Date : Makassar, 3 Agustus 2020 - repository.stftjakarta.ac.id

24

Transcript of Date : Makassar, 3 Agustus 2020 - repository.stftjakarta.ac.id

Date : Makassar, 3 Agustus 2020 Subject : Permintaan menjadi Fasilitator Diskusi Ref. : 13/oase-1/VIII/2020

Kepada Yth.

Pdt. Ester Pudjo Widiasih, Ph. D.

Bu Ester terkasih, salam dalam Kristus. Semoga Bu

Ester tetap berada dalam keadaan sehat oleh kasih

karunia Tuhan Yesus Kristus.

Di tengah pandemi Covid-19 pelayanan gereja

mengalami banyak tantangan, baik dalam

pelayanan praktis pelaksanaan peribadahan,

pendidikasn dan pastoral, maupun isu-isu

teologisnya. Sesuai bidang pelayanan kami, Oase

Intim akan membahas isu-isu teologi terkait

pandemi, dari perspektif teologi kontekstual, dalam

serangkaian diskusi online “Teologi Pandemi,”

setiap dua minggu, pada hari Jumat bulan Agustus

- November 2020. Pelaksanaannya semacam kuliah

umum online.

Kami mohon kesediaan Bu Ester menjadi salah

seorang fasilitator diskusi ini, dengan jadwal dan

topik berikut:

Hari : Jumat, 9 Oktober 2020

Jam : 18.30 – 20.00 (WIB)

Topik :

Peribadahan: dari kebaktian rumah sampai

sakramen online dan peribadahan new

normal.

Melalui topik ini dibahas mengenai masalah-

masalah teologis seputar peribadahan gereja,

yang timbul akibat pandemi Covid-19. Isu-

isu seperti makna persekutuan ibadah dalam

kebaktian jemaat secara terpisah-pisah di

rumah masing-masing, memahami hakekat

teknologi dalam kebaktian virtual/online,

memahami keabsahan sakramen online,

kebaktian new normal dan liturgi minimalis,

kelompok marginal dalam peribadahan masa

pandemi.

Kami mohon Bu Ester menulis naskah untuk

disampaikan kepada para peserta beberapa hari

sebelum jadwal diskusi. [Dengan izin penulis, kami

merencanakan juga untuk menerbitkan semua

naskah dan proceedings diskusi.]

Peserta diskusi dari gereja/lembaga mitra Oase

Intim di Indonesia, Malaysia dan Timor Leste.

Kebanyakan gereja dari latar tradisi Reform,

kecuali gereja-gereja dari Sabah, Malaysia (BCCM

BM, PCS), yang merupakan anggota LWF – dengan

campuran tradisi Reform juga. Kami mengundang

peserta dengan latar pendidikan teologi dan

pengalaman pelayanan. Beberapa peserta berstatus

Vicaris (calon pendeta).

Diskusi dilaksanakan secara online dengan fasilitas

Zoom Cloud Meetings. Link, ID dan Password akan

kami sampaikan menjelang hari diskusi.

Terima kasih atas kesediaan Bu Ester. Tuhan

berkati.

Direktur Oase Intim,

Zakaria J. Ngelow

Kerangka Acuan

Diskusi Online Teologi Pandemi

1. Nama Program

Diskusi Online Teologi Pandemi.

2. Penanggungjawab

Yayasan Oase Intim

3. Contact Person o Zakaria Ngelow (WA +62823 4777 9169)

o Christin Hutubessy (WA +62813 4228 4900)

4. Latar belakang

Di tengah pandemi Covid-19 pelayanan

gereja mengalami banyak tantangan,

baik dalam pelayanan praktis

pelaksanaan peribadahan, pendidikan

dan pastoral, maupun isu-isu teologis.

Sesuai bidang pelayanan kami, Oase

Intim ikut berupaya melayani di tengah

pandemi ini dengan membahas isu-isu

teologi terkait pandemi Covid-19

khususnya, dan bencana pada umumnya,

dari perspektif teologi kontekstual, dalam

serangkaian diskusi online.

5. Tujuan

Tujuan diskusi online ini adalah:

a. mengidentifikasi isu-isu teologi dalam

pelayanan gereja, yang muncul karena

pandemi Covid-19, sebagai teologi

bencana;

b. mengembangkan bersama

pemahaman atas isu-isu teologi itu

dalam kerangka teologi kontekstual –

teologi yang menghubungkan

perubahan sosial (realitas dan dampak

pandemi Covid-19) dengan tradisi

(ajaran gereja) dan Alkitab (berita

Injil Yesus Kristus);

c. membekali para pelayan

gereja/lembaga mitra Oase Intim

untuk melakukan kesaksian dan

pelayanan yang relevan dalam

menghadapi pandemi Covid-19 di

konteks masing-masing.

6. Peserta

o Para pelayan Gereja/Lembaga mitra

Oase Intim (Indonesia, Malaysia dan

Timor Leste). Diutamakan peserta

dengan latar belakang pendidikan

teologi, dan relatif berusia muda.

o Para peserta diskusi akan dimasukkan

dalam suatu WA Group, untuk

memudahkan komunikasi dan

informasi, misalnya pengiriman

materi dan Zoom link.

o Disediakan sertifikat bagi peserta yang

membutuhkan, dengan syarat

mengikuti minimal 75% (6 X) diskusi.

7. Fasilitator

Fasilitator dari kalangan Oase Intim dan

fasilitator tamu.

8. Bentuk Kegiatan

o Kegiatan dalam bentuk diskusi online.

dengan fasilitas Zoom Cloud

Meetings. Link, ID dan Password

disampaikan sehari sebelum setiap

jadwal diskusi.

o Diskusi dimulai dengan catatan

pengantar oleh seorang fasilitator, dan

dipandu oleh seorang Moderator.

o Diskusi diselenggarakan dalam bahasa

Indonesia. Peserta dari Malaysia dan

dari Timor Leste kiranya dapat

menyesuaikan.

9. Waktu

o Diselenggarakan pada bulan Agustus

– November 2020; setiap dua minggu;

o pada hari Jumat jam 19.30 – 21.00

(WITTENG = Singapore zone time).

o Pengantar fasilitator 20-30 menit, lalu

diskusi selama sekitar satu jam.

10. Jadwal (tentatif)

Rangkaian diskusi dijadwalkan dimulai

pada Jumat, 14 Agustus 2020. Diskusi

akan belangsung sebanyak 8 (delapan)

kali dengan topik yang berbeda. Jadwal

berikut dapat bertukar waktu dan/atau

fasilitator.

Day 2020 Topic Facilitator 1 14 Aug Pandemi Covid-19

sebagai konteks berteologi

Dr. Zakaria J. Ngelow

2 28 Aug Pastoral: dari perkunjungan online sampai pelayanan psiko-sosial

Dr. John Campbell-Nelson

3 11 Sept Eklesiologi: Misi Gereja di tengah pandemi

Dr. Julianus Mojau

4 25 Sep Ekologi: Bencana dan ciptaan

Dr. Robert P. Borrong

5 9 Oct Peribadahan: dari kebaktian rumah sampai sakramen online

Dr. Ester Pudjo Widiasih

6 23 Oct Sistematik: pandemi dan teodise

Dr. Andreas A. Yewangoe

7 6 Nov Biblika: Allah dan bencana dalam Alkitab

Prof. Dr. Emanuel Gerrit Singgih

8 20 Nov Perempuan dan Pandemi

Dr. Mery Kolimon

11. Tim Pelaksana

o Zakaria Ngelow

o Julianus Mojau

o Christin Hutubessy

o Jean Wattimena

o Sisca Dalawir

12. Budget

Pembiayaan dari budget Oase Intim

Tahun 2020.

13. Pendaftaran

Para peserta wajib mendaftar sendiri

(paling lambat tanggal 10 Agustus

2020) melalui tautan online ini: https://form.jotform.com/202087011699456

Catatan: Dengan mendaftar maka anda

berkomitmen untuk mengikuti program

ini dengan setia dan berdisiplin.

Makassar, 3 Agustus 2020

Direktur Oase Intim,

Zakaria J. Ngelow

LAPORAN HASIL PENELITIAN INDIVIDU

IBADAH DALAM MASA KENORMALAN BARUPANDEMI COVID-19

Paper hasil penelitian dipresentasikan dalam diskusi teologi kontekstual dimasa pandemi yang diselenggarakan oleh Yayasan Oase Intim

9 Oktober 2020

PENELITI

Ester Pudjo Widiasih, Ph.D.

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

2020

2

Ibadah dalam Masa Kenormalan Baru Pandemi Covid-19

Pendahuluan

Tidak ada orang yang menyangka bahwa tahun 2020 menjadi tahun yang

super istimewa bagi dunia, bagi kita semua. Kita dipaksa untuk melakukan apa yang

tidak pernah kita pikirkan harus kita lakukan: tinggal di rumah saja, menjauhi

kerumunan, menjaga jarak, dan tentu saja memakai masker serta menyuci tangan.

Semua itu harus kita lakukan untuk mencegah tertular dan menularkan virus Covid-

19 yang telah menjadi pandemi. Oleh karena perkumpulan banyak orang tidak

dianjurkan, menjaga jarak, dan tidak bersentuhan dengan orang lain menjadi norma

kebaikan, ibadah dalam gedung gereja juga ditiadakan atau hanya para pelayan

ibadah yang bertugas saja dapat melaksanakan ibadah di dalam gedung gereja.

Untuk merawat kehidupan, banyak gereja memilih untuk memindahkan ibadah hari

Minggu dan kegiatan-kegiatan gereja lainnya ke rumah-rumah dan ke ruang virtual

(cyberspace). Banyak gereja, khususnya yang berada di zona merah dan oranye,

memilih untuk menutup ruang ibadahnya dan meniadakan kegiatan yang

melibatkan perkumpulan ragawi. Sejak bulan Maret hingga kini, bahkan ketika PSBB

sudah diperlonggar, masih ada gereja yang dengan setia melayani warganya melalui

berbagai media digital dan elektronik lainnya. Tentu model pelayanan ini tidak

mudah, apalagi rata-rata gereja di Indonesia masih belum menggunakan tekhnologi

digital sebagai media untuk beribadah. Gereja tiba-tiba harus belajar mengenai

tekhnik merekam, baik dengan menggunakan perangkat ponsel sederhana, ponsel

pintar, hingga kamera canggih; mulai dari merekam di rumah, di ruang ibadah,

hingga secara khusus menyiapkan studio rekaman. Para pelayan jemaat menjadi

sibuk menyiapkan isi rekaman untuk menyapa warga jemaat. Banyak pendeta secara

pribadi dan gereja sebagai isntitusional mulai menggunakan berbagai media sosial,

termasuk Facebook, Instagram, dan YouTube, dan secara intens menggunakan

Whatsapp video dan phone call sebagai cara untuk menjangkau dan mendampingi

umat. Singkat kata, umat Kristen harus belajar menjadi gereja baru yang lebih ramah

dengan tekhnologi digital dan dunia virtual.

Situasi pandemi yang mengejutkan ini telah berjalan selama beberapa bulan.

Namun, para ahli virologi memprediksikan pandemi masih akan berlangsung lama.

Itu berarti, kemungkinan besar gedung gereja di zona merah dan oranye masih akan

3

ditutup atau akan sangat dibatasi penggunaannya. Itu berarti, ibadah dan pelayanan

gereja lainnya masih akan mengandalkan mediasi tekhnologi digital. Itu berarti,

masih banyak umat Kristen yang belum dapat berkumpul secara ragawi untuk

beribadah bersama dan bersosialiasi dengan sesama warga gereja. Setelah beberapa

bulan mengalami pandemi, pemerintah Indonesia menyatakan ada kenormalan baru

dalam menjalani hidup sehat. Salah satu kenormalan baru itu adalah menaati

protokol kesehatan, yang meliputi menjaga jarak dan menjauhi kerumunan. Selain

itu, mereka yang telah berusia enam puluh tahun ke atas dan anak-anak tidak boleh

melakukan perkumpulan ragawi sama sekali. Kenormalan baru yang dimaksud,

rupa-rupanya, termasuk pembatasan perjumpaan ragawi dan kontak fisik

antarwarga gereja, yang turut memengaruhi bentuk ibadah, khususnya ibadah hari

Minggu dan pelayanan sakramen.

Pada kesempatan ini saya ingin mengajak kita untuk mencari makna di

seputar aktivitas berjemaat pada masa kenormalan baru akibat pandemi sekarang

ini, khususnya merefleksikan ibadah, persekutuan, dan sakramen. Bagaimanakah

ibadah di rumah dengan mediasi tekhnologi digital tetap bisa disebut sebagai

perjumpaan Allah dengan umat-Nya? Bagaimanakah persekutuan yang tidak dapat

berkumpul secara ragawi di satu tempat masih sah disebut persekutuan Kristen?

Bagaimanakah sakramen dilakukan dalam masa pandemi? Saya juga hendak

mengajak kita mengingat bahwa, meskipun saat ini sering disebutkan adanya

kenormalan baru, masa pandemi ini tidak normal. Kita sedang berada dalam masa

kerapuhan bersama, jika tidak mau dikatakan masa kesakitan, yang dapat

mengancam kehidupan bersama. Oleh sebab itu, diskusi kita saat ini kita letakkan

dalam konteks ketidaknormalan kenormalan baru ini, meskipun ada kemungkinan

hal-hal baik dari cara berliturgi hari ini dapat dilanjutkan ketika virus Covid-19

sudah dapat diatasi dan kita dapat berkumpul sebagai jemaat dan masyarakat

dengan lebih leluasa. Diskusi kita kali ini juga akan dilandaskan pada ingatan kita

akan ibadah yang pernah kita lakukan sebelum pandemi melanda dunia.

4

Ibadah dengan mediasi tekhnologi digital1

Dalam “Obrolan Ibadah Online” yang diselenggarakan oleh Bengkel Liturgi

dan Musik Gereja Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta (sekarang menjadi Pusat

Kajian Bengkel Liturgi dan Musik Gereja) dari bulan Mei hingga Juni 2020, para

narasumber, yang berasal dari berbagai tradisi Kriten dan daerah di Indonesia,

mengungkapkan beragam cara gereja mereka beribadah selama masa pandemi virus

Covid-19 ini.2 Ada gereja menayangkan langsung (live-streaming) melalui YouTube

atau Facebook live ibadah yang dijalankan di dalam gedung gereja dengan hanya ada

beberapa orang petugas ibadah yang hadir. Ada gereja memilih merekam terlebih

dahulu ibadah lengkap yang mereka selenggarakan di dalam gedung gereja yang juga

hanya melibatkan sekitar 5-10 orang dan menayangkannya melalui YouTube pada

jam ibadah Minggu yang telah ditentukan. Di beberapa daerah di Indonesia, di mana

sebagian besar warga jemaat tidak memiliki sambungan internet dan ponsel pintar,

gereja mengirimkan tata ibadah dan khotbah dalam bentuk tertulis melalui

Whatsapp atau bahkan langsung memberikannya kepada umat dalam bentuk hard

copy ke rumah-rumah mereka. Ada gereja mengkombinasikan cara rekaman dan

menyediakan tata ibadah dan khotbah dalam bentuk tertulis dan mengirimkannya

kepada warga jemaat melalui Whatsapp. Rekaman dapat hanya berupa khotbah saja

atau seluruh ibadah lengkap, baik dalam bentuk audio saja atau video. Di daerah di

mana umat kristiani menjadi mayoritas, gereja menyiarkan secara langsung ibadah

yang dilakukan di gedung gereja melalui pengeras suara TOA dan membuka pintu-

pintu ruang ibadah supaya umat yang tinggal di sekitar gereja dapat mengikuti

ibadah tersebut. Pengeras suara TOA bahkan ada yang dipasang hingga ke sudut-

sudut desa untuk memungkinkan lebih banyak warga jemaat, yang berkumpul di

sekitar TOA, mengikuti ibadah. Ada pula gereja, juga di daerah tanpa internet,

menyapa dan melakukan ibadah melalui radio. Jadi, dalam percakapan dengan para

narasumber terungkap bahwa cara gereja melakukan ibadah dalam masa pandemi

ini tergantung pada saluran internet dan kemampuan warga jemaat dalam

menggunakan tekhnologi digital. Pada masa “Obrolan Ibadah Online” dilakukan,

1 Saya memilih menggunakan istilah ibadah dengan mediasi tekhnologi digital, karena bentuk daritekhnologi digital yang dipergunakan oleh gereja sebagai media peribadahan beragam. Istilah ini sayapergunakan terinspirasi oleh tulisan Teresa Berger, @ Worship: Liturgical Practices in Digital Worlds(Liturgy, worship and society series).

2 Rekaman video dari seri “Obrolan Ibadah Online” dapat diakses di kanal YouTube STFT Jakarta:https://www.youtube.com/user/STTeologiJakarta.

5

banyak gereja di Indonesia menutup ruang ibadahnya untuk kegiatan ibadah umum

yang dihadiri oleh banyak orang.

Saat ini, tentu saja, sudah banyak gereja yang membuka kembali pintu ruang

ibadah dan mengadakan peribadahan dengan menerapkan protokol kesehatan yang

ditetapkan oleh pemerintah. Namun, masih banyak pula yang melakukan dua cara

peribadahan: menayangkan ibadah yang dilaksanakan dalam ruang ibadah dengan

dihadiri oleh sedikit orang melalui YouTube atau Facebook. Ibadah yang

diselenggarakan dengan mediasi YouTube dan Facebook atau ibadah yang sudah

direkam dan dikirimkan melalui Whatsapp seringkali dikenal dengan “ibadah

virtual” atau “ibadah online (daring).” Apabila kehadiran umat tidak terlalu banyak

(misalnya tidak melebihi 100, 300, 500, atau 1000 orang), beberapa gereja atau

komunitas Kristen lainnya melakukan ibadah melalui platform Zoom Cloud meeting

atau Google Meet. Metode beribadah ini dapat pula digolongkan ke dalam ibadah

virtual atau ibadah daring, karena pertemuan ibadah terjadi dalam ruang virtual

Zoom dan Google Meet.

Konteks pandemi memaksa gereja untuk mengubah cara hidup berjemaat

secara drastis dalam waktu sekejap. Gereja tidak dapat menyiapkan diri terlebih

dahulu dan mempelajari model beribadah seperti apa yang paling baik dalam masa

pandemi sebelum menyelenggarakan ibadah. Gereja-gereja belajar bagaimana

menyelenggarakan ibadah dalam masa pandemi sementara menjalankan ibadah

tersebut. Mungkin saat ini banyak pelayan gereja yang sudah mahir menggunakan

berbagai macam alat rekam dan sudah mendapatkan bentuk ibadah Minggu yang

sesuai dengan protokol kesehatan dan kebutuhan spiritual umat lainnya dalam masa

pandemi. Namun, masih ada pula percakapan dalam jemaat yang mempertanyakan

keabsahan ibadah virtual atau online (daring) secara teologis. Apakah Allah hadir

dalam ruang vitual dan apakah Allah hadir secara online? Apakah ibadah terjadi

ketika umat tidak berkumpul secara ragawi di satu tempat tertentu? Apakah Allah

berkenan atas ibadah kita, ketika kita melakukannya tidak di dalam ruang ibadah di

gereja, sebagai rumah Allah, serta di hadapan mimbar tinggi dan salib besar yang

tertempel di dinding?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengingatkan saya pada dua elemen

pembentuk liturgi, yaitu perkumpulan umat Allah dan kehadiran simbol.3 Ibadah

3 Aktor (pelaku) dan objek simbolis merupakan dua elemen ritual, di samping aksi ritual yangmewujudkan proses pelaksanaan ritual. Liturgi merupakan salah satu bentuk ritual dalam Kekristenan,

6

atau liturgi dalam arti khusus adalah persekutuan umat Allah yang datang

merespons panggilan Allah untuk bersekutu dengan-Nya dan sesama. Persekutuan

dengan Allah dan sesama ini menjadikan ibadah selalu diidentikkan dengan acara

kumpul-kumpul bersama, yang di dalamnya Kristus hadir (bnd. Matius 18:20).

Ketika perkumpulan ini tidak terjadi, ibadah tidak dirasakan. Acara kumpul-kumpul

ini mengandaikan pula partispasi aktif para pelaku ibadah dalam aksi berdoa,

bernyanyi, mendengarkan, berbicara, dan sebagainya. Kegiatan aktif mengikuti

ibadah juga ditunjukkan dengan perhatian khusus yang fokus pada kegiatan ritual

yang sedang dijalankan, atau dengan kata lain, keadaan pikiran yang menyimak

dengan aktif apa yang sedang dilakukan. Sebagai makhluk bertubuh, kita mengalami

ibadah ketika kita melakukan aktivitas ritual peribadahan di dalam tubuh kita. Oleh

sebab itu, ketika tubuh kita tidak mengalami perkumpulan dan tidak (atau kurang)

melakukan aktivitas ritual yang membentuk ibadah, dapat dimengerti jika ada orang

yang tidak merasakan dirinya sedang beribadah, meskipun yang bersangkutan

sedang menatap layar yang memperlihatkan kegiatan peribadahan. Tubuh yang aktif

digerakkan dalam mengikuti ibadah daring serta pikiran kita yang fokus menyimak

dan merespons ibadah inilah yang membedakan antara aksi beribadah melalui

media digital dengan aksi menonton tayangan ibadah yang disiarkan di televisi atau

YouTube atau Facebook. Harus diakui, tayangan ibadah di media komunikasi

tersebut kurang mengajak umat berpartisipasi secara langsung. Ada gereja yang

menyiasatinya dengan membuka “live chat”, yang memungkinkan seorang (atau

beberapa) pelayan menyapa umat yang beribadah seperti seorang usher (penyambut

umat) yang menyambut umat di depan pintu dan mempersilakan mereka masuk ke

ruang ibadah. Mereka yang sedang beribadah pun dapat saling menyapa melalui live

chat, bahkan menuliskan permohonan doa mereka dan merespons khotbah atau hal

lainya dalam ibadah.4

Hal lain yang berhubungan dengan ibadah yang menubuh adalah kehadiran

simbol dalam ibadah, seperti Alkitab, mimbar, wadah baptisan, meja perjamuan

dengan perangkat perjamuan, salib, berbagai gambar kisah dalam Alkitab, juga lilin

yang menyala, menyatakan kehadiran dan diri Allah, selain pembacaan Alkitab,

khotbah, votum dan salam, pemberian berkat, juga prosesi masuk para petugas

sehingga dapat dijelaskan menurut disiplin ilmu ritual. Untuk mengetahui hubungan antara ritual dan liturgi,lihat Ester Pudjo Widiasih, “Liturgi: Ritual yang Stagnan?,” Makalah Viveka 6 (STFT Jakarta, 19 Maret 2019).

4 Misalnya, ikuti ibadah melalui kanal YouTube Evangelical Lutheran Church in Geneva:https://www.youtube.com/channel/UCkjdO_MVRBP11zpVMof8Dog.

7

ibadah ke dalam ruang ibadah. Dalam ibadah daring dan ibadah di rumah, simbol-

simbol kehadiran Allah yang kasat mata mungkin tidak atau kurang dihadirkan atau

tidak dialami secara langsung, sehingga umat yang beribadah juga tidak merasakan

kehadiran Allah. Oleh karena itu, ada jemaat yang melakukan rekaman atau

menayangkan ibadah secara langsung dari dalam ruang ibadah gereja. Dengan

demikian, simbol-simbol penyataan diri Allah dapat dilihat oleh umat yang

beribadah di rumah. Selain itu, ada jemaat yang mendorong anggotanya untuk

menyediakan salib, lilin, dan Alkitab di depan mereka saat beribadah di rumah.

Simbol-simbol tersebut menandai ruang suci (sacred space) dan menyatakan

kehadiran Allah secara kasat mata.

Ibadah dengan mediasi tekhnologi digital (ibadah online) memperlihatkan

absennya tubuh umat yang melaksanakan ritual sebagai aktivitas ragawi

persekutuan jemaat, sekaligus menampakkan secara psikologis kehadiran keabsenan

tersebut secara nyata. Apakah dengan keabsenan tersebut Allah tidak hadir dalam

ibadah yang dilakukan di ruang ibadah dan di ruang virtual? Apakah dengan

absennya simbol-simbol kasat mata dan pengalaman nyata persekutuan untuk

menyatakan bahwa Allah hadir peristiwa meritualkan secara virtual perjumpaan

tersebut adalah ibadah dan bukan tontonan?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, virtual diartikan sebagai “secara

nyata.” Dengan demikian, virtual bukan berarti sesuatu yang tidak nyata atau

bohong-bohongan. Ibadah yang dimediasi oleh tekhnologi digital dapat dikatakan

ibadah, sama seperti ibadah di ruang ibadah gereja yang juga menggunakan berbagai

media untuk menyatakan kehadiran Allah. Kamera, YouTube, Facebook, Zoom,

Google Meet, dan Whatsapp adalah media untuk menyampaikan sapaan Allah pada

umat-Nya dan sapaan gereja pada warganya, juga sapaan antarumat. Ibadah virtual

dapat memperlihatkan kepada kita sisi rohani ibadah yang seringkali sebelum

pandemi terjadi hanya difokuskan pada hal-hal ritualistik, sehingga ibadah menjadi

ritualisme yang kehilangan kekuatan transformatifnya. Memang, sebagai ritual,

ibadah bersifat ragawi dan harus dilakukan oleh tubuh kita. Namun, ada dimensi

spiritual yang sangat kuat dalam ibadah, karena ibadah merupakan sarana Allah

menyatakan diri-Nya, sehingga kehadiran-Nya dapat dialami secara langsung oleh

manusia. Ibadah virtual mengingatkan kita pada perkataan Tuhan Yesus kepada

seorang perempuan Samaria: “Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan

tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di

8

Yerusalem. … Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa

penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan

kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah

itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya

dalam roh dan kebenaran" (Yohanes 4: 21, 23-24). Ibadah dalam masa pandemi

ini mengingatkan kita akan persekutuan kita dengan Allah yang adalah Roh, yang

dapat terjadi di mana saja dan dimediasi oleh apa pun juga. Allah, Sang Roh, dapat

menyatakan diri-Nya di dalam ruang virtual melalui tekhnologi digital dan hadir

pula di rumah-rumah dan di ruang ibadah. Penyembahan yang benar kepada Allah

bukan hanya diukur berdasarkan lokasi dan ritual yang benar, tetapi berdasarkan

sikap seseorang, yaitu menyembah Allah dalam roh dan kebenaran. Oleh karena itu,

ibadah kristiani tidak harus selalu dilakukan di dalam gedung gereja untuk dianggap

ibadah yang sah. Ibadah kristiani terutama menuntut suatu sikap yang sungguh-

sungguh dalam menyembah Allah. Dengan kata lain, ibadah di rumah-rumah pun

memiliki keabsahan seperti ibadah di gedung gereja ketika para penyembah

melakukannya dengan hati yang dipimpin oleh Roh Kudus dan dalam kebenaran

pengenalan akan Allah dalam diri Tuhan Yesus Kristus.

Saya sedang tidak mengatakan bahwa liturgi yang menubuh dan

penyembahan dalam roh dan kebenaran adalah dua hal yang terpisah dan bertolak-

belakang. Justru sebaliknya. Kedua hal ini seperti dua sisi mata uang, yang perlu

dihadirkan dengan seimbang. Saya mengharapkan, setelah pandemi dinyatakan

berakhir, dua sisi mata uang ini dapat terjadi dengan seimbang untuk menjadikan

ibadah kita tidak menjadi ritualisme atau ritual yang kosong. Kesadaran ibadah

sebagai penyembahan kepada Allah dalam roh dan kebenaran juga sebenarnya

menuntut kesadaran kita untuk mempersiapkan diri dan menyiapkan waktu khusus

untuk menyatakan penyembahan (peribadahan) kita kepada Allah. Hati yang

menyembah Allah perlu dibarengi dengan sikap tubuh yang menyatakan

penyembahan itu, yang dapat dimediasi oleh gestur simbolik, dan ruang perjumpaan

khusus, yang dapat diisi dengan benda-benda simbolik yang menghadirkan

persekutun dengan Sang Roh sebagai pengalaman ragawi. Itu berarti, sebagai

pribadi dan sebagai jemaat (gereja), kita pun perlu menyediakan a sacred time dan a

sacred space, waktu dan tempat khusus untuk kita bersekutu dengan Allah dan

sesama umat. Ketika kita memiliki sikap hati dan sikap tubuh yang diarahkan untuk

menyembah kepada Allah, maka ibadah yang kita ikuti melalui media digital bukan

9

merupakan tontonan semata. Kita beribadah bersama dengan mereka yang

melayankan ibadah di media digital tersebut. Kita berpartisipasi dalam ibadah yang

dilayankan.

Seiring dengan protokol kesehatan dan penghematan kuota internet, banyak

gereja menentukan ibadah hanya satu jam saja, atau kalau mungkin kurang.

Pertanyaan yang sering muncul adalah bagian ibadah manakah yang harus

dihilangkan atau dikurangi? Ada gereja yang mengurangi jumlah nyanyian. Ada pula

yang menggabungkan dua elemen menjadi satu. Saya tidak memiliki resep untuk

menyatakan mana yang benar dan mana yang salah. Saya melihat ibadah sebagai

ritual untuk menyatakan perjumpaan dengan Allah dan sesama sebagai sebuah

persekutuan. Sebagai seorang perancang ibadah, pertanyaan yang harus dijawab

adalah bagaimanakah ibadah ini dapat memfasilitasi umat untuk bersekutu dengan

Allah dan dengan sesama dan bagaimanakah ibadah dapat menjadi bentuk dari

menyembah Allah dalam roh dan kebenaran? Jawabannya dapat beragam menurut

konteks dan tradisi liturgis gereja setempat. Di sinilah, kreativitas dan imajinasi

dapat dikembangkan. Apa yang Allah akan sampaikan kepada umat-Nya? Apa yang

dapat disampaikan oleh umat kepada Allah? Bagaimanakah perjumpaan dengan

Allah ini dapat menolong umat untuk melanjutkan ibadahnya dalam hidup sehari-

hari dan menjadi saksi Kristus di dunia? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat

diungkapkan melalui pembacaan Alkitab, doa, nyanyian, khotbah, persembahan,

dialog-dialog liturgis (misalnya panggilan beribadah), dan aksi ritual lainnya

(misalnya menyalakan lilin) dengan mengikuti struktur dasar sebuah ibadah:

pembuka (menghadap Allah), pelayanan sabda, pelayanan meja (pengucapan syukur

atau respons umat), dan penutup (pengutusan dan berkat).

Persekutuan Tubuh Kristus

Ibadah terjadi oleh karena ada gereja, yang adalah persekutuan orang

percaya. Di lain pihak, ibadah juga merupakan perwujudan nyata dari persekutuan

orang percaya yang berkumpul di sekitar Allah, yang dinyatakan dalam pelayanan

sabda dan pelayanan meja. Kisah Para Rasul 2:41-42 menyaksikan persekutuan

orang-orang Kristen perdana: “Orang-orang yang menerima perkataannya itu

memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu

10

jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan

mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” Oleh sebab itu, dapat

dimengerti, ketika umat Kristen saat ini tidak dapat berkumpul untuk beribadah

(atau dapat berkumpul dengan jumlah yang sangat terbatas), muncullah pertanyaan:

apakah persekutuan itu masih ada? Bagaimanakah ibadah yang dimediasi oleh

tekhnologi digital, yang tidak mewajibkan perkumpulan ragawi terjadi, dan

dilakukan di rumah masing-masing masih tetap dapat menjadi persekutuan?

Roland Chia menuliskan: “Identitas umat Allah dan realitas spiritual

persekutuan kita dengan Allah dan sesama tidak bergantung pada situasi, tetapi

pada iman kepada Kristus dan dalam kuasa Roh Kudus yang menjadikan mereka

tubuh Kristus”.5 Tulisan Chia ini didasarkan pada pemahaman bahwa, sebagai

orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, kita disatukan dalam iman,

juga dalam baptisan, sebagai tubuh Kristus (Gereja). Kristus adalah Kepala tubuh itu

dan kita adalah anggota-anggotanya. Jadi, persekutuan sebagai jemaat merupakan

karunia Allah. Allah-lah, oleh karena karya penyelamatan Tuhan Yesus Kristus, telah

mempersatukan kita menjadi satu persekutuan tubuh Kristus, yang juga dikenal

sebagai jemaat atau gereja. Persekutuan tubuh Kristus terjadi secara mistis, karena,

oleh karya Roh Kudus, Kristus ada di dalam kita dan kita di dalam Kristus.

Persekutuan ini tidak tampak oleh mata kita, tetapi ada dan kita imani. Persekutuan

ini, karena ada tapi tidak tampak, harus dimanifestasikan. Ia perlu diberi bentuk

nyata dalam perkataan dan perbuatan setiap anggota tubuh Kristus. Oleh karena itu,

kitab-kitab Perjanjian Baru sarat dengan nasihat mengenai bagaimana setiap

pengikut Kristus dapat menjadi anggota tubuh Kristus yang menjaga persekutuan

dan persatuan jemaat. Misalnya, anggota tubuh Kristus harus saling menopang (1

Tes. 5:11), saling mendoakan (Ef. 6:18), saling menanggung beban (Gal. 6:2), bahkan

saling menerima perbedaan dan menggunakan karunia yang berbeda-beda itu untuk

membangun persekutuan (1 Kor. 12). Tentu saja, persekutuan tubuh Kristus itu

nyata, bila anggotanya saling mengasihi. Jadi, menurut saya, persekutuan jemaat

(tubuh Kristus) masih ada saat ini, ketika anggota jemaat saling mempraktikkan

karya kasih secara nyata.

5 Rolland Chia, “Life Together, Apart: An Ecclesiology for a Time of Pandemic, “dalam DigitalEcclesiolgy: A Global Coversation, peny. Heidi Campbell (Digital Religion Publications, An Imprint of the,Network for New Media, Religion & Digital Culture Studies), 23.

11

Saat pandemi ini, banyak orang merasa kesepian karena tidak dapat berjumpa

secara ragawi dengan para kekasih hati mereka. Saat inilah, persekutuan tubuh

Kristus sangat perlu terwujud secara nyata, misalnya dengan saling menyapa,

menguatkan, dan mendoakan melalui media komunikasi digital. Namun, bisa juga

karya kasih itu diwujudkan dengan saling memberi makanan, pakaian, kuota

internet dan telepon, atau keperlukan mendasar sehari-hari lainnya. Dalam masa

pandemi ini, menjaga hubungan dengan saudara dan saudari kita dalam Kristus,

bahkan dengan para sahabat kita yang berbeda agama, semakin perlu diwujudkan

secara nyata, karena melaluinya kita sedang mengakui mereka ada dan menjadi

bagian dalam hidup kita.

Dalam ibadah, persekutuan mistis tubuh Kristus terwujudkan melalui doa,

nyanyian, pengakuan iman ekumenis, khotbah, dan tentu saja Alkitab. Gereja

mengimani adanya persekutuan orang kudus yang melampaui lokalitas waktu dan

tempat. Oleh karena itu, kita menyanyikan nyanyian-nyanyian dari berbagai macam

tradisi kekristenan dan dari berbagai abad. Kita mengucapkan Pengakuan Iman

Rasuli yang memuat “Aku percaya kepada gereja yang kudus dan am, persekutuan

orang kudus…” Sebagai ajakan untuk mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli, sering

diucapkan: “Marilah dengan seluruh jemaat dari berbagai abad dan tempat…”

Ajakan ini menjadi suatu pengakuan adanya persekutuan virtual jemaat yang

melampaui waktu dan tempat kita saat ini. Kita pun menaikkan bermacam-macam

pokok doa bagi orang lain dalam doa syafaat. Ini pun merupakan wujud nyata dari

arti persekutuan tubuh Kristus. Saya mengusulkan agar elemen-elemen ibadah yang

merupakan perwujudan persekutuan tubuh Kristus tetap disajikan dalam ibadah

melalui mediasi tekhnologi digital.

Sakramen

Pelayanan sakramen merupakan sisi ibadah yang paling sulit untuk

diwujudkan melalui mediasi tekhnologi digital, karena baptisan dan perjamuan

kudus merupakan pengalaman aktivitas ragawi. Bagaimana mungkin mandi, makan

dan minum tidak dialami oleh tubuh kita secara langsung? Pelayanan sakramen

membutuhkan sentuhan ragawi secara langsung: membaptis dan dibaptis, memberi

dan menerima makanan dan minuman. Pada saat pandemi ini, justru sentuhan

tubuh harus dihindari, karena memungkinkan adanya penularan. Sakramen, yang

12

merupakan media penyataan kasih dan rahmat Allah kepada manusia yang memberi

kehidupan, justru dapat menjadi sarana yang mematikan. Oleh karena itu, ada gereja

yang memutuskan belum melaksanakan sakramen selama pandemi ini. Namun,

banyak pula gereja yang telah menyelenggarakan baptisan dan perjamuan kudus

dengan menerapkan protokol kesehatan dengan ketat.

Khusus untuk pelaksanaan perjamuan kudus, ada berbagai macam cara yang

dipakai oleh gereja-gereja untuk mengungkapkan partisipasi umat dalam

menghayati persekutuannya dengan Kristus. Gereja Katolik Roma mendorong

warganya untuk mengikuti komuni spiritual (komuni batin), apabila mereka tidak

dapat secara langsung menerima hosti dari imam dalam misa. Gereja-gereja

Protestan, terutama yang beraliran Calvinis, lebih luwes dalam melayankan

perjamuan kudus. Virtualisme adalah pemahaman John Calvin mengenai kehadiran

Kristus dalam peristiwa perjamuan Kudus. Kristus hadir dalam peristiwa perjamuan

melalui karya Roh Kudus. Ketika gereja-gereja Protestan menghayati bahwa Roh

Kudus pun hadir dalam ruang virtual ibadah melalui mediasi tekhnologi digital,

maka Kristus melalui Roh Kudus hadir pula dalam perjamuan kudus di rumah-

rumah.

Untuk pelaksanaan perjamuan kudus, saya mengusulkan agar dapat

dilakukan live streaming melalui YouTube atau Facebook atau ibadah bersama

melalui Zoom atau WhatsApp video call. Apabila dilakukan secara live streaming,

warga jemaat yang ada di rumah didorong untuk mengikuti ibadah pada jam yang

telah ditentukan, bukan “menonton” setelah ibadah berakhir. Titik fokus perjamuan

kudus adalah makan bersama sebagai sebuah persekutuan jemaat. Oleh sebab itu,

perlu sekali umat, baik yang beribadah di rumah maupun di dalam gedung gereja,

dapat mengetahui bahwa mereka sedang makan bersama sebagai sebuah jemaat

yang dilayani oleh seorang pendeta. Gereja yang dengan sengaja memilih mediasi

Zoom dan/atau WhatsApp video call untuk mengadakan Perjamuan Kudus

bermaksud untuk memastikan bahwa perjamuan kudus hanya diikuti oleh warga

jemaat yang memang dapat mengikutinya.

Beragam elemen perjamuan kudus digunakan di gereja-gereja yang

memperbolehkan umatnya mengikuti perjamuan kudus di rumah. Ada gereja yang

mengirimkan sepotong roti kecil dan sedikit anggur dalam wadah kecil ke rumah-

rumah anggota jemaat. Ada pula yang memperbolehkan umat yang mengikuti

perjamuan kudus menyiapkan sendiri makanan dan minuman yang akan disantap

13

dalam perjamuan kudus di rumah. Bagi warga jemaat yang mengikuti perjamuan

kudus di dalam gedung gereja, gereja-gereja menetapkan protokol kesehatan dengan

ketat. Di GKJ Pangkalan Jati, misalnya, roti dan anggur tidak diedarkan oleh

anggota majelis jemaat di tempat duduk umat. Ketika umat memasuki gedung

gereja, mereka dapat mengambil sendiri sepotong roti/hosti dan anggur dalam

wadah kecil (keduanya sudah dibungkus dalam plastik kecil) yang diletakkan di

pintu masuk gereja. GKJ Pangkalan Jati juga memperbolehkan umat yang mengikuti

perjamuan di dalam gedung gereja untuk membawa makanan dan minuman sendiri

dari rumah.

Penutup

Kita patut bersyukur atas kehadiran tekhnologi digital dan bentuk-bentuk

tekhnologi lainnya yang memungkinkan kita masih dapat melakukan peribadahan

kita dalam masa pandemi ini, ketika menjauhkan diri dari perkumpulan menjadi

sebuah norma yang membawa kehidupan. Namun, kita pun perlu mengakui bahwa

ibadah yang kita lakukan saat ini tidak biasa dan kurang menekankan ekspresi

ragawi. Sebagai makhluk sosial, kita masih perlu berkumpul. Kita masih perlu saling

berjabat tangan. Ungkapan iman kita masih perlu dinyanyikan dan disuarakan

dengan lantang. Jadi, saya mengharapkan agar kita terus mengharapkan kita dapat

beribadah kembali sebagai sebuah perkumpulan jemaat dan mengalami ibadah

dalam tubuh kita secara maksimal. Di pihak lain, saya juga mengharapkan agar

pergumulan kita mengenai ibadah di saat pandemi ini tetap membuka kesadaran

kita untuk perlu melakukan pembaruan ibadah yang terus-menerus secara, sehingga

ibadah yang kontekstual tetap dapat terwujudkan. Setelah kita bisa berkumpul untuk

beribadah bersama dalam gedung gereja, marilah kita ingat terus pengalaman

berkreasi dalam ibadah dan menemukan makna baru peribadahan yang terjadi

selama masa pandemi.

14

Daftar Acuan

Berger, Teresa. @ Worship: Liturgical Practices in Digital Worlds (Liturgy, worshipand society series). London and New York: Routledge, Taylor & FrancisGroup, 2019.

Cambell, Heidi. Digital Ecclesiolgy: A Global Coversation. Digital ReligionPublications, An Imprint of the, Network for New Media, Religion & DigitalCulture Studies, 2020.

Duck, Ruth C. Worship for the Whole People of God: Vital Worship for 21st Century.Kentucky, Westminster John Knox Press, 2013.

Stookey, Laurence Hull. Eucharist: Christ’s Feast with the Church. Nashville:Abingdon Press, 1993.

Truscott, Jeffrey A. Worship: A Practical Guide. Singapore: Genesis Books, 2011.

Ester Pudjo Widiasih, “Liturgi: Ritual yang Stagnan?” Makalah Viveka 6 (STFTJakarta, 19 Maret 2019).

Kanal YouTube

Kanal YouTube Evangelical Lutheran Church in Geneva:https://www.youtube.com/channel/UCkjdO_MVRBP11zpVMof8Dog.

Kanal YouTube Sekolah Tinggil Filsafat Theologi Jakarta.https://www.youtube.com/user/STTeologiJakarta.