94019-13-329324202184

Post on 16-Sep-2015

224 views 8 download

Transcript of 94019-13-329324202184

MEMAKNAI DINAMIKA POPSCAPE DAN MEDIASCAPE

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

PERTEMUAN 13UNIVERSITAS MERCU BUANA

POKOK BAHASAN:

Pemahaman sepintas Mediascape dan PopscapeDESKRIPSI:

Secara umum berisi tentang pemahaman dan pengertian tentang efek, efek yang dikuatirkan dari media massa, berbagai teori yang menjelaskan peniruan dari media massa

TUJUAN INSTRUKSIONAL:

Setelah mengikuti matakuliah ini mahasiswa mengerti dan memahami tentang pemahaman dan pengertian tentang efek, efek yang dikuatirkan dari media massa, berbagai teori yang menjelaskan peniruan dari media massa Referensi:

1. Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi; Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2007.

2. Zulkarimein Nasution, Sosiologi Komunikasi Massa, Universitas Terbuka, Jakarta, 2003.

3. Charles R. Wright, Sosiologi Komunikasi Massa, terj. Jalaludin Rakmat, et.al, Remaja Karya, Bandung, 1986.

4. Idi Subandi Ibrahim, Budaya Populer sebagai Komunikasi; dinamika Popscape dan mediascape di Indonesia Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2007Mediascape dan Popscape; pemahaman sepintas dan contoh kasusKita hidup di dalam kehidupan yang sarat dengan artefak, tanda, dan teks-teks budaya populer dan budaya yang dimediakan secara massa (budaya massa) vi media massa. Tanpa disadari, budaya populer telah menjadi bagian dari hidup kita. Seperti ikan dengan air. Sebagian memori, imajinasi, dan impian masa kecil dan remaja kita sedikit-banyak dibangun lewat apa yang kita baca, lihat dan dengar, atau yang kita serap dari teks-teks meia dan budaya populer. Budaya populer telah ikut membangun apa yang disebut oleh Raymond Williams (1977) sebagai structures of feeling, emosi kita. Ia mengisi kehidupan kita dan diekspresikan oleh anggota budaya lewat komunikasi rutin sehari-hari. Ia merupakan hal yang krusial bagi pembentukan makna dan identitas pribai dan kolektif. Kita tidak hanya bertanya: Siapa saya? atau Siapa kita? kita jugaingin tahu, Bagaimana kita merasa? (Lull:2000).

Kritik, Etika dan Estetika Komoditi di Balik Budaya Televisi; contoh analisis sosiologi komunikasi massaEtika adalah sesuatu yang senantiasa diagungkan di panggung retorika politik, tetapi tak jarang malah dilecehkan di tingkat realita. Seruan dan imbauan moral sama sekali tak mendatangkan riak perubahan, justru di hadapan pemetasan kehidupan kolutif, koruptif, dan manilulatif. Kesederhanaan adalah sesuatu yang menipu, justru di hadapan pameran gaya hidup gedongan dan pola hidup konsumtif yang mempersyaratkan ekonomi biaya tinggi. Prasarana kehidupan seperti saluran komunikasi dan transportasi publik memang terus dibangun, tetapi ruang publik rakyat terus tergusur atas nama pembangunan dankepentingan umum. Kelembutan ucapan dibalik senyuman sering tak akan berguna di balik kekerasan politik yang menyengsarakan rakyat. Para pejabat erus menebar senyum di acara-acara yang ditayangkan televisi tak akan sanggup menyembuhkan derita rakyat yang disebabkan kebijakan publik yang salah urus.

Walhasil sikap kritis dan kecerdasan yang menjadi inti utama untuk menciptakan karya agung budaya bangsa, tak akan meungkin sepenuhnya termanifestasikan di hadapan penumpulan daya kritis yang bekerja secara cantik di balik mesin indoktrinasi dalam budaya massa. Generasi muda yang hidup dengan nalar yang terpasung dan ruang imajinasi yang terdistorsi secara ideologis tak mungkin menjadi inti pendukung wacana perubahan untuk berkompetisi dalam masyarakat berkeadaban alias civil society yang justru mempersyaratkan fair play dan keihklasan untuk nenampung pluralitas nilai dan pendangan dunia kehidupan. Di hadapan arogansi wacana kekuasaan yang tak memberikan nafas segar dan daya hidup kritisme, kekuatan logika telah dilumpuhkan leh pementasan logika kekuatan. Ada pula yang melihat fenomena ini sebagai industrialisasai kesadaran (enzensberger), atau pun tirani kesadaran dan tirani kognitif (tehranian).Namun, kini semua gejala seperti yang dikhawatirkan oleh para kritikus budaya tersebut telah mengalami metamorfosis secara lebig canggih dalam apa yang secara klise sering disebut sebagai kondisi pascamodern atau budaya pascamodern. Dalam kondisi seperti ini, penumpulan daya imajinasi atau penunggalan wacana tak lagi mesti berlangsung dalam ruang penataran yang di dalamnya mungkin berlangsung injeksi indoktrinasi yang telanjang. Tetapi, kini semua saluran artikulasi kekuasaan via media baik media cetak maupun media elektronik (terutama televisi) telah menjadi bagian penting dari beroperasinya proses penunggalan atau homogenesis wacana.

Dalam uraian terbatas, baba ini akan menyoroti satu sisi perkembangan institusi komunikasi masyarakat pascmodern, yakni televisi yang telah menjadi industri hiburan dan sekaligus produen budaya populer. Televisi telah menjadi supra-ideologi yang mempesona masyarakat muktahir dengananeka corak hiburan massa untuk khalayak dengan tingkat kesadaran dan kritisme yang pas-pasan (mediocre). Lalu, bagaimana, misalnya, kalau kita ingin menjelaskan etika kekeluargaan atau pendidikan yang dikhotbahkan televisi dengan memanfaatkan pesona ikon pop berupa foto model bintang iklan atau artis?Histeria Kematian Selebriti

Televisi adalah contoh mesin konstruksi citra di panggung selebriti. Ia memungkinkan semua ranah kehidupan dan budaya menjadi produk tontonan di dalam masyarakat komoditi mutakhir, tidak terkecuali kematian, terutama kematian selebriti. Sebutlah misalnya kematian bintang-bintang media seperti Nike Ardila, Sukma Ayu, atau tewasnya Alda pada akhir tahun 2006 telah memeras pemberitaan media populer dan televisi di tanah air. Media mendramatisasi kematian selebriti dengan menyoroti nyaris semua hal yang terjadi dengan aktivitas apa saja yang ia lakukan sebelum kematinnya di samping ritual pemakaman dan komentar karib-kerabat yang kemudian menjadi ritual pemberitaan yang bercampur dengan industri gosip yang kini tengah menjadi ritual harian tontonan televisi kita, di samping berita-berita di seputar kriminalitas yang selalu melahirkan hero, penegak hukum mengalahkan orang jahat: bapak polisi yang berhasil menyergap perampok atau menggulung maling ayam atau maling kendaraan dengan shooting yang diperlihatkan sangat dramatis, lebih dramatis daripada penangkapan koruptor kelas kakap sekalipun.Liputan kematian selebriti oleh media ini mengingatkan kita akan histria pemberitaan media global dan lokal atas tewasnya Putri Diana beberapa tahun silam. Tewasnya Lady Diana adalah contoh betapa kematian dan air mata telah menjadi komoditi. Lewat kematian selebriti seperi sosok Diana, kita tidak hanya menyaksikan sebentuk histeria manusia dalam menumpahkan kenestapaan yang tak terungkapkan tetapi juga euphoria manusia dalam mencurahkan kegembiraan yang tak terperikan. Media massa khususnya televisi tidak hanya telah melakukan komodifikasi krisis kehidupan Diana, tetapi juga media telah melakukan eksploitasi tekstual yang mendramatisasi setiap sisi kehidupan wanita selebriti ini. Maka tak kalau ikon pop semacam Madonna pun sampai berkomentar. Saya ingin sekali mengecam pers, tangan kita semua berlumuran darah.....sampai kita tak lagi punya perasaan, hak kita membaca tentang kehidupan pribadi orang, dan sampai kita kehilangan daya tarik akan seksual dan jurnalisme sensasional, kita tak pernah bertindak..ini semua kesalahan kita.Namun, satu hal yang juga luput dari bidikan media massa di tanah air, meskipun sebagai mahluk Tuhan kita semua bersedih atas tewasnya Diana ataupun tewasnya seorang wanita dari golongan atau jenis masyarakat macam apa pun, bahwa Diana sendiri telah menjadi ikon pop. Ia diagungkan setinggi langit oleh media, lewat pemberitaan sensasional tentang setiap gerak-geriknya, meskipun akhirnya ia sendiri tewas oleh media. Meskipun tak akan ada seorang pun yang membantah bahwa sebab kematian itu masih menyimpan sejuta pertanyaan. Artinya, itu pun belum tentu sepenuhnya kesalahan media. Untuk itulah paparazzi bertambah popularitasnya . Karena demikianlah logika budaya pop. Kini, bahkan teka-teki kematian Diana telah menjadi komoditi pemberitaan dan hari ulang tahun kematiannya lebih penting dari hari kelahirannya, karena ia menjadi momen penting bagi para pengagumnya utnuk merayakan hari kesedihan itu di dalam drama budaya populer kontemporer. Sebenarnya Diana masih jauh beruntung dibandingkan Marsinah, karena pada dirinya berpadu tiga kekuatan yang tidak dimiliki oelh orang semacam Dewi Soekarno sekalipun, yakni kekuasaan, kejayaan, dan kecantikan. Ini adalah prasyarat ynag tidak dipunyai oleh bintang semacam Madonna atau Michael Kackson sekalipun.Fenomena Diana adalah contoh bahwa media global memang digjaya. Media bisa mendefinisikan kehidupan seseorang sesuai dengan apa yang dianggap kapitalisme media bisa mendukun komoditi pemberitaan. Dengan gencarnya media memberitakan kematian selebriti secantik, seterkenal, sedermawan, dan semanusiawi Putri Diana yang seolah tanpa cacat, telah membuat Diana menjadi representasi perjuangan moralitas di tingkat dunia. Dengan media pula, Diana bahkan telah menjadi tokoh imajiner yang karena kekuatan ideologi budaya pop membuat ibu-ibu dari kalangan gedongan di Jakarta merasa perlu memobilisasi rasa haru dengan penyertaan karangan bunga, yang kemudian disorot kamera dan ditayangkan televisi ke seantero negeri. Kematian selebriti seperti Lady Di, barangkali adalah contoh histeria dan euphoria budaya pop akhir ke-21 yang akan sulit ditandingi oleh tokoh dunia yang lain. Ia selalu telah tampil menjadi mawar dunia yang menebarkan wewangian di taman impian bangsa-bangsa, juga adalah sekuncup mawar media yang kemudian layu oleh kobaran isu asmara yang melingkar-lingkar antara cinta, kuasa, dan nestapa.

Dalam konteks inilah kita masuk lebih dalam ke wilayah yang menjadi penambahan uraian bab ini. Bahwa televisi menjadi wajah tirani baru, ia tidak hanya telah memediakan realitas real atau nyata, tapi ia telah mengkonstruksi realitas baru yang melampauai yang real, yang hyper-real atau realitas semu. Secara demikian, fenomena budaya televisi pun telah menjadi satu persoalan serius kalau kita ingin berbicara tentang etika sambil melakukan kritik terhadap estetika komoditi yang selama ini begitu akut dipergelarkan di balik keperkasaan televisi (lihat, misalnya, Williams, 1974; Postman, 1985); Fiske, 1987; Kellner, 1990; Mulyana dan Ibrahim, 1998; Kitley, 2000).Kalau kita menyimak perkembangan di tanah air, data menunjukkan bahwa pada akhir 1990-an saja sudah ada sekitar 20-23 juta rumah tangga yang memiliki pesawat televisi. Angka itu pasti sudah jauh melambung setelah 2000. Tidak kurang dari 18-24 jam sehari semalam berbagai mata acara dan informasi dicekoki ke kepala pemirsa di seluruh tanah air. Itu berarti dalam sehari-semalam hampir tak ada tersisa waktu yang lowong kalau kita mau menongkrongi televisi.

Martin Esslin menyebut abad ke-20 sebagai Abad Televisi sesuai dengan judul bukunya Age of Television. Sinyalemen itu tampaknya beralasan. Sekalipun internet muncul, tetapi ia belum bias disamakan dengan kehadiran televise, karena sifat televisi yang relatif murah dan terjangkau untuk berbagai lapisan masyarakat. Karena itu, lebih dari itu, pada abad ke-21 atau millenium baru kita sedang memasuki gelombang Millenium of Television. Di dalam Millenium TV, stasiun pemancar dan perancang program perlahan tapi pasti juga sudah tampil sekaligus sebagai agen kebudayaan. Lebih dari itu, sebagai produk teknologi yang memainkan politik elektronik, televisi telah menjelma sebagai bentuk baru kebudayaan itu sendiri (cultural form, kata kritikus budaya Raymond William, 1974).Kotak Ajaib dengan Banyak julukan

Televisi adalah anak ajaib industrialisasi yang dikandung oleh ibu modernitas. Televisi memang tidak punya jenis kelamin, tetapi konon ia memainkan ideologi gender secara amat halus dan tentu saja tidak jarang mempertontonkannya secara begitu amat telanjang. Di sini kita tidak akan membahas secara lebih jauh mengenai beroperasinya politik gender mengenai medium televisi. Bagaimana misalnya aura kecantikan dan tubuh wanita direpresentasikan dibalik ideologi kenikmatan yang dibangun oleh dunia laki-laki yanng hegemonik. Ataupun umpamanya bagaimana televisi, khususnya iklan, telah membangun dan memanipulasi citra wanita seperti tampak dalam sinetron, drama atau telenovela. Tetapi yang ingin ditegaskan di sini adalah bagaimana produk teknologi berupa televisi telah menjelma menjadi agen atau produsen kebudayaan. Di layar kotak ajaib ini, spot iklan yang semula tersedia hanya sekedar untuk menginformasikan produk terbaru, ternyata telah berubah menjadi wahana pencitraan, pengemasan, perekayasaan, estetisasi produk barang. Di dalam estetika komoditi itu, yang dipaketkan bukan hanya barang yang diiklankan, tetapi juga figur bintang iklan atau ikon pop. Kalau anda melihat iklan Lux di televisi, misalnya, tidak peduli apakah anda sehari-hari mengunakan sabun mandi itu, tetapi bagaimana seolah-olah anda menjadi bagian dari citra yang hendak dibangun lewat bintang iklan tersebut. Itu artinya ketika kita menghadapi televisi, kita sesungguhnya tidak hanya tengah berhadapan dengan informasi semata, tetapi pada saat yang sama kita juga sedang berhadapan dengan kebudayaan yang dipaketkan atau kebudayaan kemasan. thus TV viewers become packaged commodities purchased by advertisiers, (D.Smythe; 1981). Di dalam budaya kemasan itu, citra menjadi lebih penting dari makna. Atau dengan citra itu aneka-makna dibangun oleh produsen dan ditafsirkan juga oleh produsen. Untuk membangun citra, produk barang yang diiklankan dikemas dan diperindah semenarik mungkin agar memukau khalayak. Semua itu tidak lain untuk memenuhi prasyarat komoditas tontonan yanng akan dipajangkan di etalase budaya populer.

Tak heran kalau kita juga bisa menyaksikan iklan justru lebih menarik dari dari sebuah mata acara yang justru semula dirancanng untuk menghibur. Dengan estetika komoditas, kita justru merasa senang dan larut meski sebenarnya kita tengah dihibur olrh brondongan iklan barang yang menyihir kita untuk selalu membeli, berbelanja dan hidup dalam gaya. Rupanya produk estetika komoditas ini menjadi sisi lain pertumbuhan masyarakat kapitalisme kontemporer yang telah berhasil memasuki dan menaklukan ruang keluarga kita termasuk yang paling persuasi sekalipun. Perlahan tapi pasti, kita sudah terbiasa dihibur bahkan diteror oleh iklan. Padahal, iklan dengan kekuatan budaya citranya itu telah menjadi semacam mesin kapitalisme yang menyihir hati konsumen untuk senantiasa haus akan sesuatu yang baru, untuk kemudian memiliki dan membelinya. Barang yang diiklankan itu bisa saja sebenarnya hanya barang komoditi yang biasa-biasa saja (dari segi mutu), tetapi dengan trik dan manipulasi yang bermain di balik ideologi iklan ia berubah menjadi produk yang begitu menawan dan memikat hati konsumen.

Rengekan anak agar orang tua mereka membeli barang mulai dari berbagai jenis mainan hingga merek samphoo, sabun mandi, bahkan hingga kegandrungan akan dunia fantasi yang dikonstruksi oleh pasar kini telah hadir sendiri ke ruang keluarga. Ini artinya, diakui atau tidak, televisi telah menjadi bagian yang amat penting sebagai perpanjangan tangan pasar. Teks dan trik iklan mulai menjadi wacana dunia anak-anak yang lebih menarik dari pada pelajaran-pelajaran yang membosankan yang mereka dapatkan di ruang kelas. Dalam hal ini, perlahan tapi pasti, televisi menjelma menjadi lembaga pendidikan imajiner anak-anak zaman modern. Televisi bahkan telah ikut menjadwal ulang dan mendiktekan waktu belajar, bermain dan tidur anak-anak. TV is powerfull educational force, a significant source of orientation (Thomas; Myths and about television).

Lebih dari itu, dengan estetika komoditas ini memungkinkan informasi kekerasan lewat film atau objek lainnya berubah menjadi estetika kekerasan yang pada gilirannya menjelma menjadi kekerasan estetika itu sendiri. Dan komoditi kekerasan di televise pun sebenarnya menjadi sebentuk kekerasan komoditi. Seperti halnya tayangan teror dan sadisme di layar kaca telah menjadi hiburan kita sehari-hari. Informasi kriminalitas telah menjadi santapan pagi. Sementara perbincangan politik menjadi dagelan. Tak heran, kalau kemudian televisi tidak hanya mampu memotret dan memediakan isu-isu yang memediakan demokrasi, tetapi televisi ternyata juga ikut berperan dalam menciptakan krisis demokrasi.

Itulah barangkali yang paling menohok terhadap komodifikasi estetika atau estetika komoditi yang semata-mata berakar dari dunia yang mengkultuskan moralitas kapitalis. Moralitas kapitalis ini mengandalkan teknologi pencitraan. Dan menurut Neil Postman (1985), di tataran demokrasi liberal dengan perekonomian yang relatif bebas, televisi dapat menggunakan potensinya habis-habisan sebagai mesin atau teknologi pencitraan itu. Teknologi pencitraan ini telah dimanfaatkan oleh negara seperti Amerika Serikat untuk melegitimasi setiap sepakk terjangnya dalam kasus-kasus campur tangannya, seperti pada kasus krisis teluk di Timur Tengah. Pentagon, dalam kaitan itu telah secara sukses dan canggih mengontrol saluran televisi untuk menciptakan demokrasi ala Amerika. Televisi AS telah berhasil melakukan demonisasi atau peng-iblis-an terhadap sosok Sadam Hussein dan pada saat yang sama mereka justru menciptakan pendewaan terhadap segala sesuatu yang dilakukan tentara AS atau sekutunya. Inilah ironi brutalisme di balik budaya populer global yanng melahirkan hero dan penjahat sesuai keinginan suatu moralitas ideologi dan budaya populer. Jadi budaya populer juga adalah medan pertarungan di samping penaklukan.

Pertarungan antara proses penunggalan-penyeragaman (hegemonisasi) ini telah memicu terjadinya semacam perang budaya (culture war). Ketika budaya global menerpa, budaya lokal mencari format dan ruang pengucapan lokal yang baru. Namun, sesungguhnya dalam perang budaya itu tidak mesti ada pihak pemenang atau pecundang. Karena yang menjadi pemenang adalah kapital, modal dan logika pasar. Kekalahan dalam perang budaya itu kini seolah menjadi nisbi. Coca-Colanisasi atau McDonaldisasi di asimilasikan dalam rekayasa, mencampurkannya dengan unsur-unsur dan cita rasa lokal demi kepentingan penguatan pasar global atau cengkraman gurita kapitalisme multinasional. Oleh karena itu kita bisa melihat betapa telanjangnya proses glokalisasi (globalisasi dan lokalisasi) ini dalam bnetuk gaya hidup yang ditawarkan iklan dan iklan gaya hidup di media massa. Industri hiburan ditelevisi kiranya menjadi contoh di mana etalase budaya populer tempat gaya hidup disemai dan dikembangbiakkan. Jadilah televisi menjadi ajang pertunjukan dunia mode dan gaya hidup modis menemukan lahan pembiakannya.

Itulah sebabnya, tak mengherankan kalau peerusahaan-perusahaan busana dan kosmetika multinasional misalnya dengan sadar mengunakan bintang film bertampang indo, karena wajah bintang iklan indo dianggap bisa memenuhi kriteria dan selera kecantikan atau ketampanan yang universal. Lebih dari itu, wanita yang bertampang indo, misalnya, mungkin saja digunakan dengan maksud untuk memuaskan hasrat penonton pria karena representasi tubuh, suara, atau stylenya sekaligus bisa dinikmati oleh konsumen lokal maupun global. Maka tak heran kalau televisi menjelma menjadi industri citra yang dikonstruksi oleh kapitalisme multinasional mengenai ideologi kecantikan yang sesuai dengan tuntutan pasar media global untuk memenuhi selera budaya lokal.

Konstruksi ideologi kecantikan pun perlahan mempengaruhi wanita untuk memeuhi prasayarat kewanitaan yang dituntut oleh budaya populer, yakni dengan cara mencemplungkan diri kedalam bisnis mode atau iklan yang kini semakin mempersyaratkan ideologi ketubuhan seperti sensualisme, erotisme, atau keagungan yang bisa dipertontonkan dalam industri hiburan atau ditayangkan sebagai pajangan pada etalase budaya populer.

Dan ini jelas dari sudut positioning sengaja dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mimpi-mimpi konsumen lokal yang berselera global atau konsumen global yang ingin merasakan cita rasa lokal. Dalam perspektif ini setidaknya kita bisa melihat betapa budaya global MTV begitu seringnya memamerkan kenikmatan gaya hidup making-happy dan comfort. Untuk membidik pangsa lokal (anak-anak muda Asia yang lagi cemas berburu identitas) ini, tak heran bila MTV Asia merasa perlu memperbanyak program yang sering di bilangberwarna lokal.Walhasil, di balik merebaknya budaya hibrid dengan institusi hibrid bernama televisi ini tampaknya, pencucian otak kalau istilah ini tak terlalu vulgar terhadap anak-anak muda kita kini benar-benar menemukan bentuknya lewat glokalisasi hidup. Gaya hidup untuk menghabiskan waktu luang dengan bersenang-senang dan budaya belanja adalah bukti hidupnya budaya hedonis di kalangan sebagian anak muda, dan ini sudah meruyak di mana-mana. Fenomena ini sebagian besar ditopang oleh iklan televisi dan maraknya pusat perbelanjaan ultra-modern seperti mal yang kini sudah berdiri nyaris di setiap provinsi, kabupaten dan kota di indonesia. Tak usah heran kalau sehari-hari orang sudah terbiasa dihibur oleh iklan yang menjadi semacam industrialisasi hasrat yang mengontruksi kebudayaan belanja dan show kemewahan di kalangan kelas menengah kita. Di Jakarta, misalnya, perkembangan mal beberapa tahun terakhir ini lebih 20 % pertahun. Hal yang sama juga terjadi di Amerika di tahun 1980-an.Inilah barangkali ancaman serius terhadap kebudayaan yang dibangun lewat estetika komoditi di balik tirani budaya TV. Oleh karena itu, sebagaimana pernah dikemukakan Douglas Kellner, dalam esainya yang provokatif, Television, Mythology an Ritual (1982), Television stands at the center of our symbol system and provides mythic and ritualistic celebrations of dominant values and institutions. (Televisi tegak di pusat system symbol kita dan menyajikan perayaan mistik dan ritualistic dari institusi-institusi dan nilai-nilai dominant). Kalau demikian halnya, memang, kita harus menjadi khalayak yang semakin cerdas dan kritis sembari terus bercinta dengan TV. (lihat Mulyana dan Ibrahim, 1989). Sehingga kita tidak hanya membunuh detik-detik waktu luang ini dengan kehampaan makna (emptiness of meaning) yang pada akhirnya hanya akan menciptakan luka di dalam ruang batin kebudayaan bangsa.MODUL 13

SOSIOLOGI KOMUNIKASI

(3 SKS)

Dosen: Drs. Ahmad Mulyana, M.Si.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMBDrs. Akhmad Mulyana M.SiSOSIOLOGI KOMUNIKASI