Post on 29-Feb-2020
74
BAB IV
MEMORI KOLEKTIF SALLOMBENGANG SEBAGAI INSTRUMEN
INTEGRASI SOSIAL
Memori kolektif memiliki peran dan fungsi yang besar dalam kehidupan
manusia. Olehnya manusia dapat merefleksikan seluruh dirinya dalam satu
ingatan bersama, terkait dengan segala hal yang dialaminya saat ini. Demikian
halnya memori kolektif Sallombengang yang merupakan kebudayaan orang Seko
Embonatana pada masa lalu yang memuat seluruh nilai-etis-religius dalam
falsafah hidup yang menyatukan seluruh masyarakat Seko Embonatana yang
terdiri dari keragaman perbedaan hidup. Dengan menjunjung tinggi nilai
kemanusian, keadilan, kejujuran, kesetian dan perdamaian.
Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat memori kolektif masyarakat Seko
Embonatana terhadap Sallombengang sebagai ingatan yang terpelihara dalam
memori masyarakat untuk dihadirkan kembali dalam praktik berbudaya saat ini.
Kemudian dijadikan sebagai cerminan kehidupan untuk menata seluruh nilai
hidup secara kontekstual dan menjadi potretan dalam mengarahkan masyarakat
untuk menemukan jati dirinya yang gemilang di masa mendatang. Sehingga
masyarakat Seko Embonatana dapat mengartikan diri dalam satu makna kolektif
yang menyatukan segala unsur perbedaan demi mewujudkan keserasian fungsi.
Upaya melahir-hidupkan kembali memori kolektif masyarakat Seko
Embonatana terhadap Sallombengang sebagai ingatan bersama, penulis mulai
mengkajinya dari faktor penyebab lunturnya memori kolektif Sallombengang,
75
selanjutnya penulis menguraikan memori kolektif Sallombengang kemudian
menjelaskan Sallombengang sebagai instrumen integrasi sosial.
4.1. Lunturnya Memori Kolektif Sallombengang
Ketika berbicara mengenai memori kolektif masyarakat Seko Embonatana
terhadap Sallombengang, maka penting mengkaji kembali penetrasi kebudayaan
asing yang menjadi faktor penyebab lunturnya ingatan kebudayaan, yakni:
4.1.1. Agama Kristen dan Islam
Telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa Sallombengang adalah salah
satu kebudaayan yang teramnesiakan dalam praktik kehidupan berbudaya orang
Seko Embonatana saat ini, akibat perubahan sosial yang melanda mereka pada
tahun 1920-1965 dengan masuknya agama Kristen, ekonomi pasar dan
administrasi kolonial yang berturut-turut disusul oleh militer Jepang, revolusi
mempertahankan kemerdekaan, serta pendudukan tentara gerombolan (DI/TII)
yang secara radikal memaksakan agama Islam.1 Dengan melarang praktik
kebudayaan Sallombengang sebab dianggap sebagai kebudayaan yang bebas nilai
dan kafir.
Dengan memudarnya falsafah Sallombengang yang dijadikan pandangan
hidup bagi masyarakat Seko Embonatana berdampak melunturkan
seluruhkebudayaanyang mengandung sikap religiusitas orang Seko Embonatana
yang dilakukan setiap tahunnya. Misalnya budaya membangun rumah (meleppo)
yang ditandai dengan menarik kayu dan batu yang besar dari hutan dan sungai
1 Lihat Bab I,catatan kaki No.1.
76
(moru hatangya hatu).2 Upacara meneguhkan seorang pemimpin (ma’patokkoh
Tobara) yang dilakukan mulai dari penyeleksian kriteria, hingga sampai pada saat
pembuktian alam yang disaksikan oleh manusia (mappeandei).3 Budaya bertani
(Membura Padang) yang dimulai sejak pembukaan lahan (tumete) hingga sampai
waktu panen (morako’).4
Dilaksanakan secara gotong royong oleh orang Seko Embonatana.
Bahkan stratifikasi sosial pun turut serta terkikis lenyap sebab pembagian kelas
dalam masyarakat dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen yang menekankan
bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan karena itu tidak ada lagi hamba
dan tuan dalam masyarakat. Padahal dalam kehidupan orang Seko pra-agama
„impor‟, justru memaknai bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan akan
tetapi memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Demikian halnya dengan
melunturnya peranan dan fungsi pemimpin masyarakat adat (Tobara) karena
administrasi pemerintahan yang berubah sesuai kebijakan pemerintah, distrik dan
desa, yang menggantikan posisi dan kedudukan Tobara.
Dengan melunturnya kebudayaan, stratifikasi dan sistem sosial, yang di
dalamnya orang Seko Embonatana merefleksikan seluruh kehidupan yang
berkorelasi dengan Tuhannya, sesama manusia dan alam semesta. Dengan
kalimat lain yang melaluinya orang Seko mensistematikkan nilaiyang berguna
untuk mengharmonisasi sosio-etis-religius mereka kapan dan dimanapun berada.
Dengan sendirinya kepercayaan terhadap Tuhan yang dihayati oleh orang Seko
2 Lihat bab III, catatan kaki No. 17.
3 Lihat Bab III, catatan kaki No. 15 dan 16.
4 Lihat bab III, catatan kaki No.18-21
77
Embonatana dalam kebudayaannya turut serta “mati”.5 Dikarenakan oleh
kepercayaan yang mendominasi seperti agama Kristen Barat dan Islam dari latar
belakang Arab yang menerapkan konsep ketuhanan yang sangat berbeda dengan
agama lokal.
Bahkan terjadi pergantian penyebutan nama „Tuhan atau Yang Ilahi‟ di
Seko Embonatana, yakni Dehata dirubah menjadi Puang Matua yang adalah
istilah yang digunakan oleh orang Toraja menyebut „Tuhan atau Ilahi‟. Demikian
halnya yang dialami oleh agama Islam penyebutan Dehata digantikan menjadi
Allah SWT. Sehingga nama Dehata itu sendiri dianggap sebagai nama Tuhan
yang kafir, yang tidak boleh disebutkan lagi dalam kehidupan beragama saat ini.
Kenyataan ini disebabkan oleh adanya memori kolektif yang ditanamkan
pada masa kolonialisasi kebudayaan barat (Belanda) yang diterapkan oleh Van
Weerden sebagai utusan Greformeed Zendingbonds (GZB) dengan mental militer
sebab Weerden adalah seorang tentara Belanda dengan gaya kolonialisasi yang
memaksakan kehendak membasmi budaya setempat dengan menerapkan sistem
“siasat” terhadap praktik kebudayaan karena dinilai kafir.6 Tambahan pula
dominasi kebudayaan Toraja yang semula diterapkan oleh Pither Pasangka
Palisungan sebagai penginjil yang menggantikan Weerden setelah ditahan oleh
5 Yang penulis maksudkan tentang kematian Tuhan di Seko adalah matinya pemahaman
terhadap konsep ketuhanan masyarakat Seko Embonatana terhadap Dehata, Tuhan Yang Maha
Kuasa yang diyakini dalam kepercayaan tradisional. 6 Siasat adalah istilah yang dipahami oleh masyarakat Seko Embonatana tradisional
sebagai penerapan sangsi gerejawi terhadap perilaku yang melanggar atau bertentangan dengan
ajaran Kristen, yang semula diterapkan oleh Weerden atas pelanggaran yang diperbuat oleh orang
Seko yang sudah menganut agama Kristen, misalnya melakukan ritual kebudayaan, bekerja pada
hari minggu, berzinah dst. Bentuk pelanggaran tersebut diungkapkan dalam pengakuan iman bagi
orang yang melanggarnya di depan jemaat pada saat ibadah hari minggu.
78
militer Jepang, sehingga orang Seko Embonatana yang menerima agama
Kristen,diajari iman Kristen dalam bahasa Toraja dan bergabung di dalam Sinode
Gereja Toraja di kemudian hari yang terus menerus menyebarkan injil dengan
munggunakan bahasa Toraja yang secara esensial memiliki bahasa dan
kebudayaan yang berbeda dengan orang Seko Embonatana.Kekuatan struktural
sinode Gereja Toraja melumpuhkan ingatan dan praksis kebudayaan masyarakat
Seko Embonatana.7 Karena itu dalam konteks kehidupan bergereja saat ini orang
Seko Embonatana yang berada di bawah Sinode Gereja Toraja, mestinya
megkonstruksi ulang pemahamannya terhadap teologi yang berbasis lokal
yang dibangun dari bawah dengan menggunakan sumberdaya lokal yang
terkandung dari rahim kebudayaan masyarakat setempat, bukan
membangun teologi kontekstual yang hanya mekonstruksi teologi pewarisan
Barat.8 Sepertihalnya yang diterapkan oleh Sinode Gereja Toraja dalam
menjalankan misinya di Seko Embonatana.
Demikian halnya dengan semangat politik Kahar Muzakkar,
memerintahkan sejumlah tentara DI/TI tahun 1953secara radikal melarang
masyarakat Seko menganut agama lokal dengan mewajibkan memeluk agama
Islamyang tidak sedikit menelan korban jiwa di Seko.9 Sehingga sejumlah besar
masyarakat Seko yang tidak menerima pengislaman dan trauma atas peristiwa
horor itu,mengungsi ke daerah sekitar diantaranyalembah Palu, Karama dan
7Lihat Bab III, Sejarah Sallombengang.
8Izak Markus Lattu, Kekristenan Poliponik: Mendialogkan Teologi dan Budaya Lokal
dalam Theologia: Jurnal Teologi Interdisipliner (Volume IV, No 1, Bulan Agustus, Tahun 2009), 97.
9Lihat Ngelouw di bab 1.
79
Toraja, kemudian berjumpa dengan budaya sekitar yang menurut penulis adalah
kebudayaan yangdominan.10
Penetrasi dan interaksi kebudayaan Seko dengan
budaya sekitar itu, menciptakan bias kebudayaan Seko Embonatana pada periode
waktu berikutnya, ketika mereka kembali ke Seko setelah diltaklukkannya tentara
DI/TII oleh TNI dan mereka memulai kehidupan baru sebab semua harta kekayan
mereka telah dijarah dan seluruhrumah tradisional sebagai tempat tinggal
merekasudah habis dibakar oleh tentara gerombolan. Hal ini terbukti dengan tidak
ada lagi rumah adat tradisional (leppo bara) hingga saat ini sebagai sisa
peninggalan masa lalu mereka. Sekarang mereka membangun rumahtempat
tinggal dengan mengikuti rumah adat masyarakat Bugis dan Kaili.
Dalam konteks sejarah masa lalu masyarakat Seko Embonatana, seperti
yang diungkapkan di atas, sangat mungkin membentuk memori kolektif mereka
terhadap pengalaman masa lalu yang dialaminya untuk melihat kebudayaan
sendiri dari segi trauma fakta masa lalu. Sehingga mereka menekuni salah-satu
dari agama Islam dan Kristen yang di dalamnya tidak ada penjembatanan
pemahaman dalam mengembangkan teologi konteks tual dengan kebudayaan
Seko Embonatana. Dominasi dari dua keperceyaan besar ini lambat laun menjadi
“ideologi” menggeserkan memori kolektif masyarakat Seko Embonatana dalam
memaknai kebudayaan sendiri. Tepat seperti yang di kemukakan Halbwachs,
dalam mengkaji memori kolektif orang Kristen yang didasarkan pada Injil atau
Alkitab sebagai fondasi ingatan bersama mereka, bahwa memori kolektif adalah
penyesuaian diri pada ingatan dengan gambaran pada fakta sejarah masa lampau
10
Lihat Bab III, Sejarah Sallombengang.
80
yang membentuk pengalaman hidup mereka, kemudia dihadirkan kembali pada
saat ini sebagaimana kebutuhan spritualitas.11
Ingatan masyarakat Seko Embonatana terhadap Sallombengang sebagai
salah-satu kebudayaan mereka yangluntur dan digantikan oleh memori kolektif
Kristen dan Islam. Dengan demikian orang Seko Embonatana yang menganut
agama Kristen saat ini menganggap diri sebagai bagian dari bangsa Israel, disaat
yang sama mereka mengganggap diri sebagai orang Toraja. Sebaliknya orang
Seko yang beragama Islam mengklaim diri sebagai bagian tidak terlepas-
pisahkan dari bangsa Arab sebagai cikal bakal munculnya Al-quran.
4.1.2. Pengaruh Modernisasi
Dalam konteks masyarakat Seko Embonatana memori kolektif semakin
urgen untuk diupayakan secara serius, sehubungan dengan konteks kehidupan
masyarakat Seko dewasa initelah banyak mengalami persoalan dengan adanya
perubahan pesat yang terjadi sebagai dampak dari penetrasi budaya dan
modernisasi yang semakin mengikis cara hidup mereka, jauh berbeda dari amanah
yang terkandung dalam Sallombengang. Masalah yang sangat memperihatinkan
terjadi dikalangan orang Seko Embonatana mengarah pada pola hidup modern
dengan kecenderungan materialis, hampir segala hal diukur dengan nilai materi,
harta benda dan persaingan kekayaan. Dengan menilai budaya masyarakat Seko
Embonatana sebagai hal yang tidak penting karena tidak memberikan keuntungan
secara finansial.
11
Lihat Halbwachs pada penjelasan tentang memori kolektif beragama pada bab II.
81
Pada saat yang sama dampak dari modernisme itu mempengaruhi
kehidupan orang Seko Embonatana saat ini yakni, sikap hidup yang semakin
pragmatis dan konsumtif. Dengan pergeseran cara hidup yang menunjukakan
kemalasan. Hal itu terlihat jelas dari kebiasaan mengunakan kayu bakar untuk
memasak berubah dengan menggunakan kompor gas yang di impor dari daerah
Masamba-Luwu Utara dan Mamuju dalam waktu beberapa hari. Demikian halnya
dengan kebutuhan konsumsi lainnya seperti sayur dan ayam ras di impor dari
daerah sekitar untuk masyarakat Seko. Hal ini membuktikan bahwa cara hidup
dan etos kerja orang Seko tidak lagi mencerminkan amanah yang terkandung
dalam Sallombengangsebagai pandangan hidup dan cara hidup jujur,setia, rendah
hatidan giat bekerja. Disi lain sikap orang Seko yang konsumtif terhadap barang
impor tentunya mengurangi etos kerja masyarakat Seko Embonatana yang dikenal
sebagai orang yang rajin dengan didukung oleh sumberdaya alam yang tersedia.
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas sebagai faktor penyebab
lunturnya budaya Sallombengang sebagai salah satu elemen budaya di Seko
Embonatana sebagai akibat dari dominasi agama Kristen-Barat, budaya
Toraja,Pengislaman DI/TII yang meninggalkan trauma kebudayaan, dan
masuknya pesona modernisme yang semakain tidak teratasi, maka masayarakat
Seko mengalami kegagalan identitas dan jati dirinyadan terasing pada budayanya
sendiri. Sehingga merenggangkan hubungan kekeluargaan dan persatuan yang
dulunya kuat melintasi batas agama, klan marga dan tanah adat. Dampaknya ialah
orang Seko tidak lagi mencerminkan kehidupan bersatu, rukun dan damai.
82
Sebagaimana yang menjadi kewajiban bersama dalam solidaritas
Sallombengang.12
Pergeseran makna Sallombengang inilah, menciptakan sikap
individualisme yang kuat dengan motivasi keuntungan dan kepentingan hidup
belaka. Sehingga memunculkan beragam masalah baik masalah keluarga maupun
masalah sosial lainnya yang secara nyata terlihat jelas pada persoalan masuknya
pembangunan infrastruktur Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Seko Power
Prima, yang menggoyah segenap elemen masyarakat di Seko Embonatana yang
terdiri dari tiga desa, yakni Desa Embonatana, Tanamakaleang dan Hoyane yang
relatif sulit di atasi. Kesulitan dalam menangani masalah ini, menurut penulis
karena memudarnya Sallombengang sebagai salah satu kebudayaan yang
mempersatukan segala persepsi hidup yang berbeda. Ketiga desa tersebut
mengalami perseteruan sebagai bentuk bahwa masyarakat Seko Embonatana tidak
lagi berpegang teguh pada falsafah Sallombengang yang memiliki semboyan
hidup bersatu, berdamai, menjung tinggi nilai kemanusiaan, terbuka atas
perbedaan, dan menghargai sesama teramat yang dituakan dalam kampung
sehingga membuka peluang lahirnya konflik di tengah masyarakat.13
Dengan melihat kenyataan hidup orang Seko Embonatana di atas, menurut
penulis dibutuhkan sebuah strategi atau praktik diskursus yang diselenggarakan
oleh lembaga pendidikan, keagamaan dan pemerintah setempat. Dalam rangka
menmbangkitkan kembali memori kolektif masyarakat Seko Embonatana
terhadap Sallombengang dan kebudayaan yang lainnya yang pernah dihidupi oleh
12
Lihat Bab III. 13
Lihat bab III.
83
masyarakat setempat. Pada saat yang sama membuka dirinya untuk berdialog dan
bertransformasi dengan konteks saat ini.
4.2.Memori Kolektif Sallombengang
Pada penjelasan sebelumnya telah diuraikan faktor penyebab lunturnya
memori kolektif masyarakat Seko Embonatana terhadap Sallombengang yang
adalah salah salah satu ritual kebudayaan yang dilakukan masyarakat. Sebagai
dampak dari penetrasi agama, kebudayaan yang dominan dan modernisasi.
Meskipun demikian bahwa Sallombengang teramnesiakan dalam praktik
kebudayaan saat ini, tetapi disi yang lain ingatan tersebut masih hidup dan
terpelihara dalam memori kolektif mereka. Hal ini terbukti dari penjelasaan
informan dalam menyajikan data tentang Sallombengang yang diutarakan secara
lisan sebagai ingatan bersama yang dikonstruksi dari masa lalu mereka.Tepat
seperti yang di kemukakan Halbwachs, bahwa memori kolektif merupakan
konstruksi sosial, yaitu suatu ingatan yang berproses melalui konteks sosial
tertentu diekspresikan pada saat ini, sehingga dapat dimengerti bukan saja oleh
orang lain tetapi juga diri sendiri sebagai makhluk sosial. Memori kolektif itu
tidak dapat berfungsi sebagai dorongan yang berbeda untuk periode sejarah yang
berlaku jika masa lalu dipandang sama sekali asing.14
Jika kerangka teoritis Halbwachs di atas didialogkan dengan peristiwa
sejarah yang dialami oleh masyarakat Seko Embonatana pada masa lalu mereka,
dalam hubungannya dengan Sallombengang, maka ditemukan korelasi yang
14
Lihat Halbwachs, Pada Bab II.
84
senada bahwa Sallombengang adalah memori kolektif masyarakat Seko
Embonatana yang dikonstruksi pada masa lalu dalam konteks sejarah hidup
mereka, yang memiliki dampak terhadap kehidupan masa kini. Sallombengang
sebagai memori kolektif bukan hanya cerminan peristiwa masa lampau yang
akurat, melainkan representasi kebutuhan masa kini dan harapan akan masa depan
yang baik.15
Memori kolektif Sallombengang adalah ingatan masa lalu yang
dihadirkan pada masa kini untuk merefleksiakan seluruh nilai dan makna
kehidupan orang Seko Embonatana yang berdaya guna menjadi cerminan dan
panduan hidup mereka. Dengan kata lain Sallombengang dihadirkan kembali dari
ingatan masa lalu yang dijadikan sebagai pandangan hidup sekaligus cara hidup
orang Seko saat ini dalam korelasinya dengan Tuhannya, sesama manusia dan
alam semesta.16
Sallombengang sebagai memori kolektif masyarakat Seko Embonatana
melaluinya mereka memperoleh gambaran hidup yang benar, menjung tinggi
kesetaraan, mengedepankan persatukan, menghidupi kejujuran, keadilan dan
terbuka terhadap perbedaan dalam masyarakat,dilokalisasi dalam ingatan
bersama.Sehingga memori kolektif tersebut menjadi ingatan yang kuat dalam
kehidupan masyarakat.Adapun bentuk pelokalan kenangan masa lalu mereka
terhadap nilai, makna, dan falsafah yang terkandung dalam Sallombengang
diwujudnyatakan dalam keseharian mereka melalui keluarga dan pekerjaan.
15
Lihat Halbwach, Pada bab II. 16
Lihat Sejarah Sallombengang Pada Bab III.
85
4.2.1. Keluarga
Melokalisasi ingatan Sallombengang di Seko Embonatana, dilakukan dalam
kelompok yang lebih kecil yakni keluarga. Bagi orang Seko Embonatana konsep
keluarga dipahami dalam arti sarrapuyang secara harafiah diartikan satu dapur
tempat memasak. Dapur tidak hanya berfungsi sebagai tempat memasak, tetapi
tempat berkumpul setiap hari untuk makan bersama, bercerita bersama, bahkan
tempat mengajarkan nilai-nilai hidup yang positif. Salah satu yang diajarkan
dalam keluarga ialah amanah Sallombengang. Sebagai cara hidup yang wajib
dilakukan dalam kehidupan bersama sebagai anggota keluarga dan anggota
masyarakat.17
Perspekstif keluarga di atas persis seperti yang dikatakan oleh Halbwachs
bahwa keluarga adalah produsen utama dari ingatan, tempat mengkonstruksi
semua kenangan masa lalu. Dengan kata lain keluarga sekaligus melibatkan tubuh
fisik individual dan idealitas konseptual yang diwariskan antara generasi.
Sehingga tercipta pertukaran kesan konstan antara anggota keluarga yang
memperkuat ikatan kolektif.18
Pelokalan kenangankonstan tercipta dalam ritual
keluarga(rapu’)orang Seko Embonatana yang mengikat perasaan kuat dalam
memaknai Sallombengang sebagai amanah kolektif tertransfer melalui pendidikan
keluarga di dapur tempat memasak dimana orangtua berfungsi sebagai pengajar
kepada anak-anak mereka dalam setiap inetaksi dan dialog yang terjalin disaat
mereka mengelilingi api tempat mereka memasak.
17
Lihat Bab III, Ritual Sallombengang. 18
Lihat, Pada Bab II.
86
4.2.2. Pekerjaan
Pada umumnya masyarakat Seko Embonatana bekerja sebagai petani
dengan bekerja di kebun kopi, coklat, ladang dan sawah. Setiap lahan pertanian
yang digarap selalunya dilakukan secara bersama dengan orang lain yang juga
bertani di samping lahan yang digarap, pada waktu panen umumnya masyarakat
tinggal dan menginap selang waktu tertentu di tempat mereka menuai hasil
pertanian. Seperti biasanya di waktu sore sekitar pukul 16.00 atau jam 4 sore,
mereka saling mengunjungi, minum kopi atau makan bersama yang dimelaluinya
mereka berbagi cerita, pengalaman bertani dan pengalaman masa lalu masing-
masing. Tidak sedikitpun topik yang diceritakan terkait dengan kebudayaan
Sallombengang sekalipun budaya itu telah teramnesiakan dalam praktik ritual
kebudayaan masyarakat Seko saat ini.
Kebersamaan hidup yang demikian di Seko Embonatana melokalisasi
memori kolektif mereka yang tertransfer melalui narasi yang didialogkan dalam
kebersamaan yang terjalin. Sehingga ingatan masa lalu setiap orang tertransfer
menjadi ingatan bersama. Senada yang dikatakan Durkheim bahwa ingatan,
menempatkan dimensi kolektif dalam suatu masyarakat yang disebutnya sebagai
fakta sosial. Melalui interaksi masing-masing individu menciptakan kolektivitas.
Kebersamaan itu mengeksternalisasi individu secara utuh pada dirinya dan
meleburkan diri dalam komunitas dengan simbol kolektif. Simbol itu kemudian
87
diwariskan ke generasi masyarakat berikutnya melalui ingatan bersama dalam
skala waktu tertentu, sehingga membentuk struktur ingatan kolektif.19
Di atas telah diuraikan pelokalan memori kolektif masyarakat Seko
Embonatana terhadapSallombengangmelalui keluarga dan pekerjaan. Selanjutnya
penulis akan menguraikan pewarisan kenangan melaluitersebut kepada generasi
berikutnya tuturan narasi, bahasa dan simbol sebagai berikut:
4.2.2.1.Narasi
Sallombengang merupakan kebudayaan masyarakat Seko yang diwariskan
kepada generasi berikutnya melalui narasi atau cerita masa laluyang dimulai dari
sejarah munculnya Sallombengang, amanah dan makna yang terkandung di
dalamnya. Cerita tersebut disampaikan dalam bentuk dialog antara angota
masyarakat pada waktu berkumpul bersama dengan keluarga maupun dengan
kelompok masyarakat. Baik di rumah tempat tinggal dan dipondok tempat bekerja
seperti ladang, kebun, sawah dan tempat bertani lainnya. Sehingga
Sallombengang hidup dan menjadi ingatan bersama.
Hal ini senada yang dimaksudkan Halbwachs bahwa sebuah ingatan
terbentuk melalui dialog dalam kelompok sosial, seperti halnya sebuah ingatan
terbesar atau bagian kenangan yang terkuat akan menjadi ingatan yang resmi di
dalam kelompok masyarakat tersebut. Dalam konteks ingatan kolektif, setiap
orang bisa memiliki ingatan yang berbeda tentang apa yang sungguh terjadi di
masa lalu. Cerita, atau narasi, itu meresap ke dalam kultur suatu masyarakat dan
19
Lihat Bridget Pada Bab II.
88
secara tidak sadar telah menjadi bahasa bersama dari masyarakat tersebut untuk
menggambarkan dan menjelaskan masa lalu mereka.20
Untuk dimaknai sekaligus
memaknai kehidupan masyarakat Seko Embonatana saat ini.
4.2.2.2.Bahasa
Dalam kerangka teoritis Halbwachsmemori kolektif adalah sebuah ingatan
sosial yang isi dan kegunaanya dijelaskan melalui interaksi dengan orang lain
dalam bentuk bahasa. Dengan bahasa kita mengaitkan diri kita dengan satu sistem
tertentu yang telah berkembang lama, jauh sebelum kita dilahirkan. Proses
menerima, mencipta dan mewariskan sebuah ingatan masa lalu dilakukan dalam
bentuk narasi dengan mengunakan bahasa.21
Bagi Halbwachs memori kolektif diwariskan kepada generasi berikutnya
dengan menggunakan bahasa. Hal serupa ditemukan dalam narasi Sallombengang
yang dituturkan kepada generasi berikutnya dengan menggunakan bahasa Seko
Embonatana. Dalam rangka mengungkapkan kembali amanah yang pernah
disampaikan oleh seorang Passupu yang bernama Roka. Adapun amanah
Sallombengang yang diwariskan dalam bahasa Seko Embonatanaialah sebagai
berikut:
E to Seko. Anna u issang ti masallombengang, uiataah ti halusuna
lino. Sakko anna idauissangngi ti masallombengang ya umetenga re
saruhane ung sisarak-sarak, ya unapapelahakka raa’. Ya
umarassannga meteng re kotta na kanaung. Sakko anna uisang hoda
ti masa sallombengang ya umutenga ree kotta eh, namoi
andanamasandia sakko mamesa’ marasang nei kanaung sakko tuho
20
Lihat Halbwachs Pada bab II 21
Lihat Reza,Pada bab II.
89
sule. Anna idauissangi ti masallombengang, auissangngi
timassapang katuhoang. Pengaraah anna buru ti tau maleholong
matanna, buruah dah ti appeku ussahu bahulaknna, usi ande-ande
beteah, unapapelahakkah ra’a Adia hurai memammu ti
upomemamnga. Anna uissamo ti masallombengang Pengaraah anna
buru ti pare kotta’ lakkang kuayang, leppo basi ummelaking. Kanak-
kanak mane ni sasaiah da tahuninna tiunnipomatuaah.22
Mencermati amanah Sallombengang yang dikemukakan di atas, tepat
menyitir pendapat Halbwachs bahwa amanah Sallombengang yang diwariskan
dari generasi-kegenerasi dengan menggunkan bahasa Seko Embonatana
membentuk pelestarian kenangan masa lalu yang dialami oleh orang Seko zaman
dahulu kala, diproduksi kembali melalui pewarisan ingatan sehingga menciptakan
hubungan yang kuat dengan orang lain yang melahirkan perasaan kolektif,
membentuk identias sekelompok masyarakat. Sehingga generasi Seko berikutnya
dari waktu ke waktu wajib untuk mereproduksi peristiwa sebelumnya di masa lalu
untuk memikirkan bagaimana peristiwa masa lalu itu dijadikan dasar bagi
peristiwa masa kini, dan sebagai pijakan memberi makna dan harapan bagi masa
depan yang lebih baik.23
4.2.2.3.Simbol
Dalam kaitannya dengan memori kolektif,
Halbwachsmenggunakan gambardan mimpi sebagai bagian dari simbol yang
memiliki kekuatan membentuk identitas kolektif. Bagi Halbwachs mimpi dan
gambar tidak pernah seluruhnya hal pribadi, melainkan ingatan sosial, karena
mimpi selalu mengungkapkan simbol yang diciptakan secara sosial oleh
22
Lihat, Terjemahan di bab III Halaman 16 dan 18. 23
Lihat, Halbwachs Pada bab II.
90
masyarakat. Masa lalu bercerita dalam mimpi dan gambar, ingatan disebarkan
melalui simbol.24
Simbol yang dimaksudkan Halbwachs ini secara signifikan berbeda
dengan simbol yang terkandung dalam Sallombengang. Sebab dalam
Sallombengang simbol dimaknai bukan hanya pembentuk identitas tetapi
mengungkapkan makna yang merefleksikan seluruh nilai hidup dalam satu
kesatuan yang utuh. Simbolisme Sallombengangtidak lahir dari mimpi, melainkan
sebuah penghayatan religius orang Seko Embonatana, sebagaimana yang
terkandung dalam simbol: (1). Lombeng, yang berarti tempat menyatukan
perbedaan, menyimpan kebaikan dan mempertimbangkan perlilaku kejahatan. (2).
Manik-manik (saruhane) yang berarti bahwa dalam masyarakat terdapat beragam
perbedaan seperti yang digambarkan pada jenis ukuran dalam manik-manik. (3).
Buah aren (kotta’) yang memiliki warna jamak sebagai simbol perbedaan dalam
masyarakat. (4). buah pinang (buaa’) sebagai simbol persatuan yang kuat
mencakup totalitas keragaman hidup masyarakat Seko Embonatana dan (5)
Tanduk Balulang sebagi simbol perdamaian mengandung sumpah setia, yang
melaluinya orang Seko Embonatana wajib memelihara persatuan dan perdamaian,
dengan menjung tinggi keadilan, kesetian dan rendah hati menerima berbagai
macam kritik yang membangun sebagai bentuk kerendahan hati menerima
berbagai macam kritik yang membangun sebagai bentuk keterbukaanterhadap
keragaman hidup dalam masyarakat.
24
Lihat, HalbwachPada bab II.
91
Simbol Sallombengang dalam konteks kekinian diupayakan ditampilkan
sebagai dasar dan cerminan hidup dan kehidupanyang dimaknai sekaligus
memaknai segala hal yang terjadi dalam masyarakat Seko Embonatana dalam
kebersamaan hidup berinteraksi dengan sesama manusia, dengan yang Ilahi dan
alam semesta untuk menjiwai tumbuhan dan binatang.Hal ini seirama dengan
pernyataan yang ditunjukan oleh R.M. Maclver bahwa, setiap kebudayaan
diungkapkan dengan memaknai simbol yang sekaligus merupakan sarana
komunikasi dan landasan pemahaman bersama. Setiap komunikasi dengan bahasa
atau sarana yang lain menggunakan simbol-simbol. Masyarakat hampir tidak
mungkin ada tanpa simbol.25
Berdasarkan perspektif di atas maka dapat dikatakan simbolisme yang
terkandung dalam Sallombengang menciptakan peran dan aturan yang
membangkitkan semangat persatuan yang mengharmonisasi kehidupan orang
Seko Embonatana, baik dalam persekutuan keluarga, pemerintahan adat,
kesenjangan ekonomi sampai pada pembentukan moral keagamaan yang
dijunjung tinggi oleh orang Seko Embonatana.Sehingga Sallombengang
merupakan sumber norma dan nilai yang bersifat mengikat dalam kehidupan
bersama yang seutuhnya dihayati sebagai yang sakral dengan kekuatan moral
masyarakat.26
Secara disiplin dilakukan dalam kesadaran kolektif yang
mengakarkan individu pada masyarakat.27
Sebab ingatan individu
25
R.M. Maclver, dalam W. Dillistone,The Power Of Syimbols(Yogyakarta: Kanisius,
1950), 340. 26
Lihat, Ritzer, Pada bab I. 27
Lihat, Muhni Pada bab I.
92
hanyalahperwujudan ingatan masyarakat yang direfleksikan melaluitindakan
sosial yang utuh dalam sebuah konteks.
4.3.Sallombengang Intrumen Integrasi Sosial
Sallombengang merupakan falsafah hidup orang Seko Embonatana yang
menyatukan seluruh perbedaan hidup. Nilai substansial yang terkandung di
dalamnya ialah nilai kemanusiaan, keadilan, kejujuran, ketulusan, dan
perdamaian. Kesetaraan hidup yang terkandung dalam Sallombengang menjadi
dasar kehidupan bagi orang Seko Embonatana. Sehingga Sallombengang
dijadikan sebagai sumber nilai dan norma dalam masyarakat, karena itu Uraian ini
dimaksudkan untuk mengkaji kembali memori kolektif masyarakat Seko
Embonatana terhadap Sallombengang sebagai instrumen integrasi sosial, sebab
Sallombengang sendiri mengalami pemudaran makna dikarenakan oleh faktor
internal dan eksternal sebagaimana yang telah dikemukan di atas. Sehingga
melalui memori kolektif Sallombengang masyarakat Seko Embonatana saat ini
kembali mengenal diri dan membangun jati dirinya sebagai satu suku bangsa yang
berdampingan hidup rukun dan harmonis.
Dalam ulasannya memahamai integrasi sosial masyarakat Aborigin di
Australia, Durkheim menguraikan bahwa agama sebagai kekuatan kolektif dalam
masyarakat, yang di dalamnya terdapat ritual. Ritual itu kemudian memperkuat
dan memperbaharui sentimen-sentimen keagamaan masyarakat, serta perasaan
kebergantungan pada kekuatan moral dan spritual yang bersifat eksternal yang
sebetulnya tidak lain dari masyarakat itu sendiri. Upacara tersebut menciptakan
93
kegembiraan dan berusaha meyakinkan para anggota akan pentingnya kelompok
dan masyarakat melalui nasihat keagamaan. Sehingga ritual itu berfungsi
mempertahankan solidaritas dan kohesi sosial.28
Dalam konteks ini tepat menyitir pendapat Durkheim, untuk
menghidupkan kembali memori kolektif Sallombengang sebagai praktik
kebudayaan orang Seko Embonatana saat ini. Sebab ritual Sallombengang
mengandung kesadaran spritual dan moral kolektif yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat setempat, melalui amanah sakral yang disampaiakn Roka. Sehingga
melalui ritual Sallombengang, seluruh masyarakat Seko Embonatana yang
berbeda keyakinan, stratifikasi, ekonomi dan tingkat pendidikan hidup bersatu dan
damai, dengan menjunjung tinggi nilai yang terkandung dalam Sallombengang
secara kolektif. Dengan demikian mayarakat Seko Embonatana hidup dalam
penyesuaian di antara unsur saling berbeda dalam menghasilkan pola kehidupan
masyarakat yang memilki keserasian fungsi.29
Dengan mengkorelasikan segala
fungsi itu dalam cara hidup, etos kerja, nilai dan moral mereka dalam ideologi dan
falsafah Sallombengangyang memuat kesetaraan hidup, persatuan dan
perdamaian.
4.3.1. Sallombengang Sebagai Titik Temu Perbedaan
Dari memori kolektif masyarakat Seko Embonatana terhadap
Sallombengang,diharapkan menciptakan proses terjadinya integrasi sosial yang
28
Lihat Durkheim Pada bab II.. 29
definisi+integrasi+sosial&oq=definisi+integrasi+sosial&aqs=chrome..69i57j0l5.6138j0j
7&sourceid=chrome&ie=UTF-8 diakses tanggal 14 Juni 2017.
94
menyebabkan kelangsungan hidup masyarakat Seko yang rukun dan damai,
meskipun terdapat perbedaan agama sebagai kenyataan hidup. Dalam uraian
sebelumnya telah disinggung bahwa masyarakat Seko pada tahun 1920-1950an,
beralih kepercayaan dengan menganut agama Kristen dan Islam, karena itu
integrasi sosial lintas agama sangat penting untuk mengkorelasikan persamaan
nilai sebagai titik temu antara umat yang berbeda keyakinan. Menurut penulis
integrasi itu dapat dicapai melalui Sallombengang sebagai memori kolektif kedua
komunitas kepercayaan.Sallombengang sebabagi titik temu antara masyarakat
Kristen dan Islam di Seko Embonatana, dapat diwujudkan melalui memori
kolektif; (1) Persamaan kebudayaan Sallombengang dan (2) Sejarah masa lampau.
4.3.1.1.Persamaan Kebudayaan Sallombengang
Masyarakat Seko yang memeluk agama Kristen dan Islam hidup dari
rahim kebudayaan yang sama. Melalui kebudayaan yang sama, maka seluruh nilai
yang terkandung di dalamnya dimaknai sebagai sumber pembelajaran dan cara
hidup yang mengarmonisasi kehidupan kolektif. Demikian halnya peleburan nilai
kebudayaan itu memperkokoh sikap religiusitas masyarakat. Salah-satu diantara
banyaknya kebudayaan yang dihidupi oleh orang Seko Embonatana adalah
Sallombengang yang lahir dari kebudayaan yang sama dan pengalaman hidup
kolektif masyarakat Seko Embonatana.
Kebudayaan tersebut diungkapkan melalui simbol-simbol, sepertihalnya
yang ditunjukankan oleh Clifford Geertz, bahwa penafsiran kebudayaan pada
dasarnya penafsiran simbol-simbol, sebab sifat simbol teraba, tercerap umum dan
95
kongkret, sehingga agama dilihat sebagai sistem kebudayaan. Kebudayaan adalah
suatu pola makna yang ditularkan secara historis, yang diejewantahkan dalam
simbol-simbol, menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan dalam bentuk
simbol, di dalamnya manusia berkomunikasi, melestarikan mengembangkan
pengetahuan mereka tentang hidup dan sikap terhadap kehidupan.30
Melalui simbolisme kebudayaan Seko Embonatana, menyitir pendapat
Geertz maka simbol Sallombengang merupakan warisan kebudayaan yang
membentuk suatu konsep sebagai dasar berinteraksi, berkomunikasi dan
pengembangan pengetahuan tentang hidup dan memaknai kehidupan dalam
amanah Sallombengang sebagai sabda sakral, memuat ajaran persatuan hidup
dalam perbedaan. Dengan mengedapankan nilai luhur yang diyakini berdaya guna
menjadi cerminan kolektif dijabarkan dalam simbol: Lombeng, manik-manik
(saruhane), buah aren (kotta’), buah pinang (buaa’) dan tanduk kerbau (tanduk
balulang) sebagai simbol bersama yang merekatkan manusia Seko Embonatana
pada persatuan kolektif yang kuat mencakup totalitas keragaman hidup dalam
masyarakat seluruhnya diyakini sebagai yang sakral.
Dengan bangkitnya memori kolektif, tentunya membangkitkan kesadaran
akan persamaan kebudayaan yang memungkinkan masyarakat Kristen dan Islam
di Seko hidup berdampingan rukun dan damai, dengan mengedepankan nilai-nilai
yang terkandung dalam amanah Sallombengang sebagai tali perekat dalam
masyarakat. Kebudayaan Sallombengang tersebut dihidupi melalui pelestarian
pengalaman bersama yang terus-menurus dipupuk dalam hubungan dengan orang
30
Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 50-51.
96
lain yang melahirkan perasaan kolektif membentuk identitas sekelompok
masyarakat.31
4.3.1.2.Sejarah Masa Lampau
Budiawan menjelaskan hubungan mutualistik antara memori dan identitas
dimana keduanya saling membentuk. Maksudnya apa yang diingat dan dilupakan
oleh suatu entitas kolektif dibentuk sekaligus turut membentuk, sebagaimana
entitas kolektif itu mendefinisikan senseof collective self mereka. Lebih lanjut
Budiawan menjelaskan pemikiran Halbwachs bahwa, hubungan antara memori
individu dan memori kolektif yang disebut terdahulu tidak lepas dari yang
terkemudian dan yang disebut kemudian mewujud dalam yang disebut
terdahulu.32
Berangkat dari perspektif Budiawan, tentang memori kolektif maka
sejarah hidup masyarakat Seko Embonatana pada masa lampau tidak dapat dilepas
pisahkan dengan kenyataan hidup saat ini. Dengan kalimat lain pengalaman hidup
pada masa lalu akan turut serta mempengaruhi cara hidup masyarakat Seko saat
ini. Ingatan tersebut meliputi sejarah keharmonisan hidup yang pernah dialami
oleh masyarakat Seko ketika mereka setia menghidupi falsafah
Sallombengangtetapi sejarah masalalu mengajarkan bahwa ketidakpatuhan orang
Seko pada Sallombengang menciptakan malapetaka melanda seluruh masyarakat
Seko di tahun 1950-an yang ditandai dengan peristiwa tragis yang menelan
31
LihatHalbwach Pada bab II. 32
LihatHalbwachs dan Budiawan Pada bab II.
97
banyak korban. Jauh sebelum peristiwa ini terjadi Roka, telah menubuatkan
bahwa jika kalian tidak bersatu maka darah akan mengalir menghiasi bumi Seko.
Dengan belajar dari kebudayaan dan sejarah hidup bersama, maka memori
kolektif masyarakat Seko Embonatana terhadap Sallombengang dapat dijadikan
sebagai resistensi masyarakat dalam membangun perspektif bersama untuk
menyikapi berbagai gejolak yang muncul baik secara internal maupun eksternal
sehingga tercipta integrasi sosial, menjawab beragam bentuk pergumulan
masyarakat diantaranya adalah masalah PLTA Seko Power Prima, perbedaan
lintas agama, klan marga dan sebagainya. Serta dengan terwujud tatanan
kehidupan yang kondusif, rukun dan damai dalam keserasian fungsi yang
harmonis.