Post on 06-Oct-2021
5
BAB II DASAR TEORI
2.1 Geologi Daerah Penelitian
Wilayah bagian barat dan selatan Kabupaten Rokan Hilir merupakan bagian dengan
dominasi batuan sedimen tersier. Pada Formasi daerah ini merupakan lanjutan
kondisi geologi Bukit Barisan yang ditandai dengan adanya struktur lipatan pada
geologi daerah tersebut.
Berdasarkan peta geologi regional oleh Cameron dkk. (1982) lembar
Pematangsiantar, daerah penelitian tergolong kedalam Formasi Aluvium Tua (Qp)
yang termasuk golongan endapan berumur kuarter. Formasi Aluvium Tua Tua (Qp)
terdiri dari daerah kering (upland) dan daerah basah (basin), lapisan batuan daerah ini
terdiri dari batuan lanau, lempung, pasir, dan kerikil.
Gambar 2.1 Peta Geologi Daerah Penelitian (Cameron dkk., 1982).
6
2.2.1 Fisiografi
Berdasarkan peta fisiografi (Gambar 2.2) daerah Rokan hilir memiliki fisiografi yang
terbagi menjadi empat tipe fisografi utama, yaitu aluvial, gambut, pasang surut, dan
lahan kering. Fisografi yang paling mendominasi pada Kabupaten Rokan Hilir yaitu
gambut dan lahan kering. Daerah penelitian tugas akhir berada pada Kecamatan Kubu
yang memiliki fisiografi dominan yaitu gambut. Fisiografi gambut ini arkeologi lahan
rawa gambut, sehingga tanah pada daerah ini mudah sekali rusak apabila tidak
dipertahankan dalam kondisi alami. Kecamatan Kubu memiliki fisiografi gambut
yang termasuk dalam kubah gambut, dimana semakin tengah lokasinya maka
semakin dalam ketebalan gambut. Untuk pemukiman pada daerah ini berada pada
pinggiran kubah dengan ketebalan gambut yang tergolong dangkal.
Fisiografi pasang surut merupakan fisografi dominan kedua pada daerah penelitian
tugas akhir. Fisiografi pasang surut dipengaruhi dinamika surut dan pasangnya air
yang berlaku harian, tidak seperti dinamika air sungai yang berlaku musiman. Daerah
fisiografi pasang surut ini termasuk arkeologi dataran rendah dengan ketinggian 83 –
86 m (di atas permukaan laut), akan tetapi yang paling dominan adalah daerah
dengan ketinggian 85 m dpl.
Fisiografi aluvial banyak dipengaruhi oleh dinamika air. Pada fisiografi ini sangatlah
dipengaruhi oleh debit aliran air sungai dan air hujan karena akan berdampak pada
siklus hidup tanaman di daerah tersebut. Pada fisiografi aluvial ini juga cenderung
memiliki jenis tanah yang subur karena merupakan hasil pengendapan dari bawaan
sungai yang merupakan hasil erosi di bagian hulu. Untuk pemukiman biasanya berada
di daerah tanggul-tanggul sungai.
Kabupaten Rokan Hilir didominasi oleh wilayah dataran. Sekitar 80% daerah pada
Kabupaten Rokan Hilir memiliki bentuk wilayah yang datar dengan kemiringan
lereng di bawah 3%. Bagan Sinembah, Kecamatan Pujud, dan Simpang Kanan,
memiliki wilayah yang bergelombang dan berombak dengan kemiringan lahan 8%
hingga 15%.
7
Gambar 2.2 Peta Fisiografi Kabupaten Rokan Hilir, Riau (PT. Kuantan Graha Marga, 2013).
2.2.2 Morfologi
Kabupaten rokan hilir memiliki wilayah yang dominan yaitu dataran. Wilayah
dataran ini mengalami siklusi erosi aktif yang disebabkan oleh proses pengangkatan
sehingga membentuk lembah-lembah sempit yang menyerupai buntuk huruf V. Pada
Kabupaten Rokan Hilir ini juga ditemukan adanya pemotongan permukaan tanah
yang mengiris dataran pada kedalaman yang sangat dalam yang dapat ditemukan
pada permukaan Formasi Endapan Minas yang relatif datar. Pada daerah di atas
dataran aluvial dan rawa-rawa merupakan daerah yang menjadi bagian dari
lingkungan cekungan yang memanjang. Topografi pada daerah ini terlihat dengan
adanya pembentukan kembali sedimen tersier dengan arah Barat Laut hingga
Tenggara. Pada drainase aliran sungai memiliki pola paralel yang terdapat pada
puncak, sepanjang sinklinal bagian tengah dan bawah, serta punggung lereng yang
berbentuk cembung.
8
Menurut PT. Kuantan Graha Marga (2013), wilayah Kabupaten Rokan Hilir memiliki
satuan geomorfologi sebagai berikut:
1. Dataran yang terbagi menjadi dataran banjir danau, dataran banjir bergambut,
dataran pasir paduan muara/sungai, dataran lumpur antar pasang surut, dataran
endapan bertufa yang berbukit, dataran sedimen berbatu tufa yang berombank
sampai bergelombang, dataran pasir sungai non-vulkanik pedalaman;
2. Rawa-rawa yang terbagi 2 yaitu, rawa-rawa gambut dangkal dan rawa-rawa
gambut dalam;
3. Teras-teras laut tua yang terbagi menjadi 3 yaitu yang rendah berpasir dan
bertanah liat, yang tertutup gambut, dan yang tertoreh berpasir dan bertanah liat;
4. Jalur meander sungai-sungai dengan tanggul-tanggul lebar.
2.2 Air Tanah
Air yang tersimpan di dalam permukaan tanah disebut dengan air tanah. Air tanah
dapat didefinisikan sebagai semua air yang terkandung dalam ruang batuan dasar,
atau regolith dapat juga disebut sebagai aliran air yang mengalir secara alami ke
permukaan tanah melalui pengaliran atau rembesan (Aziz, 2000). Dalam siklus
hidrologi, air tanah berasal dari air hujan yang masuk dan meresap ke dalam tanah
dan perlahan mengalir ke laut. Penyerapan air menuju bawah tanah dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya intensitas air hujan, kondisi material permukaan tanah,
dan kecuraman lereng. Air tanah yang masuk ke dalam tanah tidak semua akan
bergerak perlahan menuju laut, tetapi beberapa akan tetap berada di dalam tanah
karena gravitasi molekul dan menjadi lapisan pada partikel tanah. Air yang tertahan
oleh gravitasi molekul sebagian akan menjadi cadangan bagi tumbuhan selama tidak
turun hujan dan sisanya akan menguap lagi ke atmosfer.
Menurut Prastistho dkk. (2018), air tanah berdasarkan sumbernya terbagi menjadi
tiga, yaitu:
a. Air Meteorik (Meteoric water), merupakan air tanah yang bersumber dari air
permukaan;
9
b. Air Konat (connate water), merupakan air tanah yang bersumber dari air yang
ditangkap pada saat pembentukan batuan sedimen;
c. Air Juvenil (juvenile water), merupakan air tanah yang bersumber dari aktivitas
magma.
Menurut Saputra (2019), sifat batuan dalam meloloskan dan menyimpan air tanah
terbagi menjadi empat, yaitu:
1. Akuifer
Akuifer atau lapisan pembawa air merupakan lapisan batuan atau formasi pengikat air
yang dapat menyimpan dan meloloskan air dalam jumlah yang banyak.
2. Akuitar
Akuitar atau lapisan batuan lambat air merupakan lapisan batuan atau formasi
pengikat air yang hampir sama dengan akuifer (mampu menyimpan dan meloloskan
air), namun bedanya adalah akuitar dapat meloloskan air namun dalam jumlah
terbatas.
3. Akuiklud
Akuiklud atau lapisan batuan kedap air merupakan lapisan batuan jenuh air atau
formasi yang dapat menyimpan air namun tidak dapat meloloskan air.
4. Akuifug
Akuifug atau lapisan kedap air merupakan suatu lapisan batuan atau formasi yang
tidak dapat menyimpan maupun meloloskan air.
Kondisi alami dan sebaran akuifer, akuiklud, akuitar, dan akuifug dalam sistem
geologi dikendalikan oleh litologi, startigrafi, dan struktur geologi dari material
endapan geologi dan formasi (Freeze & Cheery, 1979 dalam Kodoatie, 1996).
2.3 Sistem Akuifer
Beberapa ahli mengemukakan pendapat mengenai pengertian dari akuifer. Todd
(1955) menyatakan bahwa akuifer berasal dari bahasa latin, yaitu aqui dari kata aqua
yang berarti air dan kata ferre yang berarti membawa, sehingga akuifer adalah lapisan
yang membawa air. Menurut Herlambang (1996), akuifer adalah lapisan tanah yang
mengandung air, dimana air bergerak di dalam tanah karena adanya ruang antar
10
partikel tanah. Berdasarkan kedua pendapat para ahli, dapat kita ketahui bahwa
aikufer merupakan lapisan tanah yang mengandung air dan dapat membawa atau
meloloskan air. Tanah yang dapat meloloskan air disebut permeable dan lapisan
tanah yang tidak dapat meloloskan alir disebut impermeable. Contoh batuan pada
lapisan tanah yang bersifat permeable atau mampu meloloskan air adalah pasir,
kerikil, batu pasir, dan batu gamping rekahan.
Menurut Kodoatie (2012), akuifer (Gambar 2.3) dapat digolongkan menjadi tiga,
yaitu:
1. Akuifer Tertekan (confined Aquifer)
Akuifer tertekan atau disebut akuifer artesis adalah akuifer yang dapat menyimpan
atau terisi air pada seluruh lapisan permeable. Batas atas dan bawah lapisan ini
merupakan lapisan impermeable (confining beds). Ketinggian tekanan air di akuifer
ini disebut dengan permukaan piezometric.
2. Akuifer bebas (unconfined aquifer)
Akuifer bebas biasa disebut juga akuifer tidak tertekan, pada akuifer ini yang dapat
menyimpan atau terisi oleh air hanya sebagian dari lapisan permeable. Batas bawah
akuifer ini merupakan lapisan impermeable dan batas atasnya adalah muka air tanah
yang berada pada keadaan setimbang dengan tekanan udara
3. Akuifer Semi Tertekan ( semi confined aquifer)
Akuifer semi tertekan adalah akuifer peralihan antara akuifer bebas dan akuifer
tertekan. Akuifer ini memiliki batas bawah merupakan lapisan impermeable dan batas
atasnya merupakan lapisan semi-permeable atau dapat meloloskan air hanya dengan
jumlah yang sangat terbatas.
11
Gambar 2.3 Akuifer di Bawah Permukaan (Kodoatie, 2012).
Kondisi alami dan distribusi akuifer, akuklud, dan akuitar dalam sistem geologi
dikendalikan oleh litologi, stratigrafi, dan struktur geologi dari material endapan
geologi dan formasi (Freeze & Cheery, 1979 dalam Kodoatie, 1996). Menurut
(Puradimaja & Irawan, 2012) kesamaan iklim dan kondisi geologi di suatu daerah
akan memberikan kesamaan sistem air tanah. Menurut Puradimaja (2012), sistem
akuifer berdasarkan tipologinya di Indonesia dibagi menjadi lima, yaitu:
1. Sistem Akuifer Endapan Gunungapi, merupakan sistem akuifer yang terjadi pada
daerah gunung berapi. Sistem akuifer endapan ini terdiri dari kaki gunung api,
badan gunungapi, puncak dan kawah gunungapi, serta memiliki pola aliran sungai
radial;
2. Sistem Akuifer Batuan Sedimen;
3. Sistem Akuifer Endapan Aluvial;
4. Sistem Akuifer Glasial; dan
5. Sistem Akuifer Batuan Kristalin, merupakan sistem akuifer yang terdiri dari bukit
terjal, serta pola aliran sungai umumnya mengikuti lembah-lembah antar bukit
dan annular.
12
2.4 Sifat Listrik Batuan
Sifat kelistrikan batuan yaitu kemampuan atau sifat dari batuan untuk menghantarkan
arus listrik. Karena ketidakseimbangan, arus listrik dapat berasal dari listrik yang
diinjeksikan ke dalam batuan atau dari listrik alam itu sendiri. Telford dkk. (1990)
mengatakaan bahwa arus listrik pada batuan atau mineral dapat dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu konduksi secara elektronik, konduksi elektrolitik, dan konduksi
dielektrik.
a. Konduksi Elektronik
Konduksi elektronik adalah keadaan dimana terdapat sejumlah besar elektron bebas
di dalam batuan, dan arus mudah mengalir di dalam batuan. Arus juga dipengaruhi
oleh sifat atau karakteristik masing-masing batuan yang dilaluinya, salah satunya
adalah resistivitas. Contoh batuan yang mengalami konduksi elektronik adalah batuan
yang banyak mengandung unsur logam.
Berdasarkan nilai resisitivitas listriknya, batuan atau mineral dikategorikan menjadi
tiga jenis yaitu:
1. Isolator : ρ > 107 Ωm;
2. Konduktor sedang : 1 < ρ < 107 Ωm;
3. Konduktor baik : 10-8
< ρ < 1 Ωm.
b. Konduksi Elektrolit
Konduksi ini terjadi pada batuan berpori yang memiliki nilai resistivitas tinggi serta
tergolong konduktor yang buruk namun bersifat porus, dimana pori-pori batuan
tersebut diisi dengan larutan elektrolit. Akibatnya batuan tersebut bersifat konduktor
elektrolit, dimana ion-ion larutan elektrolit tersebut membawa arus listrik yang ada.
Salah satu contoh larutan elektrolit tersebut ialah air. Semakin banyak kandungan air
dalam batuan maka konduktivitasnya akan semakin besar, sebaliknya semakin sedikit
kandungan air dalam batuan maka resistivitasnya akan semakin besar, resistivitas dan
konduktivitas pada batuan juga tergantung pada volume dan susunan pori-pori
batuan.
13
c. Konduksi Dielektrik
Batuan dengan elektron bebas dalam jumlah sedikit atau tidak ada sama sekali dapat
mengalami konduksi yang bersifat dielektrik terhadap aliran listrik. Hal ini
dikarenakan adanya pengaruh medan listrik dari luar, yang menyebabkan elektron-
elektron pada bahan bergerak dan berkumpul menjauhi inti, sehingga terjadi
polarisasi. Peristiwa ini tergantung pada konduksi dielektrik masing-masing batuan
yang bersangkutan..
2.5 Metode Resistivitas
Metode resistivitas merupakan salah satu metode geofisika yang bertujuan
mengetahui karakteristik fisis batuan atau benda di bawah permukaan dengan melihat
nilai resistivitas batuan tersebut. Metode resistivitas ini memiliki tujuan untuk
menggambarkan sebaran nilai resistivitas dibawah permukaan berdasarkan hasil
pengukuran yang dilakukan di permukaan bumi (Loke, 1999).
Resistivitas adalah karakteristik kemampuan batuan dalam menghambat arus listrik.
Nilai resistivitas berhubungan dengan karakteristik batuan tersebut, seperti ukuran
butir, kandungan fluida, kepadatan batauan, permeabilitas, arus listrik yang mengalir,
porositas. Gustavus E. Archie pada tahun 1942 menjelaskan hubungan antara nilai
resistivitas dengan porositas yang dikenal dengan hukum Archie, hubungan nilai
resistivitas dengan porositas pada hukum Archie dapat diformulasikan sebagai
berikut:
(2.1)
Dimana ρ adalah nilai resistivitas batuan terukur (Ωm), ρw merupakan nilai
resistivitas jenis air pengisi pori (Ωm), ф adalah porositas (%), adalah koefisien
yang mencirikan karakteristik batuan, dan m adalah koefisien sementasi.
Metode resistivitas dilakukan dengan cara menginjeksikan arus listrik kedalam
permukaan bumi dan kemudian mengukur nilai beda potensial yang dihasilkan antara
dua buah elektroda potensial. Pengukuran metode resistivitas ini didasarkan pada
karakteristik fisik batuan terhadap arus listrik, dimana setiap jenis batuan memiliki
nilai resistivitas yang berbeda-beda. Hal itu tergantung pada beberapa penyebab,
14
diantaranya porositas batuan, mineral batuan, kepadatan batuan, permeabilitas batuan,
dan umur batuan.
Hukum Ohm merupakan konsep dasar metode resistivitas. Resistansi (R) adalah
parameter hubungan antara tegangan (V) dan arus (I). resistansi (R) didefinisikan
sebagai hasil bagi tegangan (V) dan arus (I), sehingga dituliskan:
(2.2)
atau
(2.3)
dimana V merupakan tegangan (V), I merupakan arus (A) dan R merupakan resistansi
bahan (Ω). Hubungan antara tegangan, resistansi, dan kuat arus ditunjukkan pada
Gambar 2.4 di bawah in:
Gambar 2.4 Rangkaian Listrik Sederhana Resistensi (Lowrie, 2007).
Konsep dasar dari metode resistivitas yaitu menggunakan arus listrik yang merambat
pada permukaan bumi yang homogen isotropis, dimana arus bergerak ke segala arah
dengan nilai yang sama. Asumsi bahwa bumi homogen adalah keadaan bumi yang
dianggap hanya memiliki satu lapisan saja padahal kenyataannya bumi memiliki
banyak lapisan, sedangkan bumi diasumsikan isotropik adalah bahwa jika gradient
panas bumi diukur maka suhunya akan sama di setiap tempat. Keadaan homogen
isotropik ini merupakan keadaan bumi yang ideal (Vebrianto, 2016). Akan tetapi,
bumi sebenarnya tersusun dari lapisan-lapisan dengan resistivitas yang berbeda,
sehingga nilai resistivitas yang diperoleh bukanlah nilai resistivitas yang sebenarnya.
Namun, resistivitas yang terukur adalah resistivitas semu (Reynolds, 2005).
15
Berdasarkan Reynolds (2005), resistivitas semu dapat dinyatakan sebagai berikut
(2.4)
Dimana K adalah faktor geometri yaitu besaran koreksi posisi dua elektroda potensial
terhadap posisi kedua elektroda arus. Dengan mengukur ΔV dan I, maka nilai
resistivitas sebenarnya (ρ) dapat ditentukan (Reynolds, 2005). Nilai resistivitas batuan
dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Nilai Resistivitas Batuan (Telford dkk., 1990).
Material Resistivitas (Ωm)
Udara (Air) -
Pirit (Pyrite) 0,01 – 100
Kwarsa (Quartz) 500 – 800000
Kalsit (Calcite) 1x1012
- 1x1013
Garam Batu (Rock Salt) 30 - 1x1013
Granit (Granite) 200 – 10000
Andesit (Andesite) 1,7x102 – 45x104
Basal (Basalt) 200 – 100000
Gamping (Limestone) 500 – 10000
Batu pasir (Sandstone) 200 – 8000
Batu Tulis (Shale) 20 – 2000
Pasir (Sand) 1 – 1000
Lempumg (Clay) 1 – 100
Air tanah (Ground water) 0,5 – 300
Air asin (Sea Water) 0,2
Magnetit (Magnetite) 0,01 – 1000
Kerikil kering (Dry gravel) 600 – 10000
Aluvium (Alluvium) 10 -800
Kerikil (Gravel) 100 -600
16
2.6 Vertical Electrical Sounding (VES)
Dalam survei geolistrik, terdapat dua teknik pengukuran yaitu secara sounding,
mapping, dan imaging atau tomografi. Pada teknik pengukuran mapping memiliki
tujuan untuk mengetahui litologi bawah permukaan berdasarkan nilai resistivitasnya
secara horisontal, pengukuran tomografi memiliki tujuan untuk untuk mengetahui
litologi bawah permukaan berdasarkan nilai resistivitasnya secara lateral dan vertikal,
sedangkan metode sounding atau disebut juga Vertical Electrical Sounding (VES)
adalah salah metode pengukuran yang bertujuan untuk mendapatkan nilai variasi
resistivitas bawah permukaan secara vertikal. Model pengukuran metode ini
menganggap bahwa lapisan bawah permukaan memiliki sifat homogen secara lateral.
Pada metode ini dalam sekali pengambilan data biasa dilakukan secara berulang-
ulang menggunakan satu titik pusat (main unit) tetap dengan menggunakan jarak
elektroda berubah – ubah dari dekat hingga jauh. Elektroda yang digunakan pada
metode ini (Gambar 2.6) menggunakan 2 elektroda potensial (elektroda M dan N) dan
2 elektroda arus (elektroda A dan B). Jarak elektroda arus (AB) merupakan
kedalaman penetrasi pengukuran, yang berarti semakin jauh jarak elektroda arus
semakin dalam penetrasi yang dihasilkan.
Teknik pengukuran Vertical Electrical Sounding (VES) umumnya menggunakan
konfigurasi Schlumberger. Pada teknik pengukuran ini akan menghasilkan resistivitas
(matching curve). Matching curve ini diperlukan untuk mengkoreksi data lapangan,
mendapatkan nilai kedalaman, dan nilai resistivitas semua. Berdasarkan bentuknya,
secara umum tipe kurva VES dibagi menjadi tipe kurva H, A, K, Q, HK, dan KH.
Tipe kurva VES ditunjukkan pada Gambar 2.5.
17
Gambar 2.5 Tipe Kurva Sounding (Telford dkk., 1990).
2.7 Konfigurasi Schlumberger
Metode resistivitas terdiri dari beberapa kofigurasi elektroda, salah satunya adalah
konfigurasi Schlumberger. Konfigurasi Schlumberger banyak digunakan untuk
membedakan resistivitas yang berhubungan dengan karakteristik litologi dan
hidrologi. Secara umum konfigurasi Schlumberger menggunakan 4 elektroda, dimana
elektroda A dan B adalah elektroda arus yang berfungsi sebagai media untuk
menginjeksikan arus, sedangkan elektroda M dan N adalah elektroda potensial yang
berfungsi sebagai media pengukur beda potensial. Idealnya, pada konfigurasi
Schlumberger, jarak MN dibuat sekecil mungkin, sehingga jarak MN teoritis tidak
berubah. Namun, karena sensitivitas alat ukur yang terbatas, ketika jarak AB besar,
jarak MN harus diubah. Perubahan jarak MN hendaknya tidak lebih besar dari jarak
1/5 jarak AB.
18
Gambar 2.6 Konfigurasi Schlumberger (Setia dkk., 2017).
Pada setiap konfigurasi metode resistivitas memiliki faktor geometri yang berbeda-
beda. Faktor geometri konfigurasi Schlumberger (Setia dkk., 2017) adalah:
(
(
)
) (2.5)
Keuntungan dari konfigurasi Schlumberger adalah ketidaksamaan sifat lapisan batuan
permukaan dapat dideteksi ketika jarak elektroda berubah dengan cara
membandingkan nilai resistivitas semu, dan pengoperasiannya sederhana, serta
efisiensinya tinggi. Kerugian dari konfigurasi Schlumberger adalah ketika AB sangat
jauh, pembacaan tegangan pada elektroda MN kecil, hampir melebihi batas
eksentrisitasnya.
2.8 Inversi Data Geolistrik 1-D
Pemodelan 1-D model bumi dianggap berlapis horizontal (Gambar 2.7) sehingga
resistivitas hanya bervariasi terhadap kedalaman. Pendekatan ini dianggap cukup
memadai untuk kondisi geologi tertentu yaitu di lingkungan sedimen sampai
kedalaman yang tidak terlalu besar. Data geolistrik diperoleh melalui pengukuran
dengan konfigurasi elektroda tertentu dengan jarak antar elektroda yang makin besar
untuk memperoleh informasi pada kedalaman yang makin besar pula (sounding)
(Grandis, 2009).
Fungsi pemodelan kedepan pada metode geolistrik dengan model 1-D diformulasikan
sebagai persamaan integral Hankel yang menyatakan resistivitas-semu ( ) sebagai
fungsi dari resistivitas dan ketebalan ( 𝑘, ℎ𝑘) tiap lapisan, 𝑘=1, …, 𝑛 dan 𝑛 adalah
jumlah lapisan:
∫
(2.6)
19
adalah setengah jarak antar elektroda arus (AB/2 untuk konfigurasi Schlumberger),
1 adalah fungsi Bessel orde-satu, dan (λ) adalah fungsi transformasi resistivitas
yang dinyatakan oleh formulasi rekursif Pekeris:
; 𝑘 𝑛 (2.7)
Perhitungan Persamaan (2.7) dapat dilakukan dengan metode filter linier yang secara umum
dinyatakan oleh persamaan berikut:
∑𝑘 (2.8)\
dimana 𝑘 adalah harga koefisien filter linier yang diturunkan oleh Ghosh (Koefeoed,
1979). Dari persamaan-persamaan tersebut di atas tampak bahwa hubungan antara
data resistivitas-semu ( ) dengan parameter model resistivitas dan ketebalan lapisan
( 𝑘, ℎ𝑘) adalah sangat tidak linier.
Dalam konteks pemodelan inversi geolistrik 1-D, data dinyatakan sebagai [ ]
yaitu resistivitas-semu dengan 𝑖 = 1,2, …, 𝑁 dan 𝑁 adalah jumlah data sesuai variabel
20 bebas AB/2. Model resistivitas bawah permukaan 1-D adalah 𝑛 karena
pada model 1-D yang terdiri dari 𝑛 lapisan terdapat 𝑛 harga resistivitas dan
harga ketebalan lapisan (lapisan terakhir dianggap memiliki ketebalan tak-hingga,
Gambar 2.7). Dengan demikian parameterisasi model bersifat tidak homogen.
Pemodelan inversi data geolistrik sounding 1-D dilakukan sesuai algoritma inversi
non-linier dengan pendekatan linier. Dalam hal ini digunakan faktor redaman dan
teknik Singular Value Decomposition (SVD) untuk menstabilkan proses inversi.
Persamaan pemodelan kedepan (forward modeling) geolistrik 1-D secara umum
dinyatakan oleh:
(2.9)
Mengingat persamaan yang menghubungkan data dengan parameter model cukup
kompleks maka turunan parsial orde pertama terhadap setiap parameter model sangat
sulit diperoleh secara analitik dan eksplisit. Oleh karena itu untuk memperoleh
20
elemen Matriks Jacobi dilakukan melalui pendekatan beda-hingga (finite-difference)
sebagai berikut:
*
+
(2.10)
Setiap elemen Matriks Jacobi memerlukan dua kali pemodelan kedepan, pertama
untuk model m dan kemudian untuk model yang sama namun dengan elemen ke- 𝑘
dari m diperturbasi dengan ∆ 𝑘. Besarnya perturbasi umumnya berkisar antara 5%
sampai 10% dari harga parameter model.
Berdasarkan Persamaan (2.10) tampak bahwa kolom matriks Jacobi ke- 𝑘 berasosiasi
dengan perubahan respons model (pada semua elemen data perhitungan dengan
indeks- 𝑖) sebagai akibat dari perturbasi suatu elemen parameter model 𝑘. Baris
matriks Jacobi ke- 𝑖 menyatakan perubahan respons model (pada satu elemen data
perhitungan ke- 𝑖) akibat perturbasi semua elemen parameter model dengan indeks-
𝑘. Matriks Jacobi secara lengkap menggambarkan variasi respons model atau data
perhitungan akibat perubahan parameter model.
Gambar 2.7 Model resistivitas 1-D (Grandis, 2009).