Bab 2 revisi

48
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada Bab II akan dijelaskan pengertian-pengertian dasar yang digunakan sebagai landasan pembahasan pada bab selanjutnya yaitu peramalan, konsep dasar time series, stasioner dan nonstasioner, Autocorrelation Function (ACF) dan Parsial Autocorrelation Function (PACF), model-model Time Series, heteroskedastisitas, model ARCH, pengujian efek ARCH, dan model GARCH. A. Peramalan Peramalan merupakan bagian integral dari kegiatan pengambilan keputusan, sebab efektif atau tidaknya suatu keputusan bergantung pada beberapa faktor yang tidak dapat dilihat pada waktu keputusan itu diambil. Peamalan (forecasting) suatu teknik untuk memperkirakan suatu nilai pada masa yang akan datang dengan memperhatikan data masa lalu maupun data saat ini. (Aswi dan Sukarna, 2006: 1) 1

Transcript of Bab 2 revisi

Page 1: Bab 2 revisi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada Bab II akan dijelaskan pengertian-pengertian dasar yang digunakan

sebagai landasan pembahasan pada bab selanjutnya yaitu peramalan, konsep dasar

time series, stasioner dan nonstasioner, Autocorrelation Function (ACF) dan

Parsial Autocorrelation Function (PACF), model-model Time Series,

heteroskedastisitas, model ARCH, pengujian efek ARCH, dan model GARCH.

A. Peramalan

Peramalan merupakan bagian integral dari kegiatan pengambilan

keputusan, sebab efektif atau tidaknya suatu keputusan bergantung pada beberapa

faktor yang tidak dapat dilihat pada waktu keputusan itu diambil. Peamalan

(forecasting) suatu teknik untuk memperkirakan suatu nilai pada masa yang akan

datang dengan memperhatikan data masa lalu maupun data saat ini. (Aswi dan

Sukarna, 2006: 1)

Peramalan pada umumnya digunakan untuk memprediksi sesuatu yang

kemungkinan besar akan terjadi misalnya kondisi permintaan, banyaknya curah

hujan, kondisi ekonomi, dan lain-lain.

Atas dasar logika, langkah dalam metode peramalan secara umum adalah

mengumpulkan data, meyeleksi dan memilih data, memilih model peramalan,

menggunakan model terpilih untuk melakukan peramalan, evaluasi hasil akhir.

Berdasarkan sifatnya, peramalan dibedakan menjadi:

1

Page 2: Bab 2 revisi

1. Peramalan kualitatif

Peramalan yang didasarkan atas data kualitatif pada masa lalu. Hasil

peramalan kualitatif didasarkan pada pengamatan kejadian-kejadian di masa

sebeumnya digabung dengan pemikiran dari penyusunnya.

2. Peramalan kuantitatif

Peramalan yang didasarkan atas data kuantitatif masa lalu yang diperoleh

dari pengamatan nilai-nilai sebelumnya. Hasil pengamatan yang dibuat tergantung

pada metode yang digunakan, menggunakan metode yang berbeda akan diperoleh

hasil peramalan yang berbeda.

B. Konsep dasar Time series

Deret waktu (time series) merupakan serangkaian data pengamatan yang

terjadi berdasarkan indeks waktu secara beruntun dengan interval waktu tetap

(Aswi dan Sukarna, 2006: 5). Metode time series adalah metode peramalan

dengan menggunakan analisis pola hubungan antara variabel yang akan

diperkirakan dengan variabel waktu atau analisis time series, antara lain:

1. Metode smooting

2. Metode Box-Jenkins (ARIMA)

3. Metode Proyeksi trend dengan regresi

Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan peramalan adalah pada

galat (error), yang tidak dapat dipisahakan dalam metode peramalan. Untuk

mendapatkan hasil yang mendekati data asli, maka seorang peramalan berusaha

membuat error-nya sekecil mungkin.

2

Page 3: Bab 2 revisi

Analisis deret waktu adalah salah satu prosedur statistik yang diterapkan

untuk meramalkan struktur probabilistik keadaan yang akan terjadi di masa yang

akan datang dalam rangka pengabilan keputusan. (Aswi dan Sukarna, 2006: 5).

C. Stasioner dan Nonstasioner

Dalam analisis runtun waktu sering kali menggunakan asumsi bahwa

data harus stasioner. Stasioneritas berarti bahwa tidak terdapat perubahan yang

dratis pada data. Fluktuasi data berada disekitar suatu nilai rata-rata yang konstan,

tidak tergantung pada waktu dan variansi dari fluktuasi tersebut (Makridakis,

1995: 351).

Bentuk visual dari plot data runtun waktu sering kali

cukup meyakinkan para peneliti bahwa data yang diperoleh stasioner atau

nonstasioner. Gambar 2.1 merupakan contoh plot data runtun waktu yang

stasioner dalam rata-rata dan Gambar 2.2 menunjukkan plot data runtun waktu

yang tidak stasioner dalam rata-rata. Data yang digunakan adalah data penjualan

rumah yang ada di Amerika Serikat mulai bulan Januari 1968 sampai bulan

Desember 1982.

Gambar 2.1 Plot Data penjualan rumah Stasioner dalam Rata-rata(Time Series Analysis (ARIMA) Contoh Pemodelan dan Peramalan

dengan metode ARIMA.html)

3

Page 4: Bab 2 revisi

Gambar 2.2 Plot Data penjualan rumah Tidak Stasioner dalam Rata-rata( Time Series Analysis (ARIMA) Contoh Pemodelan dan Peramalan

dengan metode ARIMA.html)

Untuk mengatasi ketidakstasioneran data berdasarkan rata-rata (mean)

yaitu dengan melakukan pembedaan (differencing). Menurut Makridakis dkk

(1999: 452) notasi yang sangat bermanfaat dalam metode pembedaan adalah

operator shift mundur (backward shift) disimbolkan dengan B sebagai berikut:

B X t=X t−1 (2.1)

Dengan kata lain, notasi B yang dipasang pada X t memiliki efek

menggeser data satu periode ke belakang. Dua aplikasi dari B terhadap X t akan

menggeser data tersebut dua periode ke belakang, sebagai berikut:

B(BX¿¿ t)=B2 X t=X t−2 ¿ (2.2)

Apabila suatu time series tidak stasioner, maka data tersebut dapat dibuat

lebih mendekati stasioner dengan melakukan pembedaan pertama. Operator ini

memudahkan proses diferensiaisi. Diferensiaisi pertama/turunan tingkat satu dapat

dituliskan sebagai berikut:

X t,=X t−X t−1 (2.3)

Menggunakan operator shift mundur, persamaan (2.3) dapat ditulis kembali

menjadi (Makridakis, 1995:383):

4

Page 5: Bab 2 revisi

X t,=X t−X t−1=X t−B X t=(1−B ) X t (2.4)

Pembedaan pertama dinyatakan oleh (1−B ) sama halnya apabila pembedaan orde

kedua (yaitu pembedaan pertama sebelumnya) harus dihitung, maka:

X t,,=(X t

,−X t−1, )

¿¿

¿ X t−2 X t−1+ X t−2

¿ (1−2 B+B2 ) X t

¿ (1−B )2 X t (2.5)

Dengan: X t,, = pembedaan orde kedua

Pembedaan orde kedua diberi notasi (1−B )2. Pembedaan orde kedua tidak

sama dengan pembedaan kedua yang diberi notasi (1−B2), sedangkan pembedaan

pertama (1−B ) sama dengan pembedaan orde pertama (1−B).

Pembedaan kedua

X t2=X t−X

¿(1−B2) X t (2.6)

Dengan: X t2 = pembedaan kedua

Tujuan dari menghitung pembedaan adalah untuk mencapai stasioneritas

dan secara umum apabila terdapat pembedaan orde ke-d untuk mencapai

stasioneritas, ditulis sebagai berikut:

Pembedaan orde ke-d = (1−B )d X t

Sebagai deret yang stasioner dan model umum ARIMA (0,d,0) akan

menjadi (Pankratz 1983:165):

5

Page 6: Bab 2 revisi

(1−B )d X t=et (2.7)

Dimana: (1−B )d X t : pembedaan orde ke-d

e t : nilai kesalahan

Data runtun waktu dikatakan stasioner dalam varians jika fluktuasi

datanya tetap atau konstan, seperti pada gambar 2.3. Sebaliknya

jika data runtun waktu menunjukkan bahwa terdapat variasi fluktuasi data

pada grafik maka data termasuk dalam runtun waktu yang tidak stasioner

berdasarkan varians. Data runtun waktu yang tidak stasioner dalam varians

ditunjukkan pada gambar 2.4.

Gambar 2.3 Plot Data produksi bawang merah Stasioner dalam Varians

Gambar 2.4 Plot Data produksi bawang merah Tidak Stasioner dalam Varians

6

Page 7: Bab 2 revisi

Untuk menstasionerkan data tidak stasioner dalam varians dapat

dilakukan dengan transformasi Box-Cox (penstabilan varians). Secara umum,

transformasi kuasa yang digunakan (Wei, 1990:83-84) adalah

T ( X t )=X tλ{X t

λ−1λ

, λ ≠ 0

ln ( X t ) , λ=0 (2.8)

dengan λ adalah konstanta atau ketetapan dalam melakukan transformasi

data. Beberapa nilai λ dan bentuk transformasinya yang umum digunakan

diberikan dalam tabel 2.1.

Tabel 2.1. Nilai λ dan Bentuk Transformasinya

λ Bentuk transformasi

-1 1X t

-0.5 1

√ X t

0 ln X t

0.5 √ X t

1 X t (tidak diransformasikan)

Namun dalam banyak penerapan, jenis transformasi yang digunakan untuk

mengulangi data yang tidak stasioner dalam variansi adalah transformasi

logaritma, ditulis ln ( X t ) .

7

Page 8: Bab 2 revisi

D. Fungsi Autokorelasi dan Fungsi Autokorelasi Parsial

Dalam metode time series , alat utama untuk mengidentifikasi model dari

data yang akan diramalkan adalah dengan menggunakan fungsi

Autokerelas/Autocorelation Fungtion (ACF) dan fungsi Autokorelasi

Parsial/Partial Autocorelation Fungtion (PACF).

1. Fungsi Autokorelasi (Autocorrelation Funtion)

Pada proses stasioner suatu data time series (Z t) diperoleh E( X t)=μdan

variansi Var ( X t)=E ( X t−μ )2=σ2, yang konstan dan kovariansi Cov (X t¿¿ , X t+k)¿,

yang fungsinya hanya pada pembedaan waktu ¿ t−( t+k )∨¿. Oleh karena itu, hasil

tersebut dapat ditulis sebagai kovariansi antara X t dan X t+ k sebagi berikut (Wei,

1989:10):

γ k=Cov (X ¿¿ t , X t+k )=E( X t−μ)( X t+k−μ)¿ (2.9)

γ 0=Var X t=Var X t−k=SX t× S Xt −k

(2.10)

Dan korelasi antar X tdan X t+ k sebagai berikut:

ρk=γk

γ0

ρk=Cov (X t , X t+k)

√Var ( X t)√Var ( X t+ k)

¿∑t=2

n

(X t¿−X t)(X t−1−X t−1)

√∑t=2

n

(X t ¿−X t)2 √∑

t=2

n

(X t−1¿−X t−1)2 ¿¿

¿

8

Page 9: Bab 2 revisi

¿∑t=2

n

( X t¿−X t)(X t−1−X )

∑t=2

n

( X t−X )2¿

(2.11)

Dengan menggunakan asumsi-asumsi di atas, maka persamaan di atas

dapat disederhanakan menjadi (wei, 1989:10):

ρk=∑t=1

n−k

(X t¿−X t)( X t−1−X )

∑t=1

n

( X t−X )2

¿

(2.12)keterangan: ρk= koefisisen autokorelasi lag ke k, dimana k = 0,1,2,3,...,n

n= jumlah data

X t = nilai x orde ke t

X = rata-rata (mean)

Dimana notasi Var ( X ¿¿ t)=Var ( X t+ k)=γ 0 ¿. Sebagai fungsi dari k, makaγ k

disebut fungsi autokorelasi dan ρk menggambarkan kovariansi (ACF), dalam

analisis time series ,γ k dan ρk menggambarkan kovarian dan korelasi antara X t

dan X t+ k dari proses yang sama, hanya dipisahkan oleh lag ke-k.

2. Fungsi Autokorelasi Parsial (Partial Autocorrelation Function)

Autokorelasi parsial digunakan untuk mengukur derajat asosiasi antara X t

dan X t+ k , ketika efek dari rentang/jangka waktu (time lag) 1, 2, 3,..., k-1

dianggap terpisah. Ada beberapa prosedur untuk menentukan bentuk PACF yang

salah satunya akan dijelaskan sebagai berikut. Menurut Wei (1989:12) fungsi

autokorelasi parsial dapat dinotasikan dengan:

9

Page 10: Bab 2 revisi

∅ kk=corr( X t , X t+k ,∨X t+1 , X t+2 ,…. ,X t+ k−1) (2.13)

Misalkan X t adalah proses yang stasioner dengan E ( X t )=0, selanjutnya

X t+ k dapat dinyatakan sebagai proses linear (wei, 1989:14):

X t+ k=∅ k 1 X t+ k−1 ,∅ k 2 X t+k −2 , …,∅ kk X t+ε t+ k (2.13)

Dengan ∅ kkadalah parameter regresi ke-i dan ε t+ k adalah nilai kesalahan

yang tidak berkorelasi dengan X t+ k− j untuk j=1,2 ,…, k .

Durbin (1960) telah memperkenalkan metode yang lebih efisien untuk

menyelesaikan persamaan Yule Walker, nilai PACF dapat dihitung secara rekursi

dengan menggunakan persamaan berikut:

∅ kk=ρk−∑

j=1

k−1

∅ k−1 ρ k− j

1−∑j=1

k−1

∅ k−1 ρ k

(2.14)

dimana ∅ kj=∅k −1 , j−∅ kk∅ k−1 ,k− j, untuk j=1,2 ,…, k−1

Sehingga himpunan dari ∅ kk, {∅ kk ;k=1,2 ,…}, disebut sebagai Partial

Autocorrelation Function (PACF). Fungsi ∅ kk menjadi notasi standar untuk

autokorelasi parsial antara observasi X t dan X t+ k dalam analisis time series.

Fungsi ∅ kk akan bernilai nol untuk k> p. Sifat ini dapat dgunakan untuk

identifikasi model AR dan MA, yaitu pada model Autoregressive berlaku ACF

akan menurun secara bertahap menuju nol dan Moving Avarage berlaku ACF

menuju ke-0 setelah lag ke-q sedangkan nilai PACF model AR yaitu ∅ kk=0 , k> p

dan model MA yaitu ∅ kk=0 , k>q (Wei, 2006:11)

E. Proses white noise

10

Page 11: Bab 2 revisi

Proses white noise merupakan salah satu bentuk proses stasioner. Proses

ini didefenisikan sebagai bentuk variabel random yang berurutan tidak saling

berkorelasi dan mengikuti distribusi tertentu. Rata-rata dari proses ini adalah

konstan μa=E(εt) dan diasumsikan bernilai nol dan mempunyai variansi konstan

Var (εt )=σa2. Nilai kovarian dari proses ini γ k=Cov (εt , εt+k )=0 untuk semua k ≠ 0.

Suatu proses white noise memiliki fungsi autokovarian, yaitu:

γ k={ σa2 untuk k=0

0untuk nilai k lainnya

Nilai ACF-nya adalah ρk={ 1untuk k=00 untuk k yang lain

Nilai PACF-nya adalah ∅ kk={ 1untuk k=00 untuk k yang lain

F. Model-Model Time Series

Beberapa model ARIMA yang dapat digunakan pada data time series,

yaitu:

1. Model Autoregressive (AR)

Autoregressive adalah suatu bentuk regresi tetapi bukan yang

menghubungkan variabel tak bebas, melainkan menghubungkan nilai-nilai

sebelumnya pada time lag (selang waktu) yang bermacam-macam. Jadi suatu

model Autoregressive akan menyatakan suatu ramalan sebagai fungsi nilai-nilai

sebelumnya dari time series tertentu (Makridakis,1995: 513)

Model Autoregressive (AR) dengan orde p dinotasikan dengan AR(p).

Bentuk umum model AR(p) adalah (Aswi dan Sukarna, 2006:37)

X t=∅ 1 X t−1+∅ 2 X t−2+…+∅ p X t−p+εt (2.15)

11

Page 12: Bab 2 revisi

dengan : X t : nilai variabel pada waktu ke-t

X t−1 , X t−2 ,… , X t−p : nilai masa lalu dari time series yang bersangkutan pada

waktu t−1 , t−2, .. , t−p

∅ i : koefisien regresi, i:1, 2, 3, ..., p

ε t : nilai error pada waktu ke-t

p : orde AR

Persamaan (2.15) dapat ditulis dengan menggunakan operator B (backshift):

X t=∅ 1 B X t+∅2 B2 X t+…+∅ p B p X t+εt (2.16)

Dengan mengalikan kedua ruas pada persamaan (2.15) dengan X t+ k dan

berdasarkan rumus (2.9) maka diperoleh:

γ k=∅ 1 γ k−1+γ k−2+…+∅ p γk−p+σ a2 (2.17)

Karena γ k−1=γk dan γ 0=σ z2, maka untuk k=0 diperoleh

σ z2=

σa2

1−ρ1∅ 1−ρ2∅ 2−…−ρp∅ p

(2.18)

yang merupakan variansi dari autoregresif.

Proses AR (p) terjadi jika terdapat parameter ∅ 1,∅ 2 ,…,∅ p yang bernilai

tidak nol (berbeda secara signifikan dengan nol), sedangkan ∅ k=0 (tidak berbeda

secara nyata dengan nol) untuk k > p.

Dalam praktik, dua kasus yang paling sering dihadapi adalah apabila p = 1

dan p = 2, yaitu AR(1) dan AR(2) atau ARIMA(0,0,1) atau ARIMA(0,0,2).

o Autoregressive Orde 1, AR (1) atau ARIMA (1,0,0)

12

Page 13: Bab 2 revisi

Suatu proses { X t } dikatakan mengikuti model autoregresive orde 1 jika

memenuhi (Wei, 1989:33):

(1−∅1 B ) X t=εt atau X t=∅ 1 X t−1+ε t

Karena ε t independen dengan X t−1, maka variansinya adalah

Var ( X t )=∅ 2Var ( X t−1 )+Var (ε t )

σ z2=∅ 2σ z

2+σa2

Atau (1−∅2 ) σ z2=σa

2 dan supaya σ z2 berhingga dan tidak negatif, maka

haruslah −1<∅<1. Ketaksamaan inilah yang merupakan syarat agar runtun

wakunya stasioner.

Dengan mengambil nilai harapan dari persamaan umum AR(1) diatas,

maka diperoleh

E ( X t )=∅ 1 E ( X t−1)+ E(ε t)

Fungsi autokorelasinya adalah ρk=∅1 ρk−1 , k ≥1 yang menjamin bahwa ε t

danX t−1 independen. Persamaan tersebut merupakan persamaan diferensi derajat

satu yang mempunyai penyelesaian

ρk=∅ k ρ0 dan untuk k ≥ 1 maka ρk=∅ k

Fungsi autokorelasi parsial dari AR(1) adalah ∅ 11= ρ1=∅ untuk k = 1 dan untuk k

> 1, maka ∅ kk=0.

o Model autoregreresif tingkat kedua (AR(2))

X t=∅ 1 X t−1+∅ 2 X t−2+εt

Dengan mengambil ekspektasi dari persamaan diatas, maka diperoleh:

13

Page 14: Bab 2 revisi

E( X ¿¿ t)=∅ 1 E(X t−1)+∅ 2 E (X t−2)+E (ε¿¿ t)¿¿

μ=∅ 1 μ+∅ 2 μ

Untuk stasioneritas dapat disimpulkan bahwa μ=0. Dengan mengalikan

persamaa umum AR(2) diatas X t−k dan mengambil ekspektasinya diperoleh untuk

k = 0.

σ z2=∅ 1γ 1+∅2 γ 2+σa

2 atau σ z2 (∅ 1 ρ1+∅ 2 ρ2 )=σa

2, dan untuk k ≥ 1, maka

γ k=∅ 1 γ k−1+∅ 2 γ k−2 atau ρk=∅1 ρk−1+ρ γ k−2 yang merupakan persamaan diferensi

derajat dua yang dapat diselesaikan. Tetapi dalam praktik akan lebih mudah jika

dimulai dengan:

ρ0=1 , ρ1=∅ 1+∅ 2 ρ1 atau ρ1=∅1

1−∅ 2

ρ2=∅ 1

2

1−∅ 2

+∅2

Dengan menstabilkan persamaan diatas pada persamaan variansinya, maka

diperoleh σ z2( 1−∅1

2

1−∅2

−∅ 2( ∅ 12

1−∅ 2

+∅ 2))=σa2 atau

σ z2=

(1−∅ 2)σ a2

(1−∅ 2)(1−∅ 1−∅ 2)((1−∅ 2+∅1))

agar faktor dalam penyebut positif, maka haruslah

|∅ 2|<1

∅ 2+∅1<1 yang merupakan syarat daerah stasioner

∅ 2−∅ 1<1 .

2. Model Moving Average (MA)

14

Page 15: Bab 2 revisi

Proses Moving Average adalah proses yang mengatakan bahwa nilai deret

berkala pada waktu t dipengaruhi oleh unsur kesalahan. Pada saat ini dan mungkin

unsur kesalahan terbobot pada masa lalu.

Bentuk umum suatu model moving average ordr q dinotasikan MA (q)

didefinisikan sebagai (Aswi dan Sukarna, 2006:55):

X t=εt−θ1 εt−1−θ2ε t−2−…−θq εt−q :ε t N (0 , σ t2) (2.19)

Dengan,

X t : nilai variabel pada waktu ke-t

ε t , εt−1 , εt−2, .. , εt−q : nilai-nilai dari error pada waktu t, t-1, t-2,..., t-q dan ε t

diasumsikan white noise dan normal.

θi : koefisien regresi, i:1, 2, 3, ..., q

ε t : nilai error pada waktu ke-t

q : orde MA

Persamaan diatas dapat ditulis menggunakan operator backshift (B),

menjadi:

Z t=θ ( B ) εt dengan θ ( B )=1−θ1 B−θ2 B−…−θq Bq merupakan operator MA (q).

Fungsi autokovariansi dari proses moving average orde q

γ k=E (X t , X t−1)

γ k=E [ (εt−θ1 εt−1−θ2 εt−2−…−θq εt−q ) ×(εt−k−θ1 εt−k−1−θ2 εt−k−2−…−θq εt−k−q)]

Oleh karena itu, variansi dari proses ini adalah

γ 0=(1+θ12+θ2

2+…+θq2 )σ a

2,

dan

15

Page 16: Bab 2 revisi

γ k={(−θk+θ1θk+1+θ2θk+2+…+θq−k θq ) σ a2 k=1,2 ,…, q

0 k>q (2.20)

Jadi fungsi autokorelasinya dari prose MA(q) adalah

ρk={(−θk+θ1θk +1+θ2θk+2+…+θq−k θq ) σ a2

(1+θ12+θ2

2+…+θq2)

k=1,2 ,…,q

0k>q

(2.21)

Karena 1+θ12+θ2

2+…+θq2<∞, proses moving average berhingga slalu

stasioner. Proses moving average invertible jika akar-akar dari θq ( B )=0 berada

diluar lingkaran satuan.

Secara umum, orde MA yang sering digunakan dalam analisis time series

adalah q=1 atau q=2, yaitu MA (1 ) dan MA (2). Sehingga Moving Average MA

(1) adalah (Wei, 1989:47):

X t=(1−θ1 B ) εt

X t=εt−θ1 B εt

X t=εt−θ1 εt−1

Rata-rata (X t ¿ adalah μ=0, dan untuk semua k.

E ( X t )=E ( εt−θ1 εt−1)=0

Variansi (X t)

γ 0=var ( X t )=var (εt−θ1 εt−1 )

¿ var ( εt )+θ12 var εt−1

¿σ a2+θ1

2 σa2

¿σ a2 (1+θ1

2 )

Moving Average orde 2, MA (2) atau ARIMA (0,0,2)

16

Page 17: Bab 2 revisi

X t=(1−θ1 B−θ2 B2) εt

X t=εt−θ1 B εt−θ2 B2ε t

X t=εt−θ1 εt−1−θ2ε t−2

Sebagai model moving average orde berhingga, proses MA(2) selalu stasioner.

3. Model campuran AR(p) dan MA (q) / ARMA (p,q)

Unsur dasar dari model AR dan MA dapat dikombinasikan untuk

menghasilkan berbagai macam model yang merupakan gabungan kedua model

Autoregressive (AR) dan Moving Average (MA). Bentuk umum dari

Autoregressive (AR) dengan Moving Average (MA) yang dinotasikan ARMA

(p,q) adalah sebagai berikut (Soejoeti, 1989):

X t=∅ 1 X t−1+…+∅ p X t−p+εt−θ1 εt−1−θ2 εt−2−…−θq εt−q (2.22)

model ini dapat ditulis dalam bentuk:

∅ p (B ) X t=θq ( B ) εt untuk stasioneritas memerlukan akar-akar ∅ (B )=0 terletak

diluar lingkaran satuan sedangkan untuk invertibilitas memerlukan akar-akar

θ ( B )=0 terletak diluar lingkaran. Dengan mengambil ekspektasi persamaan

diatas, diperoleh E ( X t )=0 karena ∅ (1)≠ 0.

Model ARMA (1,1) atau ARIMA (1,0,1)

(1−∅1 B ) X t= (1−θ1 B ) εt

X t−∅ 1 X t−1=εt−θ1 εt−1

X t=∅ 1 X t−1+ε t−θ1ε t−1

Proses ini stasioner jika −1<∅ 1<1 dan invertible jika −1<θ1<1.

17

Page 18: Bab 2 revisi

4. Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)

Hasil modifikasi model ARMA (p,q) dengan memasukkan operator

differencing menghasilkan persamaan model ARIMA, adanya unsur differencing

karena merupakan syarat untuk menstasionerkan data, dalam notasi operator shift

mundur, differencing dapat ditulis W t=(1−B )d X t, dimana W t merupakan data

hasil differencing X t sebanyak d kali dan (1−B )d operator differencing. Yang

dinotasikan dengan model ARIMA (p,d,q):

(1−∅ 1 B−⋯−∅ p Bp ) (1−B )d X t=(1−θ1 B−⋯−θq Bq )εt

∅ p (B ) (1−B )d X t=θq(B)ε t (2.23)

dimana : ∅ p (B )=1−∅ 1 B−…−∅ p B p (untuk AR (p))

θq ( B )=1−θ1 B−…−θq Bq (untuk MA (q))

Dengan X t=X t−μ

p : orde dari AR

q : orde dari MA

∅ p : koefisien orde p

θq : koefisien orde q

B : backward shift

(1−B )d : orde differencing non musiman

X t : besarnya pengamatan (kejadian) pada waktu ke-t

ε t : suatu proses white noise atau galatnpada waktu ke-t yang

diasumsikan mempunyai mean 0 dan variansi konstan σ a2

G. Prosedur Pembentukan Model ARIMA

18

Page 19: Bab 2 revisi

Metode ARIMA berbeda dengan metode peramalan lain karena metode ini

tidak menyaratkan suatu pola data tertentu, sehingga model dapat dipakai untuk

semua tipe pola data. Metode ARIMA akan bekerja baik jika data dalam time

series yang digunakan bersifat dependen atau berhubungan satu sama lain secara

statistik. Secara umum, model ARIMA ditulis dengan ARIMA (p,d,q) yang

artinya model ARIMA dengan derajat AR (p), derajat pembeda d, dan derajat MA

(q). Langkah-langkah pembentukan model secara iteratif adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi Model

Hal pertama yang dilakukan pada tahap ini adalah apakah time series

bersifat stasioner atau nonstasioner dan bahwa aspek-aspek AR dan MA dari

model ARIMA hanya berkenaan dengan time series yang stasioner (Makridakis,

1995: 381). Kestasioneran suatu time series dapat dilihat dari plot ACF yaitu

koefisien autokorelasinya menurun menuju nol dengan cepat, biasanya setelah lag

ke-2 atau ke-3. Bila data tidak stasioner maka dapat dilakukan pembedaan atau

differencing, orde pembedaan sampai deret menjadi stasioner dapat digunakan

untuk menentukan niali d pada ARIMA (p,d,q).

Model AR dan MA dari suatu time series dapat dilakukan dengan melihat

garfik ACF dan PACF.

a. Jika terdapat lag autokorelasi sebanyak q yang berbeda dari nol secara

signifikan maka prosesnya adalah MA (q).

b. Jika terdapat lag autokorelasi parsial sebanyak p yang berbeda dari nol secara

signifi kan maka prosesnya adalah AR (p). Secara umum jika terdapat lag

autokorelasi parsial sebanyak p yang berbeda dari nol secara signifikan,

19

Page 20: Bab 2 revisi

terdapat lag autokorelasi sebanyak q yang bebeda dari nol secara signifikan

dan d pembedaan maka prosesnya adalah ARIMA (p,d,q).

2. Estimasi Parameter

Ada dua cara yang mendasar untuk mendapatkan parameter-parameter

tersebut:

1) Dengan cara mencoba-coba (trial and error), menguji beberapa nilai yang

berbeda dan memilih satu nilai tersebut (atau sekumpulan nilai, apabila

terdapat lebih dari satu parameter yang akan ditaksir) yang

meminimumkan jumlah kuadrat nilai sisa ( sum of squared residual ).

2) Perbaikan secara iteratif, memilih taksiran awal dan kemudian

membiarkan program komputer memperhalus penaksiran tersebut secara

iteratif.

3. Pemeriksaan Diagnostik

Setelah berhasil megestimasi nilai-nilai parameter dari model ARIMA

yang ditetapkan sementara, selanjutnya perlu dilakukan pemeriksaan

diagnostik untuk membuktikan bahwa model tersebut cukup memadai dan

menentukan model mana yang terbaik digunakan untuk peramalan

(Makridakis, 1999: 411). Pemeriksaan diagnostik ini dapat dilakukan dengan

mengamati apakah residual dari model terestimasi merupakan proses white

noise atau tidak.

20

Page 21: Bab 2 revisi

Model dikatakan baik jika nilai error bersifat random, artinya sudah tidak

mempunyai pola tertentu lagi. Dengan kata lain model yang diperoleh dapat

menangkap dengan baik pola data yang ada. Statistik uji Q Box- Pierce dapat

digunakan untuk menguji kelayakan model, yaitu dengan menguji apakah

sekumpulan korelasi diri untuk nilai sisa tersebut tidak nol. Statistik uji Q Box-

Pierce menyebar mengikuti sebaran x2 dengan derajat bebas (m−p−q), dimana

m adalah maksimum yang diamati, p adalah ordo AR, dan q adalah ordo MA. Jika

nilai Q lebih besar dari nilai x2 (m−p−q) untuk tingkat kepercayaan tertentu atau

nilai peluang statistik Q lebih kecil dari taraf nyata α , maka dapat disimpulkan

bahwa model tidak layak. Persamaan statistik Uji Box dan Pierce menurut

Makridakis (1995) adalah:

Q=(N−d)∑k=1

m

rk2 (2.24)

dengan :

rk2 = nilai korelasi diri pada lag ke-k

N = banyaknya amatan pada data awal

d = ordo pembedaan

m = lag maksimal

4. Pemilihan Model Terbaik

Dalam suatu proses analisis time series menghasilkan beberapa model

yang dapat mewakili keadaan data. Untuk itu perlu dilakukan pemilihan model

yang terbaik. pemilihan model terbaik yang tepat didasarkan pada kriteria

21

Page 22: Bab 2 revisi

perhitungan model residu yang sesuai atau berdasarkan kesalahan peramalan

yaitu:

a. Akaike’s Information Criterion (AIC)

Semakin kecil nilai AIC semakin baik model itu untuk dipilih. Model

terbaik adalah model yang memiliki nilai AIC terkecil (Wei, 1989)

AIC=ln ( MSE )+2∗K / N (2.25)

b. Schwartz Bayesian Criterion (SBC)

Schwartz Bayesian Criterion (SBC) adalah kriteria pemilihan model yang

berdasarkan pada nilai yang terkecil. Kriteria tersebut dirumuskan sebagai berikut:

SBC=ln (MSE )+[ K∗log ( N ) ] / N (2.26)

dimana :

MSE = Mean Square error

K = banyaknya parameter, yaitu ( p+q+1)

N = banyaknya data pengamatan

Sedangkan kriteria yang digunakan dalam pemilihan model terbaik

berdasarkan kesalahan peramalan yaitu:

a. Mean Square Error (MSE)

MSE= 1N∑t=1

N

( x t− x t )2 (2.27)

dimana :

N = Jumlah Sampel

x t = Nilai Aktual Indeks

22

Page 23: Bab 2 revisi

x t = Nilai Prediksi Indeks (Aswi dan Sukarna, 2006:130)

b. Mean Absolut Percentage Error (MAPE)

MAPE=∑t=1

T [( X t- X t )

X t]

T×100%

(2.28)

dimana :

T = banyaknya periode peramalan

X t = nilai sebenarnya pada waktu ke-t

X t = nilai dugaan pada waktu ke-t (Aswi dan Sukarna, 2006:130)

Pada pemilihan metode terbaik (metode yang paling sesuai) yang

digunakan untuk meramalkan suatu data dapat dipertimbangkan dengan

meminimumkan kesalahan (error) yang mempunyai ukuran kesalahan model

terkecil.

5. Peramalan

Langkah terakhir adalah memprediksi nilai untuk periode selanjutnya dari

model terbaik. Jika data semula sudah melalui transformasi, peramalan yang kita

dapat harus dikembalikan ke bentuk semula. Prediksi suatu data baik dilakukan

untuk jangka waktu yang singkat sedangkan prediksi untuk jangka waktu yang

panjang hanya diperlukan untuk melihat kecenderungan (trend) pada dasarnya

prediksi untuk jangka waktu yang panjang kurang baik untuk dilakukan sebab bila

23

Page 24: Bab 2 revisi

kita meramalkan jauh kedepan tidak akan diperoleh nilai empiris untuk residual

setelah beberapa waktu, sehingga hal tersebut menyebabkan nilai harapan residual

seluruhnya bernilai nol dan angka prediksi menjad kurang akurat.

H. Heteroskedastisitas (Heteroscedasticity)

Faktor error pada suatu model regresi biasanya memiliki masalah atas

pelanggaran asumsi-asumsi pada residual. Suatu keadaan dikatakan

heteroskedastisitas, apabila suatu data memiliki variansi error yang tidak

konstan untuk setiap observasi atau dengan kata lain melanggar asumsi

Var εt=σ 2. Jika error pada suatu model mengandung masalah

heteroskedastisitas, maka akibatnya estimator yang dihasilkan tetap konsisten,

tetapi tidak lagi efisien karena ada estimator lain yang memilki variansi lebih kecil

daripada estimator yang memiliki residual yang bersifat heteroskedastisitas.

Volatilitas adalah pengukuran statistik variansi harga suatu instrumen,

volatilitas return ditunjukan dengan variansi atau standar deviasi return. Beberapa

metode yang berbeda dalam melakukan pengukuran volatilitas, masing-masing

memiliki karakter tertentu.

Dalam melakukan forecasting, volatilitas umumnya diasumsikan konstan

dari waktu ke waktu disebut homoskedastisitas. Akan tetapi, volatilitas tidak

selalu konstan dari waktu ke waktu yang disebut heteroskedastisitas.

Ada kalanya pemodelan ekonometrik asumsi varians dari error

term atau faktor pengganggu yang konstan menjadi tidak masuk akal, hal ini

disebabkan sangat mungkin terjadi kejadian dimana varians dari

24

Page 25: Bab 2 revisi

error term tidak konstan terhadap waktu, hal tersebut ditunjukkan oleh

volatility clustering yang terjadi pada data time series keuangan, dimana adanya

kecenderungan volatilitas yang tinggi pada suatu periode diikuti dengan volatilitas

yang tinggi pada periode berikutnya, demikian juga berlaku sebaliknya.

Peramalan dengan menggunakan asumsi volatilitas yang konstan terhadap

waktu biasanya dilakukan dengan menggunakan perhitungan standar deviasi

biasa, sedangkan untuk melakukan peramalan terhadap volatilitas yang tidak

konstan terhadap waktu telah dikembangkan banyak metode seperti model ARCH

dan kemudian dikembangkan lagi menjadi GARCH.

I. Model Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH)

Model yang dapat digunakan untuk mengatasi variansi error yang

tidak konstan dalam data time series finansial adalah model Autoregressive

Conditional Heteroscedasticity (ARCH) yang diperkenalkan pertama kali oleh

Engle pada tahun 1982. Pada model ARCH variansi error sangat dipengaruhi

oleh error di periode sebelumnya ε t−12 (wei, 2006:368).

Bentuk Umum Model Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH)

Ide pokok model ARCH adalah error (ε t) dari asset return tidak

berkorelasi secara parsial, tetapi dependen dan keterikatan ε tdapat dijelaskan oleh

fungsi kuadratik sederhana (Tsay, 2005: 115). Model ARCH ini, merupakan

model variansi dan model yang digunakan untuk peramalan ialah model mean

terbaik yang diestimasi secara bersama-sama dengan model variansi untuk

25

Page 26: Bab 2 revisi

memperoleh dugaan parameternya. Model mean yang digunakan dapat berupa

model-model ARIMA (Hamilton, 1994: 656).

Menurut Tsay (2005: 116), lebih spesifikasi lagi, suatu model ARCH

orde diasumsikan bahwa

ε t=σ t X t

σ t2=α 0+α1 εt−1

2 +α2 εt−22 +…+α p εt−p

2 (2.29)

Dengan X t i .i . d N ( μ , σ2 ) , α 0>0 , dan α i≥ 0untuk i>0. Pada kenyataannya

X t sering diasumsikan mengikuti distribusi normal baku, maka model ARCH

dapat dicirikan dengan ε t=σ t2 X t dengan σ t

2 untuk menotasikan variansi bersyarat

dalam persamaan (2.29). Model variansi yang memenuhi persamaan ARCH (p)

adalah model variansi yang menghubungkan antara variansi error pada waktu

ke-t dengan kuadrat error pada waktu sebelumnya.

J. Pengujian Efek ARCH

Pada model ARIMA asumsi ragam dari sisaan harus konstan dimana

Va r (εt )=σ2. Jika terjadi pelanggaran dari asumsi tersebut dimana ragam sisaan

tidak konstan yaitu Var (εt )=σ t2 maka model tersebut masih mengandung

masalah heteroskedasitisitas sehingga perlu pemodelan ragam sisaan dengan

GARCH untuk menyelesaikannya. Keberadaan heteroskedastisitas dapat

dideteksi dengan uji LM yaitu:

LM=N R2 (2.30)

26

Page 27: Bab 2 revisi

dengan R2=

∑i=1

n

( x i−x )2

∑i=1

n

( x i−x )2

Jika LM >Xa2 maka Var (εt )=σ t

2 yang berarti masih ada heteroskedastsitas

dimana N adalah banyaknya data, a adalah banyaknya data periode sebelumnya

yang memengaruhi data sekarang dan R2 = besarnya kombinasi keragaman yang

dapat dijelaskan data deret waktu sebelumnya. Lagrange Multiplier mengikuti

sebaran X2 dengan derajat bebas sebesar q (banyaknya periode waktu sebelumnya

yang mempengaruhi data sekarang).

K. Model Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasticity

(GARCH)

Model Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasticity

(GARCH) dikembangkan oleh Bollerslev (1986) yang merupakan

pengembangan dari model ARCH. Model ini dibangun untuk menghindari ordo

yang terlalu tinggi pada model ARCH dengan berdasar pada prinsip

parsimoni atau memilih model yang lebih sederhana, sehingga akan menjamin

variansinya selalu positif (Enders, 1995: 147).

Menurut (Tsay, 2005: 132) ε t=X t−μ t, ε t dikatakan mengikuti model

GARCH (p,q) jika

σ t2=α 0+α1 εt−1

2 +…+α p εt−p2 +β1 σ t−1

2 +…+βq σ t−q2

¿α 0+∑i=1

p

α i εt−i2 +∑

i=1

q

β j σ t− j2 (2.31)

27

Page 28: Bab 2 revisi

ε t=σ t X t

Dengan, σ t2 = variansi dari residual pada waktu t

α 0 = komponen konstanta

α i = parameter dari ARCH

ε t−12 = kuadrat dari residual pada waktu t-i

β j = parameter dari GARCH

σ t− j2 = variansi dari residual pada saat t-j

Dengan

X t i .i . d N (0,1 ) , α 0>0 , αi ≥ 0 ,i=1,2 , …, p , β j≥ 0 , j=1,2 , …, q :0<αi+β j<1.

Persamaan variansi yang memenuhi persamaan GARCH (p,q) menghubungkan

antara variansi residual pada waktu ke-t dengan variansi residual pada waktu

sebelumnya.

Jika persamaan (2.31) ditulis ke dalam operator B (backshift) maka didapat

σ t2=α 0+α ( B ) εt

2+β ( B ) σ t2 (2.32)

Dengan

B X t , t∈Z=X t−1 ,t ∈Z

β (B )=β1 ( B )+β2 ( B )2+…+βq (B )q

β (B ) X t ,t∈Z=β1 X t−1+ β2 X t−2+…+βq X t−q , t∈Z

α (B )=α1 ( B )+α 2 ( B )2+…+α p(B)q

α (B ) X t ,t∈Z=α1 X t−1+α2 X t−2+…+α p X t−p , t∈Z

Model GARCH (1,1)

28

Page 29: Bab 2 revisi

Model GARCH yang paling sederhana tetapi paling sering digunakan adalah

Model GARCH (1,1). Model GARCH (1,1) secara umum dinyatakan sebagai

berikut (Bollerslev, 1986: 311):

σ t2=α 0+α1 εt−1

2 + β1 σ t−12 (2.33)

Dengan, α 0>0 , α 1≥ 0dan β1 ≥ 0

σ t2 = variansi dari residual pada waktu t

α 0 = komponen konstanta

α 1 = parameter dari ARCH

ε t−12 = kuadrat dari residual pada waktu t-i

β1 = parameter dari GARCH

σ t− j2 = variansi dari residual pada saat t-j

Estimasi Parameter Model Garch

Setelah model diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah estimasi

parameter. Model regresi umum dengan kesalahan autokorelasi dan model

GARCH untuk variansi bersyarat adalah sebagai berikut (Wei, 2006:373)

Y t=X t' b+εt (2.34)

Dengan

ε t=φ1 εt−1+…+φp ϵ t−p+n t

nt=σ t εt

σ t2=α 0+α1 nt−1

2 +…+α pn t−p2 +β1 σ t−1

2 +…+βq σ t−q2

29

Page 30: Bab 2 revisi

Dan ε t adalah i .i . d N (0,1) dan tidak tergantung dari keadaan masa

lalu dari nt−p. Estimasi parameter dari model GARCH dengan menggunakan

Maksimum Likelihood Estimation. Persamaan (2.34) dapat ditulis kembali

menjadi

Y t=X t' b+ 1

1−φ1 B−…−φp Bpnt (2.35)

Menduga kemungkinan

Dalam prakteknya, pendekatan yang paling banyak digunakan untuk

pengepasan model GARCH pada data adalah maximum likelihood. Dengan

menganggap pada pengepasan model ARCH (1) dan GARCH (1,1) sebagai

pengepasan umum dari model ARCH (p) dan GARCH (p, q), model akan lebih

sederhana.

Untuk model ARCH (1) dan GARCH (1,1) anggap mempunyai total

dari n+1 data nilai X 0 , X1 , …, Xn. Berdasarkan hal tersebut, fungsi kepekatan

bersama dari peubah acak yang sesuai dapat ditulis seperti (McNeil, 2005:150):

f x0 , …,xn ( x0 , …, xn ) ¿ f x0(x0)∏t=1

n

f x t∨xt−1 ,…, x0(x t∨X t−1 ,…, x0)

Model GARCH (p,q) dianggap meniliki n+ p nilai data yang berlabel

X−p+1 , …, X0 , X1, …, Xn . Evaluasi peluang bersyarat dinilai teramati dengan

X−p+1 , …, X0 serta nilai tak teramati dari σ−p+1 ,…,σ0. Sehingga peluang besyarat

menjadi (McNeil, 2005:151):

30

Page 31: Bab 2 revisi

L(σ 2; X )∏t=1

n1σ t

g(X t−μt

σ t

) (2.36)

Dimana σ tmengikuti spesifikasi GARCH dan μt mengkuti spesifikasi ARIMA.

L. Penelitian Terdahulu

Sudah banyak penelitian-penelitian terdahulu yang mencoba memprediksi

gerakan suatu harga saham menggunakan analisis teknikal dengan berbagai

metode. Wenty Yolanda Eliyawati, dkk (2014) melakukan penelitian mengenai

“Penerapan Model Garch (Generalized Autoregressive Conditional

Heteroscedasticity) untuk Menguji Pasar Modal Efisien di Indonesia

(Studi pada Harga Penutupan (Closing Price) Indeks Saham LQ 45 Periode 2009-

2011)”. Hasil penelitian menunjukkan data harga penutupan harian

saham indeks LQ 45 terdapat unsur heteroskedastisitas. Penerapan model

GARCH(1,1) menunjukkan bahwa pada data harga penutupan harian (closing

price) saham pada indeks LQ 45 periode 2009-2011, harga pada periode 3 hari

dan 4 hari sebelumnya adalah yang paling berpengaruh.

Lulik Presdita Widasari dan Nuri Wahyuningsih (2012) melakukan penelitian

mengenai “Aplikasi Model ARCH-GARCH dalam Peramalan tingkat Inflasi”.

Hasil penelitian menunjukkan data tingkat inflasi dimodelkan dengan metode

ARIMA Box-Jenkins dan dideteksi terdapat adanya kasus heteroskedastisitas.

Penerapan model ARCH-GARCH dalam penelitian ini ditujukan untuk mengatasi

adanya heteroskedastisitas pada data tingkat inflasi.

31

Page 32: Bab 2 revisi

Teguh santoso (2011) melakukan penelitian mengenai “Aplikasi Model

Garch pada Data Inflasi Bahan Makanan Indonesia Periode 2005.1- 2010.6”. hasil

penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode GARCH memang

bisa mengatasi masalah heteroskedastisitas pada data time series yang mempunyai

kecenderungan volatilitas yang tinggi yang disebabkan karena residual atau error

term yang mengandung unsur heteroskedastisitas.

32