Post on 24-Jul-2015
UPAYA INDUSTRI PERBENIHAN DALAM PEMENUHAN
PRINSIP ENAM TEPAT BENIH
“Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata kuliah Industri Perbenihan”
Disusun Oleh Kelompok 2:
Prestilia Ningrum 150310080098
Reza Putra Yodhana 150310080100
Rakhmi PrimadianthiS. 150310080103
Utari Nur Riski 150310080108
Gina Mariana Dewi 150310080124
Tiara Kusuma Dewi 150310080127
Risman Taufik 150310080133
Marlon Sipahutar 150310080134
Yogiandre Ravenalla 150310080136
Wendi Irawan Dediarta 150310080137
Rina Paramita 150310080139
Agribisnis Kelas C
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERISTAS PADJADJARAN
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Input dasar yang paling penting dalam pertanian adalah mutu benih. Mutu
benih meliputi mutu genetik, fisiologik, dan fisik. Mutu benih mencakup semua
hal yang berkaitan dengan atribut fisik, biologis, patologis dan genetik yang akan
menentukan produksi tanaman. Mutu genetik adalah benih yang mempunyai
identitas genetik yang murni dan mantap, dan apabila ditanam mewujudkan
kinerja pertanaman yang homogen sesuai dengan yang didiskripsikan oleh
pemulianya (Sadjad, 1994). Mutu fisiologik adalah mutu benih yang ditentukan
oleh daya hidup (viabilitas) benih sehingga mampu menghasilkan tanaman yang
normal. Klasifikasi mutu benih didasarkan pada kinerja fisik seperti kebersihan,
kesegaran butiran serta keutuhan keadaan kulit benih, tanpa ada luka atau retak-
retak. Penampilan fisik penting artinya karena benih dalam kemasan akan menjadi
menarik bagi calon pembeli (Sadjad, 1997). Atribut kualitas yang paling penting
adalah viabilitas (mutu fisiologik).
Mutu benih yang baik merupakan dasar bagi produktivitas pertanian yang
lebih baik. Kondisi sebelum, selama dan sesudah panen menentukan mutu benih.
Walaupun mutu benih yang dihasilkan baik, penanganan yang kurang baik akan
menyebabkan mutu langsung menurun.
Untuk mendapatkan produktivitas dan kualitas yang tinggi maka perbaikan
teknik budi daya harus dimulai dari penggunaan benih unggul bermutu. Sejalan
dengan hal tersebut, maka proses produksi dan penanganan benih perlu mendapat
perhatian yang serius, agar target mendapatkan benih yang memenuhi kriteria
enam tepat, yaitu tepat jenis (varietas), tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu, tepat
lokasi, dan tepat harga dapat terpenuhi. Benih merupakan masukan yang penting
dalam proses produksi tanaman. Kualitas benih sangat berpengaruh terhadap
penampilan dan hasil tanaman.
Produksi benih berkualitas merupakan proses yang panjang, dimulai dari
pemilihan bahan tanaman, pemeliharaan tanaman, panen serta penanganan setelah
panen. Agar produksi benih berhasil, selain mempertimbangkan aktor genetik
(bahan tanaman), perlu pula diperhatikan faktor-faktor lainnya seperti lokasi
produksi, iklim, isolasi, ketersediaan serangga penyerbuk, tenaga yang terampil
dan murah, serta sistem transportasi yang memadai (Sukarman et al. 1997a:
1997b ).
Penanganan benih perlu dilakukan secara khusus dan serius. Kelalaian atau
keterlambatan dalam penanganan benih akan menyebabkan daya berkecambah
menurun atau kematian benih. Penanganan benih mencakup kegiatan pemanenan,
pengeringan, pemilahan (grading), perlakuan benih (seed treatment),
pengemasan, penyimpanan, dan pengujian. Penanganan benih perlu pula
memperhatikan kelompok benih, seperti benih ortodoks, rekalsitran (benih yang
tidak tahan terhadap desikasi), atau intermediate (semirekalsitran). Melalui cara
panen dan penanganan benih yang optimal, mutu fisiologis benih dapat
dipertahankan lebih lama. Kemampuan industri benih untuk memasok benih
bermutu sampai ke pedesaan merupakan prasyarat dalam mempercepat
pengembangan varietas unggul baru (VUB).
1.2 Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat agar pembaca mengetahui mengenai Industri
Perbenihan khususnya dalam upaya pemenuhan enam tepat benih sehingga
Industri Perbenihan Nasional memiliki standar kualitas yang semakin baik.
1.3 Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah melalui studi
pustaka yang bersumber dari media elektronik. Selain itu juga dengan mencari
berbagai informasi menyangkut enam tepat benih pada Industri Perbenihan di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Industri Perbenihan
Industri benih merupakan syarat penting bagi pertanian tangguh yang
berorientasi pasar. Industri benih merupakan tahap akhir perkembangan
perbenihan dan termasuk dalam kelompok agribisnis. Disebut industri menurut
Sadjad (1997), karena prosesnya berawal dari produk yang belum siap pakai dan
berakhir menjadi produk siap pakai yang berupa benih suatu varietas tanaman.
Selanjutnya dinyatakan sebagai industri hilir, industri benih menghadapi
permintaan benih berkualitas yang bersumber dari permintaan pasar untuk suatu
komoditas dengan syarat-syarat tertentu.
Dalam pertanian maju, benih memegang peranan penting sebagai sistem
penyalur ("delivery system") atau pembawa teknologi baru ("carrier of new
technology"). Beberapa teknologi baru (varietas baru) disampaikan ke petani
melalui benih bermutu. Kualitas benih varietas unggul harus diketahui baik
sebagai komponen kunci di dalam paket input yang dibutuhkan untuk
memperbaiki produksi tanaman maupun sebagai katalis untuk mengeksploitasi
teknologi baru dalam produksi tanaman.
Untuk memenuhi permintaan, benih tidak dapat diproduksi secara
mendadak atau secara langsung, tetapi memerlukan perencanaan yang baik.
Perencanaan dan penanganan yang kurang baik dapat merugikan produksi benih.
Pemuliaan tanaman yang aktif dan produktif merupakan dasar untuk industri
benih. Varietas baru yang dilepas harus sampai ke petani dengan sifat-sifat yang
unggul (produksi tinggi, resisten terhadap hama dan penyakit utama dan lain-lain).
Keaslian kultivar atau klon dapat dijamin melalui pengawasan mutu yang ketat
yang merupakan komponen industri benih.
2.2 Prinsip Enam Tepat Benih
Permasalahan dalam bidang industri perbenihan haruslah dapat diatasi
dengan segera karena hal tersebut akan mempengaruhi produktivitas hasil
pertanian, salah satu cara untuk memperbaiki permasalahan dalam bidang
perbenihan adalah dengan menerapkan prinsip enam tepat benih yaitu:
1) Tepat varietas
2) Tepat jumlah
3) Tepat mutu
4) Tepat waktu
5) Tepat lokasi
6) Tepat harga
1. Prinsip Tepat Varietas
Seiring dengan kemajuan pertanian tanaman pangan, maka semakin besar
pula tuntutan terhadap ketersediaan benih varietas unggul bermutu sebagai salah
satu faktor yang menentukan keberhasilan produksi tanaman pangan.
Untuk mencapai maksud tersebut, maka program-program pengembangan
perbenihan diarahkan pada optimalisasi sistem perbenihan. Berikut adalah
beberapa value chain components yang seharusnya dapat menjadi acuan dalam
Prinsip Tepat Varietas :
• Pengembangan Varietas
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, meningkat pula
kebutuhan pangan nasional. Dukungan penyediaan benih varietas unggul
bermutu bagi petani merupakan bagian yang penting dalam mendukung
upaya peningkatan produktivitas tanaman. Dalam melaksanakan upaya
tersebut diperlukan peran pihak-pihak terkait baik yang berhubungan dengan
legislasi maupun teknis di Pusat dan Daerah. Untuk melancarkan dan
mensinergikan pelaksanaan kegiatan dan memantau serta mengevaluasi
perkembangan pelaksanaan program-program pengembangan perbenihan
dalam upaya penyediaan, produksi dan distribusi benih varietas unggul
bermutu diperlukan adanya koordinasi, pengawalan, monitoring dan evaluasi
serta pelaporan secara intensif dan terpadu.
• Produksi Benih
Penggunaan benih varietas unggul bermutu, merupakan salah satu
faktor dalam mencapai keberhasilan peningkatan produktivitas dan produksi
tanaman pangan. Sementara itu, peningkatan produksi pangan belum
diimbangi oleh produksi pangan yang lebih rendah dari laju peningkatan
kebutuhannya.Untuk itu benih varietas unggul bermutu harus tersedia secara
berkesinambungan mulai dari pengadaan Benih Penjenis, perbanyakan Benih
Dasar, Benih Pokok sampai kepada Benih Sebar.
Upaya yang dilakukan untuk peningkatan produksi ditempuh melalui
sistem ekstensifikasi dan intensifikasi. Guna tercapainya tujuan tersebut
tentunya ditunjang dengan keberadaan institusi perbenihan yang salah
satunya adalah Penangkar Benih yang sampai saat ini penumbuhannya belum
optimal.
• Seed Processing
Guna melindungi para konsumen benih dalam hal ini petani, maka
benih yang beredar harus memenuhi standar minimal yang telah
ditetapkan. Untuk mengetahui mutu benih tersebut, sebelum benih
disalurkan terlebih dahulu harus di uji di laboratorium. Dengan demikian
laboratorium uji merupakan instalasi yang mempunyai andil cukup penting
dalam menentukan mutu benih. Sehubungan dengan hal tersebut, mulai
dari peralatan sampai sumberdaya manusianya dalam hal ini analis
hendaknya harus benar-benar dipersiapkan sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan. Hal ini perlu memperhatikan sarana dan prasarana yang
lengkap dan terkalibrasi dengan baik, oleh karena peralatan yang tidak
memadai akan menyebabkan hasil uji yang tidak sempurna. Demikian
juga sumber daya yang tidak memenuhi kualifikasi tertentu akan dapat
mempengaruhi hasil ujinya.
• Pasar dan Pemasaran Benih
Dalam upaya tetap terjaminnya mutu benih yang beredar di
pasaran sampai ke tangan petani atau konsumen pengguna benih, maka
kegiatan pengawasan mutu tidak hanya berhenti sampai pada pengadaan
benih dan pelabelan saja, tetapi mutu benih tetap diawasi sampai
peredarannya di pasaran, hal ini dimaksudkan untuk menghindari
kemungkinan terjadinya pemalsuan dan masih diperdagangkannya benih-
benih yang sudah kadaluarsa atau menjelang atau habis masa berlakunya
label. Apabila pengawas benih menemukan benih yang labelnya sudah
kadaluarsa maka harus segera menghentikan penjualan/peredarannya.
Untuk itu perlu dilakukan kegiatan pengecekan mutu benih yang beredar
atau pengawasan terhadap benih-benih yang beredar dipasaran yang
bertujuan untuk menjaga agar benih yang diperdagangkan selalu
memenuhi standar mutu dan ketentuan lain yang berlaku, pengecekan
mutu benih terutama dilakukan pada kelompok benih yang mutunya
diragukan.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk meningkatkan pengawasan
terhadap peredaran benih serta untuk mendapatkan data-data yang lebih
akurat perlu adanya bimbingan terhadap para pengawas benih di daerah
serta optimalisasi dan keseriusan para pengawas benih dalam kegiatan
pengawasan mutu benih yang beredar di pasaran.
2. Prinsip Tepat jumlah
Penyediaan benih bermutu harus mengikuti prinsip tepat jumlah.
Maksudnya adalah ketersediaan benih haruslah sesuai dengan luas tanam yang
ada. Adanya ketidakseimbangan antara stok dan kebutuhan inilah yang pada
umumnya memicu maraknya peredaran benih palsu atau benih kualitas rendah.
Benih seperti ini sangat merugikan petani dan menghilangkan kepercayaan petani
terhadap benih bermutu.
3. Prinsip Tepat mutu
Benih bermutu tentulah mempunyai kelebihan dibandingkan benih asalan.
Keterangan mutu dicantumkan pada label yang tertera pada kemasan benih.
Artinya bila lingkungan mendukung maka potensi produksinya menyamai seperti
tertera pada labelnya. Prinsip tepat mutu juga dijadikan pedoman untuk
menentukan jumlah benih yang diperlukan dalam luasan areal pertanaman.
4. Prinsip Tepat Waktu
Prinsip tepat waktu adalah benih tersedia pada saat musim tanam tiba. Stok
benih yang banyak tidak berarti bila saat dibutuhkan ketersediaan tidak ada. Hal-
hal yang secamam ini dapat disebabkan transportasi yang terhambat.
Value Chain Marketing (Subsistem Perbenihan) meliputi :
• Pengembangan dan Pelepasan Varietas
Yaitu suatu usaha agar varietas yang diproduksi memiliki sifat yang sama
seperti pada saat varietas ini dicipta oleh pemulia tanaman. Perubahan sifat
genetik mempengaruhi kepekaan benih terhadap hama penyakit dan ekologis,
respon terhadap pemupukan sehingga mempengaruhi kualitas dan hasil panen.
• Produksi dan Sertifikasi Benih
Yaitu sama dengan produksi biji, tetapi harus memenuhi persyaratan yang
ditentukan BPSB yang telah memberi persyaratan untuk kelas benih tertentu.
• Pengolahan dan Penyimpanan Benih
Pengolahan Proses pengolahan benih tidak sama dengan proses
pengolahan biji. Setelah proses berlangsung, benih harus tetap ‘hidup’ dan
memenuhi persyaratan yang ditentukan BPSB (misal: batas maks k.a, %
viabilitas, kemurnian benih, kesehatan benih).
Penyimpanan Penyimpanan dilakukan untuk benih yang tidak langsung
dipakai (karena kelebihan memang harus disimpan dulu sebelum ditanam). Untuk
menghambat deteriorasi (kemunduran), harus disimpan dengan metode tertentu
agar benih tidak mengalami kerusakan/penurunan mutu.
• Pasar dan Pemasaran
Jalur Produsen Benih ke Konsumen (petani) harus diatur sedemikian rupa
sehingga sampai ke petani tepat waktu dan kondisi tetap prima (sesuai saat selesai
proses).
Dalam upaya menjamin ketersediaan benih bermutu dari varietas unggul
serta meningkatkan penggunaannya oleh petani maka program pengembangan
perbenihan dari hulu sampai hilir harus lebih terarah, terpadu, dan
berkesinambungan.
Hal ini penting artinya mengingat sistem produksi benih melibatkan
berbagai institusi. Pelaksanaan program pengembangan perbenihan perlu
mempertimbangkan potensi, permasalahan, dan kendala yang dihadapi serta
sumber daya yang mendukung. Secara umum rangkaian kegiatan dalam
pengembangan perbenihan meliputi optimalisasi dukungan penelitian dalam
produksi dan distribusi benih sumber dan benih sebar, pengendalian mutu melalui
sertifikasi benih, dan optimalisasi fungsi kelembagaan perbenihan.
Beberapa saran yang dapat dilakukan oleh para industri perbenihan di
Indonesia agar dapat memenuhi prinsip tepat waktu baik dalam produksi maupun
dalam pemasarannya sehingga dapat diterima oleh konsumen yaitu petani secara
tepat waktu juga. Saran tersebut diantaranya:
1. Diperlukan tenaga terampil dan berpengalaman. Hal ini dikarenakan
pekerjaan pengadaan bibit bergenetik unggul merupakan pekerjaan yang
bersifat spesifik dan teknologinya memerlukan tenaga trampil dan
berpengalaman di bidangnya mengingat waktu yang dibutuhkan untuk riset
cukup lama jangka waktunya.
2. Pada proses produksi bibit, khususnya jenis tanaman hutan dan jenis
tanaman endemik tertentu memerlukan kualifikasi pengalaman dan
kemampuan teknis penyediaan bibit tertentu.
3. Proses produksi bibit sangat ditentukan oleh musim dimana pada saat
musim tanam yang jatuh pada musim hujan, bibit sudah harus tersedia dan
siap salur. Apabila produksi bibit tidak tepat waktu maka keberhasilan
tanaman akan berkurang.
4. Pada saat akan dilakukan sertifikasi dilakukan dengan segera agar kondisi
dari benihnya tidak cepat rusak.
5. Diperlukan jalur yang pasti dalam pendistribusian benih kepada petani
yakni harus diatur sedemikian rupa sehingga sampai ke petani tepat waktu
dan kondisi tetap prima (sesuai saat selesai proses).
Demikian beberapa saran yang dapat dipertimbangkan oleh para industri
perbenihan di Indoneia. Selain itu dalam hal ini tidak luput juga dari campur
tangan pemerintah sebagai penentu kebijakan. Oleh karena itu, diperlukan juga
koordinasi dari pemerintah kepada para industri perbenihan di Indonesia
Dengan demikian untuk menjamin ketersediaan benih yang berkualitas
dalam jumlah yang mencukupi dan tepat waktu serta harga yang terjangkau oleh
masyarakat luas maka pengelolaan terhadap sumber-sumber benih yang telah ada
perlu dilakukan secara terus menerus agar dapat berdaya guna dan berhasil guna
serta diperlukan adanya dukungan-dukungan baik kepada industri perbenihan itu
sendiri dan terutama kepada petani
5. Prinsip Tepat Lokasi
Prinsip tepat lokasi adalah ketersediaan benih pada areal-areal pertanaman.
Semakin luas areal pertanaman sepatutnya ketersediaan benih juga cukup.
6. Prinsip tepat harga
Benih sebagai sarana produksi yang membawa sifat-sifat varietas tanaman,
benih berperan penting dalam menentukan tingkat hasil yang akan diperoleh.
Benih varietas unggul umumnya dirakit untuk memiliki sifat-sifat yang
menguntungkan, antara lain ;
1. daya hasil tinggi
2. tahan terhadap hama penyakit
3. umur panen yang singkat
4. mutu dan produksi hasil panen yang sesuai dengan keinginan konsumen.
Salah satu kendala penggunaan benih bermutu dikalangan petani (terutama
petani kecil) adalah harga yang tidak terjangkau. Masalah harga benih bermutu
bersertifikat yang di produksi oleh industri perbenihan modern harganya lebih
mahal dari benih lokal dan benih yang tidak bersertifikat. Kita ketahui bahwa
untuk memperoleh benih yang berkualitas unggul/bermutu harus melalui proses
yang bertahap dan tidak mudah untuk direalisasikan, tahapan dalam memperoleh
benih unggul selain memakan waktu yang cukup lama juga memerlukan biaya
yang cukup besar mulai dari pengembangan varietas, pengujian lapangan,
pengujian laboratorium hingga kepada sertifikasi benih sehingga pada umumnya
benih yang berkualitas unggul dan bersertifikat mempunyai nilai jual/harga yang
lebih mahal jika dibandingkan dengan harga benih lokal yang kurang bermutu
atau benih yang tidak bersertifikat.
Selain itu tentu tidak dapat disamakan antara harga biji jagung yang akan
digunakan sebagai benih dengan jagung yang digunakan sebagai pangan atau
pakan. Prinsip tepat harga ini dapat terganggu disebabkan stok/ketersediaan yang
kurang ataupun penyediaan yang tidak tepat waktu. Kondisi ini menyebabkan
petani tidak dapat membeli benih bermutu sehingga target penggunaan benih
bermutu tidak tercapai dan akhirnya berdampak pada produksi dan produktivitas.
Sebagian besar Petani di Indonesia adalah kecil/gurem yang luas tanah dan
permodalan yang kecil, skala produksi dan skala ekonomi yang kecil sehingga
bagaimana para petani ini dapat menggunakan benih bermutu yang bersertifikat
mengingat benih merupakan salah satu faktor produksi dalam usaha tani.
2.3 Industri Perbenihan di Indonesia
Sektor industri sebagaimana yang dimaksud dalam APBN adalah usaha
industri yang berciri ekonomi masyarakat sebagai penggerak ekonomi melalui
pemerataan pembangunan, menetapkan program penghapusan kemiskinan serta
memperluas kesemptan kerja dan kesempatan berusaha. Dengan demikian usaha
pengembangan ektor agroindustri akan dapat mempercepat pengentasan
kemiskinan yang dirasakan masyarakat indonesia saat ini.
Dampak langsung dari pengembangan agroindustri adalah kebutuhan bibit
yang sangat tinggi, secara komvensional kebutuhan tersebut sulit dipenuhi secara
cepat. Dinegara maju, aflikasi teknologi baru seperti penggunaan benih sintetik
telah dirasakan manfaatnya.
Industri benih merupakan syarat penting bagi pertanian yang berorentasi
pasar. Industri merupakan tahap akhir perkembangan perbenihan dan termasuk
dalam kelompok agribisnis. Disebut ndustri menurut sadjad (1997), karena
prosesnya berawal dari produk yang belum siap pakai dn berakhir menjadi produk
siap pakai yang berupa benih suatu varietas tanaman. Industri benih menghadapi
permintaan benih berkualitas dari permintaan pasar dengan syarat syarat tertentu.
Industri perbenihan dan perbibitan swasta nasional adalah seluruh kegiatan
dalam menghasilkan benih/bibit unggul baru berproduktivitas tinggi dan
berkualitas tinggi dengan daya saing tinggi, memperbanyaknya, mengedarkannya
dan memasarkannya, baik dalam satu kelembagaan usaha ataupun bagiannya,
seperti penangkar benih dan lain-lain, yang memanfaatkan potensi sumber daya
hayati nasional secara bijak dan lestari.
Membangun industri perbenihan dan perbibitan swasta nasional
merupakan upaya mendasar dalam pembangunan sektor pertanian keseluruhan.
Sebab benih dan bibit varietas unggul bermutu merupakan penentu batas atas
produktivitas dan kualitas produk suatu usaha tani, baik itu usaha tani besar
maupun usaha tani kecil. Membangun industri perbenihan dan perbibitan swasta
nasional merupakan landasan yang baik bagi proses produksi dan industri pangan
dan industri lainnya yang berbasis produk pertanian.
Berdasarkan teknologi yang digunakan industri benih dapat dibagi menjadi
lima tingkat yaitu:
1. Industri benih tingkat satu, teknologi yang digunakan sederhana,
pembersihan benih hanya menggunakan tampah.
2. Industri benih tingkat dua.industri menggunakan mesin mesin pembersih
seperti”air screen cliner”.
3. Industri benih tingkat tiga.industri ini melaksanakan pemilahan benih yang
sudah bersih. setelah dibersikan benih ipilah berdasarkan besar, panjang,
lebar, tebal atau berat butiran. Industri benih ini benih yang prima.
4. Industri benih tingkat empat.industri ini selau berhubungan dengan
kegiatan lembaga penelitian dan pengembangan disamping proses
produksinya seperti industri tingkat tiga
5. Industri benih tingkat lima. Industri ini memiliki kemampuan untuk
memproduksi benih hasil litbang sendiri. Kegiatan penelitian dan
pengembangan disini,selain memproduksi hibrida yang selalu
diperbaharui,juga melakukan penelitian dan pengembangan bioteknologi.
Industri benih tingkat lima menerapkan teknologi sangat canggih dan
memeiliki kemampuan dalam mengusahankan rekayasa genetik sehingga
benih yang dihasilkan memiliki keunggulan yang sangat spesifik. Industri
benih tingkat lima tidak memerlukan lembaga sertifikasi eksternal karena
program sertifikasnya diakreditasi sehingga kebenaran informasi mutunya
terpercaya(sadjad 1997).
Berdasarkan dasar usahanya industri benih dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1) Usaha perbenihan kecil (UPK), yaitu usaha benih yang dikelola oleh
rakyat dan relatif kecil serta pemasarannya terbatas pada daerah setempat.
Kelompok ini mungkin dapat disamakan dengan industri benih tingkat satu.
2) Usaha perbenihan besar (UPB), yaitu usaha benih yang dilakukan oleh
perusahaan atau koperasi dengan skala yang relative besar dan jangkauan
pemasaran yang lebih luas (Direktorat bina perbenihan,1998).
3) Untuk benih “ortodoks”, kelompok ini biasa digolongkan pada industri
benih tingkat IIV seperti untuk benih kapas, rosella, kenap, yute, linum,
wijen, bunga matahari, jarak, ketumbar, jinten, adas dan juga jambu mete asal
teknologinya disesuaikan. Untuk UPK dan UPB biasanya dilakukan oleh
lembaga lembaga penelitian, sedangkan untuk usaha usaha ketiga dan
keempat biasa dilakukan oleh pengusaha baik pemerintah atau swasta.
Industri perbenihan dan perbibitan nasional merupakan salah satu industri
hulu di sektor pertanian praproduksi, yang berperan sangat menentukan
keberhasilan sektor pertanian secara keseluruhan, termasuk industri pasca panen,
seperti industri pangan dan lain-lain. Yang dimaksud dengan industri perbenihan
dan perbibitan nasional adalah seluruh kegiatan dalam menghasilkan benih/bibit
unggul baru berproduktivitas tinggi dan berkualitas tinggi dengan daya saing
tinggi, memperbanyaknya, mengedarkannya dan memasarkannya, baik dalam satu
kelembagaan usaha ataupun bagiannya, seperti: penangkar benih dan lain-lain,
yang memanfaatkan potensi sumber daya hayati nasional secara bijak dan lestari.
Membangun industri perbenihan dan perbibitan nasional merupakan upaya
mendasar dalam pembangunan sektor pertanian keseluruhan. Sebab benih dan
bibit varietas unggul bermutu merupakan penentu batas atas produktivitas dan
kualitas produk suatu usaha tani, baik itu usaha tani besar maupun usaha tani
kecil.
Membangun industri perbenihan dan perbibitan merupakan landasan yang
baik bagi proses produksi dan industri pangan dan industri lainnya yang berbasis
produk pertanian. Produk industri perbenihan dan perbibitan yang unggul dan
berkualitas tinggi serta murah akan menjamin keuntungan dan memperkecil
resiko bagi petani produsen, baik itu dari usaha tani kecil ataupun besar (komoditi
pangan dan komoditi lainnya). Bagi petani tanaman pangan penggunaan benih/
bibit unggul yang spesifik wilayah dari produk industri benih, akan memberikan
jaminan keuntungan bagi usaha taninya. Dengan demikian upaya tersebut
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan para petani di desa-desa, serta
membantu mengentaskan kemiskinan di desa-desa.
Namun demikian, khusus untuk komoditi tanaman, sekalipun UU No. 29
Th. 2000 Tentang PVT telah diundangkan 7 (tujuh) tahun yang lalu dan Kantor
Pusat Perlindungan Varietas Tanaman telah bertugas selama kurang lebih 4 tahun
terakhir, kenyataan menunjukkan jumlah varietas unggul yang diusulkan untuk
dilindungi di Kantor Pusat PVT relatif masih sedikit, sekalipun dalam tahun yang
sedang berjalan ini tendensinya menunjukkan adanya peningkatan dalam jumlah
varietas yang didaftarkan untuk dilindungi. Sebagian besar varietas yang akan
dilindungi tersebut bersal dari industri benih multinasional. Industri perbenihan
nasional nampaknya belum bangkit seperti yang diharapkan. Demikian juga
varietas unggul produk kelembagaan penelitian milik Pemerintah masih sedikit
yang diajukan untuk dilindungi.
Kondisi tersebut tidak menguntungkan bagi pembangunan pertanian dan
khususnya para petani produsen, serta menghambat upaya pengentasan
kemiskinan di kalangan petani produsen usaha tani kecil. Pembangunan dan
pengembangan usaha industri perbenihan dan perbibitan swasta nasional tingkat
menengah dan kecil perlu dipacu. Sementara itu impor benih cenderung
meningkat dan industri benih multinasional berupaya mendominasi pasar benih
dalam negeri. Belum bangkitnya industri perbenihan dan perbibitan swasta
nasional perlu dicari kendalanya. Demikian juga penyebab masih sedikitnya
produk pemuliaan lembaga penelitian pemerintah yang didaftarkan untuk
dilindungi.
2.4 Permasalahan Pelaku Industri Perbenihan
Permasalahan pelaku industri perbenihan dapat digolongkan menjadi 4 kategori
yaitu:
1) Umum
• Terdapat kerancuan persepsi mengenai sertifikat benih, OECD Scheme,
ISTA Rules yang menghambat perkembangan industri benih. Beberapa
prinsip sertifikat benih tidak diterapkan, reproducibility hasil uji
laboratorium belum mendapatkan perhatian yang memadai. Tidak terdapat
pemilihan antara mekanisme produksi benih komersial dengan produksi
benih untuk rescue programs (missal antisipasi kekeringan, penanggulangan
eksplosi hama). Akibatnya, penerapan sertifikat benih belum mampu
memberikan jaminan mutu sebagaimana mestinya.
• Belum terdapat kebijakan yang jelas mengenai pemilihan peranan antara
sector swasta dengan pemerintah dengan perbenihan. Pemerintah bersaing
dengan swasta dalam produksi dan distribusi benih komersial, padahal
partisipasi swasta juga ingin ditingkatkan. Inisiasi upaya perbaikan dari
kelemahan ini telah mulai tampak.
• Implementasi kebijakan pembangunan pertanian, masih sangat terfokus
pada peningkatan kualitas produk. Komitmen terhadap kebijakan yang
terkait dengan peningkatan mutu produk pertanian baru mulai tampak jelas
dalam beberapa tahun terakhir.
• Perlindungan HAKI (hak atas kekayaan Intelektual), masih lemah,
perlindungan varietas tanaman belum efektif menyebabkan partisipasi
swasta dalam penelitian (pemuliaan) dan dalam industri benih sangat
terbatas.
• Beberapa peraturan perundangan terlalu ketat dan tidak practicable dan
kontradiktif. Contoh: dalam Undang-undang no.12/1992 semua benih bina
(varietas unggul) yang diperdagangkan harus disertifikasi tanpa
memperhatikan skala, komersialisasinya; sertifikat benih (berdasarkan
OECD Scheme) merupakan satu-satunya mekanisme pengawasan mutu
dalam produksi dan distribusi benih, padahal telah terbit PP 15 1991,
Keppres 12/1992, SK Mentan 303/1994 tentang standardisasi yang
membuka peluang penerapan manajemen mutu
2) R & D : plasmanutfah dan pelepasan varietas
• Perlindungan dan pengelolaan (terutama karakterisasi, dokumentasi dan
konservasi) plasma nutfah masih lemah. Ketersediaan plasma nutfah untuk
pemuliaan menjadi lebih terbatas.
• Pengembangan varietas oleh lembaga penelitian milik pemerintah belum
banyak berorientasi pasar, sehingga volume permintaan benih dari banyak
varietas tidak feasible secara komersial karena varietasnya kurang sesuai
dengan preferensi pasar.
• DUS (distinctness, uniformity, stability) test belum diterapkan dalam
evaluasi varietas. Tanpa DUS, varietas akan sulit diidentifikasi secara
objektif sehingga akan menimbulkan masalah dalam sertifikat benih dan
dalam perlindungan varietas tanaman.
• Penyusunan dan revisi berkala terhadap daftar varietas komersial atau
varietas yang layak untuk belum dilaksanakan secara efektif. Sertifikasi
benih diterapkan terhadap semua varietas (komersial dan non komersial)
tanpa memperhatikan kelayakannya, sehingga menimbulkan inefisiensi.
• Kegiatan produksi dan penyimpanan BS (breeder seed) dari varietasvarieats
yang telah dilepas sangat lemah, fasilitas sangat tidak memadai sehingga
kontinuitas ketersediaan BS bagi produsen benih tidak terjamin.
• Mekanisme pengendalian mutu dalam produksi dan distribusi BS belum
mengikuti jalur formal (sertifikasi benih berdasarkan OECD Scheme, ISTA
Rules atau system mutu ISO seri 9000), sehingga belum mampu
menunjukkan jaminan mutu.
3) Produksi dan pemasaran
• Benih bersertifikat masih Efisiensi produksi rendah. Nisbah anatara volume
benih lulus uji lab dengan luas tanaman lulus inspeksi lapangan sangat
rendah dan beragam. Untuk FS, SS dan ES kedelai di Jawa pada MK 93 dan
MH 93/94 berkisar antara 23 kg/ha – 1500 kg/ha dan untuk padi MK 97 dan
MH 97/98 berkisar antara 1,10 ton/ha – 5,82 ton/ha (Nugraha, 2000),
sehingga belum memadai untuk menghadapi persaingan sehat dalam bisnis.
• Penyebab rendahnya efisiensi adalah produktivitas (seed yield) rendah,
pembatalan kontrak sepihak oleh penangkar karena harga calon benih tidak
menarik, penjualan sebagai calon benih untuk meningkatkan pendapatan asli
daerah (khusus kasus di BBI, BBU), dan pengendalian mutu tidak efektif
(tingkat ketidak-lulusan tinggi)
• Pada tahun 2000, total produksi benih padi (ES) diperkirakan mencapai 38%
dari kebutuhan (lebih dari 90.000 ton/tahun), dan hanya sekitar 8 varietas
yang penyerapan pasarnya (annual seed sale) lebih dari 1800 ton/tahun (PT,
SHS, 1999)
4) Pengawasan dan pengendalian mutu
• Beberapa prinsip dari sertifikasi berdasarkan OECD Scheme seperti
evaluasi kelayakan varietas untuk sertifikasi, penentuan kelas benih,
verifikasi varietas dalam produksi benih (BS, FS, SS, dan ES), dan sealing
belum diterapkan secara lugas.
• Beberapa prinsip dalam pengujian mutu benih berdasarkan ISTA Rules
seperti standardisasi metode (validitas, reproducibility), sealing,
standardisasi alat, lab acuan yang terakreditasi, dan efisiensi pengujian
belum mendapatkan perhatian yang memadai.
• Penerapan sertifikasi benih tanpa memperhatikan feasibility-nya, dan tanpa
dikaitkan dengan kaidahkaidah komersialisasi.
• Efisiensi pengendalian mutu internal masih rendah seperti terlihat dalam
tingkat kel ulusan inspeksi lapangan dan kelulusan uji lab yang rendah.
Untuk benih padi (kelas ES), kelulusan inspeksi lapangan berkisarantara 78
– 86 %, dan kelulusan uji lab antara 73 – 99 % (Nugraha, 2000).
• Penerapan sistem standardisasi nasional dalam produksi benih, misal
sertifikasi sistem mutu berdasarkan ISO seri 9000) belum secara lugas,
missal LSSM dan lab uji belum diakreditasi, kompetensi personel dan mutu
produk belum teruji, sehingga jaminan mutu belum dapat diharapkan.
2.5 Solusi Permasalahan Industri Perbenihan
Motivasi dan sosialisasi kepada mereka dan tenaga-tenaga senior untuk
bergerak di bidang industri perbenihan/perbibitan swasta nasional perlu dilakukan
secara intensif, disertai dengan investasi permodalan yang besar untuk
menumbuhkan industri perbenihan/perbibitan nasional tingkat menengah dan
kecil. Perlu dikembangkan pula “participatory plant breeding” untuk menunjang
pengembangan industri perbenihan/perbibitan oleh Perguruan Tinggi dan
kelembagaan penelitian milik negara yang memiliki tenaga-tenaga senior
pemuliaan.
Selain dari pada hal-hal yang diuraikan tadi, perlu pula ditekankan bahwa
sejalan dengan pengembangan industri perbenihan/perbibitan swasta nasional,
diarahkan pula agar industri tersebut dalam menghasilkan varietas/jenis unggul
baru yang bermutu lebih didorong menghasilkan varietas/jenis yang sesuai dengan
daya dukung wilayah spesifik (Interaksi Genotip × Lingkungan, atau G × E harus
diperhatikan). Varietas/jenis unggul spesifik wilayah akan memiliki daya saing
yang tinggi di pasar dalam negeri dibanding benih impor dan akan lebih
terjangkau oleh para petani produsen.
Satu hal yang perlu dicermati dan difikirkan secara seksama adalah
mengenai keanggotaan Negara Republik Indonesia dalam organisasi dunia
UPOV. Banyak keuntungan yang bisa diraih dari keanggotaan UPOV dan juga
kerugian yang perlu diwaspadai bila Indonesia menjadi anggota UPOV. Sejak
awal penyusunan RUU PVT telah digariskan agar undang-undang yang tersusun
“in conformity” dengan perundangan UPOV, namun tetap mendahulukan
kepentingan negara dan bangsa. Salah satu pasal dalam UU No. 29 Th. 2000
Tentang PVT, yaitu Pasal 7 dengan seluruh ayat-ayatnya, melindungi varietas
lokal milik masyarakat, sebagai milik negara, dan peraturan UPOV tidak
menghendaki adanya pasal tersebut. Keanggotaan Indonesia dalam organisasi
UPOV sebaiknya menunggu sampai produk industri perbenihan/perbibitan swasta
nasional mampu bersaing di pasar, terutama di pasar dalam negeri. Untuk sampai
ke titik tersebut perlu dilakukan pengkajian aspek sosial, ekonomi dan peraturan
perundangan yang seksama. Perlu waktu untuk sampai ke sana dan harus dikaji
secara seksama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan makalah di atas mengenai upaya industi perbenihan
dalam pemenuhan prinsip enam tepat benih, maka dapat ditarik kesimpulan antara
lain :
• Input dasar yang paling penting dalam pertanian adalah mutu benih.
• Salah satu cara untuk memperbaiki permasalahan dalam bidang
perbenihan adalah dengan menerapkan prinsip enam tepat benih yaitu:
1. Tepat varietas
2. Tepat jumlah
3. Tepat mutu
4. Tepat waktu
5. Tepat lokasi
6. Tepat harga
• Penggunaan prinsip enam tepat harus konsisten untuk memperluas
penggunaan benih bermutu di kalangan petani.
• Permasalahan pelaku industri perbenihan terdapat 4 kategori yaitu:
Umum
R & D : plasmanutfah dan pelepasan varietas
Produksi dan pemasaran
Pengawasan dan pengendalian mutu
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Diakses melalui:
http://www.sinartani.com/komoditas/pangan/4553-sistem-perbenihan-
tanaman-pangan.html [Pada tanggal 5 Oktober 2011].
Anonim. 2011. Diakses melalui:
http://produksibenih.wordpress.com/2010/12/11/modul-karakteristik-
benih.html [Pada tanggal 5 Oktober 2011].
Anonim. 2010. Diakses melalui:
http://www.4shared.com/file/K145nRXS/MODUL_Karakteristik_Benih_t
ana.html [Pada tanggal 5 Oktober 2011].