Post on 10-Mar-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Novel grafis merupakan sebuah genre baru dalam dunia sastra. Meskipun
memiliki penampilan yang sama dengan komik, tetapi novel grafis memiliki
tingkat pemaknaan yang lebih tinggi (Gravett, 2005:8—9). Kisah yang diceritakan
dalam novel grafis lebih serius dan topik yang dibahas meliputi konflik sosial
maupun sisi gelap kehidupan manusia.
Perbedaan yang paling mendasar antara novel grafis dengan komik terletak
pada ruang lingkup muatan permasalahan yang diciptakan pengarang. Novel
grafis menyajikan tokoh yang memiliki karakter yang kompleks, alur cerita yang
rumit dan menggunakan bahasa yang lebih berbobot dibandingkan dengan komik.
Oleh sebab itu, novel grafis dapat dikonsumsi oleh pembaca anak-anak hingga
orang dewasa. Perbedaan lainnya adalah pada cara penerbitannya. Jika komik
diterbitkan secara berkala untuk menceritakan kisah dari awal hingga akhir, novel
grafis biasanya dicetak dan selesai dalam satu buku. Akan tetapi, jika terdiri dari
beberapa jilid, setidaknya dalam satu jilid mencakup banyak porsi cerita (NWT
Literacy Council, 2011:2).
Selain itu, Dominique Girard (2009) mengatakan bahwa novel grafis
merupakan sarana untuk mengkomunikasikan perspektif, opini, bahkan pesan-
2
pesan sosial dan politik. Dunia perindustrian komik yang berkembang pesat juga
menjadikan novel grafis dapat diakses dengan mudah ke ruang lingkup yang lebih
luas. Dengan demikian saat ini novel grafis telah memiliki tempat yang baik di
ranah kesastraan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya karya novel grafis yang
mendapatkan penghargaan internasional maupun nasional, misalnya Persepolis
(2000) karya Marjane Satrapi dan Mauss (1991) karya Art Spielgelman yang
mendapat penghargaan Pulitzer.
Pengarang novel grafis Prancis yang terkenal selain Marjane Satrapi
adalah David Beauchard. Ia lahir di Nîmes pada 9 Februari 1959 dan menempuh
studi di École des Arts appliqués Duperré, Paris, Prancis. Awalnya, David
Beauchard menerbitkan karya-karyanya pada majalah anak seperti Chic, Okapi,
Tintin Reporter dan À Suivre. Kemudian pada tahun 1990, David Beauchard dan
temannya mendirikan penerbitan L’Assosiasion. Dengan didirikannya
L’Assosiasion, David Beauchard mulai menerbitkan sendiri sebagian besar karya-
karyanya. Karya-karya David Beauchard antara lain Le timbre maudit (1986) yang
diterbitkan dalam majalah Okapi, Les leçons du nourisson savant (1990), La
bombe familialle (1991), Le cheval blême (1992), Le nain jaune jilid 1 hingga jilid
5 (1993—1994), Le livre somnanbule (1994), Le messie discret (1994), Le tengû
carré (1997), Les 4 savants jilid 1 hingga jilid 3 (1996—1998), Les incidents de la
nuit jilid 1 hingga jilid 3 (1999—2002), L’Ascension du haut mal jilid 1 hingga
jilid 6 (1996—2003), Le jardin armé et autres histoires (2006), Par les chemins
noirs (2006), dan Les meilleurs ennemies : Une histoire des relations entre les
États-Unis et le Moyen-Orient (2012) yang ditulis bersama seorang diplomat
3
sekaligus profesor, Jean-Pierre Filiu. Novel grafis L’Ascension du haut mal adalah
karya David Beauchard yang paling terkenal dan mendapat banyak penghargaan.
Novel grafis L’Ascension du haut mal memenangkan penghargaan
Angoulême International Comics Festival Prize :Alph’Art du meilleur scénario
(2000), Prix du meilleur album (1998 dan 2004), le Prix International de la Ville
de Genève (2003) dan Ignantz Award (2005). Meskipun belum dikenal di
Indonesia, namun L’Ascension du haut mal merupakan salah satu novel grafis
yang sangat berpengaruh di Eropa dan Amerika Serikat. Ketenaran tersebut
membuat L’Ascension du haut mal dibuat ke dalam film animasi oleh Christophe
Gérard1. Meskipun teaser video telah beredar, namun film animasi ini baru akan
dirilis pada tahun 2017 mendatang2.
L’Assencion du haut mal dianggap sebagai karya autobiografi Pierre-
François (David) Beauchard karena menceritakan tentang keluarga Beauchard
yang berjuang dengan segala cara untuk menyembuhkan penyakit epilepsi yang
diderita salah satu anggota keluarganya. Epilepsi adalah penyakit yang dianggap
mengerikan oleh masyarakat. Seorang penderita epilepsi bahkan dianggap gila
atau kerasukan arwah jahat. Kisah L’Ascension du haut mal menyadarkan bahwa
penderita dan keluarga sudah cukup menderita tanpa cemoohan dan pengucilan
dari masyarakat. Selain itu, yang paling menarik dari novel grafis ini adalah
gambar-gambar yang ada di dalamnya.
1http://www.lascensionduhautmal.com (diakses 22 April 2014 pukul 16.06 WIB)
2http://www.avoir-alire.com/l-ascension-du-haut-mal-de-la-bd-a-l-animation (diakses 22 April
2014 pukul 16.58 WIB)
4
Gambar-gambar dalam novel grafis L’Ascension du haut mal bernuansa
gelap dengan proporsi warna dominan hitam. Selain itu, terdapat gambar-gambar
simbol yang aneh, seakan gambar tersebut memiliki makna tersirat. Contohnya
dapat dilihat pada gambar dalam novel grafis L’Ascension du haut mal halaman
51 berikut:
Gambar 1. Jean-Christophe menaklukkan naga
Terjemahan teks dalam panel di atas adalah: “Setelah beberapa bulan, ia
tidak lagi membutuhkan obat-obatan. Ia tidak lagi mengalami serangan. Ia telah
sembuh”. Berdasarkan gambar dan teks, panel di atas memiliki makna bahwa
Jean-Christophe berhasil mengalahkan penyakit epilepsinya dan sembuh. Makna
tersebut dapat diterima dengan baik oleh pembaca karena menurut Benedict
R.O‟G (Sobur, 2003:132—133), meskipun elemen pembentuk komik-kartun
cukup kompleks, yakni terdiri atas unsur-unsur berbagai disiplin, misalnya bidang
seni rupa, sastra, linguistik, dan sebagainya, namun apabila dibandingkan dengan
bentuk komunikasi politik lain, komik merupakan bentuk yang paling terbaca
karena sering diberi kata-kata tertulis.
5
Jika suatu komik hanya dibaca kata-katanya, maka pembaca tidak akan
memahami ceritanya, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut karena teks dan gambar
dalam komik adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Gravett,
2005:11).
Berbeda dengan pengarang novel, pengarang novel grafis lebih
mengutamakan gambar untuk digunakan sebagai sarana penyampaian pesan
karena satu gambar dapat bercerita lebih banyak daripada jutaan kata-kata.
Gambar mengenai Jean-Christophe yang sembuh dari epilepsi di atas tampak
ganjil dengan kehadiran sesosok monster naga. Pada gambar tersebut, „naga‟
adalah „penyakit epilepsi‟. Asumsi yang ditimbulkan adalah terdapat alasan atau
maksud tertentu atas penggunaan simbol naga dalam menggambarkan penyakit
epilepsi.
Penggambaran menggunakan simbol seperti contoh di atas banyak
ditemukan dalam novel grafis L’Ascension du haut mal. Simbol, sebagaimana
semua jenis tanda (sign) lainnya, memiliki potensi dan kemungkinan makna yang
tidak terbatas. Akan tetapi, jika suatu tanda memiliki suatu makna yang telah
ditetapkan, tanda tersebut telah berubah menjadi mitos (Barthes, 1957:193—202).
Dengan demikian, simbol yang terdapat dalam novel grafis tersebut merupakan
simbol mitos.
Pembahasan mengenai mitos termasuk dalam pembahasan ranah
semiotika. Akan tetapi, terdapat teori khusus yang membahas mengenai mitos,
yaitu teori mitologi dari Roland Barthes. Pembahasan mengenai simbol-simbol
6
mitos menarik karena dapat mengungkap makna tersirat yang terdapat dalam
novel grafis L’Ascension du haut mal secara keseluruhan. Selain itu, penelitian
yang mengangkat gambar sebagai objek penelitian cukup jarang dilakukan di
bidang penelitian karya sastra, khususnya novel grafis.
Gambar dapat dikategorikan sebagai teks karena gambar tersusun dari
bentuk-bentuk dan menunjukkan referensi tertentu (McCloud, 1994:24—33).
Dengan demikian, tulisan dan gambar dalam novel grafis memiliki kedudukan
yang sama sebagai objek penelitian karya sastra.
1.2. Rumusan Masalah
Novel grafis adalah sebuah karya sastra yang terdiri dari teks dan gambar.
Teks dan gambar dalam novel grafis berfungsi sebagai sarana penceritaan dan
penyampaian makna. Novel grafis yang terkenal dan memperoleh penghargaan
biasanya karena tema yang diangkat mencakup permasalahan-permasalahan
sosial. Akan tetapi novel grafis L’Ascension du haut mal berbeda. Novel grafis ini
unik dengan gambar-gambarnya yang menggunakan simbol-simbol untuk
menyampaikan makna tersirat. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Apa makna simbol-simbol mitos dalam L’Ascension du haut mal?
2. Mengapa dan bagaimana simbol tersebut digunakan?
7
1.3. Ruang Lingkup Penelitian
Novel Grafis L’Ascension du haut mal sebenarnya terdiri dari enam jilid.
Akan tetapi, penelitian yang akan dilakukan cukup dengan menggunakan jilid
pertama sebagai sampel. Hal ini karena, secara garis besar, simbol-simbol yang
digunakan dalam semua jilid L’Ascension du haut mal memiliki konsep yang
sama.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mitos yang terdapat dalam
novel grafis L’Ascension du haut mal dengan menggunakan analisis mitologi dari
Roland Barthes. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan cara
memaknai simbol-simbol mitos yang dapat digunakan dalam keenam jilid novel
grafis L’Ascension du haut mal.
Selain tujuan teoretis di atas, penelitian ini juga memiliki tujuan praktis.
Tujuan praktis penelitian ini adalah menawarkan perspektif baru untuk
mengapresiasi sebuah karya sastra genre baru yang berupa novel grafis kepada
masyarakat.
8
1.5. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini menggunakan objek material novel grafis L’Ascension du
haut mal jilid 1 karya David Beauchard yang diterbitkan oleh penerbit Prancis
L’Assosiasion pada tahun 2006. Sedangkan objek formal dari penelitian ini adalah
mitos yang terkandung dalam simbol-simbol dan dikaji menggunakan teori
mitologi dari Roland Barthes.
Terhadap objek material menggunakan novel grafis, meskipun karya sastra
dalam bentuk ini tergolong „muda‟, namun telah cukup banyak yang mengkajinya.
Misalnya saja Gde Dwitya Arief Metera dari Jurusan Sastra Inggris yang pada
tahun 2009 membuat skripsi dengan judul “Comic as Literature in the
Postmodern Age: A Study on Art Spiegelman’s Maus”. Skripsi tersebut membahas
mengenai komik yang mulai dapat dikategorikan sebagai sebuah karya sastra
karena cerita dan isinya. Maus karya Art Spiegelman tersebut termasuk kategori
novel grafis yang memenangkan berbagai penghargaan sastra. Pada tahun 2011,
Widiatmoko Adi Putranto dari Jurusan Sastra Inggris juga membuat skripsi
berjudul “Rebellious Character as Seen in the Marjane Satrapi’s PERSEPOLIS
Series”. Ia memaparkan pemberontakan-pemberontakan apa saja yang dilakukan
oleh tokoh utama dalam cerita tersebut dan menganalisisnya dengan mengaitkan
hal tersebut dengan latar belakang keluarga serta kisah masa kecil tokoh yang
menggambarkan bahwa wataknya tersebut telah ada sejak ia masih kecil. Selain
itu terdapat juga Duta Putra Niagara dari Jurusan Sastra Prancis yang menulis
skripsi yang berjudul “Dominasi Patriarkal dalam Novel Grafis Broderies karya
Marjane Satrapi” pada tahun 2013. Ia meneliti tentang dominasi patriarkal yang
9
terdapat dalam cerita tersebut dan mengkajinya dengan teori dari Kamla Bhasin
serta memaparkan respon-respon apa saja yang dilakukan tokoh-tokoh perempuan
dalam cerita tersebut untuk menghadapi dominasi tersebut.
Penelitian lain yang menggunakan objek material menggunakan novel
grafis adalah skripsi dari Desiana Enitriawati dari Jurusan Bahasa Korea pada
tahun 2013 yang berjudul “Representasi Tokoh Utama Perempuan dalam Novel
Grafis Hwangtobit Iyagi karya Kim Dong Hwa : Pendekatan Feminis”. Ia
mengklasifikasikan representasi perempuan dalam pencitraan fisik dan non-fisik
tokoh-tokohnya berdasarkan periode usia dan interaksinya dengan tokoh lain.
Akan tetapi, hingga saat ini objek material novel grafis karya David Beauchard
yang berjudul L’Ascension du haut mal belum ada yang mengkajinya di Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Kemudian, terkait penelitian mengenai simbol dan mitos, ada beberapa
skripsi, tesis maupun disertasi yang dapat dijadikan acuan penelitian ini. Misalnya
saja skripsi berjudul “Simbol-Simbol Ajaran Zen pada Taman Karesansui di Kuil
Ryooanji” karya Adhisakti Pratama Putra dari Jurusan Sastra Jepang pada tahun
2011. Skripsi ini membahas bagaimana batu, pasir, dan unsur lainnya dalam
Taman Koresansui ditata sedemikian rupa dengan pertimbangan filosofis dari
ajaran Zen. Lalu sebuah tesis berjudul “Mitos tentang Petalangan dalam Bujang
Tan Domang Susunan Tenas Effendy (Kajian Mitos Roland Barthes)” yang dibuat
oleh Alvi Puspita dari S2 Sastra pada tahun 2013. Tesis ini meneliti tentang
bagaimana sastra lisan Bujang Tan Domang mengandung mitos dan ideologi
daerah Petalangan yang berfungsi untuk menanamkan rasa persatuan dan
10
kebanggaan sebagai putra-putri Petalangan serta menekankan bahwa Petalangan
adalah wilayah yang kaya sehingga layak diakui pemerintah RI. Kemudian
“Myths of American Dream in the American Society”yang dibuat oleh Azwar
Abbas dari Jurusan American Studies pada tahun 2004. Penelitian tersebut
mengenai mitos mengenai „The American Dream‟ pada orang-orang Amerika
dalam drama Death of A Salesmen menggunakan teori Semiotik dari Roland
Barthes dengan pendekatan sosiokultural dan ekonomi. Penelitian lain yang
berupa skripsi berjudul “Cerita Anak-Anak Bergambar Caroline Aux Indes karya
Pierre Probst: Analisis Semiologi dalam Wacana Pascakolonialisme” karya Wisnu
Pradana dari Sastra Prancis pada tahun 2009. Skripsi ini mengungkapkan ideologi
Pascakolonialisme yang ada dalam penggambaran tokoh-tokoh dan ceritanya
menggunakan teori semiologi Roland Barthes dan Orientalisme dari Edward Said.
Berdasarkan tinjauan pustaka diatas, penelitian dengan menggunakan
novel grafis L’Ascension du haut malkarya David B. mengenai pemaknaan
simbol-simbol monster menggunakan teori mitologi dari Roland Barthes belum
pernah dikaji sebelumnya. Dengan demikian, penelitian ini perlu dilakukan.
Selain itu, seperti yang telah dijabarkan diatas, penelitian yang
menggunakan objek material novel grafis kebanyakan masih terpaku pada
pembahasan cerita. Padahal novel grafis merupakan genre baru dalam dunia
kesastraan yangberisi gambar sebagai unsur penyusunnya.Oleh sebab itu, gambar-
gambar dalam novel grafis sama pentingnya dengan teks sehingga dapat dijadikan
objek penelitian.Begitu juga gambar-gambar simbol dalam novel grafis
11
L’Ascension du haut malyang memiliki peran penting dalam penceritaan sehingga
patut untuk diteliti.
1.6. Landasan Teori
Penelitian ini akan menjelaskan cara memaknai simbol-simbol mitos
dalam novel grafis L’Ascension du haut mal serta alasan simbol tersebut
digunakan. Pembahasan mengenai makna termasuk dalam ranah penelitian
semiotika. Akan tetapi, terdapat teori khusus yang membahasa mengenai mitos,
yaitu teori mitologi dari Roland Barthes.
Teori mitologi dari Roland Barthes merupakan salah satu bentuk
pengembangan dari konsep dasar semiologi Ferdinand de Saussure. Dengan
mitologi, Roland Barthes berusaha membedah makna terdalam produk-produk
budaya massa seperti iklan, pertunjukan, foto, film, dan sebagainya. Menurutnya,
pada dasarnya segala sesuatu dapat menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah
wacana.
Berdasarkan bab terakhir buku Mythologie (1957) berjudul “Le mythe,
aujourd’hui”, Barthes mengungkapkan konsep dan langkah kerja dari teori
mitologi yang ia kemukakan. Konsep dan langkah kerja tersebut akan dipakai
dalam penelitian ini dan berikut adalah penjabarannya.
12
1.6.1. Mitos adalah Tipe Wicara
Menurut kaidah etimologi, pada saat ini mitos berarti tipe wicara.
Meskipun demikian, bahasa membutuhkan syarat khusus untuk dapat menjadi
mitos. Bahasa tersebut harus memiliki pesan karena mitos merupakan sistem
komunikasi; dan mitos adalah sebuah pesan yang tidak bisa menjadi sebuah objek,
konsep, ataupun ide. Dalam sistem komunikasi tersebut, mitos adalah cara
pemaknaannya (Barthes, 1957:193—195).
Pada prinsipnya, beberapa objek menjadi sasaran mitos hanya untuk
beberapa waktu, lalu mereka sirna atau tergantikan oleh objek lain untuk mitos
yang sama. Hal ini terjadi karena sejarah manusialah yang mengubah realitas
wicara dan mengatur hidup matinya bahasa mitos.
Barthes mengatakan bahwa tulisan dan gambar tidak dapat dikategorikan
dalam tipe kesadaran yang sama karena dengan gambar, seseorang bisa
menggunakan lebih banyak ragam interpretasi. Akan tetapi yang paling penting
adalah pembahasan mengenai suatu citra yang dibuat demi satu interpretasi
khusus. Mitos dibangun oleh materi yang telah dibuat sedemikian rupa agar cocok
untuk komunikasi.
1.6.2. Mitos sebagai Sistem Semiologis
Mitos adalah studi tentang tipe wicara yang merupakan bagian dari ilmu
tanda (semiologi) Saussure. Hal ini karena pada masa kini, membahas sebuah
13
pemaknaan berarti harus kembali mengacu pada bidang semiologi. Kedua hal
tersebut (mitologi dan semiologi) adalah ilmu pengetahuan tentang „nilai‟ dan
tidak terpaku pada penemuan fakta. Mitologi dan semiologi berusaha untuk
mendefinisikan dan mengeksplorasi fakta-fakta tersebut sebagai tanda bagi
sesuatu yang lain.
Semiologi adalah ilmu tentang bentuk karena ia mempelajari pemaknaan
secara terpisah dari kandungannya. Padahal, menurut Barthes, ilmu pengetahuan
seharusnya berbicara tentang „kehidupan‟, bukan sesuatu yang tidak dapat
dilukiskan.
Mitos merupakan sistem khusus yang berupa rangkaian unsur semiologis
yang telah ada sebelumnya (Barthes, 1957:195—202). Berikut adalah
penjelasannya:
Tabel 1.1. Sistem mitologi
Bahasa
Mitos
1. Penanda 2. Petanda
3. Tanda
I. PENANDA
II. PETANDA
III. TANDA
Berdasarkan tabel di atas, sistem mitologi terdiri dari dua lapis sistem semiologi.
Tanda (sign) pada sistem semiologi pertama, menjadi penanda pada sistem yang
kedua. Mitos hanya ingin melihat sekumpulan tanda dalam satu unsur semiologi
menjadi satu tanda global—yang merupakan istilah akhir dari rangkaian semiologi
14
tingkat pertama. Istilah akhir ini kemudian menjadi istilah pertama dari sebuah
sistem yang lebih besar yang telah terbentuk. Istilah akhir inilah yang nantinya
akan dicari korelasinya sehingga mitos dapat diketahui.
1.6.3. Bentuk (La Forme) dan Konsep (Le Concept)
Sebelum menganalisis mitos sebaiknya disepakati terminologinya terlebih
dahulu. Penanda dalam mitos dapat diamati dari dua sudut pandang: sebagai
istilah akhir sistem linguistik (semiologi), atau sebagai istilah pertama dari sitem
mitos. Oleh sebab itu kita membutuhkan dua nama. Pada taraf bahasa, istilah akhir
dari sistem pertama disebut „penanda‟; pada tingkatan mitos disebut „bentuk‟.
Sedangkan dalam „petanda‟ tidak mungkin ada ambigutas sehingga dapat disebut
„konsep‟. Kemudian istilah antara korelasi penanda dan petanda dalam istilah
linguistik disebut „tanda‟, tetapi karena dalam mitos penandanya dibentuk oleh
beberapa tanda bahasa sehingga disebut „makna‟ (la signification) (Barthes,
1957:202—206).
Penanda dalam mitos berperan sebagai makna sekaligus bentuk, sehingga
ambigu. Namun dalam satu penanda terdapat banyak kekayaan makna. Makna
tersebut mengungkapkan sejenis pengetahuan, masa lalu, memori, tingkatan fakta
yang bersifat komparatif, ide dan keputusan. Penanda saat berupa bentuk akan
meninggalkan makna yang mengitarinya, namun ia tidak hilang begitu saja, hanya
menyusut dan menjadi transparan.
15
Sedangkan pada petanda, bentuk yang telah dikosongkan oleh sejarah—
karena sejarah selalu berubah seiring dengan manusia—akan diserap oleh konsep.
Konsep menyusun kembali rentetan sebab dan akibat, alasan dan tujuan. Tidak
seperti bentuk, konsep sama sekali tidak abstrak: ia dipenuhi berbagai situasi.
Dengan demikian sejarah dimasukkan ke dalam mitos melalui konsep.
1.6.4. Mitos (La Signification)
Mitos adalah makna ketiga. Mitos diketahui dengan memahami relasi
antara konsep dengan bentuk (Barthes, 1957:206—213). Relasi antar keduanya
mengandung bentuk yang telah terdeformasi dan makna yang telah terdistorsi.
Bentuk terdeformasi agar dapat menyampaikan mitos.Pendeformasian
bentuk tersebut terjadi dalam pengaruh konsep mitos. Mitos yang bentuknya telah
terdeformasi memiliki makna yang terdistorsi. Makna mitos terdistorsi oleh
konsep karena sebelumnya mitos telah dibentuk oleh makna linguistik—yang
dalam sistem sederhana seperti bahasa, petanda sama sekali tidak bisa mendistorsi
apapun karena penanda bersifat hampa dan arbitrer.
16
1.6.5. Membaca dan Menguraikan Mitos
Barthes (1957:213—217) mengemukakan tiga model pembacaan dan
penguraian mitos berdasarkan titik tekan pembacaannya, yaitu:
1. Memfokuskan pada penanda yang kosong
Jika terfokus pada penanda yang kosong, maka konsep dibiarkan mengisi
bentuk mitos tanpa ambiguitas. Dengan demikian sistem menjadi sederhana dan
pemaknaan menjadi bersifat literal lagi.
2. Memfokuskan pada penanda yang penuh
Jika terfokus pada penanda yang penuh, maka makna dan bentuk
dibedakan secara gamblang. Hal tersebut akan mengakibatkan distorsi yang
dipaksakan kepada salah satu pihak (makna atau bentuk). Dengan demikian,
penelitian terlepas dari sistem mitis dan menerima begitu saja unsur penipuan.
3. Memfokuskan pada penanda mitos yang terbangun dari makna dan bentuk
Jika terfokus pada penanda mitos sebagai sesuatu yang membangun makna
dan bentuk, maka pemaknaan yang ambigu diakui.Dengan demikian, mekanisme
pembentuk mitos dan sifat kedinamisannya dapat dipahami.Cara tersebut adalah
yang paling cocok untuk menjadi pembaca mitos.
17
1.7. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menelaah data yang
bersumber dari novel grafis L’Ascension du haut maljilid 1. Dalam bukunya,
Moleong (2006:6) memaparkan bahwa metode kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya pelaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata ataupun bahasa pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
Data utama dalam penelitian ini adalah novel grafis karya David B. yang
berjudul L’Ascension du haut maljilid 1 serta referensi atau buku-buku terkait.
Referensi dan buku-buku tersebut digunakan sebagai acuan untuk memahami
makna dari data-data utama yang diambil langsung dari objek material, yaitu
novel grafis. Sedangkan objek formal dalam penelitian ini adalah pengkajian
mitologi untuk mengetahui makna simbol-simbol mitos dalam novel grafis.
Penelitian ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Melakukan pembacaan objek material yang berupa novel grafis
L’Ascension du haut mal jilid 1 secara heuristik atau pembacaan tingkat pertama
untuk memahami arti sesuai dengan teks (denotatif).
b. Melakukan pengkajian objek material tersebut secara hermeunetik, yaitu
menginterpretasikan secara utuh teks dan gambar dengan mengaitkan referensi-
referensi dan pengetahuan umum mengenai simbol yang digunakan dalam cerita
tersebut.
18
c. Melakukan pengklasifikasian berdasarkan bentuk (la forme) dan konsep
(le concept) terhadap data-data berupa potongan panel gambar yang berisi simbol
mitos.
d. Menganalisis bentuk penanda mitos yang terdeformasi dan makna yang
terdistorsidalam simbol-simbol mitos. Setelah itu, mitosdalam novel grafis
L’Ascension du haut malakan diketahui melaluihubungan antara kedua hal
tersebut.
e. Menarik kesimpulan dari analisis yang telah dilakukan.
1.8. Sistematika Penyajian
Laporan penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan ketentuan
sebagai berikut:
BAB I: merupakan pengantar yang berisi uraian mengenai latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori dan metode
penelitian.
BAB II: berisi pemaparan bentuk dan konsep simbol-simbol mitos serta
analisis bentuk penanda mitos yang terdeformasi dan makna yang terdistorsi yang
menyusun mitos dalam novel grafis L’Ascension du haut mal.
BAB III: merupakan bab terakhir yang terdiri dari kesimpulan hasil
analisis pada BAB II serta lampiran-lampiran.