BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Skizofrenia 2.1.1 ...repository.ub.ac.id/1603/3/BAB II.pdf · 4....
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Skizofrenia 2.1.1 ...repository.ub.ac.id/1603/3/BAB II.pdf · 4....
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Skizofrenia
2.1.1 Definisi Skizofrenia
Skizofrenia pertama kali diperkenalkan oleh Eugene Bleur
(Psikiater asal Swiss), yang menyatakan skizofrenia merupakan
suatu gangguan yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan
antara pola pikir, emosi, serta tindakan seseorang (Sinaga, 2007).
Menurut Hawari (2008), skizofrenia merupakan penyakit gangguan
jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk menilai kenyataan
yang terjadi dalam hidupnya serta adanya pemahaman diri yang
buruk. Menurut Maramis (2009) skizofrenia merupakan suatu
psikofungsional yang paling utama mengganggu pikiran sehingga
mengakibatkan terjadi ketidaksesuaian pada sikap, afek, serta
perilaku. Hal tersebut dikarenakan adanya waham serta halusinasi
yang memicu timbulnya gangguan perilaku seperti isolasi sosial,
ambivalen serta gangguan emosi.
Dari pegertian tersebut, maka penulis menyimpulkan
pengertian skizofrenia adalah adanya gangguan mental kronis yang
dialami oleh seseorang ditandai dengan adanya gangguan kognitif
yang dapat menyebabkan penderitanya menjadi tidak mampu untuk
berfikir secara realistis, serta adanya gangguan pada emosi dan
perilaku sehingga penderitanya cenderung melakukan
penyimpangan.
10
2.1.2 Gejala Skizofrenia
Menurut Videbeck (2008) gejala positif dari skizofrenia meliputi
waham, halusinasi, kekacauan alam pikiran (bicara kacau), gaduh
gelisah, merasa dirinya orang besar dan perilaku yang tidak teratur.
Adapun gejala negatif pada skizofrenia meliputi gangguan afek,
tumpul atau datar, tidak memiliki motivasi, rasa tidak nyaman,
menarik diri dari masyarakat dan sulit berfikir abstrak. Adapun gejala
negatif seringkali menetap sepanjang waktu dan menjadi
penghambat dalam pemulihan kondisi pasien untuk dapat
menjalankan aktivitas sehari-harinya.
2.1.3 Tipe-tipe skizofrenia
Menurut Maslim (2013) mengklasifikasikan skizofrenia menjadi :
1. Skizofrenia Paranoid (F20.0)
Selain memenuhi kriteria umum diagnosa skizofrenia, pada
skizofrenia tipe paranoid terdapat halusinasi atau waham yang
menonjol. Halusinasi auditorik, pembauan dan pengecapan sering
terjadi. Akan tetapi halusinasi visual ada tetapi jarang menonjol.
Terdapat juga adanya gangguan afektif, motivasi, serta adanya
gejala katatonik yang secara relatif tidak menonjol.
2. Skizofrenia tipe Hebefrenik (F20.1)
Diagnosis hebefrenik sering dialami antara usia 15-25 tahun.
Diagnosa ini ditegakkan memerlukan 2 atau 3 bulan lamanya.
Tanda gejala yang muncul meliputi, a) perilaku terlihat tidak
bertanggung jawab, menyendiri (solitary)juga menonjol, perilaku
11
terlihat tidak memiliki tujuan. b) afek terlihat dangkal, tidak wajar.
Ketiga, proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan
inkoheren.
3. Skizofrenia Katatonik (F20.2)
Pada skizofrenia ini, harus memenuhi gejala satu atau lebih dari
perilaku ini: a) adanya stupor (kurang bersosialisasi terhadap
lingkungan), b) gaduh gelisah (aktivitas motorik tidak bertujuan), c)
menampilkan posisi tubuh tertentu, d) negativisme (perlawanan
yang tidak bermotif), e) rigiditas (mempertahankan posisi tubuh
yang kaku).
4. Skizofrenia tak terinci (F20.3)
Skizofrenia ini harus memenuhi kriteria umum dalam diagnosa
skizofrenia, dimana tidak terpenuhi kriteria untuk diagnosa
skizofrenia paranoid, katatonik, hebefrenik, residual, atau depresi
setelah skizofrenia.
5. Skizofrenia pasca skizofrenia (F20.4)
Skizofrenia ini dapat ditegakkan apabila: a) selama 12 bulan
terakhir, penyakit skizofrenia telah diderita pasien, b) tanda gejala
penyakit skizofrenia sudah tidak lagi menjadi tanda utama yang
mendominasi, c) tanda gejala depresif tetap menonjol serta
mengganggu dalam kurun waktu minimal 2 minggu.
6. Skizofrenia Residual (F20.5)
Skizofrenia ditandai dengan: a) gejala negatif dari skizofrenia yang
menonjol, b) dimasa lampau terdapat tanda episode psikotik, c)
minimalnya telah melampui kurun waktu satu tahun, waham dan
halusinasi berkurang, d) tidak adanya dementia atau penyakit otak
organik lainnya.
12
7. Skizofrenia Simplek (F20.6)
Halusinasi, episode psikotik, serta waham tidak menjadi tanda
gejala awal pada diagnosa ini.
8. Skizofrenia tipe lainnya (F20.8) dan skizofrenia tipe YTT (F20.9).
2.1.4 Etiologi Skizofrenia
Menurut Kaplan & Sadock (2010) etiologi dari skizofrenia meliputi :
1. Model diathesis stress
Model ini merupakan gabungan integrasi antara faktor
biologi, psikososial, serta lingkungan. Apabila ketiga faktor
tersebut terkena pada seseorang maka dapat menyebabkan
terjadinya stres. Sebagai contoh adanya penyakit infeksi pada
bagian otak yang menyebabkan kematian termasuk faktor
biologikal yang dapat mempengaruhi diri seseorang.
2. Faktor Neurobiologi
Potensial terjadinya skizofrenia dipengaruhi juga dengan adanya
gangguan tertentu pada daerah otak yang mencakup sistem
limbik, korteks frontalis, cerebellum, serta ganglia basalis.
Keempat area diatas saling mempengaruhi satu dengan lainnya.
Dasar penampakan abnormalitas otak biasanya terletak pada
pembentukan yang abnormal seperti abnormalitas pada neuron di
sepanjang sel glia radial selama proses pembentukan serta terjadi
degenerasi neuron setelah proses pembentukan seperti pada
penyakit Huntington.
13
3. Faktor genetika
Pengaruh genetik memiliki peranan yang besar pada skizofrenia
dibandingkan dengan lingkungan. Genetika skizofrenia
menunjukan seseorang memiliki kecenderungan menderita
skizofrenia bila terdapat anggota keluarga yang mengidap
gangguan tersebut.
4. Faktor psikososial
a. Teori Psikoanalitik
Menurut Sigmund Freud menjelaskan bahwa skizofrenia terjadi
akibat fiksasi pertumbuhan berat yang terdapat pada masa
awal kehidupan. Freud meyakini bahwa terdapat suatu defek
ego yang sering muncul. Konflik intrapsikis dapat muncul akibat
adanya fiksasi dini ego dan penurunan ego yang mungkin
terjadi akibat relasi awal obyek yang buruk menyebabkan
gejala psikotik.
b. Teori Pembelajaran
Anak yang kemudian hari menderita skizofrenia disebabkan
karena belajar meniru orangtua yang memiliki masalah
emosional yang signifikan. Skizofrenia muncul diakibatkan
model pembelajaran yang buruk selama masa kanak-kanak.
c. Dinamika Keluarga
Banyak orangtua yang memiliki anak skizofrenia menumpahkan
kemarahannya terhadap komunitas psikiatri karena
sebelumnya menghubungkan keluarga disfungsional dengan
timbulnya skizofrenia. Organisasi advokasi banyak
mengedukasi orangtua bahwa sebaiknya keluarga tidak
14
menyalahkan diri sendiri bila skizofrenia terjadi pada salah
seorang anaknya.
d. Teori Sosial
Teori ini menjelaskan bahwa adanya industrialisasi serta
urbanisasi yang terlibat dalam terjadinya skizofrenia. Stres kini
dianggap memiliki efek utama terhadap waktu munculnya
awitan dan keparahan penyakit.
2.1.5 Dampak skizofrenia
Menurut Kaplan & Saddock (2007) menjelaskan bahwa skizofrenia
berdampak baik pada pasien maupun keluarga meliputi :
1. Dampak bagi pasien
Skizofrenia menyebabkan dampak negatif bagi
penderitanya yang meliputi terjadinya penurunan kemampuan
perawatan diri, penderita sering melakukan perilaku kekerasan,
atau juga mendapatkan perlakuan kekerasan dari orang-orang
yang ada di sekitarnya. Adanya stigma negatif dari masyarakat,
membuat pasien skizofrenia sering mendapatkan hinaan,
penganiayaan, serta dikucilkan dari lingkungan sosial. Rendahnya
kemampuan merawat diri serta panjangnya durasi mengalami
skizofrenia mengakibatkan penderita sangat bergantung pada
keluarganya.
15
2. Dampak bagi keluarga
Keluarga sebagai caregiver merupakan seseorang yang
memberi dukungan informal untuk merawat dan
bertanggungjawab pada pasien skizofrenia tanpa mendapatkan
imbalan ekonomis (Caqueo & Gutia, 2009). Terdapat banyak
konsekuensi yang dialami oleh keluarga dalam merawat pasien
skizofrenia meliputi masalah kesehatan keluarga terganggu, biaya
pengobatan dan perawatan akibat pemenuhan kebutuhan sehari-
hari pasien (mandi, makan, dan sebagainya), kesulitan dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan. Hal tersebut di atas masuk
dalam beban obyektif bagi keluarga. Adanya stigma masyarakat
akibat tingkah laku penderita yang tidak wajar menyebabkan
keluarga merasa malu, marah, kecewa (Carson, 2009).
Penyakit skizofrenia yang diderita oleh pasien menjadi
salah satu stressor dalam keluarga yang berpengaruh terhadap
adanya masalah psikososial salah satunya mekanisme koping
maladaptif. Mekanisme koping maladaptif merupakan suatu
penyelesaian masalah yang menghambat fungsi integrasi,
memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi, dan cenderung
menguasai lingkungan. Keluarga yang memiliki koping maladaptif
seringkali perilakunya menyimpang dan merugikan diri sendiri dan
pada pasien. Upaya yang dapat dilakukan keluarga untuk dapat
beradaptasi terhadap adanya stressor tergantung bagaimana
koping yang dimiliki oleh keluarga tersebut(Hjarthag et al, 2010).
Koping digambarkan sebagai berrbagai macam strategi
yang digunakan oleh seseorang untuk mengatasi situasi sehari-
hari atau situasi yang luar biasa. Strategi dan proses koping
16
keluarga ini berfungsi sebagai proses dan mekanisme yang vital.
Melalui proses dan mekanisme tersebut fungsi keluarga akan
menjadi nyata. Tanpa adanya koping yang efektif, fungsi keluarga
tidak dapat dicapai secara adekuat (Stuart & Laraia, 2008).
2.1.6 Penanganan Skizofrenia
Menurut Kaplan & Sadock (2010) menjelaskan penanganan
skizofrenia meliputi :
1. Terapi biologis
Pengobatan antipsikostik diperkenalkan sejak tahun 1950
dan hanya mengatasi gejala gangguan dan tidak menyembuhkan
skizofrenia. Pasien akan mengalami kekambuhan lebih dari dua
atau empat kali apabila diobati dengan plasebo dibandingkan
dengan antipsikotik. Obat antipsikotik terdiri dari dua kelas yaitu
Antagonis reseptor dopamin (klorpromazin, thorazine,
haloperodol), serta Antagonis serotonin dopamin (SAD)
(risperidon, klozapin). Pada kelas Antagonis reseptor dopamin
efektif untuk penanganan skizofrenia tetapi memiliki kekurangan
yaitu hanya 25 % yang terbantu untuk memulihkan fungsi mental
normal secara bermakna, serta memiliki efek samping
mengganggu seperti akatisia dan gejala lir-parkinsonian berupa
rigiditas dan tremor. Adapun kelas SDA menimbulkan gejala
ekstrapiramidal yang minimal serta berinteraksi dengan reseptor
dopamin, serta mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun
glutamat. Meski jauh lebih tidak efektif dibanding obat antipsikotik,
17
terapi elektrokonvulsif diindikasikan untuk pasien katatonik serta
pasien yang tidak bisa mengkonsumsi obat antipsikotik.
2. Terapi psikososial
Terapi psikososial ini mencakup pelatihan keterampilan
sosial, terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok, terapi
perilaku kognitif, psikoterapi individu, serta terapi kejuruan.
Adapun pertama, pelatihan keterampilan sosial diarahkan ke
perilaku melalui penggunaan video tape berisi bermain drama dan
lain-lain. kedua terapi keluarga seperti family psychoeducation
therapy (FPE), serta Triangel Therapy. Ketiga terapi kelompok
seperti terapi kelompok terapeutik, terapi suportif, Selh help group,
dan terapi Reminiscence. Adapun terapi perilaku kognitif
digunakan untuk memperbaiki distorsi kognitif, memperbaiki
kesalahan dan daya nilai.
2.2 Konsep Keluarga
2.2.1 Definisi Keluarga
Keluarga merupakan sekumpulan orang minimal dua orang
atau lebih yang dipersatukan dalam kebersamaan, ikatan emosional,
serta mengakui dirinya dalam kumpulan keluarga tersebut (Friedman
et al, 2010). Menurut Wong (2009) menjelaskan bahwa keluarga
sangat berhubungan dengan seseorang yang membuat unit keluarga,
adanya suatu hubungan yang terjadi melalui pertalian hubungan darah
(consanguineus), hubungan pernikahan (affinal), dan keluarga asal dia
dilahirkan (family origin).
18
Penulis dapat menyimpulkan bahwa keluarga merupakan
sekumpulan orang di dalam satu rumah tangga atas dasar terjadinya
suatu pertalian darah, adanya hubungan perkawinan yang sah, serta
memiliki tujuan yang sama.
2.2.2 Fungsi Keluarga
Menurut Friedman et al (2010) menjelaskan lima fungsi
keluarga mencakup: a) Tipe fungsi afektif, dimana keluarga
memberikan rasa cinta kasih dan perhatian pada anggota keluarga
yang sakit. b) tipe fungsi sosialisasi, keluarga memberikan kesempatan
terhadap anggota keluarga yang sakit untuk berinteraksi dengan
lingkungan sekitar. c) tipe fungsi ekonomi, fungsi keluarga untuk
memenuhi segala kebutuhan d) tipe fungsi reproduksi, menjaga
kelangsungan hidup dalam keluarga serta e) tipe fungsi pemberian
perawatan, yaitu keluarga harus mampu merawat anggota keluarga
serta mencegah terjadinya gangguan kesehatan.
2.2.3 Tugas Keluarga
Menurut Bailon & Baglaya (1998) mengklasifikasikan tugas keluarga :
1. Mengetahuimasalah kesehatan
Perubahan keadaan kesehatan anggota dalam keluarga sekecil
apapun perlu diketahui dan menjadi perhatian bagi orangtua atau
keluarga sehingga pengetahuan sejak dini bagi keluarga dapat
menentukan kondisi kesehatan anggota keluarga selanjutnya
menjadi membaik atau memburuk.
2. Memutuskan tindakan yang tepat untuk keluarga
Keluarga memiliki tugas untuk mencari bantuan yang baik dan
sesuai dengan keadaan dalam keluarga. Keluarga juga harus
19
mampu untuk mempertimbangkan dan memutuskan salah satu dari
keluarganya untuk mengambil tindakan agar masalah kesehatan
dapat diatasi.
3. Memberikan perawatan pada anggota keluarga yang sakit
Kesembuhan anggota keluarga mengalami sakit sangat dipengaruhi
oleh faktor lingkungan dan dukungan keluarga dalam menjalankan
tugas merawat pasien.
4. Menciptakan lingkungan yang nyaman
Tiap keluarga memiliki tugas untuk tetap menciptakan suasana
yang nyaman dan lingkungan yang kondusif karena hal tersebut
dapat menyebabkan kondisi mental yang baik serta meningkatkan
daya tahan keluarga yang mengalami krisis.
5. Memanfaatkan fasilitas pelayanan dalam kesehatan disekitarnya
untuk anggota keluarga
Tiap keluarga memiliki tugas apabila anggota keluarga sakit, maka
keluarga dapat memeriksakan secara rutin agar gejala kekambuhan
dapat dihindari serta dapat merujuk salah satu anggota keluarga
yang mengalami sakit ke pusat pelayanan kesehatan yang tersedia.
2.2.4 Peran Keluarga
Menurut Friedman (2010) peran dalam keluarga meliputi:
1. Tipe peran formal keluarga
Pada peran formal keluarga terdapat suatu peran yang
membutuhkan adanya keterampilan serta kemampuan khusus.
Pada peran formal ini mencakup mencari nafkah, IRT, pengasuh
anak. Apabila pelaku peran tidak mampu menjalani perannya, maka
20
dapat diambil alih oleh anggota keluarga lainnya untuk memainkan
perannya tersebut.
2. Peran-peran informal keluarga
Tipe peran informal ini, keluarga memiliki tuntutan yang tidak sama,
karena didasarkan pada kepribadian seseorang seperti jenis
kelamin, dan usia.
2.2.5 Karakteristik keluarga dalam merawat pasien skizofrenia
Menurut Stuart & Laraia (2008) terdapat beberapa faktor yang
berpengaruh pada sistem kesehatan keluarga meliputi :
1. Usia
Seseorang yang berusia 18-40 (dewasa awal) dan 40-60 (dewasa
madya) sudah mampu untuk berorientasi menjalankan tugas
kelurga salah satunya merawat anggota keluarga yang sakit,
mampu untuk menerima kritikan dan saran, bertanggungjawab,
serta dapat mengambil keputusan dan mencari pertolongan ke
fasilitas kesehatan demi meningkatkan kesehatannya (Hurlock,
2007).
2. Adanya etnis
Etnis berkaitan dengan bahasa, asal kebudayaan, ras, bahasa,
suku dan kebangsaan yang dapat mempengaruhi kesembuhan
gangguan jiwa. Karena kebudayaan maka keluarga sering memilih
pengobatan tradisional sebagai tempat untuk berobat.
3. Jenis kelamin
Antara laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama
untuk mengalami skizofrenia. Laki-laki mempunyai kecenderungan
lebih tinggi untuk mengalami perilaku kekerasan serta gangguan
21
kepribadian yang anti sosial. Adapun jenis kelamin perempuan
memiliki gangguan afektif dan anxietas lebih banyak.
4. Pendidikan
Dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan jiwa, peran pendidikan
lebih efektif dibandingkan dengan penghasilan karena pendidikan
dapat dijadikan sumber koping untuk mencegah terjadinya
peningkatan gangguan jiwa.
5. Penghasilan
Penghasilan keluarga yang rendah sangat mempengaruhi
pengambilan keputusan untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan.
Hal ini terjadi karena banyak kebutuhan lain diluar kebutuhan
kesehatan yang harus dipenuhi oleh keluarga.
6. Keyakinan
Pengobatan dapat diperoleh oleh seseorang diantaranya
dipengaruhi faktor keyakinan. Kesejahteraan dan kualitas hidup
seseorang dapat terwujud apabila memiliki keyakinan yang adaptif.
2.2.6 Peran pemberi perawatan keluarga (Caregiver)
Keluarga sebagai caregiver adalah individu yang berfungsi
untuk menjalankan tugas untuk merawat anggota keluarga yang sakit
dimana anggota keluarga tersebut hanya bergantung terhadap
keluarga sehingga keluarga harus bertanggung jawab dan
menanggung segala kebutuhannya. Karakteristik dari caregiver ini
diantaranya secara sukarela memberikan perhatian kasih sayang
terhadap anggota keluarga yang sakit, caregiver dapat meliputi
anggota keluarga sendiri, teman dekat, tenaga sukarela, ataupun
tenaga yang profesional dan dibayar, caregiver tersebut dapat tinggal
22
bersama atau terpisah dengan anggota keluarga yang dirawatnya
(Friedman, 2010).
Menurut Friedman (2010) menjelaskan terdapat
bermacam-macam masalah psikososial yang dialami oleh caregiver
yang berhubungan dengan adanya mekanisme koping keluarga
dikarenakan beban yang meningkat saat merawat anggota keluarga
yang sakit. Masalah psikososial tersebut meliputi koping maladaptif
dengan perilaku merusak, aktivitas sosial yang mengalami
keterbatasan, keterbatasan waktu luang, pelanggaran privasi, adanya
tuntutan peran ganda yang dapat menyebabkan konflik, minimnya
dukungan yang berasal dari anggota keluarga lain, gangguan dalam
hubungan keluarga, gangguan pada rutinitas rumah tangga, kurangnya
bantuan tenaga kesehatan dan terdapat gangguan hubungan
keluarga.
2.3 Beban Dalam Keluarga
2.3.1 Definisi Beban Keluarga
Beban keluarga adalah suatu tingkat pengalaman distres
keluarga yang ditandai dengan meningkatnya emosional dan
ekonomi keluarga akibat memiliki klien gangguan jiwa (Fontaine,
2009). Sedangkan menurut Napolion (2010), beban keluarga
merupakan suatu keadaan akibat ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan
atau stresor yang terjadi. Menurut WHO (2008), dikatakan bahwa
suatu keluarga yang memiliki anggota keluarga gangguan jiwa, maka
keluarga tersebut menanggung beban yang sangat tinggi yang
meliputi beban fisik, emosional, serta finansial.
23
Dari definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa beban
keluarga adalah adanya suatu perasaan negatif atau tidak
menyenangkan yang dirasakan keluarga akibat memiliki anggota
keluarga dengan skizofrenia yang biasanya terdiri dari beban
subyektif serta beban obyektif.
2.3.2 Jenis Beban Keluarga
Menurut Mohr (2006) membagi beban keluarga menjadi tiga jenis
meliputi :
1. Beban Obyektif
Beban yang sering ditemui pada saat keluarga menjalankan tugas
keluarga dalam hal merawat pasien skizofrenia dalam kehidupan
sehari-hari. Beban obyektif ini meliputi beban biaya finansial yang
digunakan untuk pengobatan dan perawatan, transportasi,
makanan, serta tempat tinggal.
2. Beban Subyektif
Beban ini lebih berhubungan dengan distres emosional seperti
merasa cemas dengan masa depan pasien, sedih, frustasi,
bersalah, kesal, serta jenuh. Beban ini sangat dirasakan oleh
keluarga yang merawat pasien skizofrenia terutama dalam jangka
waktu yang telah lama.
3. Beban Iatrogenic
Beban yang disebabkan oleh sistem pelayanan kesehatan jiwa
tidak berfungsi sehingga dapat mengakibatkan kesulitan keluarga
untuk melakukan sistem rujukan, mendapatkan pendidikan
kesehatan dan pemberian intervensi.
24
Adapun WHO (2008) mengklasifikasikan beban dalam keluarga
menjadi dua jenis meliputi :
1. Beban obyektif
Beban yang banyak dialami oleh seseorang didalam
kehidupannya seperti terganggunya interaksi sosial, menurunnya
kegiatan kerja, masalah ekonomi, serta terganggunya masalah
kesehatan. Keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan
skizofrenia membutuhkan pengobatan secara teratur untuk
pengambilan obat rutin dua minggu atau sebulan sekali. Hal
tersebut membutuhkan biaya transportasi dan biaya berobat yang
tinggi dan apabila didukung dengan keluarga yang tidak memiliki
kartu jaminan kesehatan. Selain masalah biaya, penyakit
skizofrenia juga berpengaruh pada kehidupan sosial, lingkungan
sekitar, serta waktu produktif keluarga untuk bekerja terganggu
karena hanya dihabiskan untuk merawat anggota keluarga dengan
skizofrenia.
2. Beban subyektif
Beban yang berhubungan dengan mental dan psikologis
seseorang seperti perasaan kehilangan, dimana sering muncul
karena setiap keluarga menganggap masa depan pasien seolah
akan berakhir. Selain itu terdapat kesedihan, kecemasan, dan
tidak mampu untuk berhubungan sosial, mekanisme koping, stres
terhadap gangguan perilaku serta terjadi frustasi yang diakibatkan
karena adanya perubahan hubungan.
25
2.3.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Beban Keluarga
Menurut Kaplan & Sadock (2010) bahwa terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi beban keluarga diantaranya :
1. Perjalanan penyakit
Beban keluarga dalam merawat pasien skizofrenia akan semakin
meningkat apabila didukung juga dengan lamanya pasien menderita
skizofrenia. Selain lama waktu menderitanya, pasien skizofrenia
mengalami ketidakmampuan dalam perawatan diri, berinteraksi
sosial sehingga keluarga yang menanggung pemenuhan
kebutuhannya.
2. Stigma
Penyakit skizofrenia masih sering diartikan sebagai penyakit yang
memalukan bagi setiap keluarga sehingga menyebabkan keluarga
sering diremehkan dan ditelantarkan masyarakat. Hal tersebut
dapat meningkatkan beban keluarga.
3. Pelayanan kesehatan
Beban keluarga dapat berkurang apabila pelayanan kesehatan
khususnya kesehatan mental mudah didapatkan. Sebaliknya
apabila pelayanan kesehatan sulit untuk dijangkau maka dapat
mengakibatkan keadaan klien menjadi buruk serta beban dalam
keluarga semakin bertambah (Nuraenah, 2012)
4. Pengetahuan penyakit
Pengetahuan yang meningkat tentang konsep skizofrenia dapat
mempengaruhi proses pikir keluarga dalam merawat pasien
skizofrenia.
26
5. Ekspresi emosi
Menurut Nuraenah (2012) menyatakan bahwa emosi keluarga
berhubungan dengan pengetahuan yang dapat mengakibatkan
emosi meningkat dikarenakan perilaku pasien yang menjadikan
beban. Angka kekambuhan pasien yang meningkat menurunkan
kemandiriannya yang lama-kelamaan keluarga mengalami beban
tinggi.
6. Sistem ekonomi
Perawatan klien dengan skizofrenia membutuhkan waktu dan biaya
yang besar. Menurut Gururaj et al (2008) menyatakan tingkat
ekonomi dan menurunnya kesehatan dapat menyebabkan beban
keluarga meningkat.
2.4 Konsep Mekanisme koping
2.4.1 Definisi Mekanisme Koping
Menurut Stuart & Laraia (2008) mekanisme koping
adalahusaha atau cara yang setiap individu lakukan untuk menangani
dan mengontrol tekanan yang sedang dihadapinya. Koping merupakan
suatu cara yang individu terapkan untuk menyelesaikan suatu
permasalahan yang terjadi, belajar untuk beradaptasi terhadap setiap
keadaan yang mengancam diri. Koping dapat dilihat melalui respon,
tanda gejala, dan pertanyaan pasien melalui interview. Menurut Miller
(2009) mekanisme koping merujuk pada suatu cara untuk mengatasi
sesuatu yang menyebabkan ancaman terhadap diri individu sehingga
individu dapat mengatasi perasaan tidak nyaman seperti kecemasan,
rasa takut, berduka, dan rasa bersalah. Melihat beberapa pengertian
tersebut, mekanisme koping disimpulkan sebagai usaha individu dalam
27
menghadapi suatu kondisi yang mengancam dan perasaan yang tidak
nyaman, serta bagaimana individu tersebut menyelesaikan masalah
yang dihadapinya.
2.4.2 Jenis Mekanisme Koping
Menurut Keliat (2013) pembagian koping terdiri dari dua macam yang
meliputi :
1. Mekanisme koping adaptif
Suatu usaha penyelesaian masalah yang identik dengan
mendukung fungsi pertumbuhan, integrasi, pembelajaran, serta
dapat mencapai tujuan yang ditunjukkan dengan cara memecahkan
masalah secara efektif, berbicara dengan orang lain, teknik
relaksasi, serta dengan aktivitas yang konstruktif.
2. Mekanisme koping maladaptif
Penyelesaian masalah yang dilakukan individu dimana cenderung
menghambat tujuan dan fungsi, membuat lingkungan tidak
nayaman, serta lebih menurunkan kekuatan.
Adapun kategori koping menurut Lazarus & Folkman (1984) adalah :
1. Problem Focused Coping
Koping ini hanya berpusat pada usaha mengatasi masalah yang
dihadapinya serta aktif mencari jalan keluar melalui beberapa cara
seperti meminta bantuan orang lain atau berusaha sendiri untuk
menemukan solusi penyelesaian masalah.
2. Emotional Focused Coping
Penyelesaian suatu masalah dengan cara menerima atau
menghindari masalah yang sedang dihadapi sebagai peristiwa yang
28
menyakitkan atau usaha untuk mengurangi konsekuensi emosional
dari suatu masalah.
2.4.3 Sumber dan Strategi Koping Keluarga
Menurut Friedman et al (2010) menyebutkan terdapat dua tipe strategi
koping keluarga yaitu :
1. Strategi koping keluarga internal
Terdapat beberapa strategi koping intra familial dalam strategi
koping internal yang meliputi : a) mengandalkan kelompok
keluarga, dimana saat keluarga menghadapi suatu masalah maka
keluarga tersebut menggunakan sumber-sumber mereka sendiri.
b) penggunaan humor, terapi humor mampu untuk menurunkan
beban keluarga dalam merawat pasien skizofrenia. c)
pengungkapan bersama, dimana keluarga secara bersama-sama
mengatasi masalah yang sedang dihadapi. d) mengontrol makna
dari suatu masalah serta penyusunan kembali fungsi kognitif. e)
pemecahan suatu masalah secara bersama-sama, keluarga dapat
mengupayakan solusi secara bersama-sama saat memecahkan
masalah. f) fleksibilitas peran, dan g) normalisasi, keluarga
cenderung menormalkan segala sesuatu ketika mereka
melakukan koping terhadap stresor.
2. Strategi koping keluarga eksternal
Adapun strategi koping eksternal meliputi: a) mencari informasi,
ditunjukkan dengan pencarian pengetahuan dan informasi yang
berhubungan dengan stresor sebagai wujud respon secara kognitif
yang dilakukan oleh individu. b) memelihara hubungan afektif
dengan komunitas, dimana keluarga memiliki hubungan yang aktif
29
dengan organisasi-organisasi. c) mencari sistem pendukung sosial.
d) mencari dukungan spiritual, salah satu cara mengatasi suatu
stresor yang berkaitan dengan kesehatan adalah dengan berdoa
dan memiliki kepercayaan kepada Tuhan.
2.4.4 Penatalaksanaan Keperawatan Pada Mekanisme Koping Keluarga
yang Tidak Efektif
Intervensi dalam keperawatan jiwa untuk diagnosa
mekanisme koping keluarga tidak efektif memiliki sasaran pada
individu, keluarga, serta kelompok. Pada intervensi ini terbagi dalam
dua intervensi yang meliputi intervensi keperawatan generalis serta
intervensi keperawatan jiwa lanjutan atau spesialis. Adapun
intervensi generalis meliputi pemberian penyuluhan kesehatan sesuai
dengan masalah yang sedang dihadapi keluarga serta menjelaskan
tentang strategi koping yang dapat digunakan keluarga untuk
mengatasi masalahnya. Adapun intervensi keperawatan jiwa lanjutan
atau terapi spesialis untuk masalah koping keluarga tidak efektif
meliputi :
1. Terapi Individu
a. Acceptance and Commitment Therapy merupakan suatu terapi
dimana bertujuan untuk membantu klien dengan menggunakan
penerimaan psikologi sebagai strategi koping dalam situasi
stress baik eksternal maupun internal yang sulit untuk diatasi.
b. Cognitive therapy merupakan suatu terapi untuk merubah
pikiran negatif menjadi suatu pemikiran yang positif,
mengetahui penyebab perasaan negatif, membantu
30
mengendalikan diri serta pencegahan dan pertumbuhan
pribadi.
c. Behaviour Therapy merupakan suatu terapi dimana dapat
mengubah suatu perilaku yang tidak diharapkan menjadi suatu
perilaku yang diinginkan atau yang adaptif
2. Terapi Keluarga
Family Psychoeducation Therapy merupakan suatu terapi dengan
memberikan pelatihan pada keluarga dengan bekerjasama
terhadap tenaga keperawatan jiwa yang professional sebagai salah
satu tindakan keperawatan yang harus diberikan kepada pasien
gangguan. Adapun tujuan dari psikoedukasi yakni dapat
mengurangi tingkat kekambuhan pasien, kemandirian pasien
menjadi meningkat, dan memberikan kemudahan penerimaan
pasien dalam lingkungan masyarakat serta keluarga.
3. Terapi kelompok
a. Self help group pada keluarga dengan gangguan jiwa adalah
sekumpulan dua orang atau lebih yang mempunyai keinginan
untuk berbagi permasalahan, saling membantu pada hal yang
menjadi dialami dan menjadi suatu fokus perhatian yang
bertujuan untuk mengatasi gangguan jiwa serta meningkatkan
kemampuan kognitif dan emosional sehingga perasaan sejahtera
dapat tercapai.
b. Supportive Group Therapy merupakan suatu pemberian terapi
untuk sekelompok orang baik terdiri dari dua atau lebih orang
atau keluarga yang sama-sama merawat anggota keluarga yang
sedang menderita gangguan jiwa dengan cara mengklarifikasi
permasalahan yang sedang dihadapi oleh keluarga sehingga
31
keluarga tersebut memiliki kemampuan untuk menggunakan
sumber pendukung yang telah dimilikinya serta memiliki
kebebasan untuk mengutarakan setiap perasaan dan pikiran
yang dirasakan.
2.5 Terapi Suportif Kelompok
2.5.1 Definisi Terapi Suportif Kelompok
Terapi suportif kelompok merupakan suatu terapi yang
berbeda dengan terapi kelompok lainnya dikarenakan berfokus pada
pendekatan kepribadian untuk mengetahui adanya perubahan pada
sikap dan perilaku akibat faktor biologi, psikologis, serta sosial yang
digunakan untuk menangani koping tidak adaptif (Stuart&Laraia,
2008). Terapi suportif kelompok pada keluarga dengan gangguan
jiwa merupakan suatu terapi suportif yang diberikan pada
sekelompok orang dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah-
masalah sehingga keluarga mampu menggunakan sumber
pendukung untuk membantu memberikan solusi.
Terapi suportif kelompok telah dikembangkan oleh Rockland
mencakup :
1. Terjalinnya hubungan yang suportif pada diri pasien dan terapis
dikarenakan terapi ini menggunakan metode percakapan,
memelihara dan mempertahankan hubungan yang positif.
2. Dapat menurunkan kecemasan dengan selalu tercipta lingkungan
yang terapeutik
32
3. Terapi suportif ini memberikan pendidikan, saran dan dukungan
bagi setiap anggota terapis
4. Kekuatan anggota kelompok terapi menjadi lebih adaptif
5. Melatih keluarga untuk menggunakan mekanisme koping yang
baik
Terdapat beberapa hal yang membedakan terapi suportif
kelompok berbeda dengan terapi lainnya adalah tiap anggota
kelompok terapis dapat berdiskusi dan berinteraksi diluar
pelaksanaan terapi. Terapi suportif kelompok ini memberikan
kesempatan pada anggota terapi untuk berbagi pengalaman tentang
masalah yang dirasakan saat merawat pasien. Padaterapi suportif
kelompok ini, setiap orang di dalam anggota terapi kelompok tersebut
memiliki kebebasan mengungkapkan perasaan stres, frustasi,
perasaan jenuh, masalah yang dihadapi, serta menemukan cara
solusi penyelesaiannya. Pemimpin kelompok bertugas untuk
membantu memfasilitasi (Videbeck, 2008).Pelaksanaan pemberian
terapi suportif dalam satu minggu dapat dilakukan satu atau dua kali
dengan waktu durasi 50 menit untuk setiap sesinya (Townsend,
2009).
2.5.2 Tujuan Terapi Suportif Kelompok
Tujuan dari terapi suportif kelompok adalah meningkatkan
mekanisme koping adaptif, harga diri meningkat, mampu
memecahkan permasalahan, memberikan dukungan pada keluarga
untuk memiliki harapan. Selain itu terapi suportif kelompok
mempererat hubungan pasien dengan terapis sehingga tekanan yang
pasien rasakan dapat diatasi, meningkatkan kekuatan keluarga,
33
meningkatkan keterampilan koping keluarga, meningkatkan
kemampuan keluarga menggunakan sumber koping, meningkatkan
otonomi keluarga dalam pengobatan, serta mengurangi stres dan
koping yang maladaptif (Chien et al, 2006).
2.5.3 Indikasi Terapi Suportif Kelompok
Menurut Klingberg (2010)terapi suportif kelompokbermanfaat
untuk pengontrol perilaku seseorang. Terapi suportif kelompok ini
digunakan untuk berbagai masalah potensi pertumbuhan dan
perkembangan, masalah keperawatan resiko, masalah gangguan
kesehatan jiwa dan fisik. Menurut Kyrous dan Humphreys (2008)
pada pasien skizofrenia, Napza, pasien diabetes mellitus, lansia,
keluarga yang merawat pasien sakit, pasien dengan penyakit kronis.
2.5.4 Aturan Dalam Terapi Suportif Kelompok
Menurut Chien et al (2006) terdapat tata cara terapi suportif
kelompok 1) Terapis harus dapat memimpin dan keluarga secara jujur
mampu untuk berbagi pengetahuan untuk pemecahan masalah serta
menemukan solusi untuk menyelesaikan setiap permasalan. 2) Setiap
pengambilan keputusan disertai dengan keterlibatan dukungan dari
keluarga dan sosial 3) Keluarga harus mampu untuk mengutarakan
permasalahan serta menemukan solusi melalui kelompok. 4) Terapis
merespon pertanyaan keluarga, menghindari introgasi, melakukan
konfrontrasi suportif dan interpretasi. Terapis juga memberikan
34
pendidikan kesehatan serta melakukan perubahan lingkungan
keluarga. 5) Kelompok harus menjaga kerahasiaan anggota kelompok
serta kenyamanan secara fisik dan emosi. 6) Harus mampu
menunjukkan rasa empati terhadap permasalahan pada setiap
keluarga. 7) Keluarga harus mengekspresikan pikiran dan
perasaannya. 8) Terapis yang memiliki tujuan terapi harus tetap dijaga
sampai penelitian selesai. 9) Terapis harus tetap berperilaku jujur
kepada seluruh kelompok.
2.5.5 Kelebihan Terapi Suportif Kelompok
Pada terapi suportif kelompok memiliki tujuan membentuk
keluarga menjadi support system. Keluarga dapat menjadi support
system dengan cara pasien didorong untuk mengungkapkan
perasaannya, memperkuat ikatan dengan keluarga lainnya, sehingga
ditemukan suatu solusi penyelesaian masalah. Terapi suportif ini
menyediakan lingkungan yang mendukung dengan difasilitasi satu
atau dua tenaga kesehatan jiwa yang profesional. Tenaga jiwa yang
profesional ini membantu meningkatkan ikatan sosial antara anggota
kelompok, mendorong ekspresi emosional, serta memfasilitasi diskusi
dimana tujuan dari terapi suportif dapat tercapai (Butler et al, 2009).
Terapi suportif kelompok efektif digunakan untuk
meningkatkan kemampuan koping keluarga karena pada terapi suportif
memperlihatkan hubungan saling percaya, memikirkan solusi
penyelesaian masalah. Selain itu mendiskusikan area tabu (masalah
internal), menghargai situasi yang sama dan bertindak bersama,
35
adanya sistem dukungan (mutual support), serta pemecahan masalah
secara individu (Chien et al, 2006).
2.5.6 Prosedur Terapi Suportif Kelompok
Adapun empat sesi dalam terapi suportif kelompok yang
dikembangkan oleh Hernawati dkk (2009) dalam Klingberg (2010)
adalah :
Sesi I : Menemukan sumber pendukung beserta kemampuan positif
Setiap keluarga mendiskusikan masalah yang sedang
dihadapi, cara yang digunakan saat merawat pasien serta hambatan
yang sering ditemui yang diikuti dengan kemampuan setiap keluarga
dalam memanfaatkan sumber pendukung yang dimilikinya. Selain itu
setiap keluarga juga saling memotivasi agar semua keluarga mampu
untuk mengungkapkan pendapatnya. Terapis memberikan umpan balik
positif tentang hal-hal yang sekiranya belum diketahui anggota
kelompok mengenai cara perawatan pasien serta memberikan
reinforcement pada keluarga yang telah mampu mengungkapkan
perasaan dan pengalamannya.
Sesi II : Penggunaan sistem pendukung di dalam keluarga, memonitor,
serta hambatannya
Hasil akhir dari sesi dua ini, anggota kelompok dapat
memanfaatkan sumber pendukung serta mampu role playdengan
memanfaatkan sumber pendukung. Anggota terapis juga mampu
mengungkapkan hambatannya saat memanfaatkan sumber
pendukung sehingga bisa dicari solusi penyelesaiannya.
36
Sesi III : Pemanfaatan sumber pendukung di luar keluarga, memonitor,
serta hambatannya
Terapis mengajarkan keluarga untuk memanfaatkan sumber
pendukung luar seperti meminta bantuan terhadap tenaga kesehatan,
tokoh masyarakat, peer support, serta tokoh agama untuk
meringankan beban keluarga saat merawat anggota keluarga dengan
skizofrenia.
Sesi IV : Penilaian hambatan serta hasil dari sumber pendukung di
dalam dan di luar keluarga
Tiap anggota kelopok terapi harus mampu mendiskusikan
hambatan dan menentukan upaya tindak lanjut untuk merawat pasien
skizofrenia.
2.6 Pengaruh terapi suportif kelompok terhadap beban dan mekanisme
koping keluarga
Skizofrenia merupakan terdapatnya tanda-tanda positif yang dialami
seseorang yang meliputi delusi, halusinasi, gangguan bicara serta tingkah
laku katatonik (Stuart & Laraia, 2006). Skizofrenia memiliki pengaruh dan
dampak yang sangat besar terutama pada keluarga. Keluarga sebagai
caregiver merupakan seseorang yang bertugas untuk merawat anggota
keluarga yang sakit yang sangat bergantung untuk pemenuhan
kebutuhannya terhadap caregiver.
Keluarga dalam merawat pasien skizofrenia yang dalam jangka
waktu lama akan merasa terbebani. Beban keluarga ini terbagi menjadi dua
yaitu beban obyektif dan subyektif. Beban obyektif seperti masalah finansial
serta terganggunya rutinitas aktivitas keluarga hampir sama pada seluruh
keluarga. Akan tetapi beban subyektif menunjukkan pengalaman psikologis
37
dari pengasuh yaitu perasaan pengasuh, kekhawatiran dan ketegangan
interpersonal yang mungkin berbeda pada setiap keluarga. Beban keluarga
yang tinggi seringkali ditunjukkan dengan ekspresi emosi yang tinggi seperti
marah-marah menandakan bahwa keluarga masih memiliki mekanisme
koping yang buruk (Hadrys et al, 2011).
Menurut Stuart&Laraia (2008) mekanisme koping adalah cara
individu guna menanggulangi adanya tekanan yang sedang dihadapinya.
Mekanisme koping digunakan untuk menanggapi adanya stresor dan
merespon terhadap beban akibat merawat pasien skizofrenia. Keluarga dapat
menggunakan strategi koping baik internal seperti humor, pengungkapan
bersama, dan normalisasi. Selain itu dengan strategi koping eksternal seperti
mencari informasi, dan dukungan sosial. Mekanisme koping dapat meningkat
dengan cara pemberian psikoterapi salah satunya berupa pemberian terapi
suportif pada keluarga.
Terapi suportif kelompok adalah terapi untuk memfasilitasi setiap
anggota terapi untuk menyampaikan pengalaman dan perasaannya sampai
ditemukan mekanisme koping adaptif. Hasil riset Walker et al (2010)
menunjukkan bahwa terapi suportif dapat menurunkan emosi negatif serta
mengurangi kesakitan pada penderita Kanker. Menurut Chien et al (2006)
terapi suportif kelompok juga dapat meningkatkan kekuatan keluarga, terjadi
peningkatan koping keluarga, kemampuan keluarga menggunakan sumber
koping menjadi meningkat, serta membantu keluarga memiliki kemandirian.
Keluarga dalam merawat pasien skizofrenia sangatlah membutuhkan suatu
terapi yang dapat dijadikan sebagai dukungan untuk memperkuat dalam
merawat pasien skizofrenia. Hal ini didukung dengan penelitian Hernawaty
dkk (2009) menunjukkan bahwa terapi suportif kelompok berpengaruh
terhadap peningkatan kemampuan keluarga saat merawat pasien skizofrenia.
38
9
2.7 Mapping Jurnal Tabel 2.1 Mapping Jurnal
Penulis dan Judul
Tujuan Penelitian Variabel yang diteliti
Metodologi Hasil dan Simpulan
Kali, K. P., Gouping, H., Xiu, H. W (2014) Extent of Burden and Coping among Family Caregivers Living with Schizophrenic Patients in Nepal
Untuk mengeksplorasi sejauh mana beban dan strategi koping yang diterapkan oleh keluarga dalam merawat pasien skizofrenia.
Variabel independen: Strategi koping keluarga Variabel dependen: Beban keluarga
Desain penelitian dengan studi cross sectional deskriptif, pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling pada 147 keluarga yang merawat pasien Skizofrenia di Poli Jiwa Rumah Sakit Nepal.
Hasil : - Keluarga mengalami beban ringan
(36,7%) sampai sedang (46,9%). Adapun total rata-rata skor beban adalah 39,27 ± 12,38.
- Strategi koping yang digunakan keluarga mencakup focused coping strategies (menggunakan dukungan instrumental, dukungan emosional, Penerimaan dan agama).
Simpulan : Strategi koping dengan beban keluarga memiliki hubungan signifikan saat melakukan perawatan pada pasien skizofrenia
Kokurcan, A., Ozpolat, A. G. Y., Gogus, A. K. (2015) Burnout in caregivers of patients with
Untuk mengevaluasi beban keluarga dan hal-hal berpengaruh dengan beban meliputi karakteristik sosiodemografi, tanda gejala skizofrenia,
Variabel independen: Sosiodemografi, tanda gejala skizofrenia, dukungan sosial, karakteristik
Data dianalisis menggunakan uji one-way analysis of variance, dan Pearson’s correlation analysis.
Hasil : - Beban keluarga sangat dipengaruhi oleh
dukungan sosial serta tanda gejala skizofrenia yang dialami oleh pasien skizofrenia
- Sosiodemografi serta karakteristik keluarga memiliki pengaruh yang sangat
10
schizophrenia dukungan sosial, serta karakteristik dari keluarga sendiri
keluarga Variabel dependen: beban keluarga
rendah terhadap beban keluarga Simpulan : Dukungan sosial yang buruk menjadi faktor utama terjadinya kelelahan dan meningkatnya beban bagi keluarga sehingga keluarga harus memiliki dukungan sosial yang baik agar dapat memberikan bantuan yang baik pula pada pasien skizofrenia.
Marimbe, B. D Cowan, F Kajawu, L Muchirahondo, F Lund, C (2016) Perceived burden of care and reported coping strategies and needs for family caregivers of people with mental disorders in Zimbabwe
Untuk mengeksplorasi dampak yang dirasakan keluarga saat merawat pasien skizofrenia serta mekanisme koping yang dibutuhkan keluarga
Variabel independent: Beban keluarga Variabel dependen: Strategi koping keluarga
Sebuah sampel terdiri dari 31 keluarga berpartisipasi dalam wawancara mendalam dan diskusi kelompok Peserta juga diperiksa untuk gangguan jiwa umum menggunakan 14 item Shona Gejala Angket. Data kualitatif dianalisis secara tematis menggunakan NVivo 8 data kualitatif perangkat lunak analisis.
Hasil : - Keluarga mengalami peningkatan beban
termasuk dalam beban fisik, psikologis, emosional, sosial dan keuangan dalam mengasuh pasien skizofrenia
- Keluarga menggunakan problem focused coping serta emotional focused coping
- Dua puluh satu (68%) Dari keluarga beresiko melakukan bunuh diri dan dirujuk kepsikiater untuk pengelolaan selanjutnya.
- Keluarga membutuhkan dukungan dari kesehatan profesional untuk membantu agar lebih baik
Simpulan : Keluarga memiliki beban yang sangat tinggi dalam merawat pasien skizofrenia dan sering tidak mengakui saat memiliki pasien
11
skizofrenia sehingga keluarga sangat membutuhkan dukungan dari para tim kesehatan dan pelayanan sosial.
Dewi, E. I (2011) Pengaruh terapi suportif terhadap beban dan kecemasan keluarga dalam merawat anak dengan tunagrahita di SLB Banyumas
Untuk menganalisis terapi suportif terhadap beban dan kecemasan keluarga saat merawat anak dengan tunagrahita di SLB Banyumas.
Variabel independen : Terapi suportif kelompok Variabel dependen: Beban & ansietas
Desain penelitian menggunakan quasi - experimental, pre dan post test with Control - group. Tempat penelitian di SLB C Yakut dan SLB Kuncup Mas Banyumas. Adapun sampel penelitian adalah seluruh keluarga yang memiliki anak tunagrahita yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil penelitian menunjukkan beban dan kecemasankeluarga sebelum dan sesudahpemberian terapi suportif memiliki perbedaan signifikan
Walker, L. M Bischoff, T. F Robinson, J. W (2010) Supportive -Expressive Group Therapy for Women with Advanced
Untuk mengevaluasi terapi suportif kelompok pada pasien kanker ovarium dengan menggali pengalaman baik positif dan negatif yang terkait dengan Terapi suportif
Desain penelitian
Qualitative analysis
Hasil : - Terapi suportif (SEGT) dapat menurunkan
emosi negatif serta mengurangi kesakitan dari penyakit kanker tersebut.
- Terapi suportif (SEGT) dapat membantu mengatasi kemarahan, memulihkan kepercayaan dengan saling berkomunikasi antar anggota kelompok, serta dapat meningkatkan pengetahuan.
12
Ovarian Cancer Simpulan : Wanita yang menderita kanker ovarium merasakan bahwa terapi suportif (SEGT) memberikan manfaat yang besar untuk menurunkan penderitaan dari penyakitnya serta masalah dalam biaya pengobatannya.
Kissane, D.W., Grabsch, B., Clarke, D. M., Smith, G. C., Love, A. W., Bloch, S (2007). Supportive-expressive - group therapy for women with metastatic breast cancer: Survival and psychosocial outcome from a randomized control trial.
Untuk membuktikan terapi suportif ekspresif terhadap kelangsungan hidup serta masalah psikososial pada wanita dengan kanker payudara
Variabel
independen:
Terapi suportif
kelompok /
Supportive-
expressive group
therapy
Variabel dependen :
Kelangsungan hidup
serta masalah
psikososial
Desain penelitian
ekspertimen dengan
randomized control trial
Hasil : Terapi suportif (SEGT) dapat membantu memperbaiki DSM-IV gangguan depresi (p =0,002), mengurangi harapan ketidakberdayaan (p=0,004), gejala trauma (p = 0,04) dan meningkatkan fungsi sosial (p = 0,03) Simpulan : Terapi suportif (SEGT) tidak memperpanjang kelangsungan hidup penderita kanker payudara tetapi dapat meningkatkan kualitas hidup, termasuk pengobatan dan perlindungan terhadap depresi
Hernawaty, T., Keliat, B. A., Hastono, S. P.,
Untuk memperoleh gambaran pengaruh terapi suportif
Variabel
independen:
Desain penelitian ini
menggunakan Quasi
Hasil penelitian menunjukkan terdapat peningkatan yang sangat signifikan pada kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor
13
dan Helena, N. CD. (2009). Pengaruh Terapi Suportif pada Keluarga kepada Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien Gangguan Jiwa di Bogor Barat.
keluarga terhadap peningkatan keluarga saat merawat pasien gangguan jiwa
Terapi Suportif pada
keluarga
Variabel dependen :
Kemampuan
Keluarga Merawat
pasien dengan
Gangguan Jiwa
experimental pre dan
post test with control
group- design,
pengambilan sampel
cluster sampling one
stage.
keluarga saat merawat klien gangguan jiwa setelah diberikan terapi suportif kelompok
9
2.8 Kerangka Teori Penelitian
Berdampak pada masalah psikososial yang dialami keluarga :
1. Mekanisme koping adaptif 2. Mekanisme koping maladaptif
(Keliat, 2013) Strategi koping keluarga :
1. Strategi internal 2. Strategi eksternal
(Friedman, Bowden, & Jones, 2010)
Etiologi Skizofrenia :
1. Model diathesis stress 2. Faktor Neurobiologi 3. Faktor genetika 4. Faktor psikososial (Teori
psikoanalitik, teori pembelajaran, teori keluarga, teori sosial) (Kaplan & Sadock, 2010)
Klasifikasi Skizofrenia :
1. Skizofrenia paranoid 2. Skizofrenia hibefrenik 3. Skizofrenia katatonik 4. Skizofrenia tak terinci 5. Skizofrenia pasca skizofrenia 6. Skizofrenia residual 7. Skizofrenia simplek
(Maslim, 2013)
Pengukuran mekanisme
koping :
Menggunakan alat ukur Brief
COPE Inventory (BCI) yang
terdiri dari 28 item
pernyataan
Berdampak pada beban keluarga:
1. Beban subyektif 2. Beban Obyektif
(WHO, 2008)
Terapi suportif kelompok : Sesi 1 : Menemukan sumber pendukung beserta kemampuan positif Sesi 2 : Penggunaan sistem pendukung di dalam keluarga, memonitor, serta
hambatannya Sesi 3 : Pemanfaatan sumber pendukung di luar keluarga Sesi 4 : Penilaian hambatan serta hasil dari sumber pendukung dalam dan luar
keluarga
Faktor yang mempengaruhi beban keluarga :
1. Perjalanan penyakit 2. Stigma 3. Pelayanan kesehatan 4. Pengetahuan
terhadap penyakit 5. Ekspresi emosi 6. Ekonomi
(Kaplan & Sadock, 2010)
Karakteristik keluarga dalam merawat pasien skizofrenia :
1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Pendidikan 4. Pekerjaan 5. Penghasilan 6. Etnis 7. Keyakinan
(Stuart & Laraia, 2008)
Gambar 2.1 Kerangka Teori Pengaruh Terapi Suportif Kelompok Terhadap Beban Keluarga dan Mekanisme Koping Keluarga Dalam Merawat Anggota Keluarga Skizofrenia
Psikoterapi untuk koping keluarga tidak efektif :
1. Terapi Generalis TAK (Keliat & Akemat, 2005)
2. Terapi Spesialis - Terapi individu: Acceptance and Commitment Therapy (ACT), Cognitive
therapy (CT),Behaviour Therapy (BT) - Terapi keluarga: Family psychoeducation (FPE) - Terapi kelompok : Supportive therapy (ST), Self help group (SHG)
(Workshop UI, 2015)
9