjektif sebagai lawan langsung dari kata objektif. Iika sesuatuobjektif, maka ia tak subjektif. Demikian pula sebaliknya.
Dan agaknya Ioanes Rakhmat memakai kedua kata ini dalambingkai pemaharnan-kontras yang sama.
Padahal, polarisasi atau pengutuban antara yang subjektif
dan yang objektif sudah lama ditentang, baik dalam filsafat
maupun teologi, sebagai cara berpikir yang bukan hanya
tak perlu namun juga menyesatkan. Pasalnya, relasi antara
subjek (manusia yang mengalami sebuah peristiwa) dan
objek (peristiwa itu sendiri) merupakan relasi yang am at
kompleks. Anthony Kelly, dalam tulisan apiknya, "Subjectivity,Objectivity, and the Resurrection," menegaskan, "Polaritas
antara subjek dan objek, jika didasarkan pada pengalaman
personal dan terbuka pada kesaksian orang lain, bukanlah
sebuah dikotomi; subjek dan objek mungkin dibedakan,
namun tak terpisahkan" (Kelly 2006). Keterbatasan ruangdari tulisan ini tidak mengizinkan saya membahas seluruh
Tulisan Ioanes Rakhmat mencerminkan dikotomi antarayang objektif dan yang subjektif, sebagaimana terlihat jelas
166 1 BERDAMAI DENGAN SALtB APENDIKS DUA 1167
pandangan Kelly yang menyeluruh. Namun yang dapat saya
katakan adalah bahwa gagasan utama Kelly konsisten dengan
usulan saya di atas yang mempertemukan makna sejarah dan
metafora bersama-sama. Metafora dipakhami sebagai eara
iman membahasakan pengalaman atas perjumpaan dengan
karya Allah yang adiluhur, yang tak terbahasakan melalui
eara biasa. Kelly menunjukkan, dengan meminjam konsep
Iean-Luc Marion tentang saturated phenomenon, bahwa
kebangkitan Kristus adalah sebuah peristiwa yang saturated,tak jenuh, berlimpah-limpah. Dalam peristiwa semaeam itu,
orang yang terlibat di dalamnya (para saksi penampakan Yesus
yang bangkit, misalnya), tak lagi bisa membuat jarak antara
subjek dan objek, antara dirinya dan sebuah peristiwa. Mereka
menyatu dengan dan tenggelam di dalam peristiwa yang tak
terkatakan itu. Kelly menyatakan, "gejala tersebut sungguh-
sungguh melimpahi baik kutub objektif dan subjektif dari
pengalaman Kristen dengan eksesnya sendiri, dan meletakkan
keduanya di dalam wilayah komunikasi dan kesaksian yang
berasal dari Allah."Alhasil, mereka yang berusaha memakai polarisasi objektif
versus subjektif akan gagal melihat inti sesunguhnya darikebangkitan Kristus. Thorwald Lotenzen berada pada jalur
yg mirip dengan Kelly ketika ia mengritik polarisasi subjektif-
objektif yang sarna (Lorenzen 2003). Dia mengatakan
bahwa mereka yang berusaha membuktikan objektivitas
kebangkitan Yesus (seperti yang dilakukan para lawan Ioanes
Rakhmat), gagal memahami maksud teks Perjanjian Baru
yang menekankan karakter kebangkitan yang sungguh-sungguh baru dan unik. Padahal kebangkitan yang diwartakan
Perjanjian Baru merupakan peristiwa terbuka, yangmengundang pembaca untuk masuk ke dalamnya melalui
iman. Maka, memang, tidak akan pernah ada seseorang bisa
seeara netral berjarak dengan peristiwa kebangkitan tersebut
at au malah membawa peristiwa tersebut ke bawah kaea
mikroskop untuk diteliti kebenaran historisnya. Singkatnya,
kata Lorenzen, "mengobjektifkan peristiwa kebangkitan
hanya akan menjauhkan kita dan bukannya menghubungkan
kita dengan peristiwa tersebut." Di sisi lain, Lorenzon juga
memperlihatkan bahaya lain ketika kebangkitan hanya
dipandang sebagai sebuah pengalaman subjektif (seperti
yang disimpulkan oleh Ioanes Rakhmat). Perjanjian Baru
selalu memperlihatkan manusia dalam keterasingannya dankarenanya selalu membutuhkan sebuah kepastian dari luar
(baea: objektif), yang ditemukan di dalam peristiwa Paskah
terse but.Selain itu, Kelly juga memuneulkan gagasan kedua, yang
berusaha menjembatani polarisasi antara yang objektif
dan yang subjektif dengan mengatakan bahwa peristiwa
kebangkitan Yesus yang disaksikan Perjanjian Barusesungguhnya menciptakan sebuah "ladang intersubjektif."
Paskah punya makna karen a ia mempertemukan bilangan
manusia yang begitu banyak itu ke dalam komunitas iman
bernama kekristenan, yang dimaknai hidupnya oleh peristiwa
dan pengalaman kebangkitan itu. Di dalam relasi komunal-
intersubjektif-itulah kebangkitan dirayakan dan mendapat
tempat semustinya dan sewajarnya.Singkatnya, peristiwa kebangkitan akan gagal direngkuh
maknanya jika sekadar dibenturkan pada polarisasi subjektif-
objektif. Ia harus diletakkan pada pemaknaannya bagi
komunitas global bernama Kristen, di mana kebangkitan
berwatak intersubjektif, yang juga terus-menerus menawarkan
undangan bagi dunia untuk memasukinya. Dan ketika itu juga
168 1 BERDAMAI DENGAN SALIB APENDIKS DUA 1169
DIKOTOMI TUBUH VS. ROH
juga memercayai kebangkitan tubuh. Masalahnya adalah,apa yang dipahami Ioanes Rakhmat (dan Borg) tentang kat a"bangkit" dan "tubuh" di sini. Pertama, Borg dan IoanesRakhmat benar ketika membedakan kebangkitan sebagairesurrection dari resuscitation. Hal ini muncul dalam tulisanIoanes Rakhmat lainnya dan tak muncul di tulisan Kompasitu. Resuscitation menunjuk pada peristiwa yang dialami olehLazarus, di mana ia hidup lagi dari kematian, namun untukakhirnya mati kembali. Sedang Yesus mengalami resurrection,di mana Ia tak mati lagi.
Kedua, Ioanes Rakhmat menjelaskan lebih jauh posisinya,bahwa ia percaya bahwa Yesus bangkit, bahkan ia percaya pad akebangkitan tubuh. Akan tetapi, kemudian Ioanes Rakhmatmenolak bahwa tubuh yang bangkit terse but adalah tubuhfisikal atau protoplasmik (meminjam istilah Borg). Di siniIoanes Rakhmat berusaha meminjam refleksi Paulus dalam1 Korintus 15 tentang pembedaan antara "tubuh rohaniah"(soma pneumatikon) dan "tubuh alamiah" (soma psukhikon).
Ioanes Rakhmat menegaskan bahwa tubuh rohaniah tersebutbukanlah tubuh protoplasmik atau tubuh fisikal. Dan ini sejajardengan pandangan Borgjuga.
Saya memahami apa yang hendak dirumuskan di sini, yaitubahwa klaim terhadap "tubuh rohaniah," yang dipertentangkandengan "tubuh alarniah" atau "tubuh protoplasmik," memberijaminan kepada Ioanes Rakhmat bahwa pandangannyaternyata seirama dengan temuan Talpiot, yaitu bahwa tulang-belulang Yesus masih di bumi. Akan tetapi, keterbatasan carapandang ini, dalam hemat saya, terletak pada dikotomi yangkeliru antara tubuh dan roh. Kekristenan perdana amat seriusmenjawab tantangan filsafat Platonis dan neo-Platonis yangdualistis (pemisahan tubuh dan roh), yang memuncak dalam
intersubjektivitas sekaligus memeroleh makna subjektif danobjektifnya.
Dikotomi ketiga yang muncul dalam tulisan Ioanes Rakhmatadalah dikotomi tersulit dalam sejarah teologi. Pada bagianini pula saya memiliki rasa kuatir bahwa Ioanes Rakhmattelah "dihakirni" secara berlebihan oleh banyak orang, denganmenyebutkan bahwa ia tidak lagi percaya pad a kebangkitanKristus atau bahwa ia tidak lagi percaya pada kebangkitantubuh. Kekuatiran saya ini tak perlu dilihat sebagai pemihakansaya pada Ioanes Rakhmat, karena sesungguhnya saya sendiritidak menyetujui sebagian besar klaim Ioanes Rakhmat. Yangsaya ingin katakan adalah bahwa penilaian yang diajukanterhadap Ioanes Rakhmat tak boleh melampaui apa yang iasendiri tulis dan katakan.
Yang menarik, sebagian besar pandangan Ioanes Rakh-mat dalam hal kebangkitan tubuh versus kebangkitan rohaniini menggemakan pandangan seorang teolog lain dalamlingkaran ahli-ahli Yesus Sejarah (Historical Jesus), yaituMarcus J. Borg. Bahkan terminologi "tubuh protoplasmik" yangdipakai Ioanes Rakhmat, sejauh yang saya tahu, hanya pernahdiajukan oleh Borg. Sayang, Ioanes Rakhmat tidak berhasilmengartikulasikan pandangan Borg secara lugas. Kalimat-kalimat Ioanes Rakhmat cenderung membingungkan dantidak konsisten.
Sarna dengan Borg, Ioanes Rakhmat sebenarnya memercayaiYesus bangkit. Bahkan, tak berbeda dari Borg, Ioanes Rakhmat
170 I BERDAMAf DENGAN SALIB APENDfKS DUA 1171
pandangan Gnostisisme. Penegasan bahwa Sang Anak Allah
berinkarnasi merupakan penolakan terhadap filsafat tersebut.
Penegasan ini selaras dengan antropologi Yahudi yang
melihat keutuhan tubuh-roh sebagai dua climensi yang dapat
dibedakan namun tak dapat dipisahkan.
Mengapakah kekristenan tradisional amat menegaskan
pentingnya keyakinan bahwa kebangkitan Kristus (dan
kemudian juga kebangkitan manusia di masa depan)
adalah kebangkitan daging dapat dipahami dalam konteks
di atas. Kolega saya lainnya, Martin Lukito Sinaga, telah
membahas perspektif ini beberapa saat setelah artikel IoanesRakhmat muncul (Sinaga 2007). Selain itu, Ioanes Rakhmat
lupa bahwa sekalipun terdapat perbedaan antara "tubuhalamiah" dan "tubuh rohaniah" (aspek diskontinuitas), tetap
yang menjadi subjek utama adalah "tubuh" isoma), yang
dalam kosakata Yunani menunjuk pada keutuhan manusia.
Itu sebabnya, Ioanes Rakhmat benar dalam menekankan
diskontinuitas antara tubuh Yesus pra-kebangkitan dengan
tubuh kebangkitan. Narnun, ia gagal menegaskan kontinuitaskeduanya. Ditambah pula, tak muncul rujukan sama sekali
dalam tulisan-tulisan Ioanes Rakhmat catatan lnjil perihal
Yesus yang makan bersarna-sama dengan para murid atau
perihal Yesus yang dapat disentuh. Padahal catatan ini hendak
menekankan aspek kemanusiaan atau somatik yang sama
antara Yesus yang bangkit dan Yesus sebelum kematian-Nya.
Singkatnya, apa yang saya kuatirkan adalah bahwa,
sementara tradisi Kristen sejak awal menolak dualisme tubuh-
roh, pandangan Ioanes Rakhmat (dan Borg) menggiring mereka
untuk menerima dualisme tersebut. Alih-alih menghargaikeutuhan manusia yang menjadi keyakinan iman Kristen,
yang tertuang misalnya dalam in-karnasi Sang Firman (Yoh.
1:14), Ioanes Rakhmat dan Borg menyuarakan eks-karnasi Roh
Kristus yang meninggalkan tubuh Kristus di dunia.
Saya pribadi melihat pandangan N.T. Wright, seorang
teolog injili, lebih memadai. Ia memakai istilah transfisikal
(transformasi + fisikal) untuk menjelaskan tubuh kebangkitan
Kristus (Wright 2003). Tubuh tersebut tetaplah tubuh Yesus
yang sama, namun sekaligus tak sarna, karena diubah. Atau,
jika ingin lebih mendekati kata-kata Yunani yang dipakai Paulus
dalam 1 Korintus 15) istilah trans-somatik mungkin lebih tepat.
Dengan cara pandang ini kontinuitas dan diskontinuitas tubuh
Kristus pra- dan pasca-kebangkitan dipertahankan.
PENUTUP
Tulisan ini tidak dimaksud sebagai respons atas seluruh
tulisan loanes Rakhmat di harian Kompas, namun terbataspad a bagian "Penutup" artikelnya. Pertarna, karena memang
saya tidak memiliki kompetensi penuh pad a bidang kajian
historis dan arkeologis. Kedua, karena hasil penelitian saya
terhadap kasus tersebut menunjukkan terlalu prematur
untuk mengambil kesimpulan apapun dari hasil penelitian
Talpiot. Masih terlalu banyak persoalan yang tak terselesaikan
dari kasus ini, dan malah saya duga akan makin banyak di
kemudian hari. Singkatnya, pandangan Tabor yang diadopsi
oleh Ioanes Rakhmat makin tampak tidak memadai dan
memiliki banyak flaws. Perhatian saya tertuju lebih pad a
penyimpulan-penyimpulan teologis yang loanes Rakhmat
lakukan, yang dalam hem at saya, telah settled, dengan atautanpa adanya temuan makam di Talpiot tersebut
DAFTAR PUSTAKA 1173
Oaf tar Pustaka Boersma, Hans. 2004. Violence, hospitality, and the cross:
Reappropriating the atonement tradition. Grand Rapids,
MI: Baker Academic.
Anselm. 1998. Anselm of Canterbury: The major works. Edited by
Brian Davies and Gillian Evans. Oxford: Oxford UniversityPress.
Boff, Leonardo. 1987. Passion of Christ, passion of the world: The
facts, their interpretation, and their meaning yesterday and
today. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Antone, Hope S. 2010. Pendidikan Krisiiani kontekstual:
Mempertimbangkan realitas kemajemukan dalam pendi-dikan agama. Jakarta: BPI( Gunung Mulia.
Borg, Marcus J. 2003. Kali pertama jumpa Yesus kembali: Yesus
sejarah dan hakikat iman Kristen masa kini. Translated by
Ioanes Rakhmat. edisi ke-3. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Arnfrtour, Guornundsdottir. 2010. Meeting God on the cross:Christ, the cross, and the feminist critique. Oxford & New
York: Oxford University Press.
Boyarin, Daniel. 1993. Carnal Israel: Reading sex in Talmudicculture. Berkeley: University of California Press.
Ateek, Nairn S. 2009. Semata-mata keadilan: Visi perdamaian
seorang Kristen Palestina. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Brock, Rita Nakashima and Rebecca Ann Parker. 2008. Saving
paradise: How Christianity traded love of this world for
crucifixion and empire. Boston: Beacon Press.
Aulen, Gustaf. 1970. Christus Victor: An historical study of the three
main types of the idea of the atonement. London: S.P.C.K.
Bultrnann, Rudolf. 1958. Jesus and the word, ed. Louise
Pettibone Smith and Erminie Huntress Lantero. New York:
Charles Scribner's Sons.
Backhaus, Knut. 2009. Estetika Yesus: "Yesus-nya Paus antara
rekonstruksi dan kehadiran real. In Joseph Ratzinger:
Yesus dari Nazaret: Pelbagai tanggapan, ed. Paul BudiKleden:15-26. Maumere: Penerbit Ledalero.
Calvin, Jean. 1977. Institutes of the Christian religion. Edited byJohn Thomas McNeill and Ford Lewis Battles. The Library of
Christian Classics. Philadelphia: The Westminster Press.
Bellinger, Charles K. 2008. The trinitarian self The key to the
puzzle of violence. Princeton theological monograph series.
Eugene, OR: Pickwick Publications.
Cone, James H. 2007. Strange fruit: The cross and the lynching
tree. Harvard Divinity Bulletin 35, no. 1: 47-55.
1741 BERDAMAI DENGAN SALIB DAFTAR PUSTAKA 1175
Cottrell, Jack. 2002. Thefaitn oncefor all: Bible doctrine for today.
Joplin, MO: College Press Pub.Funk, Robert W. and Roy W. Hoover. 1993. The five Gospels: The
search for the authentic words of Jesus: new translation and
commentary. New York & Toronto: Macmillan Pub. Co.Crossan, John D. 1994. Responses and Reflections. In Jesus and
faith: a conversation on the work of John Dominic Crossan,
ed. Jeffrey Daniel Carlson and Robert A. Ludwig:142-164.Maryknoll, NY: Orbis Books.
Gager, John G. 1975. Kingdom and community: The social world of
early Christianity. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.
Cullinan, Colleen Carpenter. 2004. Redeeming the story: Women,
suffering, and Christ. New York: Continuum.
Girard, Rene. 1977. Violence and the sacred. Baltimore: Johns
Hopkins University Press.
Darrnaputera, Eka. 2009. Ialan kematian, jalan kehidupan:
Khotbah-khotbah pra-Paskah dan Paskah. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
________ . 1996. The Girard reader. Edited by James G. Williams.
New York: Crossroad.
________ . 2001. I see Satan fall like lightning. Maryknoll, NY:
Orbis Books.Festinger, Leon. 1956. When prophecy fails. Minneapolis:
University of Minnesota Press. Gorringe, Timothy. 1996. God's just vengeance: Crime, violence,
and the rhetoric of salvation. Cambridge studies in ideologyFiorenza, Francis S. 1997. The resurrection of Jesus and
RomanCatholic fundamental theology. In The resurrection:
An interdisciplinary symposium on the resurrection of
Jesus, ed. Stephen T. Davis, Daniel Kendall and Gerald
O'Collins:213-248. Oxford; New York: Oxford University
Press.
and religion. Cambridge & New York: Cambridge University
Press.
Grant, Jacqu~lyn. 1989. White women's Christ and black
women's Jesus: Feminist christology and womanist response.
American Academy of Religion academy series. Atlanta,
GA: Scholars Press.Fitzmyer, Joseph A. 1993. Romans: A new translation with intro-
duction and commentary. 1st. New York: Doubleday. Heirn, S. Mark. 2006. Saved from sacrifice: A theology of the cross.
Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Pub. Co.Funk, Robert W. 1998. The acts of Jesus: The search for the authentic
deeds of Jesus. 1st. San Francisco: HarperSanFrancisco. Irenaeus. Against heresies (Adversus haereses), book V.l. http://
www.newadvent.org/fathers/0103.htm.
1761 BERDAMAI DENGAN SALIB DAFTAR PUSTAKA 1177
Julian of Norwich. Revelations of divine love. http://www.ccel.org/ccel/julian/revelations.html.
McAvoy, Jane Ellen. 2000. The satisfied life: Medieval womenmystics on atonement. Cleveland: Pilgrim Press.
Kelly, Anthony. 2006. Subjectivity, objectivity, and theresurrection. Australian E-Journal of Theology,no. 6. http://dlibrary.acu.edu.au/research/theology/ejournal!aejt_6/kelly.htm.
McKnight, Scot. 2005. Jesus and his death: Historiography, thehistorical Jesus, and atonement theory. Waco, TX: BaylorUniversity Press.
King, Martin Luther, Ir, 1992. A view of the cross possessingbiblical and spiritual justification. In The papers of MartinLuther King, Ir.: Volume I: Called to Serve, January 1929-June 1951,ed. Clayborne Carson, Ralph Luker and Penny A.Russell:263-267. Berkeley: University of California Press.
Meredith, Anthony. 1999. Gregory of Nyssa. The early churchfathers. London & New York:Routledge.
Moltrnann, Iurgen. 1967. Theology of hope: On the ground andthe implications of a Christian eschatology. London: SCMPress.
Lindbeck, George A. 1984. The nature of doctrine: Religion andtheology in a postliberal age. 1st. Philadelphia: WestminsterPress.
________ . 1993. The crucified God: The cross of Christ as thefoundation and criticism of Christian theology. 1st U.S.Minneapolis: Fortress Press.
Lorenzen, Thorwald. 2003. Resurrection, discipleship, justice:affirming the resurrection Jesus Christ today. Macon, GA:Smyth & Helwys.
________ . 2006a. The Crucified God: Yesterday and Today:1972-2002. In Crossexaminations: readings on the meaningof the cross today, ed. Marit Trelstad:127-138. Minneapolis,MN: Fortress Press.
Maimela, Simon. 1994.The suffering of human dimensions andthe cross. In The scandal of a crucified world: Perspectives onthe cross and suffering, ed. Yacob Tesfai:36-47. Maryknoll,NY:Orbis Books.
________ . 2006b. The crucified God: Yesterday and today: 1972-2002. In Crossexaminations: Readings on the meaning of thecross today, ed. MaritA. Trelstad:127-138. Minneapolis, MN:Fortress Press.
Martin, Raymond. 1999. The elusive Messiah: A philosophicaloverview of the quest for the historical Jesus. Boulder, CO:Westview Press.
________ . 2008. A broad place: An autobiography. 1st FortressPress. Minneapolis: Fortress Press.
178 1 BERDAMAI DENGAN SALIB DAFTAR PUSTAKA 1179
O'Collins, Gerald. 1993. The resurrection of Jesus Christ: Somecontemporary issues. Milwaukee, WI: Marquette University
Press.
Robinson, John A.T. 2005. The last tabu? The self-consciousness
of Jesus. In The historical Jesus in recent research, ed. James
D. G. Dunn and Scot McKnight:553-566. Winona Lake, IN:Eisenbrauns.
Park, Andrew Sung. 2009. Triune atonement: Christ's healing forsinners, victims, and the whole creation. 1st. Louisville, KY:
Westminster John Knox Press.Rufinus. Commentary on the apostles' creed. http://www.
newadvent.org/fathers/2711.htm.
Placher, William C. 2006. Saved from sacrifice: A theology of the
cross. Christian Century 123, no. 25: 38-40.Ryken, Leland. 1987. Words of delight: A literary introduction to
the Bible. Grand Rapids, MI: Baker Book House.
Rakhmat, Ioanes. 2007. Kontroversi temuan makam keluarga
Yesus. Harian kompas, 5 April 2007.Sinaga, Martin L. 2007. Credo in Carnis Resurrectionem. Harian.
Suara Pembaruan, 7 April.
________ . 2009. Menguak Kekristenan Yahudi perdana: Sebuahpengantar. Jakarta: JRe.
Salle, Dorothee. 1975. Suffering. Philadelphia: Fortress.
________ . 2010a. Iman adalah pikiran. Koran Tempo, 21 Ianuari
2010.
Sutama, Adji A. 2007. Yesus tidak bangkit? Menyingkap rekayasaYesus historis dan makam Talpiot. Jakarta: BPK GunungMulia.
________ . 201Ob. Membedah soteriologi salib: Sebuah pergu-latan orang dalam. 1st edition. Jakarta: Borobudur Indo-
nesia Publishing.
Terrell, IoAnne Marie. 2005. What manner oflove? In Thepassionof the Lord: African American reflections, ed. James A. Noel
and Matthew V. Johnson:51-76. Minneapolis: Fortress.
________ . 2010c. Membedah soteriologi salib: Sebuah pergu-latan orang dalam. 2nd edition. Jakarta: Borobudur Indo-
nesia Publishing.
-- . 2006. Our mothers' gardens. In Cross examinations:Readings on the meaning of the cross today, ed. Marit A.Trelstad:33-49. Minneapolis, MN: Fortress Press.
________ . 2010d. http://www.facebook.com/note. php?note_
id=384697464095&comments; accessed 7 April 2010.Theissen, Gerd. 1999. A theory of primitive Christian religion.
London: SCM.