Ekosistem Terumbu Karang Khrisna

10
2009 EKOSISTEM TERUMBU KARANG PENGENALAN TERUMBU KARANG ANCAMAN TERHADAP TERUMBU KARANG UPAYA KONSERVASI DAN REHABILITASI oleh : Khrisna Protecta A.

Transcript of Ekosistem Terumbu Karang Khrisna

Page 1: Ekosistem Terumbu Karang Khrisna

!

!

Anemone

!

Corallimorpharians!

!

Sea Pens!

!

Sea F

an!

!

So

ft C

oral!

!

Bla

ck

Co

ral!

!

Tu

be C

oral

2009

EKOSISTEM TERUMBU KARANG

PENGENALAN TERUMBU KARANGANCAMAN TERHADAP TERUMBU KARANGUPAYA KONSERVASI DAN REHABILITASI

oleh : Khrisna Protecta A.

Page 2: Ekosistem Terumbu Karang Khrisna

Pendahuluan

Secara morfologi karang lebih mirip dengan tumbuhan, namun sebenarnya karang digolongkan kedalam invertebrata. Secara taksonomi hewan karang dimasukkan kedalam Filum Cnidaria. Karang keras (hard coral) termasuk dalam Ordo Scleractinia, karang lunak ke dalam Ordo Alcyonacea. Agar karang dapat tumbuh dengan baik diperlukan: (1) suhu perairan laut rata-rata tahunan antara 23-25oC (beberapa hewan karang dapat mentolerir temperatur antara 36-40oC, namun, hanya dalam waktu yang singkat); (2) mendapatkan paparan sinar matahari yang cukup; (3) sirkulasi air yang baik; (4) serta salinitas antara 30-35‰ (namun, ada juga terumbu karang yang dapat berkembang di kawasan dengan salinitas 42‰ seperti pada Teluk Persia di Timur Tengah).

Hewan karang merupakan karnivora karena memakan zooplankton atau ikan kecil yang ditangkap oleh tentakelnya. Namun, sebenarnya sebagian besar nutrisi didapatkan dari zooxanthellae (sejenis Algae dinoflagellata) melalui proses fotosintesis. Produk akhir dari fotosintesis zooxanthellae berupa glycerol, glukosa, asam amino dan oksigen. Selain memberikan nutrisi zooxanthellae mempunyai peran lain yaitu memberikan warna pada hewan karang dengan pigmen yang dimilikinya. Sebagai gantinya Algae (zooxanthellae) mendapatkan tempat tinggal serta pasokan CO2, nitrogen, dan fosfat untuk proses fotosintesis. Sejauh ini jenis Algae zooxanthellae yang diketahui adalah Symbiodinium microadriaticum, namun, para ahli memperkirakan masih ada species zooxanthellae lainnya tapi belum diketahui jenisnya.

Manfaat Terumbu Karang Dari segi fisik, terumbu karang berperan dalam perlindungan pantai dari pengikisan akibat arus, angin dan hempasan ombak yang kuat (Reksodihardjo dan Lilley, 1996). Menurut Dahuri dan Syaiful (1993), secara sosial ekonomi terumbu karang berfungsi sebagai daerah perikanan, pariwisata dan pemanfaatan lainnya. Ekosistem terumbu karang juga merupakan sumber plasma nutfah dan biodiversitas, karena menyediakan habitat bagi tumbuhan

PENGENALAN TERUMBU KARANG

Foto : P2O LIPI

Page 3: Ekosistem Terumbu Karang Khrisna

PENGENALAN TERUMBU KARANGseperti : memijah (spawning ground), serta tempat pengasuhan (nursery ground) (Supriharyono, 2000). Jenis-jenis ikan karang, seperti ikan Napoleon atau ikan wrasse (Cheilinus undulatus) yang memiliki nilai ekspor yang tinggi. Udang barong (Spiny lobster), kima (Tridacna sp), dan teripang (Holothuridea) banyak dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi (Supriharyono, 2000). Oleh karena semua itu terumbu karang merupakan habitat yang unik dengan produktivitas yang sangat tinggi.

Kerusakan Terumbu Karang

Kerusakan ekosistem terumbu karang dapat digolongkan menjadi 4 faktor berdasarkan penyebab kerusakannya, antara lain akibat faktor biologis, faktor fisik, akibat kegiatan manusia secara langsung, dan akibat kegiatan manusia secara tidak langsung (Ditjen Konservasi dan Taman Nasional Laut 2006).

1. Faktor Biologi Nybakken (1988) menyatakan bahwa ekosistem terumbu karang merupakan suatu ekosistem kehidupan yang ukurannya dapat bertambah atau berkurang sebagai akibat adanya interaksi yang kompleks antara faktor biologis dan fisik. Interaksi yang terjadi dalam ekosistem terumbu karang dapat dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu :

a. PersainganSuatu keistimewaan pada ekosistem terumbu karang adalah bahwa pada ekosistem ini tidak terdapat tempat (relug) yang terluang karena semuanya telah ditutupi oleh karang. Persaingan untuk memperoleh cahaya yang cukup dapat terjadi antara jenis karang yang bercabang dan karang yang membentuk hamparan atau masif.Biasanya, karang yang bercabang tumbuh lebih cepat daripada karang yang membentuk hamparan atau masif dan sering memperluas koloninya ke bagian atas dan lebih tinggi daripada bentuk hamparan, menutupi karang hamparan

16

BAB 3. ANCAMAN TERHADAP TERUMBU KARANG DI ASIATENGGARA

FOTO

:REE

FBAS

E / T

.HEE

GER

Terumbu karang di Asia Tenggara adalah yang paling terancam di dunia. Seperti halnya pada

semua terumbu karang di dunia, mereka menerima pengaruh dari badai dan fenomena

alam lainnya. Akan tetapi, peledakan populasi penduduk di wilayah Asia Tenggara telah

menempatkan terumbu karang pada tekanan yang belum pernah dialami sebelumnya. Stres yang

dialami dapat bersifat kronis. Sebagai contoh adalah pembuangan limbah secara terus menerus,

sedimentasi yang sering terjadi, serta penangkapan ikan berlebihan dalam kurun waktu panjang. Stres

dapat pula bersifat akut, contohnya pada kasus pengeboman ikan, atau kenaikan suhu air laut yang

tidak biasa dalam satu bulan. Dalam beberapa kasus, terumbu karang dapat beradaptasi terhadap

stres yang kronis, namun tekanan berkepanjangan akan menghambat pemulihan dari stres yang akut,

dan menurunkan tingkat keanekaragaman hayati.9 Selama 20 tahun terakhir, pemutihan karang

akibat suhu air laut yang tidak normal telah menjadi ancaman yang dominan. Bab ini menelaah lima

ancaman yang tergabung di dalam model

Terumbu Karang yang Terancam (TKT), dan

membahas pola umum pemutihan karang di

Asia Tenggara.

Penggunaan bahan peledak di terumbu karang menghancurkan struktur terumbu,

serta dapat meninggalkan gunungan serpihan karang hingga beberapa meter lebarnya.

FOTO

:HEL

EN F

OX

ANCAMAN TERHADAP TERUMBU KARANG

Foto : Reefbase

Page 4: Ekosistem Terumbu Karang Khrisna

dan cahaya. Untuk mencegah terjadinya penguasaan tempat dan memelihara keanekaragaman pada terumbu karang, karang yang berbentuk masif dapat mencegah pertumbuhan yang cepat dari karang yang bercabang dengan pemakan jaringan hidup koloni karang yang menutupi mereka.Hal ini disebut sebagai suatu susunan kekuasaan yang bersifat menyerang artinya setiap spesies mampu menyerang dan membunuh spesies yang ada dibawahnya dan sebaliknya dapat diserang oleh spesies yang ada dibawahnya. Akibat adanya persaingan yang kuat pada ekosistem untuk menggunakan tempat yang sama dalam asosiasi.

b. PemangsaanSecara visual terlihat bahwa ekosistem terumbu karang didominasi oleh karang dan ikan-ikan karang. Hal ini terjadi karena invertebrata-invertebrata lain tersembunyi dari penglihatan disebabkan besarnya tekanan pemangsaan pada terumbu. Jumlah hewan-hewan yang hidup di terumbu karang sangat banyak dan dapat di klasifikasikan sebagai predator. Predator yang mampu merusak koloni karang dan memodifikasi struktur terumbu adalah bintang laut (Acanthaster plancii) dan berbagai jenis ikan. Nybaken (1988) mengatakan bahwa bintang laut memiliki pilihan makanan yaitu spesies karang yang tumbuh cepat, dan meningkatkan penyebaran karang, serta menolong spesies yang tumbuh lambat agar dapat terjamin kelangsungan hidupnya. Spesies ikan yang secara aktif memakan koloni-koloni karang adalah ikan buntal (Tetraodontidae), ikan kuli pasir (Monacanthidae), ikan pakol (Balistidae) dan ikan kepe-kepe (Chaetodontidae). Pemangsaan pada koloni-koloni karang oleh ikan karang pada keadaan yang cukup berat mungkin dapat mematikan koloni terumbu (Motoda, 1940 dalam Nybakken,1988).

c. GrazingAlga Koralin merupakan kelompok yang sangat penting dalam membentuk dan memelihara terumbu, karena mampu mengendapkan CaCO3 tetapi alga cenderung untuk membentuk lapisan kulit yang keras dan menyebarkan menjadi lapisan tipis di atas terumbu, melekatkan beberapa keping menjadi satu. Grazing yang teratur terhadap alga koralin dilakukan oleh ikan-ikan famili Siganididae, Pomacentridae, Acanthuridae dan Scaridae serta bulu babi seperti Diadema sp. Pengaruh grazing oleh ikan-ikan Pomacentridae mengakibatkan pertumbuhan karang menjadi lambat karena secara selektif maupun tidak memakan alga yang membentuk hamparan dan mencegah ikan-ikan lain masuk ke wilayah tersebut. Akibatnya karang tersingkir dari daerah yang ditumbuhi alga secara berlebihan. Selanjutnya Nybakken (1988) mengatakan bahwa pengaruh grazing oleh bulu babi seperti Diadema sp. pada kepadatan yang tinggi akan memakan semua organisme, jadi tidak hanya alga sehingga akan menghalangi pertumbuhan karang.

Pertumbuhan terumbu karang sangat lama, untuk jenis yang paling cepat tumbuh saja hanya mampu

tumbuh 1cm per bulan (famili acroporidae)

Foto : Veron

Page 5: Ekosistem Terumbu Karang Khrisna

2. Faktor Fisik Ditjen Konservasi dan Taman Nasional Laut, Departemen Kelautan dan Perikanan (2006) menyatakan kerusakan ekosistem terumbu karang yang disebabkan oleh faktor fisik antara lain:

a. Kenaikan suhu air lautKenaikan suhu air laut berkisar 3-4oC dari suhu normal akibat peristiwa El-Nino dapat menyebabkan coral bleaching yang dapat diikuti oleh kemaitian karang. Karang di daerah tropis lebih sensitif terhadap perubahan suhu.

b. Pasang surutKematian karang akibat pasang surut dapat terjadi apabila terjadi pasang surut yang sangat rendah sehingga terumbu karang muncul diatas permukaan air. Kerusakan akibat pasang surut terendah dapat terjadi satu hingga dua kali dalah setahun dan meliputi area yang cukup luas.

c. Radiasi sinar ultra violetSinar UV A dan B merupakan sinar yang memiliki daya rusak terhadap sel-sel hidup. Biasanya terjadi karena karang terkena radiasi diatas batas normal (kemampuan karang beradaptasi) pada saat cuaca cerah, laut tenang dan air jernih. Ciri-ciri kematian karang akibat radiasi UV yaitu terjadinya coral bleaching meliputi daerah yang cukup luas, umumnya seragam dan mencapai tempat yang cukup dalam.

d. Penurunan salinitasSecara fisik kematian karang karena penurunan salinitas dimulai dengan kontraksi polip karang untuk lebih mempersempit kontak dengan air laut bersalinitas rendah. Kontraksi polip akan mengurangi kecepatan fotosintesa sehingga mengurangi kecepatan respirasi. Karena karang tidak memiliki mekanisme osmose di dalam tubuhnya maka akan mengakibatkan lysis (pecahnya sel-sel karang dan mengakibatkan zooxhantellae keluar dari jaringan karang) sehingga karang akan mati.

e. Gunung berapi, gempa bumi, badai dan tsunamiAktivitas alam seperti aktivitas gunung berapi, gempa bumi dan tsunami memiliki potensi perusakan terumbu karang yang akibatnya sangat besar. Tsunami yang terjadi di NAD pada tahun 2004 mengakibatkan terangkatnya haparan karang yang sangat luas di pesisir Kab. Simeuleue.

IUCN – Badan Konservasi Dunia / The World Conservation Union

Didirikan tahun 1948, Badan Konservasi Dunia bekerja sama dengan negara, badan pemerintaha

n

dan berbagai organisasi non-pemerintah di dalam hubungan yang unik di dunia: terdiri lebih dari

950 anggota, yang tersebar di 139 negara.

Sebagai satu badan, IUCN bertujuan untuk mempengaruhi, memberi semangat dan membantu

masyarakat di seluruh dunia untuk melindungi integritas dan keanekaragaman alam dan memastikan

bahwa penggunaan sumber daya alam seimbang dan berkelanjutan secara ekologis.

Berdasarkan kekuatan anggota-anggotanya, jarin

gan dan mitra kerja, Badan Konservasi Dunia

meningkatkan kapasitas mereka dan menduku

ng aliansi dunia untuk menjaga sumber daya alam

pada tingkat lokal, wilayah dan global.

IUCN Publications Services Unit

219c Huntingdon Road,

Cambridge CB3 0DL, UK

Tel: +44 1223 277894

Fax: +44 1223 277175

E-mail: [email protected]

WWW: http://www.iucn.org

CONVENTION ON

BIOLOGICAL

DIVERSITY

Pengelolaan Terumbu

Karang yang Telah

Memutih dan Rusak Kritis

Susie Westmacott, Kristian Teleki, Sue Wells dan Jordan West

Diterjemahkan oleh Jan Henning Steffen

Kenaikan suhu air yang hanya 2-3oC di atas suhu rata-rata dapat menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) dan dapat diikuti oleh kematian massal karang tersebut hingga mencapai 80-95% (Suharsono, 1999).

Foto : doc. IUCN

Page 6: Ekosistem Terumbu Karang Khrisna

3. Faktor Akibat Kegiatan Manusia Secara Langsung Kegiatan manusia secara langsung dapat menyebabkan kematian ekosistem karang melalui penambangan karang batu, penangkapan ikan dengan menggunakan peledak dan bahan kimia toksik, pencemaran dan eksploitasi yang berlebihan terhadap berbagai sumberdaya tertentu.

4. Faktor Akibat Kegiatan Manusia Secara Tidak Langsung Biasanya kegiatan manusia seperti penambangan, kegiatan industri dapat menyebabkan kematian karang secara tidak langsung yang dikarenakan meningkatnya sedimentasi, pencemaran perairan akibat limbah industri dapat menyebabkan blooming algae yang dapat menutupi karang dikarenakan meningkatnya zat organik berupa nitrat dan fosfat, serta tumpahan minyak bumi yang menghambat pertumbuhan karang, bleaching sampai menyebabkan kematian.

Terumbu karang yang telah rusak memerlukan waktu yang lama sekali untuk kembali ke keadaan semula. Kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh badai dan topan memerlukan waktu 25 – 30 tahun dan yang disebabkan oleh Acanthaster memerlukan waktu selama 7 - 40 tahun (Nybakken, 1998). Luasnya kisaran waktu untuk pemulihan ini membuktikan bahwa pemulihan bergantung pada beberapa faktor, termasuk luasnya kerusakan awal, dekatnya suatu sumber larva untuk pembentukan kembali koloni, aliran air dan kondisi yang baik untuk perkembangan larva. Ditinjau dari segi sosial ekonomi, pengerusakan karang ini akan menurunkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat pesisir yang sebagian besar mata pencahariannya adalah nelayan tangkap akan mengalami penurunan hasil tagkap karena menurunnya keanekaragaman ikan akibat rusaknya ekosistem terumbu karang. Dampak lainnya adalah menurunnya minat wisatawan bahari pada ekosistem terumbu karang yang rusak.

54 55

Ekosistem terumbu karang yang terjaga dengan baik memiliki potensi wisata bahari yang banyak diminati wisatawan.

Foto : COREMAP II

Page 7: Ekosistem Terumbu Karang Khrisna

UPAYA KONSERVASI DAN REHABILITASI

Latar Belakang Upaya Konservasi dan Rehabilitasi Terumbu Karang

Berdasarkan penelitian pada tahun 1998, luasan terumbu karang Indonesia adalah 42.000 km2 atau 16,5% dari luasan terumbu karang dunia yaitu seluas 255.300 km2. Hasil penelitian P2O (Pusat Pengembangan Oseanografi) LIPI pada tahun 2000 tentang kondisi terumbu karang di Indonesia menyatakan 41,78% dalam keadaan rusak, 28,30% dalam keadaan sedang, 23,72% dalam keadaan baik dan hanya 6,20% dalam keadaan sangat baik. Sehubungan dengan keadaan tersebut, dalam upaya menanggulangi masalah kerusakan ekosistem terumbu karang serta upaya pengelolaan perikanan karang yang berkelanjutan maka perlu dilakukan upaya pengelolaan konservasi dan rehabilitasi terumbu karang. Program pemerintah dalam menanggulangi masalah ini diantaranya adalah Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan (COFISH Project), dan Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP) sebagai program nasional. Landasan hukum yang digunakan sebagai pelaksanaan pengelolaan terumbu karang diantaranya adalah:1. Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya;2. Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;3. Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut; 4. Keputusan Menteri No.38 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang5. Undang-undang No.7 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; dan peraturan-peraturan lainnya. Beberapa pemerintah daerah bahkan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur pelaksanaan sistem pengawasan terumbu karang seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam melalui Perda Pemko Batam No.2 Tahun 2004 tentang RTRW dan yang terbaru adalah Perda Pemko Batam No.7 Tahun 2009 tentang Terumbu Karang.

Foto : Veron

Page 8: Ekosistem Terumbu Karang Khrisna

64 65

Rehabilitasi Ekosistem Terumbu Karang

Rehabilitasi ekosistem terumbu karang adalah upaya yang dilakukan oleh manusia untuk memperbaiki ekosistem terumbu karang yang men-galami kerusakan, untuk memberikan tempat perlindungan bagi ikan-ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Upaya rehabilitasi terumbu karang saat ini yang paling sering ditemukan dan dilakukan adalah upaya transplantasi karang dan membuat terumbu buatan (Artificial Reef). Transplantasi Karang Transplantasi karang merupakan kegiatan pencangkokan atau pe-motongan karang hidup untuk ditanam di tempat lain atau di tempat yang karangnya telah mengalami kerusakan. Transplantasi karang berperan da-lam mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak, dan da-pat pula digunakan untuk membangun daerah terumbu karang baru yang sebelumnya tidak ada. Transplantasi karang telah dipelajari dan dikembangkan sebagai teknologi pilihan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang terutama pada daerah-daerah yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Kegunaan trans-plantasi karang antara lain adalah untuk menambah populasi spesies karang yang terancam punah, dan untuk kebutuhan pengambilan karang hidup sebagai hiasan akuarium.

Upaya mengembalikan keindahan alam bawah laut dengan transplantasi karang sebagai salah satu cara

rehabilitasi ekosistem terumbu karang.

Foto : COREMAP II

Page 9: Ekosistem Terumbu Karang Khrisna

Artificial Reef (Terumbu Buatan) Salah satu kegiatan pelestarian dan pengembangan terumbu karang adalah pemasangan terumbu karang buatan atau disebut juga dengan AR (Artificial Reef). Terumbu karang buatan dibuat dari beton cor berbentuk stu-pa dengan diameter dasar 60 cm dan tinggi 50 cm dan diberi 6 buah lubang. Bangunan kerucut berlubang ini diangkut dari tempat pembuatannya ke pan-tai kemudian dimuat di kapal untuk dibawa ke lokasi pemasangan di laut. Bangunan AR yang diangkut dengan kapal ditenggelamkan satu persatu ke dalam laut dan dipantau di dasar laut dan diatur penempatannya sehingga posisinya tertelungkup dengan alas kerucut menutup dasar laut.

58

Pada gambar-gambar di bawah ini dapat dilihat contoh bangunan AR serta proses

pembuatan dan pemasangannya untuk menumbuhkan karang yang dipasang di salah satu

lokasi proyek COFISH yaitu di Banyuwangi.!)

Terumbu karang buatan dibuat dari beton

cor berbentuk stupa dengan diameter dasar 60 cm dan tinggi 50 cm dan diberi 6 buah

lubang. Bangunan kerucut berlubang ini diangkut dari tempat pembuatannya ke pantai

kemudian dimuat di kapal untuk dibawa ke lokasi pemasangan di laut. Bangunan AR

yang diangkut dengan kapal ditenggelamkan satu persatu ke dalam laut dan dipantau di

dasar laut dan diatur penempatannya sehingga posisinya tertelungkup dengan alas

kerucut menutup dasar laut (Gambar 34, 35 dan 36).

!) Sumber kutipan: “Monitoring dan Evaluasi Terumbu Karang Buatan di pantai

Tabuhan dan Kayuaking”. Bagian Proyek PMP2SP (COFISH) Banyuwangi. 2002.

Gambar 34.

Pembuatan bangunan

AR dari beton

berbentuk stupa

berlubang - lubang.

Gambar 35.

Menurunkan AR ke

dalam laut.

Pembangunan artificial reef yang berbentuk stupa (kerucut) untuk perlindungan ikan.

Monitoring, Evaluasi dan Kawasan Perlindungan Laut

Kegiatan rehabilitasi ekosistem terumbu karang tidak dapat berjalan dengan baik apabila tidak disertai dengan upaya monitoring dan evaluasi hasil kegiatan. Kebijakan pemerintah mengenai ekosistem terumbu karang dian-taranya adalah dengan menetapkan kawasan konservasi laut daerah (KKLD) maupun daerah perlindungan laut (DPL) untuk mengurangi tekanan akibat kegiatan manusia di daerah ekosistem terumbu karang. Sistem pengawasan ekosistem terumbu karang saat ini lebih ditekankan pada pemberdayaan masyarakat sebagai pemanfaat ekosistem terumbu karang tersebut. Dalam hal ini juga diperlukan kerjasama antara masyarakat dan stakeholder (dinas-dinas terkait) untuk melindungi terumbu karang sebagaimana direncanakan dalam program nasional.

Page 10: Ekosistem Terumbu Karang Khrisna

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri,Rokhmin, I.N. Suryadi Putra, Zairin dan Sulistiono.1993.Metode dan Teknik Analisis Biota Perairan. PPLH-LP. IPB. Bogor.

Dinas Perikanan dan Kelautan. 2002. Kepedulian Proyek COFISH terhadap Kehidupan Terumbu Karang. Jakarta.

Direktorat Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil. 2008. Konservasi Kawasan Perairan Indonesia Bagi Masa Depan Dunia. Jakarta.

Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. 2006. Pedoman Pelaksanaan Transplantasi Karang. Jakarta.

Hinterland Information Media #3. 2009. Seri Pengenalan Karang. COREMAP II Kota Batam.

Hinterland Information Media #4. 2009. Seri Pengenalan Karang. COREMAP II Kota Batam.

Nybakken, J. W. 1998. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. (edisi terjemahan).

Reksodihardjo,Gayatri dan Lilley. 1996. Panduan Pendidikan Konsevasi Laut. Program Pengembangan Konservasi Laut WWF.

Suharsono. 1996. Jenis – Jenis Karang Yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia. Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta.