Post on 13-Dec-2020
ANALISIS ZONASI TERUMBU KARANG
DALAM PENGEMBANGAN SEGMENTASI EKOWISATA
DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
DENGAN METODE PENGINDERAAN JAUH
SKRIPSI
ARAMITA LIVIA ARDIS
NPM. 230110150187
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2019
ANALISIS ZONASI TERUMBU KARANG
DALAM PENGEMBANGAN SEGMENTASI EKOWISATA
DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
DENGAN METODE PENGINDERAAN JAUH
SKRIPSI
Diajukan untuk Menempuh Sidang Akhir
ARAMITA LIVIA ARDIS
NPM. 230110150187
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Zonasi Terumbu
Karang Dalam Pengembangan Segmentasi Ekowisata di Taman Nasional
Karimunjawa dengan Metode Penginderaan Jauh adalah hasil karya saya
dengan bimbingan dari komisi pembimbing. Sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya orang lain yang diterbitkan maupun yang tidak
diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Jatinangor, Agustus 2019
Aramita Livia Ardis
NPM. 230110150187
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL : ANALISIS ZONASI TERUMBU KARANG DALAM
PENGEMBANGAN SEGMENTASI EKOWISATA DI
TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA DENGAN METODE
PENGINDERAAN JAUH
PENULIS : ARAMITA LIVIA ARDIS
NPM : 230110150187
Jatinangor, Agustus 2019
Menyetujui :
Komisi Pembimbing Dekan,
Ketua,
Mega Laksmini Syamsudin, S.Pi.,MT.,Ph.D Dr. Yudi Nurul Ihsan, S.Pi., M.Si
NIP. 19790916 200801 2 011 NIP. 19751201 200604 1 002
Anggota,
Drs. Herman Hamdani, M.Si
NIP. 19570805 198601 1 002
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kesehatan jasmani dan rohani serta petunjuk dan kekuatan kepada penulis atas
kesempatan yang diberikan kepada penulis dapat mengerjakan skripsi ini.
Selesainya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kontribusi berbagai pihak
baik secara moral maupun material. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Ayah dan Ibu (Bpk. Ejeb Sudrajat dan Ibu Mia Lasmi Wardiyah) orang tua
serta adik (Rehima Kainan) tersayang yang telah menjadi penyemangat
utama hingga saat ini dan selalu memberikan dukungan baik secara moral,
material, maupun spiritual.
2. Ibu Mega Laksmini Syamsudin, S.Pi.,MT.,Ph.D. selaku wali dosen dan
ketua komisi pembimbing yang telah membantu dalam proses penyelesaian
skripsi ini.
3. Bapak Drs. Herman Hamdani, M.Si Selaku anggota komisi pembimbing
yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu Lantun Paradhita Dewanti, S.Pi., M.EP selaku dosen penelaah.
5. Bapak Dr. Asep Agus Handaka, S.Pi., MT., selaku ketua Program Studi
Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
6. Bapak Dr. Yudi Nurul Ihsan, S.Pi., M.Si selaku kepala Dekan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Padjadjaran.
7. Seluruh dosen dan civitas akademik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
(FPIK) Universitas Padjadjaran.
8. Sahabat sekaligus partner terdekat Febrian Kris Avisca yang tidak lelahnya
memberikan dukungan, semangat, dan mendorong saya mulai dari titik
terendah hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
v
9. Sahabat tercinta selama seperjuangan kuliah dari tahun 2015 Nabilla,
Ishmah, Rima, Pramiatika, dan Jinan yang telah menjaga disaat saya
terbaring lemah dan memberikan dukungan penuh dan memberikan kritik
dan saran terhadap proses penyusunan skripsi ini.
10. Rekan-rekan “Warben” dan “Lombok Happy” yang memberikan dukungan
dan semangat yang menghibur.
11. Teman-teman Perikanan C, Himikan dan Bidang Konservasi yang sudah
menghabiskan 4 tahun bersama-sama
12. Dan rekan-rekan yang telah membantu dalam penelitian baik pengambilan
data dan pengolahan data Firman, Arif, Hazman, dan Ozi.
vi
ABSTRAK
Aramita Livia Ardis (Dibimbing oleh: Mega Laksmini Syamsudin dan
Herman Hamdani). 2019. Analisis Zonasi Terumbu Karang dalam
Pengembangan Segmentasi Ekowisata di Taman Nasional Karimunjawa
dengan Metode Penginderaan Jauh.
Karimunjawa menjadi salah satu destinasi utama yang menyuguhkan keindahan
bawah laut yang cukup digemari akan tetapi meningkatnya kegiatan wisata
memberikan keuntungan ekonomi namun berdampak negatif juga terhadap
ekosistem terumbu karang sehingga diperlukan adanya pengelolaan yang bijak
dan berkelanjutan, karakteristik seperti ini dirasa mampu dibantu oleh teknologi
penginderaan jauh. Tujuan dari riset ini untuk menganalisis zonasi terumbu
karang untuk pengembangan segmentasi ekowisata serta daya dukung dari
ekosistem terumbu karang dan memetakan kondisi ekosistem terumbu karang di
kawasan Taman Nasional Karimunjawa melalui teknologi penginderaan jauh.
Metode yang digunakan dalam pengambilan data menggunakan metode survey
yang terbagi 2 yakni in-situ yang dilakukan pada tanggal 29 April 2019 hingga 2
Mei 2019, dan secara eks-situ yang diambil selama 4 tahun untuk tutupan karang
dan 1 tahun untuk suhu permukaan laut. Dengan menggunakan analisis deskriptif
kuantitatif, didapatkan hasil kesesuai lahan berdasarkan pendekatan indeks
kesesuaian lahan dan persentasi tutupan karang dalam penentuan pemetaan
segmentasi kawasan ekowisata. Hasil dari riset ini menunjukan melalui
pendekatan in-situ pengambilan data diketiga stasiun pada Pulau Sintok dan
Menjangan Kecil memiliki tutupan karang tergolong baik sedangkan Cemara
Besar rusak. Nilai Indeks Kesesuaian Wisata yang sesuai berada pada Pulau
Menjangan Kecil sedangkan kedua stasiun lainnya tidak sehingga perhitungan
daya dukung hanya dilakukan pada pulau yang sesuai dan sangat sesuai saja.
Berbanding terbalik melalui analisis nilai Scenic Beauty Estimation, Pulau
Cemara Besar yang menunjukan nilai tinggi sedangkan pada Pulau Menjangan
Kecil yang terendah. Analisis spasial menunjukan fluktuasi perubahan suhu
permukaan laut selama satu tahun tidak terlalu signifikan dan masih dibatas range
suhu optimum bagi pertumbuhan karang sehingga tidak berpengaruh terhadap
kondisi penyebab kerusakan terumbu karang yakni bleaching. Melihat sebaran
terumbu karang melalui satelit, selama 4 tahun terakhir menunjukan
meningkatnya tutupan karang mati yang menyisakan sebanyak 6.752.802 m2 di
tahun 2019.
Kata Kunci : Ekosistem, karang, Karimunjawa, segmentasi, terumbu.
vii
ABSTRACT
Aramita Livia Ardis (Supervised by: Mega Laksmini Syamsudin and
Herman Hamdani). 2019. Zoning Analysis of Coral Reefs in the Development
of Segmentation Ecotourism in Karimunjawa National Parks by Remote
Sensing Methods.
Karimunjawa is one of the main destinations that presents underwater beauty that
is quite popular, but increased tourism activities provide economic benefits but
also have a negative impact on coral reef ecosystems so that prudent and
sustainable management are needed, these characteristics are felt capable of
being helped by remote sensing technology. The purpose of this research is to
analyze the coral reef zoning for the development of ecotourism segmentation and
the carrying capacity of coral reef ecosystems and to map the condition of coral
reef ecosystems in the Karimunjawa National Park area through remote sensing
technology. The method used in data collection uses a survey method which is
divided into 2 types in-situ conducted on 19th
April 2019 to 2nd
May 2019, and ex-
situ taken for 4 years for coral cover and 1 year for sea surface temperature. By
using quantitative descriptive analysis, land suitability results are obtained based
on the land suitability index approach and the percentage of coral cover in
determining the mapping of ecotourism segmentation areas. The results of this
research show that through in-situ approach, data collection in three stations on
Sintok and Menjangan Kecil Island has good coral nappe while Cemara Besar is
damaged. The appropriate Tourism Conformity Index value is on Menjangan
Kecil Island while the other two stations are not so that the carrying capacity
calculation is only done on the appropriate and very appropriate island. Inversely
proportional through the analysis of the Scenic Beauty Estimation value, Cemara
Besar Island which shows a high value while on the Small Menjangan Island the
lowest. Spatial analysis shows that the fluctuation in sea surface temperature
during one year is not too significant and is still limited to the optimum
temperature range for coral growth so that it does not affect the conditions
causing damage to coral reefs, called bleaching. Looking at the distribution of
coral reefs via satellite, over the past 4 years shows an increase in dead coral
cover leaving 6,752,802 m2 in 2019.
Keywords: Coral, ecosystems, Karimunjawa, reef, segmentation.
viii
DAFTAR ISI
BAB Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................ vi
ABSTRACT .................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ............................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ....................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................. xii
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah .................................................................. 3
1.3 Tujuan Riset .............................................................................. 3
1.4 Kegunaan Riset ......................................................................... 3
1.5 Kerangka Pemikiran .................................................................. 3
II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Karimunjawa ................................................... 7
2.2 Ekowisata .................................................................................. 8
2.3 Wisata Bahari ............................................................................ 9
2.4 Terumbu Karang ..................................................................... 10
2.4.1 Deskripsi Terumbu Karang ..................................................... 10
2.4.2 Faktor Pembatas ...................................................................... 12
2.4.3 Fungsi dan Manfaat Terumbu Karang .................................... 14
2.4.4 Kerusakan Terumbu Karang ................................................... 16
2.4.4.1 Faktor Alam .......................................................................... 16
2.4.4.2 Pengaruh Aktivitas Manusia ................................................ 17
2.5 Sistem Informasi Geografis (SIG) Dalam Pemetaan
Terumbu Karang ..................................................................... 17
2.6 Penginderaan Jauh .................................................................. 18
2.6.1 Pengertian Penginderaan Jauh ................................................. 18
2.6.2 Satelit LDCM (Landat 8) ........................................................ 19
2.6.3 Satelit Aqua MODIS ............................................................... 21
III METODOLOGI RISET
3.1 Waktu dan Tempat Riset ......................................................... 22
3.2 Alat dan Bahan Riset ............................................................... 23
3.2.1 Alat Riset ................................................................................ 23
3.2.2 Data Riset ................................................................................ 24
3.3 Metode Riset ........................................................................... 24
ix
3.3.1 Pengambilan Data Secara in-situ ............................................ 25
3.3.2 Pengambilan Data Secara eks-situ .......................................... 26
3.4 Prosedur .................................................................................. 26
3.5 Parameter Pengukur ................................................................ 28
3.5.1 Persentase Tutupan Terumbu Karang ..................................... 28
3.5.2 Matriks Kesesuaian Pemanfaatan untuk Wisata Bahari .......... 29
3.5.3 Daya Dukung Kawasan .......................................................... 30
3.5.4 Scenic Beauty Estimation (SBE) ............................................. 32
3.5.5 Metode Lyzenga ..................................................................... 34
3.6 Analisis Data ........................................................................... 34
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Oseanografi ............................................................... 36
4.1.1 Parameter Fisik In-situ ............................................................ 36
4.1.2 Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) ..................................... 39
4.2 Kondisi Terumbu Karang ...................................................... 47
4.2.1 Distribusi dan Kondisi Tutupan Karang di Pulau Sintok,
Pulau Cemara Besar, dan Pulau Menjangan Kecil ................. 48
4.2.1.1 Pulau Sintok ......................................................................... 48
4.2.1.2 Pulau Cemara Besar ............................................................. 49
4.2.1.3 Pulau Menjangan Kecil ........................................................ 50
4.2.2 Sebaran Spasial Tutupan Karang ............................................ 52
4.3 Analisis Kesesuaian Kawasan Wisata Bahari ......................... 55
4.3.1 Indeks Kesesuaian Wisata ....................................................... 55
4.3.2 Daya Dukung Kawasan (DDK) ............................................... 58
4.4 Estimasi Nilai Visual Ekosistem Terumbu Karang ................ 60
4.5 Rencana Zonasi Pengembangan Segmentasi
Ekowisata Bahari .................................................................... 62
4.5.1 Analisis Parameter Kawasan .................................................. 63
4.5.2 Pemetaan Segmentasi Kawasan .............................................. 65
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .............................................................................. 68
5.2 Saran ........................................................................................ 69
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 70
LAMPIRAN .................................................................................... 77
x
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
1. Aktivitas Alam dan Akibat yang Ditumbulkannya Terhadap
Terumbu Karang .................................................................................. 16
2. Aktivitas Manusia Terhadap Kerumbu Karang dan Akibat
yang Ditimbulkannya ........................................................................... 17
3. Spesifikasi Orbit Satelit LDCM ........................................................... 20
4. Band Citra Landsat 8 Band Panjang Gelombang (µm) Sensor
Resolusi ................................................................................................ 21
5. Daftar Alat Riset yang Digunakan ....................................................... 23
6. Daftar Data Riset yang Digunakan ....................................................... 24
7. Kategori Persentase Tutupan Terumbu Karang ................................... 29
8. Kategori Kesesuaian Kegiatan Wisata Snorkling/Diving ..................... 29
9. Potensi Ekologis Pengunjung (K) dan Luas Area Kegiatan (Lt) ......... 31
10. Prediksi Waktu yang Dibutuhkan Untuk Setiap Kegiatan Wisata ...... 32
11. Matriks Perhitungan Nilai SBE ............................................................ 31
12. Matriks Kategori Nilai SBE ................................................................. 32
13. Parameter Perairan Stasiun Pengamatan .............................................. 37
14. Luasan karang di Kepulauan Karimunjawa dalam 4 tahun terakhir .... 53
15. Nilai IKW pada Masing-Masing Stasiun ............................................. 56
16. Nilai DDK pada stasiun yang sesuai dan sangat sesuai ....................... 58
17. Data Nilai SBE Setiap Seascape .......................................................... 60
18. Klasifikasi Pengelompokan Kelas SBE ............................................... 62
19. Rekapitulasi Parameter Setiap Stasiun ................................................. 63
xi
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
1. Kerangka Pemikiran dalam Penentuan Riset ....................................... 6
2. Peta Taman Nasional Karimunjawa ..................................................... 8
3. Anatomi Polip Karang.......................................................................... 11
4. Spesies Terumbu Karang : (a) Acropora cervicornus (Hard Coral);
(b) Dendronephthya sp. (Soft Coral).................................................... 12
5. Gambaran pencitraan permukaan Bumi dengan satelit LDCM
(Landsat-8) di orbit .............................................................................. 20
6. Peta Lokasi Riset Kepulauan Karimunjawa ......................................... 22
7. Bagan Alur Prosedur Riset ................................................................... 27
8. Bagan Alur Prosedur Pengolahan Data ................................................ 28
9. Fluktuasi Perubahan Suhu Permukaan Laut (SPL) di Lokasi Riset
dalam Periode 1 Tahun ........................................................................ 40
10. Sebaran spasial SPL pada Musim Timur ............................................. 42
11. Sebaran spasial SPL pada Musim Peralihan II .................................... 44
12. Sebaran spasial SPL pada Musim Barat............................................... 45
13. Sebaran spasial SPL pada Musim Peralihan I ...................................... 46
14. Distribusi Tutupan Karang di Pulau Sintok ......................................... 48
15. Distribusi Tutupan Karang di Pulau Cemara Besar ............................. 49
16. Distribusi Tutupan Karang di Pulau Menjangan Kecil ........................ 50
17. Citra Satelit Kondisi Terumbu Karang yang Terjadi
pada Tahun 2016 – 2019 ...................................................................... 52
18. Nilai SBE Seascape.............................................................................. 61
19. Zonasi Segmentasi Ekowisata di Kepulauan Karimunjawa ................ 65
xii
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1. Kode Pencatatan Data Pada Transek Terumbu Karang pada
Life-form ............................................................................................... 78
2. Matriks Kesesuaian Ekowisata Bahari Kategori Wisata Selam ........... 80
3. Alat Riset .............................................................................................. 81
4. Pengambilan Data Primer .................................................................... 83
5. Foto Seascape dari Lokasi Riset .......................................................... 85
6. Data Tutupan Terumbu Karang dengan Acuan Life-Form .................. 87
7. Persentase Tutupan Karang .................................................................. 90
8. Jenis Life-form ..................................................................................... 93
9. Matriks Kesesuaian Pemanfaatan Diving ............................................ 94
10. Tabulasi Data Skor Scenic Beauty Estimation (SBE) .......................... 97
11. Hitungan Daya Dukung Kawasan Sesuai dan Sangat Sesuai .............. 99
12. Means Summary Logaritma Lyzenga Citra Satelit Landsat 8 .............. 100
13. Hasil Koreksi Citra Satelit melalui software ErMapper ...................... 102
14. Data Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di Lokasi Penelitian
Berdasarkan Citra Satelit Aqua MODIS .............................................. 103
15. Data Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di Kepulauan Karimunjawa
Berdasarkan Citra Satelit Aqua MODIS .............................................. 104
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu sumber daya alam hayati
yang berlimpah. Di dalam ekosistem terumbu karang dapat hidup lebih dari 300
spesies karang, lebih dari 200 spesies ikan dan puluhan spesies moluska,
krustasea, spon, algae, lamun dan biota lainnya (Dahuri 2000). Terumbu karang
(coral reef) merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan laut
dangkal yang jernih dan hangat (>22⁰C) (Guilcher 1988). Bentuk pertumbuhan
karang juga sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Karang akan merespon
terhadap bentuk-bentuk tekanan lingkungan yang diterimanya. Terumbu karang
sangat sensitif terhadap pengaruh lingkungan, baik yang bersifat fisik (dinamika
perairan laut dan pantai), kerusakan akibat aktivitas manusia, pencemaran bahan
kimia maupun kerusakan akibat aktivitas biologis (Burke et al. 2002; Dahuri
2003).
Karimunjawa menjadi salah satu destinasi utama yang menyuguhkan
keindahan bawah laut yang cukup digemari. Kepulauan Karimunjawa memiliki
potensi dalam pariwisata yang baik dan juga didukung adanya Taman Nasional
dan letak Kepulauan Karimunjawa yang cukup strategis. Dengan berkembangnya
zaman yaitu pertumbuhan penduduk serta bertambahnya pembangunan di
Kepulauan Karimunjawa mempunyai implikasi yang positif dan negatif.
Berdasarkan beberapa hasil riset yang dilakukan oleh Purwanti et al. (2001), dapat
menunjukkan tingginya tingkat kerentanan ekosistem akibat adanya gangguan,
baik yang bersifat alami maupun kegiatan manusia yang memanfaatkan
sumberdaya alam hayati.
Meningkatnya kegiatan wisata memberikan keuntungan ekonomi namun
berdampak negatif juga terhadap ekosistem terumbu karang (Hughes et al. 2003).
Kegiatan wisata seperti snorkeling dan diving memberikan kontribusi terhadap
perubahan kondisi ekosistem terumbu karang (Liew et al. 2001). Beberapa
perilaku wisatawan berpotensi merusak terumbu karang seperti menendang
2
karang, memegang karang, berjalan di atas karang, serta penambatan jangkar di
karang (Rophael dan Inglis 1997). Menurut Hawkins dan Robert (1992) dampak
yang diakibatkan oleh masing-masing perilaku wisatawan terhadap terumbu
karang sangat kecil, namun secara kumulatif perilaku tersebut dapat memberikan
tekanan terhadap terumbu karang dan mempengaruhi persentase tutupan karang.
Wisata snorkeling dan diving memiliki sejumlah keterbatasan/kerentanan
secara fisik dan ekologis dengan lokasi yang luasnya relatif terbatas, sehingga
perlu diperhatikan dalam kesesuaian dan daya dukung (carrying capacity)
lingkungan untuk pengembangan wisata, karena aktivitas manusia yang menjadi
penyebab dominan dari kerusakan ekosistem terumbu karang. Melalui pendekatan
ekologi dari ekosistem terumbu karang yang akan dikaji untuk melihat persentase
luasan tutupan karang hidupnya dan jumlah jenis life-form karang (Hotmian
2017).
Menurut Irawan (2017) karakteristik seperti ini mengharuskan penggunaan
teknologi yang mampu mengatasi permasalahan tersebut. Teknologi penginderaan
jauh dirasa mampu untuk dimanfaatkan sebagai alat untuk melakukan pemetaan
luas lahan terumbu karang. Pemetaan yang didapatkan diharapkan mampu
menjadi standar kualitas zona untuk wisatawan yang akan melakukan penyelaman
maupun snorkeling di kawasan zona tertentu.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, diperlukan adanya pengelolaan yang bijak
dan berkelanjutan sehingga dapat dimanfaatkan sebaik mungkin serta tercantum
dalam Pasal 1 Nomor 14 yang berbicara rencana pengelolaan zonasi dalam
menetapkan struktur dan pola ruang dalam melakukan rencana pengelolaan yang
disinggung dalam Pasal 1 Nomor 15. Dalam memanfaatkan ekosistem yang
disediakan dan sumberdaya yang bisa berfungsi dengan optimal dan berkelanjutan
maka diperlukan adanya beragam upaya perlindungan dari berbagai macam
degradasi yang dapat ditimbulkan dari berbagai aktivitas pemanfaatan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan peninjauan
lebih jauh mengenai dampak wisata dalam kegiatan snorkeling dan diving
terhadap terumbu karang melalui luasan tutupan lahan terumbu karang untuk
3
melihat sejauh mana kegiatan wisata tersebut memberikan pengaruh terhadap
ekosistem terumbu karang di Karimunjawa dengan teknologi penginderaan jauh.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diidentifikasikan adanya masalah
yakni meluasnya degradasi terumbu karang akibat akibat ekowisata khususnya
pada sektor bahari (snorkeling dan diving) di Kepulauan Karimunjawa serta
minimnya informasi dan pengetahuan kepada wisatawan terhadap kelayakan zona
ekowisata bahari melalui penerapan teknologi penginderaan jauh.
1.3 Tujuan Riset
Adapun tujuan dari pelaksanaan riset ini adalah:
1) Menentukan dan menganalisis zonasi terumbu karang untuk pengembangan
segmentasi ekowisata serta daya dukung dari ekosistem terumbu karang di
kawasan Taman Nasional Karimunjawa.
2) Memetakan kondisi ekosistem terumbu karang di kawasan Taman Nasional
Karimunjawa melalui teknologi penginderaan jauh.
1.4 Kegunaan Riset
Kegunaan dari dilakukannya riset ini adalah untuk mengetahui luas
degradasi terumbu karang akibat ekowisata bahari serta memberikan informasi
kondisi dan zonasi kelayakan ekosistem terumbu karang di Taman Nasional
Karimunjawa melalui visual landsat dan dikembangkan dalam melakukan
segmentasi zonasi ekosistem terumbu karang yang dipetakan.
1.5 Kerangka Pemikiran
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di dalam
kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Saat ini, Taman Nasional Karimunjawa
terkenal sebagai salah satu tujuan wisata laut yang diminati oleh wisatawan baik
domestik maupun mancanegara. Menurut Zulfikar (2011) untuk keperluan
4
pengembangan wisata bahari di kawasan ekosistem terumbu karang, diperlukan
manajemen terumbu karang yang baik dan mapan.
Menurut pernyataan Kepala Bidang Humas Association of The Indonesian
Tours and Travel Agencies Daerah Istimewa Yogyakarta, Moko Soediro bahwa
diperlukan adanya segmentasi dalam snorkeling dan diving di Karimunjawa ini.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh WCS pada tahun 2010, aktivitas
wisata di Karimunjawa menyebabkan kerusakan terumbu karang sekitar rata-rata
10% patah dan beberapa bagian lainnya pertumbuhan alga serta hilangnya
jaringan pada karang (Kartawijaya et al. 2011). Berdasarkan studi yang dilakukan
di Julian Rocks Australia menunjukkan rata-rata dari 35 kontak dengan substrat
saat menyelam, sekitar 7% mengakibatkan kerusakan biota (Harriot et al. 1997).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Biondi (2014) telah terjadi
peningkatan jumlah kunjungan wisata di Taman Nasional Karimunjawa pada
tahun 2005 – 2013. Tutupan terumbu karang pada Pulau Cilik, Pulau Tengah,
Pulau Sintok dan Menjangan Kecil menunjukan rata-rata persentase tutupan
terumbu karang hidup 33% - 52,5%, kondisi ini termasuk dalam kategori buruk –
baik. Persentase tutupan karang hidup tertinggi terdapat di Pulau Sintok,
sedangkan persentase terendah terdapat di Pulau Menjangan Kecil. Bentuk
kerusakan yang ditimbulkan oleh wisata snorkeling berupa rubble (patahan
karang) dan karang keras mati dikarenakan terinjak dan terkibas fins. Kerusakan
dari aktivitas kapal wisata dikarenakan pembuangan jangkar yang tidak sesuai
prosedur.
Pada tahun 2016 berdasarkan hasil kegiatan Monitoring Terumbu Karang
dan Ikan yang dilakukan oleh balai Taman Nasional Karimunjawa dan mitra WCS
dilakukan survei di 43 titik lokasi pengamatan dengan menggunakan metode PIT
(Point Intercept Transect). Secara umum telah diketahui gambaran persentase
penutupan terumbu karang di kawasan TN Karimunjawa yang berada pada
kategori Baik (rerata 49,89%) atau dengan kata lain mengalami penurunan
persentase penutupan dibandingkan dengan periode sebelumnya. (Statistik TNKJ
2016).
5
Dengan teknologi penginderaan jauh, khususnya untuk bidang kelautan dan
perikanan merupakan alternatif yang cukup baik untuk mengatasi permasalahan
diatas. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh di Indonesia semakin
berkembang pesat melalui pemanfaatan secara nyata dalam kegiatan inventarisasi
sumberdaya alam dan pemanfaatan lingkungan secara berkesinambungan.
Kemampuan dari teknologi ini untuk mengumpulkan data untuk wilayah kajian
yang luas dan sulit dijangkau secara langsung dalam waktu singkat secara
periodik akan membantu dalam penyediaan informasi sumber daya kelautan
(Irawan 2017).
Salah satu aplikasi penginderaan jauh adalah pemetaan terumbu karang
menggunakan citra satelit Landsat 8 yang akan dilakukan pada penelitian ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan teknologi penginderaan
jauh untuk ekstraksi data terumbu karang serta mengetahui lokasi sebaran dan
kondisi terumbu karang di sebagian perairan Kepulauan Karimunjawa (Bano
2014).
Pada penelitian Irawan (2017) mengenai pemetaan sebaran terumbu karang
pada studi kasus Karimunjawa didapatkan luasan terumbu karang mengalami
penurunan sejak tahun 1996, 2002 dan 2016 sebesar 15,94% atau 1,128,000 m2
dari 7.0748.00 m2 di kepuluan karimunjawa. Pengurangan luasan lebih banyak
pada bagian selatan Karimunjawa dibandingkan dibagian utara. Sedangkan
bagian timur dan barat Pulau Karimunjawa pengurangan luasan terumbu karang
ada namun tidak terlau terlihat. Pengurangan terbesar sangat terlihat dibagian
selatan Pulau Karimunjawa.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rini (2017) luas area wisata untuk
kesesuaian aktivitas snorkeling di Pulau Karimunjawa berdasarkan hasil olahan
data yakni 8.94 ha untuk kelas sangat sesuai, 726.14 ha untuk kelas cukup sesuai
dan 0.17 ha untuk kelas sesuai bersyarat. Dengan pemanfaatan luas area yang
dirasa cukup memadai apabila dilihat dari daya dukung kawasan namun perlunya
pemahaman untuk menjaga alam dan lingkungan terutama dibawah laut, dilihat
dari karakteristik wisatawan mengenai pelanggaran dalam menyentuh terumbu
karang, masih banyak yang melakukan pelanggaran baik sengaja maupun tidak
6
sengaja. Apabila hal tersebut terus terjadi, maka dari hasil perhitungan daya
dukung kawasan sebelum mencapai batas maksimum pengunjung terumbu karang
dapat terancam rusak. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut,
maka dapat digambarkan kerangka pemikiran yang didapatkan yakni ditujukan
pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran dalam Penentuan Riset
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Karimunjawa
Kepulauan Karimunjawa yang terletak di utara Pulau Jawa, masuk dalam
wilayah Kabupaten Jepara – Jawa Tengah, dan berada pada posisi 5°40‟39”
hingga 5°55‟00” LS dan 110°05‟ 57” - 110°31‟ 15” BT, Barat laut Kabupaten
Jepara. Berjarak sekitar 45 mil atau sekitar 74 km dari pelabuhan Kartini – Jepara,
Jawa Tengah. Merupakan sebuah Taman Nasional Laut yang menjadi salah satu
objek pariwisata bahari di Indonesia. Ditetapkan sebagai Taman Nasional Laut
sejak tahun 1988, dengan luas wilayahnya yang berupa daratan 7.033 ha dan
104.592 ha perairan laut sehingga total luas keseluruhan Taman Nasional Laut
Kepulauan Karimunjawa mencapai 111.625 ha (www.dephut.co.id).
Pada awalnya Taman Nasional Karimunjawa ditetapkan sebagai Cagar
Alam Laut pada tanggal 9 April 1986 melalui Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. 123/Kpts-II/1986. Selanjutnya kawasan ini diubah penetapannya
menjadi Taman Nasional Karimunjawa melalui Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No.78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Pebruari 1999 seluas 111.625 ha yang
meliputi 110.117,30 ha kawasan perairan dan 1.507,70 ha kawasan darat.
Pada tahun 2001, seluruh kawasan perairan di TN Karimunjawa ditetapkan
sebagai kawasan pelestarian alam perairan melalui Keputusan Menteri Kehutanan
No.74/Kpts-II/2001. Dan pada tahun 2005 ditetapkan revisi zonasi Taman
Nasional Karimunjawa melalui SK Dirjen PHKA No. 79/IV/set-3/2005. Pulau
Karimunjawa beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin laut yang bertiup
sepanjang hari dengan suhu rata-rata 26 – 30 °C. Sebagai pulau besar yang
berpenghuni, banyak aktivitas kompleks yang memungkinkan terganggunya
kondisi perairan disekitar pulau Karimunjawa terpengaruh oleh berbagai aktivitas
di pulau tersebut (BTNKJ 2012).
Beberapa potensi yang dimiliki di Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ
2001) adalah :
8
Keanekaragaman hayati yang tinggi terutama di lingkungan terumbu
karang, mangrove dan lamun.
Kawasan yang mempunyai keindahan alam dengan kadaan hutan yang
masih asli dan asri, pasir putih di pantainya dengan terumbu karang yang
mengelilingi setiap pulaunya, adanya pohon dewandaru yang endemik,
burung elang, kerang merah, penyu hijau, penyu sisik dan penyu lekang.
Potesi sumberdaya tinggi baik wisata bahari maupun wisata lingkungan dan
rekreasi yang ditujukan untuk skala nasional dan internasional.
Adapun peta lokasi Taman Nasional Karimunjawa yang ditampilkan pada
(Gambar 2).
Gambar 2. Peta Taman Nasional Karimunjawa
(Sumber : Google Earth)
2.2 Ekowisata
Wisata juga umumnya disebut pariwisata, dalam bukunya Warpani (2007),
menyatakan bahwa penggunaaan kata pariwisata baru populer digunakan pada
tahun 1958. Sebelum itu masih digunakan kata turisme, yang merupakan serapan
bahasa belanda tourisme. Setelah tahun 1956 kata „pariwisata‟ digunakan sebagai
padanan tourisme. Perkembangan dan pengayaan makna selanjutnya adalah
hadirnya istilah darmawisata, karyawisata, widyawisata, yang semuanya
mengandung unsur “wisata”.
9
Ekowisata, merupakan pengembangan dari konsep yang diperkenalkan oleh
Lascurain (1987) dalam Towo (2011) “Wisata alam atau pariwisata ekologis
adalah perjalanan ke tempat-tempat alami yang relatif belum terganggu ataupun
tercemar dengan tujuan mempelajari, mengagumi serta menikmati pemandangan
tumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat
yang ada, baik itu dari masa lampau maupun masa kini”. Berdasarkan rumusan di
atas dapat disimpulakan tiga manfaat, yaitu kelestarian lingkungan, kesejahteraan
masyarakat yang meningkat, dan tidak perlunya biaya konservasi pesisir laut,
karenga kelestarian sumber daya akan terjaga dengan sendirinya.
Dari pengetahuan terhadap motivasi ekowisata, maka prinsip utama
ekowisata menurut Choy (1998), adalah meliputi :
1. Lingkungan ekowisata harus bertumpu pada lingkungan alam dan budaya
yang relatif belum tercemar atau terganggu
2. Masyarakat ekowisata harus dapat memberikan manfaat ekologi, sosial, dan
ekonomi langsung kepada masyarakat setempat
3. Pendidikan dan pengalaman ekowisata harus dapat meningkatkan
pemahaman akan lingkungan alam dan budaya yang terkait, sambil berolah
pengalaman yang mengesankan
4. Keberlanjutan ekowisata harus dapat memberikan sumbangan positif bagi
keberlanjutan ekologi dan lingkungan tempat kegiatan, tidak merusak, tidak
menurunkan mutu, baik jangka pendek dan jangka panjang
5. Manajemen ekowisata harus dapat dikelola dengan cara yang bersifat
menjamin daya hidup jangka panjang bagi lingkungan alam dan budaya
yang terkait di daerah tempat kegiatan ekowisata, sambil menerapkan cara
mengelola yang terbaik untuk menjamin kelangsungan hidup ekonominya.
2.3 Wisata Bahari
Ekowisata bahari diartikan sebagai suatu konsep pemanfaatan sumberdaya
alam pesisir yang berkelanjutan dengan sistem pelayanan jasa lingkungan yang
mengutamakan sumberdaya alam pesisir sebagai objeknya (Yulianda et al. 2007).
Menurut Towo (2011), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
10
pembentukan kawasan wisata bahari salah satunya adalah kelayakan ekologis,
sehingga dapat menjadi objek wisata yang menarik. Selain kondisi ekologis,
beberapa faktor oseanografis yang harus diperhatikan. Oleh karena itu dalam
penentuan kelayakan kawasan wisata bahari perlu dilakukan identifikasi
sumberdaya pesisir dan kondisi pendukung lainnya. Sehingga nantinya akan
ditentukan lokasi yang layak dijadikan kawasan wisata kemudian dihitung daya
dukung kawasannya untuk dapat menyediakan wisata bahari yang nyaman, tetap,
serta dapat dilestarikan untuk keberlangsungan ekosistem sekitarnya (Yulianda
2007).
Diving (menyelam) dan snorkeling merupakan bentuk wisata bahari yang
sangat digemari di ekosistem terumbu karang. Pengelolaan yang baik dapat
menunjang pendapatan daerah dan membuka peluang pertumbuhan ekonomi
masyarakat setempat, misalnya dengan mengembangkannya sebagai daerah
wisata selam dan snorkeling (Swearer et al. 1999; Cesar et al. 2003).
2.4 Terumbu Karang
2.4.1 Deskripsi Terumbu Karang
Menurut Zhong dan Dong (1999), terumbu karang (coral reef) terdiri dari
dua kata yaitu terumbu (reef) yang berarti endapan masif kapur (limestone),
terutama kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit
tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) dan organisme lainnya yang
mensekresikan kalsium karbonat seperti alga berkapur dan moluska, dari hasil
sekresi tersebut terbentuk konstruksi batu kapur biogenis sebagai struktur dasar
ekosistem pesisir.
Nybakken (1986) menyatakan terumbu dapat diartikan punggungan laut
yang terbentuk oleh batu karang atau pasir di dekat permukaan air. Pada karang
(coral), yaitu sejenis hewan dari ordo scleractinia yang menghasilkan kalsium
karbonat (CaCO3) dari hasil sekresinya. Hewan karang tunggal umumnya disebut
polip. Jadi terumbu karang (coral reef) adalah sebuah ekosistem di dasar laut pada
daerah tropis yang tebentuk dari kapur hasil sekresi biota laut khususnya jenis-
jenis karang batu dan alga berkapur bersama-sama dengan biota yang hidup di
11
dasar lainnya seperti jenis mollusca, crustacean, echinodermata, polikhaeta,
porifera, dan tunikata juga biota-biota yang hidup bebas di perairan sekitarnya,
termasuk jenis-jenis plankton dan jenis-jenis nekton (Sumich dan Dudley 1992).
Karang merupakan nama lain dari ordo Scleractinia yang memiliki jaringan
batu kapur yang keras. Karang dapat hidup secara berkoloni maupun soliter.
Karang sebagai individu terdiri dari polip (bagian yang lunak) dan kerangka kapur
(bagian yang keras). Polip karang mulutnya terletak di bagian atas dan juga
berfungsi sebagai anus. Jaringan tubuh karang terdiri dari ektoderm, mesoglea dan
endoderm (Veron 1986) (Gambar 3).
Gambar 3. Anatomi Polip Karang
(Sumber : Coral Reef Alliance 2019)
Terdapat dua kelompok karang berdasarkan pembentuknya yaitu karang
hermatifik dan karang ahermatifik. Perbedaan kedua kelompok karang ini adalah
terletak pada kemampuan karang hermatifik dalam menghasilkan terumbu.
Kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan
yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatifik. Sel-sel tumbuhan ini
dinamakan zooxanthellae. Dahuri et al. (2001), mengatakan Karang hermatifik
hanya ditemukan di daerah tropis sedangkan karang ahermatifik tersebar di
seluruh dunia. Zooxanthellae melalui proses fotosintesis membantu memberi
suplai makanan dan oksigen bagi polip dan juga mambantu proses pembentukan
kerangka kapur serta memberi warna pada karang. Sebaliknya polip karang
menghasilkan sisa-sisa metabolisme berupa karbon dioksida, fosfat dan nitrogen
12
yang digunakan oleh zooxanthellae untuk fotosintesis dan pertumbuhannya
(Nontji 1987). Adapun contoh spesies terumbu karang yang terbagi menjadi
karang keras dan karang lunak (Gambar 4).
Gambar 4. Spesies Terumbu Karang:
(a) Acropora cervicornus (Hard Coral); (b) Dendronephthya sp .(Soft Coral)
(Sumber: Coral Reef Alliance, 2019)
Menurut Nyabakken (1992), ekosistem terumbu karang memiliki
kemampuan untuk menahan nutrien dalam sistem sehingga merupakan ekosistem
yang subur dan memiliki produktivitas organik yang tinggi tetapi juga merupakan
ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan perubahan lingkungan laut
(Dahuri 2003). Ekosistem terumbu karang juga dapat dimanfaatkan sebagai objek
wisata bahari dikarenakan ekosistem terumbu karang yang kaya akan
keanekaragaman spesies dan penghuninya disebabkan habitat pada ekosistem
terumbu karang yang bervariasi (Dahuri et al. 2001).
2.4.2 Faktor Pembatas
Menurut Nybakken (1992) faktor-faktor lingkungan yang membatasi
pertumbuhan serta kelangsungan hidup karang adalah sebagai berikut:
1) Suhu
Suhu optimum untuk pertumbuhan terumbu karang di perairan adalah
berkisar antara 23-30⁰ C dengan suhu minimum 18⁰ C. Hewan karang masih bisa
hidup sampai suhu 15⁰ C, tetapi akan terjadi penurunan pertumbuhan, reproduksi,
metabolisme serta produktivitas kalsium karbonat. Hubbard (1990) menyatakan
bahwa sensitivitas karang terhadap suhu dibuktikan dengan dampak yang
ditimbulkan oleh perubahan suhu akibat pemanasan global yang melanda perairan
(a)
Den
(b)
Den
13
Indonesia pada tahun 1998 telah terjadi pemutihan karang yang diikuti kematian
masal mencapai 90 hingga 95% karena adanya kenaikan suhu sebesar 2-3o
C di
atas suhu normal.
2) Tingkat Pencahayaan
Intensitas cahaya matahari sangat memengaruhi kelangsungan hidup karang.
Dalam proses kehidupannya, hewan karang bersimbiosis dengan mikro alga
(zooxanthellae) yang dalam hidupnya mutlak memerlukan cahaya matahari
sebagai energi utama untuk menghasilkan zat hijau daun (Chlorophyl). Faktor
kedalaman dan intensitas cahaya matahari sangat mempengaruhi kehidupan
binatang karang, sehingga pada daerah yang keruh serta daerah dalam tidak
ditemukan terumbu karang. Kedalaman air untuk karang tidak lebih dari 50 meter.
Menurut Kanwisher dan Wainwright (1997) dalam Arifin 2008) titik kompensasi
binatang karang terhadap cahaya pada intensitas cahaya antara 200 – 700 fluks.
3) Salinitas
Hewan karang peka terhadap perubahan salinitas (kadar garam), sehingga
pada perairan yang tidak banyak mengalami perubahan salinitas atau relatif stabil
saja karang bisa hidup normal. Salinitas optimal untuk kehidupan terumbu karang
antara 32 – 35 O/OO , sehingga jarang ditemukan pada daerah muara sungai besar,
bercurah hujan tinggi atau perairan dengan kadar garam tinggi (hipersalin)
(Nybakken 1992).
4) Kejernihan air
Menurut Nybakken (1992) kejernihan air sangat erat kaitannya dengan
intensitas cahaya matahari, agar cahaya dapat mencapai dasar perairan, syarat
kejernihan air diperlukan. Bila terdapat benda-benda mengambang di laut akan
mengganggu masuknya cahaya matahari. Pasir dan lumpur bisa menutupi polip
dan akhirnya mematikan hewan karang ini.
5) Pergerakan Air
Ombak dan arus turut berperan dalam pertumbuhan karang. Ombak dan arus
membawa oksigen dan bahan makanan; oleh karena karang batu yang hidup
menetap di dasar dan tidak berpindah tempat maka karang batu ini hanya dapat
mengandalkan bahan makanan yang dibawa oleh arus. Di samping itu arus atau
14
ombak dapat membersihkan polip dari kotoran-kotoran yang menempel atau
masuk kedalamnya. Kedalaman 3 hingga 10 meter merupakan lingkungan yang
menguntungkan bagi hewan karang untuk hidup (Nybakken 1992).
6) Sedimentasi
Sedimentasi merupakan masalah yang umum terjadi di wilayah tropis,
pengembangan di daerah pantai serta aktivitas-aktivitas lainnya seperti
pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan, aktivitas
pertanian dapat membebaskan sedimen ke perairan pantai atau ke terumbu karang
melalui run-off. Disamping sedimen yang disebabkan oleh aktivitas di atas, ada
pula sedimen yang dikenal dengan carbonate sediment yaitu sedimen yang berasal
dari erosi karang-karang, baik secara fisik maupun biologis (bioerosion). Bioerosi
biasanya dilakukan oleh hewan-hewan laut seperti bulu babi, ikan, bintang laut
dan sebagainya (Nybakken 1992).
2.4.3 Fungsi dan Manfaat Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang bermacam-macam,
yakni sebagai tempat hidup bagi berbagai biota laut tropis lainnya sehingga
terumbu karang memiliki keanekaragaman jenis biota sangat tinggi dan sangat
produktif, dengan bentuk dan warna yang beraneka ragam, sehingga dapat
dijadikan sebagai sumber bahan makanan dan daerah tujuan wisata, selain itu juga
dari segi ekologi terumbu karang berfungsi sebagai pelindung pantai dari
hempasan ombak. Menurut Amin (2009) Secara umum fungsi terumbu karang
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Fungsi pariwisata: Fungsi ini berkaitan dengan keindahan karang, kekayaan
biologi dan kejernihan airnya membuat kawasan terumbu karang terkenal
sebagai tempat rekreasi. Skin diving atau snorkeling, SCUBA dan fotografi
adalah kegiatan yang umumnya terdapat di kawasan ini.
2. Fungsi perikanan: Terumbu karang merupakan tempat tinggal ikan-ikan
karang yang harganya mahal sehingga nelayan menangkap ikan di kawasan
ini. Perkiraan produksi perikanan tergantung pada kondisi terumbu karang.
Terumbu karang dalam kondisi yang sangat baik mampu menghasilkan
15
sekitar 18 ton/km2/tahun, terumbu karang dalam kondisi baik mampu
menghasilkan 13 ton/km2/tahun, dan terumbu karang dalam kondisi yang
cukup baik mampu menghasilkan 8 ton/km2/tahun (McAllister 1998).
3. Fungsi perlindungan pantai: Jenis terumbu karang yang berfungsi untuk
melindungi pantai adalah terumbu karang tepi dan penghalang. Jenis
terumbu karang ini berfungsi sebagai pemecah gelombang alami yang
melindungi pantai dari erosi, banjir pantai, dan peristiwa perusakan lainnya
yang diakibatkan oleh fenomena air laut. Terumbu karang juga memberikan
kontribusi untuk akresi (penumpukan) pantai dengan memberikan pasir
untuk pantai dan memberikan perlindungan terhadap desa-desa dan
infrastruktur seperti jalan dan bangunan-bangunan lainnya yang berada di
sepanjang pantai. Apabila dirusak, maka diperlukan miliaran rupiah untuk
membuat penghalang buatan yang setara dengan terumbu karang ini.
4. Fungsi biodiversity: Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas
dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi. Keanekaragaman hidup di
ekosistem terumbu karang per unit area sebanding atau lebih besar
dibandingkan dengan hal yang sama di hutan tropis. Terumbu karang ini
dikenal sebagai laboratorium untuk ilmu ekologi. Potensi untuk bahan obat-
obatan, anti virus, anti kanker dan penggunaan lainnya sangat tinggi.
Menurut Sawyer (1993) dan Cesar (1996) manfaat terumbu karang sangat
besar dan beragam. Manfaat terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua,
yaitu manfaat langsung dan manfaat tidak langsung.
1) Manfaat langsung dapat dinikmati oleh manusia adalah pemanfaatan sumber
daya ikan, batu karang, pariwisata, penelitian dan pemanfaatan biota
perairan lainnya.
2) Manfaat tidak langsung adalah terumbu karang sebagai penahan abrasi
pantai, keanekaragaman hayati, tempat berlangsungnya siklus biologi,
kimiawi, dan fisik secara global yang mempunyai tingkat produktivitas yang
sangat tinggi, penyedia lahan dan tempat budi daya berbagai hasil laut dan
sebagai tempat perlindungan biotabiota langka.
16
2.4.4 Kerusakan Terumbu Karang
Menurut Burke et al. (2002), ekosistem terumbu karang yang ada di
wilayah Asia Tenggara merupakan yang paling terancam di dunia. Besarnya
ketergantungan manusia terhadap sumberdaya laut di seluruh Asia Tenggara telah
menyebabkan eksploitasi yang berlebih sehingga banyak terumbu karang yang
terdegradasi, khususnya di dekat pusat kepadatan penduduk. Ancaman-ancaman
terhadap terumbu karang termasuk penangkapan berlebih (over fishing),
penangkapan ikan dengan metode yang merusak, sedimentasi dan pencemaran
serta pembangunan pesisir. Selain itu meningkatnya suhu global (global warming)
juga telah menyebabkan sumberdaya yang sangat vital ini dalam bahaya.
Menurut Salim (2012) manfaat yang terkandung di dalam ekosistem
terumbu karang sangat besar dan beragam, baik manfaat langsung dan manfaat
tidak langsung. Di sisi lain terumbu karang juga merupakan salah satu ekosistem
yang sangat terancam karena merupakan sumber keuntungan ekonomi yang besar
dari perikanan dan pariwisata. Hingga kini, tekanan yang disebabkan oleh
kegiatan manusia seperti pencemaran dari daratan dan praktek perikanan yang
merusak telah dianggap sebagai ancaman utama untuk terumbu karang.
2.4.4.1 Faktor Alam
Ancaman terhadap ekosistem terumbu karang juga dapat disebabkan oleh
karena adanya faktor alam. Ancaman oleh alam dapat berupa angin topan, badai
tsunami, gempa bumi, pemangsaan oleh CoTs (Crown of Thorns Starfish) dan
pemanasan global yang menyebabkan pemutihan karang. Aktivitas alam yang
menimbulkan kerusakan ekosistem terumbu karang dapat dilihat pada Tabel 1
(Amin 2009).
Tabel 1. Aktivitas Alam dan Akibat yang Ditumbulkannya
Terhadap Terumbu Karang
No Ancaman Alam Dampak yang Ditimbulkan
1 Bintang Laut Berduri (CoTs) Kematian karang dalam skala luas
2 Pemutihan karang/Pemanasan
Global
Kematian karang, kehilangan
keindahan untuk wisata
3 Tsunami/Topan/Gunung api
bawah laut
Kerusakan fisik karang dan atau
struktur terumbu Sumber : Amin (2009)
17
2.4.4.2 Pengaruh Aktivitas Manusia
Menurut Amin (2009) saat ini, ekosistem terumbu karang secara terus
menerus mendapat tekanan akibat berbagai aktivitas manusia, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Beberapa aktivitas manusia yang secara
langsung dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang diantaranya:
1) Terumbu karang dengan kondisi yang sangat baik tanpa daerah
perlindungan laut di atasnya dapat menghasilkan $12.000/km2/tahun jika
penangkapan dilakukan secara berkelanjutan. Kawasan terumbu karang
yang sudah rusak/hancur 50% menghasilkan $6.000/km2/tahun, dan daerah
yang 75% rusak menghasilkan sekitar $2.000/km2/tahun.
2) Menangkap ikan dengan menggunakan bom dan racun sianida (potas),
pembuangan jangkar, berjalan di atas terumbu, penggunaan alat tangkap
muroami, penambangan batu karang, penambangan pasir, dan sebagainya.
Ancaman manusia terhadap terumbu karang beserta akibat yang
ditimbulkannya dapat dilihat pada (Tabel 2).
Tabel 2. Aktivitas Manusia Terhadap Kerumbu Karang dan Akibat
yang Ditimbulkannya
No Aktivitas Manusia Dampak yang Ditimbulkan
1 Bom Karang mati, terbongkar dan patah-patah
2 Racun/Potas Karang mati dan berubah menjadi putih
3 Trawl Karang mati, terbongkar dan patah-patah
4 Jaring dasar Karang stress dan patah-patah
5 Bubu Karang mati, terbongkar dan patah-patah
6 Jangkar Karang hancur, patah dan terbongkar
7 Berjalan di atas karang Karang hancur, patah-patah
8 Penambahan batu karang Penurunan pondasi terumbu
9 Kapal di perairan dangkal Karang patah
10 Alat pendorong perahu Karang patah
11 Cindera mata Karang-karang yang indah hilang
12 Sedimentasi Karang mati akibat tertutu oleh lumpur
13 Polusi Karang mati dan berubah menjadi putih Sumber : Amin (2009)
2.5 Sistem Informasi Geografis (SIG) Dalam Pemetaan Terumbu Karang
Sistem informasi geografi (SIG) adalah kumpulan perangkat keras komputer
dan perangkat lunak yang terorganisir, yang di dalamnya terdapat beberapa
komponen utama, berupa orang, uang dan infrastruktur organisasi yang
18
memungkinkan akuisisi dan penyimpanan geografis (Kennedy 2009). Penggunaan
SIG dalam mengolah data spasial untuk pemetaan terumbu karang memberikan
beberapa keuntungan tersendiri, diantaranya adalah:
1) SIG efektif dalam proses pengolahan data dengan adanya berbagai teknik
yang disediakan, seperti overlay, buffer, cropping dan teknik analisis
lainnya.
2) SIG dapat memberikan gambaran lengkap dan komperhensif terhadap
masalah nyata dari terumbu karang
3) SIG dapat memvisualkan data spasial beserta data atribut terumbu karang
dalam modifikasi warna, bentuk, dan ukuran sebagai symbol
4) SIG memiliki kemampuan dalam menjabarkan data terumbu karang dalam
bentuk layer, tematik atau tutupan spasial
5) SIG dapat menurunkan informasi terumbu karang secara otomatis tanpa
perlu melakukan interpretasi data secara manual.
2.6 Penginderaan Jauh
2.6.1 Pengertian Penginderaan Jauh
Teknologi pemotretan udara mulai diperkenalkan pada akhir abad ke 19,
teknologi ini kemudian dikembangkan menjadi teknologi penginderaan jauh atau
remote sensing. Manfaat pemotretan udara dirasa sangat besar dalam perang dunia
I dan II, sehingga foto udara dipakai dalam eksplorasi ruang angkasa. Sejak saat
itu penginderaan jauh dikenal dalam dunia pemetaan. Berikut ini beberapa definisi
mengenai penginderaan jauh :
1. Penginderaan jauh adalah ilmu atau seni untuk memperoleh informasi
tentang objek, daerah, atau gejala, dengan cara menganalisis data yang
diperoleh atau gejala yang akan dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990).
2. Penginderaan jauh merupakan teknik yang dikembangkan untuk
memperoleh dan menganalisis tentang bumi. Informasi itu berbentuk radiasi
elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan oleh permukaan bumi
(Lindgren 1985).
19
3. Penginderaan jauh dapat disebut sebagai seni atau ilmu karena perolehan
informasi secara tidak langsung dilakukan menggunakan metoda matematis
dan statik berdasarkan algoritma tertentu (ilmu), dan proses interpretasi
terhadap citra tidak hanya berdasar pada ilmu namun juga pengalaman dan
kemampuan menangkap kesan dari kenampakan objek pada citra (seni)
(Suprayogi 2009).
2.6.2 Satelit LDCM (Landsat 8)
Satelit LDCM (Landsat Data Continuity Mission) telah diluncurkan pada
tahun 2011 dari VAFB, CA dengan pesawat peluncur Atlas-V-401. Setelah
meluncur di orbitnya, satelit tersebut akan dinamakan sebagai Landsat-8. Satelit
LDCM (Landsat- 8) dirancang diorbitkan pada orbit mendekati lingkaran sikron
matahari, Satelit LDCM (Landsat-8) dirancang membawa Sensor pencitra OLI
(Operational Land Imager) yang mempunyai kanal-kanal spektral yang
menyerupai sensor ETM+ (Enhanced Thermal Mapper plus) dari Landsat-7.
Sensor pencitra OLI ini mempunyai kanal-kanal baru yaitu: kanal-1: 443 nm
untuk aerosol garis pantai dan kanal 9: 1375 nm untuk deteksi cirrus; akan tetapi
tidak mempunyai kanal inframerah termal. Sensor lainnya yaitu Thermal Infrared
Sensor (TIRS) ditetapkan sebagai pilihan (optional), yang dapat menghasilkan
kontinuitas data untuk kanal-kanal inframerah termal yang tidak dicitrakan oleh
OLI. Karakteristik teknis sensor pencitra OLI dan karakteristik data citra,
subsistem pendukung missi, aplikasi data satelit LDCM (Landsat-8) serta analisis
pemanfaatan satelit masa depan: LDCM (Landsat-8) (Sitanggang 2010). (Gambar
5).
20
Gambar 5. Gambaran pencitraan permukaan Bumi dengan
satelit LDCM (Landsat-8) di orbit
(Sumber : Sitanggang 2010)
Aspek-aspek kunci dari dayaguna satelit LDCM (Landsat-8) yang
berhubungan dengan kalibrasi pencitra dan validasi adalah pengarahan titik
(pointing), stabilitas dan kemampuan melakukan manuver. Pengarahan titik dan
stabilitas satelit mempengaruhi dayaguna geometrik. Kemampuan melakukan
manuver memungkinkan akuisisi data untuk kalibrasi dengan menggunakan
matahari, bulan dan bintang-bintang. Parameter-parameter orbit satelit LDCM
(Landsat-8) ditunjukkan pada Tabel 3 (Sitanggang 2010).
Tabel 3. Spesifikasi Orbit Satelit LDCM
Jenis Orbit Mendekati lingkaran
sinkronmatahari
Ketinggian 705 km
Inklinasi 98,2O
Periode 99 Menit
Waktu Lipat Ulang (Resolusi Temporal) 16 Hari
Waktu Melintas Khatulistiwa Jam 10.00 – 10.15 Sumber: Sitanggang (2010)
Satelit landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (OLI)
dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak 11 buah.
Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9) berada pada OLI dan 2 lainnya
(band 10 dan 11) pada TIRS. Sebagian besar kanal memiliki spesifikasi mirip
dengan landsat 7. Adapun yang ditampilkan pada Tabel 4 yang menjelaskan
karakterisktik band-band yang terdapat pada citra landast 8.
21
Tabel 4. Band Citra Landsat 8 Band Panjang Gelombang (µm) Sensor Resolusi
Band Panjang Gelombang Sensor Resolusi
1 0,43 – 0,45 Visible 30 m
2 0,45 – 0 ,51 Visible 30 m
3 0,53 – 0,59 Visible 30 m
4 0,64 – 0,67 Near-Infrared 30 m
5 0,85 – 0,88 Near-Infrared 30 m
6 1,57 – 1,65 SWIR 1 30 m
7 2,11 – 2,29 SWIR 2 30 m
8 0,50 – 0,68 Pankromatik 15 m
9 1,36 – 1,38 Cirrus 30 m
10 10,6 – 11,19 TIRS 1 100 m
11 11,5 – 12,51 TIRS 2 100 m Sumber : Http://www.usgs.gov.2013
2.6.3 Satelit Aqua MODIS
Menurut Putra (2012) Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer
(MODIS) merupakan sensor utama pada satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS
PM) yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National
Aeronautics and Space Administration (NASA). Sensor MODIS pertama kali
diluncurkan bersama satelit Terra pada tanggal 18 Desember 1999 dengan
spesifikasi lebih fokus untuk daerah daratan.Pada tanggal 4 Mei 2002 diluncurkan
satelit Aqua yang membawa sensor MODIS dengan spesifikasi daerah laut.
Aqua MODIS mempunyai beberapa produk dengan berbagai sumber.
Salah satu produk Aqua MODIS adalah citra level 3. Citra MODIS level 3 terdiri
dari data suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil-a dan data parameter lainnya
yang dapat digunakan dan diproses lebih lanjut oleh para peneliti dari berbagai
disiplin ilmu, termasuk oseanografi dan biologi. Citra MODIS level 3 merupakan
produk data yang sudah diproses. Citra tersebut sudah dikoreksi atmosferik, yang
dilakukan untuk menghilangkan hamburan cahaya yang sangat tinggi yang
disebabkan oleh komponen atmosfer.Komponen yang dikoreksi yaitu hamburan
Rayleigh dan hamburan aerosol (Aeni 2012).
22
BAB III
METODOLOGI RISET
3.1 Waktu dan Tempat Riset
Dalam pengumpulan data dilakukan 2 rangkaian riset yang terdiri dari 2
tahapan, yakni: (1) Pengumpulan data primer di Kawasan Konservasi Taman Laut
Karimunjawa secara in-situ meliputi pengamatan parameter fisika yang
mempengaruhi kondisi terumbu karang dan distribusi tutupan karang serta yang
dilaksanakan pada bulan Mei 2019 serta melakukan kuisioner kepada beberapa
wisatawan, (2) Secara eks-situ pengunduhan citra tutupan karang dan sebaran
parameter fisik dari satelit Landsat 8 pada bulan Juni 2019 di Laboratorium
Perikanan Tangkap. Secara geografis wilayah kepulauan Karimunjawa terletak
pada titik koordinat 5°40‟ – 5°57 LS dan 110°4‟ – 110°40 BT (Gambar 6).
Gambar 6. Peta Lokasi Riset Kepulauan Karimunjawa
23
3.2 Alat dan Bahan Riset
3.2.1 Alat Riset
Alat dalam riset sangat penting guna membantu proses pengambilan data
penelitian. Alat dan bahan harus dipersiapkan dengan matang sesuai dengan
metode riset yang digunakan. Pada pengamatan fisik terhadap distribusi terumbu
karang alat yang digunakan ditunjukan pada Tabel 5.
Tabel 5. Daftar Alat Riset yang Digunakan
No Alat Fungsi
1 ArcGIS 10.3 Mengolah data citra
2 ErMapper 7.1 Proses koreksi citra satelit
3 SeaDAS Proses koreksi citra satelit
4 Microsoft Excel 2010 Mengolah data
5 Laptop, Windows 10 Pro 64 bit Sebagai fasilitas pengolahan data
6 SCUBA Set Sebagai alat bantu penyelaman
7 Camera Underwater Mendokumentasikan kegiatan
8 Refraktometer Mengukur salinitas air dengan ketelitian
0,001 ppt
9 Thermometer Mengukur suhu permukaan laut dengan ketelitian 0,1⁰
10 Sechie Disk Mengukur kecerahan air laut
11 Roll Meter Membatasi jarak pengambilan data ketelitian 0,1 cm
12 Kapal Transportasi menuju lokasi pengamatan
13 Alat Tulis Mencatat hasil data di bawah air
14 GPS Menentukan stasiun posisi praktik
24
3.2.2 Data Riset
Sementara data yang dibutuhkan dalam melakukan riset ditunjukan pada
Tabel 6.
Tabel 6. Daftar Data Riset yang Digunakan
Data Primer
No Data Keterangan
1 Salinitas
Masing-masing stasiun dilakukan 1 sampling
2
Suhu
Permukaan
Laut (SPL)
3
Distribusi
Tutupan
Karang
4 Kecerahan
Air
5 Kecepatan
Arus
6
Scenic
Beauty
Estimation
(SBE)
Terhadap 20 responden
Data Sekunder
No Data Resolusi
Sumber Spasial Temporal
1
Suhu
Permukaan
Laut (SPL)
4 km
Bulanan,
Periode
2018 – 2019
Satelit : Aqua MODIS Lvl 3
Sumber :
https://oceancolor.gsfc.nasa.gov/l3/
2
Distribusi
Tutupan
Karang
30 m
Tahunan,
Periode
2016 - 2019
Satelit : Landsat 8
Sumber :
https://glovis.usgs.gov/app
3.3 Metode Riset
Riset ini dibagi menjadi 2 tahap, tahap pertama yaitu survei lapangan (in-
situ), survey lapangan mencakup pengambilan data parameter perairan (data
primer meliputi kecerahan, salinitas, kecepatan arus, dan suhu permukaan laut),
sebaran kuisioner kepada responden, dan data tutupan karang.
Serta tahap ke dua yaitu pengolahan data survei lapangan, berupa data
tutupan karang dan parameter perairan eks-situ (citra satelit tutupan karang dan
sebaran suhu permukaan laut).
25
Metode pengumpulan data menggunakan metode survey. Penentuan lokasi
pengamatan yang digunakan dalam riset ini adalah Purposive Sampling Methods.
Metode sampling ini dipakai untuk menentukan lokasi pengambilan sampel
didasarkan pada pertimbangan, bahwa masing-masing stasiun pengambilan
sampel tersebut dapat mewakili wilayah riset secara keseluruhan sehingga dapat
memperkecil terjadinya bias terhadap data yang diperoleh (Hadi 2004). Dalam
menentukan 3 stasiun dalam pengambilan sampel agar dapat mewakili seluruh
wilayah riset dilakukan metode wawancara oleh pemandu wisata di Taman
Nasional Karimunjawa. Pengambilan data kondisi terumbu karang dilakukan
dengan penentuan titik sebaran terumbu karang dari lokasi tujuan utama kegiatan
wisata bahari dan dilanjutkan dengan metode LIT (Line Intercept Transect)
sepanjang 50 meter untuk melihat kondisi terumbu karang.
3.3.1 Pengambilan Data Secara in-situ
Pengambilan data in-situ dilakukan dengan menggunakan metode survey
yang dilakukan pada bulan Mei 2019 dengan pengambilan sampel dan turun
langsung ke lapangan dengan melakukan penyelaman guna pengamatan distribusi
tutupan karang yang kemudian dicatat dan uji fisik air seperti suhu permukaan air,
kecerahan, kecepatan arus, dan salinitas. Dalam pengamatan distribusi tutupan
karang dilakukan penyelaman dengan metode LIT (Line Intercept Transect) atau
transek garis yang dilakukan satu kali untuk tiap stasiun riset tanpa ulangan
menggunakan roll meter sepanjang 50 meter serta menggunakan peralatan SCUBA
set , dan masing-masing titik dilakukan pada kedalaman 10 meter (English et. al.
1997). Menurut Westmacott et al. (2000) pada pengamatan Line Intercept
Transect pencatatan data berupa jenis-jenis terumbu karang atas dasar lifeform,
penutupannya, dan jenis-jenis subsrat (Veron 1993).
Pengumpulan data tutupan karang ini digunakan sebagai ground truth untuk
menverifikasi pengaruh kerusakan terumbu karang terhadap lokasi ekowisata
yang kemudian ditampilkan dengan metode visual yang ditampilkan oleh citra
satelit Landsat 8. Jumlah total 3 stasiun pengamatan yang menyebar disekitar
perairan Taman Nasional Karimunjawa.
26
3.3.2 Pengambilan Data Secara eks-situ
Pengambilan data eks-situ dilakukan dengan pengambilan data sekunder
yang sudah diunduh melalui situs resmi NASA mengenai data citra tutupan
karang yang diperoleh menggunakan Satelit Landsat 8 resolusi 30 meter dengan
sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) pada band 1 hingga band 7.
Adapun variable terikat lainnya seperti data citra SPL. Sedangkan pada citra SPL
diperoleh dari satelit Aqua MODIS lvl 3 dengan resolusi 4 km.
3.4 Prosedur
Dalam pelaksanaan penelitian mencari identifikasi masalah hingga kajian
literatur merupakan tahap penyusunan laporan dalam dasar mencari akar
permasalahan dalam melaksanakan penelitian mulai dari pengambilan data yang
kemudian diolah dan dianalisis yang bisa disimpulkan dalam melakukan pemetaan
zonasi kawasan terumbu karang.
Adapun prosedur dalam pengambilan data in-situ, data ground truth atau
pengecekan lapangan sesuai penutupan yang sebenarnya ditentukan berdasarkan
titik yang telah ditentukan dari hasil interpretasi awal citra atau dengan kata lain
pengambilan data primer, yakni:
Uji kecerahan dilakukan dengan menggunakan secchi disk yang diikat
dengan tali kemudian diturunkan perlahan-lahan kedalam perairan hingga
tidak terlihat lagi.
Suhu permukaan laut dilakukan menggunakan thermometer yang
dicelupkan pada permukaan laut hingga alat menunjukan angka paling stabil
yang kemudian dicatat.
Kecepatan arus dilakukan menggunakan bola yang diikatkan menggunakan
tali yang kemudian dilepaskan di permukaan laut, kemudian dicatat jarak
dan waktunya lalu dihitung menggunakan rumus kecepatan arus.
Salinitas digunakan alat refraktometer dengan cara mengambil sampel air
yang kemudian dimasukan ke dalam alat tersebut lalu dilihat dan didapatkan
nilai salinitasnya
27
Kegiatan ini berupa mengunjungi titik kordinat yang sebelumnya telah
ditentukan dari hasil interpretasi awal citra dan mengecek jenis tutupan yang ada,
sehingga nantinya dapat dijadikan data dalam mengklasifikasi citra tahap
selanjutnya. Landskap citra yang dihasilkan kemudian yang akan dianalisis dalam
pengelolaan segementasi ekowisata pada zonasi terumbu karang. Data primer
yang diambil lainnya merupakan pelaksanaan data SBE dengan pendekatan
dimana 20 responden akan diberi kuisioner terhadap data yang sudah diambil
kemudian responden akan memberikan skor dengan skala 1-10. Adapun diagram
prosedur pengambilan data yang dijalankan selama penyusunan laporan pada riset
ini yang ditunjukan pada Gambar 7.
Gambar 7. Bagan Alur Prosedur Riset
Pada pengolahan citra satelit menggunakan dua perangkat lunak.
Perangkat lunak perangkat lunak yang digunakan dari proses koreksi citra satelit
yaitu SeaDAS dan ErMapper 7.1, pengklasifikasian substrat dasar perairan sampai
diperolehnya luasan terumbu karang. Perangkat lunak kedua ArcGIS 10.3 yaitu
perangkat lunak yang digunakan untuk menampilkan data citra yang telah
diproses dalam bentuk peta, sehingga mudah untuk dipahami oleh pengguna.
Adapun proses koreksi rediometrik serta algoritma lyzenga dalam pengolahan
data sebagai berikut:
28
Dalam pengolahan citra landsat pada penelitian ini, peneliti menggunakan
koreksi radiometrik pergeseran histogram. Metode pergeseran histogram
yang umum dilakukan adalah dark objek substraction.
Selanjutnya, penggunaan algoritma Lyzenga pada proses pengolahan dapat
mereduksi pengaruh dari kolom air pada kedalaman tertentu dengan
membuat suatu kanal baru dari hasil perhitungan band a dan band b yang
akan digabungkan menjadi 1 band dari hasil perhitungan hubungan spektral
antara band tersebut.
Setelah dilakukan ketiga proses tersebut kemudian dianalisis menggunakan
perangkat lunak Microsoft Excel 2010 dalam menganalisis data. Diagram
pengolahan citra dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Bagan Alur Prosedur Pengolahan Data
3.5 Parameter Pengukur
3.5.1 Persentase Tutupan Terumbu Karang
Data persen penutupan karang hidup diperoleh berdasarkan metode Line
Intersect Transect (LIT). Dalam pencatatan kode tutupan karang mengacu pada
life-form yang dilampirkan di Lampiran 1. Kondisi penutupan terumbu karang
yang diperoleh kemudian dikategorikan berdasarkan Gomez & Yap (1988) pada
Tabel 7, yaitu :
29
Keterangan :
Li : Persentase Penutupan Biota Ke-i
ni : Panjang total kelompok biota karang ke-i
L : Panjang total transek garis
Tabel 7. Kategori Persentase Tutupan Terumbu Karang
Persentasi Kondisi
75-100% Sangat Baik
50-74,9% Baik
25- 49,9% Sedang
0-24,9% Rusak Sumber : Gomez & Yap (1988)
3.5.2 Matriks Kesesuaian Pemanfaatan untuk Wisata Bahari
Penentuan kesesuaian wisata snorkeling dan diving yang dilakukan
mempertimbangkan beberapa parameter sesuai kategori. Matriks kesesuaian
dilampirkan di Lampiran 2. Menurut Lumbantoruan (2017) terdapat indeks dalam
menentukan kesesuaian pemanfaatan untuk wisata Snorkeling/diving
diformulasikan sebagai berikut :
∑(
)
Keterangan: IKW : Indeks Kesesuaian Wisata
Ni : Nilai parameter ke-i (Bobot x Skor)
Nmaks : Nilai maksimum dari suatu kategori wisata
Ketentuan untuk kelas kesesuaian kegiatan wisata Snorkeling/diving
adalah sebagai berikut (Tabel 8).
Tabel 8. Kategori Kesesuaian Kegiatan Wisata Snorkling/Diving
Kelas Keterangan
S1 Sangat sesuai, dengan IKW 83 – 100 %
S2 Sesuai, dengan IKW 50 - < 83 %
S3 Tidak sesuai, dengan IKW < 50% Sumber : Lumbantoruan (2017)
Pengolahan data dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2010.
Kelas kesesuaian dibagi dalam tiga kelas, yang didefinisikan sebagai berikut :
Kelas S1 : Sangat Sesuai (Highly Suitable)
30
Kawasan ekosistem terumbu karang tidak mempunyai pembatas yang
berat untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata snorkeling dan diving secara
lestari, atau hanya mempunyai faktor pembatas yang kurang berarti dan tidak
terpengaruh secara nyata terhadap kondisi kawasan tersebut, serta tidak
menambah masukan (input) untuk dikembang sebagai objek wisata snorkeling
dan diving.
Kelas S2 : Sesuai (Suitable)
Kawasan ekosistem terumbu karang yang mempunyai pembatas agak berat
untuk pemanfaatan sebagai kawasan wisata snorkeling dan diving secara lestari.
Faktor pembatas tersebut akan mengurangi pemanfaatan kawasan tersebut,
sehingga diperlukan upaya tindakan-tindakan tertentu dalam membatasi
pemanfaatan dan mengupayakan konservasi dan rehabilitasi
Kelas S3 : Tidak Sesuai (Not Suitable)
Kawasan ekosistem terumbu karang yang mengalami tingkat kerusakan
yang cukup tinggi, sehingga tidak memungkinkan untuk dikembangkan sebagai
kawasan wisata snorkeling dan diving. Untuk itu sangat disarankan untuk
dilakukan perbaikan dengan teknologi tinggi dengan tambahan biaya dan perlu
waktu yang lama untuk memulihkannya melalui konservasi dan rehabilitasi
kawasan tersebut.
3.5.3 Daya Dukung Kawasan
Menurut Yulianda (2007), konsep daya dukung ekowisata
mempertimbangkan dua hal, yakni (1) kemampuan alam untuk mentolerir
gangguan atau tekanan dari manusia ataupun kondisi alam, dan (2) standar
keaslian sumberdaya alam. Konsep daya dukung dapat dipergunakan sebagai
salah satu pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan perencanaan wisata
bahari Karimunjawa. Daya dukung kawasan (DDK) adalah jumlah maksimum
pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada
waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia, dapat
dilihat pada rumus:
31
(
) (
)
Keterangan: DDK : Daya dukung kawasan wisata (orang/hari)
K : Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area
Lp : Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan
Lt : Unit area untuk kategori tertentu
Wt : Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari
Wp : Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu.
Pada kegiatan wisata selam ada beberapa kategori yang harus diperhatikan
untuk kelayakan suatu lokasi penyelaman yaitu, kecerahan perairan, tutupan
komunitas karang, jenis karang, dan kedalaman terumbu karang. Sedangkan untuk
daya dukung wisata selam harus memenuhi luasan 2000 m2 untuk dua orang
penyelam, dalam waktu 8 jam sehari (Yulianda 2007).
Sedangkan pada skin diving memiliki kriteria kelayakan suatu lokasi untuk
dijadikan lokasi wisata selam, tidak jauh berbeda dengan kegiatan scuba diving.
Dalam memenuhi daya dukungnya, area yang harus tersedia untuk seorang
pengunjung adalah 500 m2, dan waktu yang dibutuhkan dalam sehari 6 jam
(Yulianda 2007).
Potensi ekologis pengunjung ditentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis
kegiatan yang akan dikembangkan. Luas suatu area yang dapat digunakan oleh
pengunjung mempertimbangkan kemampuan alam mentolerir pengunjung
sehingga keaslian tetap terjaga. (Tabel 9)
Tabel 9. Potensi Ekologis Pengunjung (K) dan Luas Area Kegiatan (Lt)
Jenis
Kegiatan
∑
(Orang) (K)
Unit Area
(Lt) Ket
Snorkeling 1 500 m2
Setiap 1 orang dalam
100 m x 5 m
Diving 2 2000 m2
Setiap 2 orang dalam
200 m x 10 m Sumber : Yulianda (2007)
Dalam melakukan kegiatan ekowisata, setiap pengunjung akan
memerlukan ruang gerak yang cukup luas untuk melakukan aktivitas seperti
snorkeling dan diving untuk menikmati keindahan pesona alam bawah laut,
32
sehingga perlu adanya prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan
wisata. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata. (Tabel 10).
Tabel 10. Prediksi Waktu yang Dibutuhkan Untuk Setiap Kegiatan Wisata
Jenis Kegiatan Waktu yang
Dibutuhkan Wp (jam)
Total Waktu 1 Hari
Wt (jam)
Snorkeling 3 6
Diving 2 8 Sumber : Yulianda (2007)
3.5.4 Scenic Beauty Estimation (SBE)
Menurut Hadi (2001) untuk menentukan nilai visual pengembangan wisata
bahari yaitu menggunakan metode Scenic Beauty Estimation (SBE). Tahapan
yang dilakukan dalam menentukan nilai SBE ini diawali dengan penentuan titik
pengamatan, pengambilan foto, seleksi foto, penilaian oleh responden. Adapun
tahapan dalam penentuan nilai SBE, yaitu :
1) Penentuan hamparan titik pengamatan dan pengambilan foto, yaitu lokasi
pengamatan yang memiliki nilai kesesuaian wisata bahari ketiga kategori.
Pengambilan foto yaitu hamparan karang serta organisme yang berasosiasi
dengan karang di stasiun penelitian.
2) Seleksi foto, yaitu foto yang akan dipresentasikan dan diperlihatkan kepada
responden merupakan hasil seleksi dari seluruh foto yang diambil. Seleksi
dilakukan dengan memilih foto yang dianggap dapat mewaikili
keanekaragaman ekosistem terumbu karang yang dilihat hamparan karang di
stasiun penelitian
3) Penilaian oleh responden, yaitu: responden yang dipilih penyelam yang
memiliki sertifikasi selam minimal A1. Jumlah responden yang dipilih
sebanyak 20 orang. Dari setiap foto yang ditampilkan responden akan
menilai setiap foto yang ditampilkan dengan memberikan skor 1 sampai 10,
dimana skor 1 menunjukan nilai yang paling tidak disukai dan skor 10
merupakan nilai yang paling disukai.
4) Penilaian nilai visual dengan menggunakan metode SBE diawali dengan
tabulasi data, perhitungan frekuensi setiap skor (f), perhitungan frekuensi
kumulatif (cf) dan cumulative probabilities (cp). Selanjutnya dengan
33
menggunakan ormo z ditentukan nilai z untuk setiap nilai cp. Khusus untuk
nilai cp = 1.00 atau cp = (z = ± ∞) digunakan rumus perhitungan cp=1 – 1 /
(2n) atau cp = 1 / (2n) (Daniel dan Boster 1976). Rata-rata nilai z yang
diperoleh untuk setiap fotonya kemudian dimasukan dalam rumus SBE yang
diformulasikan oleh Daniel dan Boster (1976) sebagai berikut:
( )
Keterangan:
SBEx : Nilai penduga nilai keindahan pemandangan lanskap ke-x
Zx : Nilai rata-rata z untuk lanskap ke-x
Zo : Nilai rata-rata suatu lanskap tertentu sebagai standar
Sebaran penilaian SBE kemudian diklasifikasi menjadi tiga bagian yaitu
nilai SBE tinggi, sedang, dan rendah dengan menggunakan jenjang sederhana
(simplified rating) menurut Sutrisno (2001) dengan rumus:
Kemudian dari nilai ini akan dilakukan penilaian melalui matriks
perhitungan nilai SBE yang dapat dilihat pada Tabel 11 dan kategorinya pada
Tabel 12.
Tabel 11. Matriks Perhitungan Nilai SBE
Landscape/Foto ke-x
Skor f Cf cp z
1
2
….
10
∑
Z =
SBE = (Zx – Zo) x 100 = ……… Sumber : Hadi (2010)
34
Tabel 12. Matriks Kategori Nilai SBE.
Nilai SBE Kategori
………. - ………. Rendah
………. - ………. Sedang
………. - ………. Tinggi Sumber : Hadi (2010)
3.5.5 Metode Lyzenga
Pengolahan Citra juga dilakukan untuk mengetahui sebaran terumbu karang
di lokasi penelitian. Proses perhitungan Algoritma Lyzenga antara lain adalah:
(Bano 2014)
a) Membuka data algoritma yang sebelumnya telah dilakukan pada saat
memasukan ormosae citra
b) Mencari nilai variance dan covariance dari tiap-tiap band untuk
mendapatkan nilai koefisien atenuasi
c) Mencari nilai Koefisien Atenuasi dengan rumus:
√
d) Mencari nilai ormosae citra baru dengan persamaan Lyzenga:
ki/kj adalah ratio ormosaent attenuasi dari band ke-i ormos-j
3.6 Analisis Data
Metode riset yang digunakan dalam riset ini adalah metode deskriptif
kuantitatif. Analisis deskriptif kuantitatif dilakukan dengan melihat daerah yang
sesuai untuk kawasan ekowisata bahari berdasarkan hasil analisa parameter
pengukur. Hal tersebut dilakukan dengan perhitungan nilai kesesuaian lahan dan
nilai tutupan karang yang dibandingkan dengan jumlah luasan tutupan secara
keseluruhan serta didukung dengan analisa nilai Scenic Beauty Estimation.
Perhitungan variabet-variabel terikat kemudian dianalisis dan data yang telah
dikumpulkan dimasukan ke dalam matriks kesesuaian kawasan segmentasi yang
35
dilihat dari katergori kesesuaian lahan yang sesuai dan sangat sesuai serta tutupan
karang yang baik dan sangat baik serta studi literatur yang dikembangkan ke
dalam bentuk peta dalam melakukan segmentasi zonasi. Adapun pendekatan daya
dukung kawasan (DDK) yakni jumlah maksimum pengunjung secara fisik dapat
ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan
gangguan pada alam dan manusia pada katergori kesesuaian lahan yang sesuai dan
sangat sesuai.
36
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Oseanografi
Kondisi oseanografi merupakan parameter terikat yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan keberlangsungan hidup terumbu karang. Dalam
menganalisa kondisi terumbu karang, diperukan variabel-variabel yang
mempengaruhi faktor-faktor terhadap kondisi terumbu karang tersebut. Penentuan
stasiun mewakilkan setiap wilayah yang dapat menggambarkan seluruh wilayah
riset. Stasiun 1 yakni Pulau Sintok mewakilkan daerah Timur dan juga lokasi
peristirahatan jalur kapal tongkang, stasiun 2 yakni Pulau Cemara Besar yang
mewakilkan daerah Barat dan juga salah satu pulau utama dalam melakukan
island hoping oleh para wisatawan, dan stasiun 3 yakni Pulau Menjangan Kecil
mewakilkan daerah Selatan dan juga menjadi salah satu pulau utama dalam
melakukan island hoping oleh para wisatawan.
4.1.1 Parameter Fisik In-situ
Parameter fisik yang diteliti pada setiap-setiap stasiunnya meliputi suhu
permukaan laut, kecerahan, salinitas, dan arus. Pada Tabel 13 menunjukan angka
setiap parameter pada setiap stasiun yang berbeda-beda. Suhu tertinggi berada
pada Pulau Menjangan Kecil yakni sebesar 29,9⁰C dan pada Pulau Sintok dan
Cemara Besar memiliki suhu yang sama yakni 28,9⁰C. Kecerahan pada Pulau
Cemara Besar dan Menjangan Kecil memiliki visibility/kecerahan yang cukup
bagus yakni 22 dan 21 meter sedangkan pada Pulau Sintok hanya sejauh 4 meter.
Salinitas pada ketiga stasiun memiliki rentan yang kecil yakni 28,9 – 30 ppt. Dan
parameter terakhir yakni arus memiliki nilai sebesar 12,2 hingga 14,7 cm/s.
37
Tabel 13. Parameter Perairan Stasiun Pengamatan Lokasi
Suhu (C) Visibility
(meter)
Salinitas
(ppt)
Arus
(cm/s) Stasiun Pulau
1 Pulau Sintok
28,9 4 28,9 9,5 110⁰31'21" BT; 5⁰50'06" LS
2 Pulau Cemara Besar
28,9 22 29 12,2 110⁰22'05" BT; 5⁰48'34" LS
3 Pulau Menjangan Kecil
29,9 21 30 14,4 110⁰24'29" BT; 5⁰53'10" LS
Standar Optimum 23-30⁰ C
(Nybakken
1992)
> 5 meter (KEPMEN
LH 2004)
32 – 35 O/OO
(Nybakken
1992)
< 20
cm/detik
(Haruddin 2011)
Hasil parameter perairan pada ketiga stasiun pengataman (Tabel 13)
menunjukkan bahwa suhu perairan berkisar antara 28,9 – 29,9⁰C. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Nybakken (1992), bahwa suhu optimal untuk
pertumbuhan karang adalah 23-30⁰C, terutama untuk karang daerah dangkal yang
mempunyai potensi peningkatan suhu yang dapat menyebabkan kematian karang.
Adapun batas minimum suhu untuk pertumbuhan karang 18⁰C bahkan hewan
karang masih bisa hidup sampai suhu 15⁰C, tetapi akan terjadi penurunan
pertumbuhan, reproduksi, metabolisme serta produktivitas kalsium karbonat.
Sehingga suhu pada ketiga stasiun penelitian masih dapat ditolelir untuk karna
masih dalam rentan suhu optimal bagi pertumbuhan karang.
Salinitas perairan pada ketiga stasiun selama pengamatan berkisar antara
28,9-30 ‰. Salinitas tersebut tergolong dibawah standar rentan salinitas optimal
bagi pertumbuhan karang karena menurut Dahuri (2003), salinitas optimal
berkisar antara 30–35‰ tetapi tidak terlalu jauh dari batas salinitas optimum.
Dapat dilihat bahwa kondisi salinitas lebih kecil dibandingkan dengan ambang
batas optimal yang ditentukan, Hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi cuaca
perairan yang pada saat itu setelah hujan sehingga menyebabkan pengaruh
terhadap salinitas di permukaan. Faktor cuaca yang pada saat pengambilan
sampling terjadi hujan yang menjadi faktor pengaruh menurunnya salinitas pada
lokasi penelitian (Rizal 2016). Lebih lanjut menurut Bengen (2002), salinitas air
38
yang konstan berkisar antara 30–36‰. Diluar kisaran tersebut karang hermatipik
tidak dapat tumbuh (Nybakken, 1992).
Salinitas diketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan binatang
karang. Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 35‰, dan
binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-36‰ (Supriharyono
2007). Menurut Marsuki (2012) salinitas menjadi salah satu faktor penting
terhadap kondisi ekologi perairan, salinitas akan mempengaruhi tekanan osmotik
dalam tubuh organisme sehingga organisme tersebut akan mengeluarkan energi
untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya melalui mekanisme osmoregulasi.
Arus pada ketiga stasiun berkisar antara 12,2-14,7 cm/s. Arus dapat
membersihkan polip dari kotoran-kotoran yang menempel atau masuk
kedalamnya. Kedalaman 10 meter merupakan lingkungan yang menguntungkan
bagi hewan karang untuk hidup (Nybakken 1992). Pola arus yang terjadi di
perairan laut sekitar Kepulauan Karimunjawa pada khusunya merupakan efek dari
perubahan iklim secara umum di perairan Indonesia (Sya‟rani dan Suryanto
2006). Serta hubungan gerakan air yang cukup akan membantu pengudaraan dan
mencegah terjadinya fluktuasi yang besar terhadap suhu dan salinitas (Puja et al.
2001). Arah dan kecepatan arus perlu diketahui karena akan menunjang dalam
berwisata bahari dan kenyamanan dan keamanan pengunjung.
Nontji (1993) menyatakan bahwa keberadaan arus dan gelombang di
perairan sangat penting bagi kelangsungan hidup terumbu karang. Arus berperan
sebagai pengadukan bahan makanan untuk polip karang, membersihkan bagian
dari terumbu karang terhadap endapan – endapan serta mensuplai oksigen dari
laut bebas. Pertumbuhan karang lebih baik pada wilayah dengan arus kuat
dibandingkan pada wilayah dengan arus yang lemah. Menurut Haruddin (2011)
arus yang baik bagi pertumbuhan terumbu karang adalah < 20 cm/detik (0,2
m/detik). Melihat dari cukup sehingga baik bagi pertumbuhan karang. arus yang
kuat akan membantu mengangkut sedimen menyebar ke lokasi lain sehingga
periran tersebut dapat lebih jernih.
Kecerahan perairan di lokasi penelitian berkisar pada nilai 4 - 21 meter.
Intensitas cahaya yang masuk pada pulau Cemara Besar dan Menjangan Kecil
39
masih dalam kondisi yang baik, berbeda pada pulau Sintok yang terbilang cukup
keruh dikarenakan pada pengambilan data dalam kondisi hujan kecil yang
memberikan dampak sedimentasi di dasar laut. Sedimentasi ini faktor yang akan
berdampak pada minimnya pengelihatan dan terganggunya dalam pengambilan
data. Selain itu, faktor pembatas terpenting dalam pertumbuhan terumbu karang
adalah cahaya (Nybakken 1992).
Tingkat kecerahan berhubungan dengan tingkat kekeruhan perairan meliputi
banyaknya material tersuspensi maupun terlarut di dalam perairan, baik berupa
partikel lumpur maupun bahan organik. Adanya material yang terlarut dalam air
dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam perairan sehingga proses
fotosintesis menjadi terganggu. Menurut Marsuki (2012) tingkat kecerahan sangat
penting bagi pertumbuhan organisme karang, karena cahaya adalah salah satu
faktor yang paling penting yang membatasi terumbu karang sehubungan dengan
laju fotosintesis oleh zooxanthellae yang bersimbiosis pada jaringan karang.
Secara umum, penetrasi cahaya matahari di lokasi penelitian dapat mencapai dasar
perairan, bahkan di perairan Pulau Cemara Besar mencapai 22 meter (Tabel 13)
dan di perairan Pulau Menjangan Kecil hingga mencapai 21 meter. Hal tersebut
menunjukkan bahwa perairan tersebut sangat jernih sehingga sesuai untuk
berwisata bahari berdampak pada kenyamanan dan penglihatan pengunjung.
Menurut penelitian Puspita (2018) dalam menganalisis kesesuaian lahan di
Tanjung Gelam Karimunjawa, Hasil pengukuran kecepatan arus di kawasan
wisata pantai tanjung gelam termasuk dalam golongan kecepatan arus yang kecil,
hal ini diperoleh dari hasil kecepatan arus pada ketiga stasiun berkisar 0,03-0,1 ,/s.
Kecepatan arus yang rendah yaitu sangat baik untuk kegiatan wisata berenang dan
rekreasi pantai, hal ini dikarenakan kecepatan arus berkaitan dengan kenyamanan
dan kemananan pengunjung saat berrekreasi. Nilai kecerahan memiliki nilai
seratus persen sama pada ketiga stasiun karena perairannya yang dangkal.
4.1.2 Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL)
Dalam menentukan kesesuaian lahan yang baik diperlukan juga kondisi fisik
laut yang menunjang bagi pertumbuhan dan kesehatan karang yang masih
40
bertahan hidup. Jika dirasa suhu permukaan laut sudah rentan terhadap kondisi
keberhasilan pertumbuhan karang lokasi tersebut seharusnya tidak dipergunakan
dalam pengembangan wisata terutama kondisi tutupan karang didominasi oleh
tutupan karang rusak dan kasesuaian lahan yang tidak menunjang untuk
meminimalisir kerusakan karang yang semakin parah. Terumbu karang pada
umunya ditemukan terbatas pada suhu perairan antara 18-36⁰C, nilai optimal
pertumbuhan karang berkisar 26-28⁰C. Perbedaan suhu selanjutnya diekspresikan
dalam pola distribusi dan keragaman terumbu karang yang berbeda secara
ekologis dan geografis (Purba 2013).
Melalui analisis citra satelit dalam mengidentifikasi sebaran Suhu
Permukaan Laut (SPL) di Kepulauan Karimunjawa dapat mengetahui fluktuasi
perubahan Suhu Permukaan Laut setiap bulannya dalam 1 tahun. Adanya fluktuasi
perubahan suhu permukaan laut dari bulan Juni 2018 hingga Mei 2019
memberikan dampak terhadap kesehatan terumbu karang lainnya (Gambar 9).
Gambar 9. Fluktuasi Perubahan Suhu Permukaan Laut (SPL)
di Lokasi Riset dalam Periode 1 Tahun.
Pengamatan nilai maksimal pada setiap bulannya dilakukan untuk
mengetahui batas maksimum yang terjadi apabila kenaikan suhu permukaan laut
sudah jauh diatas batas range optimum suhu ideal bagi kehidupan terumbu
28
28,5
29
29,5
30
30,5
31
31,5
32
32,5
Su
hu
Per
mu
ka
an
La
ut
(°C
)
Bulan
Pulau Sintok
Pulau Cemara Besar
Pulau Menjangan Kecil
41
karang. Suhu permukaan air laut menjadi perhatian dikarenakan kenaikan 1⁰C
suhu permukaan dari rentan suhu optimum akan membuat karang mengalami
pemutihan (bleaching) (Baird et al. 2009; Brown, 1997; Hoegh-Guldberg, 1999).
Kenaikan SPL ini diduga disebabkan oleh faktor-faktor meteorologi seperti
kenaikan suhu udara. Meningkatnya suhu permukaan air laut dan suhu udara juga
berpengaruh pada organisme laut. Kenaikan suhu yang semakin di atas suhu
optimum menyebabkan daya tahan karang akan berkurang dan mengakibatkan
pemutihan dan ini akan menyebabkan bertambahnya faktor berkurangnya luas
zona karang yang masih hidup. Jika kondisi terumbu karang sudah terdegradasi
oleh faktor manusia dan faktor alam, dikhawatirkan zona tersebut menjadi zona
mati atau zona yang kehidupan biota laut sudah tidak bisa berperan lagi.
Perubahan suhu permukaan laut ketiga stasiun dalam kurun waktu 1 tahun
yakni dari bulan Juni 2018 hingga Mei 2019 (Gambar 9) menunjukan grafik nilai
SPL pada tiap bulan di setiap stasiunnya (Lampiran 15). Pada bulan Juni 2018
memiliki suhu tertinggi 29,73⁰C mengalami penurunan hingga bulan Agustus
2018 menjadi 28,67⁰C kemudian mengalami kenaikan hingga bulan Januari 2019
menjadi 31,74⁰C yang kemudian kembali mengalami penurunan hingga bulan Mei
2019 menjadi 30,32°C meski pada bulan April 2019 mengalami kenaikan menjadi
31,46⁰C. Kondisi lingkungan perairan merupakan faktor pembatas ekosistem
terumbu karang, khususnya pada hewan karang itu sendiri. (Veron 2000). Suhu
tertinggi terjadi pada bulan Desember 2018 di perairan Pulau Menjangan Kecil
sebesar 32,14⁰C dan suhu terendah terjadi pada bulan Agustus 2018 di perairan
Pulau Cemara Besar sebesar 28,44⁰C. Suhu pada bulan Mei 2018 hingga
November 2018 masih menunjukan dibawah angka 30⁰C
sedangkan mulai
Desember 2018 hingga Mei 2019 rata-rata di atas 30⁰C.
Temperatur di perairan pada Agustus – Desember 2018 terus meningkat
tetapi menurun secara perlahan hingga Mei 2019. Kondisi ini disebabkan karena
adanya perbedaan pengaruh musim yang terjadi. Suhu permukaan air laut pula
memicu meningkatnya jumlah pathogen pada koloni karang sehingga berdampak
pada munculnya beberapa penyakit karang seperti white syndrome, black band
42
disease dan skeletal eroding band (Ritchie 2006; Rosenberg dan Ben Haim 2002;
Harvell et al. 2002).
Menurut penelitian Putra (2012) Pola pergerakan SPL di Laut Jawa
mengikuti pola musim angin yang terjadi di Laut Jawa, yaitu musim barat, timur,
dan peralihan. SPL Laut Jawa secara spasial secara deret waktu dapat dilihat pada
Gambar 10 hingga Gambar 13 dengan nilai suhu diwakili oleh warna kuning
hingga merah yang menjadi tanda untuk suhu hangat hingga tertinggi di laut
Kepulauan Karimunjawa. Dalam kurun waktu 1 tahun nilai SPL di Kepulauan
Karimunjawa memiliki rentan yang tidak begitu jauh (Lampiran 15) pada musim
musim timur (Gambar 10) SPL berkisar pada nilai 28,32 - 29,04⁰C, pada musim
peralihan 2 (Gambar 11) berkisar pada 28,62 - 30,61⁰C, pada musim barat
(Gambar 12) nilai SPL berkisar antara 28,71 - 32,14⁰C, dan pada musim peralihan
1 (Gambar 13) nilai SPL berkisar antara 28,67°C – 31,46⁰C. Suhu permukaan laut
di Kepulauan Karimunjawa berdasarkan sebaran spasial citra satelit MODIS
berkisar antara 28 - 32⁰C. Hal ini tidak berbeda jauh dengan suhu permukaan laut
Indonesia menurut Nontji (2005), yaitu berkisar antara 28 - 31⁰C.
Juni 2018
Juli 2018
Agustus 2018
Gambar 10. Sebaran spasial SPL pada Musim Timur
43
Pergerakkan angin muson menyebabkan variasi suhu permukaan Laut Jawa,
pada musim timur terlihat bahwa suhu permukaan laut yang hangat berada di
sebelah timur dan yang lebih tinggi di sebelah barat ditandai dengan lebih
dominan berwarna kuning disebelah timur dibandingkan disebelah barat yang
didominasi dengan warna merah (Gambar 10), ini dikarenakan pada saat periode
muson tenggara (musim timur), angin, dan arus di Laut Jawa bergerak dari timur
ke barat membawa massa air yang relatif lebih dingin masuk ke arah barat. Selain
dari arah Timur, pada musim Timur angin juga bertiup dari arah Tenggara dan
Utara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh pusat tekanan di daerah Timur lebih
tinggi dari pada di daerah Barat. Menurut Fadhika (2014) musim Timur nilai suhu
permukaan laut cenderung mengalami penurunan daripada musim Barat dan
musim Peralihan I.
Musim Timur nilai suhu permukaan laut cenderung mengalami penurunan
daripada musim Barat dan musim Peralihan I. Penurunan suhu permukaan laut
saat musim timur disebabkan oleh meningkatnya intensitas angin muson tenggara.
Angin muson tenggara yang kuat pada musim timur menyebabkan upwelling
sehingga suhu permukaan laut menurun. Peningkatan suhu permukaan saat musim
peralihan karena pada periode tersebut matahari berada di ekuator sehingga suhu
permukaan laut tinggi. Pada musim ini arus permukaan bergerak menuju Barat
Laut dengan mengangkut massa air yang bersuhu rendah. Selain itu pada musim
Timur paparan sinar Matahari minimum, sehingga mempengaruhi suhu
permukaan laut yang terkena paparan sinar Matahari. Diketahui bahwa pada
musim Timur suhu permukaan laut tidak minimum, hal tersebut dikarenakan air
membutuhkan waktu dalam melepaskan panas.
Setelah musim timur, terdapat musim peralihan II yang menjadi transisi
perubahan musim timur ke musim barat. Pada musim peralihan II terjadi
peningkatan suhu tetapi lebih bersifat homogen. Ditandai dengan meluasnya
warna kuning pada peta (Gambar 11).
44
September 2018
Oktober 2018
November 2018
Gambar 11. Sebaran spasial SPL pada Musim Peralihan II
Secara klimatologi, nilai suhu permukaan laut tertinggi terjadi saat musim
barat dan musim peralihan I sedangkan nilai terendah terjadi saat musim timur
dan musim peralihan II. Melalui grafik (Gambar 9) pada musim timur ke musim
peralihan II mengalami peningkatan. Ini dikarenakan memasuki musim Peralihan
II angin dominan bertiup dari arah Tenggara. Hal tersebut ditandakan sebagai
berakhirnya musim Timur. Pada musim ini terdapat sisa dari musim Timur yaitu
terdapat angin yang bergerak dari arah Timur ditandai dengan melebarnya
indikator warna merah pada peta (Gambar 11) yang lebih dominan di arah
tenggara dan selatan. Hal tersebut menyebabkan angin bergerak menuju arah
Barat Laut. Adapun pengaruh arus terhadap suhu, pada musim ini pola pergerakan
arus bergerak ke arah Timur Laut mengangkut massa air yang bersuhu lebih
rendah ke arah Timur Laut. Pada musim ini masih terkena pengaruh pada musim
Timur, air membutuhkan waktu dalam melepaskan panas.
45
Desember 2018
Januari 2019
Februari 2019
Gambar 12. Sebaran spasial SPL pada Musim Barat
Transisi musim peralihan II ke Musim Barat memperlihatkan masuknya
SPL bernilai rendah dari Laut Cina Selatan melewati Laut Jawa menuju Selat
Makassar dan Laut Flores (Gambar 12), ditunjukan dengan massa air yang lebih
hangat daerah timur laut dikarenakan bertiupnya angin dari arah Laut Cina Selatan
ke Arah Australia. Pada bulan Desember sampai dengan Februari, suhu menurun
kembali yang merupakan pengaruh dari muson barat laut yang mengakibatkan
massa air Laut Cina Selatan dengan suhu yang lebih rendah bercampur dan
mendorong massa air Laut Jawa dari barat ke timur (Lumban 2007). Pada musim
Barat arus permukaan bergerak menuju arah Timur. Sedangkan sebaran suhu
permukaan laut pada musim ini massa air yang lebih rendah berada di perairan
sebelah Selatan. Pada musim Barat pusat tekanan udara tinggi berekembang diatas
benua Asia, dan di Pulau Jawa angin ini dikenal sebagai Angin Muson Barat Laut.
Musim Barat umumnya membawa curah hujan yang tinggi di Pulau Jawa. Pada
Musim Barat matahari berada di belahan bumi selatan, dan benua Asia yang mulai
ditinggalkan matahari temperaturnya menjadi rendah dan tekanan udaranya tinggi
(maksimum) (Annas, 2009).
46
Maret 2019
April 2019
Mei 2019
Gambar 13. Sebaran spasial SPL pada Musim Peralihan I
Pada musim Peralihan I dapat dilihat bahwa sebaran suhu permukaan laut
mengalami perubahan (Gambar 13). Pada musim ini belum tampak keterkaitan
antara sebaran suhu permukaan laut dengan arah gerak arus permukaan. Musim
Peralihan I nilai suhu permukaan laut cenderung lebih tinggi daripada saat musim
Barat. Pada musim ini memiliki sebaran warna merah dikarenakan masih
membawa angina dari musim barat yang didominasi oleh suhu tinggi meskipun
mengalami suhu. Ini menunjukan adanya sifat lebih homogen yang lebih hangat,
pada bulan April terlihat tidak adanya warna kuning dan lebih didominasi oleh
warna merah dan oren yang menunjukan adanya transisi ke musim timur atau
musim minim hujan sehingga intensitas cahaya matahari lebih sedikit.
Variabilitas ini berhubungan dengan angin muson yang berhembus di atas
Laut Jawa dan perubahan iklim global yakni interaksi atmosfer dan laut yang
secara nyata terjadi di Lautan Pasifik yang disebut dengan fenomena ENSO.
Proses sirkulasi air laut regional seperti arus massa air yang hangat dari samudera
pasifik ke samudera hindia melewati sebagian wilayah Indonesia salah satunya
Laut Jawa, dan juga dari adanya fenomena alam El Nino. Fluktuasi perubahan
suhu permukaan laut pada 1 tahun periode dari bulan Juni 2018 – Mei 2019
47
menunjukan bahwa suhu maksimal yang terjadi tidak memberikan dampak pada
pemutihan karang karena masih didalam batas range suhu optimum bagi
pertumbuhan karang. Berbeda pada studi kasus pertengahan antara tahun 2015
dengan tahun 2016 telah terjadinya peristiwa El Nino yang menyebabkan naiknya
suhu permukaan laut yang berpusat di Samudra Pasifik, sehingga suhu perairan di
Indonesia menjadi lebih hangat. Hal ini mengakibatkan memutihnya karang pada
sebagian besar lokasi pengamatan Taman Nasional Karimunjawa (Pardede et al.
2016).
Peningkatan suhu permukaan air laut tercatat dalam satuan „degree heating
weeks‟ (DHW). Hal ini akan menyebabkan stress pada binatang karang sehingga
mengeluarkan simbion zooxanthellae dari dalam tubuhnya. Tanpa zooxanthellae,
binatang karang menjadi transparan, sehingga dalam skala luas hanya tampak
karangka kapur yang berwarna putih. Peristiwa ini disebut dengan bleaching atau
pemutihan karang (Hoegh-Guldberg 1999; Salm et.al. 2001). Bleaching yang
terjadi dalam waktu pendek umumnya tidak menyebabkan kematian pada
binatang karang dan zooxantjealle kembali bersimbiose dengan karang. Namun
paling tidak hal ini sudah menyebabkan lambatnya kemampuan pembentukan
kerangka kapur. Sedangkan jika bleaching terjadi secara berkepanjangan akan
menyebabkan kematian pada binatang karang dan lingkungan terumbu karang
akan hancur. Kerusakan terumbu karang, seperti telah dijelaskan sebelumnya akan
mempengaruhi kehidupan dan penyediaan sumberdaya bagi masyarakat pesisir
(Bellwood et.al. 2003).
4.2 Kondisi Terumbu Karang
Pengambilan data dilakukan pada tiga stasiun di Kepulauan Karimunjawa
yang menggambarkan 3 golongan persentasi tutupan karang yang berbeda-beda
yang mengacu kepada penelitian Biondi (2014) yakni Pulau Sintok, Pulau Cemara
Besar, dan Pulau Menjangan Kecil. Pengambilan data dengan menentukan titik
sampling dilakukan untuk menggambarkan kondisi terumbu karang pada setiap
pulaunya pada tahun 2019.
48
4.2.1 Distribusi dan Kondisi Tutupan Karang di Pulau Sintok, Pulau
Cemara Besar, dan Pulau Menjangan Kecil
4.2.1.1 Pulau Sintok
Hasil penelitian metode LIT pada Pulau Sintok yang diambil sepanjang 50
meter dengan koordinat 110o31'21" BT dan 5
o50'06" LS, menyatakan bahwa
persentase tutupan karang hidup sebesar 50,82%, sedangkan persen tutupan
karang mati sebesar 31,72% (Lampiran 7). Persentase karang hidup tersebut
terdiri dari 9,4% genus Acropora dan 41,42% Non-Acropora (Gambar 14).
Gambar 14. Distribusi Tutupan Karang di Pulau Sintok
Berdasarkan gambar 14, tutupan karang Acropora sebanyak 9,40% dan
Non-Acropora sebanyak 41,42% didapatkan total tutupan karang hidup sebesar
50,82%. Sesuai dengan pernyataan Gomez & Yap (1988) bahwa jika kondisi
karang berdasarkan tingkat persen penutupan karang keras hidup antara 50-
70,49% maka dapat dikatagorikan bahwa tutupan karang tersebut tergolong baik.
Tutupan karang pada Pulau Sintok terdiri dari genus Acropora sebesar 5,4%
Acropora Encrusting, 1,2% Acropora Submassive, dan 2,8% Acropora Tabulate.
Pada genus Non-Acropora terdiri dari 4 genus yakni 1,8% Coral Branching, 2,4%
Coral Encrusting, 0,7% Coral Massive, dan yang paling mendominasi yakni
Coral Foliose sebanyak 36,52% (Data terlampir pada Lampiran 7). Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Biondi (2014), distribusi tutupan karang Pulau
Sintok berkisar antara 40 – 60%, dengan nilai persentase tertinggi 60%
didominasi tutupan terumbu karang keras hidup (HCL) dan 30 – 10% oleh karang
9,40%
41,42% 31,70%
1,60% 15,88% Acropora
Non Acropora
Dead Coral
Algae
Other Fauna
Abiotic
49
lunak (SC). Coral Foliose (CF) yang berbentuk lembaran-lembaran yang
memanjang dan menyerupai bunga biasanya dipengaruhi oleh arus dan kedalaman
perairan. Lokasi pengamatan yang memiliki arus yang tenang sangat cocok bagi
pertumbuhan karang jenis ini. Hal tersebut diperkuat oleh Suryanti et al. (2011),
pada daerah dengan arus kuat banyak dijumpai karang berbentuk pendek, kuat
merayap, submassif.
4.2.1.2 Pulau Cemara Besar
Hasil penelitian metode LIT pada Pulau Cemara Besar yang diambil
sepanjang 50 m dengan koordinat 110o22'05" BT dan 5
o48'34" LS, menyatakan
bahwa persen tutupan karang hidup sebesar 21,2%, sedangkan persentase tutupan
karang mati sebesar 3% (Lampiran 7). Persentase karang hidup tersebut terdiri
dari 0,8% genus Acropora dan 20,4% Non-Acropora (Gambar 15).
Gambar 15. Distribusi Tutupan Karang di Pulau Cemara Besar
Berdasarkan gambar 15, tutupan karang Acropora sebesar 0,8% dan pada
Non-Acropora sebanyak 20,4% didapatkan total tutupan karang hidup sebesar
21,2%. Menurut Gomez & Yap (1988) jika kondisi karang berdasarkan tingkat
persen penutupan karang keras hidup antara 0-24,9% maka dapat dikatagorikan
bahwa tutupan karang tersebut rusak. Pulau Cemara Besar menjadi stasiun
pengamatan yang tergolong rusak karena didominasi Abiotic sebesar 73,8%
diantaranya 51% merupakan pecahan karang. Karang hidup di Pulau Cemara
Besar terdiri dari genus Acropora yakni Acropora Branching sebesar 0,8% dan
0,80%
20,40%
3%
2%
73,80%
Acropora
Non Acropora
Dead Coral
Other Fauna
Abiotic
50
pada genus Non-Acropora terdiri dari Coral Branching 1,6%, Coral Foliose
11,6%, dan Coral Massive 7,2% (Data terlampir pada Lampiran 7).
Karena merupakan salah satu bagian dari zona pemanfaatan wisata bahari
menjadikan Pulau Cemara Besar menjadi tujuan dari wisata bahari seperti
snorkeling dan diving sehingga pecahan karang (RB) yang terdapat pada Pulau
Cemara Besar termasuk tinggi yakni sebesar 51% yang diklasifikasikan ke
golongan Abiotic.
4.2.1.3 Pulau Menjangan Kecil
Hasil penelitian metode LIT pada Pulau Menjangan Kecil yang diambil
sepanjang 50 m dengan koordinat 110o24'29" BT dan 5
o53'10" LS, menyatakan
bahwa persen tutupan karang hidup sebesar 73,8%, sedangkan persentase tutupan
karang mati sebesar 15,2%. Persentase karang hidup tersebut terdiri dari 7,4%
genus Acropora dan 66,4% Non-Acropora (Gambar 16).
Gambar 16. Distribusi Tutupan Karang di Pulau Menjangan Kecil
Gomez & Yap (1988) menyatakan bahwa jika kondisi terumbu karang
berdasarkan tingkat persen penutupan karang keras hidup antara 50-70,49% maka
dapat dikatagorikan bahwa perairan tersebut baik. Terlihat pada gambar 16,
persentase karang hidup terdiri dari 7,4% genus Acropora dan 66,4% genus Non-
Acropora. Stasiun 3 menjadi yang terbaik diantara ketiga stasiun pengamatan
karana hampir ¾ nya merupakan tutupan karang hidup. Pada genus Acropora
terdiri dari 1,6% Acropora Branching, 3,2% Acropora Digitate, dan 2,6%
7,40%
66,40%
15,20%
11%
Acropora
Non Acropora
Dead Coral
Abiotic
51
Acropora Submassive. Sedangkan pada genus Non-Acropora terdiri dari 2,2%
Coral Digitate, 2,5% Coral Mushroom, dan yang paling mendominasi yakni
61,7% Coral Foliose (Data terlampir pada Lampiran 7). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Biondi (2014), kondisi tutupan karang keras hidup (HCL) pada
Pulau Menjangan Kecil memiliki nilai presentase kisaran 40 – 20% dan untuk
tutupan karang lunak (SC) berkisar 10 hingga 5%.
Karang mati (HCD) dan pecahan karang (RB) yang melimpah diduga akibat
dari ramainya kegiatan wisata bawah laut di area perairan, dilihat dari banyaknya
patahan/pecahan terumbu karang yang masih baru, goresan-goresan yang terdapat
pada terumbu karang hidup akibat gesekan dari fins dan juga patahan – patahan
terumbu karang dalam jumlah besar yang diduga dari peletakan jangkar kapal
yang tidak sesuai dengan prosedur. Adapun pernyataan Barker dan Roberts (2003)
serta Davis dan Tisdell (1995) sebaiknya aktifitas penyelaman (diving) yang
dilakukan di ekosistem terumbu karang dilakukan pada kedalaman lebih dari 5 m
supaya menghindari kontak secara langsung antara penyelam dengan karang.
Secara umum setiap penyelam yang melakukan penyelaman sering menggunakan
kamera atau video untuk mengambil gambar karang dan biota laut yang menarik
sehingga dapat merusak karang jika pengambilan gambar tersebut tidak dilakukan
dengan cara yang benar atau ramah lingkungan. Ini bisa menjadi salah satu
penyebab para penyelam tidak mengikuti prosedur yang sesuai sehingga merusak
komunitas karang yang masih hidup.
Aktivitas wisata bahari (snorkeling dan selam) berimplikasi terhadap
penurunan persentase life hard coral cover (Schleyer dan Tomalin 2000).
Wisatawan yang melakukan kontak langsung dengan karang dan organisme
terumbu dapat mengikis lapisan pelindung jaringan yang menutupi organisme
tersebut (Barker dan Robert 2000), sehingga meningkatkan probabilitas kerusakan
karang. Kegagalan dalam menerapkan batasan jumlah wisatawan dalam wisata
terumbu karang juga dapat berdampak negatif terhadap kondisi ekologi (Hasler
dan Ott 2008).
52
4.2.2 Sebaran Spasial Tutupan Karang
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dari perkiraan luasan terumbu
karang pada 4 tahun terakhir melalui citra satelit dan survei lapangan, maka dapat
diketahui jumlah luasan terumbu karang semakin menurun setiap tahun. Dengan
bantuan citra satelit, maka perkembangan luasan terumbu karang hidup di perairan
tersebut dapat dipantau. Analisis perubahan luasan zona terumbu karang
diperlukan untuk mengetahui seberapa besar degradasi terumbu karang yang
terjadi. Dalam waktu 4 tahun dapat diketahui pengurangan luas terumbu karang
yang terjadi.
Gambar 17 . Citra Satelit Kondisi Terumbu Karang yang Terjadi
pada Tahun 2016 – 2019
(a) 2016; (b) 2017; (c) 2018; (d) 2019
Dilihat dari gambar 17 (kiri atas ke kanan bawah) terlihat bahwa warna merah
menampakan semakin luas. Warna merah merupakan terumbu karang mati
sedangkan warna hijau merupakan warna terumbu karang yang masih hidup.
Warna oren melambangkan pasir yang merupakan di beberapa bagian
b
d c
a
53
Karimunjawa terdiri dari substrat karena tutupan karang hidup memiliki luas
wilayah yang lebih sedikit dari pada luas zonasi terumbu karang mati.
Berdasarkan hasil perhitungan maka nilai perhitungan koefisien antenuasi
perairan diperoleh nilai (ki/kj) yaitu sebesar 0,3033 pada tahun 2019 dan 0 pada
tahun 2016-2018. Dengan demikian persamaan alogaritma yang digunakan untuk
mengekstrak substrat dasar perairan menjadi Y = ln Band 3 + ki/kj * ln Band 2.
Dari citra hasil transformasi alogaritma kemudian menggunakan palet warna
rainbow maka secara visual dapat dibedakan dengan jelas terumbu karang mati
(merah), karang hidup berwarna biru muda, hijau/cyan berwarna hijau merupakan
pasir campur patahan karang mati dengan gradasi warna kuning kehijau-hijauan
(Sulma dan Winarso, 2003).
Analisis berdasarkan nilai logaritma lyzenga diketahui luas tutupan karang
mati dan hidup dalam 4 tahun terakhir yang ditampilkan pada Tabel 14
menunjukan meningkatnya luasan karang mati dan begitupula kebalikannya pada
tutupan karang hidup yang mengalami penurunan
Tabel 14. Luasan karang di Kepulauan Karimunjawa dalam 4 tahun terakhir
No Kelas Luasan (m
2)
2016 2017 2018 2019
1 Terumbu Karang
Hidup 8.451.105 7.669.132 7.062.144 6.752.802
2 Terumbu Karang Mati 7.615.980 7.799.324 8.142.073 8.831.927
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dari perkiraan luasan terumbu karang
pada tahun-tahun sebelumnya melalui citra satelit dan survei lapangan, maka
dapat diketahui jumlah luasan terumbu karang semakin menurun setiap tahun.
Menurunnya luasan karang di Kepulauan Karimunjawa menunjukan bahwa
aktivitas wisatawan dan faktor lainnya memberikan dampak buruk terhadap
keberlangsungan hewan karang. Bentuk aktivitas wisata ini seperti terlihatnya
bentuk patahnya karang di beberapa bagian, hancurnya satu spesies berkeping-
keping akibat penurunan jangkar yang tidak sesuai prosedur. Melalui analisis
spasial hanya memberikan gambaran luasan yang tidak sespesifik sehingga karang
mati yang tergolong Dead Coral tergolong yang sudah sekarat ataupun sudah mati
tidak terdeteksi. Perbedaan sekarat ditandai dengan memutihnya terumbu
54
dikarenakan sudah tidak dihuni oleh biota Zooxanthaelle. Memutihnya terumbu
dikarenakan faktor alam yakni meningkatnya suhu permukaan laut, berbeda
dengan terumbu karang yang sudah mati bisa dikarenakan oleh faktor manusia
ataupun faktor alam. Angka ini sungguh mengkhawatirkan melihat bahwa
kehidupan utama biota laut berada di ekosistem terumbu karang. Jika luasan
karang hidup kian tahun kian berkurang akan mengganggu keberlangsungan
ekosistem bawah laut.
Tidak meratanya nilai tutupan karang hidup dan mati dalam waktu 4 tahun
dikarenakan melebarnya luasan tutupan karang mati yang menutupi substrat pasir
sehingga terlihat lebih banyak peningkatan luasan tutupan mati dari tahun ke
tahun. Semakin buruk kondisi terumbu karang di suatu perairan, maka
keanekaragaman sumber daya hayati laut pun akan semakin menurun. Kegiatan
pariwisata yang tidak terkendali menjadi salah satu faktor yang merusak terumbu
karang. Kerusakan terumbu karang diduga akan terus berlangsung dan semakin
berat jika tidak ada upaya perbaikan secara integratif dari berbagai sektor terkait.
Dalam kaitan ini, diperlukan perencanaan yang terkoordinasi untuk
menyelamatkan kelestarian lingkungan, khususnya terumbu karang di daerah ini.
Menurut Biondi (2014), data statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa
tahun 2013 menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah kunjungan tiap
tahunnya, tahun 2005 jumlah kunjungan mencapai 9.180 orang, tahun 2006
jumlah kunjungan mencapai 4.368 orang, tahun 2007 jumlah kunjungan mencapai
2.441 orang, tahun 2008 jumlah kunjungan mencapai 4.005 orang, tahun 2009
jumlah kunjungan mencapai 9.280 orang, tahun 2010 jumlah kunjungan mencapai
12.559 orang, tahun 2011 jumlah kunjungan mencapai 16.722 orang, tahun 2012
jumlah kunjungan mencapai 25.157 orang. Pada tahun 2013 jumlah kunjungan
mencapai 15.160 orang. Berdasarkan tujuan kunjungan tedapat 1.031 orang
kunjungan untuk pendidikan dan penelitian, 14.007 orang untuk tujuan rekreasi
dan 122 orang untuk tujuan lain-lain. Puncaknya terjadi pada tahun 2012.
Berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh BTNKJ, dapat disimpulkan
bahwa sebagian besar dari pengunjung yang datang ke Taman Nasional
Karimunjawa bertujuan untuk rekreasi. Berdasarkan wawancara dengan pemandu
55
wisata setempat, didapatkan bahwa sebagian besar wisatawan yang berkunjung ke
Taman Nasioanal Karimunjawa melakukan kegiatan wisata snorkeling.
Peningkatan jumlah kunjungan wisata di Taman Nasional Karimunjawa tersebut
diduga mengakibatkan penurunan tutupan terumbu karang, kondisi ini didukung
berdasarkan data statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa yang menjelaskan
adanya penurunan tutupan terumbu karang pada zona pemanfaatan wisata bahari
terutama pada Pulau Cilik, Pulau Tengah, Pulau Sintok dan Pulau Menjangan
Kecil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tulungen et. al. (2002), bahwa
peningkatan kegiatan manusia sepanjang garis pantai dapat membuat kondisi
terumbu karang rusak.
4.3 Analisis Kesesuaian Kawasan Wisata Bahari
Kesesuaian lahan dilakukan untuk melakukan evaluasi lahan. Evaluasi lahan
merupakan suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan
menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil dari evaluasi
lahan inilah yang nantinya akan digunakan sebagai informasi baru atau arahan
penggunaan lahan sesuai keperluan (Ritung et al. 2007).
Suatu kawasan wisata tidak serta merta tersedia secara begitu saja,
diperlukan kajian mengenai kondisi yang nantinya akan berpengaruh pada
kegiatan wisata. Menurut Ketjulan (2010), analisis kesesuaian didasarkan pada
potensi sumber daya yang ada dan parameter kesesuaian untuk setiap kegiatan
wisata. Kesesuaian wisata bahari, sebagai ketetapan atau kecocokan penggunaan
umberdaya kelautan terhadap suatu kegiatan dikarenakan setiap kegiatan wisata
sesuai dengan objek wisata yang akan dikembangkan.
4.3.1 Indeks Kesesuaian Wisata
Indeks Kesesuaian Wisata (IKW) ketiga stasiun didapatkan dari 5 parameter
yang diamati yakni kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jumlah jenis
life-form, kedalaman terumbu karang, dan kecepatan arus. Adapun matriks
kesesuaian wisata terlampir (Lampiran 9). Dari ketiga stasiun yang ditampilkan
(Tabel 15) dengan nilai N(bobot x skor) maksimal sebesar 45 pada setiap stasiun,
56
nilai IKW yang sesuai hanya di Pulau Menjangan Kecil yakni sebesar 60% dan
tergolong S2 (Sesuai). Pada Pulau Sintok dengan IKW sebesar 48,89% dan Pulau
Cemara Besar dengan IKW sebesar 37,78%, kedua stasiun tergolong kelas S3
(Tidak Sesuai) berdasarkan Lumbantoruan (2017).
Tabel 15. Nilai IKW pada Masing-Masing Stasiun
No Parameter Pulau Sintok
Pulau
Cemara Besar
Pulau
Menjangan Kecil
N IKW (%) N IKW (%) N IKW (%)
1 Kecerahan
perairan (m) 0
48,8889
5
37,7778
5
60
2 Tutupan
komunitas
karang (%) 10 0 10
3 Jumlah jenis
lifeform karang 6 6 6
4 Kedalaman
terumbu
karang (m) 3 3 3
5 Kecepatan Arus
(cm/detik) 3 3 3
Berdasarkan tabel 15, didapatkan nilai parameter (N) yang sama pada ketiga
stasiun yakni diberi skor 3 untuk kedalaman terumbu karang dan kecepatan arus,
pada kecerahan perairan pada Pulau Cemara Besar dan Menjangan Kecil diberi
skor 5 sedangkan pada Pulau Sintok diberi skor 0. Pada jenis tutupan komunitas
karang yang dilampirkan pada lampiran 7, pada Pulau Sintok dan Pulau
Menjangan Kecil yang tergolong baik diberi skor 10 sedangkan pada Pulau
Cemaran Besar yang tergolong rusak diberi skor 0. Pada jumlah jenis lifeform
(Lampiran 8) diberi skor 6 yang didapatkan dari jumlah jenis lifeform yang
diambil dari data pada setiap stasiun. Jika ditotalkan nilai parameter (N) pada
Pulau Sintok, Cemara Besar, dan Menjangan Kecil masing-masing adalah 22, 17,
dan 27 (Lampiran 9). Pulau Menjangan Kecil menjadi stasiun yang sesuai dalam
pemanfaatan wisata.
Kondisi kesesuaian jumlah jenis lifeform dipengaruhi oleh tutupan
komunitas karang. Semakin tinggi jumlah jenis lifeform dan tutupan komunitas
karang akan mempengaruhi ketertarikan wisatawan. Selain itu, tutupan karang
yang sehat mampu mendukung kegiatan wisata bahari dengan baik. Kurang
57
sehatnya tutupan karang mempengaruhi terhadap indeks kesesuaian wisata. Hal
ini terlihat pada bobot stasiun 2 yang hanya diberi skor 0 karena tutupan
karangnya tergolong rusak. Berbeda dengan Pulau Sintok dan Cemara Besar yang
memiliki skor 10 sekaligus menjadi penyumbang bobot terbesar pada total skor.
Namun kondisi karang sehat yang ditunjukkan pada Pulau Sintok juga tidak
begitu mendukung kegiatan wisata bahari. Sehingga syarat yang dibutuhkan Pulau
Sintok dan Cemara Besar untuk menjadi lokasi yang sesuai untuk kawasan wisata
bahari adalah meningkatkan kesehatan terumbu karang dengan tutupan di atas
75%. Usaha peningkatan kesehatan dapat dilakukan dengan melakukan
merehabilitasi karang.
Parameter fisik penentu kesesuaian ekowisata pantai menurut Daby (2003)
terkait dengan keruhnya air dan keberadaan biota berbahaya di atas dan di dalam
sedimen pada musim tertentu yang menunjukkan kualitas lingkungan di sekitar
pantai yang buruk dan dapat mengancam keselamatan para wisatawan. Suatu
kedalaman perairan sangatlah penting untuk melakukan kegiatan wisata, hal ini
dikarenakan untuk menjaga keselamatan dan keamanan pengunjung dalam
berwisata. Kedalaman pada stasiun penelitian berkisar antara ±10 meter. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Ghufran (2010) bahwa kedalaman
mempengaruhi faktor lingkungan, seperti penetrasi cahaya, pergerakan air, suhu,
dan salinitas. Kebanyakan terumbu karang tumbuh pada kedalaman 25 meter atau
kurang. Suatu kedalaman perairan sangatlah penting untuk melakukan kegiatan
wisata, hal ini dikarenakan untuk menjaga keselamatan dan keamanan pengunjung
dalam berwisata. Hal ini diperkuat oleh Yulisa et al. (2016) bahwa kedalaman
merupakan aspek yang cukup penting dalam penentu suatu kawasan untuk
kegiatan wisata karena sangat berpengaruh terhadap keselamatan pada saat
berenang maupun rekreasi
Pada ketiga stasiun memiliki kecepatan arus yang rendah sehingga nilai
parameter pada ketiga stasiun didapatkan 3. Menurut Yulisa et al. (2016) bahwa
kecepatan arus berkaitan dengan kenyamanan pengunjung yang datang ke objek
wisata, jika arus kencang maka penggunjung diharapkan tidak melakukan
aktivitas ekowisata karena berbahaya bagi pengunjung yang datang, jika
58
kecepatan arus relatif tenang maka akan memberikan kesan kenyamanan bagi
pengunjung yang ingin melakukan kegiatan wisata.
Berbeda pada salah satu studi kasus yang diamati oleh Puspita (2018), pada
ketiga stasiun di Tangjung Gelam Taman Nasional Karimunjawa memiliki nilai
indeks kesesuaian wisata yang sangat sesuai (S1) dengan kisaran 95-100% pada
ketiga stasiun yang diamati. Dengan nilai indeks kesesuaian wisata yang didapat
nilai daya dukung kawasan sebanyak 17 orang/hari untuk kategori snorkeling
akan tetapi parameter pengamatan hanya mengamatai kedalaman, kemiringan
pantai, kecerahan, dan kecepatan arus.
4.3.2 Daya Dukung Kawasan (DDK)
Konsep daya dukung wisata di ekosistem terumbu karang, belum mampu
menghasilkan sebuah nilai numerik yang menentukan jumlah wisatawan dan
penyelam, tetapi dinilai melalui kriteria yang dapat mempengaruhi kapasitas dan
menyebabkan penurunan dalam kapasitas tersebut. Daya dukung merupakan
variabel penting yang perlu mendapat perhatian khusus dalam upaya pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan sesuai ukuran kemampuannya agar tetap lestari
dan berkelanjutan.
Perhitungan daya dukung kawasan dilakukan dengan menghitung setiap
lokasi wisata yang dianggap sesuai dan sangat sesuai dengan asumsi wisatawan.
Perhitungan wisata bahari berdasarkan luas kawasan yang sesuai dan sangat
sesuai. Daya dukung juga merupakan faktor pembatas yang dapat membatasi
berbagai aktifitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan
kemampuannya agar tidak terjadi kemerosotan (Indarjo 2012). Analisis daya
dukung kawasan menjadi pertimbangan dalam suatu kegiatan wisata, hal ini agar
keberlanjutan kegiatan wisata di Kepulauan Karimunjawa tetap terjaga. Melalui
perhitungan Daya Dukung Kawasan (DDK) pada Tabel 16.
Tabel 16. Nilai DDK pada stasiun yang sesuai dan sangat sesuai
Lokasi Area (Ha) DDK (orang)
Pulau Menjangan Besar 7,632 18
59
Daya Dukung Kawasan (DDK) untuk kegiatan bahari yang sesuai dari
ketiga stasiun hanya berada pada Pulau Menjangan Kecil. Dengan luas lahan
sebesar 76.320 m2 yang disediakan oleh Taman Nasional, dapat menampung 18
orang. Pengaruh besar kecilnya dipengaruhi oleh ketersediaan wilayah setiap
pulaunya. Kesesuaian lahan dapat didefinisikan sebagai suatu tingkat kecocokan
suatu lahan untuk kepentingan tertentu. Analisis kesesuaian lahan salah satunya
dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kawasan bagi pengembangan wisata. Hal
ini didasarkan pada kemampuan wilayah untuk mendukung kegiatan yang dapat
dilakukan pada kawasan tersebut (Ramadhan et al. 2014). Dengan adanya
informasi jumlah tutupan karang yang ada, Indeks Kesesuaian Wilayah (IKW),
dan Daya Dukung Kawasan (DDK) dalam mendukung dilakukannya segmentasi
zonasi.
Jumlah wisatawan dapat dibatasi pada area tertentu untuk mengurangi
dampak kerusakan. Pembatasan wilayah sensitif dan tidak sensitif dengan evaluasi
keanekaragaman, kerapuhan, reversibel, dan kealamian dapat mengantisipasi
dampak negatif suatu aktivitas wisata (Ammar et al. 2011) atau dikenal sebagai
metode zonasi berdasarkan kualitas lingkungan (Zhong et al. 2011). Selain itu,
pendekatan pengunjung dengan adanya pendidikan bertemakan konservasi dapat
dijadikan sebagai salah satu pemasaran kegiatan wisata dan pengalaman berbasis
alam yang potensial (Ballantyne et al. 2009). Nilai daya dukung kedua kawasan
ini harus digunakan sebagai dasar keputusan untuk menentukan arah
pengembangan wisata di kawasan tersebut. Daya dukung wisata juga
mencerminkan tingkat atau jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung
oleh sarana prasarana objek wisata alam. Jika daya tampung sarana dan prasarana
tersebut dilampaui, akan muncul sejumlah dampak negatif berupa kemerosotan
sumber daya, tidak terpenuhinya kepuasan pengunjung, merugikan masyarakat
secara ekonomi dan budaya (Simon et al. 2004).
Selain itu, Budihardjo et al. (2013) menjelaskan bahwa apabila populasi
manusia telah melebihi daya dukung suatu habitat, maka sumber daya yang
dibutuhkan untuk dapat bertahan hidup akan habis, limbah terakumulasi, dan
meracuni spesies lain, kemudian populasi akan mengalami kepunahan. Kondisi
60
tersebut akan memberikan dampak negatif baik langsung maupun tidak langsung.
Dampak langsung wisata bahari dan pantai seperti adanya pencemaran, penurunan
kualitas sumber daya, gangguan atau hilangnya habitat, terancamnya satwa liar
(Gladstone et al. 2013), dan sedimentasi karang (Hasler dan Ott 2008).
4.4 Estimasi Nilai Visual Ekosistem Terumbu Karang
Penilaian kulitas visual seascape terumbu karang dilakukan dengan
melibatkan penyelam yang sudah memiliki sertifikat selam minimal A1/Open
Water sebagai responden. Total jumlah responden yang dipilih sebanyak 20 orang
5% merupakan responden dengan sertifikat level Basic, 55% level Open Water,
dan 40% level Advance.
Foto vegetasi seascape ditampilkan pada responden dalam bentuk kuisioner
online dari komputer atau laptop dengan menggunakan software google drive.
Setiap foto ditampilkan kepada responden secara poin dan kemudian diberikan
sebanyak 10 opsi jawaban mulai dari angka 1 hingga 10. Hasil analisis dengan
menggunakan rumus SBE pada masing-masing seascape dari setiap stasiun
penelitian dapat dilihat pada Lampiran 10. Penyusunan nilai SBE dimaksud,
ditampilkan dalam bentuk diagram yang tersaji pada Tabel 17 dan Gambar 18.
Tabel 17. Data Nilai SBE Setiap Seascape
Stasiun Seascape SBE
Pulau Sintok 1 0
2 -17,9
Pulau Cemara Besar 3 -22,9
4 20,1
Pulau Menjangan Kecil 5 -37,4
6 -9,9
Berdasarkan Tabel 17 terlihat menunjukan nilai SBE pada setiap
seascapenya. Seascape 1 dan 2 merupakan pengambilan foto hamparan karang di
Pulau Sintok. Seascape 3 dan 4 merupakan pengambilan foto hamparan karang di
Pulau Cemara Besar, dan Seascape 5 dan 6 merupakan pengambilan foto
hamparan karang di Pulau Menjangan Kecil. Nilai SBE yang tertinggi ada pada
61
foto keempat yang berasal dari Pulau Cemara Besar, sedangkan nilai SBE
terendah ada pada foto kelima yakni berasal dari Pulau Menjangan Kecil.
Pengambilan titik pengamatan didasarkan pada keragaman vegetasi terumbu
karang hidup yang paling bagus dari hamparan yang dianalisa, ini menunjukan
bahwa Indeks Kesesuaian Lahan (IKW) yakni tutupan lifeform berpengaruh
terhadap daya tarik terhadap wisatawan khususnya kepada responden penyelam
yang sudah memiliki sertifikat. Ini bisa didukung oleh minimnya keanekaragaman
jenis tutupan karang yang dirasa memberikan efek bosan terhadap wisatawan dan
juga keanekaragaman jenis ikan karang itu sendiri. Jika dibandingkan pada
kondisi tutupan karang yang diamati, Pulau Cemara Besar memiliki tutupan
karang yang tergolong rusak memiliki nilai SBE tertinggi begitu sebaliknya pada
Pulau Menjangan Kecil yang paling baik diantara ketiga stasiun ini memiliki nilai
SBE terendah. Ini menunjukan tidak semua titik pada Pulau tersebut menunjukan
kondisi terumbu karang sebagaimana yang sudah diamati. Pada Pulau Cemara
Besar memiliki tutupan karang yang paling rendah dan kesesuaian wilayah yang
paling rendah diantara ketiga stasiun, namun masih menyajikan jenis terumbu
karang yang masih diminati wisatawan khususnya para penyelam. Begitu pada
Pulau Menjangan Kecil yang memiliki nilai SBE paling rendah tetapi memiliki
kesesuaian wilayah dan keanekaragaman tutupan karang yang lebih baik dan
tinggi diantara ketiga stasiun kurang diminati seascapenya oleh responden.
Adapun grafik nilai SBE pada ketiga stasiun ditampilkan pada Gambar 18.
Gambar 18. Nilai SBE Seascape
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
1 2 3 4 5 6
Nil
ai
SB
E
Seascape
62
Gambar 18 menunjukan bahwa Seascape 4 yang memiliki nilai positif, ini
dikarenakan adanya pengaruh responden yang terbilang sedikit dan nilai z-score
yang dipengaruhi oleh nilai cp. Nilai z-score yang didominansi oleh bilangan
positif memberi hasil total keseluruhan menjadi bilangan positif dan memberikan
hasil dalam perhitungan rumus SBE yakni negatif (Lampiran 10). Maka dari itu 4
dari 6 seascape terbilang negatif. Sedangkan pada seascape memiliki hasil 0
dikarenakan nilai z rata-rata dijadikan standar pengurang z rata rata skor lainnya.
Meski begitu dalam pengelompokan kelas yang terbagi menjadi 3 kategori tidak
memberikan dampak pada ketidaksesuaian seascape. Didapatkan nilai interval
kelas sebesar 19,7 (Lampiran 10), berikut pembagian kategori dengan nilai SBE
yang ada (Tabel 18).
Tabel 18. Klasifikasi Pengelompokan Kelas SBE
Kategori Nilai SBE
Rendah (-37,4) - (-18,23)
Sedang (-18,22) - 0,94
Tinggi 0,95 - 20,12
Berdasarkan tabel 18, seascape 5 dan 3 berada pada kategori rendah,
seascape 1, 2, dan 6 berada pada kategori sedang, dan seascape 4 berada pada
kategori tinggi. Hal ini menunjukan bahwa responden cenderung lebih tertarik
pada kondisi yang baik dan tutupan karang yang padat. Hasil SBE ini menjadikan
bahwa meskipun stasiun 2 memiliki tutupan karang yang rusak dan IKW yang
tidak sesuai (S3) masih ada kondisi terumbu karang yang bagus dan menawarkan
hamparan karang yang indah dan sehat.
4.5 Rencana Zonasi Pengembangan Segmentasi Ekowisata Bahari
Rencana zonasi pengembangan segmentasi diperlukan guna meminimalisir
kerusakan ekosistem terumbu karang yang terjadi melalui pendekatan-pendekatan
masyarakat dan ekologi. Hal ini akan memberikan kriteria-kriteria tertentu dalam
melakukan ekowisata bahari khususnya di Kepulauan Karimunjawa yang menjadi
salah satu destinasi favorit wisatawan namun bisa berlangsung dengan baik dan
berkelanjutan.
63
4.5.1 Analisis Parameter Kawasan
Berdasarkan analisis parameter yang telah dilakukan, melalui rekapitulasi
tabel (Tabel 19) akan menunjukan melalui pendekatan ekologi akan memberikan
dampak dalam menganalisis segmentasi wisata khususnnya di Kepulauan
Karimunjawa yang terdiri dari beberapa pulau kecil. Parameter kawasan yang
telah dianalisis diantaranya tutupan karang, Indeks Kesesuaian Wisata (IKW),
Daya Dukung Kawasan (DDK), dan melalui pendekatan social yakni Scenic
Beauty Estimation (SBE).
Tabel 19. Rekapitulasi Parameter Setiap Stasiun
Lokasi Riset
Tutupan
Karang
(%)
IKW
(%)
DDK
(orang/hari) SBE
Pulau Sintok 50,82
(baik)
48,8889
(S3) - Sedang
110O31'21" BT; 5
O50'06" LS
Pulau Cemara Besar 21,2
(rusak)
37,7778
(S3) - Rendah-Tinggi
110O22'05" BT; 5
O48'34" LS
Pulau Menjangan Kecil 73,8
(baik)
60
(S2) 18 Rendah-Sedang
110O24'29" BT; 5
O53'10" LS
Berdasarkan hasil analisis di atas, melalui pendekatan ekologi yakni tutupan
karang, indeks kesesuaian wisata, dan daya dukung kawasan menunjukan bahwa
Pulau Menjangan Kecil yang memiliki nilai lebih tinggi diantara dua stasiun
lainnya karena tutupan karang yang tergolong baik dan IKW yang sesuai
sedangkan Pulau Cemara Besar memiliki nilai yang paling rendah dengan nilai
tutupan karang yang tergolong rusak dan IKW yang tidak sesuai.
Berbeda hasilnya dengan analisis SBE, melalui pendekatan sosial kepada 20
responden dengan kriteria minimal sudah memiliki sertifikat/liscence diving
minimal A1/Open Water menunjukan bahwa di pulau Cemara Besar yang
memiliki seascape dengan nilai SBE tertinggi atau dengan kata lain paling
diminati oleh para penyelam. Berbanding terbalik dengan pulau Menjangan Kecil
dengan nilai SBE terendah atau kurang disukai oleh penyelam. Ini menunjukan
bahwa meskipun memiliki tutupan karang yang terendah tetapi masih ada
hamparan karang yang cukup indah dan bisa dinikmati oleh para wisatawan
karena dengan metode LIT hanya menunjukan tutupan karang pada 1 titik tiap
64
stasiunnya dengan mengandalkan 50 meter saja sehingga masih ada tutupan
karang lainnya yang dapat dinikmati oleh pada wisatawan. Meski demikian,
keberadaan hamparan terumbu karang yang masih utuh perlu dijaga
keberadaannya dengan melakukan upaya rehabilitasi ekosistem terumbu karang.
Dengan dimikian pulau-pulau kecil masih dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
rekreasi dengan memberikan edukasi pentingnya menjaga ekosistem bawah laut.
Adapun pemanfaatan wisata bahari melihat kondisi karang yang rusak bisa
dimanfaatkan untuk wisata snorkeling bagi yang kurang handal dalam renang
serta dalam pengawasan. Begitupun bisa direkomendasikan sebagai tempat
introduksi dive dan uji lapangan selam. Sementara secara spesifik Davis and
Tisdell (1995) menyatakan daya dukung kegiatan wisata selam masih dapat
ditingkatkan tergantung dari pengetahuan penyelam dalam berinteraksi dengan
terumbu karang. Makin tinggi pengetahuan dan pengalaman menyelam seorang
diver semakin rendah tingkat kerusakan terumbu karang dandaya dukung kegiatan
wisata selam juga meningkat. Selain pengetahuan dan pengalaman, daya dukung
wisata juga dapat ditingkatkan dengan pengelolaan yang baik.
Ketiga pulau terlindung dari arus kencang dan gelombang besar, sehingga
relatif aman serta memiliki paparan pasir yang cukup luas, sehingga pengrusakan
terumbu, terutama karena kurangnya penguasaan daya apung dapat dihindari.
Akan tetapi pemanfaatan wisata bahari dalam kategori snorkeling diperlukan
kedalaman yang ideal 6 meter, karena pada kedalaman ini kemungkinan fins
menyentuh terumbu karang sangat minim namun juga wisatawan masih bisa
menikmati keindahan terumbu karang dari jarak dekat.
Zaakai dan Chadwick-Furman (2002) merekomendasikan 5 (lima) upaya
pengelolaan wisata selam dalam meminimalisasi kerusakan terumbu karang; (1)
pembatasan jumlah penyelam per lokasi pertahun, (2) diperlukan guide untuk
seluruh penyelaman, (3) transfer keterampilan bagi penyelam pemula mulai dari
kawasan terumbu karang yang rentan kerusakan sampai kawasan berpasir, (4)
mengalihkan tekanan penyelaman dari kawasan terumbu karang alami ke terumbu
karang buatan, dan (5) pengembangan pendidikan lingkungan bagi penyelam
65
melalui kursus keterampilan mengenai tata cara dan perintah yang dilakukan
bersama selama melakukan kegiatan di bawah air.
4.5.2 Pemetaan Segmentasi Kawasan
Melalui Model Ekowisata Bahari Berbasis Pendidikan Terpadu (EBBPT),
ini membantu dalam mengembangkan pulau-pulau kecil dapat memanfaatkan
sebaik mungkin. Setelah menganalisa melalui 3 pendekatan yakni ekologi, sosial,
dan teknologi dapat disimpulkan perlu adanya segmentasi ekowisata bahari di
Kepulauan Karimunjawa guna meminimalisir kerusakan yang ada. Maka dari itu
dibuatlah peta yang terbagi menjadi 3 kategori yakni Zona Inti dan Rehabilitasi,
Zona Pemanfaatan Wisata, dan Zona Perlindungan (Gambar 19).
Gambar 19. Zonasi Segmentasi Ekowisata di Kepulauan Karimunjawa
Berdasarkan gambar 19, ketiga kategori tersebut memiliki fungi yang
berbeda-beda. Pada zona inti dan rehabilitasi, menurut Sulisyati et.al. (2010) zona
inti didasarkan pada potensi dan keterwakilan ekosistem penting berupa ekosistem
mangrove, habitat berbagai jenis burung yang dilindungi, ekosistem terumbu
karang, vegetasi pantai, pantai peneluran penyu, ekosistem berbagai jenis biota
66
laut yang dilindungi seperti kima dan penyu, tempat atau lokasi yang dianggap
pamali atau terlarang oleh masyarakat. Rancangan lokasi meliputi Perairan Pulau
Burung, Pulau Kumbang, Taka Menyawakan, Gosong Kumbang, Pulau
Menjangan Kecil, Karang Besi, Taka Malang dan Tanjung Bomang. Namun
beberapa pulau bisa dimanfaatkan sebagai pemanfaatan wisata seperti P.
Menjangan Besar, P. Menjangan Kecil, P. Menyawakan, P. Kembar, P. Tengah.
Zona pemanfaatan dipilih karena memiliki potensi dan keterwakilan sumber daya
penting seperti ekosistem terumbu karang, habitat berbagai jenis biota laut. Zona
rehabilitasi untuk pemulihan kawasan yang rusak agar dapat kembali seperti
fungsi semula, yang nantinya dapat diubah menjadi zona lain seperti zona wisata
bahari atau zona lainnya. Sehingga zona inti dan rehabilitasi seharusnya ditutup
dalam melakukan wisata bahari.
Berbeda dalam zona pemanfaatan, dalam zona ini masih bisa dilakukan
wisata bahari akan tetapi kebijakan wisatawan dan informasi seputar kawasan
diperlukan agar menjaga kelestarian bawah laut seperti pemasangan papan
informasi kawasan renang, menggunakan pelampung jika kurang ahli dalam
berenang, tidak menyentuh karang, dsb. Ini dikarenakan untuk mengurangi
kerusakan karang yang menjadi lebih parah karena aktifitas manusia. Selain itu
Zona pemanfaatan dipilih karena memiliki potensi dan keterwakilan sumber daya
penting seperti ekosistem terumbu karang, habitat berbagai jenis biota laut. Zona
ini meliputi meliputi P. Menjangan Besar, P. Menjangan Kecil, P. Menyawakan,
P. Kembar, P. Tengah, sebelah Timur P. Kumbang, P. Bengkoang, Indonor dan
Karang Kapal.
Dan pada zona perlindungan memiliki potensi dan keterwakilan sumber
daya penting seperti ekosistem terumbu karang, daerah pemijahan ikan (SPAGs),
habitat berbagai jenis biota laut yang harus dilindungi untuk menjaga keutuhan
dan kelestarian keterwakilan ekosistem asli dan fungsi ekologisnya serta
mendukung zona inti. Selain itu memiliki potensi dan keterwakilan sumber daya
penting seperti ekosistem hutan dataran rendah, ekosistem mangrove, habitat
berbagai jenis burung dan satwa liar yang harus dilindungi untuk menjaga
keutuhan dan kelestarian keterwakilan ekosistem asli dan fungsi ekologisnya.
67
Pulau ini meliputi Perairan P. Geleang, P. Burung, Tanjung Gelam, P. Sintok, P.
Cemara Kecil, P. Katang, Gosong Selikur, Gosong Tengah. Khusus bagian timur
seperti Pulau Cilik, Pulau Tengah dan Pulau Sintok diperlukan larangan wisata
bahari dikarenakan kerusakan terumbu karang yang semakin parah akibat lajur
kapal tongkang yang memberikan dampak besar terhadap degradasi kerusakan
terumbu karang.
68
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi kesesuaian dan daya dukung ekosistem terumbu
karang, luas tutupan karang, Indeks Kesesuaian Wilayah (IKW), Nilai SBE, dan
pencitraan satelit didapatkan kesimpulan bahwa:
Melalui pendekatan ekologi Pulau Menjangan Kecil menjadi stasiun yang
paling sesuai untuk dimanfaatkan dalam pengembangan ekowisata bahari
sedangkan pada Pulau Cemara Besar tidak sesuai. Melalui pendekatan
sosial meski Pulau Cemara Besar tergolong rusak masih tersedia adanya
tutupan karang yang bagus dan diminati oleh wisatawan bahari khususnya
para penyelam. Melalui Model Ekowisata Bahari Berbasis Pendidikan
Terpadu (EBBPT), degradasi tutupan karang hidup berkurang setiap
tahunnya dalam 4 tahun terakhir.
Zonasi terumbu karang untuk ekowisata bahari yakni:
1) Pulau Sintok dengan kategori tutupan karang baik dan nilai IKW tidak
sesuai masuk ke dalam zona perlindungan, zona ini perlu ditutup
sementara untuk melakukan upaya konservasi
2) Pulau Cemara Besar dengan kategori tutupan karang rusak dan nilai
IKW tidak sesuai masuk ke dalam zona pemanfaatan wisata, zona ini
masih bisa dimanfaatkan untuk kegiatan wisata bahari
3) Pulau Menjangan Kecil dengan kategori tutupan karang baik dan nilai
IKW sesuai masuk ke dalam zona pemanfaatan, zona ini bisa
dimanfaatkan untuk kegiatan wisata bahari.
Selain itu diluar stasiun pengamatan masih ada zona inti dan rehabilitiasi yang
dianggap pamali dan tidak boleh dilakukan kegiatan bahari hanya sebagai wilayah
konservasi.
69
5.2 Saran
Dalam mengambangkan wisata di Kawasan Kepulauan Karimunjawa,
sangat disarankan terhadap pemerintah setempat untuk :
1. Penelitian ini dapat dikembangkan dalam menentukan kesesuaian dan
kelayakan sebuah kawasan dalam mengembangkan segmentasi ekowisata
hingga keberlanjutan ekosistem terumbu karang dapat berlangsung lama.
2. Memperhatikan kawasan dengan membuat sebuah informasi tertulis yang
dapat terlihat oleh wisatawan
3. Melakukan kajian pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk wisata bahari
jenis lain, namun tetap menjaga kelestaraian kawasan kepada masyarakat
sekitar.
4. Memanfaatkan citra satelit dalam pengembangan wisatawan. Citra satelit
merupakan teknologi yang dirasa mampu membantu masyarakat bahari
dalam mendalami keberlangsungan hidup terumbu karang
70
DAFTAR PUSTAKA
Akhsanul, N.L., Mussadun. 2014. Dampak Aktivitas Ekowisata di Pulau
Karimunjawa Berdasarkan Persepsi Masyarakat. Jurnal Teknik PWK
Volume 3 Nomor 2.
Ammar M.S.A., M. Hassanein, H.A. Madkour, A.A. AbdElgawad. 2011. Site
Suitability to Tourist Use or Management Programs South Marsa Alam,
Red Sea, Egypt. Nusantara Bioscience. 3(1): 36-43.
Annas, Rifqi. 2009. Pemanfaatan Data Satelit MODIS untuk Menentukan Suhu
Permukaan Laut. Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
Arifin, T. 2008. Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu
Karang Di Selat Lembeh Kota Bitung. [Disertasi]. Bogor : Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Baird, A. H., R. Bhagooli, P. J. Ralph, S. Takahashi. 2009. Coral bleaching:
the role of the host. Trends in Ecology & Evolution, 24(1), 16-20.
Ballantyne R, J. Packer, Hughes. 2009. Tour sts’ Support for Conservation
Messages and Sustainable Management Practices in Wildlife Tourism
Experiences. Tourism Management. 30(5): 658-664
Barker N.H.L, C.M. Roberts. 2004. Scuba Diver Behaviour and The
Management of Diving Impacts on Coral Reefs. Biological Conservation.
120(4): 481-489
Bellwood D.R., A.S. Hoey, J.H. Choat. 2003. Limited functional redundancy in
high diversity systems: resilience and ecosystem function on coral reefs.
Ecology Letters 6:281–285.
Bengen. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Sipnosis. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Biondi, I., Munasik, Koesoemadji. 2014. Kondisi Terumbu Karang Pada Lokasi
Wisata Snokeling di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. Journal of
Marine Research, 182-201p
Brown, B. E. (1997). Coral bleaching: causes and consequences. Coral reefs,
16(1), S129-S138.
BTNKJ [Balai Taman Nasional Karimunjawa]. 2001. Laporan Kegiatan Survey
Potensi dan Penyebaran Terumbu Karang dan Pemasangan Plot
Permanen di Balai Taman Nasional Karimunjawa. BTN Karimunjawa.
BTNKJ. 2012. Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun
2012,Semarang
Budihardjo S., S.P. Hadi, S. Sutikno, P. Purwanto. 2013. The Ecological
Footprint Analysis for Assessing Carrying Capacity of Industrial Zone i
71
Semarang. Journal of Human Resource and Sustainability Studies. 1(2): 14-20.
Burke, L., E. Selig and M. Spalding. 2002. Reef at risk in South East Asia.
www.wri.org/reefatrisk. Dikunjungi tanggal 9 Februari 2019.
Campbell, S.J., T. Kartawijaya, I. Yulianto, R. Prasetia, and J. Clifton. 2013.
Comanagement approaches and incentives improve management
effectiveness in the Karimunjawa National Park, Indonesia. Marine
Policy, 41:7279.
Cesar, H. 1996. Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs. Environmental
Department. World Bank. Washington, D.C. 97pp
Cesar, H.J.S., Burke, L. & L. Pet-Soede. 2003. The economics of worldwide coral
reef degradation. Cesar Environmental Economics Consulting, Arnhem
and WWF Netherlands, Zeist, The Netherlands.
Daby, D. 2003. Effect of seagrass bed removal for tourism purposes in a
Mauritian bay.Environmental Pollution 125: 313-324.
Dahuri. 2000. Kebijakan dan Program Nasional Mengembangkan Potensi Pulau
Pulau Kecil Sebagai Pusat Riset dan Industri yang Berkelanjutan dengan
Berbasis Masyarakat. Jakarta: Makalah Lokakarya Pendekatan
Penataan Ruang dalam Menunjang Pengembangan Wilayah Pesisir, Pantai
dan Pulau-pulau Kecil.
Dahuri,R et al.2001.”Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Peisisir dan Lautan
Secara Terpadu.”Jakarta:PT..Pradnya Paramita
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman hayati laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Gramedia Pustaka, Jakarta.
Daniel, C and Boster, R.S. 1976. Measuring Landscape Aesthetic: The Scenic
Beauty Estimation Method. USDA. New Jersey
Davis, D and C. Tisdell. 1995. Recreational scuba-diving and carrying capacity
in marine protected areas. Ocean and Coastal Management, 26 (1): 19-40.
English, S., C. Wilkinson, dan V. Barker. 1994. Survey Manual for Tropical
Marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsvile.
English, S.C., Wilkinson, dan V Barker. 1997. Survey Manual for Tropical
Marine Resources. Australian Institut of Marine Science. Townsville
Australia.
Fadika U., A. Rifai, B. Rochaddi. 2014. Arah Dan Kecepatan Angin Musiman
Serta Kaitannya Dengan Sebaran Suhu Permukaan Laut Di Selatan
Pangandaran Jawa Barat. Jurnal Oseanografi. Vol 3, Nomor 3, 429 - 437
Ghufron, H. K. M. Kordi. 2010. Ekosistem Terumbu Karang: Potensi, Fungsi dan
Pengelolaan. Rineka Cipta, Jakarta.
Gladstone W, B. Curley, M.R. Shokri. 2013. Environmental Impacts of Tourism
in The Gulf and The Red Sea. Marine Pollution Bulletin. 72(2): 375-388
72
Gomez, E.D., and H.T. Yap. 1988. Monitoring Reef Condition in Kenchington RA
and Hudson BET (eds) Coral Reef Management Handbook. UNESCO
Regional Office for Science and Technology for South East Asia.
Jakarta.
Guilcher, A.1988. Coral Reef Geomorphology. John Wiley & Sons Ltd, New
York.
Hadi, S. 2001. Metodologi Research Jilid III. Yogyakarta: Andi Offset.
Hadi, S. 2004. Metodologi Research Jilid 3. Yogyakarta : Andi.
Harriot, V., D. Davis & S. Banks. 1997. Recreational Diving and Its Impact in
Marine Protected Areas in Eastern Australia. Ambio. 26(3):173-179.
Haruddin. A., P. Edi, B. Sri. 2011. Dampak Kerusakan Ekosistem Terumbu
Karang Terhadap Hasil Penangkapan Ikan Oleh Nelayan Secara
Tradisional Di Pulau Siompu Kabupaten Buton Propinsi
Harvell, C. D., C.E. Mitchell, J.R. Ward, S. Altizer, A.P. Dobson, R.S. Ostfeld,
M.D. Samuel. (2002). Climate warming and disease risks for
terrestrial and marine biota. Science, 296(5576), 2158-2162.
Hasler H., J.A. Ott. 2008. Diving Down The Reefs? Intensive Diving Tourism
Threatens The Reefs of The Northern Red Sea. Marine Pollution Bulletin.
56(10): 1788-1794.
Hawkins, J.P. and C.M. Robert. 1992. Effect of recreational scuba diving on reef
slope communities of coral reef. Biological Conservation, 30(1):25-30.
https://coral.org/coral-reefs-101/coral-reef-ecology/soft-corals/, diakses pada
tanggal 08 Februari 2019 pukul 10.46 WIB
https://kkp.go.id/djprl/artikel/2798-refleksi-2017-dan-outlook-2018-membangun
dan-menjaga-ekosistem-laut-indonesia-bersama-ditjen-pengelolaan-ruang
laut, diakses pada tanggal 10 Maret 2019 pukul 13.49 WIB
Hoegh-G, O. 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the world’s
coral reefs. Marine and freshwater research, 50(8), 839-866.
Hubbard, D.K., A.I. Miller, D. Scaturo. 1990. Production and cycling of calcium
carbonate in a shelf-edge reef system (St. Croix, U.S. Virgin Islands):
applications to the nature of reef systems in the fossil record. Journal of
Sedimentary Petrology 60:335–360.
Hughes, T. P., M.J. Rodrigues, D.R. Bellwood, D. Ceccarelli, O. Hoegh
Guldberg, L. McCook, N. Moltschaniwsky, M.S. Pratchett, R.S. Steneck,
B. Willis. 2007. Phase Shifts, Herbivory, and the Resilience of Coral
Reefs to Climate Change. Current Biology 17(4):360-365.
Irawan, J., B. Sasmito, dan A. Suprayogi. 2017. Pemetaan Sebaran Terumbu
Karang dengan Metode Algoritma Lyzenga Secara Temporal
Menggunakan Citra Landsat 5 7 dan 8 (Studi Kasus: Pulau
Karimunjawa). Jurnal Geodesi Undip.
73
Kartawijaya, T., R. Prasetia. Ripanto, dan Jamaludin. 2011. Pengembangan
Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman Nasional Karimunjawa. Bogor.
22p: Wildlife Conservation Society – Indonesia Program.
Kennedy, M. (2009) Introducing Geographic Information System with
ARCGIS Second Edition. New Jersey: John Willey & Sons Inc.
Ketjulan, R. 2010. Anilisis Kesesuaian dan Daya Dukung Ekowisata Bahari Pulau
Hari Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe selatan Provinsi Sulawesi
Tenggara. Sekolah Pascasrjana Institute Pertanian Bogor, Bogor
Lestari, R.F. 2017. Analisis Pengelolaan Ekowisata Bahari Snorkeling Di Pulau
Karimunjawa Berdasarkan Sistem Informasi Geografis. Skrispi. Fakultas
Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Liew, H.C., Y.S. Chua, and E.H. Chan. 2001. The Impact on coral reefs by leisure
divers in Redang. National Symposium on Marine Park and Island in
Trengganu. 7p.
Lilesand, T.M., R.K. Kriefer. 1997. Penginderaan Jauh dan Intrerpretas citra,
Alih bahasa Dulbahri. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lumbantoruan, L.H. 2017. Kesesuaian dan Daya Dukung Sumberdaya Terumbu
Karang Untuk Pengembangan Wisata Snorkeling dan Diving di Pulau
Beralas Pasir Desa Teluk Bakau. Skripsi.
Lyzenga, R.D. 1978. Shallow Water Bathymetri Using Combined Lidar and
Multispectral. Scanner Data. Int. J. Remote Sensing
Marsuki. I. D, S. Baru, D.P. Ratna. 2013. Kondisi Terumbu Karang dan
Kelimpahan Kima di Perairan Pulau Indo. Jurnal Mina Laut Indonesia,
FPIK UNHALU : Kendari.
McAllister, D.E. 1998. Environmental, Economic and Social Costs of Coral Reef
Destruction in the Philippines. Galaxea Vol. 7, pp. 161-178.
Nontji A, 1987. Laut Nusantara, Penerbit Jambatan, Jakarta
Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J.W. 1986. Marine Biology: An Ecological Approach. United States of
America: Benjamin Cummnings. 592 p.
Nybakken J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis (Terjemahan dari
M. Eidman., Koesoebiono, D.G. Bengen., M. Hutomo dan S. Suharjo).
P.T. Gramedia Jakarta. 459 p.
Nybakken J.W. 1997. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT.
Gramedia.
Odum E.P. 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Palumbi, J.M., B. Pandolfi, Rosen, and R. Roughgarden. 2003. Climate change,
human impacts, and the resilience of coral reefs. Science, 301: 929-933.
74
Puja Y., Sudjiharno, T.W Aditya. 2001. Teknologi Budidaya Rumput Laut
(Kappaphicus alvarezii), Pemilihan Lokasi. Balai Budidaya Laut
Lampung. P 13 – 18.
Purba. Y.S,, B. Roni, E. Mark, R.M. Christovel, L. Erdi, dan P. Thomas. 2013.
Ketahanan Karang Menghadapi Kenaikan Suhu Permukaan Laut Guna
Penentuan Kawasan Konservasi Laut Daerah Di Teluk Cendrawasih.
Jurnal Conservation International Indonesia. Universitas Negeri Papua:
Manokwari
Purwanti, Frida., Sardlyatmo., dan Wibowo, B. Argo. 2001. Evaluasi Potensi
Ekosistem di Wilayah Pesisir Kepulauan Karimun Jawa Jepara.
Documentation. Universitas Diponogoro.
Putra E., J. L. Gaol, V.P. Siregar. 2012. Hubungan Konsentrasi Klorofil-a dan
Suhu Permukaan Laut Dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Utama di
Perairan Laut Jawa dari Citra Satelit MODIS. Jurnal Teknologi Perikanan
dan Kelautan, IPB: Bogor. Vol. 3. No. 2
Ritchie, K. B. 2006. Regulation of microbial populations by coral surface mucus
and mucusassociated bacteria. Marine Ecology Progress Series, 322, 1-14.
Ritung, Sofyan., Wahyunto., F. Agus., dan H. Hidayat. 2007. Evaluasi Kesesuaian
Lahan dengan Contoh Peta Arahan Penggunanaan Lahan Kabupaten
Aceh Barat. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Center.
Bogor.
Rosenberg, E, H.Y. Ben. 2002. Microbial diseases of corals and global
warming. Environmental microbiology, 4(6), 318-326.
Salim, D. 2012. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Akibat Pemutihan
(Bleaching) dan Rusak. Jurnal Kelautan, 5(2), 1907-9931.
Salm, R.V. and S.L. Coles (eds). 2001. Coral Bleaching and Marine Protected
Areas. Proceedings of the Workshop on Mitigating Coral Bleaching
Impact Through MPA Design, Bishop Museum, Honolulu, Hawaii, 29-31
May 2001. Asia Pacific Coastal Marine Program Report # 0102, The
Nature Conservancy, Honolulu, Hawaii, U.S.A: 118 pp.
Sawyer D, 1993. Pengelolaan dan penilaian sumber daya atoll: Studi kasus di
Taka Bonerate Master Thesis. Univerity of Dalhousie. Halifax
NS.Canada
Schleyer M.H., B.J. Tomalin. 2000. Damage on South African Coral Reefs and
An Assesment of Their Sustainable Diving Capacity Using A Fisheries
Approach. Bulletin of Marine Science. 67(3): 1025-1042.
Simon F.J.G, Y. Narangajavana, D.P. Marques. 2004. Carrying Capacity in The
Tourism Industry: A case Study of Hengisbury Head. Tourism
Management. 25(2): 275-283.
75
Suharsono. 2010. Perspektif Biologi dalam Pengelolaan Sumberdaya Hayati Laut
Berkelanjutan. Pidato Ilmiah Disampaikan dalam Rangka Peringatan Dies
Natalis ke-55 Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada
Sulisyati R., Prihatinningsih P., dan Mulyadi. 2010. Revisi Zonasi Taman
Nasional Karimunjawa Sebagai Umpama Kompromi Pengelolaan Sumber
Daya Alam. seminar Nasional Geomatika 2018: Penggunaan dan
Pengembangan Produk Informasi Geospasial Mendukung Daya Saing
Nasional
Sumich, J. L., G.H. Dudley. 1992. Laboratory and field investigations in marine
biology. McGraw-Hill. New York.
Suprayogi, Andri. 2009. Pengantar Perkuliahan Penginderaan Jauh. Diktat Kuliah.
Semarang : Program Studi Teknik Geodesi Universitas Diponegoro.
Supriharyono, 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan.
Jakarta. 118 hal.
Swearer, S., J. E. Caselle, D. W. Lea, and R. R. Warner. 1999. Larval retention
and recruitment in an island population of a coral-reef fish. Nature
402: 799–802.
Sya‟rani, L., A. Suryanto. 2006. Gambaran Umum Kepulauan Karimunjawa.
Unissula Press. Semarang. 148 hlm
Towo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Brilian Internasional.
Surabaya.
Veron, J.E.N., 1986. Corals of Australia and The Indo –Pasifi c. Angus And
Robertson Publisers.
Veron, J.E.N. 1993. Corals of Australia and The Indo-Pacific. Unversity of
Hawaii Press Honolulu.
Veron, J.E.N. 2000. Corals of the World. Australian Institute of Marine Science:
Townsville.
Warpani, P. Suwardjoko, & P. Indira P. 2007. Pariwisata dalam Tata Ruang
Wilayah. Bandung: ITB
Westmacott, S., K. Teleki, S. Wells, dan J. West. 2000. Pengelolaan Terumbu
Karang yang Telah Memutih dan Rusak Kritis. IUCN, Gland, Swiss, dan
Cambridge
Yulianda, F., 2007. Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan
Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Makalah Seminar Sains Pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan
Dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.
Yulisa, E. N., J. Yar., dan D. Hartono. 2016. Analisis Kesesuaian dan Daya
Dukung Ekowisata Pantai Kategori Rekreasi Pantai Laguna Desa Merpas
Kabupaten Kaur. Jurnal Enggano. 1(1): 97-111
76
Yusri, S. 2008. Manfaat Terumbu Karang dan Ancamannya.
www.terangi.co.id akses tanggal 9 Februari 2019.
Zaakai, D., N.E. Chadwick-Furman. 2002. Impacts of intensive recreational
diving on reef corals at Eiliat, Northern Red Sea. J. Biol. Conserv., 105 :
179-187.
Zhong L, J. Deng, Z. Song, P. Ding. 2011. Review: Research on Environmental
Impacts of Tourism in China: Progress and Prospect. Journal of
Environmental Management. 92(11): 2972-2983.
Zhong Y., W. Dong. 1999. Zoological Studies. Cornell University. New York.
LAMPIRAN
78
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kode Pencatatan Data Pada Transek Terumbu Karang pada Life
form
Tutupan Bentuk Karang Penjelasan
Acropora
ACB
Karang Acropora dengan
bentuk pertumbuhan
branching Example:
Acropora formosa, A.
formosa.
ACT
Karang Acropora dengan
bentuk pertumbuhan
tabulate Example: A.
hyacinthus.
ACE
Karang Acropora dengan
bentuk pertumbuhan
encrusting Example: A.
palifera dan A. Cuneata
ACS
Karang Acropora dengan
bentuk pertumbuhan
submassive Example: A.
palifera.
ACD
Karang Acropora dengan
bentuk pertumbuhan digitate
Example : A. humilis, A.
digitifera, dan A.
gemmifera.
Non Acropora
CB
Karang jenis lain dengan
bentuk pertumbuhan
branching Example:
Seriatopora hystrix.
CM
Karang jenis lain dengan
bentuk pertumbuhan
massive Example: Platydyra
daedalea.
CE
Karang jenis lain dengan
bentuk pertumbuhan
encrusting Example: Porites
vaughani, Montipora
undata.
CS
Karang jenis lain dengan
bentuk pertumbuhan
submassive/digitate
Example: Porites lichen,
Tutupan Bentuk Karang Penjelasan
79
Non Acropora
Psammocora digitata.
CF
Karang jenis lain dengan
bentuk pertumbuhan foliose
Example: Merulina
ampliata, Montipora
aequituberculata
CMR
Karang dalam keluarga
Fungiidae (karang jamur),
kecuali Lithophyllon sp.,
Podabacia sp. Example:
Fungia repanda
CME Millepora sp. (karang api)
CHL Heliopora sp. (karang biru)
Dead Coral DC Karang mati yang baru mati
DCA Karang mati dengan alga
Algae
MA Makro Alga
TA Turf Alga
CA Coralline algae
HA Alga berjenis Halimeda sp.
AA Lebih dari satu jenis alga
Other Fauna
SC Soft Coral
SP Sponge
ZO Zoantid : Platythoa,
Protopalythoa.
OT
Anemon, gorgonians,
hydroid, ascidian, kerang
raksasa,
Abiotic
SD Pasir
RB Pecahan Karang
SI Lumpur
WA Air (Jika celah lebih dari 50
cm)
RCK Batuan
Sumber : English et. al. (1997)
90
Lampiran 2. Matriks Kesesuaian Ekowisata Bahari Kategori Wisata
No Parameter Bobot Standar
Parameter Skor
N (bobot x
skor)
1 Kecerahan
perairan (%) 5
> 80
50 – 80
20 - < 50
< 20
3
2
1
0
2
Tutupan
komunitas
karang %
5
> 75
> 50 – 75
25 – 50
< 25
3
2
1
0
3
Jumlah jenis
lifeform
karang
3
> 12
7 - 12
4 -7
< 4
3
2
1
0
4
Kedalaman
terumbu
karang (m)
1
6 – 15
>15 – 20
>20 – 30
> 20
3
2
1
0
5 Kecepatan
Arus (cm/dtk) 1
0 – 15
>15 – 30
>30 – 50
<50
3
2
1
0
∑ =
∑ 45
IKW =
91
Lampiran 3. Alat Riset
Alat Tulis
Camera Underwater
Refraktometer
Sechie Disk
Roll Meter
Jam Tangan
92
Kapal
Alat Selam
93
Lampiran 4. Pengambilan Data Primer
Pengambilan sampel air Pengukuran salinitas dengan
Refraktometer
Pengukuran kecerahan air dengan
Sechie Disk
Pengukuran suhu air dengan jam tangan
Pemasangan roll meter sepanjang
50 meter
Pengamatan data tutupan karang
94
Pencatatan tutupan karang
Ujung roll meter yang diukur
tutupan karangnya
Pengukuran tutupan karang, data
hamparan yang masih bagus
Pengukuran tutupan karang, data
hamparan yang rusak
95
Lampiran 5. Foto Seascape dari Lokasi Riset
No Visual Hamparan Terumbu
Karang
Nilai Ketertarikan Visual
Skor Responden
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1
2
3
4
96
No Visual Hamparan Terumbu
Karang
Nilai Ketertarikan Visual
Skor Responden
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
5
6
97
Lampiran 6. Data Tutupan Terumbu Karang dengan Acuan Life-Form
a. Stasiun 1 (Pulau Sintok)
Panjang (cm) Jenis Range
(cm)
0 - 9 DCA 9
9 - 33 SD 24
33 - 54 CF 21
54 - 70 DCA 16
70 - 120 CB 50
120 - 170 DCA 50
170 - 220 CF 50
220 - 260 CB 40
260 - 455 DCA 195
455 - 1510 CF 1055
1510 - 2330 DCA 820
2330 - 2365 CM 35
2365 - 2370 DCA 5
2370 - 2670 CF 300
2670 - 3010 SD 340
3010 - 3080 CE 70
3080 - 3090 DCA 10
3090 - 3140 CE 50
3140 - 3550 DCA 410
3550 - 3950 CF 400
3950 - 4110 ACE 160
4110 - 4310 SD 200
4310 - 4410 RCK 100
4410 - 4420 SD 10
4420 - 4460 ACT 40
4460 - 4490 DCA 30
4490 - 4570 MA 80
4570 - 4640 ACT 70
4640 - 4730 RCK 90
4730 - 4760 ACT 30
4760 - 4800 DCA 40
4800 - 4860 ACS 60
4860 - 4890 SD 30
4890 - 5000 ACE 110
98
b. Stasiun 2 (Pulau Cemara Besar)
Panjang (cm) Jenis Range
(cm)
0 - 80 RB 80
80 - 110 DCA 30
110 - 160 OT 50
160 - 230 RB 70
230 - 350 DCA 120
350 - 390 ACB 40
390 - 570 SD 180
570 - 630 CM 60
630 - 1190 SD 560
1190 - 1240 SC 50
1240 - 2730 RB 1490
2730 - 3050 CF 320
3050 - 3080 CB 30
3080 - 3340 CF 260
3340 - 3390 CB 50
3390 - 4300 RB 910
4300 - 4350 CM 50
4350 - 4750 SD 400
4750 - 5000 CM 250
99
c. Stasiun 3 (Pulau Menjangan Kecil)
Panjang (cm) Jenis Range
(cm)
Panjang (cm) Jenis Range
(cm)
0 - 90 RB 90
2560 - 2590 RB 30
90 - 190 ACS 100
2590 - 2610 CMR 20
190 - 320 RB 130
2610 - 2700 RB 90
320 - 350 ACS 30
2700 - 2760 DCA 60
350 - 400 DCA 50
2760 - 3370 CF 610
400 - 490 ACD 90
3370 - 3400 ACB 30
490 - 600 CD 110
3400 - 3430 CF 30
600 - 750 CF 150
3430 - 3460 RCK 30
750 - 770 CMR 20
3460 - 3480 CF 20
770 - 900 RB 130
3480 - 3650 DCA 170
900 - 1250 DCA 350
3650 - 4110 CF 460
1250 - 1870 CF 620
4110 - 4200 DCA 90
1870 - 1885 CMR 15
4200 - 4220 ACB 20
1885 - 1990 CF 105
4220 - 4260 DCA 40
1990 - 2020 CMR 30
4260 - 4290 ACB 30
2020 - 2090 CF 70
4290 - 4340 RCK 50
2090 - 2130 ACD 40
4340 - 5000 CF 660
2130 - 2190 CF 60
2190 - 2220 ACD 30
2220 - 2490 CF 270
2490 - 2530 CMR 40
2530 - 2560 CF 30
100
Lampiran 7. Persentase Tutupan Karang
a. Stasiun 1 (Pulau Sintok)
No Lifeform
Total
Panjang
(cm)
Persentase
(%) Kategori
Total
Persentase
(%)
1 ACE (Acropora Encrusting) 270 5,4
Acropora 9,4 2 ACS (Acropora Submassive) 60 1,2
3 ACT (Acropora Tabulate) 140 2,8
4 CB (Coral Branching) 90 1,8
Non
Acropora 41,42
5 CE (Coral Encrusting) 120 2,4
6 CF (Coral Foliose) 1826 36,52
7 CM (Coral Masive) 35 0,7
8 DCA (Dead Coral Algae) 1585 31,7 Dead Coral 31,7
9 MA (Mikro Algae) 80 1,6 Algae 1,6
10 RCK (Rock) 190 3,8 Abiotic 15,88
11 SD (Sand) 604 12,08
Distribusi Persentase Tutupan Karang Hidup
Acropora
Non-Acropora
∑ (Baik)
101
b. Stasiun 2 (Pulau Cemara Besar)
No Lifeform
Total
Panjang
(cm)
Persentase
(%) Kategori
Total
Persentase
(%)
1 ACB (Acropora Branching) 40 0,8 Acropora 0,8
2 CB (Coral Branching) 80 1,6
Non
Acropora 20,4 3 CF (Coral Foliose) 580 11,6
4 CM (Coral Masive) 360 7,2
5 DCA (Dead Coral Algae) 150 3 Dead Coral 3
6 OT (Other) 50 1 Other Fauna 2
7 SC (Soft Coral) 50 1
8 RB (Rubble) 2550 51 Abiotic 73,8
9 SD (Sand) 1140 22,8
Distribusi Persentase Tutupan Karang Hidup
Acropora
Non-Acropora
∑ (Rusak)
102
c. Stasiun 3 (Pulau Menjangan Kecil)
No Lifeform
Total
Panjang
(cm)
Persentase
(%) Kategori
Total
Persentase
(%)
1 ACB (Acropora Branching) 80 1,6
Acropora 7,4 2 ACD (Acropora Digitate) 160 3,2
3 ACS (Acropora Submassive) 130 2,6
4 CD (Coral Digitate) 110 2,2
Non Acropora 66,4 5 CF (Coral Foliose) 3085 61,7
6 CMR (Coral Mushroom) 125 2,5
7 DCA (Dead Coral Algae) 760 15,2 Dead Coral 15,2
8 RB (Rubble) 470 9,4 Abiotic 11
9 RCK (Rock) 80 1,6
Distribusi Persentase Tutupan Karang Hidup
Acropora
Non-Acropora
∑ (Baik)
103
Lampiran 8. Jenis Life-form
No Stasiun
1 2 3
1 DCA RB RB
2 SD DCA ACS
3 CF OT ACD
4 CB ACB CD
5 CM SD CF
6 CE CM CMR
7 ACE SC DCA
8 RCK CF RCK
9 ACT CB ACB
10 MA
11 ACS
Jumlah 11 9 9
104
Lampiran 9. Matriks Kesesuaian Pemanfaatan Diving
a. Stasiun 1 (Pulau Sintok)
No Parameter Bobot Standar
Parameter Skor N (bobot x skor)
1 Kecerahan perairan 5
> 80 3
0 50 – 80 2
20 - < 50 1
<20 0
2 Tutupan komunitas
karang % 5
> 75 3
10 > 50 – 75 2
25 – 50 1
<25 0
3 Jumlah jenis lifeform
karang 3
> 12 3
6 <7 - 12 2
4 - 7 1
< 4 0
4 Kedalaman terumbu
karang (m) 1
6 – 15 3
3 >15 – 20 2
>20 – 30 1
>30 0
5 Kecepatan Arus
(cm/dtk) 1
0 – 15 3
3 >15 – 30 2
>30 – 50 1
<50 0
∑ = 22
∑
IKW = 48,8889
Indeks Kesesuaian Wisata
∑(
)
%
105
b. Stasiun 2 (Pulau Cemara Besar)
No Parameter Bobot Standar
Parameter Skor N (bobot x skor)
1 Kecerahan perairan 5
> 80 3
5 50 – 80 2
20 - < 50 1
<20 0
2 Tutupan komunitas
karang % 5
> 75 3
0 > 50 – 75 2
25 – 50 1
<25 0
3 Jumlah jenis lifeform
karang 3
> 12 3
6 <7 - 12 2
4 - 7 1
< 4 0
4 Kedalaman terumbu
karang (m) 1
6 – 15 3
3 >15 – 20 2
>20 – 30 1
>30 0
5 Kecepatan Arus
(cm/dtk) 1
0 – 15 3
3 >15 – 30 2
>30 – 50 1
<50 0
∑ = 17
∑
IKW = 37,7778
Indeks Kesesuaian Wisata
∑(
)
%
106
c. Stasiun 3 (Pulau Menjangan Kecil)
No Parameter Bobot Standar
Parameter Skor N (bobot x skor)
1 Kecerahan
perairan 5
> 80 3
5 50 – 80 2
20 - < 50 1
<20 0
2
Tutupan
komunitas karang
%
5
> 75 3
10 > 50 – 75 2
25 – 50 1
<25 0
3 Jumlah jenis
lifeform karang 3
> 12 3
6 <7 - 12 2
4 - 7 1
< 4 0
4
Kedalaman
terumbu karang
(m)
1
6 – 15 3
3 >15 – 20 2
>20 – 30 1
>30 0
5 Kecepatan Arus
(cm/dtk) 1
0 – 15 3
3 >15 – 30 2
>30 – 50 1
<50 0
∑ = 27
∑
IKW = 60
Indeks Kesesuaian Wisata
∑(
)
%
107
Lampiran 10. Tabulasi Data Skor Scenic Beauty Estimation (SBE)
Skor Seascape 1
Skor Seascape 2
f cf cp Z
f cf cp Z
1 0 20 1 0
1 0 20 1 0
2 0 20 1 2,33
2 0 20 1 2,33
3 0 20 1 2,33
3 1 20 1 2,33
4 0 20 1 2,33
4 1 19 0,95 1,65
5 1 20 1 2,33
5 0 18 0,9 1,29
6 5 19 0,95 1,65
6 2 18 0,9 1,29
7 4 14 0,7 0,53
7 5 16 0,8 0,85
8 4 10 0,5 0,01
8 6 11 0,55 0,13
9 3 6 0,3 -0,52
9 2 5 0,25 -0,67
10 3 3 0,15 -1,03
10 3 3 0,15 -1,03
∑ 9,96 ∑ 8,17
0,996 0,817
SBE = (0,996-0,996) x 100 = 0
SBE = (0,817-0,996) x 100 = -17,9
Skor Seascape 3
Skor Seascape 4
f cf cp Z
f cf cp Z
1 0 20 1 0
1 0 20 1 0
2 0 20 1 2,33
2 0 20 1 2,33
3 1 20 1 2,33
3 0 20 1 2,33
4 0 19 0,95 1,65
4 0 20 1 2,33
5 4 19 0,95 1,65
5 0 20 1 2,33
6 0 15 0,75 0,68
6 2 20 1 2,33
7 5 15 0,75 0,68
7 5 18 0,9 1,29
8 3 10 0,5 0,01
8 7 13 0,65 0,39
9 5 7 0,35 -0,38
9 2 6 0,3 -0,52
10 2 2 0,1 -1,28
10 4 4 0,2 -0,84
∑ 7,67 ∑ 11,97
0,767 1,197
SBE = (0,767-0,996) x 100 = -22,9 SBE = (1,197-0,996) x 100 = 20,1
108
Skor Seascape 5
Skor Seascape 6
f cf cp Z
f cf cp Z
1 0 20 1 0
1 0 20 1 0
2 0 20 1 2,33
2 0 20 1 2,33
3 0 20 1 2,33
3 0 20 1 2,33
4 2 20 1 2,33
4 1 20 1 2,33
5 2 18 0,9 1,29
5 2 19 0,95 1,65
6 2 16 0,8 0,85
6 1 17 0,85 1,04
7 8 14 0,7 0,53
7 5 16 0,8 0,85
8 4 6 0,3 -0,52
8 6 11 0,55 0,13
9 1 2 0,1 -1,28
9 2 5 0,25 -0,66
10 1 1 0,05 -1,64
10 3 3 0,15 -1,03
∑ 6,22 ∑ 8,97
0,622 0,897
SBE = (0,622-0,996) x 100 = -37,4 SBE = (0,897-0,996) x 100 = -9,9
Level Jumlah Responden Persentase (%)
Basic 1 5
Open
Water 11 55
Advance 8 40
( )
109
Lampiran 11. Hitungan Daya Dukung Kawasan Sesuai dan Sangat Sesuai
(
) (
)
(
) (
)
18 orang
110
Lampiran 12. Means Summary Logaritma Lyzenga Citra Satelit Landsat 8
Means Summary Rep ort for (nul l)
Cla Band1 Band2 Band3 Band4 Band5 Band6 Band7
--- ----- ----- ----- ----- ----- ----- -----
S1 11.066.385 10.374.385 9.591.538 7.889.923 6.017.692 11.066.385 5.397.538
S2 12.609.322 12.549.847 12.584.390 9.890.492 5.872.271 12.609.322 5.259.220
S3 12.696.000 12.629.103 12.627.862 9.736.121 6.091.483 12.696.000 5.305.207
All 11.368.317 10.272.159 8.451.105 7.615.806 7.255.420 11.368.317 6.076.113
Var1 8,406E+11
Var2 1,637E+12
Covar 7,82E+11
a -3,11E+23
Ki/Kj 0
2016
Means Summary Report for (nul l)
Cla Band1 Band2 Band3 Band4 Band5 Band6 Band7
--- ----- ----- ----- ----- ----- ----- -----
S1 10.985.412 10.304.235 9.480.647 7.819.412 6.269.941 5.667.529 5.401.941
S2 12.280.676 12.085.085 11.713.859 9.230.070 6.389.408 5.723.408 5.495.563
S3 12.092.744 11.881.378 11.480.744 8.916.341 6.298.439 5.639.500 5.424.098
All 10.319.686 9.272.669 7.663.132 6.799.324 6.312.799 5.704.192 5.475.151
Var1 4,899E+11
Var2 9,501E+11
Covar 4,546E+11
a -1,05E+23
Ki/kj 0
2017
111
Means Summary Report for (nul l)
Cla Band1 Band2 Band3 Band4 Band5 Band6 Band7
--- ----- ----- ----- ----- ----- ----- -----
S1 11.481.000 10.881.818 10.039.818 8.251.636 6.300.818 5.652.818 5.425.727
S2 13.081.680 13.047.980 12.900.280 9.983.900 6.162.340 5.568.960 5.385.620
S3 12.511.433 12.372.683 12.121.000 9.389.783 6.214.083 5.609.800 5.402.867
All 10.907.900 9.845.236 8.062.144 7.142.073 6.659.750 6.010.461 5.712.720
Var1 6,5819E+11
Var2 1,2285E+12
Covar 5,9874E+11
a -1,707E+23
Ki/kj 0
2018
Means Summary Report for (null)
Class/Re Band1 Band2 Band3 Band4 Band5 Band6 Band7
-------- ----- ----- ----- ----- ----- ----- -----
S2 12.578.964 12.382.673 12.140.436 9.361.945 5.930.073 5.378.073 5.228.091
S1 12.479.703 12.114.027 11.865.405 9.708.919 7.009.216 6.367.919 5.898.054
S3 12.618.736 12.433.057 12.073.717 9.234.453 6.227.943 5.566.509 5.340.585
All 10.769.445 9.619.957 7.752.802 6.831.927 6.319.958 5.736.033 5.481.891
Var1 5127455532
Var2 2,9415E+10
Covar 8113960116
a -1,4966451
ki/kj 0,30334005
2019
112
Lampiran 13. Hasil Koreksi Citra Satelit melalui software ErMapper
Tutupan Karang Kepulauan
Karimunjawa 2016
Tutupan Karang Kepulauan
Karimunjawa 2017
Tutupan Karang Kepulauan
Karimunjawa 2018
Tutupan Karang Kepulauan
Karimunjawa 2019
113
Lampiran 14. Data Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di Lokasi
Penelitian Berdasarkan Citra Satelit Aqua MODIS
Lokasi Suhu Permukaan Laut (SPL)
Juni'18 Juli'18 Agust'18 Sept'18 Okt'18 Nov'18
Pulau Sintok 29,425 28,765 28,445 28,955 30,11 30,56
Pulau Cemara Besar 29,52 28,84 28,435 28,925 29,975 29,96
Pulau Menjangan
Kecil 29,51 28,835 28,47 28,93 29,94 30,275
Lokasi
Suhu Permukaan Laut (SPL) Des'18 Jan'19 Feb'19 Mar'19 Apr'19 Mei 2019
Pulau Sintok 31,665 30,73 30,585 30,075 31,19 30,105 Pulau Cemara Besar 31,615 29,685 30,36 30,245 31,035 29,965 Pulau Menjangan
Kecil 32,135 30,295 30,52 30,25 31,125 30,005
114
Lampiran 15. Data Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di Kepulauan Karimunjawa Berdasarkan Citra Satelit Aqua MODIS
Mei'18 Juni'18 Juli'18 Agust'18 Sept'18 Okt'18 Nov'18 Des'18 Jan'19 Feb'19 Mar'19 Apr'19 Mei 2019
110,1458 -5,6875 29,95 29,44 28,88 28,43 28,74 29,90 29,92 29,43 29,70 30,15 30,53 30,37 30,06
110,1875 -5,6875 29,96 29,47 28,83 28,40 28,70 29,92 30,19 30,22 30,29 30,66 30,38 30,37 30,04
110,2292 -5,6875 29,98 29,47 28,78 28,44 28,62 30,01 30,31 31,03 30,98 30,41 30,38 30,70 30,01
110,2708 -5,6875 29,90 29,49 28,79 28,47 28,80 30,10 30,31 31,03 30,95 30,32 30,33 30,82 30,04
110,3125 -5,6875 29,87 29,49 28,83 28,42 28,81 30,04 29,98 31,62 30,95 30,35 30,22 30,78 30,03
110,3542 -5,6875 29,84 29,52 28,84 28,44 28,93 29,97 29,96 31,62 29,69 30,36 30,24 31,04 29,97
110,3958 -5,6875 29,89 29,51 28,84 28,47 28,93 29,94 30,28 32,14 30,30 30,52 30,25 31,13 30,01
110,4375 -5,6875 29,71 29,51 28,78 28,49 28,87 30,02 30,86 32,08 31,30 30,47 30,14 30,91 30,01
110,4792 -5,6875 29,63 29,52 28,78 28,45 28,84 30,12 31,05 31,95 30,94 30,56 30,12 31,34 30,05
110,5208 -5,6875 29,62 29,43 28,77 28,45 28,96 30,11 30,56 31,66 30,73 30,59 30,07 31,19 30,11
110,5625 -5,6875 29,45 29,38 28,82 28,44 29,11 30,12 30,57 31,46 31,74 30,63 30,01 30,51 30,16
110,6042 -5,6875 29,48 29,43 28,84 28,45 29,14 30,06 31,09 31,33 31,69 30,92 30,00 30,13 30,06
110,1458 -5,72917 30,13 29,41 28,87 28,45 28,82 29,91 30,05 30,93 29,65 29,99 30,31 30,25 30,08
110,1875 -5,72917 30,10 29,49 28,87 28,50 28,82 29,89 29,87 30,93 29,81 30,60 30,37 30,51 30,10
110,2292 -5,72917 29,94 29,47 28,79 28,45 28,77 30,06 29,97 31,22 30,25 30,24 30,35 30,60 30,11
110,2708 -5,72917 29,96 29,49 28,80 28,39 28,89 30,24 30,16 31,22 30,56 30,27 30,32 30,73 30,06
110,3125 -5,72917 29,96 29,50 28,81 28,45 28,94 30,26 30,25 31,49 30,96 30,25 30,32 30,81 30,03
110,3542 -5,72917 29,95 29,51 28,82 28,45 28,98 30,16 30,27 31,47 29,69 30,35 30,38 30,68 30,01
110,3958 -5,72917 29,98 29,56 28,80 28,45 28,94 30,21 30,34 31,63 31,59 30,72 30,27 31,02 30,04
110,4375 -5,72917 29,90 29,55 28,80 28,46 28,99 30,18 30,89 32,01 31,29 30,80 30,10 31,46 30,02
110,4792 -5,72917 29,74 29,55 28,84 28,40 28,88 30,14 31,15 31,43 31,19 30,80 30,09 31,39 29,95
110,5208 -5,72917 29,72 29,53 28,91 28,43 28,94 30,14 30,95 31,30 31,23 30,40 30,02 31,09 29,97
110,5625 -5,72917 29,72 29,47 28,91 28,42 29,03 30,09 30,65 31,30 30,72 29,82 29,88 30,64 30,04
110,6042 -5,72917 29,65 29,44 28,87 28,40 29,04 30,05 30,86 31,29 31,51 29,72 29,73 30,57 30,05
110,1458 -5,77083 29,90 29,45 28,85 28,48 28,78 29,88 30,19 28,71 29,66 30,14 30,50 30,09 30,04
LatitudeLongitudeSuhu permukaan Laut (SPL)
115
Mei'18 Juni'18 Juli'18 Agust'18 Sept'18 Okt'18 Nov'18 Des'18 Jan'19 Feb'19 Mar'19 Apr'19 Mei 2019
110,1875 -5,77083 29,93 29,47 28,82 28,47 28,73 29,90 29,99 30,16 29,48 30,22 30,57 30,20 30,06
110,2292 -5,77083 29,89 29,56 28,89 28,47 28,81 30,12 29,69 30,73 29,14 30,24 30,21 30,30 30,10
110,2708 -5,77083 30,02 29,56 28,91 28,41 28,83 30,31 29,84 31,03 31,20 30,36 30,21 30,55 30,04
110,3125 -5,77083 29,96 29,54 28,85 28,38 28,83 30,37 30,03 31,52 30,55 30,54 30,19 30,65 30,03
110,3542 -5,77083 29,89 29,57 28,81 28,35 28,97 30,33 30,09 31,38 29,26 30,69 30,14 30,94 30,06
110,3958 -5,77083 29,87 29,51 28,81 28,40 29,09 30,22 30,23 30,68 29,10 30,65 30,34 31,33 30,06
110,4375 -5,77083 29,81 29,44 28,83 28,46 29,19 30,18 30,38 30,81 30,55 30,77 30,26 31,27 30,04
110,4792 -5,77083 29,76 29,50 28,89 28,40 29,11 30,21 30,43 31,16 29,72 30,40 29,33 31,12 30,03
110,5208 -5,77083 29,66 29,53 28,93 28,43 28,99 30,18 30,77 30,93 29,89 30,04 29,31 31,16 30,05
110,5625 -5,77083 29,68 29,53 28,90 28,46 29,16 30,07 30,66 30,99 30,81 29,92 30,49 31,11 30,01
110,6042 -5,77083 29,71 29,51 28,85 28,47 29,24 30,03 30,66 31,52 31,34 30,01 30,38 30,89 30,01
110,1458 -5,8125 29,86 29,55 29,04 28,67 28,81 29,98 30,31 30,60 29,55 30,57 30,64 30,32 30,18
110,1875 -5,8125 29,93 29,59 29,00 28,60 28,85 30,09 30,31 30,87 29,63 30,49 30,57 30,39 30,15
110,2292 -5,8125 29,94 29,57 28,94 28,47 29,01 30,15 30,17 30,91 29,58 30,38 30,55 30,44 30,11
110,2708 -5,8125 29,93 29,55 28,91 28,44 29,04 30,18 29,96 31,03 30,29 30,38 30,46 30,57 30,09
110,3125 -5,8125 29,98 29,61 28,94 28,44 29,09 30,22 30,10 31,56 30,55 30,41 30,50 30,80 30,13
110,3542 -5,8125 30,05 29,66 28,94 28,49 29,13 30,20 30,48 31,52 29,26 30,23 30,50 30,73 30,23
110,3958 -5,8125 30,06 29,61 28,89 28,50 29,11 30,22 29,90 31,08 29,10 30,02 30,34 30,60 30,20
110,4375 -5,8125 29,94 29,56 28,86 28,46 29,09 30,28 29,74 31,01 30,43 29,78 30,26 30,57 30,10
110,4792 -5,8125 29,88 29,60 28,95 28,50 29,12 30,50 30,29 31,16 30,52 29,47 29,33 31,03 30,04
110,5208 -5,8125 29,79 29,53 28,97 28,49 29,30 30,43 30,38 31,11 30,80 29,63 29,64 30,71 30,02
110,5625 -5,8125 29,73 29,48 28,95 28,49 29,27 30,22 30,43 31,14 30,90 29,85 29,24 30,51 29,99
110,6042 -5,8125 29,68 29,47 28,86 28,47 29,21 30,14 30,46 31,24 30,74 29,89 29,80 30,63 29,99
110,1458 -5,85417 29,76 29,55 28,91 28,48 29,01 29,96 30,22 30,78 29,80 30,34 30,52 30,42 30,14
110,1875 -5,85417 29,86 29,57 28,90 28,44 28,78 30,14 30,16 30,73 29,72 30,34 30,42 30,37 30,12
110,2292 -5,85417 29,88 29,58 28,96 28,48 29,01 30,27 30,40 30,22 29,77 30,22 30,39 30,39 30,13
110,2708 -5,85417 29,88 29,54 28,96 28,47 29,17 30,17 30,55 30,22 30,29 30,16 30,37 30,40 30,13
110,3125 -5,85417 29,90 29,55 28,95 28,46 29,09 30,15 30,66 31,46 30,09 29,97 30,32 30,70 30,17
110,3542 -5,85417 29,89 29,58 28,94 28,45 28,88 30,12 30,47 31,29 30,04 30,10 30,26 30,73 30,22
Longitude LatitudeSuhu permukaan Laut (SPL)
116
Mei'18 Juni'18 Juli'18 Agust'18 Sept'18 Okt'18 Nov'18 Des'18 Jan'19 Feb'19 Mar'19 Apr'19 Mei 2019
110,3958 -5,85417 29,94 29,63 28,89 28,36 28,81 30,03 30,30 31,05 29,10 29,74 30,34 30,56 30,11
110,4375 -5,85417 30,14 29,71 28,86 28,32 28,86 29,89 29,74 30,95 30,63 29,48 30,26 30,36 30,13
110,4792 -5,85417 29,81 29,55 28,81 28,46 29,15 30,65 30,19 No Data 30,42 29,54 No Data 31,43 30,08
110,5208 -5,85417 29,73 29,50 28,83 28,48 28,86 30,53 30,38 30,90 30,41 29,47 29,64 30,74 30,05
110,5625 -5,85417 29,80 29,51 28,93 28,50 28,77 30,45 30,42 30,91 30,75 29,98 29,64 30,73 30,07
110,6042 -5,85417 29,71 29,48 28,89 28,43 29,49 30,35 30,46 30,95 30,37 29,21 30,02 30,78 30,05
110,1458 -5,89583 29,88 29,64 28,90 28,49 28,90 29,99 30,14 30,71 29,69 30,20 30,49 30,30 30,19
110,1875 -5,89583 29,95 29,61 28,90 28,47 28,62 30,09 30,49 30,91 29,62 30,21 30,39 30,46 30,20
110,2292 -5,89583 30,02 29,64 29,02 28,62 29,03 30,22 30,43 30,94 29,60 29,66 30,40 30,52 30,27
110,2708 -5,89583 29,82 29,52 28,91 28,53 29,18 30,30 30,21 31,16 30,22 30,03 30,22 30,45 30,22
110,3125 -5,89583 29,95 29,63 28,88 28,51 28,99 30,31 30,30 31,35 30,28 30,18 30,14 30,47 30,20
110,3542 -5,89583 29,97 29,62 28,94 28,55 29,20 30,28 30,40 31,20 30,30 30,03 30,23 30,51 30,26
110,3958 -5,89583 29,99 29,68 28,89 28,47 28,93 30,29 30,03 31,12 30,29 29,93 30,39 30,05 30,22
110,4375 -5,89583 29,98 29,62 28,79 28,51 29,27 30,30 29,89 30,80 29,48 29,74 30,30 29,72 30,28
110,4792 -5,89583 29,85 29,60 28,80 28,50 28,94 30,69 30,91 30,92 30,13 30,26 30,02 30,81 30,24
110,5208 -5,89583 29,77 29,58 28,87 28,49 28,75 30,67 31,26 30,83 30,04 30,16 29,62 30,91 30,18
110,5625 -5,89583 29,65 29,61 28,84 28,48 28,68 30,54 31,52 31,07 30,07 29,71 29,69 30,72 30,02
110,6042 -5,89583 29,64 29,53 28,89 28,46 29,37 30,49 31,49 31,07 30,09 30,19 29,91 30,72 30,02
110,1458 -5,9375 29,93 29,59 28,87 28,49 28,92 30,04 30,45 30,60 30,28 30,12 30,53 30,42 30,22
110,1875 -5,9375 29,87 29,53 28,89 28,49 28,93 29,91 30,29 30,77 30,34 30,03 30,49 30,46 30,25
110,2292 -5,9375 29,90 29,64 28,88 28,49 29,22 30,15 30,36 30,99 30,80 30,42 30,45 30,33 30,32
110,2708 -5,9375 29,90 29,58 28,89 28,48 29,11 30,27 30,22 31,30 30,32 30,30 30,30 30,22 30,26
110,3125 -5,9375 29,89 29,64 28,89 28,47 29,19 30,33 30,28 31,26 30,28 30,41 30,27 30,40 30,30
110,3542 -5,9375 29,89 29,69 28,98 28,44 29,28 30,43 30,28 31,25 30,39 30,18 29,99 30,51 30,30
110,3958 -5,9375 29,90 29,73 28,99 28,45 29,29 30,44 30,19 30,76 30,23 30,21 30,24 30,55 30,30
110,4375 -5,9375 29,86 29,52 28,98 28,54 29,30 30,47 30,35 30,80 30,05 29,91 30,22 30,54 30,29
110,4792 -5,9375 29,89 29,62 28,89 28,49 29,29 30,60 30,93 30,92 30,20 30,04 29,91 31,27 30,27
110,5208 -5,9375 29,68 29,61 28,86 28,50 29,21 30,72 31,40 30,92 30,18 30,28 29,82 31,11 30,14
110,5625 -5,9375 29,75 29,59 28,98 28,52 28,97 30,64 31,55 31,07 29,85 30,25 28,67 30,73 30,10
110,6042 -5,9375 29,64 29,57 28,95 28,52 29,32 30,23 31,61 30,93 30,12 30,73 28,89 30,79 30,02
Longitude LatitudeSuhu permukaan Laut (SPL)
RIWAYAT HIDUP
Aramita Livia Ardis lahir di Bandung, 18 Mei 1997 dari
pasangan Ibu Mia Lasmi Wardiyah dan Bapak Ejeb Sudrajat.
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis
mengawali pendidikan di TK Haruman pada tahun 2002 sampai
dengan 2003. Kemudian melanjutkan pendidikan di SD Terpadu
Krida Nusantara pada tahun 2003 sampai dengan 2009,
selanjutnya penulis menempuh sekolah menengah pertama di SMP Negeri 5
Bandung pada tahun 2009 sampai dengan 2012 kemudian melanjutkan sekolah
menengah atas di SMA Negeri 24 Bandung. Tahun 2015 penulis diterima sebagai
mahasiswi jenjang sarjana di Perguruan Tinggi Universitas Padjadjaran program
studi Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi
mahasiswi penulis aktif di berbagai organisasi kampus lingkup fakultas seperti
Himpunan dan UKMF Oseanik selain itu penulis juga aktif di kepanitiaan lingkup
fakultas. Penulis melakukan praktik kerja lapangan di Balai Perikanan Budidaya
Laut Lombok Sekotong, Lombok Barat-Nusa Tenggara Barat dengan Judul
“Teknik dan Manajemen Budidaya Tiram Mutiara (Pinctada Maxima) di Balai
Perikanan Budidaya Laut Lombok Sekotong, Lombok Barat-Nusa Tenggara
Barat”. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Program Studi Perikanan, penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis
Zonasi Terumbu Karang dalam Pengembangan Segmentasi Ekowisata di Taman
Nasional Karimunjawa dengan Metode Penginderaan Jauh”.