Post on 27-Apr-2019
45
BAB III
METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN TOKOH PW
MUHAMMADIYAH JAWA TENGAH TERHADAP KEPUTUSAN
MAJELIS TARJIH & TAJDID PW MUHAMMADIYAH JAWA TENGAH
A. Seputar Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah
1. Sejarah dan latar belakang berdirinya Majelis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah.
Muhammadiyah adalah salah satu gerakan Islam terbesar di Indonesia. Ia
merupakan pelopor gerakan pembaharuan Islam terdepan. Dalam aktivitasnya,
Muhammadiyah bergerak dalam berbagai bidang, kecuali dalam bidang politik
praktis (Rosyadi, 2012: 1). Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, selanjutnya
ditulis Majelis Tarjih, adalah salah satu majelis yang dibentuk oleh
Muhammadiyah untuk memayungi masalah-masalah keagamaan bagi warga
Muhammadiyah, dan kaum Muslim Indonesia pada umumnya. Keberadaan
Majelis tersebut merupakan hasil keputusan kongres Muhammadiyah ke-16 di
Pekalongan pada tahun 1927, yang pelaksanaannya tidak bersamaan dengan
kelahiran Muhammadiyah (Rosyadi, 2010: 165).
Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi sosial
keagamaan (Karim,1986: 5) yang berorientasi pada tajdid1 (Zuhri, 1999: 53-54).
1Organisasi Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912
M. Istilah tajdid ini merupakan sebuah kata yang dipahami dalam berbagai persepsi dan
interpretasi. Ada yang menganggap tajdid itu adalah pemurnian pemahaman dan
pengamalan agama dengan kembali kepada teks al-Qur'an dan as-Sunnah. Ada pula yang
46
Pengertian Tajdid dari segi bahasa yaitu pembaharuan, dan dari segi istilah
memiliki dua arti, yaitu:
1. Pemurnian.
2. Peningkatan, pengembangan, modernisasi atau yang semakna dengannya.
Praktek dalam melaksanakan tajdid pada kedua pengertian istilah tersebut
diperlukan akal budi yang bersih yang dijiwai oleh ajaran Islam serta aktualisasi
akal pikiran yang cerdas. Karena menurut mereka, tajdid merupakan watak dari
ajaran Islam (Djamil, 1995; 57-58). Oleh karena itu, ada sesuatu yang perlu di
perbaharui karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada dasarnya tajdid itu ada 2 target yang hendak dicapai, yaitu pembaharuan
dalam arti mengembalikan pada keaslian atau kemurniannya. Target yang kedua,
yaitu pembaharuan dalam arti modernisasi. Dengan demikian, sasaran dari arti
yang kedua ini meliputi pembaharuan terhadap metode, sistem, tehnik, strategi,
taktik perjuangan dan lain-lain yang sifatnya selalu berubah serta disesuaikan
dengan situasi dan kondisi (Zuhri, 1999: 54).
Syafi‟i Ma‟arif (Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2000-2005)
mengartikan tajdid itu adalah usaha dan upaya intelektual Islam untuk
menyegarkan, memperbaharui pengertian dan penghayatan umat Islam terhadap
agamanya berhadapan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat (Djamil,
1995: 11-15).
berpendapat bahwa tajdid adalah mengaktualisasikan pesan agama dengan kembali kepada
spirit al-Qur'an dan as-Sunnah
47
Adapun kerja tajdid adalah kerja ijtihad yang sangat strategis dalam
membumikan ajaran-ajaran Islam dalam konteks ruang dan waktu. Tajdid berarti
pembaruan dalam hidup keagamaan, baik berbentuk pemikiran ataupun gerakan,
sebagai reaksi atau tanggapan terhadap tantangan-tantangan internal maupun
eksternal yang menyangkut keyakinan dan urusan sosial umat (Djamil, 1997; 42).
Dalam menetapkan masalah ijtihad, lebih khususnya adalah masalah
ijtihadiyah, dapat menggunakan sistem ijtihad jama‟iy. Dengan demikian,
pendapat perseorangan dari majelis tidak dipandang kuat. Hal ini, selain agar apa
yang dipedomani sebagai hasil ijtihad itu sebagai hasil yang konprehensif, juga
persyaratan memenuhi hasil kriteria pelaku ijtihad, atau mujtahid, sangatlah berat
(Asjmuni, 2012; 196-197). Hal senada juga dikuatkan oleh Tolchah Hasan, bahwa
dengan menggunakan ijtihad jama‟iy lebih menjamin kualitas dan
kevaliditasannya, karena melibatkan ahli-ahli ilmu yang menjadi objek kajian
(Zuhri, 1999; 58).
Sejalan dengan isu tajdid yang berkembang, Muhammadiyah sebagai gerakan
pembaharu sudah tentu melepaskan diri dari fanatisme mazhab tertentu, karena
kefanatikan disamping membelenggu perkembangan pemikiran sekaligus
berlawanan dengan identitasnya sebagai gerakan tajdid yang berupaya
mengaktualisasikan pemahaman dan penetapan hukum yang relevan dengan
perkembangan zaman (Syakirman, 1994: 100). Dengan banyaknya fanatisme
mazhab yang muncul dan persoalan khilafiyah yang semakin meruncing
dikalangan ulama dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an saat itu, maka langkah
48
yang harus dilakukan adalah membentuk suatu wadah khusus yang
menanganinya.
Pembentukan Majlis tarjih juga didasarkan atas kekhawatiran bahwa
pertikaian yang dijumpai dalam masyarakat Islam pada umumnya mungkin sekali
masuk ke dalam organisasi Muhammadiyah sendiri dengan kemungkinan
menghambat kemajuan organisasi (Noer, 1973: 93). Maka pada Muktamar XVI
pada tahun 1927 di Pekalongan Jawa Tengah, K.H. Mas Mansur, (Asjmuni,1985;
29),2 mengusulkan agar Muhammadiyah memiliki sebuah lembaga khusus yang
mengkaji persoalan-persoalan hukum Islam yang akan dibuat pedoman oleh
warga Muhammadiyah pada khususnya dan masyarakat Islam Indonesia pada
umumnya (Ensklopedi Hukum Islam, 1997: 1064).
Adapun alasan yang melatar belakangi Mas Mansur mengemukakan usul
tersebut adalah adanya anggapan bahwa keberadaan ulama sangat diperlukan
dalam tubuh Muhammadiyah untuk mengawasi gerak langkah perjuangannya agar
tidak menyimpang apalagi bertentangan dengan Al-Qur'an dan al-Sunnah3
(Basyir, 1997: 270). Lain halnya dengan penelitian Syakirman yang mengatakan
bahwa alasan mengenai ide lembaga khusus itu berkait erat dengan kondisi umat
waktu itu, yaitu kebekuan berfikir dan fanatisme mazhab (Syakirman, 1994; 101).
Terlepas dari alasan-alasan yang melatarbelakanginya, ide Mas Mansur
mengenai pendirian lembaga khusus tersebut diterima dan disetujui adanya
2 KH. Mas Mansur saat itu menjabat sebagai Hoofd Bes Buur Muhammadiyah di daerah
Surabaya dan pada saat itu pimpinan pusat Muhammadiyah dipegang KH Ibrahim
.
49
pendirian lembaga dengan nama Majelis Tarjih (1997; 1064). Keputusan ini
kemudian disahkan pada Muktamar Muhammadiyah XVII pada tahun 1928 di
Yogyakarta, sekaligus menunjuk KH Mas Mansur sebagai ketua oleh panitia
perumus.
Adapun susunan pengurus Majelis Tarjih periode awal ini adalah sebagai
berikut (Nasir, 1997; 56):
a. KH Mas Mansur (sebagai ketua)
b. KH. R.Hadjid (sebagai wakil ketua)
c. H. M. Aslam Zainudin (sebagai sekretaris)
d. H. Jazari Hasyim (sebagai wakil sekretaris)
e. KH. Baidawi, KH. Hanad, KH. Wasil, KH. Falil dll (sebagai anggota)
Meskipun Majelis Tarjih secara resmi disahkan pada muktamar XVII, namun
pada dasarnya dalam muktamar XVI di Pekalongan sudah terdapat keputusan
pembentukan majelis dan belum disahkan. Dan adapun faktor utama yang
melatarbelakangi lahirnya Majelis Tarjih ini menurut hasil penelitian Asmuni dkk
dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu (Asjmuni, 1985; 37):
a. Faktor Internal
Faktor internal adalah keadaan yang berkembang dalam tubuh
Muhammadiyah sendiri yaitu hal-hal yang timbul sebagai akibat dari perluasan
dan kemajuan yang dicapai oleh persyarikatan ini. Misalnya dalam waktu yang
relatif singkat, kurang lebih tujuh tahun sejak berdirinya, organisasi ini telah
menyebar keseluruh pulau Jawa. Hal ini menjadikan lemahnya kontrol pimpinan
terhadap sinkronisasi terhadap penyelenggaraan amal usaha dengan asas yang
50
melandasi perjuangan Muhammadiyah. Oleh karena itu keadaan tersebut
menuntut adanya pembidangan penanganan masalah yang ada, sehingga
dibentuklah Majelis Tarjih.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah perkembangan-perkembangan yang terjadi pada umat
Islam pada umumnya diluar Muhammadiyah, yang dalam hal ini adalah
perselisihan faham mengenai masalah-masalah khilafiyah. Pertentangan dan
perselisihan itu mengancam keutuhan Muhammadiyah, sehingga mendorong
pembentukan Majelis Tarjih. Pada awal berdirinya, lembaga ini lebih banyak
mencurahkan perhatian pada persoalan-persoalan khilafiyah dalam masalah
ibadah. Sampai tahun 1953 Majelis Tarjih baru membahas dan mengkaji
persoalan-persoalan khilafiyah dan beberapa masalah praktis yang berhubungan
dengan warga Muhammadiyah. Pada tahun 1954-1955 pokok bahasanya mulai
berkembang, yaitu mengkaji sumber ajaran Islam secara global, yang sebenarnya
telah dirintis sejak tahun 1935 (Ensklopedi Hukum Islam, 1997;1064).
Sejak tahun 1960 dalam muktamar Muhammadiyah di Pekalongan, sesuai
perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia, Majelis Tarjih mulai
membahas berbagai persoalan hukum kontemporer baik yang telah dibahas oleh
ulama fikih klasik maupun yang sama sekali belum terjadi dan belum dibahas di
zaman klasik. Misalnya masalah pembatasan kelahiran, perburuhan dan hak milik.
Sejak tahun 1968-1989 pembahasan Majelis Tarjih Muhammadiyah mulai
terpusat pada berbagai persoalan kontemporer, khususnya yang berkaitan dengan
51
persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik, aborsi,
KB, bayi tabung dan lain lain (Ensklopedi Hukum Islam, 1997; 1064).
Sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu dan teknologi, sejak
muktamar di Banda Aceh tahun 1995, Majelis Tarjih disempurnakan dengan nama
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Dalam perkembangannya,
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam tersebut, pada tahun 2000
banyak menghasilkan keputusan-keputusan musyawarah nasional tarjih XXIV
yang menyangkut tentang kaidah-kaidah pokok Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam, seperti tuntutan manasik haji, taharah, tuntunan Ramadhan,
zakat fitrah dan zakat mal, tuntutan keluarga sakinah dan masalah keagamaan
kontemporer, seperti penanggulangan HIV, penyalahgunaan narkoba, HAM dan
perdagangan saham atau valas), tafsir al- Qur'an tematik tentang hubungan sosial
antar umat beragama, serta strategi gerakan tajdid dan pengembangan pemikiran
Islam (Berita Resmi Muhammadiyah, 2002; 126-148).
Pembahasan tentang pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Majelis Tarjih di
atas menunjukkan keseriusan Majelis Tarjih di dalam melahirkan pengembangan
pemikiran Islam dari suatu lembaga di dalam naungan organisasi sosial
keagamaan Muhammadiyah yang selalu komitmen terhadap pembaharuan
pemikiran dan penghayatan agama atau yang sering kita kenal sebagai gerakan
tajdid.
52
2. Kedudukan dan peran Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
Pembentukan Majelis Tarjih dan Tajdid pada tahun 1928 merupakan
manifestasi cita-cita untuk menunaikan Islam secara murni. Dengan berdirinya
Majelis Tarjih, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam bercorak tajdid telah
memiliki wadah khusus yang berkompeten untuk membicarakan, merumuskan,
serta memberi pertimbangan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi,
khususnya dalam rangka memelihara umat dari kebingungan dan perselisihan
karena perbedaan pendapat dan fanatisme.
Kata majelis berarti dewan atau lembaga yang memiliki anggota. Sedangkan
pemaknaan tarjih menurut Muhammadiyah adalah musyawarah bersama para
tokoh ahli untuk meneliti, membandingkan, menimbang, dan memilih dari segala
masalah yang diperselisihkan guna mendapatkan alasan yang lebih kuat, lebih
mendasar, lebih besar, dan lebih dekat dengan sumber utama (Zuhri, 1999:101).
Mencermati pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa Majelis Tarjih dalam
Muhammadiyah adalah suatu lembaga yang dibentuk Muhammadiyah yang terdiri
dari orang-orang yang dipandang ahli, guna membantu persyarikatan dalam
menetapkan hukum melalui prosedur pemilihan salah satu diantara beberapa
pendapat yang dipandang dalilnya lebih kuat.
Adapun fungsi utama majelis ini adalah merumuskan kembali Islam yang
sebenarnya untuk dijadikan pedoman dalam pengamalan dan penerapannya, baik
oleh pimpinan maupun anggota dan membimbing umat, memberikan arah,
menyampaikan fatwa keagamaan dan memberikan sesuatu sebagai dasar
53
pembenaran keagamaan yang dapat dipahami umat dalam suatu konsep yang
terpublikasi secara terencana dan meluas agar masalah dan tantangan yang
tumbuh bisa dimengerti dan dijawab dengan semangat rahmat lil „alamin (Fanani,
2010; 44). Selain dari itu, tugas dan fungsi dari majelis ini adalah bertanggung
jawab mengambil keputusan ketarjihan, mengembangkan pemikiran-pemikiran
pembaharuan dalam keislaman dan menampung aspirasi baru yang tumbuh
dikalangan umat (Fanani, 2010; 44-45). Karena fatwa dan kepastian hukum itu
sangat perlu bagi warga Muhammadiyah, agar terhindar dari masalah khilafiyah
yang dapat menjurus kepada perpecahan umat.
Dalam Muhammadiyah, tarjih merupakan salah satu metode penetapan hukum
dalam upaya untuk menghindarkan taklid buta terhadap salah satu mazhab
4(Asjmuni 2002: 3-4). Untuk itu langkah Majelis Tarjih dan Tajdid tersebut dapat
dikatakan membawa angin segar dan pembaharuan dalam masalah-masalah
hukum (Syakirman, 1994: 96).
Berpijak kepada ungkapan di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid merupakan sarana
tajdid dalam bidang hukum, mengadakan pembaharuan atau tajdid atas
pemahaman agama di Indonesia merupakan misi utama yang diembannya. Dalam
bidang tajdid ini Muhammadiyah membagi ke dalam tiga bidang wilayah garapan.
Tiga bidang itu adalah bidang keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan
(Zuhri: 55-56). Sebagai lembaga fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid tentunya tidak
4 Menurut bahasa kata tarjih berasal dari rajjaha yang berarti memberi
pertimbanganlebih dari pada yang lain. Sedangkan menurut istilah, Ali Hasballah
merumuskan dengan “menampakkan kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama dengan
sesuatu yang menjadikan lebih utama dari yang lain dalam ungkapan atau penggunaannya
54
dapat lepas dari problema hukum masyarakat, karena hukum adalah sesuatu yang
erat kaitannya dengan masyarakat. Ia lahir dan tumbuh dalam masyarakat, dan
memang hukum sangat dibutuhkan agar tercipta keadilan, ketentraman dan
keselamatan masyarakat.
Dengan demikian Majelis Tarjih dan Tajdid di dalam organisasi
Muhammadiyah memiliki kedudukan yang sangat penting, sebab ia merupakan
institusi yang membantu perjalanan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi
sosial kemasyarakatan yang bergerak pada proses tajdid dan sangat membantu
dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia apabila majelis ini mampu
memberi corak dan warna sesuai dengan kultur bangsa Indonesia.
Majelis ini memiliki tugas berat yang harus diembannya apabila ingin
mempertahankan predikat “pembaharu”. Adapun tugas pokoknya adalah
membahas masalah-masalah keagamaan masyarakat maupun yang diperselisihkan
oleh para ulama. Namun seiring dengan perjalanan sejarahnya, tugas pokok yang
diemban Majelis Tarjih dan Tajdid semakin kompleks. Hal ini dapat dilihat pada
putusan-putusan tentang tugas Majelis Tarjih dan Tajdid dari tahun 1929-1989
yang selalu dalam penyempurnaan-penyempurnaan (Fanani, 2010; 42-43).
Dengan semakin besarnya tantangan pemikiran keislaman, nama Majelis
Tarjih pun mengalami beberapa modifikasi. Pada muktamar ke-43 di Banda Aceh
tanggal 6-10 Juli 1995, nama Majelis Tarjih berubah menjadi Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI). Nama tersebut kemudian berubah lagi
55
pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang tahun 2005 menjadi Majelis
Tarjih dan Tajdid (MTT) (Shobron dalam Fanani, 2010; 43).
Perubahan tersebut membawa pula kepada perubahan tugas dan fungsi Majelis
Tarjih. Secara umum, sebenarnya tugas Majelis Tarjih adalah sama dengan
majelis-majelis lain yang ada dalam organisasi Muhammadiyah, yaitu sebagai
unsur pembantu pimpinan yang menjalankan sebagian tugas pokok
Muhammadiyah5. Secara spesifik, MTT memiliki fungsi dan tugas sebagai
berikut:
a. Mendampingi dan membantu pimpinan persyarikatan dalam membimbing
anggota dalam melaksanakan ajaran Islam
b. Mempergiat pengkajian dan penelitian agama Islam dalam rangka
pelaksanaan tajdid dan mengantisipasi perkembangan masyarakat.
c. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada pimpinan persyarikatan
Muhammadiyah guna menentukan kebijakan dalam menjalankan
kepemimpinan serta membimbing umat, khususnya anggota dan keluarga
Muhammadiyah.
d. Membantu pimpinan persyarikatan dalam mempersiapkan dan meningkatkan
kualitas ulama.
e. Menyalurkan perbedaan pendapat/faham keagamaan kearah yang lebih
maslahat rahmat lil „alamin (Fanani, 2010: 43-44).
5 Lihat Anggaran Dasar Muhammadiyah yang ditetapkan di Muktamar Muhammadiyah
ke-45 di Malang 3-8 juli 2005, bab VII pasal 20 ayat (1) dan (2)
56
Dari tugas yang dibebankan di atas, agaknya tidak begitu salah bila Majelis
Tarjih dan Tajdid dinyatakan sebagai lembaga fatwa bagi organisasi
Muhammadiyah. Dengan begitu MajelisTarjih dan Tajdid memiliki peranan yang
sangat signifikan sekali dalam hal mempertahankan ciri khas persyarikatan
Muhammadiyah sebagai organisasi yang bergerak dalam hal tajdid dan
memurnikan ajaran Islam yang menjadi cita-cita organisasi Muhammadiyah.
3. Produk-Produk Hukum Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah membagi produk-produk
hukum MajelisTarjih ke dalam tiga kategori, yaitu; keputusan Tarjih, Fatwa Tarjih
dan Publikasi Tarjih.
1. Keputusan Tarjih
Keputusan tarjih adalah keputusan resmi Muhammadiyah dalam bidang
agama. Keputusan ini bukan keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid serta tidak
mengikat organisasi secara formal, walaupun dalam praktik terkadang diabaikan
dan banyak warga Muhammadiyah tidak memahaminya atau bahkan tidak
mengetahui beberapa butir penting dari padanya (Tim Majelis Tarjih dan Tajdid
PP Muhammadiyah, 2006: 12).
2. Fatwa
Fatwa adalah jawaban Majelis Tarjih dan Tajdid terhadap pertanyaan-
pertanyaan masyarakat mengenai masalah-masalah yang memerlukan penjelasan
dari segi hukum syariah. Sesuai dengan sifat fatwa pada umumnya, fatwa Majelis
57
Tarjih dan Tajdid tidak mengikat baik terhadap organisasi maupun anggota
sebagai perorangan. Bahkan fatwa tersebut dapat dipertanyakan dan dapat
didiskusikan (Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2006: 12).
Mekanisme pembuatan fatwa dalam Majelis Tarjih dan Tajdid adalah bahwa
peminta fatwa mengirim surat permintaan fatwa (riq‟ahal-fatwa) kepada redaksi
majalah Suara Muhammadiyah dan oleh redaksi surat itu diteruskan ke Majelis
Tarjih dan Tajdid c/q Devisi Fatwa. Oleh devisi tersebut ditunjuk salah
seorang pengurus Majelis untuk membuat draf awal fatwa guna menjawab
pertanyaan yang diajukan. Kemudian draf itu didiskusikan dan setelah mencapai
kata sepakat draf tadi diperbaiki dan dikirim ke redaksi Suara Muhammadiyah
untuk ditebitkan melalui majalah tersebut. Terkadang bila sangat diperlukan
naskah fatwa itu dikirim langsung kepada penanya atau yang berkepentingan.
Akan tetapi ada juga fatwa yang diterbitkan tanpa permintaan melainkan atas
inisiatif Majelis Tarjih dan Tajdid sendiri.
Ada beberapa keuntungan menggunakan metode fatwa dalam penyebaran
tuntunan dan peningkatan pemahaman keagamaan. Antara lain adalah bahwa
metode fatwa lebih dinamis dan lebih ringan biayanya. Dikatakan lebih dinamis
adalah karena ia dapat lebih cepat memberi respon terhadap berbagai isu aktual,
dan apabila telah diputuskan sementara terjadi perkembangan baru yang
membawa variabel baru pula yang menuntut perubahan hukum, maka fatwa lebih
mudah untuk diperbaharui karena mekanisme pembuatnya yang lebih sederhana
dan tidak berbiaya tinggi. Berbeda dengan fatwa, putusan tarjih lebih lamban
karena musyawarah tarjihannya dapat diselenggarakan satu kali atau paling
58
banyak dua kali dalam lima tahun, sehinggga daya responnya terhadap persoalan
masyarakat lebih lamban6.
3. Wacana
Wacana adalah gagasan-gagasan atau pemikiran yang dilontarkan dalam
rangka memancing dan menumbuhkan semangat berijtihad yang kritis serta
menghimpun bahan-bahan atau stock ide mengenai berbagai masalah aktual
dalam masyarakat. Wacana-wacana tarjih tertuang dalam berbagai publikasi
Majelis Tarjih dan Tajdid seperti Jurnal Tarjih dan berbagai buku yang diterbitkan
(Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2006: 12).
B. Metode Istinbat Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Tajdid
PW Muhammadiyah Jawa Tengah
1. Pengertian istinbat hukum
Metode Istinbat adalah cara-cara bagaimana menemukan atau menggali
ketentuan-ketentuan hukum Islam dari sumber-sumbernya, yaitu Al-Qur‟an dan
hadis. Oleh karena itu perlu dibahas lebih lanjut tentang sumber-sumber hukum
dalam pandangan Muhammadiyah.
Dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, dalam bab Qiyas
dijelaskan sebagai berikut:7
1. Setelah persoalan qiyas dibicarakan dalam waktu tiga kali sidang, dengan
mengadakan tiga kali pemandangan umum dan satu kali Tanya jawab
antara kedua belah pihak.
6Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih:
Tanya Jawab Agama 5 (Suara Muhammadiyah: Jakarta, 2006), hlm. 12 7Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tajih
Muhammadiyah, cet. Ke-3 (Yogyakarta: Persatuan Baru, t.t.t), hal. 277-278.
59
2. Setelah mengikuti dengan teliti akan jalannya pembicaraan dan alasan-
alasan yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, dan dengan
MENGINSYAFI bahwa tiap-tiap keputusan yang diambil olehnya itu
hanya sekedar mentarjihkan diantara pendapat-pendapat yang ada, tidak
berarti menyalahkan pendapat yang lain.
Memutuskan:
a. Bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah Al-
Qur‟an dan Al-Hadits.
b. Bahwa dimana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan
sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tidak
bersangkutan dengan ibadah mahdlah, padahal untuk alasan diatasnya
tiada terdapat nash sharih di dalam al-Qur‟an dan sunnah shahihah, maka
dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbat daripada nash-
nash yang ada, melalui persamaan „illat sebagaimana telah dilakukan
ulama-ulama salaf dan khalaf.
Kemudian pada bagian lain dari Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah,
ketika mendefinisikan agama Islam dikatakan:
“Agama yakni agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw ialah apa
yang diturunkan Allah di dalam Qur‟an dan yang tersebut dalam sunnah yang
sahih berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk
untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.8
Selanjutnya dalam penjelasan muqadimah anggaran dasar dan kepribadian
Muhammadiyah dikatakan: “Muhammadiyah dalam memahami atau istinbat
hukum agama ialah kembali kepada al-Qur‟an dan sunnah shahihah dengan
mempergunakan akal pikiran yang cerdas dan bebas dengan memakai cara yang
menurut istilahnya dinamakan tarjih, ialah dalam satu permusyawaratan dengan
merundingkan pendapat-pendapat dari ulama-ulama (baik dari dalam maupun luar
Muhammadiyah, termasuk pendapat ulama-ulama) untuk kemudian mengambil
mana yang dianggap mempunyai dasar dan alasan yang lebih kuat.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan tiga hal sebagai berikut:
a. Bahwa sumber-sumber hukum Islam menurut Muhammadiyah hanyalah
dua saja, yaitu Al-Qur‟an dan hadis yang sahih.
8Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tajih
Muhammadiyah, cet. Ke-3 (Yogyakarta: Persatuan Baru, t.t.t), hal. 276
60
b. Bahwa dalil-dalil ghairu nash, seperti qiyas, istislah, istihsan, dan lain-
lain, yang oleh ulama-ulama hukum Islam pada umumnya sebagai sumber
hukum, oleh Muhammadiyah tidak dinamakan sumber hukum dalam
Islam, melainkan merupakan alat bantu atau metode menggali hukum
(thariqah al-istinbat).
c. Bahwa, terutama dari huruf b kutipan pertama dalam Himpunan Putusan
Majelis Tarjih Muhammadiyah metode istinbat seolah-olah terbatas pada
qiyas saja, karena pada huruf dalam kutipan itu dikatakan bahwa dalam
keadaan yang sangat mendesak atau tidak ada nas yang sarih serta
masalahnya tidak merupakan kasus ibadah, maka dapat digunakan alasan
dengan jalan ijtihad dan istinbat pada nash atas dasar persamaan „illat.
Jadi sumber hukum dalam Muhammadiyah adalah Al-Qur‟an dan hadis sahih
dan bahwa yang selain itu hanyalah alat atau metode belaka untuk mengeluarkan
hukum dari sumber-sumbernya. Bagaimanapun rumitnya sebuah problematika,
pendapat ulama-ulama majelis tarjih dan tajdid Muhammadiyah tentang sumber-
sumber hukum Islam yang jelas secara resmi menurut Muhammadiyah hanya ada
dua, yaitu Al-Qur‟an dan hadis.
Setelah kita mengetahui sumber-sumber hukum Muhammadiyah, maka untuk
mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya itu diperlukan istinbat. Kata
istinbath masdar dari kata kerja (fi‟il) istanbatha-yastanbithu. Artinya,
mengeluarkan makna dari suatu ungkapan kata. Dalam Al-Qur‟an surat Al-
Nisa(4) ayat 83, kata “yastanbitu” digunakan dalam arti mengembalikan pada
pengertian pada sumber aslinya. Secara etimologis, istinbath berarti mengeluarkan
61
air dari tanah. Sedang terminologinya, menurut ahli ushul-fiqh adalah
“mengeluarkan makna-makna (maksudnya hukum-hukum) dari nash (teks)
dengan menumpahkan pikiran dan kemampuan” (Asjmuni, 2002; 194-195).
Jalan-jalan istinbath yang ditempuh ahli ushul fiqih dalam usahanya, ialah
dengan memahami makna ungkapan itu dari segi:
a. Penetapan kata itu ada yang dimaksudkan umum atau khusus.
b. Penggunaanya ada yang digunakan dalam arti majazi (metafora).
c. Jelas dan tidak jelasnya makna.
d. Petunjuknya, denotatif atau konotatif.
Ada yang menyamakan ijtihad itu dengan istinbath dan ada pula yang
membedakannya. Dalam keputusan Muktamar Tarjih, kedua kata itu dihubungkan
dengan kata ”dan” bukan “atau”, dan hal itu mengandung perbedaan.
Kalau kita pahami kedua istilah tersebut berbeda. Maka, istinbath adalah
mengeluarkan hukum dari nash Al-Qur‟an atau hadits Nabi, baik yang
mengandung makna yang sudah jelas (qath‟i) maupun yang tidak jelas (zhanni).
Sedang Ijtihad adalah usaha mencari hukum dari kandungan nash yang kurang
jelas (zhanni), bahkan yang tidak ditunjukkan sama sekali oleh nash al-Qur‟an
maupun al-Hadits (Asjmuni, 2002; 195).
Di dalam pokok-pokok manhaj tarjih disebutkan;
“Tidak mengikatkan diri kepada sesuatu madzab tetapi pendapat-pendapat Imam
Madzab dalam menetapkan hukum dapat diterima, sepanjang sesuai dengan jiwa
Al-Qur‟an dan Al-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.”
Ungkapan itu terdapat pada poin ke-3 Pokok-pokok Manhaj Tarjih. Maksud
ungkapan tersebut adalah, bahwa Muhammadiyah, termasuk Majelis Tarjih dan
62
Tajdid, tidak mengikatkan dirinya kepada salah satu mazhab, karena memang
tidak ada perintah Al-Qur‟an atau hadis untuk itu. Namun demikian pendapat-
pendapat imam madzhab akan menjadi pertimbangan, sesuai dengan kedudukan
mereka sebagai ilmuwan. Hal ini sesuai dengan sikap Muhammadiyah, yaitu tetap
menjunjung tinggi ilmu yang sesuai dengan jiwa Al-Qur‟an dan Al-Sunnah.
Jelasnya Muhammadiyah tidak menjauhi ulama-ulama sebagai ilmuwan, tetapi
Muhammadiyah tidak mengkultuskan individu mereka. Sikap Muhammadiyah
dan Majelis Tarjih dan Tajdid ini dapat dililhat pada uraian terakhir masalah lima
(Asjmuni, 2002; 198).
2. Metodologi Istinbath Hukum dalam Muhammadiyah
Cara-cara istinbath hukum dalam Lembaga Tarjih Muhammadiyah, atau
manhaj tarjih Muhammadiyah, di antaranya sbb:
1. Nash yang qath‟i. Mengenai hal ini tidak ada masalah. Tidak boleh
diperdebatkan lagi, tidak ada lapangan ijtihad padanya.
ص صرثح بال يسبغ نإلجتهبد في قطعي
Tidak ada lapangan/peluang bagi ijtihad dalam masalah yang sudah ada nashnya
yang sharih lagi qath‟i (Abd al-Wahhab Khalaf, tt; 13-14).
2. Terdapat nash namun saling diperselisihkan, atau nash itu satu dengan
yang lain saling bertentangan, atau nash itu mempunyai nilai yang
berbeda, maka Lembaga Tarjih Muhammadiyah menempuh cara sbb:
a. Tawaqquf (kebuntuhan hukum), yaitu bersikap membiarkan tanpa
mengambil keputusan, karena kedua dalil atau lebih yang saling bertentangan
63
tersebut tidak lagi dapat dikompromikan dan tidak dapat dicarikan alternatif
mana yang dianggap terkuat.9
b. Tarjih, yaitu mengambil jalan yang lebih kuat di antara dalil-dalil yang
bertentangan dengan jalan memilih satu alternatif dalil yang dianggapnya lebih
kuat. Dalam hal bertarjih ini cara yang ditempuh, yaitu Jarh (cela) lebih
didahulukan daripada ta‟dil sesudah keterangan yang jelas dan sah menurut
anggapan syara‟.
Penting untuk diperhatikan bahwa riwayat orang yang telah terkenal suka
melakukan tadlis dapat diterima bila ia menerangkan bahwa apa yang ia
riwayatkan itu bersanad sambung, sedang tadlisnya tidak sampai tercela. Selain
itu, penting pula untuk digarisbawahi bahwa pendapat sahabat akan perkataan
musytarak pada salah satu artinya wajib diterima. Begitu pula dengan penafsiran
sahabat antara arti kata yang tersurat dengan yang tersirat, maka arti kata yang
tersurat itu yang diutamakan / diamalkan.
Jam‟u, yaitu menjama‟, atau menggabung, atau menghimpun antara kedua
dalil atau lebih yang saling bertentangan dengan melakukan penyesuaian-
penyesuaian. Misalnya jika ada hadis ahad yang shahih namun bertentangan
dengan prinsip dasar ajaran Islam, maka bisa jadi atau ada kemungkinan hadis itu
bersifat insidental atau anjuran yang tidak mengikat (Suara Muhammadiyah,
1965: 31).
3. Mengenai masalah-masalah yang tidak ada nashnya, sedangkan
terhadapnya diperlukan ketentuan hukumnya dalam masyarakat. Dalam
9Sebagai contoh adalah mengenai qunut dalam shalat witir, di mana terdapat dua dalil,
antara satu dengan yang lain sama kuatnya. Lihat PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih,
op.cit., h. 369
64
hal semacam ini Lembaga Tarjih Muhammadiyah berusaha mengeluarkan
hukum atau menetapkan dengan jalan ijtihad dengan berpedoman kepada
prinsip-prinsip ajaran Islam, seperti prinsip kemaslahatan, menolak
kemafsadatan, serta memberikan atau menetapkan sesuatu hukum dengan
beralasan adanya darurat yang dapat menimbulkan kemudharatan (Suara
Muhammadiyah, 1965: 17).
C. Menikahi wanita hamil akibat zina berdasarkan hasil
Keputusan Musyawarah Wilayah Tarjih Muhammadiyah, di Sragen
Jawa Tengah, 7-8 April 2007
Keputusan Majelis Tarjih tentang nikah hamil akibat zina ada dua pendapat.
Pendapat pertama, yaitu pendapat mayoritas, membolehkan menikahi wanita
hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa syarat. Dasarnya
adalah:
a. Berdasarkan: QS. An-Nisa‟ ayat 22-24,
“dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu.. (QS.an-
Nisa: 22)
..
diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-
65
saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan.. (QS.an-Nisa:23)
(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu) (QS.an-
Nisa:23)
(dan diharamkan bagimu) ibu-ibu isterimu (mertua) (QS.an-Nisa:23)
…
…dan anak-anak perempuan istri-istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri
yang telah engkau campuri.. (QS.an-Nisa:23)
(dan diharamkan bagimu) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, sebagai istri) (QS.an-Nisa:23)
….
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (QS.an-Nisa‟ ayat 24)
b. QS. an-Nur ayat 3:
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian
itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin” (Sakho, 1992: 543).
c. HR. Abu Dawud yang berbunyi :
ال يحم اليرئ يؤي ثباهلل وانيىو االخر ا يسقي يبءه زرع غيره )رواه اثى داود(
“tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir
menyiramkan airnya (maninya) ke ladang orang lain” (Sunan Abu Dawud Juz II:
425).
d. Wanita hamil di luar nikah tidak memiliki iddah sehingga boleh saja menikahi
wanita hamil tersebut dengan tidak harus menunggu ia melahirkan, dan setelah
menikah boleh melakukan hubungan seksual.
66
e. Nilai-nilai universal dalam syariat Islam tentang perkawinan yang mengacu
pada Maqashid Syari‟ah, yakni menjaga nasab.
f. Untuk mendapatkan kepastian hukum bagi anak yang dilahirkan.
g. Mengurangi beban psikologi pada anak atau bayi yang lahir tanpa ayah.
h. Menjaga hak anak untuk memperoleh perwalian, pengasuhan dan pewarisan
dari laki-laki yang menjadi ayah.
i. Landasan Qaidah Fiqhiyyah yang menyatakan bahwa:
الضرر يزال
“kemadharatan harus dihilangkan” (al-Zurqo: 302)
Dan أعظهب ضرارا ثب رتكب ة أخفهبإذا تعب رض يفسد تب روعي
“apabila ada dua kemadharatan berkumpul, maka harus dipilih yang paling
ringan” (Al-Zurqa: 201-202).
Pendapat yang kedua, yaitu pendapat minoritas (dalam hal ini penulis mengambil
informasi dari H. Moch Zaid10
), membolehkan menikahi wanita hamil akibat zina
dengan laki-laki yang menghamilinya dengan syarat:
a. Bahwa wanita hamil akibat zina mempunyai/ menjalani masa iddah, yaitu
sampai melahirkan kandungannya.
b. Wanita hamil tidak boleh dipergauli kecuali setelah melahirkan.
c. QS. at-Thalaq ayat 4
“Dan perempuan-perempuan yang mengandung itu iddah mereka ialah hingga
mereka melahirkan kandungan mereka”( Depag RI, 1992; 946).
d. Kaidah fikih: ي استعجم شيئب قجم اواه عى قت ثحر يبه
10
Beliau adalah delegasi dari Wonosobo, wawancara pada tanggal 9 November 2014 via
Hp.
67
“barangsiapa menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, maka ia akan
mendapatkan sangsi dengan tidak mendapatkannya” (al-Suyuti, 1970: 103)
Dan انغبيه ال تجررانىسيهه اال ثب ندنيم
“tidak boleh menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan” (Talqihul
afham, juz 3:23).
Putusan majelis Tarjih di Sragen Jawa Tengah, 7-8 April 2007 ini tawaqquf
(deadlock), yaitu bersikap membiarkan tanpa mengambil keputusan, karena kedua
dalil atau lebih yang saling bertentangan tersebut tidak lagi dapat dikompromikan
dan tidak dapat dicarikan alternatif mana yang dianggap terkuat. Putusan tersebut
tidak berpihak pada kubu yang mayoritas maupun minoritas, sehingga adanya
pendapat yang minoritas ini menganulir pendapat yang lain 11
(wawancara dengan
Bpk. Ahmad Arif Budiman, M.Ag)12
.
D. Pandangan Tokoh Pimpinan Wilayah Jawa Tengah Terhadap
Putusan Majelis Tarjih & Tajdid Tentang Menikahi Wanita Hamil
Akibat Zina
Menurut pandangan tokoh Pimpinan Wilayah dalam membahas persoalan
Menikahi Wanita Hamil Akibat Zina bertitik tolak dari dua hal, yang peneliti
rangkum hasil wawancaranya dengan membagi dua kelompok, pertama kelompok
yang membolehkan menikahi wanita hamil akibat zina tanpa syarat
(membolehkan), kedua: membolehkan menikahi wanita hamil akibat zina dengan
syarat (menolak).
11
Sebagai contoh adalah mengenai qunut dalam shalat witir, di mana terdapat dua dalil,
antara satu dengan yang lain sama kuatnya. Lihat PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih,
op.cit., h. 369 12
Beliau adalah salah satu kubu yang mayoritas, presentator makalah menikahi wanita
hamil di Sragen.7-8 April 2007. Wawancara pada tanggal 1 November 2014 di Fak Syari‟ah
68
2. Kelompok pertama:
a. Bapak Arif Budiman, MAg , wakil bendahara PW Muhammadiyah Jateng,
dosen Syariah UIN Walisongo Semarang dan aktif di beberapa lembaga
bantuan hukum di dalam kampus maupun di luar kampus. Beliau
berpendapat bahwa boleh menikahi wanita hamil akibat zina asal dengan
laki-laki yang menghamilinya. Alasan kemaslahatan lebih dominan,
sehingga komitmen menegakkan moralitas bagi nasab anak dan dampak
psikologis bagi wanita hamil. Menurut pak Arif, di dalam pasal KHI itu
sendiri tidak menentukan syarat apapun, disamping ayat al-Qur‟an, hadis
dan ushul fiqh, jadi hukum sudah memadai kecuali ada hal-hal lain yang
merubah nantinya.
Peneliti menganalisis bahwa pandangan bapak Arif Budiman, MAg ini realitas
yang terjadi di masyarakat karena hancurnya masa depan seseorang yang
ketahuan hamil akibat zina tidak segera dinikahkan. Namun dampak dari
kebolehan ini akan menjadikan hukum terkesan sangat longgar, meski hanya bagi
laki-laki yang menghamilinya.
b. Bapak H. Ahmad Furqon, Lc, MA, dosen FEBI UIN Walisongo (Sekjur),
anggota Majelis Tarjih & Tajdid PW Muhammadiyah. Ia berpendapat
diperbolehkan menikahi wanita hamil, bagi laki-laki yang tidak
menghamilinya, karena wanita hamil karena zina tidak ada masa iddahnya.
Dasarnya hadis Nabi saw: al-Walad lil Firasy wa lil ahir Hajar. Menurut
pak Ahmad, secara hukum tidak ada masalah wanita hamil akibat zina
menikah karena tidak ada larangannya, yang perlu dilakukan adalah
69
bagaimana mencegah praktek perzinahan terjadi, yaitu dengan
menegakkan hukum yang menjerakan bagi pelaku zina. Bapak Ahmad
menambahi, bagi laki-laki yang menghamili bukan karena perkosaan,
harus menikah dengan perempuan yang dihamilinya sebagai bentuk
pertanggung jawaban.
Analisis peneliti, menurut pendapat pak Ahmad Furqon pertanggung jawaban dari
laki-laki yang menghamilinya ataupun yang tidak menghamilinya lebih di
kedepankan untuk menolong nasab anak dan psikologis wanita yang hamil akibat
zina tersebut.
c. Bapak H. Imron Rosyadi, sekretaris MTT PWM Jateng, Staf pengajar
prodi Hukum Ekonomi Syariah UMS Surakarta. Beliau berpendapat
bahwa wanita hamil tetap dilarang dinikahi oleh laki-laki kecuali yang
menzinainya. Ia boleh dinikahi saat ia hamil maupun pasca melahirkan
oleh laki-laki pasangannya zinanya. Setelah melahirkan, ia boleh dinikahi
oleh siapa pun laki-laki.
Menurut pak Imron, ia berbeda pendapat dengan Ibn Qudamah, wanita hamil
tersebut sudah memiliki kebebasan untuk memilih laki-laki yang dipilihnya
sebagaimana sebelum menjalani hukuman, sedangkan anak hasil hubungan zina
memiliki hubungan biologis dengan laki-laki yang menzinainya. Hubungan ini
bisa diqiyaskan dengan hubungan biologis dengan saudara sesusuan. Meski punya
hubungan biologis tetapi tidak bisa saling mewarisi. dan tidak berlaku juga pada
saudara sesusu.
70
Terkait dengan keputusan Majelis Tarjih PWM Jateng beliau sepakat, menurut
pak Imron syariat pernikahan dalam Islam itu terkait dengan upaya hukum Islam
menata keturunan yang jelas (hifdzun Nasl). Dengan menjaga keturunan ini
kehidupan masyarakat khususnya hubungan manusia menjadi tertib. Sebagai
upaya menjaga syariat pernikahan Islam melarang perbuatan berkhalwat dan
perzinaan. Untuk menjaga larangan ini diberlakukan sanksi yang dapat dijadikan
sebagai hukuman yang dapat menjerakan, tidak hanya untuk pelakunya tapi juga
untuk orang lain agar tidak melakukan yang sama. Jadi, aturan pernikahan dan
larangan perzinaan merupakan upaya hukum Islam sebagai kontrol sosial dan
menata masyarakat di masa depan.
Perlu adanya tarjih lagi, dan revisi ulang atau pasal khusus dalam hukum
positif di Indonesia, kalau tidak direvisi dengan hukum akan berdampak menjadi
longgar karena kontrol sosial lebih efektif lewat hukum, sekarang kontrol
sosialnya lemah dan hukumnya lemah bahkan tambah lemah sehingga orang akan
lebih mudah untuk melawan hukum.
2. Kelompok kedua:
a. H. Moh. Zaid, anggota Majelis Tarjih & Tajdid PW Muhammadiyah
Wonosobo. Beliau berpendapat menolak menikahi wanita hamil akibat zina /
membolehkan tetapi dengan syarat yaitu wanita yang hamil tersebut harus
melahirkan terlebih dahulu, dan bertaubat terlebih dahulu. Alasannya hukum
agama harus tegas dan ditegakkan فؤالئك هى انفبسقى وي نى يحكى ثب اسل اهلل .
Menurutnya, harus ada efek jera bagi pelakunya karena dampak kedepan
masyarakat akan menganggap enteng hukum agama. Ditambah prosentase
71
terbesar pernikahan dini dan dapat dispensasi nikah dari hakim karena faktor
nikah hamil akibat zina. Wala takkhud ra‟fakum “jangan merasa kasihan”, pada
orang yang berbuat zina. Padahal dalam al-qur‟an dan hadis tegas dalam
menegakkan hukum, karena kasus wanita hamil di masa nabi tidak ada dinikahkan
adanya menunggu sampai anak tersebut lahir, disusui. KHI harus di revisi dan
harus diadakan lagi tarjih ulang terkait dengan hukum nikah hamil akibat zina.
b. Dr. H. Zuhad. MA, ketua Majelis Waqaf PW Muhammadiyah Jateng, dosen
UIN Walisongo. Ia berpendapat kalau memakai / Frame Imam Syafi‟I tidak
membolehkan nikah sebelum wanita tersebut melahirkan terlebih dahulu. Jadi
kalau hamil tidak boleh menikah, kalau tidak memakai hukum syar‟I/ sisi yang
lain akan membuat kelonggaran hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum
agama. Sehingga akan memperlemah kontrol sosial, hukum itu hubungannya
dengan kemaslahatan kehidupan sosial. Kalau tidak diperbolehkan dampaknya
orang tidak akan berani melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum. Kalau
dinikahkan itu akan mendorong orang akan menganggap enteng pelanggaran-
pelanggaran hukum seperti itu. Beliau cenderung setuju dengan pendapat Imam
Syafi‟I, tentang kasus menikahi wanita hamil akibat zina yang terdapat dalam
pasal 53 KHI tersebut harus menunggu kelahiran anak, meski tidak ada dalil yang
secara tegas, namun kemaslahatan lebih dominan, ada efek jera kepada
masyarakat.
Terkait dengan Putusan Majelis Tarjih PW Muhammadiyah di Sragen tersebut
menurut Dr. Zuhad bahwa suatu keputusan itu dipengaruhi banyak faktor,
berbagai kepentingan, ada tarik menarik disitu. Kalau yang membuat putusan
72
tersebut (mayoritas) karena banyak mempertimbangkan kemaslahatan, kontrol
sosial atau tenggang rasa. Kalau yang putusan (minoritas) melihat dari sisi
hukumnya akan meminimalkan pertimbangan-pertimbangan subjektif tersebut
karena ada pertimbangan hukum yang terjadi lingkungan masyarakatnya atau
dipengaruhi oleh pandangan-pandangan yang lain. Seperti contoh fakta MUI
dalam memutuskan suatu masalah hukum di landasi banyak faktor (ekonomi,
keagamaan, social, budaya dll).
Menurut pak Zuhad perlu adanya tarjih lagi, karena hukum akan berdampak
menjadi longgar sebab kontrol sosial lebih efektif lewat hukum. Sekarang kontrol
sosial semakin lemah dan hukumnya tambah lemah sehingga orang akan lebih
mudah untuk melawan hukum. Dampak hukum itu untuk kemaslahatan kedepan
bukan untuk sesaat. Dicontohkan oleh pak Zuhad, misal kalau ada mahasiswa
yang terlambat datang kemudian dilarang masuk kelas, nantinya mahasiswa yang
lain akan seperti itu, ada efek jera. Jadi, menurut beliau tujuan untuk memperbaiki
situasi dan merancang keadaan masyarakat kedepan itu bisa lebih baik, dengan
diterapkan hukum yang tepat, kalau hukum banyak ditoleransi akan berdampak
menjadi longgar.
Analisis peneliti terkait dengan 2 (dua) tokoh diatas, (kelompok kedua), sama
pemikirannya dalam masalah menikahi wanita hamil akibat zina tidak setuju kalau
dinikahkan dengan alasan hukum harus ditegakkan tanpa memberikan
kelonggaran kepada pelaku.
Menurut peneliti, tokoh-tokoh PW Muhammadiyah (kelompok satu dan
kelompok kedua), mengharapkan KHI segera direvisi dan ada pasal khusus
73
tentang hukum menikahi wanita hamil akibat zina tersebut. Terkait dengan
keputusan di Sragen kelompok pertama sepakat, namun kelompok kedua
berpendapat perlu diadakan tarjih ulang sehingga ada kepastian hukum terkait
dengan kasus tersebut.
Kelompok pertama menggunakan metode maslahah mursalah dengan
mempertimbangkan fenomena di masyarakat yang masih banyak terjadi kasus
nikah hamil sehingga kemaslahatan lebih dominan untuk menyelamatkan nasib
nasab anak dan psikologis / aib wanita hamil akibat zina tersebut. Namun, berbeda
dengan kelompok kedua lebih menggunakan metode sadd az-Dzari‟ah bertujuan
untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah di masyarakat di
berlakukannya hukum yang tegas dengan cara membolehkan menikahi wanita
hamil setelah anak akibat zina tersebut lahir dan harus bertaubat terlebih dahulu.
Hasil Musyawarah Wilayah Jawa Tengah di Sragen ini tawaqquf, meskipun
mayoritas delegasi / peserta dari berbagai daerah bersepakat membolehkan
menikahi wanita hamil akibat zina tanpa syarat namun dari peserta / kubu daerah
Wonosobo memberikan pendapat lain yaitu menolak / membolehkan menikahi
wanita hamil akibat zina tetapi dengan adanya syarat.
74