Post on 04-Nov-2020
12
Bab 2
Kerangka Teoritik Perubahan Sosial Terhadap Kehidupan Berkeluarga Tanpa Ikatan
Pernikahan
2.1 Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan zaman yang terjadi saat ini, maka kehidupan
masyarakatpun juga ikut mengalami suatu perubahan. Karena itu melihat akan fenomena yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat saat ini maka teori yang akan digunakan oleh penulis
yaitu teori perubahan sosial dari seorang ahli sosiolog klasik Emile Durkheim. Penulis
menggunakan teori dari Emile Durkheim karena dalam sebagian besar karyanya lebih
menyemaikan diri untuk mengkonsolidasikan diri terhadap segi moralitas sebab Durkheim
menganggap moralitas sebagai suatu totalitas masyarakat.1 Menurut Durkheim, masyarakat
dapat mengikuti perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan tetapi perlu melihat apakah
dengan perubahan sosial tersebut, tidak melanggar moralitas dari masyarakat itu. Sebab bagi
Durkheim, moralitas selalu terhubung dengan masyarakat, moralitas menjadi mungkin
dikarenakan oleh masyarakat. Otoritas daya moral inilah yang merupakan salah satu aspek
dari pengaruh moral yang ditanamkan masyarakat kepada setiap anggotanya.2 Jadi baginya
manusia hanya menjadi makhluk bermoral karena ia hidup di masyarakat tetapi dampak dari
perubahan sosial diakuinya terkadang telah mengendurkan nilai-nilai dalam tradisi, karena itu
menurut Durkheim masyarakat modern diakui tidak pasti secara moral.3
1 Emile Durkheim, Moral Education; A Study in the Theory and Application of the Sociology of Education
(New York: Free Press, 1973), 19. 2 Emile Durkheim, The Division of Labor In Society, terj. W.D.Halls (New York: Free Press, 2014), 57.
3 George Ritzer dan Barry Smart, Handbook of Social Theory (London: Sage Publication, 2001),1020.
13
Dengan demikian teori Durkheim digunakan penulis untuk melihat sejauh mana
perubahan itu dapat memberi dampak positif bagi kelangsungan hidup masyarakat di zaman
modern ini, atau sebaliknya dari perubahan tersebut justru memberi dampak negatif bagi
kelangsungan hidup bermasyarakat. Tentunya sebuah perubahan dibutuhkan oleh setiap
masyarakat, karena dengan adanya perubahan dalam suatu masyarakat menandakan bahwa
masyarakat tersebut telah berkembang, jika mencoba membandingkan kehidupan masyarakat
yang dulu dengan kehidupan masyarakat yang sekarang ketika mengalami perkembang.
Tetapi perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat tidak sedikit menampilkan dampak
negatif dari perubahan tersebut dan mempengaruhi moralitas dari masyarakat tersebut. Karena
itu, dalam bab ini penulis akan memaparkan pengertian perubahan sosial menurut beberapa
ahli, penulis juga akan menampilkan dampak negatif dari perubahan sosial khususnya
perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan berkeluarga tanpa ikatan pernikahan. Penulis
juga akan menampilkan bagaimana respon gereja akan perubahan sosial yang tengah
mempengaruhi institusi pernikahan atau perkawinan. Selain itu karena Indonesia adalah
negara hukum maka dalam bab ini penting juga penulis membahas bagaimana hukum di
Indonesia dalam mengsahkan sebuah pernikahan.
2.2 Pengertian Perubahan Sosial
Jika membahas perubahan sosial menurut Durkheim, maka tidak dapat dipisahkan dari
konsep-konsep Durkheim tentang hubungan individu dan masyarakat seperti yang tertuang
dalam prinsip totemik yang berkaitan dengan kesadaran kolektif. Mengacu pada gambaran
kehidupan masyarakat salah satu suku aborigin di Australia, diketahui bahwa suatu kelompok
yang mempunyai kedudukan istimewa dalam kehidupan kolektif adalah marga. Marga
dicirikan sebagai individu-individu yang menjadi anggotanya, mereka terikat oleh hubungan
14
kekeluargaan yang sangat khas yang terbentuk bukan berdasarkan ikatan darah, melainkan
secara kolektif mereka ditandai dengan nama atau kata yang sama. Mereka memandang satu
sama lain sebagai bagian dari keluarga karena memegang tanggung jawab timbal-balik yang
identik, yang ditanamkan kepada setiap anggota marga. Setiap marga memiliki totem yang
hanya dikhususkan untuk marga itu. Istilah totemik digunakan oleh Durkheim dalam bentuk
adjektif karena menurut penilaiannya totem sangat menentukan seluruh kehidupan masyarakat
aborigin baik dari sistemnya totemik, kepercayaannya totemik dan masyarakat totemik.4
Konsep dasar tentang totemisme adalah konsep prinsip quasi-tuhan yang imanen dalam
beberapa kategori manusia atau segala sesuatu selain manusia dan dianggap mengambil
bentuk dalam wujud binatang atau tumbuhan. Totem mengekspresikan dua hal yang berbeda
yakni di satu sisi totem merupakan bentuk luar dan kasat mata dari apa yang diistilahkan
dengan prinsip totemik atau tuhan, sementara di sisi lain totem juga merupakan simbol dari
sebuah masyarakat.5
Bagi setiap anggotanya, masyarakat sama dengan Tuhan bagi para hamba-Nya. Tuhan
pada awalnya adalah sesuatu yang dipandang superior oleh manusia dan merupakan tempat
menggantungkan kepercayaan, oleh karena itu masyarakat menimbulkan semacam rasa
ketergantungan pada diri individu. Karena masyarakat memiliki hakikat yang berbeda dari
individu, maka masyarakat mempunyai tujuan yang berbeda dengan individu. Namun karena
masyarakat hanya dapat mencapai tujuan tersebut melalui diri individu, maka masyarakat
membutuhkan kerjasama individu. Masyarakat mengikat individu dengan segala macam
bentuk kekangan, keleluasaan pribadi atau kebebasan, dan pengorbanan, yang apabila semua
4 Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, terj.Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukuri
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2011), 155. 5 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 303-305.
15
itu tidak ada, mustahil ada kehidupan sosial. Oleh karenanya individu harus patuh kepada
aturan-aturan tingkah laku yang sebenarnya tidak dibuat dan dibutuhkan, dan bahkan
bertentangan dengan keinginan dasariah individu. Sehingga tidak ada pilihan lain bagi
individu selain menerimanya. Individu mematuhi perintah masyarakat, karena masyarakat
menjadi objek rasa hormat yang paling utama. Dengan kata lain masyarakat menawarkan ide
untuk individu patuh kepadanya; masyarakat memberikan pengaruh moral atas individu.6
Daya moral tersebut memiliki semacam kesadaran kolektif yang mampu mempengaruhi
kesadaran individu. Otoritas daya moral inilah yang merupakan salah satu aspek dari
pengaruh moral yang ditanamkan masyarakat kepada setiap anggotanya.7 Tetapi adanya
perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat, mempengaruhi moral dari setiap anggota
masyarakat.
Perubahan sosial menurut Emile Durkheim dapat terjadi sebagai hasil faktor-faktor
ekologis dan demografis, dimana perubahan yang terjadi itu dapat mengubah kehidupan
masyarakat dari kondisi tradisional yang diikat oleh solidaritas mekanistik ke dalam kondisi
masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik. Durkheim memahami bahwa
masyarakat terdiri dari bagian-bagian yang terintegrasi dan saling bergantung melalui
penggunaan metafora organik yang ditujukan bagi ide masa lalu, dan metafora mekanik yang
ditujukan bagi modernisasi.8 Dalam teorinya yang mengutamakan masyarakat, Durkheim
ingin melihat keseluruhan perubahan pada manusia yang meliputi persoalan hukum,
moralitas, profesi, keluarga, ilmu pengetahuan, seni dan juga agama dengan menggunakan
6 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 305-306.
7 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 328.
8 Durkheim, The Division of Labor In Society, 57-88.
16
sudut pandang sosial. Berbeda dengan ahli-ahli lain yang mungkin hanya melihat salah satu
dari aspek kehidupan masyarakat.
Definisi perubahan sosial juga dikemukan oleh beberapa tokoh antara lain Wilbert
Moore yang mendefinisikan perubahan sosial bukanlah suatu gejala masyarakat modern tetapi
sebuah hal yang universal dalam pengalaman hidup manusia, di mana perubahan sosial
sebagai perubahan penting dari struktur sosial.9 Maksud dari struktur sosial di sini adalah
pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Moore memasukan ke dalam definisi perubahan sosial
berbagai ekspresi mengenai struktur seperti norma, nilai dan fenomena kultural.10
William F.
Ogburn menyatakan bahwa arti perubahan sosial adalah perubahan yang mencakup unsur-
unsur dari kebudayaan baik material maupun immaterial yang menekankan adanya pengaruh
besar dari unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial.11
Perubahan
sosial menurut Jacobus Ranjabar adalah perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia,
perubahan-perubahan tersebut dapat mencakup nilai-nilai sosial norma-norma sosial, pola
perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, kekuasaan dan interaksi sosial.12
Mengacu pada pengertian-pengertian di atas, perspektif perubahan sosial dapat
dipahami sebagai suatu bentuk peradaban umat manusia akibat adanya eskalasi perubahan
alam, biologis, fisik yang terjadi sepanjang kehidupan manusia. Dengan demikian perubahan
sosial memiliki suatu kejadian dari yang sederhana misalnya dalam lingkungan keluarga,
sampai pada kejadian yang paling lengkap mencakup tarikan kekuatan kelembagaan dalam
9 Eva Etzioni-Halevy dan Amitai Etzioni, Sosial Change: Sources, Patterns and Consequnces (New York:
Basic Book, 1994). 56. 10
Robert H Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 4. 11
Ranjabar, Perubahan Sosial dalam Teori Makro,16. 12
Ranjabar, Perubahan Sosial dalam Teori Makro, 12.
17
masyarakat.13
Perubahan sosial juga merupakan perubahan yang terjadi pada masyarakat
mengenai nilai-nilai sosial, norma dan berbagai pola dalam kehidupan manusia. Hakikatnya,
setiap masyarakat diseluruh dunia akan mengalami perubahan-perubahan yang diketahui jika
membandingkan suatu masyarakat di masa tertentu dengan masyarakat di masa lampau.
Perubahan sosial sebagai suatu proses perubahan bentuk yang mencakup keseluruhan
aspek kehidupan masyarakat. Proses tersebut berlangsung sepanjang sejarah hidup manusia,
pada tingkat komunikasi lokal, regional dan global. Perubahan sosial tersebut dapat terjadi
karena masyarakat pada dasarnya tidak bersifat statis melainkan dinamis dan heterogen
karena itu masyarakat akan selalu mengalami perubahan.14
Perubahan sosial merupakan
fenomena kehidupan sosial yang tidak dapat dihindari oleh setiap individu maupun kelompok
masyarakat. Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang
wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat.
Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang
mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam unsur-unsur geografis,
biologis, ekonomis, dan kebudayaan. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk
menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang dinamis.15
Tetapi, terkadang dalam suatu
perubahan sosial justru bertentangan atau melanggar nilai-nilai sosial, norma dan berbagai
pola dalam kehidupan manusia. Dengan demikian perubahan-perubahan sosial akan terus
berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antar manusia dan antar masyarakat. Perubahan
sosial mencakup akan beberapa perubahan pada lembaga sosial dan keluarga sebagai lembaga
13
Agus Salim, Perubahan sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2002), 1. 14
Syarifuddin Jurdi, Awal Mula Sosiologi Modern: Kerangka Epistemologi, Metodologi, dan Perubahan
Sosial Perspektif Ibn Khaldun (Belum Diset: Kreasi Wacana, 2012), 78. 15
Salim, Perubahan sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia, 20.
18
sosial terkecil dalam sistem sosial juga menjadi salah satu lembaga yang terkena imbas
perubahan sosial, sebab keluarga memiliki berbagai karakter yang unik, di mana setiap
keluarga memiliki nilai, adat istiadat serta memiliki budaya yang berbeda.16
Bagi Durkheim perubahan sosial juga dapat dibedakan menjadi beberapa jenis
tergantung pada sudut pengamatannya, apakah dari sudut aspek, fragmen atau dimensi sistem
sosialnya. Hal ini disebabkan karena keadaan sistem sosial itu tidak sederhana, tidak hanya
berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil keadaan berbagai
komponen seperti yang pertama unsur-unsur pokok, yang terdiri dari jumlah, jenis individu
dan tindakan masyarakat. kedua, hubungan antar unsur yaitu ikatan sosial, loyalitas,
ketergantungan, hubungan individu dan integrasi. Ketiga, berfungsinya unsur-unsur di dalam
sistem misalnya peran pekerjaan yang dimainkan oleh individu atau diperlukannya tindakan
tertentu untuk melestarikan ketertiban sosial. 17
Berlangsungnya suatu perubahan sosial, di
antaranya disebabkan diperkenalkan ataupun dimasukkannya hal-hal, gagasan-gagasan dan
ide-ide yang baru dan dikenal dengan inovasi (pemasukan atau pengenalan hal-hal baru
berdasarkan interaksi dengan masyarakat lain). Masuknya inovasi ke tengah suatu sistem
sosial terutama karena terjadinya komunikasi antaranggota suatu masyarakat, ataupun antara
suatu masyarakat dengan masyarakat lain.18
Dengan demikian, cara berkomunikasi
merupakan faktor yang penting untuk terjadinya suatu perubahan sosial. Melalui saluran-
saluran komunikasilah terjadi pengenalan, pemahaman, penilaian yang kelak akan
menghasilkan penerimaan ataupun penolakan terhadap suatu inovasi tersebut. Sekalipun
masyarakat mungkin ada yang sudah terbiasa dengan masuknya hal-hal baru, namun
16
Martono, Sosiologi Perubahan Sosial, 233. 17
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media, 2010), 3. 18
H. Rochajat Harun dan Elvinaro Ardianto, Komunikasi Pembangunan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011), 180.
19
sesungguhnya proses ini tidak sesederhana yang diduga. Bahkan tidak jarang, dari proses
tersebut menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah suatu masyarakat. Pro dan kontra
tercermin dalam berbagai sikap dan tanggapan dari suatu masyarakat yang bersangkutan,
ketika proses yang dimaksudkan berlangsung di tengah-tengah mereka.
Perubahan sosial yang sedang berlangsung pada era modern atau pada 50 tahun terakhir
di negara-negara berkembang ini telah membentuk struktur sosial baru, membentuk relasi
sosial baru dan hubungan-hubungan sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berubah.19
Perubahan sosial tersebut tidak saja memberikan dampak positif atau memberikan kemajuan
bagi kelangsungan hidup dari suatu masyarakat tertentu. tetapi, memiliki dampak negatif di
mana dari perubahan tersebut akan menimbulkan atau mengakibatkan terwujudnya berbagai
bentuk kekacauan sosial yang merupakan perwujudan-perwujudan dari proses perubahan
sosial. Kekacauan sosial tersebut biasanya dinamakan sebagai disorganisasi sosial. Dalam
keadaan kekacauan sosial ini, aturan-aturan atau norma-norma lama sudah tidak berlaku lagi
dan digantikan dengan norma-norma yang baru dalam mengatur kehidupan sosial warga
masyarakat berdasarkan perkembangan zaman.20
Tetapi perubahan yang dialami oleh masyarakat tidak memberi dampak positif,
sebaliknya perubahan sosial tersebut memberikan dampak negatif bagi kelangsungan hidup
bermasyarakat. Kenyataan yang terjadi dalam perubahan sosial dalam mengikuti
perkembangan zaman ini mempengaruhi nilai-nilai baik yang ada dalam masyarakat tersebut,
masyarakat seakan berlomba-lomba mengikuti perubahan agar terlihat mengikuti arus
perkembangan zaman yang lebih modern tetapi melupakan aturan-aturan yang ada dalam
19
Jurdi, Awal Mula Sosiologi Modern (Belum Diset: Kreasi Wacana, 2012), 2. 20
Ranjabar, Perubahan Sosial dalam Teori Makro, 6.
20
kehidupan. Selain itu perubahan tersebut juga mempengaruhi eksistensi adat istiadat, nilai
adat istiadat semakin ditinggalkan oleh masyarakat karena dianggap tidak sesuai dengan
perkembangan zaman, dan digantikan dengan nilai kebudayaan modern.
2.3 Perubahan Sosial Dalam Pernikahan
Pernikahan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam realita kehidupan manusia,
karena dari pernikahan terdapat suatu kesepakatan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk membentuk sebuah keluarga dan dari pernikahan tersebut manusia dapat
meneruskan keturunannya. Dengan adanya pernikahan rumah tangga dapat ditegakkan dan
dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Pernikahan juga
merupakan sebuah institusi yang sangat penting karena pernikahan merupakan pertanda
terbentunya keluarga baru yang mandiri dan terlepas dari tanggung jawab orang tua.21
Karl Barth mengatakan bahwa marriage is a divine vocation to life partnership
(pernikahan adalah panggilan Ilahi untuk kemitraan hidup).22
Untuk mencapai sebuah
pernikahan ada beberapa proses yang harus dilalui oleh para pasangan calon suami istri ini,
yaitu baik proses nikah secara adat, agama atau kepercayaan dan yang terakhir negara. Ketiga
proses ini yang biasanya harus dilakukan oleh setiap pasangan Kristen yang hendak
membentuk sebuah keluarga baru.
Namun pernikahan mulai mengalami perubahan seiring perkembangan era globalisasi
yang dimaknai masyarakat secara berbeda, sehingga tradisi pernikahan memiliki pemaknaan
yang berbeda disetiap daerah. Pernikahan telah mengalami pergeseran dari waktu ke waktu
seiring dengan terjadinya perubahan sosial dan budaya yang melanda struktur kehidupan
masyarakat dan menggerus nilai-nilai pernikahan. Perubahan-perubahan sosial ini diakibatkan
21
Hildred Geertz, Keluarga Jawa (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), 57. 22
Karl Barth, On Marriage (Philladelphia: Fortress Press, 1968), 5.
21
dengan bergesernya nilai dan norma dalam masyarakat. Sehingga menurut Durkheim dengan
menggerusnya nilai-nilai dalam kehidupan manusia mempengaruhi totalitas masyarakat
tersebut. Sehingga menurut Durkheim manusia tidak lagi merasakan tekanan dari peraturan-
peraturan moral seperti dahulu, namun baginya perubahan sosial ini tidak dirasakan sebagai
kebebasan atau kemerdekaan yang lebih besar, melainkan sebagai krisis anomi (perilaku tanpa
arah).23
Pengakuan akan dinamisme masyarakat modern itu mendorong Durkheim untuk
mengakui kesulitan-kesulitan yang timbul karena mengikisnya moralitas yang pernah
dipelihara oleh kekuatan-kekuatan tradisi, khususnya dalam tradisi pernikahan yang terus
mengalami perubahan dalam mengikuti perkembangan zaman.24
Selain itu, dalam kasus
pernikahan yang terus dipengaruhi oleh perubahan sosial terjadi karena berkembangnya
pemahaman masyarakat serta bertambahnya kebutuhan masyarakat seiring perkembangan
zaman yang ditandai dengan perkembangan ekonomi untuk mempertahankan hidup.
Perkembangan pemikiran mengenai pentingnya ekonomi turut mempengaruhi tradisi
pernikahan, pernikahan lebih diukur dari segi materi. Dalam konteks kehidupan, pernikahan
lebih condong sebagai kewajiban sosial dari pada manifestasi kehendak bebas tiap-tiap
individu. Oleh karenanya individu harus patuh kepada aturan-aturan tingkah laku yang
sebenarnya tidak dibuat dan dibutuhkan, dan bahkan bertentangan dengan keinginan dasariah
individu. Individu mematuhi perintah masyarakat, karena masyarakat menjadi objek rasa
hormat yang paling utama. Dengan kata lain masyarakat menawarkan ide untuk individu
patuh kepadanya; masyarakat memberikan pengaruh moral atas individu.25
23
Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 305. 24
Ritzer dan Smart, Handbook of Social Theory,1020-1024. 25
Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 306.
22
Keluarga merupakan pusat dari munculnya segala jenis tingkah laku dan perilaku
manusia di dalam masyarakat. Karena keluarga adalah lembaga atau unit kemasyarakatan
yang terkecil dan yang terpenting dalam dunia ini, maka keluarga menentukan tinggi
rendahnya mutu kehidupan masyarakat.26
Dengan demikian, dibutuhkan suatu pemahaman
keluarga yang baik dan sehat sehingga pada gilirannya dapat menciptakan kesejahteraan bagi
manusia. Selain itu, lingkungan yang pertama dan sangat penting bagi perkembangan
kepribadian dan nilai moral etis manusia adalah keluarga, apa yang mendasar bagi kehidupan
manusia itu berasal dari keluarga.
Keluarga menjadi lembaga yang sangat penting karena dari keluargalah akan terbentuk
berbagai karakter dari setiap individu. Keluarga juga sebagai tempat hidup sekaligus menjadi
tempat sosialisasi pertama bagi individu sebelum ia menjadi anggota masyarakat dalam
lingkup yang lebih luas. Inilah mengapa keluarga diposisikan sebagai tempat paling stategis
untuk menanamkan nilai-nilai sosial kepada setiap individu. Menurut Murdock keluarga
merupakan sebuah kelompok sosial yang dicirikan dengan tinggal bersama, melakukan
aktivitas reproduksi dan ekonomi. Sedangkan bagi Gilgum keluarga merupakan kelompok
manusia yang tinggal dalam suatu rumah tangga dalam kedekatan yang konsisten dan
hubungan yang erat.27
Perubahan pernikahan yang terjadi dalam kehidupan manusia turut mempengaruhi
penghayatan hidup berkeluarga dibanyak tempat. Misalnya baik suami maupun istri tidak bisa
menerima perubahan sifat dan kebiasaan di awal pernikahan, suami atau istri tidak berinisiatif
menyelesaikan masalah, perbedaan budaya diantara suami dan istri, hal tersebut tercermin
pada bagaimana pasangan suami dan istri menyikapi perubahan, perbedaan, pola penyesuaian
26
Mesach Krisetya, Konseling Pernikahan dan Keluarga (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW Press, 1999),
91. 27
Martono, Sosiologi Perubahan Sosial, 234-235.
23
yang dimainkan dan munculnya hal-hal baru dalam pernikahan. Semuanya itu dirasakan
kurang membawa kebahagiaan hidup berumah tangga sehingga masing-masing pasangan
gagal dalam menyesuaikan diri satu sama lain. Selain itu dampak dari kehidupan berkeluarga
tanpa ikatan pernikahan juga turut mempengaruhi penghayatan hidup berkeluarga dimana
kehidupan keluarga tersebut tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat. Para pasangan-
pasangan ini seakan dikucilkan dari kehidupan bermasyarakat. Hal ini turut mempengaruhi
hubungan solidaritas pasangan-pasangan tersebut dengan masyarakat yang menolak
keberadaan mereka.
Pernikahan juga tidak saja melibatkan pasangan yang hendak menikah tetapi juga
melibatkan masyarakat sekitar yang turut serta dalam membantu proses pernikahan tersebut
agar berjalan dengan baik. Tetapi, perubahan sosial membuat sebagian masyarakat yang telah
membentuk sebuah keluarga tanpa ikatan pernikahan ini menampilkan bahwa mereka telah
mengabaikan atau tidak memperdulikan lagi apakah hubungan tersebut dapat diakui oleh
masyarakat atau tidak. Hal ini menurunkan kesadaran kolektif dari pasangan-pasangan
tersebut akan makna dari pernikahan. Selain itu, munculnya nilai-nilai baru yang sangat
bertentang dengan nilai-nilai kebudayaan dan juga melemahnya nilai-nilai agama yang telah
dipelihara, juga turut mempengaruhi kesadaran kolektif para pasangan tersebut. Ternyata di
era modern ini dengan adanya perubahan banyak orang tidak mengetahui lagi nilai-nilai mana
yang bisa menjadi acuan yang dapat mereka pakai dalam kehidupan.
Nilai-nilai kehidupan berasal dari keluarga oleh sebab itu keluarga seharusnya
mempunyai peran penting dalam menanggapi perubahan yang terjadi yang mengancam
kehidupan manusia, tetapi yang terjadi justru kekacauan atau bergesernya nilai-nilai budaya
dan agama yang mempengaruhi moralitas suatu masyarakat yang berasal dari keluarga itu
24
sendiri. Melihat akan dinamika yang terjadi dalam kehidupan manusia tentang pernikahan,
dimana banyak keluarga yang terbentuk tanpa ikatan pernikahan, apakah hubungan ini dapat
pula dikatakan sebagai sebuah keluarga. Sedangkan sebutan keluarga dapat dikatakan sebagai
keluarga kalau kehidupan bersama ini diikat oleh sebuah pernikahan. Karena itu, moralitas
dalam sebuah keluarga penting untuk diperhatikan.
Emile Durkheim mengatakan bahwa moralitas adalah suatu sistem kaidah atau norma
mengenai kaidah yang menentukan tingkah laku manusia. Kaidah-kaidah tersebut menyatakan
bagaimana manusia harus bertindak pada situasi tertentu.28
Pandangan Durkheim mengenai
moralitas mempunyai dua aspek yaitu pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah suatu
fakta sosial, dengan kata lain bahwa moralitas dapat dipelajari secara empiris, eksternal bagi
individu dan bersifat memaksa individu. Hal itu berarti bahwa moralitas bukanlah sesuatu
yang dapat difilsafati orang, tetapi sesuatu yang harus dipelajari sebagai suatu fenomena
empiris. Hal ini karena moralitas selalu berhubungan dengan struktur sosial. Kedua,
Durkheim memberi perhatiannya pada kesehatan moral masyarakat modern, sebab bagi
Durkheim banyak orang akan gagal dalam perubahan sosial jika tidak memperhatikan
moralitas karena moralitas merupakan pusat dan objeknya.29
Dapat disimpulkan bahwa
moralitas adalah suatu ketentuan-ketentuan kesusilaan yang mengikat perilaku sosialmanusia
untuk mewujudkan dinamisasi kehidupan di dunia. Karena itu, sangat penting bagi
masyarakat untuk melihat bagaimana pengaruh perubahan sosial dalam pernikahan dapat
membantu kemajuan dari masyarakat tertentu atau justru sebaliknya mengancam moralitas
dari kehidupan masyarakat.
28
Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1986). 18. 29
George Ritzer, Teori Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 136-137.
25
Moralitas terdiri dari penerimaan atas lingkup yang terpilah-pilah dari perilaku yang
harus dijunjung tinggi oleh mereka yang percaya, dan terbukti diterima dalam interaksi sosial
maupun hubungan antar pribadi. Dalam setiap budaya, perilaku tersebut tidak diragukan lagi
mempunyai pola tertentu di mana ruang lingkup perilaku ini sering kali mencerminkan aneka
macam perilaku dari masyarakat tertentu. Bagaimanapun juga di satu pihak ada perilaku
tertentu yang dianjurkan dan di lain pihak ada perilaku yang dilarang, cenderung untuk tidak
diterima baik oleh individu maupun masyarakat. Tetapi melihat akan perubahan yang terjadi
di banyak tempat, maka perubahan tersebut berdampak pula pada moralitas dari suatu
masyarakat yang mulai hilang atau diabaikan. Krisis moral merupakan salah satu masalah
sosial dalam masyarakat karena dapat mengganggu kenyamanan masyarakat. Seorang
individu yang menyimpang dan tidak bermoral tentu merupakan suatu masalah penting dalam
masyarakat karena bisa di katakan dapat mengganggu jalannya fungsi masyarakat yang
lainnya. Krisis moral dapat terjadi pada siapapun dan dalam kondisi apapun.
Dalam prespektif Durkheim moralitas memiliki tiga komponen pertama, moralitas
melibatkan disiplin dimana disiplin tersebut dapat dilihat dari sudut pengekangan terhadap
dorongan-dorongan hasrat seseorang. Pengekangan dianggap penting karena kepentingan
individu dan kelompok tidak sama dan bisa saja terlibat dalam konflik. Disiplin merupakan
suatu komponen yang dapat membatasi seorang individu untuk bertindak dan berkeinginan
sesuai batasan-batasan yang ada dalam fakta sosial sehingga individu tidak dapat menuntut
lebih. Komponen yang kedua adalah keterikatan terhadap kelompok sosial, keterikatan yang
dimaksudkan adalah keterikatan secara emosional dan tulus antar individu dengan kelompok
sosialnya sehingga individu rela dengan sepenuh hati mengikuti aturan atau fakta sosial dalam
kelompoknya, sehingga keterikatan adalah bagian dari diri individu tersebut, berbeda dengan
26
disiplin yang hakikatnya adalah memaksa dan paksaan itu berasal dari luar karena tidak
adanya keterikatan dalam diri masing-masing individu. Kemudian komponen yang ke tiga
adalah otonomi, dimana moralitas modern mesti didasarkan pada hubungan antara individu
dan masyarakat.30
2.4 Gereja Dan Perubahan Sosial Dalam Institusi Perkawinan
Gereja turut perperan aktif dan menjadi promotor dari hampir sebagain besar perubahan
sosial yang terjadi dalam masyarakat.31
Gereja juga telah menjadi sumber utama dalam
perkembangan pendidikan, ilmu pengetahuan dan ekonomi, serta menjadi penyumbang
berbagai pelayanan sosial bagi masyarakat. Kendati telah menjadi sumber perkembangan
selama berabad-abad, namun hal itu tidaklah menjamin bahwa gereja tetap akan berlindung
dari sentuhan perubahan sosial yang terjadi. Di luar gereja dan perkembangan yang
diprakasainya tampak timbul benih-benih perubahan yang baru dan subur. Banyak pihak yang
tidak senang dengan sisi lain gereja yang begitu monopoli. Perkembangan dan perubahan
sosial terjadi diluar gereja begitu pesat. Dengan menunggangi modernisasi yang bermuatkan
berbagai bidang kehidupan, keadaan sosial mengalami perubahan yang begitu cepat. Pola
pemikiran liberal yang bersandar pada rasionalitas, positifitas dan individualitas
dikumandangkan menggantikan nilai-nilai komunal tradisional. Gereja seakan tertinggal
dengan keadaan sosial masyarakat yang telah banyak berubah.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Veerger, Durkheim sendiri memandang agama
(gereja) sebagai fakta sosial dan menurutnya agama harus memiliki fungsi, sebab agama
bukan ilusi tetapi merupakan fakta yang dapat di indifikasi dan mempunyai kepentingan
30
Ritzer, Teori Sosiologi, 178. 31
A. M Mangunhardjana, Pendampingan Kaum Muda: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 58.
27
sosial.32
Oleh sebab itu, gereja yang hidup adalah gereja yang selalu mempertanyakan makna
kehadirannya di tengah masyarakat dan lingkungan. Perubahan sosial yang tengah terjadi di
masyarakat memberikan tantangan pelayanan dan kehidupan yang harus dijawab oleh gereja,
karena itu gereja juga harus terlibat pada masalah sosio-politik dan sosio-kemasyarakatan
yang dialami masyarakat. Gereja yang hidup adalah gereja yang pro-aktif dalam menyikapi
perubahan yang terjadi di tengah masyarakat bukan gereja yang reaktif. Seringkali gereja
bersikap reaktif, di mana ketika permasalahan itu timbul barulah gereja akan mengambil
sikap. Gereja harus mampu membaca perubahan-perubahan yang tengah terjadi di
masyarakat, bukan sebaliknya turut terbawa arus perubahan yang ada. Walaupun demikian,
gereja harus terbuka, dinamis, dialogis pada situasi perkembangan di masyarakat dengan
sikap positif, kristis, kreatif dan realistis.
Menghadapi keadaan sosial, gereja mulai mengambil dan menentukan sikapnya
terhadap perubahan tersebut.33
Gereja menyesuaikan diri dalam zaman baru agar dapat
memberi sumbangan yang efektif bagi pemecahan masalah-masalah modern. Gereja
mengubah pandangannya tentang dunia yang kemudian menjadi fondasi yang kokoh bagi
gereja untuk memperbaharui dirinya dan semakin masuk dalam kehidupan dunia. Dunia tidak
lagi dipandang dari sudut pandang yang profan dan sakral saja namun dunia dipandang
sebagai ladang tempat benih-benih itu harus ditabur dan dituai. Gereja harus terbuka terhadap
berbagai kebenaran dan isu-isu global yang dikumandangkan seperti demokrasi, transparasi,
emansipasi dan sebagainya. Sebab, gereja merupakan bagian dari masyarakat dan masyarakat
merupakan bagian penting gereja. Keduanya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.
Meskipun demikian, gereja harus selalu waspada dalam menyikapi perubahan sosial yang
32
K. J Veeger, Realitas Sosial; Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam
Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: PT Gramedia, 1985), 31. 33
Mangunhardjana, Pendampingan Kaum Muda, 26.
28
tengah melanda kehidupan masyarakat saat ini, agar unsur-unsur baik yang ada dalam gereja
tidak memudar atau kehilangan nilai-nilai fundamentalnya.
Dalam beberapa aspek nampak pula gereja bersifat tertutup dan bahkan cenderung
menentang perubahan. Hal ini nampak dari sikap gereja yang tetap mempertahankan hal-hal
fundamental yang berhubungan dengan dogma, iman dan keselamatan serta menolak isu-isu
publik yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar gereja seperti menolak kehidupan
berkeluarga tanpa ikatan pernikahan. Sikap gereja yang demikian seringkali mengundang
kritik tajam dari beberapa masyarakat karena gereja dianggap terlalu konservatif. Namun
begitulah gereja berusaha untuk tetap eksis di tengah-tengah arus perubahan yang begitu kuat.
Setiap tindakan yang hendak diambil harus diperhitungkan secara matang suatu resiko besar
yang dapat mengancam eksistensi dan nilai-nilai gereja yang fundamental. Karena itu, gereja
juga harus tetap aktif dalam kehadirannya pada kehidupan masyarakat karena salah satu tugas
gereja adalah mendidik dan membangun.
Manusia memiliki realita sosial dan realita pribadi dalam kehidupannya, di mana kedua
realita tersebut saling berkaitan sehingga sulit untuk dipisahkan, sebab perilaku manusia
memiliki ciri individu dan sosial sekaligus. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk
sosial.34
Dari kedua realita ini penting untuk dapat memberikan pemahaman ketika berbicara
tentang peran gereja dalam perubahan sosial. Sang Pencipta memulai dengan realita pribadi,
bagaimana Sang Pencipta mengubah hidup pribadi seseorang lalu orang itu mengubah
lingkungan, termasuk orang disekitarnya sebagai realita sosialnya. Gereja dalam hal ini masuk
di dalam domain agama dalam kaitannya dengan realita dan kekuatan sosial termasuk di
34
Veerger, Realitas Sosial-Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat, 4.
29
dalam pandangan Durkheim sebagai kekuatan yang mengikat manusia secara individual.35
Artinya gereja selaku institusi sosial bisa mengkondisikan individu-individu anggotanya
untuk berperilaku dan bertindak baik dalam ruang lingkup yang kecil kedalam lingkup gereja
ataupun juga pada akhirnya akan keluar ke ruang lingkup masyarakat.
Pada akhirnya jelas bahwa gereja mampu mempengaruhi masyarakat di sekitarnya
untuk masuk ke dalam perubahan sosial melalui intense-intensi pola pikir yang diajarkan
kepada individu-individu anggotanya. Meskipun ada juga kajian Peter L. Berger yang
menyatakan bahwa justru kondisi masyarakat dalam hal ini menyangkut perubahan sosial
yang mempengaruhi gereja melalui modernisasi yang menjadikan gereja harus bersikap,
menerima atau menolak tetapi kenyataannya tidak dapat dihindari.36
Geertz lebih khusus
membahasnya langsung ke lembaga keagamaan, Geertz menyatakan bahwa agama (gereja)
adalah pola bagi kelakuan masyarakat pendukungnya yang terjadi karena adanya interaksi
antara komunitas masyarakat pendukung.37
Jadi, dapat dikatakan bahwa agama sebagai suatu
lembaga sosial dapat menjadi model perubahan bagi masyarakat, ketika lembaga keagamaan
berubah maka secara otomatis akan terjadi perubahan pada masyarakat. Sebab fungsi dari
lembaga sosial adalah memberikan pedoman bagi masyarakat bagaimana harus bertindak di
dalam menghadapi masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat. Peran gereja di tengah
masyarakat yang berubah adalah menjadi krusial saat ini. Persoalannya adalah apakah setiap
gereja memahami akan perannya, jika dikaji lebih mendalam, sebetulnya tidak ada pilihan
bagi gereja sebab gereja adalah bagian dari masyarakat, apa yang terjadi di masyarakat akan
35
Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2006), 203. 36
Peter L. Berger, Kebangkitan Agama Menantang Politik Dunia, terjemahan (Jogjakarta: Arruzz, 2003), 19-
20. 37
Agus Salim, Perubahan Sosial: Sketsa Teori dalam Refleksi Metodologi Kasus Indonesia (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2002), 112.
30
mempengaruhi gereja, begitu juga apa yang terjadi di gereja akan berdampak juga ke
masyarakat.
Perubahan sosial membawa dampak yang besar bagi kehidupan manusia dan tidak
sedikit menampilkan dampak negatif bagi kehidupan manusia, di mana semakin menurunnya
nilai-nilai moral dan keagamaan dari masyarakat. Walaupun gereja telah berjuang untuk
memperbaharui dirinya namun kemerosotan moral dan kehidupan beragama tidak dapat
dihindari. Keluarga Kristen di zaman modern ini juga merasakan hal yang sama. Tentu saja
zaman modern ini membawa banyak pengaruh positif dalam kehidupan manusia. Namun,
perlu juga diketahui bahwa ada banyak pengaruh negatif dalam perubahan sosial ini.
Berhadapan dengan hal ini, ada banyak yang terjadi dalam pernikahan Kristen. Perkembangan
zaman ini baik langsung maupun tidak, juga mengambil bagian atau memberikan
pengaruhnya yang besar bagi pernikahan keluarga-keluarga Kristen. Sejalan dengan itu, ada
banyak masalah pula yang timbul berkaitan dengan pernikahan sebuah keluarga Kristen.
Banyak masyarakat saat ini yang menerapkan gaya hidup berkeluarga tanpa ikatan
pernikahan. Hal tersebut telah dianggap trend pada zaman modern ini. Akan tetapi kehidupan
yang dipengaruhi perubahan sosial itu mempengaruhi hukum yang berlaku dalam agama atau
gereja. Sebab gereja dalam hal ini menganggap kehidupan tersebut sebagai dosa. Sebab bagi
gereja tindakan tersebut merendahkan martabat pernikahan, karena mereka merusak konsep
keluarga, melemahkan nilai kesetiaan, dan terlebih melawan hukum moral.
2.5 Hukum Perkawinan Di Indonesia
2.5.1 Hukum Perkawinan Sebagai Dasar Terbentuknya Keluarga Di Indonesia
Di Indonesia, agar hubungan pria dan wanita diakui secara hukum maka pernikahan
diatur dalam suatu undang-undang, menurut Undang-undang Republik Indonesia (UU RI)
31
Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 tentang perkawinan, menyatakan bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.38
Setiap makhluk hidup memiliki hak azazi untuk melanjutkan keturunannya melalui
perkawinan, yakni melalui budaya dalam melaksanakan suatu pernikahan yang dilakukan di
Indonesia. Setiap pasangan jika sudah melakukan pernikahan maka terhadapnya ada ikatan
kewajiban dan hak diantara mereka berdua dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Perkawinan menurut Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, bukan saja
merupakan suatu perbuatan perdata saja, melainkan juga merupakan suatu perbuatan
keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya ada pada
hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianutnya.39
Tata cara pernikahan di Indonesia tergolong beraneka ragam antara satu dengan yang
lainnya oleh karena di Indonesia mengakui adanya bermacam-macam agama dan kepercayaan
yang tata caranya berbeda. Hal yang demikian dimungkinkan dalam Negara Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang dengan tegas mengakui adanya prinsip kebebasan
beragama.40
Hukum keluarga merupakan hukum yang paling tua dibandingkan jenis hukum lainnya,
karena ketika berbicara keluarga maka yang perlu disepakati bahwa keluarga merupakan unit
terkecil dalam masyarakat, yang terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak. Keluarga
terbentuk melalui perkawinan dan dengan memaknai adagium “ubi sociates ibi ius” (di mana
ada masyarakat di situ ada hukum), maka dapat dikatakan bahwa bagian dari hukum keluarga
38
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (LN 1974 Nomor 1, TLN 3019) 39
Abdurrahman, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia (Bandung: Penerbit Alumni, 1978), 9. 40
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata ( Jakarta: Intermasa, 1985), 1.
32
yang paling tua adalah hukum perkawinan.41
Berbicara mengenai hukum keluarga, maka tidak
terlepas dari persoalan hukum perkawinan. Sebab keluarga terbentuk melalui perkawinan.
Setelah terjadi perkawinan maka terbentuk hubungan antara suami dengan istri, termasuk pula
hubungan yang terkait dengan harta dalam perkawinan. Selanjutnya jika perkawinan tersebut
lahir anak, maka terbentuk pula hubungan antara orang tua dengan anak.
Setelah berlakunya UU perkawinan, maka terjadi unifikasi hukum dalam perkawinan di
Indonesia, di mana perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
agama/kerohanian.42
Pengaturan hukum tentang perkawinan telah berlaku sama terhadap
semua warga Negara oleh karena itu, setiap warga Negara harus patuh terhadap hukum yang
berlaku, termasuk terhadap UU perkawinan yang menjadi landasan untuk menciptakan
kepastian hukum, baik dari sudut hukum keluarga dan akibat hukum dari suatu perkawinan.
Keabsahan suatu perkawinan menurut UU Perkawinan adalah didasarkan pada hukum agama
dan kepercayaan masing-masing, sehingga sejak berlakunya UU Perkawinan ini maka
upacara perkawinan menurut hukum agama bersifat menentukan tentang sah atau tidaknya
perkawinan itu. Pencatatan perkawinan dalam suatu akta merupakan akta nikah. Akta nikah
adalah bukti tentang perkawinan dan merupakan alat bukti yang sempurna mengenai adanya
perkawinan. Durkheim sebagaimana dijelaskan secara singkat berusaha menghubungkan
hukum dengan struktur sosial. Hukum dipergunakan sebagai suatu alat diagnosa untuk
menemukan syarat-syarat struktural bagi perkembangan solidaritas masyarakat. hukum dilihat
sebagai suatu alat mempertahankan keutuhan masyarakat maupun untuk menentukan adanya
perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.
41
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),
4-5. 42
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), 3.
33
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, apalagi dalam perubahan sosial ini
banyak masyarakat telah terpengaruh akan kehidupan modern yang terkadang mengabaikan
hukum sebagai landasan kehidupan masyarakat. masyarakat mulai mengabaikan hukum
pernikahan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat zaman sekarang yang telah
membentuk keluarga tanpa ikatan pernikahan. Hal tersebuat melanggar hukum Perkawinan
yang telah ditetap dalam UU Perkawinan. Durkheim bertolak dari penemuannya di
masyarakat. dengan metode empirisnya ia membuat kesimpulan bahwa hukum sebagai moral
sosial pada hakikatnya adalah suatu ekspresi solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu
masyarakat. Menurut Durkheim hukum adalah cerminan solidaritas. Di mana, dalam
solidaritas ada konsep kolektif atau kesadaran bersama yang merupakan hasil kepercayaan
dan perasaan dari seluruh anggota masyarakat. Karena itu, Durkheim merumuskan hukum
sebagai suatu kaidah yang bersanksi.43
2.5.2 Perkawinan pada negara hukum yang berdasarkan Pancasila
Berbicara tentang system hukum perkawinan, maka perlu dipahami bahwa sistem
hukum yang dumaksudkan di sini adalah sistem hukum nasional yang didasarkan pada
landasan idiologi dan konstitusional Negara (Pancasila dan UUD 1945), dengan kata lain
merupakan sistem hukum yang dibangun di atas kreativitas dan aktifitas yang didasarkan pada
cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri, tetapi pada sisi lain juga tidak terlepas dari system
hukum perkawinan yang masih bercorak pluralistik. Bangsa Indonesia memiliki ciri khas
tersendiri yang diangkat dari nilai-nilai yang telah dimilikinya sebelum membentuk suatu
Negara modern. Nilai-nilai tersebut berupa nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan serta nilai
religius yang kemudian dikristalisasikan menjadi suatu sistem nilai yang disertai Pancasila.
43
Alvin S. Johnson, Sosiologi Hukum (Jakarta: PT Rineke Cipta, 1994), 104.
34
Sebenarnya perkawinan merupakan perbuatan hukum yang sangat erat kaitannya
dengan nilai-nilai agama, tetapi mengingat adanya pluralisme agama di Indonesia, maka tidak
mungkin membuat aturan hukum perkawinan yang semata-mata hanya didasarkan pada satu
nilai-nilai agama tertentu dengan mengabaikan nilai-nilai yang terdapat dalam agama lain.
Oleh sebab itu, dalam undang-undang ini disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sesuai
dengan penjelasan umum tersebut, terlihat bahwa Indonesia juga bukan negara sekuler yang
memisahkan antara agama dan negara. Bahkan dalam pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974
ditegaskan pula bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu.44
Hal ini menunjukkan bukti bahwa walaupun negara menginginkan adanya aturan
hukum perkawinan yang merupakan produk negara (legislatif), tetapi tidak berarti aturan
hukum yang terdapat dalam hukum agama ataupun kepercayaan seseorang dikesampingkan
oleh negara. Berhubung masalah perkawinan sangat erat kaitannya dengan agama dan
kepercayaan maka dalam pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 menunjukan makna bahwa
aspek agama tidak dapat diabaikan oleh para pihak yang akan melangsungkan perkawinan,
dengan kata lain bahwa suatu perkawinan baru dianggap sah, jika pelaksanaannya telah sesuai
dengan ajaran agama yang dianut oleh para pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.
44
Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama (Yogyakarta: Liberty, 1989), 3.
35
2.6 Penutup
Perubahan sosial telah merambah hampir ke seluruh sendi kehidupan manusia, ditandai
dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi secara pesat dan
mengglobal. Seluruh bangsa telah dijangkau dan dapat menjangkau berbagai aspek informasi,
baik bersifat positif untuk kemajuan sebuah negara dan peradaban satu bangsa, maupun
impaktisitas negatif yang ditimbulkannya bagi masyarakat. Pada negara dan bangsa tertentu
hal tersebut telah berpengaruh positif dalam mensejajarkan bahkan mendekatkan kedudukan
satu negara sedang berkembang dengan negara maju. Fenomena akumulasi tersebut
dinamakan perubahan sosial. Disadari atau tidak telah berdampak secara sosial dan budaya,
baik pada tingkat bangsa maupun elemen sosial dan budaya di tingkat daerah regional.
Sebagai suatu fenomena sosial yang sedang terjadi dan berlangsung di dalam
masyarakat, perubahan sosial merupakan realitas yang sulit dihindari apalagi ditolak atau
dikontrol, karena perubahan tersebut disebabkan oleh berbagai kekuatan yang dihasilkan dari
berbagai persoalan yang kompleks sehingga sulit atau bahkan tidak dapat dikontrol apalagi
dihentikan. Sehingga Durkheim dalam teorinya mengemukakan bahwa cara kerja kolektif
mulai memudar dan digantikan dengan cara kerja yang semakin diindividualisasikan. Hal
tersebut dapat dilihat pada persoalan pernikahan. Pada sebuah pernikahan, ketika seorang
laki-laki dan perempuan ingin bersatu banyak pihak turut serta dalam proses pernikahan
tersebut. Tetapi, kenyataan sekarang banyak pasangan laki-laki dan perempuan tidak lagi
menjadikan pernikahan sebagai urusan dari masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari
keberadaan pasangan keluarga tanpa ikatan pernikahan yang semakin meningkat dalam
kehidupan masyarakat saat ini di Jemaat Imanuel Oesao.
36
Dalam kehidupan masyarakat Oesao perubahan sosial menimbulkan multi impact di
berbagai pergeseran norma sosial dan nilai budaya, di antaranya adalah pergeseran atau
perubahan nilai-nilai pada lembaga pernikahan. Lembaga pernikahan pada masyarakat Oesao,
lebih dominan terbentuk dari struktur sosial masyarakat yang inheren dengan realitas dari
ajaran Kristen. Nilai-nilai pernikahan telah mengalami perubahan di mana semakin kurang
mencerminkan sakralisasi keagamaan. Perubahan demi perubahan terus terjadi secara
signifikan, karena itu dampak negatifnya bagi pernikahan dan kehidupan keluarga semakin
terasa. Unsur-unsur yang tidak menguntungkan itu secara langsung atau tidak langsung
membawah pengaruh kepada pembentukan sebuah keluarga. Keluarga zaman sekarang
tampaknya sudah terancam oleh perubahan-perubahan tata nilai dan pola hidup dari
masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Pada zaman modern ini moralitas dalam
pernikahan semakin memudar dan menghilang. Keadaan global maupun lokal sekarang ini
telah menampakkan sisi terang dan sisi gelap pada kehidupan pasangan suami istri dalam
sebuah keluarga.
Moralitas pernikahan lebih berkaitan dengan pemahaman dan penyadaran akan hidup
pernikahan sebagai sebuah tindakan moral, yang tentu saja menuntut suatu kewajiban moral
di dalamnya, selain adanya unsur hak bagi pribadi dan pasangan dalam tindakannya.
Durkheim mengatakan bahwa moralitas adalah suatu sistem kaidah atau norma mengenai
kaidah yang menentukan tingkah laku manusia. Kaidah-kaidah tersebut menyatakan
bagaimana manusia harus bertindak pada situasi tertentu dan bertindak secara tepat terhadap
kaidah yang telah ditetapkan. Kenyataan yang terjadi, moral dalam pembentukan sebuah
keluarga yang seharusnya diawali dalam pernikahan seakan tidak diperdulikan lagi oleh
sebagian masyarakat di zaman modern ini. Demi mengikuti perkembangan zaman,
37
masyarakat mengabaikan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat tersebut.
Indonesia sebagai negara hukum, tentu mengharapkan agar masyarakatnya harus
mengikuti hukum yang berlaku di Indonesia. Dibuatnya UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, dimaksudkan agar masyarakat tidak mengabaikan nilai dan norma yang berlaku
di Indonesia khususnya dalam nilai dan norma yang ada dalam pernikahan. Agar dalam hal
ini, masyarakat yang ingin melakukan pernikahan harus mengikuti aturan-aturan yang telah
dibuat. Sebuah perkawinan dikatakan sah apabila telah sesuai dengan prosedur-prosedur yang
berlaku dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, selain itu dalam pasal 2 ayat 1
UU Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa sahnya sebuah perkawinan apabila dilakukan
berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaan.