BAB IV MEMORI KOLEKTIF SALLOMBENGANG SEBAGAI … · Memori kolektif memiliki peran dan fungsi yang...

24
74 BAB IV MEMORI KOLEKTIF SALLOMBENGANG SEBAGAI INSTRUMEN INTEGRASI SOSIAL Memori kolektif memiliki peran dan fungsi yang besar dalam kehidupan manusia. Olehnya manusia dapat merefleksikan seluruh dirinya dalam satu ingatan bersama, terkait dengan segala hal yang dialaminya saat ini. Demikian halnya memori kolektif Sallombengang yang merupakan kebudayaan orang Seko Embonatana pada masa lalu yang memuat seluruh nilai-etis-religius dalam falsafah hidup yang menyatukan seluruh masyarakat Seko Embonatana yang terdiri dari keragaman perbedaan hidup. Dengan menjunjung tinggi nilai kemanusian, keadilan, kejujuran, kesetian dan perdamaian. Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat memori kolektif masyarakat Seko Embonatana terhadap Sallombengang sebagai ingatan yang terpelihara dalam memori masyarakat untuk dihadirkan kembali dalam praktik berbudaya saat ini. Kemudian dijadikan sebagai cerminan kehidupan untuk menata seluruh nilai hidup secara kontekstual dan menjadi potretan dalam mengarahkan masyarakat untuk menemukan jati dirinya yang gemilang di masa mendatang. Sehingga masyarakat Seko Embonatana dapat mengartikan diri dalam satu makna kolektif yang menyatukan segala unsur perbedaan demi mewujudkan keserasian fungsi. Upaya melahir-hidupkan kembali memori kolektif masyarakat Seko Embonatana terhadap Sallombengang sebagai ingatan bersama, penulis mulai mengkajinya dari faktor penyebab lunturnya memori kolektif Sallombengang,

Transcript of BAB IV MEMORI KOLEKTIF SALLOMBENGANG SEBAGAI … · Memori kolektif memiliki peran dan fungsi yang...

74

BAB IV

MEMORI KOLEKTIF SALLOMBENGANG SEBAGAI INSTRUMEN

INTEGRASI SOSIAL

Memori kolektif memiliki peran dan fungsi yang besar dalam kehidupan

manusia. Olehnya manusia dapat merefleksikan seluruh dirinya dalam satu

ingatan bersama, terkait dengan segala hal yang dialaminya saat ini. Demikian

halnya memori kolektif Sallombengang yang merupakan kebudayaan orang Seko

Embonatana pada masa lalu yang memuat seluruh nilai-etis-religius dalam

falsafah hidup yang menyatukan seluruh masyarakat Seko Embonatana yang

terdiri dari keragaman perbedaan hidup. Dengan menjunjung tinggi nilai

kemanusian, keadilan, kejujuran, kesetian dan perdamaian.

Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat memori kolektif masyarakat Seko

Embonatana terhadap Sallombengang sebagai ingatan yang terpelihara dalam

memori masyarakat untuk dihadirkan kembali dalam praktik berbudaya saat ini.

Kemudian dijadikan sebagai cerminan kehidupan untuk menata seluruh nilai

hidup secara kontekstual dan menjadi potretan dalam mengarahkan masyarakat

untuk menemukan jati dirinya yang gemilang di masa mendatang. Sehingga

masyarakat Seko Embonatana dapat mengartikan diri dalam satu makna kolektif

yang menyatukan segala unsur perbedaan demi mewujudkan keserasian fungsi.

Upaya melahir-hidupkan kembali memori kolektif masyarakat Seko

Embonatana terhadap Sallombengang sebagai ingatan bersama, penulis mulai

mengkajinya dari faktor penyebab lunturnya memori kolektif Sallombengang,

75

selanjutnya penulis menguraikan memori kolektif Sallombengang kemudian

menjelaskan Sallombengang sebagai instrumen integrasi sosial.

4.1. Lunturnya Memori Kolektif Sallombengang

Ketika berbicara mengenai memori kolektif masyarakat Seko Embonatana

terhadap Sallombengang, maka penting mengkaji kembali penetrasi kebudayaan

asing yang menjadi faktor penyebab lunturnya ingatan kebudayaan, yakni:

4.1.1. Agama Kristen dan Islam

Telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa Sallombengang adalah salah

satu kebudaayan yang teramnesiakan dalam praktik kehidupan berbudaya orang

Seko Embonatana saat ini, akibat perubahan sosial yang melanda mereka pada

tahun 1920-1965 dengan masuknya agama Kristen, ekonomi pasar dan

administrasi kolonial yang berturut-turut disusul oleh militer Jepang, revolusi

mempertahankan kemerdekaan, serta pendudukan tentara gerombolan (DI/TII)

yang secara radikal memaksakan agama Islam.1 Dengan melarang praktik

kebudayaan Sallombengang sebab dianggap sebagai kebudayaan yang bebas nilai

dan kafir.

Dengan memudarnya falsafah Sallombengang yang dijadikan pandangan

hidup bagi masyarakat Seko Embonatana berdampak melunturkan

seluruhkebudayaanyang mengandung sikap religiusitas orang Seko Embonatana

yang dilakukan setiap tahunnya. Misalnya budaya membangun rumah (meleppo)

yang ditandai dengan menarik kayu dan batu yang besar dari hutan dan sungai

1 Lihat Bab I,catatan kaki No.1.

76

(moru hatangya hatu).2 Upacara meneguhkan seorang pemimpin (ma’patokkoh

Tobara) yang dilakukan mulai dari penyeleksian kriteria, hingga sampai pada saat

pembuktian alam yang disaksikan oleh manusia (mappeandei).3 Budaya bertani

(Membura Padang) yang dimulai sejak pembukaan lahan (tumete) hingga sampai

waktu panen (morako’).4

Dilaksanakan secara gotong royong oleh orang Seko Embonatana.

Bahkan stratifikasi sosial pun turut serta terkikis lenyap sebab pembagian kelas

dalam masyarakat dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen yang menekankan

bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan karena itu tidak ada lagi hamba

dan tuan dalam masyarakat. Padahal dalam kehidupan orang Seko pra-agama

„impor‟, justru memaknai bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan akan

tetapi memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Demikian halnya dengan

melunturnya peranan dan fungsi pemimpin masyarakat adat (Tobara) karena

administrasi pemerintahan yang berubah sesuai kebijakan pemerintah, distrik dan

desa, yang menggantikan posisi dan kedudukan Tobara.

Dengan melunturnya kebudayaan, stratifikasi dan sistem sosial, yang di

dalamnya orang Seko Embonatana merefleksikan seluruh kehidupan yang

berkorelasi dengan Tuhannya, sesama manusia dan alam semesta. Dengan

kalimat lain yang melaluinya orang Seko mensistematikkan nilaiyang berguna

untuk mengharmonisasi sosio-etis-religius mereka kapan dan dimanapun berada.

Dengan sendirinya kepercayaan terhadap Tuhan yang dihayati oleh orang Seko

2 Lihat bab III, catatan kaki No. 17.

3 Lihat Bab III, catatan kaki No. 15 dan 16.

4 Lihat bab III, catatan kaki No.18-21

77

Embonatana dalam kebudayaannya turut serta “mati”.5 Dikarenakan oleh

kepercayaan yang mendominasi seperti agama Kristen Barat dan Islam dari latar

belakang Arab yang menerapkan konsep ketuhanan yang sangat berbeda dengan

agama lokal.

Bahkan terjadi pergantian penyebutan nama „Tuhan atau Yang Ilahi‟ di

Seko Embonatana, yakni Dehata dirubah menjadi Puang Matua yang adalah

istilah yang digunakan oleh orang Toraja menyebut „Tuhan atau Ilahi‟. Demikian

halnya yang dialami oleh agama Islam penyebutan Dehata digantikan menjadi

Allah SWT. Sehingga nama Dehata itu sendiri dianggap sebagai nama Tuhan

yang kafir, yang tidak boleh disebutkan lagi dalam kehidupan beragama saat ini.

Kenyataan ini disebabkan oleh adanya memori kolektif yang ditanamkan

pada masa kolonialisasi kebudayaan barat (Belanda) yang diterapkan oleh Van

Weerden sebagai utusan Greformeed Zendingbonds (GZB) dengan mental militer

sebab Weerden adalah seorang tentara Belanda dengan gaya kolonialisasi yang

memaksakan kehendak membasmi budaya setempat dengan menerapkan sistem

“siasat” terhadap praktik kebudayaan karena dinilai kafir.6 Tambahan pula

dominasi kebudayaan Toraja yang semula diterapkan oleh Pither Pasangka

Palisungan sebagai penginjil yang menggantikan Weerden setelah ditahan oleh

5 Yang penulis maksudkan tentang kematian Tuhan di Seko adalah matinya pemahaman

terhadap konsep ketuhanan masyarakat Seko Embonatana terhadap Dehata, Tuhan Yang Maha

Kuasa yang diyakini dalam kepercayaan tradisional. 6 Siasat adalah istilah yang dipahami oleh masyarakat Seko Embonatana tradisional

sebagai penerapan sangsi gerejawi terhadap perilaku yang melanggar atau bertentangan dengan

ajaran Kristen, yang semula diterapkan oleh Weerden atas pelanggaran yang diperbuat oleh orang

Seko yang sudah menganut agama Kristen, misalnya melakukan ritual kebudayaan, bekerja pada

hari minggu, berzinah dst. Bentuk pelanggaran tersebut diungkapkan dalam pengakuan iman bagi

orang yang melanggarnya di depan jemaat pada saat ibadah hari minggu.

78

militer Jepang, sehingga orang Seko Embonatana yang menerima agama

Kristen,diajari iman Kristen dalam bahasa Toraja dan bergabung di dalam Sinode

Gereja Toraja di kemudian hari yang terus menerus menyebarkan injil dengan

munggunakan bahasa Toraja yang secara esensial memiliki bahasa dan

kebudayaan yang berbeda dengan orang Seko Embonatana.Kekuatan struktural

sinode Gereja Toraja melumpuhkan ingatan dan praksis kebudayaan masyarakat

Seko Embonatana.7 Karena itu dalam konteks kehidupan bergereja saat ini orang

Seko Embonatana yang berada di bawah Sinode Gereja Toraja, mestinya

megkonstruksi ulang pemahamannya terhadap teologi yang berbasis lokal

yang dibangun dari bawah dengan menggunakan sumberdaya lokal yang

terkandung dari rahim kebudayaan masyarakat setempat, bukan

membangun teologi kontekstual yang hanya mekonstruksi teologi pewarisan

Barat.8 Sepertihalnya yang diterapkan oleh Sinode Gereja Toraja dalam

menjalankan misinya di Seko Embonatana.

Demikian halnya dengan semangat politik Kahar Muzakkar,

memerintahkan sejumlah tentara DI/TI tahun 1953secara radikal melarang

masyarakat Seko menganut agama lokal dengan mewajibkan memeluk agama

Islamyang tidak sedikit menelan korban jiwa di Seko.9 Sehingga sejumlah besar

masyarakat Seko yang tidak menerima pengislaman dan trauma atas peristiwa

horor itu,mengungsi ke daerah sekitar diantaranyalembah Palu, Karama dan

7Lihat Bab III, Sejarah Sallombengang.

8Izak Markus Lattu, Kekristenan Poliponik: Mendialogkan Teologi dan Budaya Lokal

dalam Theologia: Jurnal Teologi Interdisipliner (Volume IV, No 1, Bulan Agustus, Tahun 2009), 97.

9Lihat Ngelouw di bab 1.

79

Toraja, kemudian berjumpa dengan budaya sekitar yang menurut penulis adalah

kebudayaan yangdominan.10

Penetrasi dan interaksi kebudayaan Seko dengan

budaya sekitar itu, menciptakan bias kebudayaan Seko Embonatana pada periode

waktu berikutnya, ketika mereka kembali ke Seko setelah diltaklukkannya tentara

DI/TII oleh TNI dan mereka memulai kehidupan baru sebab semua harta kekayan

mereka telah dijarah dan seluruhrumah tradisional sebagai tempat tinggal

merekasudah habis dibakar oleh tentara gerombolan. Hal ini terbukti dengan tidak

ada lagi rumah adat tradisional (leppo bara) hingga saat ini sebagai sisa

peninggalan masa lalu mereka. Sekarang mereka membangun rumahtempat

tinggal dengan mengikuti rumah adat masyarakat Bugis dan Kaili.

Dalam konteks sejarah masa lalu masyarakat Seko Embonatana, seperti

yang diungkapkan di atas, sangat mungkin membentuk memori kolektif mereka

terhadap pengalaman masa lalu yang dialaminya untuk melihat kebudayaan

sendiri dari segi trauma fakta masa lalu. Sehingga mereka menekuni salah-satu

dari agama Islam dan Kristen yang di dalamnya tidak ada penjembatanan

pemahaman dalam mengembangkan teologi konteks tual dengan kebudayaan

Seko Embonatana. Dominasi dari dua keperceyaan besar ini lambat laun menjadi

“ideologi” menggeserkan memori kolektif masyarakat Seko Embonatana dalam

memaknai kebudayaan sendiri. Tepat seperti yang di kemukakan Halbwachs,

dalam mengkaji memori kolektif orang Kristen yang didasarkan pada Injil atau

Alkitab sebagai fondasi ingatan bersama mereka, bahwa memori kolektif adalah

penyesuaian diri pada ingatan dengan gambaran pada fakta sejarah masa lampau

10

Lihat Bab III, Sejarah Sallombengang.

80

yang membentuk pengalaman hidup mereka, kemudia dihadirkan kembali pada

saat ini sebagaimana kebutuhan spritualitas.11

Ingatan masyarakat Seko Embonatana terhadap Sallombengang sebagai

salah-satu kebudayaan mereka yangluntur dan digantikan oleh memori kolektif

Kristen dan Islam. Dengan demikian orang Seko Embonatana yang menganut

agama Kristen saat ini menganggap diri sebagai bagian dari bangsa Israel, disaat

yang sama mereka mengganggap diri sebagai orang Toraja. Sebaliknya orang

Seko yang beragama Islam mengklaim diri sebagai bagian tidak terlepas-

pisahkan dari bangsa Arab sebagai cikal bakal munculnya Al-quran.

4.1.2. Pengaruh Modernisasi

Dalam konteks masyarakat Seko Embonatana memori kolektif semakin

urgen untuk diupayakan secara serius, sehubungan dengan konteks kehidupan

masyarakat Seko dewasa initelah banyak mengalami persoalan dengan adanya

perubahan pesat yang terjadi sebagai dampak dari penetrasi budaya dan

modernisasi yang semakin mengikis cara hidup mereka, jauh berbeda dari amanah

yang terkandung dalam Sallombengang. Masalah yang sangat memperihatinkan

terjadi dikalangan orang Seko Embonatana mengarah pada pola hidup modern

dengan kecenderungan materialis, hampir segala hal diukur dengan nilai materi,

harta benda dan persaingan kekayaan. Dengan menilai budaya masyarakat Seko

Embonatana sebagai hal yang tidak penting karena tidak memberikan keuntungan

secara finansial.

11

Lihat Halbwachs pada penjelasan tentang memori kolektif beragama pada bab II.

81

Pada saat yang sama dampak dari modernisme itu mempengaruhi

kehidupan orang Seko Embonatana saat ini yakni, sikap hidup yang semakin

pragmatis dan konsumtif. Dengan pergeseran cara hidup yang menunjukakan

kemalasan. Hal itu terlihat jelas dari kebiasaan mengunakan kayu bakar untuk

memasak berubah dengan menggunakan kompor gas yang di impor dari daerah

Masamba-Luwu Utara dan Mamuju dalam waktu beberapa hari. Demikian halnya

dengan kebutuhan konsumsi lainnya seperti sayur dan ayam ras di impor dari

daerah sekitar untuk masyarakat Seko. Hal ini membuktikan bahwa cara hidup

dan etos kerja orang Seko tidak lagi mencerminkan amanah yang terkandung

dalam Sallombengangsebagai pandangan hidup dan cara hidup jujur,setia, rendah

hatidan giat bekerja. Disi lain sikap orang Seko yang konsumtif terhadap barang

impor tentunya mengurangi etos kerja masyarakat Seko Embonatana yang dikenal

sebagai orang yang rajin dengan didukung oleh sumberdaya alam yang tersedia.

Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas sebagai faktor penyebab

lunturnya budaya Sallombengang sebagai salah satu elemen budaya di Seko

Embonatana sebagai akibat dari dominasi agama Kristen-Barat, budaya

Toraja,Pengislaman DI/TII yang meninggalkan trauma kebudayaan, dan

masuknya pesona modernisme yang semakain tidak teratasi, maka masayarakat

Seko mengalami kegagalan identitas dan jati dirinyadan terasing pada budayanya

sendiri. Sehingga merenggangkan hubungan kekeluargaan dan persatuan yang

dulunya kuat melintasi batas agama, klan marga dan tanah adat. Dampaknya ialah

orang Seko tidak lagi mencerminkan kehidupan bersatu, rukun dan damai.

82

Sebagaimana yang menjadi kewajiban bersama dalam solidaritas

Sallombengang.12

Pergeseran makna Sallombengang inilah, menciptakan sikap

individualisme yang kuat dengan motivasi keuntungan dan kepentingan hidup

belaka. Sehingga memunculkan beragam masalah baik masalah keluarga maupun

masalah sosial lainnya yang secara nyata terlihat jelas pada persoalan masuknya

pembangunan infrastruktur Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Seko Power

Prima, yang menggoyah segenap elemen masyarakat di Seko Embonatana yang

terdiri dari tiga desa, yakni Desa Embonatana, Tanamakaleang dan Hoyane yang

relatif sulit di atasi. Kesulitan dalam menangani masalah ini, menurut penulis

karena memudarnya Sallombengang sebagai salah satu kebudayaan yang

mempersatukan segala persepsi hidup yang berbeda. Ketiga desa tersebut

mengalami perseteruan sebagai bentuk bahwa masyarakat Seko Embonatana tidak

lagi berpegang teguh pada falsafah Sallombengang yang memiliki semboyan

hidup bersatu, berdamai, menjung tinggi nilai kemanusiaan, terbuka atas

perbedaan, dan menghargai sesama teramat yang dituakan dalam kampung

sehingga membuka peluang lahirnya konflik di tengah masyarakat.13

Dengan melihat kenyataan hidup orang Seko Embonatana di atas, menurut

penulis dibutuhkan sebuah strategi atau praktik diskursus yang diselenggarakan

oleh lembaga pendidikan, keagamaan dan pemerintah setempat. Dalam rangka

menmbangkitkan kembali memori kolektif masyarakat Seko Embonatana

terhadap Sallombengang dan kebudayaan yang lainnya yang pernah dihidupi oleh

12

Lihat Bab III. 13

Lihat bab III.

83

masyarakat setempat. Pada saat yang sama membuka dirinya untuk berdialog dan

bertransformasi dengan konteks saat ini.

4.2.Memori Kolektif Sallombengang

Pada penjelasan sebelumnya telah diuraikan faktor penyebab lunturnya

memori kolektif masyarakat Seko Embonatana terhadap Sallombengang yang

adalah salah salah satu ritual kebudayaan yang dilakukan masyarakat. Sebagai

dampak dari penetrasi agama, kebudayaan yang dominan dan modernisasi.

Meskipun demikian bahwa Sallombengang teramnesiakan dalam praktik

kebudayaan saat ini, tetapi disi yang lain ingatan tersebut masih hidup dan

terpelihara dalam memori kolektif mereka. Hal ini terbukti dari penjelasaan

informan dalam menyajikan data tentang Sallombengang yang diutarakan secara

lisan sebagai ingatan bersama yang dikonstruksi dari masa lalu mereka.Tepat

seperti yang di kemukakan Halbwachs, bahwa memori kolektif merupakan

konstruksi sosial, yaitu suatu ingatan yang berproses melalui konteks sosial

tertentu diekspresikan pada saat ini, sehingga dapat dimengerti bukan saja oleh

orang lain tetapi juga diri sendiri sebagai makhluk sosial. Memori kolektif itu

tidak dapat berfungsi sebagai dorongan yang berbeda untuk periode sejarah yang

berlaku jika masa lalu dipandang sama sekali asing.14

Jika kerangka teoritis Halbwachs di atas didialogkan dengan peristiwa

sejarah yang dialami oleh masyarakat Seko Embonatana pada masa lalu mereka,

dalam hubungannya dengan Sallombengang, maka ditemukan korelasi yang

14

Lihat Halbwachs, Pada Bab II.

84

senada bahwa Sallombengang adalah memori kolektif masyarakat Seko

Embonatana yang dikonstruksi pada masa lalu dalam konteks sejarah hidup

mereka, yang memiliki dampak terhadap kehidupan masa kini. Sallombengang

sebagai memori kolektif bukan hanya cerminan peristiwa masa lampau yang

akurat, melainkan representasi kebutuhan masa kini dan harapan akan masa depan

yang baik.15

Memori kolektif Sallombengang adalah ingatan masa lalu yang

dihadirkan pada masa kini untuk merefleksiakan seluruh nilai dan makna

kehidupan orang Seko Embonatana yang berdaya guna menjadi cerminan dan

panduan hidup mereka. Dengan kata lain Sallombengang dihadirkan kembali dari

ingatan masa lalu yang dijadikan sebagai pandangan hidup sekaligus cara hidup

orang Seko saat ini dalam korelasinya dengan Tuhannya, sesama manusia dan

alam semesta.16

Sallombengang sebagai memori kolektif masyarakat Seko Embonatana

melaluinya mereka memperoleh gambaran hidup yang benar, menjung tinggi

kesetaraan, mengedepankan persatukan, menghidupi kejujuran, keadilan dan

terbuka terhadap perbedaan dalam masyarakat,dilokalisasi dalam ingatan

bersama.Sehingga memori kolektif tersebut menjadi ingatan yang kuat dalam

kehidupan masyarakat.Adapun bentuk pelokalan kenangan masa lalu mereka

terhadap nilai, makna, dan falsafah yang terkandung dalam Sallombengang

diwujudnyatakan dalam keseharian mereka melalui keluarga dan pekerjaan.

15

Lihat Halbwach, Pada bab II. 16

Lihat Sejarah Sallombengang Pada Bab III.

85

4.2.1. Keluarga

Melokalisasi ingatan Sallombengang di Seko Embonatana, dilakukan dalam

kelompok yang lebih kecil yakni keluarga. Bagi orang Seko Embonatana konsep

keluarga dipahami dalam arti sarrapuyang secara harafiah diartikan satu dapur

tempat memasak. Dapur tidak hanya berfungsi sebagai tempat memasak, tetapi

tempat berkumpul setiap hari untuk makan bersama, bercerita bersama, bahkan

tempat mengajarkan nilai-nilai hidup yang positif. Salah satu yang diajarkan

dalam keluarga ialah amanah Sallombengang. Sebagai cara hidup yang wajib

dilakukan dalam kehidupan bersama sebagai anggota keluarga dan anggota

masyarakat.17

Perspekstif keluarga di atas persis seperti yang dikatakan oleh Halbwachs

bahwa keluarga adalah produsen utama dari ingatan, tempat mengkonstruksi

semua kenangan masa lalu. Dengan kata lain keluarga sekaligus melibatkan tubuh

fisik individual dan idealitas konseptual yang diwariskan antara generasi.

Sehingga tercipta pertukaran kesan konstan antara anggota keluarga yang

memperkuat ikatan kolektif.18

Pelokalan kenangankonstan tercipta dalam ritual

keluarga(rapu’)orang Seko Embonatana yang mengikat perasaan kuat dalam

memaknai Sallombengang sebagai amanah kolektif tertransfer melalui pendidikan

keluarga di dapur tempat memasak dimana orangtua berfungsi sebagai pengajar

kepada anak-anak mereka dalam setiap inetaksi dan dialog yang terjalin disaat

mereka mengelilingi api tempat mereka memasak.

17

Lihat Bab III, Ritual Sallombengang. 18

Lihat, Pada Bab II.

86

4.2.2. Pekerjaan

Pada umumnya masyarakat Seko Embonatana bekerja sebagai petani

dengan bekerja di kebun kopi, coklat, ladang dan sawah. Setiap lahan pertanian

yang digarap selalunya dilakukan secara bersama dengan orang lain yang juga

bertani di samping lahan yang digarap, pada waktu panen umumnya masyarakat

tinggal dan menginap selang waktu tertentu di tempat mereka menuai hasil

pertanian. Seperti biasanya di waktu sore sekitar pukul 16.00 atau jam 4 sore,

mereka saling mengunjungi, minum kopi atau makan bersama yang dimelaluinya

mereka berbagi cerita, pengalaman bertani dan pengalaman masa lalu masing-

masing. Tidak sedikitpun topik yang diceritakan terkait dengan kebudayaan

Sallombengang sekalipun budaya itu telah teramnesiakan dalam praktik ritual

kebudayaan masyarakat Seko saat ini.

Kebersamaan hidup yang demikian di Seko Embonatana melokalisasi

memori kolektif mereka yang tertransfer melalui narasi yang didialogkan dalam

kebersamaan yang terjalin. Sehingga ingatan masa lalu setiap orang tertransfer

menjadi ingatan bersama. Senada yang dikatakan Durkheim bahwa ingatan,

menempatkan dimensi kolektif dalam suatu masyarakat yang disebutnya sebagai

fakta sosial. Melalui interaksi masing-masing individu menciptakan kolektivitas.

Kebersamaan itu mengeksternalisasi individu secara utuh pada dirinya dan

meleburkan diri dalam komunitas dengan simbol kolektif. Simbol itu kemudian

87

diwariskan ke generasi masyarakat berikutnya melalui ingatan bersama dalam

skala waktu tertentu, sehingga membentuk struktur ingatan kolektif.19

Di atas telah diuraikan pelokalan memori kolektif masyarakat Seko

Embonatana terhadapSallombengangmelalui keluarga dan pekerjaan. Selanjutnya

penulis akan menguraikan pewarisan kenangan melaluitersebut kepada generasi

berikutnya tuturan narasi, bahasa dan simbol sebagai berikut:

4.2.2.1.Narasi

Sallombengang merupakan kebudayaan masyarakat Seko yang diwariskan

kepada generasi berikutnya melalui narasi atau cerita masa laluyang dimulai dari

sejarah munculnya Sallombengang, amanah dan makna yang terkandung di

dalamnya. Cerita tersebut disampaikan dalam bentuk dialog antara angota

masyarakat pada waktu berkumpul bersama dengan keluarga maupun dengan

kelompok masyarakat. Baik di rumah tempat tinggal dan dipondok tempat bekerja

seperti ladang, kebun, sawah dan tempat bertani lainnya. Sehingga

Sallombengang hidup dan menjadi ingatan bersama.

Hal ini senada yang dimaksudkan Halbwachs bahwa sebuah ingatan

terbentuk melalui dialog dalam kelompok sosial, seperti halnya sebuah ingatan

terbesar atau bagian kenangan yang terkuat akan menjadi ingatan yang resmi di

dalam kelompok masyarakat tersebut. Dalam konteks ingatan kolektif, setiap

orang bisa memiliki ingatan yang berbeda tentang apa yang sungguh terjadi di

masa lalu. Cerita, atau narasi, itu meresap ke dalam kultur suatu masyarakat dan

19

Lihat Bridget Pada Bab II.

88

secara tidak sadar telah menjadi bahasa bersama dari masyarakat tersebut untuk

menggambarkan dan menjelaskan masa lalu mereka.20

Untuk dimaknai sekaligus

memaknai kehidupan masyarakat Seko Embonatana saat ini.

4.2.2.2.Bahasa

Dalam kerangka teoritis Halbwachsmemori kolektif adalah sebuah ingatan

sosial yang isi dan kegunaanya dijelaskan melalui interaksi dengan orang lain

dalam bentuk bahasa. Dengan bahasa kita mengaitkan diri kita dengan satu sistem

tertentu yang telah berkembang lama, jauh sebelum kita dilahirkan. Proses

menerima, mencipta dan mewariskan sebuah ingatan masa lalu dilakukan dalam

bentuk narasi dengan mengunakan bahasa.21

Bagi Halbwachs memori kolektif diwariskan kepada generasi berikutnya

dengan menggunakan bahasa. Hal serupa ditemukan dalam narasi Sallombengang

yang dituturkan kepada generasi berikutnya dengan menggunakan bahasa Seko

Embonatana. Dalam rangka mengungkapkan kembali amanah yang pernah

disampaikan oleh seorang Passupu yang bernama Roka. Adapun amanah

Sallombengang yang diwariskan dalam bahasa Seko Embonatanaialah sebagai

berikut:

E to Seko. Anna u issang ti masallombengang, uiataah ti halusuna

lino. Sakko anna idauissangngi ti masallombengang ya umetenga re

saruhane ung sisarak-sarak, ya unapapelahakka raa’. Ya

umarassannga meteng re kotta na kanaung. Sakko anna uisang hoda

ti masa sallombengang ya umutenga ree kotta eh, namoi

andanamasandia sakko mamesa’ marasang nei kanaung sakko tuho

20

Lihat Halbwachs Pada bab II 21

Lihat Reza,Pada bab II.

89

sule. Anna idauissangi ti masallombengang, auissangngi

timassapang katuhoang. Pengaraah anna buru ti tau maleholong

matanna, buruah dah ti appeku ussahu bahulaknna, usi ande-ande

beteah, unapapelahakkah ra’a Adia hurai memammu ti

upomemamnga. Anna uissamo ti masallombengang Pengaraah anna

buru ti pare kotta’ lakkang kuayang, leppo basi ummelaking. Kanak-

kanak mane ni sasaiah da tahuninna tiunnipomatuaah.22

Mencermati amanah Sallombengang yang dikemukakan di atas, tepat

menyitir pendapat Halbwachs bahwa amanah Sallombengang yang diwariskan

dari generasi-kegenerasi dengan menggunkan bahasa Seko Embonatana

membentuk pelestarian kenangan masa lalu yang dialami oleh orang Seko zaman

dahulu kala, diproduksi kembali melalui pewarisan ingatan sehingga menciptakan

hubungan yang kuat dengan orang lain yang melahirkan perasaan kolektif,

membentuk identias sekelompok masyarakat. Sehingga generasi Seko berikutnya

dari waktu ke waktu wajib untuk mereproduksi peristiwa sebelumnya di masa lalu

untuk memikirkan bagaimana peristiwa masa lalu itu dijadikan dasar bagi

peristiwa masa kini, dan sebagai pijakan memberi makna dan harapan bagi masa

depan yang lebih baik.23

4.2.2.3.Simbol

Dalam kaitannya dengan memori kolektif,

Halbwachsmenggunakan gambardan mimpi sebagai bagian dari simbol yang

memiliki kekuatan membentuk identitas kolektif. Bagi Halbwachs mimpi dan

gambar tidak pernah seluruhnya hal pribadi, melainkan ingatan sosial, karena

mimpi selalu mengungkapkan simbol yang diciptakan secara sosial oleh

22

Lihat, Terjemahan di bab III Halaman 16 dan 18. 23

Lihat, Halbwachs Pada bab II.

90

masyarakat. Masa lalu bercerita dalam mimpi dan gambar, ingatan disebarkan

melalui simbol.24

Simbol yang dimaksudkan Halbwachs ini secara signifikan berbeda

dengan simbol yang terkandung dalam Sallombengang. Sebab dalam

Sallombengang simbol dimaknai bukan hanya pembentuk identitas tetapi

mengungkapkan makna yang merefleksikan seluruh nilai hidup dalam satu

kesatuan yang utuh. Simbolisme Sallombengangtidak lahir dari mimpi, melainkan

sebuah penghayatan religius orang Seko Embonatana, sebagaimana yang

terkandung dalam simbol: (1). Lombeng, yang berarti tempat menyatukan

perbedaan, menyimpan kebaikan dan mempertimbangkan perlilaku kejahatan. (2).

Manik-manik (saruhane) yang berarti bahwa dalam masyarakat terdapat beragam

perbedaan seperti yang digambarkan pada jenis ukuran dalam manik-manik. (3).

Buah aren (kotta’) yang memiliki warna jamak sebagai simbol perbedaan dalam

masyarakat. (4). buah pinang (buaa’) sebagai simbol persatuan yang kuat

mencakup totalitas keragaman hidup masyarakat Seko Embonatana dan (5)

Tanduk Balulang sebagi simbol perdamaian mengandung sumpah setia, yang

melaluinya orang Seko Embonatana wajib memelihara persatuan dan perdamaian,

dengan menjung tinggi keadilan, kesetian dan rendah hati menerima berbagai

macam kritik yang membangun sebagai bentuk kerendahan hati menerima

berbagai macam kritik yang membangun sebagai bentuk keterbukaanterhadap

keragaman hidup dalam masyarakat.

24

Lihat, HalbwachPada bab II.

91

Simbol Sallombengang dalam konteks kekinian diupayakan ditampilkan

sebagai dasar dan cerminan hidup dan kehidupanyang dimaknai sekaligus

memaknai segala hal yang terjadi dalam masyarakat Seko Embonatana dalam

kebersamaan hidup berinteraksi dengan sesama manusia, dengan yang Ilahi dan

alam semesta untuk menjiwai tumbuhan dan binatang.Hal ini seirama dengan

pernyataan yang ditunjukan oleh R.M. Maclver bahwa, setiap kebudayaan

diungkapkan dengan memaknai simbol yang sekaligus merupakan sarana

komunikasi dan landasan pemahaman bersama. Setiap komunikasi dengan bahasa

atau sarana yang lain menggunakan simbol-simbol. Masyarakat hampir tidak

mungkin ada tanpa simbol.25

Berdasarkan perspektif di atas maka dapat dikatakan simbolisme yang

terkandung dalam Sallombengang menciptakan peran dan aturan yang

membangkitkan semangat persatuan yang mengharmonisasi kehidupan orang

Seko Embonatana, baik dalam persekutuan keluarga, pemerintahan adat,

kesenjangan ekonomi sampai pada pembentukan moral keagamaan yang

dijunjung tinggi oleh orang Seko Embonatana.Sehingga Sallombengang

merupakan sumber norma dan nilai yang bersifat mengikat dalam kehidupan

bersama yang seutuhnya dihayati sebagai yang sakral dengan kekuatan moral

masyarakat.26

Secara disiplin dilakukan dalam kesadaran kolektif yang

mengakarkan individu pada masyarakat.27

Sebab ingatan individu

25

R.M. Maclver, dalam W. Dillistone,The Power Of Syimbols(Yogyakarta: Kanisius,

1950), 340. 26

Lihat, Ritzer, Pada bab I. 27

Lihat, Muhni Pada bab I.

92

hanyalahperwujudan ingatan masyarakat yang direfleksikan melaluitindakan

sosial yang utuh dalam sebuah konteks.

4.3.Sallombengang Intrumen Integrasi Sosial

Sallombengang merupakan falsafah hidup orang Seko Embonatana yang

menyatukan seluruh perbedaan hidup. Nilai substansial yang terkandung di

dalamnya ialah nilai kemanusiaan, keadilan, kejujuran, ketulusan, dan

perdamaian. Kesetaraan hidup yang terkandung dalam Sallombengang menjadi

dasar kehidupan bagi orang Seko Embonatana. Sehingga Sallombengang

dijadikan sebagai sumber nilai dan norma dalam masyarakat, karena itu Uraian ini

dimaksudkan untuk mengkaji kembali memori kolektif masyarakat Seko

Embonatana terhadap Sallombengang sebagai instrumen integrasi sosial, sebab

Sallombengang sendiri mengalami pemudaran makna dikarenakan oleh faktor

internal dan eksternal sebagaimana yang telah dikemukan di atas. Sehingga

melalui memori kolektif Sallombengang masyarakat Seko Embonatana saat ini

kembali mengenal diri dan membangun jati dirinya sebagai satu suku bangsa yang

berdampingan hidup rukun dan harmonis.

Dalam ulasannya memahamai integrasi sosial masyarakat Aborigin di

Australia, Durkheim menguraikan bahwa agama sebagai kekuatan kolektif dalam

masyarakat, yang di dalamnya terdapat ritual. Ritual itu kemudian memperkuat

dan memperbaharui sentimen-sentimen keagamaan masyarakat, serta perasaan

kebergantungan pada kekuatan moral dan spritual yang bersifat eksternal yang

sebetulnya tidak lain dari masyarakat itu sendiri. Upacara tersebut menciptakan

93

kegembiraan dan berusaha meyakinkan para anggota akan pentingnya kelompok

dan masyarakat melalui nasihat keagamaan. Sehingga ritual itu berfungsi

mempertahankan solidaritas dan kohesi sosial.28

Dalam konteks ini tepat menyitir pendapat Durkheim, untuk

menghidupkan kembali memori kolektif Sallombengang sebagai praktik

kebudayaan orang Seko Embonatana saat ini. Sebab ritual Sallombengang

mengandung kesadaran spritual dan moral kolektif yang dijunjung tinggi oleh

masyarakat setempat, melalui amanah sakral yang disampaiakn Roka. Sehingga

melalui ritual Sallombengang, seluruh masyarakat Seko Embonatana yang

berbeda keyakinan, stratifikasi, ekonomi dan tingkat pendidikan hidup bersatu dan

damai, dengan menjunjung tinggi nilai yang terkandung dalam Sallombengang

secara kolektif. Dengan demikian mayarakat Seko Embonatana hidup dalam

penyesuaian di antara unsur saling berbeda dalam menghasilkan pola kehidupan

masyarakat yang memilki keserasian fungsi.29

Dengan mengkorelasikan segala

fungsi itu dalam cara hidup, etos kerja, nilai dan moral mereka dalam ideologi dan

falsafah Sallombengangyang memuat kesetaraan hidup, persatuan dan

perdamaian.

4.3.1. Sallombengang Sebagai Titik Temu Perbedaan

Dari memori kolektif masyarakat Seko Embonatana terhadap

Sallombengang,diharapkan menciptakan proses terjadinya integrasi sosial yang

28

Lihat Durkheim Pada bab II.. 29

definisi+integrasi+sosial&oq=definisi+integrasi+sosial&aqs=chrome..69i57j0l5.6138j0j

7&sourceid=chrome&ie=UTF-8 diakses tanggal 14 Juni 2017.

94

menyebabkan kelangsungan hidup masyarakat Seko yang rukun dan damai,

meskipun terdapat perbedaan agama sebagai kenyataan hidup. Dalam uraian

sebelumnya telah disinggung bahwa masyarakat Seko pada tahun 1920-1950an,

beralih kepercayaan dengan menganut agama Kristen dan Islam, karena itu

integrasi sosial lintas agama sangat penting untuk mengkorelasikan persamaan

nilai sebagai titik temu antara umat yang berbeda keyakinan. Menurut penulis

integrasi itu dapat dicapai melalui Sallombengang sebagai memori kolektif kedua

komunitas kepercayaan.Sallombengang sebabagi titik temu antara masyarakat

Kristen dan Islam di Seko Embonatana, dapat diwujudkan melalui memori

kolektif; (1) Persamaan kebudayaan Sallombengang dan (2) Sejarah masa lampau.

4.3.1.1.Persamaan Kebudayaan Sallombengang

Masyarakat Seko yang memeluk agama Kristen dan Islam hidup dari

rahim kebudayaan yang sama. Melalui kebudayaan yang sama, maka seluruh nilai

yang terkandung di dalamnya dimaknai sebagai sumber pembelajaran dan cara

hidup yang mengarmonisasi kehidupan kolektif. Demikian halnya peleburan nilai

kebudayaan itu memperkokoh sikap religiusitas masyarakat. Salah-satu diantara

banyaknya kebudayaan yang dihidupi oleh orang Seko Embonatana adalah

Sallombengang yang lahir dari kebudayaan yang sama dan pengalaman hidup

kolektif masyarakat Seko Embonatana.

Kebudayaan tersebut diungkapkan melalui simbol-simbol, sepertihalnya

yang ditunjukankan oleh Clifford Geertz, bahwa penafsiran kebudayaan pada

dasarnya penafsiran simbol-simbol, sebab sifat simbol teraba, tercerap umum dan

95

kongkret, sehingga agama dilihat sebagai sistem kebudayaan. Kebudayaan adalah

suatu pola makna yang ditularkan secara historis, yang diejewantahkan dalam

simbol-simbol, menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan dalam bentuk

simbol, di dalamnya manusia berkomunikasi, melestarikan mengembangkan

pengetahuan mereka tentang hidup dan sikap terhadap kehidupan.30

Melalui simbolisme kebudayaan Seko Embonatana, menyitir pendapat

Geertz maka simbol Sallombengang merupakan warisan kebudayaan yang

membentuk suatu konsep sebagai dasar berinteraksi, berkomunikasi dan

pengembangan pengetahuan tentang hidup dan memaknai kehidupan dalam

amanah Sallombengang sebagai sabda sakral, memuat ajaran persatuan hidup

dalam perbedaan. Dengan mengedapankan nilai luhur yang diyakini berdaya guna

menjadi cerminan kolektif dijabarkan dalam simbol: Lombeng, manik-manik

(saruhane), buah aren (kotta’), buah pinang (buaa’) dan tanduk kerbau (tanduk

balulang) sebagai simbol bersama yang merekatkan manusia Seko Embonatana

pada persatuan kolektif yang kuat mencakup totalitas keragaman hidup dalam

masyarakat seluruhnya diyakini sebagai yang sakral.

Dengan bangkitnya memori kolektif, tentunya membangkitkan kesadaran

akan persamaan kebudayaan yang memungkinkan masyarakat Kristen dan Islam

di Seko hidup berdampingan rukun dan damai, dengan mengedepankan nilai-nilai

yang terkandung dalam amanah Sallombengang sebagai tali perekat dalam

masyarakat. Kebudayaan Sallombengang tersebut dihidupi melalui pelestarian

pengalaman bersama yang terus-menurus dipupuk dalam hubungan dengan orang

30

Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 50-51.

96

lain yang melahirkan perasaan kolektif membentuk identitas sekelompok

masyarakat.31

4.3.1.2.Sejarah Masa Lampau

Budiawan menjelaskan hubungan mutualistik antara memori dan identitas

dimana keduanya saling membentuk. Maksudnya apa yang diingat dan dilupakan

oleh suatu entitas kolektif dibentuk sekaligus turut membentuk, sebagaimana

entitas kolektif itu mendefinisikan senseof collective self mereka. Lebih lanjut

Budiawan menjelaskan pemikiran Halbwachs bahwa, hubungan antara memori

individu dan memori kolektif yang disebut terdahulu tidak lepas dari yang

terkemudian dan yang disebut kemudian mewujud dalam yang disebut

terdahulu.32

Berangkat dari perspektif Budiawan, tentang memori kolektif maka

sejarah hidup masyarakat Seko Embonatana pada masa lampau tidak dapat dilepas

pisahkan dengan kenyataan hidup saat ini. Dengan kalimat lain pengalaman hidup

pada masa lalu akan turut serta mempengaruhi cara hidup masyarakat Seko saat

ini. Ingatan tersebut meliputi sejarah keharmonisan hidup yang pernah dialami

oleh masyarakat Seko ketika mereka setia menghidupi falsafah

Sallombengangtetapi sejarah masalalu mengajarkan bahwa ketidakpatuhan orang

Seko pada Sallombengang menciptakan malapetaka melanda seluruh masyarakat

Seko di tahun 1950-an yang ditandai dengan peristiwa tragis yang menelan

31

LihatHalbwach Pada bab II. 32

LihatHalbwachs dan Budiawan Pada bab II.

97

banyak korban. Jauh sebelum peristiwa ini terjadi Roka, telah menubuatkan

bahwa jika kalian tidak bersatu maka darah akan mengalir menghiasi bumi Seko.

Dengan belajar dari kebudayaan dan sejarah hidup bersama, maka memori

kolektif masyarakat Seko Embonatana terhadap Sallombengang dapat dijadikan

sebagai resistensi masyarakat dalam membangun perspektif bersama untuk

menyikapi berbagai gejolak yang muncul baik secara internal maupun eksternal

sehingga tercipta integrasi sosial, menjawab beragam bentuk pergumulan

masyarakat diantaranya adalah masalah PLTA Seko Power Prima, perbedaan

lintas agama, klan marga dan sebagainya. Serta dengan terwujud tatanan

kehidupan yang kondusif, rukun dan damai dalam keserasian fungsi yang

harmonis.