BAB II Skizofrenia

36
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Skizofrenia yang paling sering ditemukan pada kasus kedokteran jiwa, hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka yang biasanya bermula di bawah usia 25 tahun dan mengenai orang dari semua kelas sosial. Baik pasien maupun keluarga sering mendapatkan pelayanan yang buruk dan pengasingan sosial karena keridaktauan yang luas tentang gangguan ini. Skizofrenia didiskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit tunggal namun kategotik diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan, mungkin engan kausa yang heterogen, tapi dengan gejala prilaku yang sedikit banyak sama. Setiap pasien skizofrenian memiliki respon dalam pengobatan yang berbeda- beda.Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 %; konsisten dengan angka tersebut, penelitian EpidemologicalCatchment Area (ECA) yang disponsori oleh National Institue of Mental Helath (NIHM) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 1,3% 1 . Di indonesia penderita dengangangguan jiwa jumlahnya mengalami peningkatan terkait dengan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia, mulai dari kondisi perekonomian yang memburuk, kondisi keluarga atau latar belakang atau pola asuh anak yang tidak baik sampai bencana alam yang melanda negara kita. Kondisi seperti ini 1

Transcript of BAB II Skizofrenia

Page 1: BAB II Skizofrenia

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Skizofrenia yang paling sering ditemukan pada kasus kedokteran jiwa, hampir 1%

penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka yang biasanya bermula di

bawah usia 25 tahun dan mengenai orang dari semua kelas sosial. Baik pasien maupun

keluarga sering mendapatkan pelayanan yang buruk dan pengasingan sosial karena

keridaktauan yang luas tentang gangguan ini.

Skizofrenia didiskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit tunggal namun kategotik

diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan, mungkin engan kausa yang heterogen, tapi

dengan gejala prilaku yang sedikit banyak sama. Setiap pasien skizofrenian memiliki respon

dalam pengobatan yang berbeda-beda.Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia seumur

hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 %; konsisten dengan angka

tersebut, penelitian EpidemologicalCatchment Area (ECA) yang disponsori oleh National

Institue of Mental Helath (NIHM) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 1,3%1.

Di indonesia penderita dengangangguan jiwa jumlahnya mengalami peningkatan

terkait dengan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia, mulai dari

kondisi perekonomian yang memburuk, kondisi keluarga atau latar belakang atau pola asuh

anak yang tidak baik sampai bencana alam yang melanda negara kita. Kondisi seperti ini

dapat menimbulkan masalah-masalah psikososial maupun ekonomi, maka adakecenderungan

seseorang untuk mengalami skizofrenia2. Orang yang mengalami skizofrenia berarti

kesehatan jiwanya terganggu, padahal kesehatan jiwa adalah salah satu unsur kehidupan yang

terpenting3.

Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda.

Skizofrenia merupakan penyakit keronik. Sebagian kecil darikehidupan mereka berada dalam

kondisi akut dan sebagian besar berada lebih lama (bertahun-tahun) dalam fase residual yaitu

fase yang memperlihatkan gejala yang ringan. Selama fase residual, mengisolasi diri dan

aneh, gejala penyakit biasanya terlihat jelas oleh prang lain. Gangguan skizotipal memiliki

banyak ciri khas dari gangguan skizofrenik dan mungkin berkaitan secara genetik dengan

skizofrenia, namun demikian, halusinasi, waham dan gangguan perilaku yang besar dari

skizofrenia. Gangguan skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang

mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar atau tumpul 4.

1

Page 2: BAB II Skizofrenia

Penanganan pasien skizofrenia dibagi secara garis besar menjadi, terapi biologik atau

obat anti psikotik, terapi psikososial, dan perawatan rumah sakit. Walaupun pengobatan

antipsikotik merupakan inti dari pengobatan skizofrenia, penelitian telah menemukan bahwa

intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis. Modalitas psikososial harus

diintegrasikan secara cermat ke dalam regimen terapi obat dan harus mendukung regimen

tersebut. Sebagian besar pasien skizofrenia mendapatkan manfaat dari pemakaian kombinasi

pengobatan antipsikotik dan psikososial1.

I.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas tentang gejala klinis dan penatalaksanaan Skizofrenia baik

secara terapi biologikmaupun terapi psikososial.

I.3 Tujuan

1. Sebagai referensi untuk menambah sumber bacaan mengenai penatalaksanaan

Skizofrenia

2. Sebagai pembelajaran untuk penatalaksanaan Skizofrenia.

2

Page 3: BAB II Skizofrenia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skizofrenia

2.1.1 Definisi

Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat kronis atau kambuh dengan

terdapatnya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi, dan perilaku pasien yang terkena.

Perpecahan pada pasien digambarkan dengan adanya gejala fundamental (atau primer) yang

spesifik, yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan gangguan asosiasi, serta gejala lainnya

yaitu gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi. Sedangakan gejala sekundernya adalah

waham dan halusinasi.1

Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa yang memiliki karakteristik khusus.

Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III, definisi skizofrenia

dijelaskan sebagai gangguan jiwa yang ditandai dengan distorsi khas dan fundamental dalam

pikiran dan persepsi yang disertai dengan adanya afek yang tumpul atau tidak wajar.3

2.1.2 Etiologi

Adapun teori-teori etiologi skizofrenia antara lain:1

a. Model diatesis-stres

Teori ini menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan lingkungan

yang secara khusus mempengaruhi diri seseorang sehingga dapat menyebabkan

berkembangnya gejala skizofrenia. Dimana ketiga faktor tersebut saling berpengaruh

secara dinamis.

b. Neurobiologi

Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamin yang menyatakan bahwa

skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang berlebihan di bagian kortikal

otak, dan berkaitan dengan gejala pasotif skizofrenia. Selain itu juga terdapat

peningkatan neurotransmitter lainnya seperti serotonin, norepinefrin, GABA,

glutamat. Selain itu pada penelitian lainnya mengindikasikan adanya peran

patofisiologis area otak tertentu, termasuk sistem limbik , korteks frontal, serebelum,

dan ganglia basalis. Keempat area ini saling berhubungan sehingga disfungsi satu area

dapat melibatkan proses patologi primer ditempat lain. Pencitraan otak manusia hidup

dan pemeriksaan neuropatologi jaringan otak posmortem menyatakan sistem limbik

3

Page 4: BAB II Skizofrenia

sebagai lokasi potensial proses patologi primer pada setidaknya beberapa bahkan

mungkin sebagian besar pasien skizofrenia.

c. Faktor genetik

Serangkaian studi genetik secara meyakinkan mengemukakan bahwa adanya

komponen genetik dalam pewarisan sifat skizofrenia. Adapun prevalensi skizofrenia

pada populasi umum yaitu 1%, pada saudara kandung bukan kembar pasien

skizofrenia prevalensinya 8%, pada anak dengan salah satu orang tua penderita

skizofrenia prevalensinya 12%, pada kembaran dizigotik pasien skizofrenia 12%,

pada anak yang kedua orang tuanya menderita skizofrenia 40%, dan pada kembar

monozigot pasien skizofrenia sebesar 47%.

d. Faktor psikososial

Teori perkembangan

Ahli teori Sullivan dan Erikson mengemukakan bahwa kurangnya perhatian yang

hangat dan penuh kasih sayang di tahun-tahun awal kehidupan berperan dalam

menyebabkan kurangnya identitas diri, salah interpretasi terhadap realitas dan

menarik diri dari hubungan sosial pada penderita skizofrenia.

Teori belajar

Menurut para ahli teori pembelajaran, anak yang dikemudian hari menderita

skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berpikir irasional dengan cara meniru

orang tua yang memiliki masalah emosional yang signifikan. Hubungan

interpersonal yang buruk pada orang tua dengan skizofrenia muncul akibat model

pembelajaran yang buruk selama masa kanak-kanak.

Teori keluarga

Tidak ada bukti dengan kontrol yang baik yang mengidentifikasikan bahwa

terdapat suatu pola keluarga khusus yang memainkan peran kausatif dalam

timbulnya skizofrenia. Namun beberapa pasien skizofrenia memang berasal dari

keluarga yang disfungsional.

Teori sosial

Sejumlah teori menyatakan bahwa industrialisasi dan urbanisasi terlibat dalam

penyebab skizofrenia. Walaupun beberapa data yang mendukung teori ini, stres

tersebut kini dianggap memiliki efek utama terhadap waktu munculnya awitan dan

keparahan penyakit.

2.1.3 Klasifikasi

4

Page 5: BAB II Skizofrenia

Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, pasien harus memenuhi kriteria DSM-IV

atau ICD X. Berdasarkan DSM-IV yaitu:2

1. Berlangsung paling sedikit 6 bulan

2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna yaitu dalam bidang pekerjaan, hubungan

interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi.

3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode tersebut.

4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood mayor,

autisme, atau gangguan organik.

Semua pasien skizofrenia sebaliknya digolongkan kedalam salah satu dari sub tipe

yang telah disebutkan di atas. Subtipe ditegakkan berdasarkan atas manifestasi

perilaku yang paling menonjol.

Tipe Paranoid

Tipe ini paling stabil dan paling sering. Awitan subtipe ini biasanya terjadi lebih

belakangan bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk skizofrenia lain. Gejala terlihat sangat

konsisten, sering paranoid, pasien dapat atau tidak bertindak sesuai wahamnya. Pasien sering

tak kooperatif dan sulit untuk mengadakan kerjasama, mungkin agresif, marah, atau

ketakutan, tetapi pasien jarang sekali memperlihatkan perilaku inkoheren atau disorganisasi.

Waham dan halusinasi menonjol sedangkan afek dan pembicaraan hampir tidak terpengaruh.

Beberapa contoh gejala paranoid yang sering ditemui:2

a. Waham kejar, rujukan, kebesaran, waham dikendalikan, dipengaruhi, dan cemburu.

b. Halusinasi akustik berupa ancaman, perintah, atau menghina.

Tipe Disorganisasi

Skizofrenia tipe disorganisasi atau hebefrenik ditandai dengan regresi nyata ke

perilaku primitif, tak terinhibisi, dan kacau serta dengan tidak adanya gejala yang memenuhi

kriteria tipe katatonik. Awitan subtipe ini muncul sebelum usia 25 tahun. Pasien hebefrenik

biasanya aktif namun dalam sikap yang nonkonstruktif dan tak bertujuan.1

Gejala-gejala tipe disorganisasi antara lain yaitu:2

a. Afek datar, tumpul atau tak serasi

b. Sering inkoheren

c. Waham tak sistematis

d. Perilaku disorganisasi seperti menyeringai dan manerisme (sering ditemui)

5

Page 6: BAB II Skizofrenia

Tipe Katatonik

Pasien mempunyai paling sedikit satu dari (atau kombinasi) beberapa bentuk

katatonia, yaitu:2

1. Stupor katatonik atau mutisme yaitu pasien tidak berespons terhadap lingkungan atau

orang. Pasien menyadari hal-hal yang sedang berlangsung di sekitarnya.

2. Negativisme katatonik yaitu pasienn melawan semua perintah-perintah atau usaha-

usaha untuk menggerakkan fisiknya.

3. Rigiditas katatonik yaitu psien secara fisik sangat kaku atau rigid.

4. Postur katatonik yaitu pasien mempertahankan posisi yang tak biasa atau aneh.

5. Kegembiraan katatonik yaitu pasien sangat aktif dan gembira. Mungkin dapat

mengancam jiwanya.

Tipe Tak Terinci

Pasien mempunyai halusinasi, waham, dan gejal-gejala psikosis aktif yang menonjol

(misalnya: kebingungan, inkoheren) atau memenuhi kriteria skizofrenia tetapi tidak

digolongkan pada tipe paranoid, katatonik, hebefrenik, residual, dan depresi pasca

skizofrenia.2

Tipe Residual

Pasien dalam keadaan remisi dari keadaan akut tetapi msih memperlihatkan gejala-

gejala residual (penarikan diri secara sosial, afek datar atau tak serasi, perilaku eksentrik,

asosiasi melonggar, atau pikiran tak logis).2

2.1.4 Manifestasi klinis

Berdasarkan DSM-IV, ciri yang terpenting dari skizofrenia adalah adanya campuran

dari dua karakteristik (baik gejala positif maupun gejala negatif). Secara umum, karakteristik

gejala skizofrenia, dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu :1

1) Gejala Positif

Gejala positif adalah tanda yang biasanya pada orang kebanyakan tidak ada, namun

pasien skizofrenia jusru muncul. Gejala positif adalah gejala yang bersifat aneh, antara lain

berupa delusi, halusinasi, ketidakteraturan pembicaraan, dan perubahan perilaku.1

2) Gejala Negatif

6

Page 7: BAB II Skizofrenia

Gejala Negatif adalah menurunnya atau tidak adanya perilaku tertentu, seperti

perasaan yang datar (afek mendatar atau menumpul), miskin bicara (alogia) atau isi bicara,

bloking, kurang merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara sosial.1

Skizofrenia sering memperlihatkan campuran gejala-gejala di bawah ini:2

A. Gangguan pikiran

1. Gangguan proses pikir

Pasien biasanya mengalami gangguan proses pikir. Pikiran mereka sering tidak

dimengerti oleh orang lain dan terlihat tidak logis. Tanda-tandanya adalah:

Asosiasi longgar : ide pasien sering tidak menyambung (terjadi keseimbangan

penyampaian dari satu ide ke ide lain). Ide tersebut seolah dapat melompat dari topik

ke topik lain yang tak berhubungan sehingga membingungkan pendengar.

Pemasukan berlebihan : arus pikiran pasien secara terus menerus mengalami

gangguan karena pikirannya sering dimasuki informasi yang tidak relevan

Neologisme : pasien menciptakan kat-kata baru (yang bagi mereka mungkin

mengandung arti simbolik)

Terhambat : pembicaraan tiba-tiba berhenti (sering pada pertengahan kalimat) dan

disambung kembali beberapa saat kemudian, biasanya dengan topik yang lain. Ini

dapat menunjukkan bahwa ada interupsi. Biasanya pikiran-pikiran lain masuk

kedalam ide pasien. Perhatian pasien sering sangat mudah teralih dan jangka waktu

atensinya singkat.

Ekolalia : pasien mengulang kat atau kalimat yang baru saja diucapkan oleh

seseorang.

Konkritisasi : Pasien dengan IQ rata-rata normal atau lebih tinggi, sangat buru

kemampuan berpikir abstraknya.

Alogia : pasien berbicara sangat sedikit tetapi bukan disebabkan oleh resistensi yang

disengaja ( miskin pembicaraan) atau dapat berbicara dalam jumlah normal tetapi

sangat sedikit ide yang disampaikan.

2. Gangguan isi pikir

Pada gangguan isi pikir yaitu adanya waham. Waham sering ditemui pada gangguan

jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada

skizofrenia. Contoh waham yang sering ditemui adalah waham kejar, waham

kebesaran, waham rujukan, waham penyiaran pikiran, waham penyisipan pikiran.

B. Tilikan

7

Page 8: BAB II Skizofrenia

Kebanyakan pasien skizofrenia mengalami pengurangan tilikan yaitu pasien tidak

menyadari penyakitnya serta kebutuhannya terhadap pengobatan, meskipun gangguan

yang ada pada dirinya dapat dilihat oleh orang lain.

C. Gangguan Persepsi

1. Halusinasi

Halusinasi paling sering ditemui, biasanya berbentuk pendengaran tetapi bisa juga

berben pengelihatan, perabaan, penciuman.

2. Ilusi dan depersonalisasi

Pasien juga dapat mengalami ilusi atau depersonalisasi. Ilusi yaitu adanya

misinterpretasi panca indera terhadap objek. Depersonalisasi yaitu adanya persaan

asing terhadap diri sendiri. Derealisasi yaitu adanya perasaan asing terhadap lingkungan

sekitarnya misalnya dunia terlihat tidak nyata.

D. Gangguan emosi

Pasien skizofrenia dapat memperlihatkan berbagai emosi dan dapat berpindah dari satu

emosi ke emosi lain dalam jangka waktu singkat. Ada tiga afek dasar yang sering:

1. Afek tumpul atau datar : ekspresi emosi pasien sangat sedikit bahkan ketika afek

tersebut seharusnya di ekspresikan. Pasien tidak menunjukkan kehangatan.

2. Afek tak serasi : afeknya mungkin bersemangat atau kuat tetapi tidak sesuai dengan

pikiran dan pembicaraan pasien.

3. Afek labil : dalam jangka pendek terjadi perubahan afek yang jelas.

E. Gangguan perilaku

Berbagai perilaku tak sesuai atau aneh dapat terlihat seperti gerakan tubuh yang aneh ,

wajah dan menyeringai, perilaku ritual, sangat ketolol-tololan, agresif, dan perilaku

seksual yang tidak pantas. Sebagian besar pasien-pasien skizofrenia yang dalam keadaan

remisi dapat memperlihatka tanda-tanda awal kekambuhan.

2.1.5 Diagnosis

Harus ada sedikitnya satu gejala berikut yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau

lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):3

Thought echo (isi fikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam

kepalanya, dan isi fikiran ulangan walaupun isinya sama namun kualitasnya berbeda);

atau

8

Page 9: BAB II Skizofrenia

Thought insertion or withdrawal: Isi fikiran yang asing dari luar masuk kedalam

fikirannya atau isi fikirnya di aambil oleh sesuatu dari luar; dan

Thought broadcasting: isi fikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umumnya

mengetahuinya.

Delusion of control: waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu

dari luar; atau

Delusion of influence: waham tentang dirinya di pengaruhi oleh suatu kekuatan

tertentu dari luar; atau

Delusional perception: Pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat

khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat

Halusinasi auditorik ; suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus

terhadap perilaku pasien atau mendiskusikan perihal psien diantara mereka sendiri

Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak

wajar dan sesuatu yang mustahil.

Atau paling sedikit 2 gejala di bawah ini yang harus ada secara jelas:

Halusinasi yang menetap dari panca indera

Arus fikir yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat inkoherensi atau

pembicaraan yang tidak relevan

Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu, atau

fleksibilitas korea, mutisme, dan stupor

Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan respons

emosionaal yang menumpul dan tidak wajar biasanya penarikan diri dari pergaulan

social dan menurunnya kinerja social, tetapi harus jelas tidak di sebabkaan karena

depresi

Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung dalam kurun waktu satu

bulan atau lebih dan harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu

keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai

hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri,

dan penarikan diri secara sosial.3

2.1.6 Diagnosis Banding

9

Page 10: BAB II Skizofrenia

Skizofrenia harus dibedakan dengan semua kondisi yang menimbulkan psikosis aktif.

Semua kemungkinan-kemungkinan harus dengan hati-hati disisihkan misalnya, gangguan

skizoafektif, gangguan afektif berat, dan ssemua kondisi organic yang sangat mirip dengan

skizofrenia, misalnya stadium awal Khorea Huntington, stadium awal penyakit Wilson,

epilepsi lobus temporalis, tumor lobus temporalis atau frontalis, stadium awal multiple

sclerosis dan sindrom lupus eritomatosis, porfilia, paresis umum, penyalahgunaan zatyang

kronik, dan halusinasi alkoholik kronik.

2.1.7 Tatalaksana

A. PengobatanTerapi Biologis

Farmakoterapi

Pengobatan antipsikotik, yang diperkenalkan awal tahun 1950-an, telah merevolusi

penanganan skizofrenia. Kurang lebih dua sampai empat kali lipat pasien mengalami relaps

bila diobati dengan placebo dibandingkan mereka yang diobati dengan obat antipsikotik.

Namun, obat-obat ini hanya mengatasi gejala gangguan dan tidak menyembuhkan

skizofrenia. Obat antipsikotik mencakup dua kelas utama, antagonis reseptor dopamine dan

antagonis serotonin dopamine.

Antagonis Reseptor Dopamin.

Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia, terutama dalam

gejala positif. Obat ini memiliki dua kekurangan utama dalam pengobatan skizofrenia.

Pertama, hanya sebagian kecil (kemungkinan persentase 25%) dapat memulihkan fungsi

mental secara bermakna. Tercatat bahwa hamper 50% pasien yang menjalanin pengobatan

masih tetap terganggu dalam hidupnya dengan gejala-gejala dari skizofrenia tersebut. Kedua,

antagonis reseptor dopamin dikaitkan dengan adanya efeksamping yang sangat menggangu

dan serius. Efek samping yang paling menggangu adalah akatisia dan gejala lir-parkinsonian

berupa rigiditas dan tremor.

Antagonis Serotonin Dopamin.

10

Page 11: BAB II Skizofrenia

Antagonis serotonin dopamin memiliki efek samping ekstrapiramida yang minimal

atau bisa tidak ada, berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda dibandingkan

antipsikotik standar, dan mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun glutamate. Obat ini

juga memeiliki efek samping neurologis dan endokrinologis yanglebih sedikit dan lebih

efektif dalam menanggulangi gejala negative skizofrenia, contohnya penarikan diri. Obat ini

lebih efektif ddibandingkan dengan obat antagonis reseptor dopamin. Golongan ini juga

memiliki efektifitas yang sama dengan obat golongan antagonis reseptor dopamin dalam

menanggulangi gejala positif skizofrenia dan memiliki efek samping ekstrapiramida yang

lebih sedikit. Beberapa sediaan yang telah disetujui antara lain klozapin, risperion, olanzarin,

sertindol, kuetiapin dan ziprasidon.

Prinsip terapeutik

Penggunaan obat antipsikotik pada skizofrenia mengikuti lima prinsip utama

1. Klinisi sebaiknya secara cermat menentukan gejala yang akan diobati

2. Obat antipsikotik yang telah bekerja dengan baik bagi pasien sebaiknya diberikan

kembali. Bila tidak ada informasi seperti itu, pilihan antipsikotik didasarkan padda

efek samping. Data yang tersedia mengindikasikan SDA mungkin menawarkan profil

yang efek samping superior serta kemanjuran yang superior.

3. Lama minimum percobaan antipsikotik adalah 4 sampai 6 minggu pada dosis adekuat.

Bila percobaan tidak berhasil, obat antipsikotik berbeda biasanya ddari kelas berbeda

dapay dicoba. Mesti demikian reaksi tidak menyenangkan pada pasien pada dosis

pertama obat antipsikotik secara kuat berkorelasi dengan respon buruk dan

ketidakpatuhan di masa depan. Pengalaman negative dapat mencakup perassan

negative subjektif yang ganjil, sedasi berlebihan, atau reaksi distonik akut. Bila

teramati ada reaksi awal yang negative dan parah , klinisi dapat mempertibangkan

pindah ke obat antipsikotik lain dalam waktu 4 minggu.

4. Secara umum, penggunaan lebih dari 1 obat antipsikotik dalam 1 waktu adalah jarang

kalaupun pernah diindikasikan pada psien yang resisten pengobatan kombinasi

antipsikotik dengan obat antipsikotik lain.

5. Pasien dissarankan mempertahankan dosis obat yang efektif serendah mungkin yang

digunakan untuk mengendalikan episode gejala psikotik.

Sebaiknya skizofrenia diobbati dengan APG-II dengan kisaran dosis ekuivalen

klopromazin 300-600 mg per hari atau kadang-kadang lebih. Pemeliharaaan dengan dosis

11

Page 12: BAB II Skizofrenia

rendah diperlukan, setelah kekambuhan pertama. Dosis pemeliharaan dianjurkan

diteruskanuntuk beberapa tahun.

Obat APG-I digunakan terutama untuk mengkotrol gejala-gejala positif sedangkan

untuk gejala negatif hampit tidak bermakna. Sedangkan obat APG-II bermanfaat untuk gejala

positif maupun negatif. Standar emas baru adalah APG-II. Meskipun harganya mahal tetapi

manfaatnya sangat besar. Pilihlah APG-II yang efektif dan efksamping yang lebih ringan dan

ddapat digunakan secara aman tanpa memerlukan pemantauan jumlah sel darah putih setiap

minggu.

Indikasi Penggunaan obat antipsikotik

Gejala-gejala diagnostic sindrom Psikotik

1. Hendaya berat dalam kemampuan daya menlai realitas, bermanisfestasi dalam gejala :

kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya nilai norma sosial (judgement)

terganggu, dan daya tilikan diri (insight) terganggu.

2. Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanisfestasi dalam gejala :

a. Gejala positif : gangguan asosiasi pikiran (inkoherensia), isi piker yang tidak

wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak

sesuai dengan situasi), perilaku yang aneh atau tidak terkendali (disorganized)

b. Gejala negattif : gangguan perasaan (afek tumpul, emosi minimal), gangguan

hubungan sosial (menarik diri), gangguan proses pikir (lambat), isi pikir yang

stereotip dan tidak isisiatif, perilaku yang sangat terbatas dan cenderung

menyendiri.

a. Antipsikosis Psikosis Generasi – I (APG-I)

Obat APG-I disebut juga antipsikotika konvensional atau tipikal. berguna terutama

untuk mengontrol gejala-gejala positif sedangkan untuk gejala negatif hampir tidak

bermanfaat. Obat-obat Tipikal yang sering di gunakan adalah Klorpromazine dan

Haloperidol.

1. Klorpromazine

Farmakodinamik. Efek farmakologik klorpromazin dan antipsikosis lainnya meliputi

efek pada susunan saraf pusat, sistem otonom, dan sistem endokrin. Efek ini terjadi karena

antipsikosis menghambat berbagai reseptor diantaranya dopamin, reseptor α-adrenergik,

muskarinik, histamin H1 dan reseptor serotonin 5HT2 dengan afinitas yang berbeda.

12

Page 13: BAB II Skizofrenia

Klorpromazin misalnya selain memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin, juga memiliki

afinitas yang tinggi terhadap reseptor α-adrenergik, sedangkan risperidon memiliki afinitas

yang tinggi terhadap reseptor serotonin 5HT2 7.

Farmakokinetik. Kebanyakan antipsikosis diabsorpsi sempurna, sebagian diantaranya

mengalami metabolisme lintas pertama. Bioavabilitas klorpromazin dan tioridazin berkisar

antara 25-35%, sedangkan haloperidol mencapai 65%. Kebanyakan antipsikosis bersifat larut

dalam lemak dan terikat kuat dengan protein plasma (92-99%) 7.

Susunan Saraf Pusat. CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak acuh

terhadap rangsang dari lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi terhadap

efek sedasi. Timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional pasien sebelum minum

obat 7.

Neurologik. Pada dosis berlebihan, semua derivat fenotiazin dapat menyebabkan

gejala ekstrapiramidal serupa dengan yang terlihat pada parkinsonisme. Dikenal 6 gejala

sindrom neurologik yang karakteristik dari obat ini. Empat diantaranya biasa terjadi sewaktu

obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia, parkinsonisme dan sindrom neuroleptic

malignant, yang terakhir jarang terjadi. Dua sindrom yang lain terjadi setelah pengobatan

berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, berupa tremor perioral (jarang) dan diskinesia tardif 7.

Efek Endrokrin. CPZ dan beberapa antipsikosis lama lainnya mempunyai efek

samping terhadap sistem reproduksi. Pada wanita dapat terjadi amenorea, galaktorea, dan

peningkatan libido, sedangkan pada pria dilaporkan adanya penurunan libido dan

ginekomastia. Efek ini terjadi karena efek sekunder dari hambatan reseptor dopamin yang

menyebabkan hiperprolaktinemia, serta kemungkinan adanya peningkatan perubahan

androgen menjadi estrogen di perifer. Pada antipsikosis yang batu misalnya olanzapin,

quetiapin dan aripriprazol, efek samping ini minimal karena afinitasnya yang rendah terhadap

reseptor dopamin 7.

Kardiovaskular. Hipotensi ortostatik dan peningkatan denyut nadi saat istirahat

biasanya sering terjadi dengan derifat fenotiazin. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer,

curah jantung menurun dan frekuensi denyut jantung meningkat. Efek ini diperkirakan karena

efek otonom dari obat antipsikosis. Abnormalitas EKG dilaporkan terjadi pada pemakaian

tioridazin berupa perpanjangan interval QT, abnormalitas segmen ST dan gelombang T.

Perubahan ini biasanya bersifat reversibel 7.

Sediaan. CPZ tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg. Selain itu juga tersedia

dalam bentuk larutan suntik 25 mg/ml. Larutan CPZ dapat berubah warna menjadi merah

jambu oleh pengaruh cahaya 7.

13

Page 14: BAB II Skizofrenia

2. Haloperidol

Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis yang karena

hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin. Reaksi ekstrapiramidal timbul pada 80% pasien

yang diobati haloperidol 7.

Farmakodinamik. Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin. Pada orang normal,

efek haloperidol memperlihatkan antipsikosis yang kuat dan efektif untuk fase mania

penyakit manik depresif dan skizofrenia. Efek haloperidol selain menghambat efek dopamin,

juga meningkatkan turn over ratenya 7.

Farmakokinetik. Haloperidol cepat diserap di saluran cerna. Kadar puncaknya dalam

plasma tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan masih

dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam hati dan

kira-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui empedu. Ekskresi haloperidol

lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 4 hari sesudah pemberian dosis

tunggal 7.

Susunan saraf pusat. Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang

yang mengalami eksitasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat dibanding dengan CPZ.

Haloperidol dan CPZ sama kuat menurunkan ambang rangsang konvulsi. Haloperidol

menghambat sistem dopamin dan hipotalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan

oleh apomorfin 7.

Sistem kardiovaskular. Haloperidol menyebabkan hipotensi, tetapi tidak sesering dan

sehebat akibat CPZ. Haloperidol menyebabkan takikardia meskipun kelainan EKG belum

pernah dilaporkan 7.

Efek samping. Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insidens yang

tinggi, terutama pada pasien usia muda. Dapat terjadi depresi akibat reversi keadaan mania

atau sebagai efek samping yang sebenarnya. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada

wanita hamil sampai terdapat bukti bahwa obat ini tidak menimbulkan efek teratogenik 6.

Sediaan. Haloperidol tersedia dalam benttuk tablet 0,5 mg, 1,5 mg dan 5 mg7.

b. Antipsikosis Generasi -II (APG-II)

APG-II disebut juga antipsikotika baru atau atipikal. Sebaiknya skizofrenia diobati

dengan APG-II. Pemeliharaan dengan dosis rendah antipsikotika diperlukan, setelah

14

Page 15: BAB II Skizofrenia

kekambuhan pertama. Dosis pemeliharaan sebaiknya diteruskan untuk beberapa tahun.Obat

APG-II bermanfaat baik untuk gejala positif maupun negatif . Beberapa Obat APG-II yang

sering di gunakan adalah Clozapine dan Resperidone yang mempunyai efek klinis yang besar

dengan efek samping yang minimal5.

1. Clozapine

Clozapine merupakan antipsikotika pertama yang efek samping ekstrapiramidalnya

dapat diabaikan. Dibandingkan dengan obat-obat generasi pertama, semua APG-II

mempunyai rasio blokade serotonin (5 hidroksitriptamin) (5-HT) tipe 2 (5-HT2) terhadap

reseptor dopamin tipe 2 (D2) lebih tinggi. Ia lebih banyak bekerja pada sistem dopamin

mesolimbik daripada striatum. Semua obat-obat baru, kecuali clozapine karena efek samping

dan butuh pemeriksaan darah tiap minggu, adalah obat pilihan pertama (first-line drug).

Sebaliknya, clozapine, efektivitasnya sudah tercapai meskipun hanya 40%-60% D2 yang

dihambat. Ada dugaan bahwa efektivitas clozapine sebagai antipsikotika di dapat karena ia

juga bekerja pada reseptor lain terutama 5-HT2A 7.

Clozapine efektif untuk mengontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang

positif (iritabilitas) maupun yang negatif (social disinterest dan incompetence, personal

neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara

bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pengobatan pasien

refrakter terhadap obat standar. Selain itu, karena efek samping ekstrapiramidal yang sangat

rendah, oobat ini cocok untuk pasien yang menunjukkan gejala ekstrapiramidal berat pada

pemberian antipsikosis tipikal. Namun karena klozapin memiliki risiko timbulnya

agranulositosis yang lebih tinggi dibandingkan antipsikosis yang lain, maka penggunaannya

dibatasi hanya pada pasien yang resisten atau tidak dapat mentoleransi antipsikosis yang lain.

Pasien yang diberi klozapin perlu dipantau jumlah sel darah putihnya setiap minggu 7.Farmakokinetik. Clozapine diabsorbsi secara cepat dan sempurna pada pemberian per oral,

kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 1,6 jam setelah pemberian obat. Klozapin secara

ekstensif diikat protein plasma (> 95%), obat ini dimetabolisme hampir sempurna sebelum

diekskresi lewat urin dan tinja, dengan waktu paruh rata-rata 11,8 jam.

Sediaan. Klozapin tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg 7.

2. Risperidon

Farmakodinamik. Risperidon yang merupakan derivat dari benzisoksazol mempunyai

afinitas yang tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2), dan aktivitas menengah terhadap

15

Page 16: BAB II Skizofrenia

reseptor dopamin (D2), alfa 1 dan alfa 2 adrenergik dan reseptor histamin. Aktivitas

antipsikosis diperkirakan melalui hambatan terhadap reseptor serotonin dan dopamin 7.

Farmakokinetik. Bioavabilitas oral sekitar 70%, volume distribusi 1-2 L/kg. Di

plasma risperidon terkait dengan albumin dan alfa 1 glikoprotein. Ikatan protein plasma

sekitar 90%. Risperidon secara ekstensif di metabolisme di hati oleh enzim CYP 2D6

menjadi metabolitnya 9-hidroksirieperidon. Risperidon dan metabolitnya dieliminasi lewat

urin dan sebagian kecil lewat feses 7.

Indikasi. Indikasi risperidon adalah untuk terapi skizofrenia baik untuk gejala negatif

maupun positif. Di samping itu diindikasikan pula untuk gangguan bipolar, depresi dengan

ciri psikosis 7.

Efek samping. Secara umum risperidon dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping

yang dilaporkan adalah insomnia, agitasi, ansietas, somnolen, mual, muntah, peningkatan

berat badan, hiperprolaktinemia dan reaksi ekstrapiramidal umumnya lebih ringan dibanding

antipsikosis tipikal 7.

Tabel 2.1 Sediaan obat Antipsikosis generasi I dan II5.

Golongan ObatPotensi

Klinik

Toksisitas

ekstrapiramidal

Efek

Sedatif

Efek

hipotensi

Fenotiazin

- Alifatik

- Piperazin

Tioxanten

Butirofenon

Dibenzodiazepin

Benzisoksazol

Tienobenzodiazepi

n

Dibenzotiazepin

Dihidroindolon

Dihidrokarbostiril

Klorpromazin

Flufenazin

Thiotixene

Haloperidol

Klozapin

Risperidon

Olanzapin

Quetiapin

Ziprasidon

Aripriprazol

+ +

+ + + +

+ + + +

+ + + +

+ + +

+ + + +

+ + + +

+ +

+ + +

+ + + +

+ + +

+ + + +

+ + +

+ + + + +

+

+ +

+

+

+

+

+ + + +

+ +

+ + +

+ +

+ +

+ +

+ + +

+ + +

+ +

+

+ + +

+

+ + +

+

+ + +

+ +

+ +

+ +

+

+ +

Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis yang multi episode, terapi

pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit 5 tahun. Pemberian yang cukup lama ini

dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali. Efek obat antipsikosis secara relatif

16

Page 17: BAB II Skizofrenia

berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis.

Sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan. Biasanya satu

bulan kemudian baru gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali. Hal ini disebabkan

metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai

keaktifan antipsikosis 8.

c. Antipsikosis Long Acting Injection

Obat anti-psiksosis “long acting” (Fluphenazine Decanoat 24 mg/cc atau Haloperidol

Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2-4 minggu, sangat berguna untuk pasien yang tidak mau atau

sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai

dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian baru ditingkatkan menjadi 1 cc

setiap bulan 7. Dari hasil penelitian penatalaksanaan jangka panjang pada pasien skizofrenia

di Canada menunjukkan bahwa pasien yang diberikan antipsikosis long acting injeksi

menunjukkan perbaikan klinis signifikan, perbaikan fungsi sosial dan menurunkan

hospitalisasi pasien 9.

C. Efek samping dan obat yang di gunakan untuk mengatasi efek samping dari

Antipsikotik

Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat antipsikotik adalah sebagai berikut8:

1. Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja

psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun)

2. Gangguan otonomik hipotensi, antikolinergik/parasimpatololitik, mulut kering, kesulitan

defekasi, mata kabur, gangguan irama jantung

3. Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson: tremor,

bradikinesia, rigiditas)

4. Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynecomastia), metabolik (jaundice), hematologik

(agranulositosis) biasanya pada pemakaian jangka panjang.

Bila terjadi efek samping sindrom ekstra piramida seperti distonia akut, akhitasia atau

parkinsonism, biasanya terlebih dhuu di lakukan penurunan dosis dan bila tidak dapat di

tanggulangi di berikan obat-obat antikolinergik seperti triheksifinidil, benztropin, sulfas

atropine atau definhidramin, yang paing sering di gunakan adalah triheksilfenidin dengan

dosis 3 kali 2 mg per hari. Jika tetap tidak berhasil mengatasi efek samping tersebut maka di

saranan untuk mengganti jenis anti psikotik lainnya8.

17

Page 18: BAB II Skizofrenia

D. Interaksi Obat

1. Antipsikosis + atipsikosis = potensiasi efek samping dan tidak ada bukti lebih efektif.

2. Antipsikosis + antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik meningkat

3. Antipsikosis + antianxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus dengan

gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat

4. Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan serangan

kejang meningkat. Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah

haloperidol

5. Antipsikosis + antasida = efektifitas antipsikosis menurun karena gangguan absorbsi

E. Terapi Psikososial.

1. Terapi Perilaku.

Terapi psikososial mencakup berbagai metoode untuk meniingkatkan kemampuan

sosial, kecukupan diri, keterampilan praktis, dan komunikasi interpersonal pada pasien

skizofrenia. Tujuannya adalah memungkinkan seseorang yang sakit parah untuk

meningkatkan ketterampilan sosial, kemampuaan sosial dan keterapmpilan pekerjaan untuk

kehidupan mandiri. Penanganan semacam ini dilaksanakan di berbagai tempat yaitu, rumah

sakit, klinik rawat jalan, pusat kesehatan jiwa, dan rumah atau klub sosial.

Latihan keterampilan perilaku (behavioral skills training) sering kali dinamakan

terapi keterampilan sosial (social skills therapy), terlepas dari namanya, terapi dapat secara

langsung membantu dan berguna bagi pasien dan merupakan tambahan alami bagi terapi

farmakologis. Di samping gejala personal dari skizofrenia, beberapa gejala skizofrenia yang

paling terlihat adalah menyangkut hubungan pasien dengan orang lain, termasuk kontak mata

yang buruk, keterlambatan respons yang tidak lazim, ekspresi wajah yang aneh, tidak adanya

spontanitas dalam situasi sosial, dan persepsi yang tidak akurat atau tidak adanya persepsi

emosi terhadap orang lain. Perilaku tersebut secara spesifik dipusatkan di dalam latuhan

keterampilan perilaku. Latihan keterampilan perilaku melihatkan penggunaan kaset video

orang lain dan pasien, permainan simulasi (role playing) dalam terapi, dan pekerjaan rumah

tentang keterampilan yang telah dilakukan 1.

2. Terapi berorientasi keluarga.

18

Page 19: BAB II Skizofrenia

Terapi ini seyogya nya difokuskaan pada situasi saat ini dan sebaiknnya mencaku

identifikasi dan penghindaran situasi yang berpotensi menyusahkan. Ketika benar-benar

timbul masalah dengan pasien pada keluarga tersebut tujuan terapi sebennernya adalah

menyelesaikan masalah tersebut secepatnya.Berbagai terapi berorientasi keluarga cukup

berguna dalam pengobatan skizofrenia. Karena pasien skizofrenia sering kali dipulangkan

dalam keadaan remisi parsial, keluarga di mana pasien skizofrenia kembali sering kali

mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat tetapi intensif (setiap hari). Pusat dari

terapi harus pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasi dan menghindari situasi

yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Jika masalah memang timbul pada pasien di

dalam keluarga, pusat terapi harus pada pemecahan masalah secara cepat.

Tabel 2.2 Tujuan dan Perilaku Sasaran untuk Terapi Keterampilan sosial 1.

Fase Tujuan Perilaku Sasaran

Stabilitasi dan penilaian

Kinerja sosial dalam

keluarga

Persepsi soaial dalam

keluarga

Hubungan di luar keluarga

Pemeliharaan

Menegakkan ikatan terapeutik

Menilai kinerja sosial dan

keterampilan persepsi

Menilai perilaku yang

memprovokasi emosi yang

diekspresikan

Mengekspresikan perasaan

positif dalam keluarga

Mengajarkan strategi efektif

untuk menghadapi konflik

Mengidentifikasi isi, konteks,

dan arti pesan secara benar

Meningkatkan keterampilan

sosial

Meningkatkan keterampilan

perakejuruan dan kejuruan

Generalisasi keterampilan ke

dalam situasi baru

Empati dan rapport

Komunikasi verbal dan

nonverbal

Kepatuhan, penghargaan, minat

pada yang lain

Respons menghindar terhadap

kritik, menyatakan kesukaan

dan penolakan

Membaca pesan

Melabel suatu gagasan

Meningkatkan maksud orang

lain

Keterampilan bercakap-cakap

Bersahabat

Aktivitas rekresional

Wawancara kerja, kebiasaan

kerja

F. Perawatan Skizofrenia di Rumah

19

Page 20: BAB II Skizofrenia

Lingkungan dan keluarga mempunyai andil yang besar dalam mencegah terjadinya

kekambuhan pada penderita dengan gangguan, oleh karena itu pemahaman keluarga

mengenai kondisi penderita serta kesediaan keluarga dan lingkungan menerima penderita apa

adanya dan memperlakukannya secara manusiawi dan wajar merupakan hal yang mendasar

dalam mencegah kekambuhan penderita..

Beberapa hal yang perlu di perhatikan oleh keluarga dan lingkungan dalam merawat

penderita gangguan jiwa di rumah:

1. Memberikan kegiatan/kesibukan dengan membuatkan jadwal sehari-hari.

2. Berikan tugas yang sesuai dengan kemampuan penderita dan secara bertahap tingkatkan

sesuai perkembangan

3. Menemani dan tidak membiarkan penderita sendiri saat melakukan kegiatan, mis: makan

bersama, reksreasi bersama, bekerja bersama.

4. Minta keluarga dan teman menyapa saat bertemu penderita dan jangan mendiamkan

penderita berbicara sendiri

5. Mengajak dan mengikut sertakan penderita dalam kegiatan bermasyarakat misal; kerja

bakti

6. Berikan pujian yang realitas terhadap keberhasilan penderita atau dukungan untuk

keberhasilan sosial penderita

7. Mengontrrol dan mengingatkan dengan cara yang baik dan empati untuk selalu minum

obat untuk prinsip benar, benar nama obat, benar dosis, benar cara pemberian.

8. Mengenali adanya tanda-tanda kekambuhan seperti: suit tidur, bicara sendiri, marah-

marah, senyum sendiri, menyendiri, murung , bicara kacau.

9. Kontrol suasana lingkungan yang dapat memancing terjadinya marah.

g. Pelatihan keterampian sosial

Terapi ini secara langsung dapat beguna untuk pasien dengan terapi faarmakologis.

Selain gejala yang tampak pada skizofrenia, beberapa gejala yang palingjelas terlihat

melibatkan hubungan oraang tersebut dengan orang lain, termasukkontak mata yang buruk,

keterlambatan respon yang tidakk azim, eekspresi wajah yang aneh, kurangnya spontannitas

dalam situasi sosial, serta persepsi yang tidak akurat atau kurangnyaa persepsi emosi pada

orang lain. Pelatihan keterampilan sosial telah terbukti mmengurangi angka relaps

sebagaimana yang telah tterukur melaluii kebutuhan rawat inap.

2.1.7 Prognosis

20

Page 21: BAB II Skizofrenia

Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronis. Pasien secara berangsur-

angsur menjadi semakin menarik diri, dan tidak berfungsi setelah bertahun-tahun. Pasien

dapat mempunyai waham dengan taraf ringan dan halusinasi yang tidak begitu jelas (samar-

samar). Sebagian gejala akut dan gejala yang lebih dramatik hilang dengan berjalannya

waktu, tetapi pasien seccara kronis membutuhkan perlindungan atau menghabiskan waktunya

bertahun-tahun di dalam rumah sakit jiwa.

Keterlibatan dengan hukum untuk pelanggaran ringan kadang-kadang terjadi

(misalnya, menggelandang, menggangu keamanan) dan sering dikaitkan dengan

panyalahgunaan zat. Sebagian kecil pasien menjaddi demensia. Secara keseluruhan harapan

hidupnya pendek, terutama akibat kecelakaan, bunuh diri, dan ketidakmampuannya merawat

diri.

Sebelumnya, skizofrenia dibedakan antara skizofrenia proses (terjanya berangsur-

angsur, perjalanannya kronis deteriorasi) dan skizofrenia reaktif (awitan cepat, prognosis

lebih baik). Selain itu, skizofrenia juga dibedakan dengan gejala positif (halusinasi, waham,

perilaku aneh dll) yang biasanya berespons terhadap antipsikoti konvensional dan gejala

negatif (afek datar, miskin pembicaraan, anhedonia, penarikan diri dari sosial, dll) yang tidak

berespon terhadap antipsikotik konvensional (berespon lebih baik terhaddap obat-obat

antipsikotik baru)

Gambaran klinis yang dikaitkan dengan prognosis baik yaitu :

1. Awitan gejala-gejala psikotik aktif terjadi secara mendadak

2. Awitan terjadi setelah umut 30 tahun, terutama pada perempuan

3. Fungsi pekerjaan dan sosia premorbid (sebelum sakit) baik. Performa sebelumnya

tetap merupakan pressiktor terbaik untuk meramalkan performa di masa depan.

4. Kebingungan sangat jelas dan gambaran emosi menonjol, selama episode akut (gejala

positif) beberapa hal yang perlu ditanyakan yaitu :

a. Kemungkinan adanya suatu stress yang mempersipitasi psikosi akut dan tidak

ada bukti gangguan susunan saraf pusat (SSP)

b. Tidak ada riwayat keluarga yang menderita skizofrenia

Bentuk skizofrenia reaktif dan skizofrenia proses mungkin secara etiologi berbeda.

Meskipun ada veriabilitas yang besar, tipe disorganisasi secara umum mempunyai prognosis

yang buruk, tetapi tipe paranoid mempunyai prognosis baik. Prognosis menjadi lebih buruk

bila pasien menyalahgunakan zat atau hidup dalam keluarga yang tak harmonis.

BAB III

21

Page 22: BAB II Skizofrenia

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

1. Gejala dan tanda yang terpenting dari skizofrenia adalah adanya campuran dari dua

karakteristik (baik gejala positif maupun gejala negatif).

2. Skizofrenia sering memperlihatkan campuran gejala-gejala antara lain gangguan

proses pikir dan isi pikir, gangguan persepsi, gangguan emosi, gangguan perilaku dan

tilikan diri yang buruk.

3. Untuk penegakan diagnosis Skizofrenia harus ada sedikitnya satu gejala gangguan isi

pikir yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang

tajam atau kurang jelas) atau paling sedikit dua gejala berupa gangguan persepsi

(halusinasi), gangguan perilaku dan gejala-gejala negatif.

4. Penatalaksanan skizofrenia tidak hanya berfokus pada terapi somatik atau terapi obat-

obatan tetapi juga berfokus pada terapi psikososial.

5. Skizofrenia diobati dengan antipsikotika (AP). Antipsikotika generasi 1 (APG-1) dan

antipsikotika generasi II (APG-II). Obat APG-I disebut juga antipsikotika

konvensional atau tipikal sedangkan APG-II disebut juga antipsikotika baru atau

atipikal. Sebagian besar pasien skizofrenia mendapatkan manfaat dari pemakaian

kombinasi pengobatan antipsikotik dan psikososial.

6. Terapi psikososial mempengaruhi proses perbaikan dan peningkatan kualitas hidup

pasien skizofrenia. Beberapa terapi psikososial yang dapat dilakukan adalah terapi

perilaku, terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok.

3.2 Saran

Dalam penegakan diagnosis skizofrenia harus benar-benar mencakup gejala dan tanda

khas pada skizofrenia. Biasanya gejala negatif skizofrenia sering kali tidak diperhatikan

karena tidak terlalu menonjol pada pasien. Selain itu perlu adanya integrasi antara terapi

biologis atau terapi obat-obatan antipsikotika dengan terapi psikososial secara cermat demi

perbaikan dan peningkatan kualitas hidup pasien skizofrenia.

DAFTAR PUSTAKA

22

Page 23: BAB II Skizofrenia

1. Kaplan & Sadock. 2010. Buku Ajar Psikiatri klinis. Jakarta: EGC

2. Utama H. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI

3. Depkes RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia

III, Cetakan pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I Direktorat Jendral

Pelayanan Medik.

23