Post on 12-Aug-2015
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada Bab II akan dijelaskan pengertian-pengertian dasar yang digunakan
sebagai landasan pembahasan pada bab selanjutnya yaitu peramalan, konsep dasar
time series, stasioner dan nonstasioner, Autocorrelation Function (ACF) dan
Parsial Autocorrelation Function (PACF), model-model Time Series,
heteroskedastisitas, model ARCH, pengujian efek ARCH, dan model GARCH.
A. Peramalan
Peramalan merupakan bagian integral dari kegiatan pengambilan
keputusan, sebab efektif atau tidaknya suatu keputusan bergantung pada beberapa
faktor yang tidak dapat dilihat pada waktu keputusan itu diambil. Peamalan
(forecasting) suatu teknik untuk memperkirakan suatu nilai pada masa yang akan
datang dengan memperhatikan data masa lalu maupun data saat ini. (Aswi dan
Sukarna, 2006: 1)
Peramalan pada umumnya digunakan untuk memprediksi sesuatu yang
kemungkinan besar akan terjadi misalnya kondisi permintaan, banyaknya curah
hujan, kondisi ekonomi, dan lain-lain.
Atas dasar logika, langkah dalam metode peramalan secara umum adalah
mengumpulkan data, meyeleksi dan memilih data, memilih model peramalan,
menggunakan model terpilih untuk melakukan peramalan, evaluasi hasil akhir.
Berdasarkan sifatnya, peramalan dibedakan menjadi:
1
1. Peramalan kualitatif
Peramalan yang didasarkan atas data kualitatif pada masa lalu. Hasil
peramalan kualitatif didasarkan pada pengamatan kejadian-kejadian di masa
sebeumnya digabung dengan pemikiran dari penyusunnya.
2. Peramalan kuantitatif
Peramalan yang didasarkan atas data kuantitatif masa lalu yang diperoleh
dari pengamatan nilai-nilai sebelumnya. Hasil pengamatan yang dibuat tergantung
pada metode yang digunakan, menggunakan metode yang berbeda akan diperoleh
hasil peramalan yang berbeda.
B. Konsep dasar Time series
Deret waktu (time series) merupakan serangkaian data pengamatan yang
terjadi berdasarkan indeks waktu secara beruntun dengan interval waktu tetap
(Aswi dan Sukarna, 2006: 5). Metode time series adalah metode peramalan
dengan menggunakan analisis pola hubungan antara variabel yang akan
diperkirakan dengan variabel waktu atau analisis time series, antara lain:
1. Metode smooting
2. Metode Box-Jenkins (ARIMA)
3. Metode Proyeksi trend dengan regresi
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan peramalan adalah pada
galat (error), yang tidak dapat dipisahakan dalam metode peramalan. Untuk
mendapatkan hasil yang mendekati data asli, maka seorang peramalan berusaha
membuat error-nya sekecil mungkin.
2
Analisis deret waktu adalah salah satu prosedur statistik yang diterapkan
untuk meramalkan struktur probabilistik keadaan yang akan terjadi di masa yang
akan datang dalam rangka pengabilan keputusan. (Aswi dan Sukarna, 2006: 5).
C. Stasioner dan Nonstasioner
Dalam analisis runtun waktu sering kali menggunakan asumsi bahwa
data harus stasioner. Stasioneritas berarti bahwa tidak terdapat perubahan yang
dratis pada data. Fluktuasi data berada disekitar suatu nilai rata-rata yang konstan,
tidak tergantung pada waktu dan variansi dari fluktuasi tersebut (Makridakis,
1995: 351).
Bentuk visual dari plot data runtun waktu sering kali
cukup meyakinkan para peneliti bahwa data yang diperoleh stasioner atau
nonstasioner. Gambar 2.1 merupakan contoh plot data runtun waktu yang
stasioner dalam rata-rata dan Gambar 2.2 menunjukkan plot data runtun waktu
yang tidak stasioner dalam rata-rata. Data yang digunakan adalah data penjualan
rumah yang ada di Amerika Serikat mulai bulan Januari 1968 sampai bulan
Desember 1982.
Gambar 2.1 Plot Data penjualan rumah Stasioner dalam Rata-rata(Time Series Analysis (ARIMA) Contoh Pemodelan dan Peramalan
dengan metode ARIMA.html)
3
Gambar 2.2 Plot Data penjualan rumah Tidak Stasioner dalam Rata-rata( Time Series Analysis (ARIMA) Contoh Pemodelan dan Peramalan
dengan metode ARIMA.html)
Untuk mengatasi ketidakstasioneran data berdasarkan rata-rata (mean)
yaitu dengan melakukan pembedaan (differencing). Menurut Makridakis dkk
(1999: 452) notasi yang sangat bermanfaat dalam metode pembedaan adalah
operator shift mundur (backward shift) disimbolkan dengan B sebagai berikut:
B X t=X t−1 (2.1)
Dengan kata lain, notasi B yang dipasang pada X t memiliki efek
menggeser data satu periode ke belakang. Dua aplikasi dari B terhadap X t akan
menggeser data tersebut dua periode ke belakang, sebagai berikut:
B(BX¿¿ t)=B2 X t=X t−2 ¿ (2.2)
Apabila suatu time series tidak stasioner, maka data tersebut dapat dibuat
lebih mendekati stasioner dengan melakukan pembedaan pertama. Operator ini
memudahkan proses diferensiaisi. Diferensiaisi pertama/turunan tingkat satu dapat
dituliskan sebagai berikut:
X t,=X t−X t−1 (2.3)
Menggunakan operator shift mundur, persamaan (2.3) dapat ditulis kembali
menjadi (Makridakis, 1995:383):
4
X t,=X t−X t−1=X t−B X t=(1−B ) X t (2.4)
Pembedaan pertama dinyatakan oleh (1−B ) sama halnya apabila pembedaan orde
kedua (yaitu pembedaan pertama sebelumnya) harus dihitung, maka:
X t,,=(X t
,−X t−1, )
¿¿
¿ X t−2 X t−1+ X t−2
¿ (1−2 B+B2 ) X t
¿ (1−B )2 X t (2.5)
Dengan: X t,, = pembedaan orde kedua
Pembedaan orde kedua diberi notasi (1−B )2. Pembedaan orde kedua tidak
sama dengan pembedaan kedua yang diberi notasi (1−B2), sedangkan pembedaan
pertama (1−B ) sama dengan pembedaan orde pertama (1−B).
Pembedaan kedua
X t2=X t−X
¿(1−B2) X t (2.6)
Dengan: X t2 = pembedaan kedua
Tujuan dari menghitung pembedaan adalah untuk mencapai stasioneritas
dan secara umum apabila terdapat pembedaan orde ke-d untuk mencapai
stasioneritas, ditulis sebagai berikut:
Pembedaan orde ke-d = (1−B )d X t
Sebagai deret yang stasioner dan model umum ARIMA (0,d,0) akan
menjadi (Pankratz 1983:165):
5
(1−B )d X t=et (2.7)
Dimana: (1−B )d X t : pembedaan orde ke-d
e t : nilai kesalahan
Data runtun waktu dikatakan stasioner dalam varians jika fluktuasi
datanya tetap atau konstan, seperti pada gambar 2.3. Sebaliknya
jika data runtun waktu menunjukkan bahwa terdapat variasi fluktuasi data
pada grafik maka data termasuk dalam runtun waktu yang tidak stasioner
berdasarkan varians. Data runtun waktu yang tidak stasioner dalam varians
ditunjukkan pada gambar 2.4.
Gambar 2.3 Plot Data produksi bawang merah Stasioner dalam Varians
Gambar 2.4 Plot Data produksi bawang merah Tidak Stasioner dalam Varians
6
Untuk menstasionerkan data tidak stasioner dalam varians dapat
dilakukan dengan transformasi Box-Cox (penstabilan varians). Secara umum,
transformasi kuasa yang digunakan (Wei, 1990:83-84) adalah
T ( X t )=X tλ{X t
λ−1λ
, λ ≠ 0
ln ( X t ) , λ=0 (2.8)
dengan λ adalah konstanta atau ketetapan dalam melakukan transformasi
data. Beberapa nilai λ dan bentuk transformasinya yang umum digunakan
diberikan dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1. Nilai λ dan Bentuk Transformasinya
λ Bentuk transformasi
-1 1X t
-0.5 1
√ X t
0 ln X t
0.5 √ X t
1 X t (tidak diransformasikan)
Namun dalam banyak penerapan, jenis transformasi yang digunakan untuk
mengulangi data yang tidak stasioner dalam variansi adalah transformasi
logaritma, ditulis ln ( X t ) .
7
D. Fungsi Autokorelasi dan Fungsi Autokorelasi Parsial
Dalam metode time series , alat utama untuk mengidentifikasi model dari
data yang akan diramalkan adalah dengan menggunakan fungsi
Autokerelas/Autocorelation Fungtion (ACF) dan fungsi Autokorelasi
Parsial/Partial Autocorelation Fungtion (PACF).
1. Fungsi Autokorelasi (Autocorrelation Funtion)
Pada proses stasioner suatu data time series (Z t) diperoleh E( X t)=μdan
variansi Var ( X t)=E ( X t−μ )2=σ2, yang konstan dan kovariansi Cov (X t¿¿ , X t+k)¿,
yang fungsinya hanya pada pembedaan waktu ¿ t−( t+k )∨¿. Oleh karena itu, hasil
tersebut dapat ditulis sebagai kovariansi antara X t dan X t+ k sebagi berikut (Wei,
1989:10):
γ k=Cov (X ¿¿ t , X t+k )=E( X t−μ)( X t+k−μ)¿ (2.9)
γ 0=Var X t=Var X t−k=SX t× S Xt −k
(2.10)
Dan korelasi antar X tdan X t+ k sebagai berikut:
ρk=γk
γ0
ρk=Cov (X t , X t+k)
√Var ( X t)√Var ( X t+ k)
¿∑t=2
n
(X t¿−X t)(X t−1−X t−1)
√∑t=2
n
(X t ¿−X t)2 √∑
t=2
n
(X t−1¿−X t−1)2 ¿¿
¿
8
¿∑t=2
n
( X t¿−X t)(X t−1−X )
∑t=2
n
( X t−X )2¿
(2.11)
Dengan menggunakan asumsi-asumsi di atas, maka persamaan di atas
dapat disederhanakan menjadi (wei, 1989:10):
ρk=∑t=1
n−k
(X t¿−X t)( X t−1−X )
∑t=1
n
( X t−X )2
¿
(2.12)keterangan: ρk= koefisisen autokorelasi lag ke k, dimana k = 0,1,2,3,...,n
n= jumlah data
X t = nilai x orde ke t
X = rata-rata (mean)
Dimana notasi Var ( X ¿¿ t)=Var ( X t+ k)=γ 0 ¿. Sebagai fungsi dari k, makaγ k
disebut fungsi autokorelasi dan ρk menggambarkan kovariansi (ACF), dalam
analisis time series ,γ k dan ρk menggambarkan kovarian dan korelasi antara X t
dan X t+ k dari proses yang sama, hanya dipisahkan oleh lag ke-k.
2. Fungsi Autokorelasi Parsial (Partial Autocorrelation Function)
Autokorelasi parsial digunakan untuk mengukur derajat asosiasi antara X t
dan X t+ k , ketika efek dari rentang/jangka waktu (time lag) 1, 2, 3,..., k-1
dianggap terpisah. Ada beberapa prosedur untuk menentukan bentuk PACF yang
salah satunya akan dijelaskan sebagai berikut. Menurut Wei (1989:12) fungsi
autokorelasi parsial dapat dinotasikan dengan:
9
∅ kk=corr( X t , X t+k ,∨X t+1 , X t+2 ,…. ,X t+ k−1) (2.13)
Misalkan X t adalah proses yang stasioner dengan E ( X t )=0, selanjutnya
X t+ k dapat dinyatakan sebagai proses linear (wei, 1989:14):
X t+ k=∅ k 1 X t+ k−1 ,∅ k 2 X t+k −2 , …,∅ kk X t+ε t+ k (2.13)
Dengan ∅ kkadalah parameter regresi ke-i dan ε t+ k adalah nilai kesalahan
yang tidak berkorelasi dengan X t+ k− j untuk j=1,2 ,…, k .
Durbin (1960) telah memperkenalkan metode yang lebih efisien untuk
menyelesaikan persamaan Yule Walker, nilai PACF dapat dihitung secara rekursi
dengan menggunakan persamaan berikut:
∅ kk=ρk−∑
j=1
k−1
∅ k−1 ρ k− j
1−∑j=1
k−1
∅ k−1 ρ k
(2.14)
dimana ∅ kj=∅k −1 , j−∅ kk∅ k−1 ,k− j, untuk j=1,2 ,…, k−1
Sehingga himpunan dari ∅ kk, {∅ kk ;k=1,2 ,…}, disebut sebagai Partial
Autocorrelation Function (PACF). Fungsi ∅ kk menjadi notasi standar untuk
autokorelasi parsial antara observasi X t dan X t+ k dalam analisis time series.
Fungsi ∅ kk akan bernilai nol untuk k> p. Sifat ini dapat dgunakan untuk
identifikasi model AR dan MA, yaitu pada model Autoregressive berlaku ACF
akan menurun secara bertahap menuju nol dan Moving Avarage berlaku ACF
menuju ke-0 setelah lag ke-q sedangkan nilai PACF model AR yaitu ∅ kk=0 , k> p
dan model MA yaitu ∅ kk=0 , k>q (Wei, 2006:11)
E. Proses white noise
10
Proses white noise merupakan salah satu bentuk proses stasioner. Proses
ini didefenisikan sebagai bentuk variabel random yang berurutan tidak saling
berkorelasi dan mengikuti distribusi tertentu. Rata-rata dari proses ini adalah
konstan μa=E(εt) dan diasumsikan bernilai nol dan mempunyai variansi konstan
Var (εt )=σa2. Nilai kovarian dari proses ini γ k=Cov (εt , εt+k )=0 untuk semua k ≠ 0.
Suatu proses white noise memiliki fungsi autokovarian, yaitu:
γ k={ σa2 untuk k=0
0untuk nilai k lainnya
Nilai ACF-nya adalah ρk={ 1untuk k=00 untuk k yang lain
Nilai PACF-nya adalah ∅ kk={ 1untuk k=00 untuk k yang lain
F. Model-Model Time Series
Beberapa model ARIMA yang dapat digunakan pada data time series,
yaitu:
1. Model Autoregressive (AR)
Autoregressive adalah suatu bentuk regresi tetapi bukan yang
menghubungkan variabel tak bebas, melainkan menghubungkan nilai-nilai
sebelumnya pada time lag (selang waktu) yang bermacam-macam. Jadi suatu
model Autoregressive akan menyatakan suatu ramalan sebagai fungsi nilai-nilai
sebelumnya dari time series tertentu (Makridakis,1995: 513)
Model Autoregressive (AR) dengan orde p dinotasikan dengan AR(p).
Bentuk umum model AR(p) adalah (Aswi dan Sukarna, 2006:37)
X t=∅ 1 X t−1+∅ 2 X t−2+…+∅ p X t−p+εt (2.15)
11
dengan : X t : nilai variabel pada waktu ke-t
X t−1 , X t−2 ,… , X t−p : nilai masa lalu dari time series yang bersangkutan pada
waktu t−1 , t−2, .. , t−p
∅ i : koefisien regresi, i:1, 2, 3, ..., p
ε t : nilai error pada waktu ke-t
p : orde AR
Persamaan (2.15) dapat ditulis dengan menggunakan operator B (backshift):
X t=∅ 1 B X t+∅2 B2 X t+…+∅ p B p X t+εt (2.16)
Dengan mengalikan kedua ruas pada persamaan (2.15) dengan X t+ k dan
berdasarkan rumus (2.9) maka diperoleh:
γ k=∅ 1 γ k−1+γ k−2+…+∅ p γk−p+σ a2 (2.17)
Karena γ k−1=γk dan γ 0=σ z2, maka untuk k=0 diperoleh
σ z2=
σa2
1−ρ1∅ 1−ρ2∅ 2−…−ρp∅ p
(2.18)
yang merupakan variansi dari autoregresif.
Proses AR (p) terjadi jika terdapat parameter ∅ 1,∅ 2 ,…,∅ p yang bernilai
tidak nol (berbeda secara signifikan dengan nol), sedangkan ∅ k=0 (tidak berbeda
secara nyata dengan nol) untuk k > p.
Dalam praktik, dua kasus yang paling sering dihadapi adalah apabila p = 1
dan p = 2, yaitu AR(1) dan AR(2) atau ARIMA(0,0,1) atau ARIMA(0,0,2).
o Autoregressive Orde 1, AR (1) atau ARIMA (1,0,0)
12
Suatu proses { X t } dikatakan mengikuti model autoregresive orde 1 jika
memenuhi (Wei, 1989:33):
(1−∅1 B ) X t=εt atau X t=∅ 1 X t−1+ε t
Karena ε t independen dengan X t−1, maka variansinya adalah
Var ( X t )=∅ 2Var ( X t−1 )+Var (ε t )
σ z2=∅ 2σ z
2+σa2
Atau (1−∅2 ) σ z2=σa
2 dan supaya σ z2 berhingga dan tidak negatif, maka
haruslah −1<∅<1. Ketaksamaan inilah yang merupakan syarat agar runtun
wakunya stasioner.
Dengan mengambil nilai harapan dari persamaan umum AR(1) diatas,
maka diperoleh
E ( X t )=∅ 1 E ( X t−1)+ E(ε t)
Fungsi autokorelasinya adalah ρk=∅1 ρk−1 , k ≥1 yang menjamin bahwa ε t
danX t−1 independen. Persamaan tersebut merupakan persamaan diferensi derajat
satu yang mempunyai penyelesaian
ρk=∅ k ρ0 dan untuk k ≥ 1 maka ρk=∅ k
Fungsi autokorelasi parsial dari AR(1) adalah ∅ 11= ρ1=∅ untuk k = 1 dan untuk k
> 1, maka ∅ kk=0.
o Model autoregreresif tingkat kedua (AR(2))
X t=∅ 1 X t−1+∅ 2 X t−2+εt
Dengan mengambil ekspektasi dari persamaan diatas, maka diperoleh:
13
E( X ¿¿ t)=∅ 1 E(X t−1)+∅ 2 E (X t−2)+E (ε¿¿ t)¿¿
μ=∅ 1 μ+∅ 2 μ
Untuk stasioneritas dapat disimpulkan bahwa μ=0. Dengan mengalikan
persamaa umum AR(2) diatas X t−k dan mengambil ekspektasinya diperoleh untuk
k = 0.
σ z2=∅ 1γ 1+∅2 γ 2+σa
2 atau σ z2 (∅ 1 ρ1+∅ 2 ρ2 )=σa
2, dan untuk k ≥ 1, maka
γ k=∅ 1 γ k−1+∅ 2 γ k−2 atau ρk=∅1 ρk−1+ρ γ k−2 yang merupakan persamaan diferensi
derajat dua yang dapat diselesaikan. Tetapi dalam praktik akan lebih mudah jika
dimulai dengan:
ρ0=1 , ρ1=∅ 1+∅ 2 ρ1 atau ρ1=∅1
1−∅ 2
ρ2=∅ 1
2
1−∅ 2
+∅2
Dengan menstabilkan persamaan diatas pada persamaan variansinya, maka
diperoleh σ z2( 1−∅1
2
1−∅2
−∅ 2( ∅ 12
1−∅ 2
+∅ 2))=σa2 atau
σ z2=
(1−∅ 2)σ a2
(1−∅ 2)(1−∅ 1−∅ 2)((1−∅ 2+∅1))
agar faktor dalam penyebut positif, maka haruslah
|∅ 2|<1
∅ 2+∅1<1 yang merupakan syarat daerah stasioner
∅ 2−∅ 1<1 .
2. Model Moving Average (MA)
14
Proses Moving Average adalah proses yang mengatakan bahwa nilai deret
berkala pada waktu t dipengaruhi oleh unsur kesalahan. Pada saat ini dan mungkin
unsur kesalahan terbobot pada masa lalu.
Bentuk umum suatu model moving average ordr q dinotasikan MA (q)
didefinisikan sebagai (Aswi dan Sukarna, 2006:55):
X t=εt−θ1 εt−1−θ2ε t−2−…−θq εt−q :ε t N (0 , σ t2) (2.19)
Dengan,
X t : nilai variabel pada waktu ke-t
ε t , εt−1 , εt−2, .. , εt−q : nilai-nilai dari error pada waktu t, t-1, t-2,..., t-q dan ε t
diasumsikan white noise dan normal.
θi : koefisien regresi, i:1, 2, 3, ..., q
ε t : nilai error pada waktu ke-t
q : orde MA
Persamaan diatas dapat ditulis menggunakan operator backshift (B),
menjadi:
Z t=θ ( B ) εt dengan θ ( B )=1−θ1 B−θ2 B−…−θq Bq merupakan operator MA (q).
Fungsi autokovariansi dari proses moving average orde q
γ k=E (X t , X t−1)
γ k=E [ (εt−θ1 εt−1−θ2 εt−2−…−θq εt−q ) ×(εt−k−θ1 εt−k−1−θ2 εt−k−2−…−θq εt−k−q)]
Oleh karena itu, variansi dari proses ini adalah
γ 0=(1+θ12+θ2
2+…+θq2 )σ a
2,
dan
15
γ k={(−θk+θ1θk+1+θ2θk+2+…+θq−k θq ) σ a2 k=1,2 ,…, q
0 k>q (2.20)
Jadi fungsi autokorelasinya dari prose MA(q) adalah
ρk={(−θk+θ1θk +1+θ2θk+2+…+θq−k θq ) σ a2
(1+θ12+θ2
2+…+θq2)
k=1,2 ,…,q
0k>q
(2.21)
Karena 1+θ12+θ2
2+…+θq2<∞, proses moving average berhingga slalu
stasioner. Proses moving average invertible jika akar-akar dari θq ( B )=0 berada
diluar lingkaran satuan.
Secara umum, orde MA yang sering digunakan dalam analisis time series
adalah q=1 atau q=2, yaitu MA (1 ) dan MA (2). Sehingga Moving Average MA
(1) adalah (Wei, 1989:47):
X t=(1−θ1 B ) εt
X t=εt−θ1 B εt
X t=εt−θ1 εt−1
Rata-rata (X t ¿ adalah μ=0, dan untuk semua k.
E ( X t )=E ( εt−θ1 εt−1)=0
Variansi (X t)
γ 0=var ( X t )=var (εt−θ1 εt−1 )
¿ var ( εt )+θ12 var εt−1
¿σ a2+θ1
2 σa2
¿σ a2 (1+θ1
2 )
Moving Average orde 2, MA (2) atau ARIMA (0,0,2)
16
X t=(1−θ1 B−θ2 B2) εt
X t=εt−θ1 B εt−θ2 B2ε t
X t=εt−θ1 εt−1−θ2ε t−2
Sebagai model moving average orde berhingga, proses MA(2) selalu stasioner.
3. Model campuran AR(p) dan MA (q) / ARMA (p,q)
Unsur dasar dari model AR dan MA dapat dikombinasikan untuk
menghasilkan berbagai macam model yang merupakan gabungan kedua model
Autoregressive (AR) dan Moving Average (MA). Bentuk umum dari
Autoregressive (AR) dengan Moving Average (MA) yang dinotasikan ARMA
(p,q) adalah sebagai berikut (Soejoeti, 1989):
X t=∅ 1 X t−1+…+∅ p X t−p+εt−θ1 εt−1−θ2 εt−2−…−θq εt−q (2.22)
model ini dapat ditulis dalam bentuk:
∅ p (B ) X t=θq ( B ) εt untuk stasioneritas memerlukan akar-akar ∅ (B )=0 terletak
diluar lingkaran satuan sedangkan untuk invertibilitas memerlukan akar-akar
θ ( B )=0 terletak diluar lingkaran. Dengan mengambil ekspektasi persamaan
diatas, diperoleh E ( X t )=0 karena ∅ (1)≠ 0.
Model ARMA (1,1) atau ARIMA (1,0,1)
(1−∅1 B ) X t= (1−θ1 B ) εt
X t−∅ 1 X t−1=εt−θ1 εt−1
X t=∅ 1 X t−1+ε t−θ1ε t−1
Proses ini stasioner jika −1<∅ 1<1 dan invertible jika −1<θ1<1.
17
4. Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)
Hasil modifikasi model ARMA (p,q) dengan memasukkan operator
differencing menghasilkan persamaan model ARIMA, adanya unsur differencing
karena merupakan syarat untuk menstasionerkan data, dalam notasi operator shift
mundur, differencing dapat ditulis W t=(1−B )d X t, dimana W t merupakan data
hasil differencing X t sebanyak d kali dan (1−B )d operator differencing. Yang
dinotasikan dengan model ARIMA (p,d,q):
(1−∅ 1 B−⋯−∅ p Bp ) (1−B )d X t=(1−θ1 B−⋯−θq Bq )εt
∅ p (B ) (1−B )d X t=θq(B)ε t (2.23)
dimana : ∅ p (B )=1−∅ 1 B−…−∅ p B p (untuk AR (p))
θq ( B )=1−θ1 B−…−θq Bq (untuk MA (q))
Dengan X t=X t−μ
p : orde dari AR
q : orde dari MA
∅ p : koefisien orde p
θq : koefisien orde q
B : backward shift
(1−B )d : orde differencing non musiman
X t : besarnya pengamatan (kejadian) pada waktu ke-t
ε t : suatu proses white noise atau galatnpada waktu ke-t yang
diasumsikan mempunyai mean 0 dan variansi konstan σ a2
G. Prosedur Pembentukan Model ARIMA
18
Metode ARIMA berbeda dengan metode peramalan lain karena metode ini
tidak menyaratkan suatu pola data tertentu, sehingga model dapat dipakai untuk
semua tipe pola data. Metode ARIMA akan bekerja baik jika data dalam time
series yang digunakan bersifat dependen atau berhubungan satu sama lain secara
statistik. Secara umum, model ARIMA ditulis dengan ARIMA (p,d,q) yang
artinya model ARIMA dengan derajat AR (p), derajat pembeda d, dan derajat MA
(q). Langkah-langkah pembentukan model secara iteratif adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi Model
Hal pertama yang dilakukan pada tahap ini adalah apakah time series
bersifat stasioner atau nonstasioner dan bahwa aspek-aspek AR dan MA dari
model ARIMA hanya berkenaan dengan time series yang stasioner (Makridakis,
1995: 381). Kestasioneran suatu time series dapat dilihat dari plot ACF yaitu
koefisien autokorelasinya menurun menuju nol dengan cepat, biasanya setelah lag
ke-2 atau ke-3. Bila data tidak stasioner maka dapat dilakukan pembedaan atau
differencing, orde pembedaan sampai deret menjadi stasioner dapat digunakan
untuk menentukan niali d pada ARIMA (p,d,q).
Model AR dan MA dari suatu time series dapat dilakukan dengan melihat
garfik ACF dan PACF.
a. Jika terdapat lag autokorelasi sebanyak q yang berbeda dari nol secara
signifikan maka prosesnya adalah MA (q).
b. Jika terdapat lag autokorelasi parsial sebanyak p yang berbeda dari nol secara
signifi kan maka prosesnya adalah AR (p). Secara umum jika terdapat lag
autokorelasi parsial sebanyak p yang berbeda dari nol secara signifikan,
19
terdapat lag autokorelasi sebanyak q yang bebeda dari nol secara signifikan
dan d pembedaan maka prosesnya adalah ARIMA (p,d,q).
2. Estimasi Parameter
Ada dua cara yang mendasar untuk mendapatkan parameter-parameter
tersebut:
1) Dengan cara mencoba-coba (trial and error), menguji beberapa nilai yang
berbeda dan memilih satu nilai tersebut (atau sekumpulan nilai, apabila
terdapat lebih dari satu parameter yang akan ditaksir) yang
meminimumkan jumlah kuadrat nilai sisa ( sum of squared residual ).
2) Perbaikan secara iteratif, memilih taksiran awal dan kemudian
membiarkan program komputer memperhalus penaksiran tersebut secara
iteratif.
3. Pemeriksaan Diagnostik
Setelah berhasil megestimasi nilai-nilai parameter dari model ARIMA
yang ditetapkan sementara, selanjutnya perlu dilakukan pemeriksaan
diagnostik untuk membuktikan bahwa model tersebut cukup memadai dan
menentukan model mana yang terbaik digunakan untuk peramalan
(Makridakis, 1999: 411). Pemeriksaan diagnostik ini dapat dilakukan dengan
mengamati apakah residual dari model terestimasi merupakan proses white
noise atau tidak.
20
Model dikatakan baik jika nilai error bersifat random, artinya sudah tidak
mempunyai pola tertentu lagi. Dengan kata lain model yang diperoleh dapat
menangkap dengan baik pola data yang ada. Statistik uji Q Box- Pierce dapat
digunakan untuk menguji kelayakan model, yaitu dengan menguji apakah
sekumpulan korelasi diri untuk nilai sisa tersebut tidak nol. Statistik uji Q Box-
Pierce menyebar mengikuti sebaran x2 dengan derajat bebas (m−p−q), dimana
m adalah maksimum yang diamati, p adalah ordo AR, dan q adalah ordo MA. Jika
nilai Q lebih besar dari nilai x2 (m−p−q) untuk tingkat kepercayaan tertentu atau
nilai peluang statistik Q lebih kecil dari taraf nyata α , maka dapat disimpulkan
bahwa model tidak layak. Persamaan statistik Uji Box dan Pierce menurut
Makridakis (1995) adalah:
Q=(N−d)∑k=1
m
rk2 (2.24)
dengan :
rk2 = nilai korelasi diri pada lag ke-k
N = banyaknya amatan pada data awal
d = ordo pembedaan
m = lag maksimal
4. Pemilihan Model Terbaik
Dalam suatu proses analisis time series menghasilkan beberapa model
yang dapat mewakili keadaan data. Untuk itu perlu dilakukan pemilihan model
yang terbaik. pemilihan model terbaik yang tepat didasarkan pada kriteria
21
perhitungan model residu yang sesuai atau berdasarkan kesalahan peramalan
yaitu:
a. Akaike’s Information Criterion (AIC)
Semakin kecil nilai AIC semakin baik model itu untuk dipilih. Model
terbaik adalah model yang memiliki nilai AIC terkecil (Wei, 1989)
AIC=ln ( MSE )+2∗K / N (2.25)
b. Schwartz Bayesian Criterion (SBC)
Schwartz Bayesian Criterion (SBC) adalah kriteria pemilihan model yang
berdasarkan pada nilai yang terkecil. Kriteria tersebut dirumuskan sebagai berikut:
SBC=ln (MSE )+[ K∗log ( N ) ] / N (2.26)
dimana :
MSE = Mean Square error
K = banyaknya parameter, yaitu ( p+q+1)
N = banyaknya data pengamatan
Sedangkan kriteria yang digunakan dalam pemilihan model terbaik
berdasarkan kesalahan peramalan yaitu:
a. Mean Square Error (MSE)
MSE= 1N∑t=1
N
( x t− x t )2 (2.27)
dimana :
N = Jumlah Sampel
x t = Nilai Aktual Indeks
22
x t = Nilai Prediksi Indeks (Aswi dan Sukarna, 2006:130)
b. Mean Absolut Percentage Error (MAPE)
MAPE=∑t=1
T [( X t- X t )
X t]
T×100%
(2.28)
dimana :
T = banyaknya periode peramalan
X t = nilai sebenarnya pada waktu ke-t
X t = nilai dugaan pada waktu ke-t (Aswi dan Sukarna, 2006:130)
Pada pemilihan metode terbaik (metode yang paling sesuai) yang
digunakan untuk meramalkan suatu data dapat dipertimbangkan dengan
meminimumkan kesalahan (error) yang mempunyai ukuran kesalahan model
terkecil.
5. Peramalan
Langkah terakhir adalah memprediksi nilai untuk periode selanjutnya dari
model terbaik. Jika data semula sudah melalui transformasi, peramalan yang kita
dapat harus dikembalikan ke bentuk semula. Prediksi suatu data baik dilakukan
untuk jangka waktu yang singkat sedangkan prediksi untuk jangka waktu yang
panjang hanya diperlukan untuk melihat kecenderungan (trend) pada dasarnya
prediksi untuk jangka waktu yang panjang kurang baik untuk dilakukan sebab bila
23
kita meramalkan jauh kedepan tidak akan diperoleh nilai empiris untuk residual
setelah beberapa waktu, sehingga hal tersebut menyebabkan nilai harapan residual
seluruhnya bernilai nol dan angka prediksi menjad kurang akurat.
H. Heteroskedastisitas (Heteroscedasticity)
Faktor error pada suatu model regresi biasanya memiliki masalah atas
pelanggaran asumsi-asumsi pada residual. Suatu keadaan dikatakan
heteroskedastisitas, apabila suatu data memiliki variansi error yang tidak
konstan untuk setiap observasi atau dengan kata lain melanggar asumsi
Var εt=σ 2. Jika error pada suatu model mengandung masalah
heteroskedastisitas, maka akibatnya estimator yang dihasilkan tetap konsisten,
tetapi tidak lagi efisien karena ada estimator lain yang memilki variansi lebih kecil
daripada estimator yang memiliki residual yang bersifat heteroskedastisitas.
Volatilitas adalah pengukuran statistik variansi harga suatu instrumen,
volatilitas return ditunjukan dengan variansi atau standar deviasi return. Beberapa
metode yang berbeda dalam melakukan pengukuran volatilitas, masing-masing
memiliki karakter tertentu.
Dalam melakukan forecasting, volatilitas umumnya diasumsikan konstan
dari waktu ke waktu disebut homoskedastisitas. Akan tetapi, volatilitas tidak
selalu konstan dari waktu ke waktu yang disebut heteroskedastisitas.
Ada kalanya pemodelan ekonometrik asumsi varians dari error
term atau faktor pengganggu yang konstan menjadi tidak masuk akal, hal ini
disebabkan sangat mungkin terjadi kejadian dimana varians dari
24
error term tidak konstan terhadap waktu, hal tersebut ditunjukkan oleh
volatility clustering yang terjadi pada data time series keuangan, dimana adanya
kecenderungan volatilitas yang tinggi pada suatu periode diikuti dengan volatilitas
yang tinggi pada periode berikutnya, demikian juga berlaku sebaliknya.
Peramalan dengan menggunakan asumsi volatilitas yang konstan terhadap
waktu biasanya dilakukan dengan menggunakan perhitungan standar deviasi
biasa, sedangkan untuk melakukan peramalan terhadap volatilitas yang tidak
konstan terhadap waktu telah dikembangkan banyak metode seperti model ARCH
dan kemudian dikembangkan lagi menjadi GARCH.
I. Model Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH)
Model yang dapat digunakan untuk mengatasi variansi error yang
tidak konstan dalam data time series finansial adalah model Autoregressive
Conditional Heteroscedasticity (ARCH) yang diperkenalkan pertama kali oleh
Engle pada tahun 1982. Pada model ARCH variansi error sangat dipengaruhi
oleh error di periode sebelumnya ε t−12 (wei, 2006:368).
Bentuk Umum Model Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH)
Ide pokok model ARCH adalah error (ε t) dari asset return tidak
berkorelasi secara parsial, tetapi dependen dan keterikatan ε tdapat dijelaskan oleh
fungsi kuadratik sederhana (Tsay, 2005: 115). Model ARCH ini, merupakan
model variansi dan model yang digunakan untuk peramalan ialah model mean
terbaik yang diestimasi secara bersama-sama dengan model variansi untuk
25
memperoleh dugaan parameternya. Model mean yang digunakan dapat berupa
model-model ARIMA (Hamilton, 1994: 656).
Menurut Tsay (2005: 116), lebih spesifikasi lagi, suatu model ARCH
orde diasumsikan bahwa
ε t=σ t X t
σ t2=α 0+α1 εt−1
2 +α2 εt−22 +…+α p εt−p
2 (2.29)
Dengan X t i .i . d N ( μ , σ2 ) , α 0>0 , dan α i≥ 0untuk i>0. Pada kenyataannya
X t sering diasumsikan mengikuti distribusi normal baku, maka model ARCH
dapat dicirikan dengan ε t=σ t2 X t dengan σ t
2 untuk menotasikan variansi bersyarat
dalam persamaan (2.29). Model variansi yang memenuhi persamaan ARCH (p)
adalah model variansi yang menghubungkan antara variansi error pada waktu
ke-t dengan kuadrat error pada waktu sebelumnya.
J. Pengujian Efek ARCH
Pada model ARIMA asumsi ragam dari sisaan harus konstan dimana
Va r (εt )=σ2. Jika terjadi pelanggaran dari asumsi tersebut dimana ragam sisaan
tidak konstan yaitu Var (εt )=σ t2 maka model tersebut masih mengandung
masalah heteroskedasitisitas sehingga perlu pemodelan ragam sisaan dengan
GARCH untuk menyelesaikannya. Keberadaan heteroskedastisitas dapat
dideteksi dengan uji LM yaitu:
LM=N R2 (2.30)
26
dengan R2=
∑i=1
n
( x i−x )2
∑i=1
n
( x i−x )2
Jika LM >Xa2 maka Var (εt )=σ t
2 yang berarti masih ada heteroskedastsitas
dimana N adalah banyaknya data, a adalah banyaknya data periode sebelumnya
yang memengaruhi data sekarang dan R2 = besarnya kombinasi keragaman yang
dapat dijelaskan data deret waktu sebelumnya. Lagrange Multiplier mengikuti
sebaran X2 dengan derajat bebas sebesar q (banyaknya periode waktu sebelumnya
yang mempengaruhi data sekarang).
K. Model Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasticity
(GARCH)
Model Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasticity
(GARCH) dikembangkan oleh Bollerslev (1986) yang merupakan
pengembangan dari model ARCH. Model ini dibangun untuk menghindari ordo
yang terlalu tinggi pada model ARCH dengan berdasar pada prinsip
parsimoni atau memilih model yang lebih sederhana, sehingga akan menjamin
variansinya selalu positif (Enders, 1995: 147).
Menurut (Tsay, 2005: 132) ε t=X t−μ t, ε t dikatakan mengikuti model
GARCH (p,q) jika
σ t2=α 0+α1 εt−1
2 +…+α p εt−p2 +β1 σ t−1
2 +…+βq σ t−q2
¿α 0+∑i=1
p
α i εt−i2 +∑
i=1
q
β j σ t− j2 (2.31)
27
ε t=σ t X t
Dengan, σ t2 = variansi dari residual pada waktu t
α 0 = komponen konstanta
α i = parameter dari ARCH
ε t−12 = kuadrat dari residual pada waktu t-i
β j = parameter dari GARCH
σ t− j2 = variansi dari residual pada saat t-j
Dengan
X t i .i . d N (0,1 ) , α 0>0 , αi ≥ 0 ,i=1,2 , …, p , β j≥ 0 , j=1,2 , …, q :0<αi+β j<1.
Persamaan variansi yang memenuhi persamaan GARCH (p,q) menghubungkan
antara variansi residual pada waktu ke-t dengan variansi residual pada waktu
sebelumnya.
Jika persamaan (2.31) ditulis ke dalam operator B (backshift) maka didapat
σ t2=α 0+α ( B ) εt
2+β ( B ) σ t2 (2.32)
Dengan
B X t , t∈Z=X t−1 ,t ∈Z
β (B )=β1 ( B )+β2 ( B )2+…+βq (B )q
β (B ) X t ,t∈Z=β1 X t−1+ β2 X t−2+…+βq X t−q , t∈Z
α (B )=α1 ( B )+α 2 ( B )2+…+α p(B)q
α (B ) X t ,t∈Z=α1 X t−1+α2 X t−2+…+α p X t−p , t∈Z
Model GARCH (1,1)
28
Model GARCH yang paling sederhana tetapi paling sering digunakan adalah
Model GARCH (1,1). Model GARCH (1,1) secara umum dinyatakan sebagai
berikut (Bollerslev, 1986: 311):
σ t2=α 0+α1 εt−1
2 + β1 σ t−12 (2.33)
Dengan, α 0>0 , α 1≥ 0dan β1 ≥ 0
σ t2 = variansi dari residual pada waktu t
α 0 = komponen konstanta
α 1 = parameter dari ARCH
ε t−12 = kuadrat dari residual pada waktu t-i
β1 = parameter dari GARCH
σ t− j2 = variansi dari residual pada saat t-j
Estimasi Parameter Model Garch
Setelah model diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah estimasi
parameter. Model regresi umum dengan kesalahan autokorelasi dan model
GARCH untuk variansi bersyarat adalah sebagai berikut (Wei, 2006:373)
Y t=X t' b+εt (2.34)
Dengan
ε t=φ1 εt−1+…+φp ϵ t−p+n t
nt=σ t εt
σ t2=α 0+α1 nt−1
2 +…+α pn t−p2 +β1 σ t−1
2 +…+βq σ t−q2
29
Dan ε t adalah i .i . d N (0,1) dan tidak tergantung dari keadaan masa
lalu dari nt−p. Estimasi parameter dari model GARCH dengan menggunakan
Maksimum Likelihood Estimation. Persamaan (2.34) dapat ditulis kembali
menjadi
Y t=X t' b+ 1
1−φ1 B−…−φp Bpnt (2.35)
Menduga kemungkinan
Dalam prakteknya, pendekatan yang paling banyak digunakan untuk
pengepasan model GARCH pada data adalah maximum likelihood. Dengan
menganggap pada pengepasan model ARCH (1) dan GARCH (1,1) sebagai
pengepasan umum dari model ARCH (p) dan GARCH (p, q), model akan lebih
sederhana.
Untuk model ARCH (1) dan GARCH (1,1) anggap mempunyai total
dari n+1 data nilai X 0 , X1 , …, Xn. Berdasarkan hal tersebut, fungsi kepekatan
bersama dari peubah acak yang sesuai dapat ditulis seperti (McNeil, 2005:150):
f x0 , …,xn ( x0 , …, xn ) ¿ f x0(x0)∏t=1
n
f x t∨xt−1 ,…, x0(x t∨X t−1 ,…, x0)
Model GARCH (p,q) dianggap meniliki n+ p nilai data yang berlabel
X−p+1 , …, X0 , X1, …, Xn . Evaluasi peluang bersyarat dinilai teramati dengan
X−p+1 , …, X0 serta nilai tak teramati dari σ−p+1 ,…,σ0. Sehingga peluang besyarat
menjadi (McNeil, 2005:151):
30
L(σ 2; X )∏t=1
n1σ t
g(X t−μt
σ t
) (2.36)
Dimana σ tmengikuti spesifikasi GARCH dan μt mengkuti spesifikasi ARIMA.
L. Penelitian Terdahulu
Sudah banyak penelitian-penelitian terdahulu yang mencoba memprediksi
gerakan suatu harga saham menggunakan analisis teknikal dengan berbagai
metode. Wenty Yolanda Eliyawati, dkk (2014) melakukan penelitian mengenai
“Penerapan Model Garch (Generalized Autoregressive Conditional
Heteroscedasticity) untuk Menguji Pasar Modal Efisien di Indonesia
(Studi pada Harga Penutupan (Closing Price) Indeks Saham LQ 45 Periode 2009-
2011)”. Hasil penelitian menunjukkan data harga penutupan harian
saham indeks LQ 45 terdapat unsur heteroskedastisitas. Penerapan model
GARCH(1,1) menunjukkan bahwa pada data harga penutupan harian (closing
price) saham pada indeks LQ 45 periode 2009-2011, harga pada periode 3 hari
dan 4 hari sebelumnya adalah yang paling berpengaruh.
Lulik Presdita Widasari dan Nuri Wahyuningsih (2012) melakukan penelitian
mengenai “Aplikasi Model ARCH-GARCH dalam Peramalan tingkat Inflasi”.
Hasil penelitian menunjukkan data tingkat inflasi dimodelkan dengan metode
ARIMA Box-Jenkins dan dideteksi terdapat adanya kasus heteroskedastisitas.
Penerapan model ARCH-GARCH dalam penelitian ini ditujukan untuk mengatasi
adanya heteroskedastisitas pada data tingkat inflasi.
31
Teguh santoso (2011) melakukan penelitian mengenai “Aplikasi Model
Garch pada Data Inflasi Bahan Makanan Indonesia Periode 2005.1- 2010.6”. hasil
penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode GARCH memang
bisa mengatasi masalah heteroskedastisitas pada data time series yang mempunyai
kecenderungan volatilitas yang tinggi yang disebabkan karena residual atau error
term yang mengandung unsur heteroskedastisitas.
32