Post on 19-Jan-2016
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Skizofrenia yang paling sering ditemukan pada kasus kedokteran jiwa, hampir 1%
penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka yang biasanya bermula di
bawah usia 25 tahun dan mengenai orang dari semua kelas sosial. Baik pasien maupun
keluarga sering mendapatkan pelayanan yang buruk dan pengasingan sosial karena
keridaktauan yang luas tentang gangguan ini.
Skizofrenia didiskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit tunggal namun kategotik
diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan, mungkin engan kausa yang heterogen, tapi
dengan gejala prilaku yang sedikit banyak sama. Setiap pasien skizofrenian memiliki respon
dalam pengobatan yang berbeda-beda.Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia seumur
hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 %; konsisten dengan angka
tersebut, penelitian EpidemologicalCatchment Area (ECA) yang disponsori oleh National
Institue of Mental Helath (NIHM) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 1,3%1.
Di indonesia penderita dengangangguan jiwa jumlahnya mengalami peningkatan
terkait dengan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia, mulai dari
kondisi perekonomian yang memburuk, kondisi keluarga atau latar belakang atau pola asuh
anak yang tidak baik sampai bencana alam yang melanda negara kita. Kondisi seperti ini
dapat menimbulkan masalah-masalah psikososial maupun ekonomi, maka adakecenderungan
seseorang untuk mengalami skizofrenia2. Orang yang mengalami skizofrenia berarti
kesehatan jiwanya terganggu, padahal kesehatan jiwa adalah salah satu unsur kehidupan yang
terpenting3.
Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda.
Skizofrenia merupakan penyakit keronik. Sebagian kecil darikehidupan mereka berada dalam
kondisi akut dan sebagian besar berada lebih lama (bertahun-tahun) dalam fase residual yaitu
fase yang memperlihatkan gejala yang ringan. Selama fase residual, mengisolasi diri dan
aneh, gejala penyakit biasanya terlihat jelas oleh prang lain. Gangguan skizotipal memiliki
banyak ciri khas dari gangguan skizofrenik dan mungkin berkaitan secara genetik dengan
skizofrenia, namun demikian, halusinasi, waham dan gangguan perilaku yang besar dari
skizofrenia. Gangguan skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang
mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar atau tumpul 4.
1
Penanganan pasien skizofrenia dibagi secara garis besar menjadi, terapi biologik atau
obat anti psikotik, terapi psikososial, dan perawatan rumah sakit. Walaupun pengobatan
antipsikotik merupakan inti dari pengobatan skizofrenia, penelitian telah menemukan bahwa
intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis. Modalitas psikososial harus
diintegrasikan secara cermat ke dalam regimen terapi obat dan harus mendukung regimen
tersebut. Sebagian besar pasien skizofrenia mendapatkan manfaat dari pemakaian kombinasi
pengobatan antipsikotik dan psikososial1.
I.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang gejala klinis dan penatalaksanaan Skizofrenia baik
secara terapi biologikmaupun terapi psikososial.
I.3 Tujuan
1. Sebagai referensi untuk menambah sumber bacaan mengenai penatalaksanaan
Skizofrenia
2. Sebagai pembelajaran untuk penatalaksanaan Skizofrenia.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Skizofrenia
2.1.1 Definisi
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat kronis atau kambuh dengan
terdapatnya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi, dan perilaku pasien yang terkena.
Perpecahan pada pasien digambarkan dengan adanya gejala fundamental (atau primer) yang
spesifik, yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan gangguan asosiasi, serta gejala lainnya
yaitu gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi. Sedangakan gejala sekundernya adalah
waham dan halusinasi.1
Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa yang memiliki karakteristik khusus.
Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III, definisi skizofrenia
dijelaskan sebagai gangguan jiwa yang ditandai dengan distorsi khas dan fundamental dalam
pikiran dan persepsi yang disertai dengan adanya afek yang tumpul atau tidak wajar.3
2.1.2 Etiologi
Adapun teori-teori etiologi skizofrenia antara lain:1
a. Model diatesis-stres
Teori ini menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan lingkungan
yang secara khusus mempengaruhi diri seseorang sehingga dapat menyebabkan
berkembangnya gejala skizofrenia. Dimana ketiga faktor tersebut saling berpengaruh
secara dinamis.
b. Neurobiologi
Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamin yang menyatakan bahwa
skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang berlebihan di bagian kortikal
otak, dan berkaitan dengan gejala pasotif skizofrenia. Selain itu juga terdapat
peningkatan neurotransmitter lainnya seperti serotonin, norepinefrin, GABA,
glutamat. Selain itu pada penelitian lainnya mengindikasikan adanya peran
patofisiologis area otak tertentu, termasuk sistem limbik , korteks frontal, serebelum,
dan ganglia basalis. Keempat area ini saling berhubungan sehingga disfungsi satu area
dapat melibatkan proses patologi primer ditempat lain. Pencitraan otak manusia hidup
dan pemeriksaan neuropatologi jaringan otak posmortem menyatakan sistem limbik
3
sebagai lokasi potensial proses patologi primer pada setidaknya beberapa bahkan
mungkin sebagian besar pasien skizofrenia.
c. Faktor genetik
Serangkaian studi genetik secara meyakinkan mengemukakan bahwa adanya
komponen genetik dalam pewarisan sifat skizofrenia. Adapun prevalensi skizofrenia
pada populasi umum yaitu 1%, pada saudara kandung bukan kembar pasien
skizofrenia prevalensinya 8%, pada anak dengan salah satu orang tua penderita
skizofrenia prevalensinya 12%, pada kembaran dizigotik pasien skizofrenia 12%,
pada anak yang kedua orang tuanya menderita skizofrenia 40%, dan pada kembar
monozigot pasien skizofrenia sebesar 47%.
d. Faktor psikososial
Teori perkembangan
Ahli teori Sullivan dan Erikson mengemukakan bahwa kurangnya perhatian yang
hangat dan penuh kasih sayang di tahun-tahun awal kehidupan berperan dalam
menyebabkan kurangnya identitas diri, salah interpretasi terhadap realitas dan
menarik diri dari hubungan sosial pada penderita skizofrenia.
Teori belajar
Menurut para ahli teori pembelajaran, anak yang dikemudian hari menderita
skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berpikir irasional dengan cara meniru
orang tua yang memiliki masalah emosional yang signifikan. Hubungan
interpersonal yang buruk pada orang tua dengan skizofrenia muncul akibat model
pembelajaran yang buruk selama masa kanak-kanak.
Teori keluarga
Tidak ada bukti dengan kontrol yang baik yang mengidentifikasikan bahwa
terdapat suatu pola keluarga khusus yang memainkan peran kausatif dalam
timbulnya skizofrenia. Namun beberapa pasien skizofrenia memang berasal dari
keluarga yang disfungsional.
Teori sosial
Sejumlah teori menyatakan bahwa industrialisasi dan urbanisasi terlibat dalam
penyebab skizofrenia. Walaupun beberapa data yang mendukung teori ini, stres
tersebut kini dianggap memiliki efek utama terhadap waktu munculnya awitan dan
keparahan penyakit.
2.1.3 Klasifikasi
4
Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, pasien harus memenuhi kriteria DSM-IV
atau ICD X. Berdasarkan DSM-IV yaitu:2
1. Berlangsung paling sedikit 6 bulan
2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna yaitu dalam bidang pekerjaan, hubungan
interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi.
3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode tersebut.
4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood mayor,
autisme, atau gangguan organik.
Semua pasien skizofrenia sebaliknya digolongkan kedalam salah satu dari sub tipe
yang telah disebutkan di atas. Subtipe ditegakkan berdasarkan atas manifestasi
perilaku yang paling menonjol.
Tipe Paranoid
Tipe ini paling stabil dan paling sering. Awitan subtipe ini biasanya terjadi lebih
belakangan bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk skizofrenia lain. Gejala terlihat sangat
konsisten, sering paranoid, pasien dapat atau tidak bertindak sesuai wahamnya. Pasien sering
tak kooperatif dan sulit untuk mengadakan kerjasama, mungkin agresif, marah, atau
ketakutan, tetapi pasien jarang sekali memperlihatkan perilaku inkoheren atau disorganisasi.
Waham dan halusinasi menonjol sedangkan afek dan pembicaraan hampir tidak terpengaruh.
Beberapa contoh gejala paranoid yang sering ditemui:2
a. Waham kejar, rujukan, kebesaran, waham dikendalikan, dipengaruhi, dan cemburu.
b. Halusinasi akustik berupa ancaman, perintah, atau menghina.
Tipe Disorganisasi
Skizofrenia tipe disorganisasi atau hebefrenik ditandai dengan regresi nyata ke
perilaku primitif, tak terinhibisi, dan kacau serta dengan tidak adanya gejala yang memenuhi
kriteria tipe katatonik. Awitan subtipe ini muncul sebelum usia 25 tahun. Pasien hebefrenik
biasanya aktif namun dalam sikap yang nonkonstruktif dan tak bertujuan.1
Gejala-gejala tipe disorganisasi antara lain yaitu:2
a. Afek datar, tumpul atau tak serasi
b. Sering inkoheren
c. Waham tak sistematis
d. Perilaku disorganisasi seperti menyeringai dan manerisme (sering ditemui)
5
Tipe Katatonik
Pasien mempunyai paling sedikit satu dari (atau kombinasi) beberapa bentuk
katatonia, yaitu:2
1. Stupor katatonik atau mutisme yaitu pasien tidak berespons terhadap lingkungan atau
orang. Pasien menyadari hal-hal yang sedang berlangsung di sekitarnya.
2. Negativisme katatonik yaitu pasienn melawan semua perintah-perintah atau usaha-
usaha untuk menggerakkan fisiknya.
3. Rigiditas katatonik yaitu psien secara fisik sangat kaku atau rigid.
4. Postur katatonik yaitu pasien mempertahankan posisi yang tak biasa atau aneh.
5. Kegembiraan katatonik yaitu pasien sangat aktif dan gembira. Mungkin dapat
mengancam jiwanya.
Tipe Tak Terinci
Pasien mempunyai halusinasi, waham, dan gejal-gejala psikosis aktif yang menonjol
(misalnya: kebingungan, inkoheren) atau memenuhi kriteria skizofrenia tetapi tidak
digolongkan pada tipe paranoid, katatonik, hebefrenik, residual, dan depresi pasca
skizofrenia.2
Tipe Residual
Pasien dalam keadaan remisi dari keadaan akut tetapi msih memperlihatkan gejala-
gejala residual (penarikan diri secara sosial, afek datar atau tak serasi, perilaku eksentrik,
asosiasi melonggar, atau pikiran tak logis).2
2.1.4 Manifestasi klinis
Berdasarkan DSM-IV, ciri yang terpenting dari skizofrenia adalah adanya campuran
dari dua karakteristik (baik gejala positif maupun gejala negatif). Secara umum, karakteristik
gejala skizofrenia, dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu :1
1) Gejala Positif
Gejala positif adalah tanda yang biasanya pada orang kebanyakan tidak ada, namun
pasien skizofrenia jusru muncul. Gejala positif adalah gejala yang bersifat aneh, antara lain
berupa delusi, halusinasi, ketidakteraturan pembicaraan, dan perubahan perilaku.1
2) Gejala Negatif
6
Gejala Negatif adalah menurunnya atau tidak adanya perilaku tertentu, seperti
perasaan yang datar (afek mendatar atau menumpul), miskin bicara (alogia) atau isi bicara,
bloking, kurang merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara sosial.1
Skizofrenia sering memperlihatkan campuran gejala-gejala di bawah ini:2
A. Gangguan pikiran
1. Gangguan proses pikir
Pasien biasanya mengalami gangguan proses pikir. Pikiran mereka sering tidak
dimengerti oleh orang lain dan terlihat tidak logis. Tanda-tandanya adalah:
Asosiasi longgar : ide pasien sering tidak menyambung (terjadi keseimbangan
penyampaian dari satu ide ke ide lain). Ide tersebut seolah dapat melompat dari topik
ke topik lain yang tak berhubungan sehingga membingungkan pendengar.
Pemasukan berlebihan : arus pikiran pasien secara terus menerus mengalami
gangguan karena pikirannya sering dimasuki informasi yang tidak relevan
Neologisme : pasien menciptakan kat-kata baru (yang bagi mereka mungkin
mengandung arti simbolik)
Terhambat : pembicaraan tiba-tiba berhenti (sering pada pertengahan kalimat) dan
disambung kembali beberapa saat kemudian, biasanya dengan topik yang lain. Ini
dapat menunjukkan bahwa ada interupsi. Biasanya pikiran-pikiran lain masuk
kedalam ide pasien. Perhatian pasien sering sangat mudah teralih dan jangka waktu
atensinya singkat.
Ekolalia : pasien mengulang kat atau kalimat yang baru saja diucapkan oleh
seseorang.
Konkritisasi : Pasien dengan IQ rata-rata normal atau lebih tinggi, sangat buru
kemampuan berpikir abstraknya.
Alogia : pasien berbicara sangat sedikit tetapi bukan disebabkan oleh resistensi yang
disengaja ( miskin pembicaraan) atau dapat berbicara dalam jumlah normal tetapi
sangat sedikit ide yang disampaikan.
2. Gangguan isi pikir
Pada gangguan isi pikir yaitu adanya waham. Waham sering ditemui pada gangguan
jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada
skizofrenia. Contoh waham yang sering ditemui adalah waham kejar, waham
kebesaran, waham rujukan, waham penyiaran pikiran, waham penyisipan pikiran.
B. Tilikan
7
Kebanyakan pasien skizofrenia mengalami pengurangan tilikan yaitu pasien tidak
menyadari penyakitnya serta kebutuhannya terhadap pengobatan, meskipun gangguan
yang ada pada dirinya dapat dilihat oleh orang lain.
C. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi
Halusinasi paling sering ditemui, biasanya berbentuk pendengaran tetapi bisa juga
berben pengelihatan, perabaan, penciuman.
2. Ilusi dan depersonalisasi
Pasien juga dapat mengalami ilusi atau depersonalisasi. Ilusi yaitu adanya
misinterpretasi panca indera terhadap objek. Depersonalisasi yaitu adanya persaan
asing terhadap diri sendiri. Derealisasi yaitu adanya perasaan asing terhadap lingkungan
sekitarnya misalnya dunia terlihat tidak nyata.
D. Gangguan emosi
Pasien skizofrenia dapat memperlihatkan berbagai emosi dan dapat berpindah dari satu
emosi ke emosi lain dalam jangka waktu singkat. Ada tiga afek dasar yang sering:
1. Afek tumpul atau datar : ekspresi emosi pasien sangat sedikit bahkan ketika afek
tersebut seharusnya di ekspresikan. Pasien tidak menunjukkan kehangatan.
2. Afek tak serasi : afeknya mungkin bersemangat atau kuat tetapi tidak sesuai dengan
pikiran dan pembicaraan pasien.
3. Afek labil : dalam jangka pendek terjadi perubahan afek yang jelas.
E. Gangguan perilaku
Berbagai perilaku tak sesuai atau aneh dapat terlihat seperti gerakan tubuh yang aneh ,
wajah dan menyeringai, perilaku ritual, sangat ketolol-tololan, agresif, dan perilaku
seksual yang tidak pantas. Sebagian besar pasien-pasien skizofrenia yang dalam keadaan
remisi dapat memperlihatka tanda-tanda awal kekambuhan.
2.1.5 Diagnosis
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau
lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):3
Thought echo (isi fikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya, dan isi fikiran ulangan walaupun isinya sama namun kualitasnya berbeda);
atau
8
Thought insertion or withdrawal: Isi fikiran yang asing dari luar masuk kedalam
fikirannya atau isi fikirnya di aambil oleh sesuatu dari luar; dan
Thought broadcasting: isi fikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umumnya
mengetahuinya.
Delusion of control: waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu
dari luar; atau
Delusion of influence: waham tentang dirinya di pengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
Delusional perception: Pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat
khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat
Halusinasi auditorik ; suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap perilaku pasien atau mendiskusikan perihal psien diantara mereka sendiri
Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil.
Atau paling sedikit 2 gejala di bawah ini yang harus ada secara jelas:
Halusinasi yang menetap dari panca indera
Arus fikir yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat inkoherensi atau
pembicaraan yang tidak relevan
Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu, atau
fleksibilitas korea, mutisme, dan stupor
Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan respons
emosionaal yang menumpul dan tidak wajar biasanya penarikan diri dari pergaulan
social dan menurunnya kinerja social, tetapi harus jelas tidak di sebabkaan karena
depresi
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung dalam kurun waktu satu
bulan atau lebih dan harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri,
dan penarikan diri secara sosial.3
2.1.6 Diagnosis Banding
9
Skizofrenia harus dibedakan dengan semua kondisi yang menimbulkan psikosis aktif.
Semua kemungkinan-kemungkinan harus dengan hati-hati disisihkan misalnya, gangguan
skizoafektif, gangguan afektif berat, dan ssemua kondisi organic yang sangat mirip dengan
skizofrenia, misalnya stadium awal Khorea Huntington, stadium awal penyakit Wilson,
epilepsi lobus temporalis, tumor lobus temporalis atau frontalis, stadium awal multiple
sclerosis dan sindrom lupus eritomatosis, porfilia, paresis umum, penyalahgunaan zatyang
kronik, dan halusinasi alkoholik kronik.
2.1.7 Tatalaksana
A. PengobatanTerapi Biologis
Farmakoterapi
Pengobatan antipsikotik, yang diperkenalkan awal tahun 1950-an, telah merevolusi
penanganan skizofrenia. Kurang lebih dua sampai empat kali lipat pasien mengalami relaps
bila diobati dengan placebo dibandingkan mereka yang diobati dengan obat antipsikotik.
Namun, obat-obat ini hanya mengatasi gejala gangguan dan tidak menyembuhkan
skizofrenia. Obat antipsikotik mencakup dua kelas utama, antagonis reseptor dopamine dan
antagonis serotonin dopamine.
Antagonis Reseptor Dopamin.
Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia, terutama dalam
gejala positif. Obat ini memiliki dua kekurangan utama dalam pengobatan skizofrenia.
Pertama, hanya sebagian kecil (kemungkinan persentase 25%) dapat memulihkan fungsi
mental secara bermakna. Tercatat bahwa hamper 50% pasien yang menjalanin pengobatan
masih tetap terganggu dalam hidupnya dengan gejala-gejala dari skizofrenia tersebut. Kedua,
antagonis reseptor dopamin dikaitkan dengan adanya efeksamping yang sangat menggangu
dan serius. Efek samping yang paling menggangu adalah akatisia dan gejala lir-parkinsonian
berupa rigiditas dan tremor.
Antagonis Serotonin Dopamin.
10
Antagonis serotonin dopamin memiliki efek samping ekstrapiramida yang minimal
atau bisa tidak ada, berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda dibandingkan
antipsikotik standar, dan mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun glutamate. Obat ini
juga memeiliki efek samping neurologis dan endokrinologis yanglebih sedikit dan lebih
efektif dalam menanggulangi gejala negative skizofrenia, contohnya penarikan diri. Obat ini
lebih efektif ddibandingkan dengan obat antagonis reseptor dopamin. Golongan ini juga
memiliki efektifitas yang sama dengan obat golongan antagonis reseptor dopamin dalam
menanggulangi gejala positif skizofrenia dan memiliki efek samping ekstrapiramida yang
lebih sedikit. Beberapa sediaan yang telah disetujui antara lain klozapin, risperion, olanzarin,
sertindol, kuetiapin dan ziprasidon.
Prinsip terapeutik
Penggunaan obat antipsikotik pada skizofrenia mengikuti lima prinsip utama
1. Klinisi sebaiknya secara cermat menentukan gejala yang akan diobati
2. Obat antipsikotik yang telah bekerja dengan baik bagi pasien sebaiknya diberikan
kembali. Bila tidak ada informasi seperti itu, pilihan antipsikotik didasarkan padda
efek samping. Data yang tersedia mengindikasikan SDA mungkin menawarkan profil
yang efek samping superior serta kemanjuran yang superior.
3. Lama minimum percobaan antipsikotik adalah 4 sampai 6 minggu pada dosis adekuat.
Bila percobaan tidak berhasil, obat antipsikotik berbeda biasanya ddari kelas berbeda
dapay dicoba. Mesti demikian reaksi tidak menyenangkan pada pasien pada dosis
pertama obat antipsikotik secara kuat berkorelasi dengan respon buruk dan
ketidakpatuhan di masa depan. Pengalaman negative dapat mencakup perassan
negative subjektif yang ganjil, sedasi berlebihan, atau reaksi distonik akut. Bila
teramati ada reaksi awal yang negative dan parah , klinisi dapat mempertibangkan
pindah ke obat antipsikotik lain dalam waktu 4 minggu.
4. Secara umum, penggunaan lebih dari 1 obat antipsikotik dalam 1 waktu adalah jarang
kalaupun pernah diindikasikan pada psien yang resisten pengobatan kombinasi
antipsikotik dengan obat antipsikotik lain.
5. Pasien dissarankan mempertahankan dosis obat yang efektif serendah mungkin yang
digunakan untuk mengendalikan episode gejala psikotik.
Sebaiknya skizofrenia diobbati dengan APG-II dengan kisaran dosis ekuivalen
klopromazin 300-600 mg per hari atau kadang-kadang lebih. Pemeliharaaan dengan dosis
11
rendah diperlukan, setelah kekambuhan pertama. Dosis pemeliharaan dianjurkan
diteruskanuntuk beberapa tahun.
Obat APG-I digunakan terutama untuk mengkotrol gejala-gejala positif sedangkan
untuk gejala negatif hampit tidak bermakna. Sedangkan obat APG-II bermanfaat untuk gejala
positif maupun negatif. Standar emas baru adalah APG-II. Meskipun harganya mahal tetapi
manfaatnya sangat besar. Pilihlah APG-II yang efektif dan efksamping yang lebih ringan dan
ddapat digunakan secara aman tanpa memerlukan pemantauan jumlah sel darah putih setiap
minggu.
Indikasi Penggunaan obat antipsikotik
Gejala-gejala diagnostic sindrom Psikotik
1. Hendaya berat dalam kemampuan daya menlai realitas, bermanisfestasi dalam gejala :
kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya nilai norma sosial (judgement)
terganggu, dan daya tilikan diri (insight) terganggu.
2. Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanisfestasi dalam gejala :
a. Gejala positif : gangguan asosiasi pikiran (inkoherensia), isi piker yang tidak
wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak
sesuai dengan situasi), perilaku yang aneh atau tidak terkendali (disorganized)
b. Gejala negattif : gangguan perasaan (afek tumpul, emosi minimal), gangguan
hubungan sosial (menarik diri), gangguan proses pikir (lambat), isi pikir yang
stereotip dan tidak isisiatif, perilaku yang sangat terbatas dan cenderung
menyendiri.
a. Antipsikosis Psikosis Generasi – I (APG-I)
Obat APG-I disebut juga antipsikotika konvensional atau tipikal. berguna terutama
untuk mengontrol gejala-gejala positif sedangkan untuk gejala negatif hampir tidak
bermanfaat. Obat-obat Tipikal yang sering di gunakan adalah Klorpromazine dan
Haloperidol.
1. Klorpromazine
Farmakodinamik. Efek farmakologik klorpromazin dan antipsikosis lainnya meliputi
efek pada susunan saraf pusat, sistem otonom, dan sistem endokrin. Efek ini terjadi karena
antipsikosis menghambat berbagai reseptor diantaranya dopamin, reseptor α-adrenergik,
muskarinik, histamin H1 dan reseptor serotonin 5HT2 dengan afinitas yang berbeda.
12
Klorpromazin misalnya selain memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin, juga memiliki
afinitas yang tinggi terhadap reseptor α-adrenergik, sedangkan risperidon memiliki afinitas
yang tinggi terhadap reseptor serotonin 5HT2 7.
Farmakokinetik. Kebanyakan antipsikosis diabsorpsi sempurna, sebagian diantaranya
mengalami metabolisme lintas pertama. Bioavabilitas klorpromazin dan tioridazin berkisar
antara 25-35%, sedangkan haloperidol mencapai 65%. Kebanyakan antipsikosis bersifat larut
dalam lemak dan terikat kuat dengan protein plasma (92-99%) 7.
Susunan Saraf Pusat. CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak acuh
terhadap rangsang dari lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi terhadap
efek sedasi. Timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional pasien sebelum minum
obat 7.
Neurologik. Pada dosis berlebihan, semua derivat fenotiazin dapat menyebabkan
gejala ekstrapiramidal serupa dengan yang terlihat pada parkinsonisme. Dikenal 6 gejala
sindrom neurologik yang karakteristik dari obat ini. Empat diantaranya biasa terjadi sewaktu
obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia, parkinsonisme dan sindrom neuroleptic
malignant, yang terakhir jarang terjadi. Dua sindrom yang lain terjadi setelah pengobatan
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, berupa tremor perioral (jarang) dan diskinesia tardif 7.
Efek Endrokrin. CPZ dan beberapa antipsikosis lama lainnya mempunyai efek
samping terhadap sistem reproduksi. Pada wanita dapat terjadi amenorea, galaktorea, dan
peningkatan libido, sedangkan pada pria dilaporkan adanya penurunan libido dan
ginekomastia. Efek ini terjadi karena efek sekunder dari hambatan reseptor dopamin yang
menyebabkan hiperprolaktinemia, serta kemungkinan adanya peningkatan perubahan
androgen menjadi estrogen di perifer. Pada antipsikosis yang batu misalnya olanzapin,
quetiapin dan aripriprazol, efek samping ini minimal karena afinitasnya yang rendah terhadap
reseptor dopamin 7.
Kardiovaskular. Hipotensi ortostatik dan peningkatan denyut nadi saat istirahat
biasanya sering terjadi dengan derifat fenotiazin. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer,
curah jantung menurun dan frekuensi denyut jantung meningkat. Efek ini diperkirakan karena
efek otonom dari obat antipsikosis. Abnormalitas EKG dilaporkan terjadi pada pemakaian
tioridazin berupa perpanjangan interval QT, abnormalitas segmen ST dan gelombang T.
Perubahan ini biasanya bersifat reversibel 7.
Sediaan. CPZ tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg. Selain itu juga tersedia
dalam bentuk larutan suntik 25 mg/ml. Larutan CPZ dapat berubah warna menjadi merah
jambu oleh pengaruh cahaya 7.
13
2. Haloperidol
Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis yang karena
hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin. Reaksi ekstrapiramidal timbul pada 80% pasien
yang diobati haloperidol 7.
Farmakodinamik. Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin. Pada orang normal,
efek haloperidol memperlihatkan antipsikosis yang kuat dan efektif untuk fase mania
penyakit manik depresif dan skizofrenia. Efek haloperidol selain menghambat efek dopamin,
juga meningkatkan turn over ratenya 7.
Farmakokinetik. Haloperidol cepat diserap di saluran cerna. Kadar puncaknya dalam
plasma tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan masih
dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam hati dan
kira-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui empedu. Ekskresi haloperidol
lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 4 hari sesudah pemberian dosis
tunggal 7.
Susunan saraf pusat. Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang
yang mengalami eksitasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat dibanding dengan CPZ.
Haloperidol dan CPZ sama kuat menurunkan ambang rangsang konvulsi. Haloperidol
menghambat sistem dopamin dan hipotalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan
oleh apomorfin 7.
Sistem kardiovaskular. Haloperidol menyebabkan hipotensi, tetapi tidak sesering dan
sehebat akibat CPZ. Haloperidol menyebabkan takikardia meskipun kelainan EKG belum
pernah dilaporkan 7.
Efek samping. Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insidens yang
tinggi, terutama pada pasien usia muda. Dapat terjadi depresi akibat reversi keadaan mania
atau sebagai efek samping yang sebenarnya. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada
wanita hamil sampai terdapat bukti bahwa obat ini tidak menimbulkan efek teratogenik 6.
Sediaan. Haloperidol tersedia dalam benttuk tablet 0,5 mg, 1,5 mg dan 5 mg7.
b. Antipsikosis Generasi -II (APG-II)
APG-II disebut juga antipsikotika baru atau atipikal. Sebaiknya skizofrenia diobati
dengan APG-II. Pemeliharaan dengan dosis rendah antipsikotika diperlukan, setelah
14
kekambuhan pertama. Dosis pemeliharaan sebaiknya diteruskan untuk beberapa tahun.Obat
APG-II bermanfaat baik untuk gejala positif maupun negatif . Beberapa Obat APG-II yang
sering di gunakan adalah Clozapine dan Resperidone yang mempunyai efek klinis yang besar
dengan efek samping yang minimal5.
1. Clozapine
Clozapine merupakan antipsikotika pertama yang efek samping ekstrapiramidalnya
dapat diabaikan. Dibandingkan dengan obat-obat generasi pertama, semua APG-II
mempunyai rasio blokade serotonin (5 hidroksitriptamin) (5-HT) tipe 2 (5-HT2) terhadap
reseptor dopamin tipe 2 (D2) lebih tinggi. Ia lebih banyak bekerja pada sistem dopamin
mesolimbik daripada striatum. Semua obat-obat baru, kecuali clozapine karena efek samping
dan butuh pemeriksaan darah tiap minggu, adalah obat pilihan pertama (first-line drug).
Sebaliknya, clozapine, efektivitasnya sudah tercapai meskipun hanya 40%-60% D2 yang
dihambat. Ada dugaan bahwa efektivitas clozapine sebagai antipsikotika di dapat karena ia
juga bekerja pada reseptor lain terutama 5-HT2A 7.
Clozapine efektif untuk mengontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang
positif (iritabilitas) maupun yang negatif (social disinterest dan incompetence, personal
neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara
bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pengobatan pasien
refrakter terhadap obat standar. Selain itu, karena efek samping ekstrapiramidal yang sangat
rendah, oobat ini cocok untuk pasien yang menunjukkan gejala ekstrapiramidal berat pada
pemberian antipsikosis tipikal. Namun karena klozapin memiliki risiko timbulnya
agranulositosis yang lebih tinggi dibandingkan antipsikosis yang lain, maka penggunaannya
dibatasi hanya pada pasien yang resisten atau tidak dapat mentoleransi antipsikosis yang lain.
Pasien yang diberi klozapin perlu dipantau jumlah sel darah putihnya setiap minggu 7.Farmakokinetik. Clozapine diabsorbsi secara cepat dan sempurna pada pemberian per oral,
kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 1,6 jam setelah pemberian obat. Klozapin secara
ekstensif diikat protein plasma (> 95%), obat ini dimetabolisme hampir sempurna sebelum
diekskresi lewat urin dan tinja, dengan waktu paruh rata-rata 11,8 jam.
Sediaan. Klozapin tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg 7.
2. Risperidon
Farmakodinamik. Risperidon yang merupakan derivat dari benzisoksazol mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2), dan aktivitas menengah terhadap
15
reseptor dopamin (D2), alfa 1 dan alfa 2 adrenergik dan reseptor histamin. Aktivitas
antipsikosis diperkirakan melalui hambatan terhadap reseptor serotonin dan dopamin 7.
Farmakokinetik. Bioavabilitas oral sekitar 70%, volume distribusi 1-2 L/kg. Di
plasma risperidon terkait dengan albumin dan alfa 1 glikoprotein. Ikatan protein plasma
sekitar 90%. Risperidon secara ekstensif di metabolisme di hati oleh enzim CYP 2D6
menjadi metabolitnya 9-hidroksirieperidon. Risperidon dan metabolitnya dieliminasi lewat
urin dan sebagian kecil lewat feses 7.
Indikasi. Indikasi risperidon adalah untuk terapi skizofrenia baik untuk gejala negatif
maupun positif. Di samping itu diindikasikan pula untuk gangguan bipolar, depresi dengan
ciri psikosis 7.
Efek samping. Secara umum risperidon dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping
yang dilaporkan adalah insomnia, agitasi, ansietas, somnolen, mual, muntah, peningkatan
berat badan, hiperprolaktinemia dan reaksi ekstrapiramidal umumnya lebih ringan dibanding
antipsikosis tipikal 7.
Tabel 2.1 Sediaan obat Antipsikosis generasi I dan II5.
Golongan ObatPotensi
Klinik
Toksisitas
ekstrapiramidal
Efek
Sedatif
Efek
hipotensi
Fenotiazin
- Alifatik
- Piperazin
Tioxanten
Butirofenon
Dibenzodiazepin
Benzisoksazol
Tienobenzodiazepi
n
Dibenzotiazepin
Dihidroindolon
Dihidrokarbostiril
Klorpromazin
Flufenazin
Thiotixene
Haloperidol
Klozapin
Risperidon
Olanzapin
Quetiapin
Ziprasidon
Aripriprazol
+ +
+ + + +
+ + + +
+ + + +
+ + +
+ + + +
+ + + +
+ +
+ + +
+ + + +
+ + +
+ + + +
+ + +
+ + + + +
+
+ +
+
+
+
+
+ + + +
+ +
+ + +
+ +
+ +
+ +
+ + +
+ + +
+ +
+
+ + +
+
+ + +
+
+ + +
+ +
+ +
+ +
+
+ +
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis yang multi episode, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit 5 tahun. Pemberian yang cukup lama ini
dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali. Efek obat antipsikosis secara relatif
16
berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis.
Sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan. Biasanya satu
bulan kemudian baru gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali. Hal ini disebabkan
metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai
keaktifan antipsikosis 8.
c. Antipsikosis Long Acting Injection
Obat anti-psiksosis “long acting” (Fluphenazine Decanoat 24 mg/cc atau Haloperidol
Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2-4 minggu, sangat berguna untuk pasien yang tidak mau atau
sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai
dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian baru ditingkatkan menjadi 1 cc
setiap bulan 7. Dari hasil penelitian penatalaksanaan jangka panjang pada pasien skizofrenia
di Canada menunjukkan bahwa pasien yang diberikan antipsikosis long acting injeksi
menunjukkan perbaikan klinis signifikan, perbaikan fungsi sosial dan menurunkan
hospitalisasi pasien 9.
C. Efek samping dan obat yang di gunakan untuk mengatasi efek samping dari
Antipsikotik
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat antipsikotik adalah sebagai berikut8:
1. Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun)
2. Gangguan otonomik hipotensi, antikolinergik/parasimpatololitik, mulut kering, kesulitan
defekasi, mata kabur, gangguan irama jantung
3. Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson: tremor,
bradikinesia, rigiditas)
4. Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynecomastia), metabolik (jaundice), hematologik
(agranulositosis) biasanya pada pemakaian jangka panjang.
Bila terjadi efek samping sindrom ekstra piramida seperti distonia akut, akhitasia atau
parkinsonism, biasanya terlebih dhuu di lakukan penurunan dosis dan bila tidak dapat di
tanggulangi di berikan obat-obat antikolinergik seperti triheksifinidil, benztropin, sulfas
atropine atau definhidramin, yang paing sering di gunakan adalah triheksilfenidin dengan
dosis 3 kali 2 mg per hari. Jika tetap tidak berhasil mengatasi efek samping tersebut maka di
saranan untuk mengganti jenis anti psikotik lainnya8.
17
D. Interaksi Obat
1. Antipsikosis + atipsikosis = potensiasi efek samping dan tidak ada bukti lebih efektif.
2. Antipsikosis + antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik meningkat
3. Antipsikosis + antianxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus dengan
gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat
4. Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan serangan
kejang meningkat. Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah
haloperidol
5. Antipsikosis + antasida = efektifitas antipsikosis menurun karena gangguan absorbsi
E. Terapi Psikososial.
1. Terapi Perilaku.
Terapi psikososial mencakup berbagai metoode untuk meniingkatkan kemampuan
sosial, kecukupan diri, keterampilan praktis, dan komunikasi interpersonal pada pasien
skizofrenia. Tujuannya adalah memungkinkan seseorang yang sakit parah untuk
meningkatkan ketterampilan sosial, kemampuaan sosial dan keterapmpilan pekerjaan untuk
kehidupan mandiri. Penanganan semacam ini dilaksanakan di berbagai tempat yaitu, rumah
sakit, klinik rawat jalan, pusat kesehatan jiwa, dan rumah atau klub sosial.
Latihan keterampilan perilaku (behavioral skills training) sering kali dinamakan
terapi keterampilan sosial (social skills therapy), terlepas dari namanya, terapi dapat secara
langsung membantu dan berguna bagi pasien dan merupakan tambahan alami bagi terapi
farmakologis. Di samping gejala personal dari skizofrenia, beberapa gejala skizofrenia yang
paling terlihat adalah menyangkut hubungan pasien dengan orang lain, termasuk kontak mata
yang buruk, keterlambatan respons yang tidak lazim, ekspresi wajah yang aneh, tidak adanya
spontanitas dalam situasi sosial, dan persepsi yang tidak akurat atau tidak adanya persepsi
emosi terhadap orang lain. Perilaku tersebut secara spesifik dipusatkan di dalam latuhan
keterampilan perilaku. Latihan keterampilan perilaku melihatkan penggunaan kaset video
orang lain dan pasien, permainan simulasi (role playing) dalam terapi, dan pekerjaan rumah
tentang keterampilan yang telah dilakukan 1.
2. Terapi berorientasi keluarga.
18
Terapi ini seyogya nya difokuskaan pada situasi saat ini dan sebaiknnya mencaku
identifikasi dan penghindaran situasi yang berpotensi menyusahkan. Ketika benar-benar
timbul masalah dengan pasien pada keluarga tersebut tujuan terapi sebennernya adalah
menyelesaikan masalah tersebut secepatnya.Berbagai terapi berorientasi keluarga cukup
berguna dalam pengobatan skizofrenia. Karena pasien skizofrenia sering kali dipulangkan
dalam keadaan remisi parsial, keluarga di mana pasien skizofrenia kembali sering kali
mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat tetapi intensif (setiap hari). Pusat dari
terapi harus pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasi dan menghindari situasi
yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Jika masalah memang timbul pada pasien di
dalam keluarga, pusat terapi harus pada pemecahan masalah secara cepat.
Tabel 2.2 Tujuan dan Perilaku Sasaran untuk Terapi Keterampilan sosial 1.
Fase Tujuan Perilaku Sasaran
Stabilitasi dan penilaian
Kinerja sosial dalam
keluarga
Persepsi soaial dalam
keluarga
Hubungan di luar keluarga
Pemeliharaan
Menegakkan ikatan terapeutik
Menilai kinerja sosial dan
keterampilan persepsi
Menilai perilaku yang
memprovokasi emosi yang
diekspresikan
Mengekspresikan perasaan
positif dalam keluarga
Mengajarkan strategi efektif
untuk menghadapi konflik
Mengidentifikasi isi, konteks,
dan arti pesan secara benar
Meningkatkan keterampilan
sosial
Meningkatkan keterampilan
perakejuruan dan kejuruan
Generalisasi keterampilan ke
dalam situasi baru
Empati dan rapport
Komunikasi verbal dan
nonverbal
Kepatuhan, penghargaan, minat
pada yang lain
Respons menghindar terhadap
kritik, menyatakan kesukaan
dan penolakan
Membaca pesan
Melabel suatu gagasan
Meningkatkan maksud orang
lain
Keterampilan bercakap-cakap
Bersahabat
Aktivitas rekresional
Wawancara kerja, kebiasaan
kerja
F. Perawatan Skizofrenia di Rumah
19
Lingkungan dan keluarga mempunyai andil yang besar dalam mencegah terjadinya
kekambuhan pada penderita dengan gangguan, oleh karena itu pemahaman keluarga
mengenai kondisi penderita serta kesediaan keluarga dan lingkungan menerima penderita apa
adanya dan memperlakukannya secara manusiawi dan wajar merupakan hal yang mendasar
dalam mencegah kekambuhan penderita..
Beberapa hal yang perlu di perhatikan oleh keluarga dan lingkungan dalam merawat
penderita gangguan jiwa di rumah:
1. Memberikan kegiatan/kesibukan dengan membuatkan jadwal sehari-hari.
2. Berikan tugas yang sesuai dengan kemampuan penderita dan secara bertahap tingkatkan
sesuai perkembangan
3. Menemani dan tidak membiarkan penderita sendiri saat melakukan kegiatan, mis: makan
bersama, reksreasi bersama, bekerja bersama.
4. Minta keluarga dan teman menyapa saat bertemu penderita dan jangan mendiamkan
penderita berbicara sendiri
5. Mengajak dan mengikut sertakan penderita dalam kegiatan bermasyarakat misal; kerja
bakti
6. Berikan pujian yang realitas terhadap keberhasilan penderita atau dukungan untuk
keberhasilan sosial penderita
7. Mengontrrol dan mengingatkan dengan cara yang baik dan empati untuk selalu minum
obat untuk prinsip benar, benar nama obat, benar dosis, benar cara pemberian.
8. Mengenali adanya tanda-tanda kekambuhan seperti: suit tidur, bicara sendiri, marah-
marah, senyum sendiri, menyendiri, murung , bicara kacau.
9. Kontrol suasana lingkungan yang dapat memancing terjadinya marah.
g. Pelatihan keterampian sosial
Terapi ini secara langsung dapat beguna untuk pasien dengan terapi faarmakologis.
Selain gejala yang tampak pada skizofrenia, beberapa gejala yang palingjelas terlihat
melibatkan hubungan oraang tersebut dengan orang lain, termasukkontak mata yang buruk,
keterlambatan respon yang tidakk azim, eekspresi wajah yang aneh, kurangnya spontannitas
dalam situasi sosial, serta persepsi yang tidak akurat atau kurangnyaa persepsi emosi pada
orang lain. Pelatihan keterampilan sosial telah terbukti mmengurangi angka relaps
sebagaimana yang telah tterukur melaluii kebutuhan rawat inap.
2.1.7 Prognosis
20
Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronis. Pasien secara berangsur-
angsur menjadi semakin menarik diri, dan tidak berfungsi setelah bertahun-tahun. Pasien
dapat mempunyai waham dengan taraf ringan dan halusinasi yang tidak begitu jelas (samar-
samar). Sebagian gejala akut dan gejala yang lebih dramatik hilang dengan berjalannya
waktu, tetapi pasien seccara kronis membutuhkan perlindungan atau menghabiskan waktunya
bertahun-tahun di dalam rumah sakit jiwa.
Keterlibatan dengan hukum untuk pelanggaran ringan kadang-kadang terjadi
(misalnya, menggelandang, menggangu keamanan) dan sering dikaitkan dengan
panyalahgunaan zat. Sebagian kecil pasien menjaddi demensia. Secara keseluruhan harapan
hidupnya pendek, terutama akibat kecelakaan, bunuh diri, dan ketidakmampuannya merawat
diri.
Sebelumnya, skizofrenia dibedakan antara skizofrenia proses (terjanya berangsur-
angsur, perjalanannya kronis deteriorasi) dan skizofrenia reaktif (awitan cepat, prognosis
lebih baik). Selain itu, skizofrenia juga dibedakan dengan gejala positif (halusinasi, waham,
perilaku aneh dll) yang biasanya berespons terhadap antipsikoti konvensional dan gejala
negatif (afek datar, miskin pembicaraan, anhedonia, penarikan diri dari sosial, dll) yang tidak
berespon terhadap antipsikotik konvensional (berespon lebih baik terhaddap obat-obat
antipsikotik baru)
Gambaran klinis yang dikaitkan dengan prognosis baik yaitu :
1. Awitan gejala-gejala psikotik aktif terjadi secara mendadak
2. Awitan terjadi setelah umut 30 tahun, terutama pada perempuan
3. Fungsi pekerjaan dan sosia premorbid (sebelum sakit) baik. Performa sebelumnya
tetap merupakan pressiktor terbaik untuk meramalkan performa di masa depan.
4. Kebingungan sangat jelas dan gambaran emosi menonjol, selama episode akut (gejala
positif) beberapa hal yang perlu ditanyakan yaitu :
a. Kemungkinan adanya suatu stress yang mempersipitasi psikosi akut dan tidak
ada bukti gangguan susunan saraf pusat (SSP)
b. Tidak ada riwayat keluarga yang menderita skizofrenia
Bentuk skizofrenia reaktif dan skizofrenia proses mungkin secara etiologi berbeda.
Meskipun ada veriabilitas yang besar, tipe disorganisasi secara umum mempunyai prognosis
yang buruk, tetapi tipe paranoid mempunyai prognosis baik. Prognosis menjadi lebih buruk
bila pasien menyalahgunakan zat atau hidup dalam keluarga yang tak harmonis.
BAB III
21
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
1. Gejala dan tanda yang terpenting dari skizofrenia adalah adanya campuran dari dua
karakteristik (baik gejala positif maupun gejala negatif).
2. Skizofrenia sering memperlihatkan campuran gejala-gejala antara lain gangguan
proses pikir dan isi pikir, gangguan persepsi, gangguan emosi, gangguan perilaku dan
tilikan diri yang buruk.
3. Untuk penegakan diagnosis Skizofrenia harus ada sedikitnya satu gejala gangguan isi
pikir yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang
tajam atau kurang jelas) atau paling sedikit dua gejala berupa gangguan persepsi
(halusinasi), gangguan perilaku dan gejala-gejala negatif.
4. Penatalaksanan skizofrenia tidak hanya berfokus pada terapi somatik atau terapi obat-
obatan tetapi juga berfokus pada terapi psikososial.
5. Skizofrenia diobati dengan antipsikotika (AP). Antipsikotika generasi 1 (APG-1) dan
antipsikotika generasi II (APG-II). Obat APG-I disebut juga antipsikotika
konvensional atau tipikal sedangkan APG-II disebut juga antipsikotika baru atau
atipikal. Sebagian besar pasien skizofrenia mendapatkan manfaat dari pemakaian
kombinasi pengobatan antipsikotik dan psikososial.
6. Terapi psikososial mempengaruhi proses perbaikan dan peningkatan kualitas hidup
pasien skizofrenia. Beberapa terapi psikososial yang dapat dilakukan adalah terapi
perilaku, terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok.
3.2 Saran
Dalam penegakan diagnosis skizofrenia harus benar-benar mencakup gejala dan tanda
khas pada skizofrenia. Biasanya gejala negatif skizofrenia sering kali tidak diperhatikan
karena tidak terlalu menonjol pada pasien. Selain itu perlu adanya integrasi antara terapi
biologis atau terapi obat-obatan antipsikotika dengan terapi psikososial secara cermat demi
perbaikan dan peningkatan kualitas hidup pasien skizofrenia.
DAFTAR PUSTAKA
22
1. Kaplan & Sadock. 2010. Buku Ajar Psikiatri klinis. Jakarta: EGC
2. Utama H. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
3. Depkes RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia
III, Cetakan pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I Direktorat Jendral
Pelayanan Medik.
23